Anda di halaman 1dari 5

Nama: Miranthy Cinthya Rachman

NPM: 1906302195
Mata Kuliah: MPK Agama Islam
Fakultas: Teknik
Kelas: MPK AI 11
Fasilitator: Muhammad Yusuf, S.Pd, M.Si.

Dimensi Sosial dan Budaya Islam


A. Makna Persatuan
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti persatuan adalah gabungan yang terdiri
atas bagian yang telah bersatu. Secara etimologi atau cabang ilmu bahasa yang menyelidiki
asal-usul kata serta perubahan dalam bentuk dan makna, persatuan dalam bahasa Arabnya
disebut dengan kata ittihad, berarti ikatan. Sedang menurut terminologi atau istilah
diartikan sebagai bentuk kecenderungan manusia yang diwujudkan dalam bentuk kegiatan
melakukan pengelompokan sesama manusia menurut ikatan tertentu untuk mencapai
tujuan.
Persatuan menyatukan berbagai macam perbedaan, seperti perbedaan agama, suku
bangsa, bahasa daerah, adat istiadat, dan sebagainya dalam suatu wadah. Al-Qur’an
memerintahkan persatuan dan kesatuan, karena pada hakikatnya manusia adalah umat
yang satu. Arti umat adalah kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, baik persamaan
tempat, wilayah, waktu, bahasa, agama, atau mungkin satu keturunan (Mujilan:2019:hlm
249). Dalam Q.S. 21(Al-Anbiya’):92 Allah berfirman:

ِ ‫اِنَّ ٰهذِهَّ اُمت ُ ُكمَّ اُمةَّ و‬


َّ‫احدَةَّ واَنَاَّ َربُّ ُكمَّ فَاعبُدُو ِن‬
Artinya: “Sungguh, (agama tauhid) inilah agama kamu, agama yang satu, dan Aku
adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.”
Walaupun al-Qur’an mengakui adanya kelompok, suku, dan sebagainya, namun al-
Qur’an juga mengisyaratkan bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan sifat dapat
digabungkan dalam satu wadah (Mujilan:2019:hlm 250).
Bersatunya Kaum Muhajirin dan Kaum Anshar
Secara umum, Islam menyatakan seluruh kaum muslimin adalah bersaudara
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Azza wa Jalla Q.S. 49 (Al-Hujurat):10, yang
artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Konsekuensi dari
persaudaraan itu, maka Islam mewajibkan kepada umatnya untuk saling tolong-menolong
dalam al-haq. Persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar yang deklarasikan
Rasulullahَّ Shallallahuَّ ‘alaihiَّ waَّ salam memiliki konsekuensi lebih khusus bila
dibandingkan dengan persaudaraan yang bersifat umum.
Sebagaimana diketahui, saat kaum Muhajirin berhijrah ke Madinah tidak membawa
seluruh harta. Sebagian besar harta mereka ditinggal di Makkah, padahal mereka akan
menetap di Madinah. Ini jelas menjadi problem bagi mereka di tempat yang baru. Terlebih
lagi, kondisi Madinah yang subur sangat berbeda dengan kondisi Makkah yang gersang.
Keahlian mereka berdagang di Makkah berbeda dengan mayoritas penduduk Madinah
yang bertani. Tak pelak, perbedaan kebiasaan ini menimbulkan permasalahan baru bagi
kaum Muhajirin, baik menyangkut ekonomi, sosial kemasyarakatan, dan juga kesehatan.
Mereka harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Sementara itu, pada saat yang sama
harus mencari penghidupan, padahal kaum Muhajirin tidak memiliki modal. Demikian
problem yang dihadapi kaum Muhajirin di daerah baru.
Melihat kondisi kaum Muhajirin, dengan landasan kekuatan persaudaraan, maka kaum
Anshar tak membiarkan saudaranya dalam kesusahan. Kaum Anshar dengan
pengorbanannya secara total dan sepenuh hati membantu mengentaskan kesusahan yang
dihadapi kaum Muhajirin. Pengorbanan kaum Anshar yang mengagumkan ini diabadikan
di dalam Q.S 59 (Al-Hasyr): 9, Allah berfirman:
َّ‫صدُو ِره َِّم َحا َجةَّ ِ ِّمما‬ ُ ٰۤ َّ‫ن فِي‬ َّ َ ‫ن َمنَّ هَا َج ََّر اِلَي ِهمَّ َو‬
ََّ ‫ْل يَ ِجدُو‬ ََّ ‫ان ِمنَّ قَب ِل ِهمَّ ي ُِحبُّو‬
ََّ ‫اْلي َم‬
ِ ‫ار َو‬ ََّ ‫ن تَبَو ُءو الد‬ ََّ ‫َوالذِي‬
ٰ ُ
ََّ ‫شحَّ نَفسِهَّ فَاول ِٕى‬
ََّ‫ك ُه َُّم ال ُمف ِل ُحون‬ ُ ‫ق‬ ََّ ‫صةََّّۗ َو َمنَّ يُّو‬َ ‫صا‬ َ ‫َان بِ ِهمَّ َخ‬ َ
ََّ ‫على اَنفُ ِس ِهمَّ َولوَّ ك‬ ٰ َ ‫ن‬ ََّ ‫اُوتُوا َويُؤثِ ُرو‬
Artinya : “Dan orang-orang (Ansar) yang telah menempati kota Madinah dan telah
beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang
berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka
terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan
(Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang
dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Bagaimanapun pengorbanan dan keikhlasan kaum Anshar membantu saudaranya,


