Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sebagai salah satu penyelenggara pembangunan kesehatan di wilayah kecamatan
Baso, Puskesmas Baso memiliki Visi ; Kecamatan Baso Yang Sehat dan
Mandiri. Tercapainya visi ini dinilai dari 4 indikator utama yaitu lingkungan
sehat, perilaku sehat, cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata
dan derajat kesehatan penduduk kecamatan Baso yang setinggi-tingginya.

Untuk mewujudkan visi ini, Puskesmas Baso mengusung misi


pembangunan kesehatan di wilayah kecamatan Baso yang akan memberikan
dukungan tercapainya visi pembangunan nasional yaitu : (1) Menggerakkan
pembangunan yang berwawasan kesehatan, (2) Memberikan pelayanan yang
bermutu, adil, dan merata serta mudah dijangkau, (3) Mendorong kemandirian
hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat, (4) Memelihara dan meningkatkan
kesehatan individu, keluarga serta lingkungannya.

Untuk menwujudkan masyarakat yg sehat di Puskesmas Baso, dengan


adanya peran dokter umum dimana Dokter Umum mempunyai tugas pokok
meliputi pelayanan medik rawat jalan, rawat inap dan emergensi, melakukan
tindakan medic ringan sampai sedang, pelayanan imunisasi, melakukan
penyuluhan medic, menerima konsultasi dari luar dan dari dalam, melakukan
pemeliharaan kesehatan ibu, bayi dan anak, melakukan visum, mengikuti
seminar/pelatihan, dan menjadi pengurus organisasi.

Kita ketahui bahwa kesehatan anak merupakan bagian yang tidak


terpisahkan dari kesehatan wanita. Salah satu indikator kesehatan umum dan
kesejahteraan suatu masyarakat adalah angka kematian dan kesakitan pada
bayi/anak. Keadaan ini juga memberi dampak pada kesakitan dan kematian pada
ibu/wanita. Sebagai contoh karena suatu proses persalinan lama menyebabkan
cedera jalan lahir sehingga menimbulkan penurunan kesehatan ibu dan atau bayi.
Keadaan malformasi kongenital dan target aborsi oleh karena seleksi jenis
kelamin menyebabkan kematian pada ibu dan bayi.
Pelayanan Antenatal care adalah pelayanan kesehatan yang diberikan
pada ibu hamil selama kehamilannya sesuai dengan standar pelayanan yang di
tetapkan. Kegiatan ini secara berkala selama kehamilan seorang ibu.Hal ini
sangat bermanfaat untuk mengetahui dan mendeteksi perkembangan kehamilan
dan sedini mungkin mendeteksi adanya faktor resiko selama kehamilan. Dengan
begitu sehingga dapat sedini mungkin mencari alternatif solusi dalam proses
persalinan.
Dokter juga melalukan upaya peningkatan derajat kesehatan misalnya
turut berperan serta dalam usaha peningkatan kesehatan ibu sebagai upaya dalam
mempersiapkan generasi yang akan datang menjadi generasi yang sehat baik
secara fisik mental dan spiritual. Dengan begitu akan terwujud generasi yang
berkualitas di masa yang akan datang. Salah satu persiapan tersebut antara lain
adalah di perlukannya kehamilan yang sehat, persalinan yang sehat, serta upaya
promotif preventif kepada keluarga yang akan mendukung kondisi kehamilan
dan proses reproduksi yang sehat tersebut dapat dilakukan dengan pemeriksaan
kehamilan secara teratur yang dilakukan disarana kesehatan.
Untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan tersebut diselenggarakan
berbagai upaya kesehatan secara menyeluruh, berjenjang dan terpadu. Puskesmas
adalah penanggung jawab penyelenggara upaya kesehatan untuk jenjang tingkat
pertama. Salah satu pelayanan kesehatan dasar adalah program kesehatan Ibu dan
Anak. Hal ini bertujuan untuk memantau secara berkesinambungan pelayanan
kesehatan ibu hamil, dari mulai ANC sampai persalinannya serta kesehatan
anaknya.

