Dahulu kala, pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al Rasyid, hiduplah di
kota Baghdad seorang nelayan yang sangat miskin sehingga tidak mampu menikahi seorang wanita pun. Dia bernama Khalifah. Pada suatu pagi dia menyampirkan jala di punggung dan pergi ke sungai, sebelum nelayan lain tiba. Ketika sampai di tepi sungai, dia menyingsingkan lengan baju dan menyelipkan jubah ke dalam ikat pinggangnya; lalu ia membentangkan jala dan melemparkannya ke dalam air. Khalifah menebarkan jala sepuluh kali, namun tidak menangkap seekor ikan pun. Dalam keputusasaan ia melemparkan diri ke tepi sungai, berteriak, “Allah Maha Kuasa lagi Maha Menolong! Dia memberikan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki, dan menutup jalannya kepada siapa yang Dia kehendaki.” Kemudian Khalifah berpikir, “Dengan keyakinan kepada Allah, akan kutebarkan jalaku sekali lagi.” Sambil berkata demikian, dia bangkit dan, mengarungi air setinggi lutut, melemparkan jala sejauh yang lengannya mampu. Dia menunggu lama, kemudian menarik talinya dengan kuat. Tetapi ketika akhirnya dia berhasil, dengan susah payah menarik jala yang berat itu ke darat, Khalifah terkejut karena di dalamnya seekor kera pincang bermata satu. Namun, keterkejutannya segera berubah menjadi kemarahan. Khalifah mengikat kera itu ke sebatang pohon di tepi sungai, dan akan mencambuknya jika Allah tidak membuat kera itu berbicara dengan fasih. “Tahan tanganmu, Khalifah,” kata kera, “dan jangan cambuk aku. Biarkan aku terikat di sini ke pohon ini dan tebarkan jalamu lagi. Allah akan berikan semua yang kauinginkan.” Mendengar kata-kata kera, nelayan itu sekali lagi menebarkan jala dan melemparkannya ke dalam air. Tak lama kemudian terasa jala itu bertambah berat; tetapi ketika Khalifah berhasil membawanya ke darat, di dalamnya ada kera lain dengan penampilan yang lebih aneh lagi. Kelopak matanya digelapkan dengan pensil, tangannya diwarnai dengan pacar, perut sampai pinggangnya dibungkus kain compang-camping. Gigi depannya, bercelah lebar, berkilau saat dia menatap nelayan itu dengan seringai canggung. “Segala puji bagi Allah yang telah mengubah ikan-ikan di sungai menjadi kera!” seru Khalifah terkesima. Kemudian, berlari ke arah binatang pertama, dia berteriak, “Lihatlah buah nasihatmu, monster pembawa sial! Aku memulai hari dengan melihat cacatmu dan akhirnya pasti aku kelaparan lalu binasa.” Dia mengangkat cambuk tinggi-tinggi di atas kepala dan sekali lagi akan melayangkannya pada kera bermata satu, ketika binatang itu memohon belas kasihan, memekik, “Lepaskan aku, Khalifah, demi Allah! Pergilah pada saudaraku: dia akan memberimu nasihat yang bagus.” Nelayan yang kebingungan itu melemparkan cambuknya dan menoleh pada kera kedua, yang berkata, “Jika kau mematuhi nasihatku dan melakukan perintahku, Khalifah, kau akan berhasil.” “Apa yang harus kulakukan?” tanya nelayan itu. “Tinggalkan aku di bantaran ini,” kata kera kedua, “dan lagi lemparkan jalamu.” Khalifah menebarkan jala lagi dan melemparkannya ke dalam air. Dia menunggu dengan sabar dan, ketika jala itu bertambah berat, dia perlahan- lahan menariknya, yang ternyata berisi kera lagi. Bulunya merah, kelopak matanya panjang dirias dengan pensil, tangan dan kakinya diwarnai dengan pacar, perut sampai pinggangnya dilapisi kain warna biru. “Maha Suci Allah, Raja Semesta Alam!” seru Khalifah ketika melihat kera ketiga. “Betapa hari ini penuh berkah! Diawali dengan monyet yang menyeramkan; dan jika isi suatu naskah dapat ditebak dari judulnya, ini pasti hari kera! Tidak satu ikan pun yang tersisa di sungai dan kita tidak akan menangkap apa pun hari ini selain kera!” Kemudian, berbalik pada binatang berbulu merah itu, dia berteriak, “Demi surga, siapa kau?” “Apakah kau tidak mengenalku, Khalifah?” jawab kera. “Tidak, sungguh,” protes si nelayan. “Ketahuilah, kalau begitu,” kata binatang itu, “aku adalah kera milik Abu Sa”adah si Yahudi, kepala penukar uang. Padaku dia berutang nasib baik dan semua kekayaannya. Saat menyapaku di pagi hari, dia mendapatkan lima keping emas, dan saat mengucapkan selamat malam kepadaku, dia mendapatkan lima keping emas lagi.” “Dengar itu,” kata Khalifah, menoleh pada kera pertama. “Kau tidak bisa bicara sebebas itu: melihat wajah kaumu pagi ini sungguh mendatangkan nasib buruk!” “Jangan ganggu saudaraku, Khalifah,” kata kera berbulu merah, “dan tebarkan jalamu sekali lagi ke sungai. Kemudian kembali dan tunjukkan tangkapanmu. Akan kuterangkan cara memanfaatkannya demi keuntunganmu.” “Baiklah, Raja Kera!” jawab si nelayan. Khalifah melakukan apa yang diperintahkan kera itu, dan ketika menarik jalanya, dia bersukacita menemukan seekor ikan yang menakjubkan dengan kepala besar, sirip lebar, dan mata yang berkilauan seperti uang logam emas. Mengagumi keanehan hasil tangkapan itu, dia membawanya pada kera berbulu merah dan menunjukkannya. “Sekarang kumpulkan rumput segar,” kata binatang itu, “sebarkan di bagian bawah keranjangmu: taruh ikan di situ dan tutupi dengan lebih banyak rumput. Kemudian bawalah keranjang itu ke kota Baghdad. Jika ada yang berbicara denganmu di jalan, jangan menjawab, langsung saja ke pasar penukar uang. Di tengahnya berdiri toko Abu Sa’adah si Yahudi, kepala penukaran uang. Kau akan lihat dia duduk di kasur bersandar pada bantal bersulam, dikelilingi oleh budak dan pelayannya. Di depannya kau akan melihat dua peti, satu berisi emas dan satu berisi perak. Pergilah kepadanya, letakkan keranjangmu di depannya, dan katakan, “Tuan, aku pergi ke Tigris pagi ini dan menebarkan jalaku atas namamu. Allah mengirimiku ikan ini." Dia akan bertanya, “Apakah kau menunjukkannya kepada orang lain?" "Tidak, demi Allah," jawablah begitu. Kemudian dia akan mengambil ikan itu