namun permasalahan kaum Muhajirin ini tetap harus mendapatkan penyelesaian, agar
mereka tidak merasa sebagai benalu bagi kaum Anshar. Disinilah tampak nyata pandangan
Rasulullahَّ Shallallahuَّ ‘alaihiَّ waَّ salam yang cerdas dan bijaksana. Beliau Shallallahu
‘alaihiَّ waَّ salam kemudian mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dengan kaum
Anshar.
B. Makna Kerukunan
Secara etimologi atau cabang ilmu bahasa yang menyelidiki asal-usul kata serta
perubahan dalam bentuk dan makna, kerukunan berasal dari bahasa Arab dari kata ruknun
jamaknya arkan yang berarti: “Asasَّ atauَّ dasar”. Kerukunan hidup umat beragama,
mengandung arti hidup rukun walaupun antar maupun intern umat beragama. Menurut
Yustiani, kerukunan umat beragama adalah terciptanya suatu hubungan yang harmonis
dan dinamis serta rukun dan damai di antara sesama umat beragama di Indonesia”.َّ
Adapun dalam konsep Islam, kerukunan diberi istilah tasamuh (toleransi) yang berarti
kerukunan sosial kemasyarakatan. Dalam tinjauan Mawardi dan Marmiati menyebutkan
bahwa:َّ “Kerukunanَّ adalahَّ suatuَّ bentukَّ akomodasiَّ yang tidak membutuhkan
penyelesaian dari pihak lain karena kedua belah pihak saling menyadari dan
mengharapkan situasi yang kondusif dalam kehidupan bermasyarakat”.
Kerukunan umat beragama dibagi menjadi dua macam yaitu kerukunan internal umat
Islam dan kerukunan antar umat beragama. Kerukunan internal umat Islam di Indonesia
harus berdasarkan atas semangat ukhuwah islamiah yang tinggal di Negara Kesatuan
Republik Indonesia, sesuai dengan firman Allah dalam QS.49:10, bahwa kesatuan dan
persatuan umat Islam diikat oleh kesamaan akidah, akhlak, dan sikap beragamnya
berdasarkan atas Alquran dan hadis. Adanya perbedaan pendapat di antara umat Islam
adalah rahmat, asalkan perbedaan pendapat tersebut tidak membawa kepada perpecahan
dan permusuhan.
Suatu hal yang wajar terhadap adanya perbedaan pendapat yang disebabkan masalah
politik yang selanjutnya melahirkan sejumlah partai Islam sehingga menjadikan Islam
sebagai asas politik. Adapun kerukunan antar umat beragama, kerukunan umat Islam
dengan penganut agama lain di Indonesia didasarkan atas falsafah Pancasila dan UUD
1945 di mana larangan toleransi terhadap agama apabila masalah tersebut menyangkut
denganَّpersoalanَّakidahَّdanَّ‘ibadah,َّsesuaiَّdenganَّfirmanَّAllahَّdalam QS.109:6, yang
artinya bagimu agama-mu dan bagiku agama-ku. Munculnya berbagai agama merupakan
ujian dari Allah kepada hamba-Nya yang mau berpikir, mencari, mempertimbangkan
sebuah kebenaran hakiki seperti yang terdapat dalam ajaran tauhid sebagaimana telah
disampaikan oleh nabi-nabi terdahulu sebelum Nabi Muhammad Saw yaitu kalimat la
ilaha illa Allah. Dalam Islam juga tidak terlepas oleh adanya penyebaran misi seperti
agama-agama lain yang mempunyai kebenaran eksklusif dan mewajibkan umatnya untuk
menyampaikan pesan-pesanَّ Islamَّ (ballighuَّ ‘aniَّ walauَّ ayah)َّ denganَّ caraَّ berdakwah
terhadap amar ma’rufَّ nahiَّ munkar, akan tetapi dalam dakwah tersebut tidak harus
melibatkan sikap pemaksaan. Dakwah adalah mengajak orang lain menuju kepada sebuah
kebenaran.
Implementasi Kerukunan Beragama ala Rasulullah
Sejak Rasulullah memperkenalkan Islam pertama kali di tanah Arab, wajah Islam yang
toleran dan cinta damailah yang diperkenalkan oleh Nabi kepada umatnya. Islam sudah
memiliki pengalaman untuk membangun harmonisasi kehidupan antar penganut agama.