Angka kematian Ibu/maternal bersama dengan Angka kematian Bayi


senantiasa menjadi indikator keberhasilan sektor pembangunan kesehatan . AKI
mengacu kepada jumlah kematian ibu yang terkait dengan masa kehamilan,
persalinan dan nifas. AKI tahun 2019 sebesar 305 per 100.000 kelahiran hidup.
Dimana target Indonesia 2024 sebesar 183 per 100.000 kelahiran hidup. Angka
kematian Bayi di Indonesia sebesar 24 per 1000 kelahiran hidup. Dimana target
Indonesia 2024 sebesar 16 per 1000 kelahiran hidup. Program-programnya adalah
penurunan AKB merujuk kepada jumlah bayi yang meninggal pada fase antara
kelahiran hingga bayi belum mencapai umur 1 tahun per 1000 kelahiran hidup.
Untuk Puskesmas Baso, tahun 2021 angka kematian ibu sebanyak 3 orang
dan angka kematian bayi 3 orang serta lahir mati sebanyak 4 kasus. Dan untuk
semester I tahun 2022 angka kematian ibu tidak ada, sedangkan kematian bayi
sebanyak 5 orang. Menjadi sebuah tantangan yang harus dihadapi oleh kita semua.

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis menyusun makalah


tentang "Upaya Dokter Umum Untuk Mengurangi Angka Kematian Ibu dan
Angka Kematian Anak dalam Rangka Optimalisasi Pelayanan Di
Puskesmas Baso ”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian masalah di atas, maka perlu diciptakan inovasi
kesehatan dalam program penurunan AKI dan AKB di Puskesmas Baso dengan
Deteksi Dini selama USG menggunakan USG di Puskesmas Baso saat dalam
kandungan melalui program Dedi Bur Pake USG (Deteksi Dini Bumil Risti
Pake USG).

1.3 Tujuan
Tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah agar masyarakat wilayah kerja
Puskesmas Baso dapat meningkatkan derajat kesehatannya melalui deteksi dini
semenjak masa kehamilan. Dengan adanya kegiatan ini dapat meningkatkan
derajat kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Baso.

1.4 Manfaat Penulisan Makalah


Karya tulis ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut :
1. Meningkatkan pengetahuan penulis sebagai tenaga kesehatan penerapan
program kesehatan ibu dan anak
2. Dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi instansi terkait demi tercapainya
peningkatan program kesehatan ibu dan anak.
BAB II
ANALISA SITUASI

2.1 Kondisi Geografis


Puskesmas Baso berada di Kecamatan Baso yang memiliki luas wilayah sebesar
70,30 km2 yang berarti hanya 3,14 % dari luas wilayah Kabupaten Agam yang
mencapai 2.232,30 km2. Topografi daerah Kecamatan Basobervariasi antara
dataran bergelombang dan berbukit yang dapat dilalui oleh kendaraan roda dua
maupun roda empat yang terdiri dari 6 Nagari dan 18 Jorong.

Kecamatan baso terletak pada posisi 10027 57.9” BT dan -017’ 10.32’
LS - 45 dengan jarak tempuh dari ibu kota Kabupaten Agam +85 km. Secara
geografis luas kecamatan Baso adalah 70.30 km dengan ketinggian berkisar 500-
1000 M dari permukaan laut.

Wilayah Kecamatan Baso dialiri oleh beberapa sungai dan sungai tersebut
dimanfaatkan oleh masyarakat disekitar aliran sungai untuk mendukung usaha
pertanian dan keperluan sehari-hari.