dan menawarkan satu dinar. tolaklah. Dia akan menawarkan dua dinar, tetaplah menolak. Apa pun yang dia tawarkan, kau tidak boleh menerimanya, meskipun itu emas seberat ikan. Dia akan bertanya, “Kalau begitu, berapa harganya?" Jawablah, “Akan kujual ikan ini hanya untuk beberapa kata." "Apa itu?" tanyanya, lalu jawablah, “Bangkitah dan katakan, "Saksikanlah, semua yang hadir di pasar ini, bahwa keraku kuberikan pada Khalifah si nelayan sebagai ganti keranya, dan kutukar kekayaanku dengan kekayaannya.” Itulah harga ikanku: Aku tidak meminta emas." Jika orang Yahudi menyetujuinya,” lanjut kera berbulu merah, “kau akan menjadi tuanku; akan kuberkahi kau setiap pagi dan setiap malam, dan kau akan mendapatkan sepuluh keping emas setiap hari. Sedangkan Abu Sa’adah, dia akan dilaknat dengan melihat saudaraku yang pincang, bermata satu, dan setiap hari dipungut bea dan pajak yang sangat tinggi hingga dia menjadi pengemis. Ingatlah apa yang telah kukatakan, Khalifah, dan kau akan beruntung.” “Akan kupatuhi semuanya, Raja Kera!” ujar si nelayan. Dia melepaskan ikatan ketiga binatang itu, yang melompat masuk air dan menghilang. Khalifah mencuci ikan tadi, meletakkannya di keranjang beralas rumput segar, dan menutupinya. Kemudian dia berangkat ke kota, bernyanyi dengan riang. Saat dia melewati jalan-jalan Baghdad, banyak orang menyapanya dan bertanya apakah dia hendak menjual ikan. Tapi Khalifah terus berjalan, tidak mengindahkan siapa pun, sampai dia memasuki pasar penukar uang dan berhenti di depan toko Abu Sa’adah si Yahudi. Dia dikelilingi oleh banyak pelayan, yang mendampinginya dengan resmi seperti di istana kerajaan Khurasan. Abu Sa’adah mendekati Khalifah dan berdiri di depannya. “Apa yang bisa kami lakukan untukmu, Khalifah?” tanya Abu Sa’adah. “Jika ada orang yang menyakitimu atau memfitnahmu, kami akan dengan senang hati mengantarmu pada Gubernur, dan kau akan mendapatkan keadilan.” “Pemimpin kaum Yahudi,” jawab Khalifah, “Aku datang kepadamu bukan karena masalah seperti itu. Pagi ini aku pergi ke Tigris, dan atas namamu aku menebar jala. Aku menangkap ikan ini.” Khalifah membuka keranjang dan dengan bangga menyodorkan ikan pada sang penukar uang. *Demi Lima Kitab Musa, Mazmur, dan Sepuluh Perintah,” teriak orang Yahudi yang gembira, “seorang pria suci menampakkan diri kepadaku dalam mimpi tadi malam, mengatakan, “Engkau akan menerima hadiah dariku besok." Pastilah saat ini; katakan, selama hidupmu, apakah kau pernah menunjukkan ikan ini kepada orang lain?” “Demi Allah, Pemimpin Kaum Yahudi,” jawab nelayan itu, “dan demi kehormatan Abu Bakar, tidak ada orang lain yang melihatnya.” Setelah mendengar ini, Abu Sa’adah menoleh pada salah satu budaknya dan berkata, “Bawa ikan ini ke rumahku dan minta putriku membumbuinya untuk makan malam. Katakan agar dia menggoreng setengahnya dan memanggang sisanya.” *Kau dengar, anakku?” ulang Khalifah. “Katakan pada nyonyamu untuk menggoreng setengah dan memanggang sisanya. Sampaikan padanya, ini ikan yang paling lezat.” “Baik,” jawab budak itu, lalu pergi ke rumah tuannya. Abu Sa’adah mengambil satu dinar dari salah satu pundi-pundinya dan memberikannya kepada Khalifah, sambil berkata, “Habiskan ini untuk keluargamu.” Khalifah, yang sebelumnya tidak pernah mendapatkan uang sebanyak itu untuk satu hari kerja, spontan mengulurkan tangannya dan mengambil uang tersebut. Namun saat akan meninggalkan penukar uang, dia ingat instruksi kera. “Ambil dinarmu dan kembalikan ikanku,” teriaknya sambil melemparkan uang itu ke hadapan Abu Sa’adah. “Kau sedang mengejekku?” Berpikir bahwa Khalifah sedang bercanda dengannya, orang Yahudi itu tersenyum dan menyerahkan tiga dinar; tetapi Khalifah menolak emas itu, dengan berkata, “Sejak kapan kau tahu aku menjual ikan dengan harga yang sangat murah?“ Abu Sa’adah kemudian memberinya lima dinar dan berkata, “Ambil ini dan jangan serakah.” Nelayan itu mengambil lima dinar dan meninggalkan toko, hampir tidak memercayai matanya. “Maha Suci Allah!” pikirnya. “Khalifah sendiri tidak memiliki emas sebanyak yang ada di dompetku hari ini!” Namun, baru setelah dia mencapai ujung pasar, dia ingat nasihat kera. Dia bergegas kembali ke Abu Sa’adah dan sekali lagi melemparkan uang kepadanya. “Kau ini kenapa, Khalifah?” tanya Abu Sa’adah. “Apakah kau lebih suka dibayar dalam bentuk perak?“ “Aku tidak menginginkan emas atau perakmu,” balas sang nelayan. “Kembalikan ikanku.” “Aku telah memberi kau lima dinar untuk seekor ikan yang tidak bernilai satu dirham,” teriak si penukar uang dengan tidak sabar, “namun kau tidak puas. Demi Tuhan, kau minta berapa?” “Beberapa kata saja,” jawab Khalifah. Mendengar ini, orang Yahudi itu menjadi sangat berang sampai melotot. “Kau orang muslim pemalas!” serunya sambil menggemeretakkan giginya karena marah. “Kau ingin aku melepaskan imanku, meninggalkan agamaku, dan mengingkari hukum leluhur suciku hanya untuk seekor ikan?” Kemudian, berbalik pada budaknya, Abu Sa’adah berteriak, "Pegang bajingan ini dan pukul dia keras-keras!" Para budak segera menyerang nelayan itu dan memukulinya sampai majikan mereka berteriak, “Cukup!” Tetapi begitu mereka melepaskannya, Khalifah bangkit berdiri seolah-olah tidak merasakan sakit sama sekali. “Tuan,” kata nelayan itu, “kau seharusnya tahu bahwa Khalifah sanggup menanggung lebih banyak pukulan daripada sepuluh keledai dijadikan satu.” Mendengar ini, Abu Sa’adah tertawa terbahak-bahak, dan berkata, “Sudah cukup kita bermain-main. Kau minta dibayar berapa?