Di tengah-tengah pluralitas keberagamaan, Nabi Muhammad Saw tidak menghalangi
untuk mengembangkan sikap-sikap toleransi antar pemeluk agama atau kepercayaan yang
berbeda. Bahkan, Nabi Muhammad Saw salah seorang figur yang menjadi suri teladan
yang sangat menginspirasi para pengikutnya dalam hal toleransi antara agama, antar umat
beragama, juga antar agama dan keyakinan yang berbeda.
Sikap sinkritisme dalam agama yang menganggap bahwa semua agama adalah benar
tidak sesuai dan tidak relevan dengan keimanan seseorang muslim dan tidak relevan
dengan pemikiran yang logis, meskipun dalam pergaulan sosial dan kemasyarakatan Islam
sangat menekankan prinsip toleransi atau kerukunan antar umat beragama. Sejarah juga
mencatat bahwa, ketika pasukan muslim melakukan ekspansi wilayah ke Bizantium
Kristen, kaum muslimin mempertahankan apa yang diajarkan oleh Alquran dan yang telah
dicontohkan oleh Rasulullah. Ketika ekspansi tersebut berhasil dengan takluknya kota
Yarussalem, Umar bin Khattab (khalifah) menerima kunci kota langsung dari uskup agung
dilanjutkan dengan membacakan pengumuman penandatanganan surat perjanjian. Adapun
isi dari surat perjanjian tersebut menurut Asep dalam bukunya dijelaskan sebagai berikut:
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Perjanjian ini diberikan
olehَّ Umar,َّ hambaَّ Allahَّ danَّ Amirَّ alَّ mu’minin,َّ kepadaَّ penduduk Aelia. Dia (Umar)
menjamin keamanan jiwa dan harta mereka, menjaga gereja-gereja dan salib-salib mereka,
serta menjaga para penganut agama Kristen. Gereja mereka tidak akan dijarah ataupun
dihancurkan, atau harta benda tidak akan dikurangi dalam bentuk apa pun, mereka tidak
akan dipaksa dalam bentuk apa pun kaitan dengan agama mereka, dan mereka haruslah
terpelihara dari bahaya (Syaefullah: 2007: hlm 144).
Dari catatan peristiwa tersebut, hal yang sama telah dicontohkan oleh Rasulullah
tentang dialog dan sikap saling menghargai antar agama. Hamid dalam tulisannya
menjelaskan bahwa:
“Ketika Nabi mengadakan dialog di Masjid Nabawi dengan utusan dari Bani Najran yang
beragama Kristen. Utusan tersebut berjumlah lima belas orang di bawah pimpinan Abu al-
Harits. Sebelum dialog dimulai, Rasulullah mengizinkan mereka melaksanakan rangkaian
ibadah mereka di salah satu bagian Masjid Nabawi. (Hamid: 2004: hlm 76)”
Selanjutnya, Baidhawy dalam tulisannya juga menceritakan peristiwa yang berbeda
dengan pemahaman yang hampir sama, Baidhawy menyebutkan bahwa: Suatu ketika
Rasulullah bersama para sahabat sedang berdiskusi tentang keberadaan Allah. Secara tiba-
tiba datang seorang Badui ke tengah-tengah mereka,َّlaluَّberkata:َّ“TuhanَّAllah,َّmenurutَّ
pendapatkuَّberadaَّdiَّatasَّsana”. Umar bin Khattab marah mendengar perkataan Badui
tersebut seraya mencabut pedang hendak membunuhnya. Rasulullah melarang tindakan
Umar seraya berkata:َّ“Janganَّkauَّbunuh,َّbiarkanَّdia,َّpendapatnyaَّtidakَّsalahَّkarenaَّbaru
tahap itulah pemahamannya tentang keberadaan Allah (Baidhawi: 2005: hlm 48).
Pada kesempatan lain, Sahabat Umar r.a melarang muslim shalat di gereja dengan
harapan suatu saat tidak ada muslim yang mengklaim bahwa gereja menjadi masjid secara
sewenang-wenang. Melihat beberapa pengalaman sejarah Nabi serta para sahabat, sudah
sepantasnya kita meneladani guna terwujudnya masyarakat yang cinta damai. Adanya
perbedaan tidak seharusnya dipandang sebagai ancaman, melainkan sebagai potensi dalam
membangun kehidupan kebangsaan yang jauh lebih baik