Ditinjau dari batas daerah, maka wilayah kerja Puskesmas Baso


mempunyai batas :

Sebelah Utara : Kec.Tilatang Kamang

Sebelah Selatan : Kab. Tanah Datar

Sebelah Barat : Kec. Ampek Angkek

Sebelah Timur : Kab. Lima Puluh Kota


Gambar 1. Peta Puskesmas Baso

2.2 Keadaan Demografi

Wilayah kerja Puskesmas Baso memiliki jumlah penduduk sebanyak


19.628 jiwa, dengan jumlah Kepala Keluarga 6.235 KK yang terdiri dari laki-laki
9.782 jiwa dan perempuan 10.118 jiwa. Mata pencaharian penduduk sebagian
besar adalah petani disamping itu adalah pedagang, PNS, buruh dan wiraswasta.

2.3. Visi dan Misi


a. Visi
KecamatanBaso Yang Sehat dan Mandiri
b. Misi
Dalam mewujudkan visi KecamatanBaso Yang Sehat dan Mandiri,
Puskesmas Baso mempunyai misi yaitu :
1. Menggerakkan pembangunan yang berwawasan kesehatan
2. Memberikan pelayanan yang bermutu, adil, dan merata serta mudah
dijangkau
3. Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat
4. Memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga serta
lingkungannya.
2.4 Tata Nilai Organisasi
Inovatif Kerjasama Harmonis Loyalitas Adil Santun (IKHLAS)

2.5 Manajemen Puskesmas Baso

Kepala Puskesmas mempunyai tugas memimpin, mengawasi, dan


mengkoordinasi kegiatan Puskesmas. Dalam pelaksanaan tugasnya, Kepala
Puskesmas wajib menetapkan prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi baik
dalam lingkungan Puskesmas maupun dengan satuan organisasi di luar Puskesmas
sesuai dengan tugasnya masing – masing, mulai dari penetapan
masalah/pengambilan keputusan, perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi serta penyampaian laporan kegiatan kepada Dinas
kesehatan Kabupaten Agam setiap bulannya. Kemampuan Kepala Puskesmas
untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi tersebut masih mempunyai kendala ,
terutama yang berkaitan dengan kepengelolaan sistem informasi kesehatan dan
pengolahan data.

2.6.Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Dalam rangka pemberian pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat, maka


keadaan dan situasi sarana/unit pelayanan kesehatan di Puskesmas Baso seperti
dibawah ini:

- 1 unit Puskesmas, 5 unit Puskesmas Pembantu dan 1 unit Poskesri;


- Perbandingan jumlah sarana pelayanan kesehatan dengan jumlah
penduduk adalah 1 sarana kesehatan melayani sekitar 1.436 penduduk;
- Sebagian besar masyarakat sudah dapat memanfaatkan sarana pelayanan
kesehatan yang tersebar di setiap jorong.

2.7. Tenaga Kesehatan

Dalam rangka pelaksanaan berbagai program pembangunan kesehatan di


wilayah kerja Puskesmas Baso, maka SDM Puskesmas Baso didukung oleh 47
orang tenaga dengan berbagai latar belakang pendidikan baik kesehatan maupun
non kesehatan, yang terdiri dari tenaga PNS/CPNS, PTT, dan honor daerah.
Tabel 1. Jumlah Tenaga Kesehatan di Puskesmas Baso Menurut Tingkat
Pendidikan Tahun 2022

No Jenis Ketenagaan Jumlah yang ada

1. Dokter Umum 5

2. Dokter Gigi 2

3. Apoteker 2

4. Sarjana Kesehatan Masyarakat ( SKM ) 4

5. Sarjana Keperawatan ( S Kep ) 3

6. Bidan 16

7. Perawat 6

8. Perawat Gigi 2

9. Tenaga/Ahli Gizi 2

10. Tenaga Sanitasi/Kesling 2

11. Tenaga Farmasi 2

12. Tenaga Analis Kesehatan 2

13. Tenaga Administrasi Kesehatan dan Adm Lainnya 2

14. Tenaga Pekarya Kesehatan 0

15. Sopir 2

16. Satpam 2

17. Tenaga K3 2

TOTAL 56
Berdasarkan data diatas, jelas terlihat posisi tenaga kesehatan dan
non kesehatan sebagai berikut:

a. Terdapat 56 orang tenaga di lingkungan Puskesmas Baso termasuk


bidan di Pustu dan Polindes;
b. Khusus Tenaga Bidan untuk Pustu/polindes di jorong, masih menjadi
prioritas dimana masih adanya bidan yang bertanggung jawab untuk 2
jorong bahkan lebih.
c. Tenaga administrasi sangat kurang, sehingga masih banyak tenaga
kesehatan fungsional yang diperbantukan kepada tugas dan pekerjaan
struktural
BAB III

TINJAUAN TEORI

3.1 Kematian Ibu

Kematian ibu menurut International Classification of Diseases (ICD)


adalah kematian wanita dalam kehamilan atau 42 hari pasca terminasi kehamilan,
tanpa memandang usia kehamilan dan kelainan kehamilan, yang disebabkan baik
oleh kehamilannya maupun tatalaksana, namun bukan akibat kecelakaan.
Kematian ini terbagi dua, yaitu kematian langsung dan tidak langsung. Kematian
yang bersifat koinsidental, terjadi selama masa kehamilan atau 42 hari
pascaterminasi kehamilan, namun tidak terkait dengan kehamilannya.

Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat
derajat kesehatan perempuan. Angka kematian ibu juga merupakan salah satu
target yang telah ditentukan dalam tujuan pembangunan millenium yaitu tujuan ke
5 yaitu meningkatkan kesehatan ibu dimana target yang akan dicapai sampai
tahun 2015 adalah mengurangi sampai ¾ resiko jumlah kematian ibu. Dari hasil
survei yang dilakukan AKI telah menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu,
namun demikian upaya untuk mewujudkan target tujuan pembangunan millenium
masih membutuhkan komitmen dan usaha keras yang terus menerus.

I. Penyebab Kematian Ibu Melahirkan


Sejumlah kondisi mayor terkait dengan angka mortalitas maternal.
Penyebab mayor dari kematian ibu ternyata berkontribusi besar terhadap kematian
bayi.

Rendahnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan ibu hamil menjadi


faktor penentu angka kematian, meskipun masih banyak faktor yang harus
diperhatikan untuk menangani masalah ini. Persoalan kematian yang terjadi
lantaran indikasi yang lazim muncul. Yakni pendarahan, keracunan kehamilan
yang disertai kejang, aborsi, dan infeksi. Namun, ternyata masih ada faktor lain
yang juga cukup penting. Misalnya, pemberdayaan perempuan yang tak begitu
baik, latar belakang pendidikan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan masyarakat
dan politik, kebijakan juga berpengaruh.

Kaum lelaki pun dituntut harus berupaya ikut aktif dalam segala
permasalahan bidang reproduksi secara lebih bertanggung jawab. Selain masalah
medis, tingginya kematian ibu juga karena masalah ketidaksetaraan gender, nilai
budaya, perekonomian serta rendahnya perhatian laki-laki terhadap ibu hamil dan
melahirkan. Oleh karena itu, pandangan yang menganggap kehamilan adalah
peristiwa alamiah perlu diubah secara sosiokultural agar perempuan dapat
perhatian dari masyarakat. Sangat diperlukan upaya peningkatan pelayanan
perawatan ibu baik oleh pemerintah, swasta, maupun masyarakat terutama suami.