“ *Aku hanya meminta beberapa kata t,” ulang Khalifah, “dan ini tidak ada hubungannya dengan agama kau; karena jika kau menjadi seorang Muslim, perpindahan agama kau tidak akan menguntungkan orang Muslim atau merugikan orang Yahudi; dan jika kau tetap dengan keyakinanmu, sikap itu tidak akan menguntungkan orang Yahudi atau merugikan Muslim. Aku hanya minta kau bangkit dan berkata, “Bersaksilah, semua yang hadir di pasar ini, bahwa aku memberikan keraku pada Khalifah si nelayan sebagai ganti keranya, dan kutukar kekayaanku dengan kekayaannya." “Alangkah mudahnya,” ujar Abu Sa’adah. Dia langsung berdiri dan mengucapkan kata-kata itu di pasar. Kemudian, menoleh pada Khalifah, dia bertanya, “Ada hal lain yang harus kulakukan?” “Tidak,” jawab nelayan itu, “Kalau begitu semoga keselamatan diberikan atasmu,” kata penukar uang itu. Khalifah meletakkan keranjang kosong di bahu dan bergegas kembali ke sungai. Begitu sampai di tepi sungai, dia membentangkan jala dan melemparkannya ke dalam air. Ketika dia menariknya, jala itu berisi berbagai jenis ikan. Tak lama kemudian, seorang wanita datang kepadanya dengan keranjang di bahu, dan membeli ikan seharga satu dinar. Kemudian lewatlah seorang budak juga membeli satu dinar. Sampai sore, Khalifah mendapatkan sepuluh dinar. Dan dia terus mendapatkan sepuluh dinar sehari sampai terkumpullah seratus keping emas. Khalifah si nelayan tinggal di semacam gubuk yang menjadi bagian suatu rumah di ujung Jalur Pedagang. Suatu malam, sembari berbaring di gubuk dan mabuk hashish, dia, “Semua tetanggamu, Khalifah, berpikir menganggapmu nelayan yang berkantong tipis dan sengsara. Mereka belum melihat seratus keping emasmu. Tetapi mereka akan segera mendengar tentang kekayaanmu; tak lama kemudian Khalifah sendiri akan mengetahuinya. Suatu hari, ketika perbendaharaannya kosong, dia akan memanggilmu dan berkata, “Aku butuh uang. Kudengar kau memiliki seratus dinar. Pinjamkanlah kepadaku." "Pangeran Orang Beriman," aku akan menjawab, “budakmu adalah seorang nelayan yang miskin dan bersahaja. Orang yang memberitahumu itu adalah pembohong yang jahat.” Khalifah, tentu saja, tidak akan memercayaiku. Dia akan menyerahkanku kepada Gubernur, yang menelanjangiku dan mencambukku tanpa ampun. Jalan terbaik bagiku sekarang adalah menyiapkan tubuh untuk dicambuk. Aku akan bangkit dan mempersiapkan diri.” Khalifah bangkit dan menanggalkan semua pakaian. Dia letakkan di sampingnya sebuah bantal kulit tua dan, mengambil cambuknya, mulai mendera diri sendiri, sesekali mengayunkan cambuk ke bantal dan berteriak, “Pembohong jahat! Oh! Oh! Aku tidak punya uang!” Teriakannya, dan suara cambuknya, bergema di keheningan malam dan mengejutkan para tetangga yang tengah tidur. Mereka semua bergegas ke jalan untuk menanyakan penyebab kegaduhan itu. Mengira pencuri telah membobol gubuk si nelayan, para tetangga lekas-lekas hendak menyelamatkannya; tetapi terkejut menemukan pintu gubuknya dikunci dan diselot. "Para pencuri itu pasti masuk dari teras sebelah." kata mereka satu sama lain. Jadi mereka naik ke teras sebelah dan dari sana turun ke gubuk si nelayan, menemukan dia mencambuki tubuh telanjangnya. “Setan apa yang merasukimu malam ini, Khalifah?” teriak mereka heran. Setelah Khalifah memberitahukan rahasia yang sangat ingin dia sembunyikan, para tetangga menertawakannya dan berkata, “Sudahlah, jangan konyol! Semoga Allah tidak memberimu kebahagiaan dalam hartamu!” Ketika nelayan itu bangun keesokan paginya, pikirannya masih terpaku pada rasa takut kehilangan emasnya. “Jika aku meninggalkan seratus dinarku di rumah,” pikirnya, “pasti uang itu akan dicuri; jika kubawa di ikat pinggangku, pencuri akan menungguku di suatu tempat sepi, menggorok tenggorokanku, dan merampokku. Aku harus cari alat yang lebih baik.” Akhirnya Khalifah memutuskan untuk menjahit saku di bagian dada jubah, lalu memasukkan ke situ seratus dinar yang diikat menjadi satu bundel. Setelah selesai, dia mengambil jala, keranjang, dan tongkatnya, lalu pergi ke Tigris. Ketika sampai di sungai, dia menuruni bantaran dan melemparkan jala ke dalam air. Tapi hasilnya nihil belaka. Semakin jauh dia bergerak di sepanjang tepi sungai, sampai perjalanan setengah hari perjalanan dari kota; namun sia-sia. Akhirnya Khalifah mengerahkan tenaga dan menebar jala dengan putus asa sehingga seikat uang logam terlempar dari sakunya lalu jatuh ke sungai. Seketika Khalifah menanggalkan pakaian dan menyelam mengejar uang emas itu; namun uangnya tersapu oleh arus deras, sehingga pencarian harus dihentikan. Dengan basah kuyup dan sangat lelah, dia berjalan kembali ke tempat pakaiannya ditinggalkan. Tetapi pakaiannya juga menghilang dan tidak ditemukan di mana pun. Dengan jengkel Khalifah membungkus tubuh dengan jala dan, seperti unta yang mengamuk atau jin pemberontak yang dilepaskan dari penjara Raja Sulaiman, dia melompat membabi buta ke segala arah. Begitulah kisah Khalifah si nelayan. Nah, kebetulan sekali bahwa Khalifah Harun ar-Rasyid (yang merupakan tokoh lain kisah kita) pada waktu itu memiliki seorang teman di kalangan pembuat perhiasan Baghdad bernama Ibnu al-Kirnas. Dia dikenal oleh semua pedagang di kota sebagai perantara Khalifah sendiri; dan pengaruhnya sedemikian rupa sehingga tidak ada pilihan atau barang langka, dari permata hingga kasim dan budak perempuan, yang dijual tanpa diperlihatkan dulu kepadanya. Suatu hari, ketika Ibnu al-Kirnas melayani pelanggannya, kepala makelar mengantar ke tokonya seorang budak perempuan yang cantik tiada tara. Tidak hanya kesempurnaan fisiknya yang tak tertandingi, dia juga diberkahi dengan pencapaian yang langka; kemampuan melafalkan syair-syair indah, menyanyi, dan memainkan segala jenis alat musik. Namanya Kut-al-Kulub. Ibnu al-Kirnas segera membeli budak itu seharga lima ribu dinar. Setelah mendandani Kut-al-Kulub dengan jubah mewah dan memakaikan perhiasan yang bernilai seribu lebih, dia membawanya menghadap Pangeran Orang- Orang Beriman. Ar-Rasyid menghabiskan malam