Anda di halaman 1dari 3

Ma’asyiral muslimin hafidhakumullah,

Dalam kesempatan yang mulia, kita bersama-sama meningkatkan takwa kita kepada Allah dengan
senantiasa melaksanakan segala perintahnya dan berusaha secara maksimal meninggalkan segala
laranganNya. Dengan bekal taqwa inilah, semoga kelak kita menjadi penghuni surga, amin ya rabbal
‘alamin. Kemuliaan bulan Dzulhijjah sebagaimana dijelaskan oleh Al ‘Allamah Syaikh Abdul Hamid dalam
kitab Kanzun Najah was Surur karena di dalamnya terdapat kewajiban haji (rukun Islam). Dalam bulan
Dzulhijjah, semua doa akan dikabulkan oleh Allah. Maka Allah mengabadikan kemulian sepuluh hari
Dzulhijjah dalam Al Qur’an:

Artinya: “Demi fajar. Dan malam yang sepuluh.” (QS. Al Fajr: 1-2)

Ulama berbeda pendapat dalam memaknai ayat ini: Malam yang sepuluh itu ialah malam sepuluh
terakhir dari bulan Ramadhan. Dan adapula yang mengatakan sepuluh yang pertama dari bulan
Muharram,termasuk di dalamnya hari ‘Asyura. Sedangkan Imam Suyuthi mengatakan bahwa malam
sepuluh itu ialah sepuluh malam pertama bulan Dzulhijjah.

Pendapat mengenai sepuluh malam Dzulhijjah dalam Surat Al Fajr ditegaskan pula oleh Syaikh
Muhammad bin Nashiruddin Addimasyqi Asy Syafi’i: “Ayat walayalin ‘aysr menggunakan kalimat nakirah
(umum) karena malam-malam itu adalah paling utamanya malam dalam setahun. Maka pendapat
bahwa itu sepuluh malam Dzulhijjah sangat sohih dan masyhur. Para ulama menjelaskan bahwa fajar itu
adalah fajar hari Arafah dan yang dimaksud malam sepuluh adalah sepuluh malam Dzulhijjah.”
Ma’asyiral muslimin hafidhakumullah, Salah satu pesan penting yang dapat kita ambil dari peristiwa ‘Idul
Adha ini adalah mengenai khutbah Rasulullah Muhammad ‫ ﷺ‬saat berkhutbah di depan para
shahabatnya. Dalam kitab Khutubatun Nabi Rasulillah disampaikan bahwasanya Nabi Muhammad ‫ﷺ‬
bersabda:
Artinya: Hadits dari Ibnu Abbas RA, sesungguhnya Rasulullah ‫ ﷺ‬berkhutbah kepada para umatnya pada
hari ‘Idul Qurban. Nabi bersabda: “Wahai para manusia, hari apakah ini? Mereka menjawab: Ini ini
haram. Wahai para manusia, negara apakah ini? Mereka menjawab: Ini negara haram.Wahai para
manusia, bulan apakah ini? Mereka menjawab: Ini bulan haram.” Nabi Muhammad bersabda lagi:
“Sesungguhnya darahmu, hartamu dan anggota tubuhmu itu haram sebagaimana keharaman hari ini, di
negara ini dan bulan ini. (HR Imam Bukhari)

Kalimat Rasulullah dalam khutbah itu diulang-ulang dan dilanjutkan dengan doa dan penegasan bahwa
khutbah itu sebagai wasiyat pada umatnya. Bahkan Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬menegaskan bahwa sudah
tidak ada lagi pertumpahan darah antara umat Islam dengan kaum kafir setelah hari ‘Idul Qurban itu.

Dari hadits tersebut di atas, sebagai umat Islam yang merasakan nikmatnya hidup di Indonesia dapat
mengambil tiga pesan Rasulullah dimaksud:

Pertama, seorang pemimpin umat Islam harus berkomunikasi dan selalu membimbing umatnya. Salah
satu cara komunikasi itu yakni dengan mengingatkan betapa pentingnya hari dan bulan yang mulia dan
diharamkan oleh Allah. Memperingati hari dan bulan haram adalah dengan melaksanakan sunnah
Rasulullah: berpuasa, bertaqarrub dan beramal sosial secara istiqamah. Dan di bulan haram, tidak
diperbolehkan perang (beradu fisik dan menebar fitnah)