Penyebab kematian ibu adalah perdarahan, eklampsia atau gangguan


akibat tekanan darah tinggi saat kehamilan, partus lama, komplikasi aborsi, dan
infeksi. Perdarahan, yang biasanya tidak bisa diperkirakan dan terjadi secara
mendadak, bertanggung jawab atas 28 persen kematian ibu. Sebagian besar kasus
perdarahan dalam masa nifas terjadi karena retensio plasenta dan atonia uteri. Hal
ini mengindikasikan kurang baiknya manajemen tahap ketiga proses kelahiran dan
pelayanan emergensi obstetrik dan perawatan neonatal yang tepat waktu.
Eklampsia merupakan penyebab utama kedua kematian ibu, yaitu 24 persen
kematian ibu di Indonesia (rata-rata dunia adalah 12 persen). Pemantauan
kehamilan secara teratur sebenarnya dapat menjamin akses terhadap perawatan
yang sederhana dan murah yang dapat mencegah kematian ibu karena eklampsia.

Aborsi yang tidak aman. Bertanggung jawab ter hadap 11 persen


kematian ibu di Indonesia (ratarata dunia 13 persen). Kematian ini sebenarnya
dapat dicegah jika perempuan mempunyai akses terhadap informasi dan
pelayanan kontrasepsi serta perawatan terhadap komplikasi aborsi. Data dari
SDKI 2002–2003 menunjukkan bahwa 7,2 persen kelahiran tidak diinginkan.

Prevalensi pemakai alat kontrasepsi. Kontrasepsi modern memainkan


peran penting untuk menurunkan kehamilan yang tidak diinginkan. SDKI 2002–
2003 menunjukkan bahwa kebutuhan yang tak terpenuhi (unmet need) dalam
pemakaian kontrasepsi masih tinggi, yaitu sembilan persen dan tidak mengalami
banyak perubahan sejak 1997. Angka pemakaian kontrasepsi (Contraceptive
Prevalence Rate) di Indonesia naik dari 50,5 persen pada 1992 menjadi 54,2
persen pada 20026 (Gambar 2 dan Tabel 1). Untuk indikator yang sama, SDKI
2002–2003 menunjukkan angka 60.3 persen.

Pertolongan persalinan oleh petugas kesehatan terlatih. Pola penyebab


kematian di atas menunjukkan bahwa pelayanan obstetrik dan neonatal darurat
serta pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih menjadi sangat penting
dalam upaya penurunan kematian ibu. Walaupun sebagian besar perempuan
bersalin di rumah, tenaga terlatih dapat membantu mengenali kegawatan medis
dan membantu keluarga untuk mencari perawatan darurat. Proporsi persalinan
yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih terus meningkat dari 40,7 persen
pada 1992 menjadi 68,4 persen pada 2002. Akan tetapi, proporsi ini bervariasi
antarprovinsi dengan Sulawesi Tenggara sebagai yang terendah, yaitu 35 persen,
dan DKI Jakarta yang tertinggi, yaitu 96 persen, pada 2002 8 (Tabel 2 dan 3).
Proporsi ini juga berbeda cukup jauh mengikuti tingkat pendapatan. Pada ibu
dengan dengan pendapatan lebih tinggi, 89,2 persen kelahiran ditolong oleh
tenaga kesehatan, sementara pada golongan berpendapatan rendah hanya 21,39
persen. Hal ini menunjukkan tidak meratanya akses finansial terhadap pelayanan
kesehatan dan tidak meratanya distribusi tenaga terlatih terutama bidan.