itu dengan Kut-al-Kulub, dan sangat senang dengan bakatnya sehingga keesokan paginya dia memanggil Ibnu al-Kirnas dan memberinya sepuluh ribu dinar sebagai pembayaran untuk gadis itu. Khalifah mencintai kekasih barunya dengan hasrat yang begitu besar sehingga dia meninggalkan istrinya, Nyonya Zubaidah, dan semua selirnya demi Kut-al-Kulub. Khalifah tinggal sebulan penuh di sisinya, meninggalkan kamar hanya untuk salat Jumat. Namun, tidak lama berselang, kebencian tumbuh di antara para letnan Khalifah dan para pejabat istananya. Mereka tidak bisa berdiam diri lagi, dan menyuarakan keluhan di hadapan Ja’far sang Wazir. Jumat berikutnya, ketika mendampingi Khalifah di masjid, Ja’far diam-diam membicarakan kegilaannya akan Kut-al-Kulub. “Demi Allah, Ja’far,” jawab Khalifah, “aku tidak berdaya menaklukkan hal ini; karena hatiku terjerat cinta dan, meski berusaha sekuat tenaga, aku tidak dapat melepaskannya.” “Pangeran Orang Beriman,” kata Ja’far, “gadis ini sekarang menjadi anggota rumah tangga Tuanku, seorang hamba di antara para hamba Paduka; dan seperti kata pepatah umum, bahwa apa yang dimiliki tangan tidak pernah diinginkan oleh jiwa. Pikirkan kesenangan berkuda, berburu, dan olahraga lainnya; karena ini bisa membantu Tuan melupakannya.” “Nasihatmu bijak, Ja’far,” jawab Khalifah. “Ayo, kita akan pergi berburu hari ini juga.” Segera setelah salat Jumat, mereka menaiki kuda-kuda dan pergi ke desa yang terbuka, diikuti oleh pasukan. Hari itu panas. Setelah mereka jauh dari kota, Ar-Rasyid merasa sangat haus, dan, memperhatikan sekeliling untuk mencari tanda-tanda perkemahan di dekatnya, dia samar-samar melihat sesuatu jauh di atas bukit kecil. “Apa itu gerangan?” dia bertanya pada Ja’far. *Sepertinya itu sosok laki-laki,” jawab Wazir. “Dia mungkin penjaga kebun atau kebun mentimun. Dia pasti bisa memberi kita air. Aku akan naik dan mengambilnya. ” Tapi Ar-Rasyidmemerintahkan Ja’far untuk tetap di sana dan menunggu pasukan, yang jauh tertinggal, sedangkan dia sendiri berlari kencang, lebih cepat daripada angin yang bertiup di padang gurun atau air terjun besar yang menggelegar di bebatuan. Saat mencapai bukit kecil itu, dia melihat seorang pria terbungkus jala, dengan rambut acak-acakan dan berdebu, matanya merah menyala seperti obor yang mengerikan. Ar-Rasyid menyapa sosok yang tampak aneh itu, dan Khalifah menjawab dengan gumaman marah. “Bisakah kauberi aku air minum?” tanya Khalifah. “Apakah kau buta atau gila?” teriak si nelayan. “Tidakkah kaulihat Tigris mengalir di balik bukit ini?” Ar-Rasyid berjalan mengitari bukit itu lalu, karena sungai memang mengalir di belakangnya, minum airnya dan memberi minum kudanya. Kembali pada Khalifah, Ar-Rasyid bertanya, “Apa yang kaulakukan di sini, dan apa kerjamu?” “Pertanyaan itu bahkan lebih konyol dari yang terakhir!” teriak Khalifah. “Apakah kau tidak melihat alat kerja di pundakku?” “Jadi kau nelayan,” kata Khalifah. “Tapi di mana kautinggalkan jubah, baju, dan ikat pinggangmu?” Kebetulan sekali barang-barang itulah yang telah hilang. Karena itu, ketika Khalifah menyebutnya, si nelayan tidak ragu bahwa yang berdiri di depannya adalah pencuri. Seketika dia melesat, seperti kilatan petir, dari puncak bukit kecil dan menangkap kekang kuda Ar-Rasyid, sambil berteriak, “Kembalikan pakaianku dan hentikan lelucon bodoh ini!” “Demi Allah, temanku,” jawab Ar-Rasyid, “Aku belum pernah melihat pakaianmu, aku juga tidak mengerti apa yang kauteriakkan.” Bibir Ar-Rasyid kecil sedangkan pipinya bulat dan montok; sehingga Khalifah menganggapnya pemusik keliling. “Kembalikan pakaianku, pengamen gembel,” ancam nelayan, “atau kupukul tulangmu dengan tongkat ini sampai kau mengompol!” Melihat nelayan itu mengacungkan tongkatnya yang berat, Ar-Rasyid berpikir, “Demi Allah, pukulan ringan saja pasti berbahaya bagiku.” Dia segera melepas jubah satinnya yang indah dan menyerahkannya kepada Khalifah, sambil berkata, “Ambillah ini sebagai pengganti barang-barang yang hilang.” “Pakaianku bernilai sepuluh kali lipat daripada baju kumal ini,” gumam Khalifah, sambil membalikkan jubahnya dengan mimik menghina. Namun, akhirnya dia dibujuk oleh Ar-Rasyid untuk mencobanya. Tetapi karena merasa jubah itu terlalu panjang, si nelayan mengambil pisau yang diikatkan pada gagang keranjang dan memotong sepertiga bagian bawah jubah, sampai tepat di atas lututnya. *Katakan padaku, pemusik keliling yang baik, ”kata nelayan itu, “berapa pendapatanmu sebulan?” “Sepuluh dinar,” jawab Ar-Rasyid. “Demi Allah,” kata Khalifah, “sungguh mengibakan dirimu. Asal tahu saja, aku menghasilkan sepuluh dinar setiap hari. Jika kau bersedia menjadi muridku, akan kuajari berdagang lalu kita berbagi keuntungan. Dengan demikian kau akan menjadi mitraku dan setiap hari mendapat penghasilan yang layak. Jika majikan lamamu keberatan, tongkatku ini akan melindungimu.” “Kuterima tawaranmu,” jawab Ar-Rasyid. “Kalau begitu turunlah,” kata nelayan itu, “dan ikuti aku. Kita segera mulai bekerja.” Ar-Rasyid turun, dan setelah mengikat kudanya ke sebatang pohon dekat situ, dia menyingsingkan lengan baju dan menyelipkan jubah ke dalam ikat pinggangnya. “Pegang jala ini,” kata nelayan itu, “bentangkan di lenganmu, lalu lemparkan ke dalam air... begini...” Ar-Rasyid mengumpulkan seluruh kekuatannya dan melakukan seperti yang diperintahkan nelayan itu. Ketika, setelah beberapa saat, dia mencoba menarik jala, terasa sangat berat sehingga nelayan itu harus datang membantunya. “Pengamen pembawa sial!” teriak Khalifah, saat keduanya menarik tali. “Tadi aku bersedia menerima jubahmu sebagai pengganti pakaianku: tetapi sekarang, jika jalaku robek atau rusak gara-gara dirimu, akan kuambil kudamu dan kupukuli kau sampai lebam-lebam. Kau dengar?” Saat