Anda di halaman 1dari 1

Slogan 'Hubbul Wathan minal Iman' (cinta tanah air atau nasionalisme bagian dari iman) kian menggema

manakala lagu ya ahlal wathan semakin marak disenandungkan. Bukan hanya di acara-acara resmi
Nahdlatul Ulama, lagu ini juga merambah ke berbagai kalangan, termasuk saudara-saudara Nasrani.
Jargon ini muncul guna membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajah
dan menegakkan kemerdekaan negeri. Dewasa ini, jargon tersebut menggema guna menjaga keutuhan
negeri. Namun, ada upaya delegitimasi dengan membuat anggapan kalimat tersebut sebagai sebuah hadits
palsu. Hal itu demi memuluskan keinginannya untuk menegakkan khilafah di negara yang sudah
berdaulat ini. "Bagi saudara kita yang bercita-cita menegakkan khilafah pasti menganggap nasionalisme
sebagai salah satu penghalang. Makanya mereka menolak apapun yang berkaitan dengan nasionalisme,
termasuk slogan Hubbul Wathan minal Iman," tulis KH Ma'ruf Khozin, Direktur Aswaja Center Pengurus
Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, pada akun Facebooknya, sebagaimana dikutip NU
Online pada Jumat (24/6/2022). Baca Juga: Hubbul Wathan Minal Iman Urgen Diterapkan dalam
Pendidikan Upaya delegitimasi itu dilakukan dengan mengutip berbagai teks kitab takhrij hadits yang
semuanya menyatakan bahwa kaul itu bukan sebuah hadits. Menurutnya, hal tersebut justru menunjukkan
ketidakjujuran, yakni ketika mengutip dari kitab Al-Maqashid Al-Hasanah karya Al-Hafidz Muhammad
Abdurrahman As-Sakhawi. Penulis kitab tersebut, lanjut Kiai Ma'ruf, malah membenarkan kandungan
makna slogan tersebut. "'Cinta tanah air adalah bagian dari iman'. Saya tidak menemukan sebagai hadits,
tapi maknanya sudah benar," tulis Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur itu.
Baca Juga: Hubbul Wathan Minal Iman, Fondasi Kokoh Keislaman dan Keindonesiaan Para kiai sejak
mula juga menegaskan bahwa kalimat itu bukanlah sebuah hadits. "Terlalu maklum kalau slogan itu
bukan hadits. Para pimpinan di NU berkali-kali sudah menyampaikan bahwa Hubbul Wathan minal Iman
bukan hadits," katanya. Meskipun bukan hadits, Kiai Ma'ruf Khozin menjelaskan bahwa cinta tanah air
merupakan saripati dari doa Nabi dalam hadits sahih. Saat Nabi dan para Sahabat hijrah ke Madinah,
ternyata Kota Yatsrib itu banyak wabah penyakit. Sayyidina Abu Bakar mengeluh, Bilal juga berkeluh,
dan sahabat Nabi lainnya demikian. Mendengar hal itu, Nabi Muhammad saw berdoa agar dapat
mencintai Madinah sebagai kota di mana bumi dipijak dan langit dijunjung. Berikut doanya.
 )‫اللَّهُ َّم َحبِّبْ ِإلَ ْينَا ْال َم ِدينَةَ َك ُحبِّنَا َم َّكةَ َأوْ َأ َش َّد (رواه البخارى‬
“Ya Allah, jadikan kami cinta Madinah, sebagaimana cinta kami kepada Makkah, atau melebihi Makkah”
(HR al-Bukhari) Baca Juga: Ketua Majelis Dzikir Hubbul Wathan: Nabi Muhammad Ajarkan
Kebangsaan Dari doa itu, tampak betapa Rasulullah menjalani kehidupan selalu mencintai negerinya. Hal
ini juga sama dengan istinbath hukum yang dilakukan oleh ulama ahli hadits dari Sahabat Anas, bahwa
Rasulullah mempercepat laju untanya manakala rumah di Madinah sudah tampak di pandangannya. Tidak
lain hal itu karena cintanya kepada kota tersebut. "Jika Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam tiba dari
perjalanan dan melihat rumah-rumah Madinah maka Nabi mempercepat kendaraan dengan menggerakkan
untanya karena kecintaan Nabi kepada Madinah," tulis Kiai Ma'ruf menerjemahkan sebuah hadits riwayat
Imam Bukhari Nomor 1803. Mengutip, Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, ia menjelaskan bahwa
hadits tersebut menunjukkan tentang keutamaan Kota Madinah dan disyariatkannya cinta tanah air serta
rindu terhadap negeri. Meskipun demikian, ada saja yang menyatakan tidak ada hubungan antara cinta
tanah air dan keimanan seseorang. Kecintaan terhadap negeri itu dapat diaktualisasikan dengan
silaturahim dan berlaku baik terhadap penduduknya. "Negeri tersebut adalah negeri yang telah diketahui,
dengan syarat kecintaan pada negeri tersebut untuk bisa bersilaturahim, atau berbuat baik kepada
penduduk negerinya, orang fakir dan anak yatimnya," pungkasnya dengan mengutip pandangan Syekh
Al-Ajluni dalam kitab Kasyf Al Khafa'.

Anda mungkin juga menyukai