Penyebab tidak langsung. Risiko kematian ibu dapat diperparah oleh


adanya anemia dan penyakit menular seperti malaria, tuberkulosis (TB), hepatitis,
dan HIV/AIDS. Pada 1995, misalnya, prevalensi anemia pada ibu hamil masih
sangat tinggi, yaitu 51 persen, dan pada ibu nifas 45 persen. 10 Anemia pada ibu
hamil mempuyai dampak kesehatan terhadap ibu dan anak dalam kandungan,
meningkatkan risiko keguguran, kelahiran prematur, bayi dengan berat lahir
rendah, serta sering menyebabkan kematian ibu dan bayi baru lahir. Faktor lain
yang berkontribusi adalah kekurangan energi kronik (KEK). Pada 2002, 17,6
persen wanita usia subur (WUS) men derita KEK. Tingkat sosial ekonomi, tingkat
pendidikan, faktor budaya, dan akses terhadap sarana kesehatan dan transportasi
juga berkontribusi secara tidak langsung terhadap kematian dan kesakitan ibu.
Situasi ini diidentifikasi sebagai “3 T” (terlambat). Yang pertama adalah terlambat
deteksi bahaya dini selama kehamilan, persalinan, dan nifas, serta dalam
mengambil keputusan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan ibu dan neonatal.
Kedua, terlambat merujuk ke fasilitas kesehatan karena kondisi geografis dan
sulitnya transportasi. Ketiga, terlambat mendapat pelayanan kesehatan yang
memadai di tempat rujukan.

4T (Terlambat)

1. Terlambat deteksi dini adanya resiko tinggi pada ibu hamil di tingkat
keluarga
2. Terlambat untuk memutuskan mencari pertolongan pada tenaga kesehatan
3. Terlabat untuk datang di fasilitas pelayanan kesehatan
4. Terlambat untuk mendapatkan pertolongan pelayanan kesehatan yang
cepat dan berkualitas di fasilitas pelayanan kesehatan
4T (Terlalu), yang mempunyai resiko tinggi:

1. Terlalu muda
2. Terlalu tua
3. Terlalu sering
4. Terlalu banyak

II. Cakupan Pertolongan Persalinan Oleh Bidan atau Tenaga Kesehatan


Salah satu faktor tingginya AKI di Indonesia adalah disebabkan karena
relatif masih rendahnya cakupan pertolongan oleh tenaga kesehatan. Departemen
Kesehatan menetapkan target 90 persen persalinan ditolong oleh tenaga medis
pada tahun 2010. Perbandingan dengan hasil survei SDKI bahwa persalinan yang
ditolong oleh tenaga medis profesional meningkat dari 66 persen dalam SDKI
2002-2003 menjadi 73 persen dalam SDKI 2007. Angka ini relatif rendah apabila
dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand di
mana angka pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan hampir mencapai 90%.
Apabila dilihat dari proyeksi angka pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
nampak bahwa ada pelencengan dari tahun 2004 dimana angka pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan dibawah dari angka proyeksi, apabila hal ini
tidak menjadi perhatian kita semua maka diperkirakan angka pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan sebesar 90 % pada tahun 2010 tidak akan
tercapai, konsekuensi lebih lanjut bisa berimbas pada resiko angka kematian ibu
meningkat. Kondisi geografis, persebaran penduduk dan sosial budaya merupakan
beberapa faktor penyebab rendahnya aksesibilitas terhadap tenaga pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan, dan tentunya disparitas antar daerah akan
berbeda satu sama lain.
BAB IV
ANALISA MASALAH, REALISASI KERJA DAN HASIL PELAKSANAAN
KEGIATAN DOKTER UMUM DI PUSKESMAS BASO KAB. AGAM

4.1 Analisa Masalah

berikut ini akan dilakukan pengelompokkan analisa masalah kesehatan ibu anak di
Puskesmas Baso :
Masalah :
1. Masih tinggi angka kejadian anemia pada ibu hamil di Wilayah Kerja
Puskesmas Baso, dimana pada tahun 2021 ditemukan 54 ibu hamil mengalami
anemia.
2. Kunjungan ibu hamil ke Puskesmas/Pustu/Polindes masih rendah
3. Belum optimalnya pemanfaatan kelas ibu hamil
Prioritas Masalah :
Kunjungan ibu hamil ke Puskesmas/Pustu/Polindes masih rendah
Analisa Masalah :
1. Masih banyaknya masyarakat yang lebih menyukai pergi ke praktek
swasta, karena di Puskesmas tidak terdapat USG
2. Masih ada ibu hamil yang tinggal tidak menetap
3. Masih ada ibu hamil dengan tingkat pengetahuan rendah
4. Pemantauan pada ibu hamil belum maksimal dilaksanakan
Alternatif Pemecahan Masalah :
1. Setiap kunjungan ibu hamil ke Ruang Pelayanan Ibu Puskesmas dilakukan
pemeriksaan USG pada TM 1 kali dan TM 3 1x.
2. Pelacakan ibu hamil k4
3. Kunjungan dokter ke kelas ibu hamil
4. Pendataan sasaran
5. Memberikan informasi kepada pasien bahwa di Poli Ibu bisa dilakukan
USG melalui kelas ibu hamil
6. Memberikan sosialisasi/pelatihan kepada bidan desa serta kader