akhirnya berhasil menarik jala ke darat, mereka bergembira karena bagian dalamnya penuh ikan segala jenis dan warna. “Meskipun kau hanyalah pengamen sial,” kata Khalifah, “kau mungkin masih bisa menjadi nelayan yang hebat. Berkudalah sekarang ke pasar dan ambilkan dua keranjang besar. Aku akan tinggal di sini dan menjaga ikan sampai kau kembali. Nanti kita angkut hasil tangkapan ini dengan kudamu dan membawanya ke pasar ikan. Yang harus kau lakukan di sana adalah memegang timbangan dan menerima uangnya. Pergilah, dan jangan buang waktu!” “Baik,” jawab Ar-Rasyid sambil menaiki kudanya yang berderap, hampir tidak bisa menahan tawanya. Ketika Ar-Rasyid bergabung kembali dengan Ja’far dan pasukannya, Wazir, yang cemas karena keterlambatan tuannya, berkata, "Paduka pasti menemukan taman yang menyenangkan di jalan dan beristirahat di sana dtadi." Mendengar ini Khalifah tertawa terbahak-bahak dan menceritakan petualangannya dengan nelayan itu. "Tuanku sekarang menungguku," lanjutnya dengan gembira. "Kami harus pergi ke pasar, menjual ikan, lalu berbagi keuntungan." “Kalau begitu akan kucarikan beberapa pelanggan,” Wazir tergelak. Ide nakal tiba-tiba menguasai pikiran Khalifah. “Demi kehormatan leluhurku yang suci,” serunya, “siapa pun yang membawakanku ikan dari tuanku Khalifah akan menerima satu dinar emas.” Kemudian juru berita istana menyampaikan pengumuman Khalifah di antara para penjaga. Mereka semua segera menuju sungai, ke arah bukit kecil itu. Sementara nelayan sedang menunggu Ar-Rasyid, para penjaga menukik ke arahnya seperti burung nasar, masing-masing mengambil ikan sebanyak yang mampu mereka pegang. “Pasti ada sesuatu yang ajaib pada ikan-ikan ini,” seru Khalifah dengan ketakutan dan keheranan. Kemudian, sambil memegang satu ikan di masing- masing tangan, dia melompat ke dalam air, memekik, “Ya Allah, kirimkan hambamu si pengamen sekarang juga untuk membantuku!” Para penjaga membungkus jarahan itu dengan saputangan besar bersulam emas dan kembali ke tuan mereka lekas-lekas. Namun, tak lama setelah mereka pergi, kepala kasim Ar-Rasyid (yang terlambat karena kudanya berhenti di jalan untuk kencing) muncul di tepi sungai. “Kemarilah, Nelayan,” kata orang Negro itu, ketika melihat Khalifah mengangkat ikan. “Pergilah, bajingan yang kurang ajar,” jawab Khalifah. Tapi kasim itu mendekat. “Berikan ikanmu,” bujuknya. “Akan kubayar dengan harga pantas.” Khalifah masih menolak, lalu sang kasim mengangkat tombak dan siap membidik si nelayan. “Bangsat, jangan dilempar!” teriak Khalifah. “Lebih baik kuberikan semuanya daripada kehilangan nyawaku.” Sambil berkata demikian, dengan jengkel dia melemparkan ikan itu pada si orang Negro, yang mengambil dan membungkusnya dengan saputangan. Kemudian kepala kasim memasukkan tangannya ke dalam saku untuk membayar nelayan itu. Tapi, secara kebetulan, dia tidak menemukan sekeping uang logam pun. “Sayangnya kau tidak beruntung hari ini,” katanya, *karena, demi Allah, aku tidak memiliki perak sekeping pun. Tetapi jika kau akan datang ke istana Khalifah besok dan menanyakan Sandal si sida-sida hitam, kau akan disambut hangat dan mendapat banyak hadiah.” Sambil berkata begitu, kepala kasim melompat ke punggung kudanya lalu berderap pergi. “Ini benar-benar hari yang diberkahi!” keluh Khalifah. Dalam keputusasaan, dia menyampirkan jala ke bahunya dan berangkat ke kota. Saat ia berjalan melalui jalan-jalan Baghdad, orang lewat keheranan melihat nelayan mengenakan jubah senilai seribu dinar. Sebentar kemudian Khalifah memasuki pasar dan melewati toko penjahit Ar-Rasyid, yang mengenali pakaian yang dia buat sendiri untuk Pangeran Orang-orang beriman. Penjahit menghentikan Khalifah, bertanya, “Bagaimana kaudapatkan jubah itu?” “Memangnya kenapa?” balas nelayan itu dengan marah. “Kalau kau perlu tahu, ini pemberian muridku. Bajingan itu telah mencuri semua pakaianku; tetapi aku merasa kasihan padanya dan, daripada memotong tangannya karena mencuri, aku puas dengan jubah ini, yang dia berikan sebagai gantinya.” Penjahit sangat geli mendengar ini, dan segera mengerti bahwa nelayan itu adalah korban salah satu lelucon terbaru Ar-Rasyid. Sementara itu, rencana untuk menyingkirkan Kut-al-Kulub tengah disusun di istana Khalifah. Karena ketika Nyonya Zubaidah, permaisuri sekaligus sepupu Ar-Rasyid, mengetahui ihwal wanita kesayangan suaminya, dia tersengat kecemburuan yang begitu besar sehingga sejak saat itu menolak daging dan minuman, lalu dengan berapi-api menunggu kesempatan untuk membalas dendam pada Kut-al-Kulub. Kini, setelah mendengar bahwa Ar- Rasyid pergi berburu, Nyonya Zubaidah mengadakan pesta mewah dan memanggil kekasih kesayangan suaminya untuk menghibur para tamu dengan permainan musik. Tidak tahu Takdir yang menantinya, Kut-al-Kulub mengambil alat musiknya dan dibawa menghadap Ratu. Ketika matanya tertuju pada Kut-al-Kulub, Nyonya Zubaidah mengagumi kecantikan gadis itu dan, menyembunyikan pikiran pahitnya dengan senyum ramah, memintanya untuk duduk. Kut-al-Kulub bernyanyi dengan iringan kecapi dan rebana. Begitu merdunya dia bernyanyi sehingga pendengarnya terpesona hingga mengalami trans ajaib, burung-burung berhenti terbang, dan seluruh istana bergema dengan seribu suara merdu. “Ar-Rasyidtidak bisa disalahkan karena mencintainya,” pikir Nyonya Zubaidah, saat gadis itu mengakhiri penampilannya dan dengan anggun membungkuk ke tanah di depannya. Saat ini para pelayan menyiapkan di hadapan Kut-al-Kulub sepiring manisan di mana Ratu telah dengan cerdik mencampur obat yang manjur. Baru saja gadis itu menelan satu suap ketika kepalanya jatuh ke belakang dan dia tenggelam ke tanah tak sadarkan diri. Nyonya Zubaidah memerintahkan para wanitanya untuk membawa gadis itu ke kamar pribadinya. Dia