DAFTAR PUSTAKA
Baidhawi, Zakiyuddin. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta: Erlangga,
2005.
Departemen Agama Republik Indonesia. Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan
Kerukunan Hidup Umat Beragama. Jakarta: Depag RI, 2003.
Hamid, Zaqzud Mahmud. Reposisi Islam di Era Globalisasi. Yogyakarta: LKiS Pelangi
Aksara, 2004.
Mawardi, M. (2015). Reaktualisasi Kerukunan Antar Umat Beragama Dalam Kemajemukan
Sosial. Subtantia, 17(1).
Mawardi, Marmiati. Pembinaan Kerukunan Umat Beragama Di Daerah Transmigrasi
Palingkau Asri, (Jurnal Analisa, Vol. XV, No 02 Mei – Agustus, 2008), 94.
Mujilan. et al., Buku Ajar Matakuliah Pengembangan Kepribadian Agama Islam Membangun
Pribadi Muslim Moderat (Jakarta: Midada Rahma Press, 2019)
Syaefullah, Asep. Merukunkan Umat Beragama, Studi Pemikiran Tarmizi Taher Tentang
Kerukunan Umat Beragama. Jakarta Selatan: Grafindo Khasanah Ilmu, 2007.
Yustiani, Kerukunan Antar Umat Beragama Kristen dan Islam di Soe, Nusa Tenggara Timur,
(Jurnal Analisa, Vol. XV. No. 02, Edisi: Mei-Agustus 2008), 72.

Anda mungkin juga menyukai