4.2. Realisasi Kerja

Kegiatan Promotif :
a. Melakukan penyuluhan pada ibu hamil yang berkunjung di kelas ibu
hamil
b. Memberikan pelatihan kepada bidan Pembina wilayah
c. Melakukan pelatihan kepada kader

Gambar 2 Kegiatan Kelas Ibu Hamil


Gambar 3 Melakukan pelatihan kepada kader

Gambar 4.Pemberian pelatihan kepada Bidan Pembina wilayah

Kegiatan Preventif :
1. Melakukan pemeriksaan USG pada Ibu Hamil di TM 1 1 kali dan TM 3 1
kali untuk deteksi faktor risiko yang ada pada ibu hamil.
2. Melakukan skrining dan penyuluhan pada pasangan catin
Gambar 5. Pemeriksaan USG pada ibu hamil

Kegiatan Kuratif :
1. Melakukan pemberian obat sesuai gejalanya
2. Melakukan rujukan ke FKTRL untuk kasus bumil resti
4.3. Hasil Pelaksanaan Kegiatan
Pelaksanaan USG di ruang pelayanan ibu efektif dilakukan sejak bulan Januari 2022.
No. Bulan Jumlah
1 Januari 115
2 Februari 97
3 Maret 98
4 April 97
5 Mei 109
6 Juni 141
Tabel 2.Jumlah Kunjungan ke Ruang Pelayanan Ibu
Terdapat kecenderungan peningkatan kunjungan ke ruang pelayanan ibu dalam 3 bulan terakhir.
Hasil pencapaian K1 di puskesmas Baso hingga bulan April pada tahun 2022 :

Gambar 6 Grafik K1

K4 adalah cakupan ibu hamil yang memperoleh pelayanan antental sesuai standar,
2 kali pada trimester III disuatu wilayah dalam kurun waktu tertentu.

Berikut adalah hasil pencapaian K4 di puskesmas Baso hingga bulan April pada
tahun 2022 :

Gambar 7 Grafik K4

K6 adalah cakupan ibu hamil yang memperoleh pelayanan antental sesuai standar,
minimal 6 kali selama hamil. Berikut adalah hasil pencapaian K6 di puskesmas
Baso hingga bulan April pada tahun 2022 :
Gambar 8. Grafik K6

Dari grafik K1,K4, dan K6 untuk Puskesmas Baso masih belum memenuhi target.

Jumlah ibu hamil dengan risiko tinggi yang terdata tahun 2021 :

Tabel 3. Jumlah ibu hamil dengan risiko tinggi yang terdata tahun 2021

Bulan Jumlah

Januari 2

Februari 2

Maret 0

April 2

Mei 0

Juni 1

Juli 3
Agustus 2

September 0

Oktober 2

November 2

Desember 1

Jumlah 15

Data ibu hamil dengan risiko tinggi yang terdata tahun 2022 :

Table 4. Jumlah ibu hamil dengan risiko tinggi yang terdata tahun 2022

Bulan Jumlah

Januari 4

Februari 4

Maret 2

April 0

Mei 3

Juni 3

Jumlah 16

Terjadi peningkatan deteksi risiko pada ibu hamil dibanding tahun 2021.

Anda mungkin juga menyukai