kemudian mengumumkan bahwa Kut-al-Kulub telah tersedak saat makan dan meninggal, mengancam pelayannya dengan kematian yang kejam jika mereka mengkhianati rahasianya. Terakhir dia memerintahkan penguburan tiruan untuk dilakukan dan sebuah makam marmer untuk didirikan di halaman istana. Ketika Khalifah kembali dari perburuan dan berita tentang kematian yang diduga dari favoritnya disampaikan kepadanya, dunia menjadi gelap di depan matanya dan dia diliputi kesedihan. Dia dengan sedih menangisi Kut-al-Kulub dan tinggal di dekat makam jam penuh. Rencananya berhasil, Nyonya Zubaidah memerintahkan agar Kut-al-Kulub yang tidak berakal itu dikunci ke dalam peti dan dibawa ke pasar. Dia menginstruksikan salah satu budak kepercayaannya untuk menjual peti itu tanpa penundaan, dengan syarat bahwa isinya tidak boleh diumumkan sebelumnya. Dan dia memerintahkan budak itu untuk memberikan uangnya sebagai sedekah. Sekarang kembali ke nelayan. Pagi-pagi keesokan harinya, Khalifah berpikir dalam hati, “Aku tidak dapat melakukan apa pun yang lebih baik hari ini selain pergi ke istana Khalifah dan meminta budak kulit hitam itu utang yang harus ia bayarkan kepadaku.” Jadi dia bangkit dan membawa dirinya ke istana Al-Rashid. Segera setelah dia memasuki portal besar istana, dia melihat Sandal, kepala kasim, di ambang pintu, dengan kerumunan budak menunggunya. Saat nelayan itu mendekat, salah satu budak bangkit untuk menghalangi jalannya dan akan membalikkannya jika Khalifah tidak memanggil kasim hitam itu, “Aku tidak mengecewakanmu, tulip emasku! “ Mengenali nelayan itu, Sandal menyambutnya dengan tawa dan memasukkan tangannya ke dalam sakunya untuk mengeluarkan dompetnya. Akan tetapi, kebetulan sekali, pada saat itu teriakan keras mengumumkan mendekatnya Ja”afar. Seketika Sandal melompat berdiri dan, tanpa menghiraukan krediturnya, bergegas pergi ke Wazir dan terlibat dalam percakapan panjang dengannya. Khalifah berulang kali mencoba menarik perhatian budak itu ke hadapannya, tetapi semuanya sia-sia. Akhirnya, mengamati gerak-gerik nelayan yang tidak sabaran itu, Ja’farbertanya, “Siapakah orang asing itu?” “Itu,” jawab Sandal, “adalah nelayan yang sama yang ikannya kami sita kemarin atas perintah Khalifah. Dan dia melanjutkan untuk menjelaskan kepada Ja’fartentang kesempatan kunjungan Khalifah. Mendengar penuturan Sandal, Wazir tersenyum dan berkata, “Nelayan ini adalah pembimbing dan mitra bisnis Khalifah. Dia telah datang pada saat kita sangat membutuhkannya. Hari ini hati tuan kita diliputi kesedihan atas kematian kekasihnya, dan mungkin tidak ada yang bisa menghiburnya lebih baik daripada kejenakaan nelayan ini. Biarkan dia tinggal di sini sementara aku bertanya kepada Pangeran Umat beriman apakah dia ingin bertemu dengannya." Ja’farmeninggalkan sida-sida itu dan bergegas kembali ke kamar Khalifah. Dia menemukan dia sujud dengan kesedihan, masih merenung atas hilangnya Kut-al-Kulub. Wazir mengucapkan selamat kepadanya, dan bowling rendah di hadapannya, berkata, “Dalam perjalananku ke kau sekarang, Pangeran Setia, aku bertemu di pintu guru dan mitra kau, Khalifah si nelayan. Dia keras dalam keluhannya terhadap kau. "Maha Suci Allah!" Aku mendengar dia berkata. "Begitukah seharusnya para majikan diperlakukan? Aku mengirimnya untuk mengambilkan beberapa keranjang dan dia tidak pernah kembali. Kemitraan macam apa ini, aku bertanya?" Sekarang, aku mohon, Pangeran Orang-Orang yang Setia,” lanjut Ja”afar, “jika kau masih ingin menjadi pasangannya, beri tahu dia; tetapi jika kau ingin mengakhiri kerja sama kau, katakan padanya bahwa dia harus mencari pria lain.” Khalifah tersenyum mendengar kata-kata Ja”afar, dan kesedihannya tampak berkurang. “Apakah ini benar, Ja”afar?” tanyanya. “Seumur hidupku, nelayan ini akan mendapatkan upahnya!” Kemudian AlRashid menambahkan dengan binar nakal di matanya, “Jika Allah berkehendak agar dia makmur melalui aku, itu akan terjadi; dan jika keinginan-Nya untuk menyesah dia melalui aku, itu akan dilakukan juga.” Sambil berkata demikian, Ar-Rasyid mengambil selembar kertas besar dan, memotongnya menjadi beberapa bagian, berkata kepada Wazir, “Tuliskan di atas dua puluh kertas ini sejumlah uang dari satu dinar hingga seribu, dan semua martabat Negara. dari kantor terkecil ke Khilafah itu sendiri; juga dua puluh jenis hukuman dari pemukulan yang paling ringan hingga kematian yang mengerikan.” * Aku mendengar dan mematuhi,” jawab Ja”afar, dan melakukan seperti yang dilakukan Pangeran Setia menyuruhnya. Kemudian Khalifah berkata, “Aku bersumpah demi leluhurku yang suci dan demi kekerabatanku dengan Hamzah dan Akil bahwa Khalifah si nelayan akan memiliki pilihan salah satu dari kertas-kertas ini, dan bahwa aku akan membalasnya sesuai dengan itu. Pergi dan bawa dia ke hadapanku!” “Tidak ada kekuatan atau pertolongan kecuali pada Allah,” pikir Ja”afar, sambil meninggalkan kamar Khalifah. “Siapa yang tahu apa yang ada di toko untuk orang malang ini! Tapi Khalifah telah bersumpah; dan apa yang telah ditetapkan Allah pasti terjadi.” Ketika dia menemukan Khalifah, Ja’farmemegang tangannya dan, diikuti oleh sekelompok budak, berjalan bersamanya melalui tujuh ruang depan yang luas sampai mereka berdiri di depan pintu kamar Khalifah. “Hati-hati,” kata Wazir kepada nelayan yang ketakutan. “Kau akan diterima di hadapan Pangeran Orang Setia, Pembela Iman. Dengan ini, dia membawanya masuk; dan Khalifah, yang begitu bingung dengan keributan itu sehingga dia tidak bisa memahami kata-kata Wazir, tiba-tiba melihat Khalifah duduk di sofa dengan semua pejabat istananya berdiri di sekelilingnya. Nelayan itu mengenali mantan muridnya dengan teriakan terkejut. *Senang bertemu denganmu lagi, piperku!” dia menangis. “Tapi apakah