Kedua, di dalam sebuah kemulian ada tempat hidup yang selalu digunakan untuk beribadah, Nabi
menyebutnya dengan kata balad. Kata balad dalam Kamus Al Munawwir karya KH Ahmad Warson
Munawwir yang telah dikoreksi KH Ali Ma’shum dan KH Zainal Abidin Munawwir bermakna: daerah,
negeri, desa, kampung, tanah air. Jika Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬menyebut kata balad dalam khutbah ‘idul
adha, maka perlu kita ambil hikmah bahwa betapa cintanya Nabi Muhammad kepada tanah airnya
sesuai dengan firman Allah:

Artinya: “Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al Quran, benar-benar


akan mengembalikan kamu ke tempat kembali (Makkah). Katakanlah: “Tuhanku mengetahui orang yang
membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Al Qashah: 85)

Dan ketiga, betapa pentingnya menjadikan Islam sebagai agama yang mendorong lahirnya perdamaian,
bukan agama kekerasan penuh peperangan. Sejarah perintah berqurban kepada Nabi Ibrahim yang
diminta menyembelih putranya (Nabi Ismail) dan kemudian diganti domba adalah sebuah bukti bahwa
Islam sangat melindungi hak asasi manusia dan cinta perdamaian.

Al Qur’an mencatat sejarah ini sebagai bentuk penyempurnaan manusia berbakti pada Allah Surat As
Shaffat ayat 102:

Syaikh Utsman bin Hasan Al Khaubawi dalam kitab Durratun Nashihin memberikan penjelasan bahwa
perjalanan Nabi Ibrahim dari negeri Syam hingga Makkah dalam mengikuti perintah Allah diabadikan
dalam rangkaian ibadah sunnah puasa Tarwiyah (yataraw, memikirkan diri atas mimpi menyembelih
anaknya) dan puasa Arafah (‘arafa, tahu dan yakin bahwa mimpi itu dari Allah). Arafah juga menjadi
tempat puncak ibadah haji. Dan kemudian hari kesepuluh Dzulhijjah menjadi penyembelihan (nahr).
Ma’asyiral muslimin hafidhakumullah, Rasa syukur Nabi Ibrahim atas tidak jadinya menyembelih
putranya, diganti dengan menyembelih 1.000 kambing, 300 lembu dan 100 unta demi taat kepada Allah.
Jelas sekali bahwa qurban ini menjadi ibadah sosial yang sangat mengangkat derajat para peternak
hewan dan menjadi bukti emansipasi kepada kaum dlu’afa yang menerima manfaat pembagian daging
qurban.
Di penghujung khutbah ini perlu ditegaskan kembali pentingnya umat Islam memuliakan agama dengan
cara mengikuti seluruh perintah Allah. Umat Islam yang sudah kaya harta, diwajibkan untuk haji ke
baitullah. Termasuk disunnahkan melaksakanakan qurban. Allah berfirman:

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.Maka dirikanlah shalat
karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu Dialah yang
terputus.” (QS. Al Kautsar: 1-3)
Hal terpenting lainnya adalah tentang memanusiakan bangsa dengan cara yang tepat mencintai tanah
air (hubbul wathan). Kita tahu bahwa Makkah yang disanjung oleh Nabi Muhammad sebagai titik sejarah
peradaban. Bahkan di sekeliling Ka’bah (antara hajar aswad, makam Ibrahim dan sumur Zamzam) ada
makam Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Syu’aib, Nabi Shalih dan 99 Nabi lainnya (kitab Manasik Hajikarya
Syaikh Shalih bin Umar Assamarani).

Dengan cara Nabi mencintai Makkah dan Madinah, maka kita pun bangsa Indonesia juga sangat perlu
mencintai negeri tanah air ini dengan menjadikan negeri yang damai, baldatun thayyibatun wa rabbun
ghafur. Nabi Muhammad menyempurnakan syariat Islam dengan kesempurnaan iman melalui cinta
tanah air. Termasuk di usia 30 tahun, Nabi Muhammad berhasil menyatukan Makkah dengan peletakan
hajar aswad di samping pintu Ka’bah. Ma’asyiral muslimin hafidhakumullah,

Demikian khutbah singkat ini kami sampaikan. Dengan semangat ‘Idul Adha, mari kita tetap teguhkan
bahwa agama Islam yang kita anut menjadi Islam rahmatan lil ‘alamin, agama penebar kasih sayang. Dan
mari kita isi, hari demi hari hidup di Indonesia dengan teguh memegang ajaran agama Islam dan cinta
tanah air dalam rangka menyempurnakan keimanan kita.

Anda mungkin juga menyukai