benar pergi dan meninggalkanku di tepi sungai sendirian dengan ikan, dan tidak pernah kembali? Ketahuilah, bahwa berkat pembolosan kau, aku diserang oleh sekelompok budak berkuda, yang membawa seluruh tangkapan. Jika kau segera kembali dengan keranjang, kami akan menghasilkan seratus dinar. Dan yang lebih buruk, para bajingan pengkhianat sekarang telah menangkapku. Tapi, katakan padaku, siapa yang memenjarakanjw/ di tempat ini?” Ar-Rasyidtersenyum dan menyodorkan potongan-potongan itu kepada si nelayan, sambil berkata, “Datanglah lebih dekat, Khalifah, dan gambarlah salah satu dari kertas-kertas ini.” *Baru kemarin kau jadi nelayan ,” jawab Khalifah. “Sekarang aku melihat bahwa kau telah menjadi peramal. Tapi kau pasti pernah mendengar pepatah umum, “Batu bergulir tidak mengumpulkan lumut." “ “Cukup obrolan ini,” sela Ja”afar. “Gambarlah salah satu dari kertas-kertas ini sekaligus, dan lakukan seperti yang diperintahkan Pangeran Setia kepadamu." Nelayan itu mengambil satu kertas dan menyerahkannya kepada Khalifah, berkata, "Bacakan keberuntunganku, piper yang baik, dan jangan simpan apa-apa." Ar-Rasyidmenyerahkan kertas itu kepada Ja’fardan memintanya untuk membacakan isinya. Namun, itulah keberuntungan KhaHfa sehingga pilihannya memutuskan seratus pukulan tongkat. Karena itu, dia langsung dilempar ke bawah dan diberi seratus pukulan. “Pria malang ini telah datang ke sungai karunia kau, Pangeran Setia,” kata Ja”afar. “Berdoalah jangan membuatnya kembali dengan rasa haus yang belum terpadamkan. Dan Wazir membujuk Khalifah untuk membiarkan nelayan itu menggambar lagi. Makalah kedua menetapkan bahwa Khalifah tidak diberikan apa-apa sama sekali. Ja”afar, bagaimanapun, menang atas Khalifah untuk membiarkan nelayan menarik sepertiga. Khalifah menggambar lagi, dan Wazir membuka kertas itu dan mengumumkan, “Satu dinar.” "Apa!" teriak nelayan yang marah. “Satu dinar untuk seratus stroke? Maka semoga Allah membalasmu dengan adil.” Khalifah tertawa, dan Ja’farmembawa nelayan itu ke tangan dan membawanya dari hadapan tuannya. Saat Khalifah hendak meninggalkan istana, Sandal memanggilnya, berkata, “Ayo, temanku, berikan bagianku dari hadiah Khalifah.” “Kau ingin bagianmu, kan, matahari?” sela Khalifah. “Yang kuperoleh hanyalah seratus pukulan dan satu dinar. kau memang akan disambut dengan setengah pukulanku; untuk koin yang menyedihkan, mengapa, kau dapat memiliki alat itu” Sambil berkata, dia melemparkan dinar padanya dan bergegas keluar, meledak dengan marah. Tergerak oleh rasa kasihan, kasim memerintahkan beberapa budak untuk mengejarnya dan membawanya kembali. Mereka melakukannya, dan Sandal mengeluarkan dompet merah dan mengosongkan darinya seratus dinar ke tangan nelayan, sambil berkata , "Ambil ini sebagai pembayaran hutangku, dan pergi dengan damai." Khalifah bergembira. Dia memasukkan emas ke dalam sakunya, bersama dengan dinar yang diberikan Ar-Rasyid kepadanya, dan keluar dari istana, semua masalahnya terlupakan. Sekarang kebetulan sekali ketika nelayan itu berjalan di sepanjang jalan, tenggelam dalam fantasi bahagia, Destiny melakukan langkahnya ke pasar, di mana dia melihat sekumpulan besar orang. Mendorong jalannya di antara para pedagang kaya, dia menemukan pusat perhatian adalah peti besar dengan seorang budak muda duduk di atasnya. Di samping peti itu berdiri seorang lelaki tua berseru, “Tuan-tuan, pedagang, warga negara yang layak! Siapa yang akan menjadi penawar pertama untuk peti harta karun tak dikenal ini dari harem Nyonya Zubaidah, putri Al-Kasim, w4fe Pangeran Orang-orang Setia?” “Demi Allah,” kata salah satu saudagar, “banyak resiko dalam ini; tetapi aku akan mengatakan dua puluh dinar.” “Lima puluh!” seru yang lain. “Seratus!" teriak yang ketiga. "Siapa yang akan memberi lebih banyak?" seru juru lelang. Terengah-engah karena kegembiraan, Khalifah si nelayan mengangkat suaranya, menangis, "Jadilah milikku untuk seratus satu dinar!" Mendengar ini para pedagang tertawa tidak percaya; tetapi juru lelang yang terkesan dengan kesungguhan nelayan itu menjawab, “Peti itu milikmu: serahkan emasmu, dan semoga Allah memberkati tawar-menawar itu!” Setelah membayar budak itu, Khalifah meletakkan peti itu di atas bahunya, dan membawanya ke rumahnya. Saat dia terhuyung-huyung di bawah beratnya, dia bertanya-tanya apa isi yang berharga itu. Saat ini dia sampai di kediamannya dan, setelah dia berhasil memasukkan peti itu melalui pintu, dia memaksakan diri untuk membukanya. Tapi peti itu terkunci dengan aman. “Iblis apa yang merasukiku untuk membeli sebuah kotak yang bahkan tidak bisa dibuka!” dia menangis. Kemudian dia memutuskan untuk menghancurkan peti itu menjadi berkeping-keping: tetapi itu dengan keras menentang semua tendangan dan pukulannya. Benar-benar kelelahan, dia akhirnya meregangkan tubuhnya di atas tutupnya dan tertidur lelap. Namun, hampir satu jam telah berlalu, ketika nelayan itu terbangun oleh suara gerakan di bawahnya. Setengah gila karena ketakutan, dia melompat berdiri, menangis , “Peti ini pasti dihantui oleh jin! Segala puji bagi Allah yang mencegahku membukanya! Karena seandainya aku membebaskan mereka dalam kegelapan, mereka akan membuatku mati dengan menyedihkan!” Terornya meningkat saat suara itu berangsur-angsur menjadi lebih jelas. Dia mencari lampu dengan sia-sia dan akhirnya bergegas ke jalan sambil berteriak sekeras-kerasnya, “Tolong! Tolong, tetangga yang baik!” Terbangun dari tidur mereka, para tetangga muncul di setiap pintu dan jendela. "Apa yang telah terjadi?" mereka berteriak. “Jin! Jin!” teriak si nelayan. “Rumahku berhantu! Beri aku pelita dan palu, atas nama Allah!” Para tetangga tertawa. Yang satu memberinya lampu dan yang lain meminjamkannya palu. Kepercayaan dirinya pulih, nelayan pergi ke rumahnya bertekad untuk memecahkan dada. Dia memukul kuncinya dengan palu dan menarik kembali tutupnya. Di dalam, dia tercengang melihat seorang gadis secantik bidadari. Matanya setengah terbuka, seolah- olah dia baru saja bangun dari tidur yang nyenyak. Khalifah kagum dengan kecantikannya. “Dengan nama Allah, siapa kau?” bisiknya, berlutut sebelumnya dia. Kut-al-Kulub membuka matanya dan bergumam, “Bawakan aku Jasmine dan Narcissus.”* “Aduh, nyonyaku,” dia menjawab, “Aku tidak punya apa-apa di sini selain a beberapa bunga pacar.” Mendengar kata-kata orang asing itu, gadis itu sepenuhnya sadar kembali. “Kau siapa? Di mana aku?" tanyanya, menatap tajam ke wajahnya. “Aku Khalifah si nelayan, dan kau berada di rumahku,” dia menjawab. “Bukankah aku berada di istana Khalifah Harun al-Rashid?” tanya gadis itu. “Apakah kau gila?” teriak nelayan itu. “Biarkan aku memberitahu kau sekaligus bahwa kau bukan milik siapa pun kecuali aku; baru pagi ini aku membelikanmu seharga seratus satu dinar. Allah terpuji; bintangku yang malang telah berubah menjadi keberuntungan! "Khalifah akan lama melanjutkan ketegangan ini jika Kut-al-Kulub, yang mulai merasakan perihnya kelaparan, memotongnya, berkata, "Beri aku sesuatu untuk dimakan." “Demi Allah,” jawab nelayan itu, “tidak ada makanan dan minuman di rumah ini. Aku sendiri hampir tidak merasakan apa pun selama dua hari terakhir. ” "Apakah kau punya uang, kalau begitu?" dia bertanya. “Allah menjaga dada ini!” jawabnya dengan getir. “Ini tawar-menawar telah menelan setiap dirham yang kumiliki.” “Kalau begitu pergilah ke tetanggamu,” katanya, “dan bawakan aku sesuatu untuk dimakan, karena aku sangat lapar.” Nelayan itu bergegas ke jalan, menangis, “Tetangga yang baik, siapa yang akan memberi makan orang yang lapar?” Ini dia ulangi beberapa kali dengan suara keras, sampai tetangga yang malang, sekali lagi terbangun oleh tangisannya, membuka. jendela mereka dan melemparkan beberapa makanan kepadanya: yang satu memberinya setengah roti, yang lain sepotong keju, yang ketiga mentimun. Sekembalinya ke rumah, dia menyiapkan makanan di depan Kut-al-Kulub dan mengundangnya untuk makan. Tetapi gadis itu berkata, “Ambilkan air minum; Aku Sangat Haus." Jadi Khalifah mengambil kendinya yang kosong dan kembali kehabisan *Nama dua budak perempuan. ke jalan, meminta air kepada tetangga. Tetangga-tetangga itu membalas dengan kutukan yang marah; tetapi, karena tidak tahan lagi dengan tangisannya yang terus-menerus, mereka membawa air kepadanya dalam kendi, ember, dan guci. Khalifah mengisi kendinya dan membawanya ke budak perempuan. Setelah dia makan dan minum sampai kenyang, nelayan itu bertanya bagaimana dia bisa terkunci di peti. Dia menceritakan kepadanya semua yang telah terjadi di istana Khalifah, menambahkan, “Semua ini tidak diragukan lagi ditakdirkan untuk membuat keberuntungan kau. Karena ketika Ar-Rasyidmendengar berita tentang penyelamatanku, kau tidak akan kehilangan upahmu.” *Tapi bukankah Ar-Rasyidini si peniup dungu yang baru saja kuajari memancing? teriak Khalifah. "Seumur hidupku belum pernah aku bertemu dengan bajingan yang begitu kikir." “Sahabatku,” kata gadis itu, “kau harus menghentikan pembicaraan kasar ini dan menjadikan dirimu layak untuk stasiun baru yang menantimu. Di atas segalanya, kau harus membawa diri kau dengan hormat dan sopan di hadapan Pangeran Orang Setia.” Begitulah pengaruh kata-kata Kut-al-Kulub pada Khalifah sehingga dunia baru tampak terbentang di hadapannya. Tabir gelap ketidaktahuan diangkat dari matanya dan dia menjadi orang yang lebih bijaksana. Nelayan dan gadis itu tidur (keduanya berbaring berjauhan) sampai pagi, ketika Kut-al-Kulub meminta Khalifah untuk membawa pena, tinta, dan kertasnya. Dia menulis surat kepada Ibn-al-Kirnas, penjual perhiasan Khalifah, memberitahukan tentang keberadaannya dan peristiwa hari sebelumnya. Kemudian dia mengarahkan Khalifah ke toko Ibnu al-Kirnasdan memintanya untuk mengirimkan surat itu tanpa penundaan. Ketika dia memasuki toko perhiasan, nelayan itu membungkuk ke tanah di depannya dan berharap dia damai. Tapi, mengambil Khalifah untuk pengemis biasa, pedagang memerintahkan salah satu budaknya untuk memberinya setengah dirham dan menunjukkan dia keluar. Khalifah menolak koin itu, dengan mengatakan, “Aku tidak meminta sedekah. Baca ini, Aku mendoakan mu." Begitu dia selesai membaca surat gadis itu, toko perhiasan mengangkatnya ke bibirnya dan, sambil berdiri, meminta nelayan itu dengan sopan selamat datang. "Di mana rumahmu, temanku?" tanyanya. Khalifah mengarahkannya ke kediamannya. Pedagang itu kemudian memanggil dua pelayannya dan berkata kepada mereka, “Ambillah temanku ke toko Muhsin si penukar uang dan minta dia untuk membayar kepadanya seribu dinar emas. Kemudian kembalilah bersamanya segera.” Para pelayan membawa nelayan itu ke tempat penukaran uang, dan dia dibayar seribu dinar. Ketika mereka kembali dengan dia ke toko tuan mereka, Khalifah menemukan perhiasan itu dipasang di atas bagal belang- belang yang megah dengan semua pelayannya berkumpul di sekelilingnya. Di dekatnya berdiri seekor keledai yang sangat bagus, dibebani dan dikekang dengan baik, yang oleh Ibnu al-Kirnasmengundang Khalifah untuk ditunggangi. Nelayan itu, yang tidak pernah berada di punggung bagal sepanjang hidupnya, pada awalnya menolak, tetapi, setelah akhirnya berhasil ditaklukkan oleh pedagang, dia memutuskan untuk mengambil risiko percobaan dan dengan tegas melompat ke punggung hewan itu - menghadap ke arah yang salah dan menggenggam ekornya alih-alih kekangnya. Keledai itu segera dibesarkan, dan Khalifah dengan keras terlempar ke tanah dengan sorak-sorai dan sorak-sorai dari para penonton. Ibnu al-Kirnasmeninggalkan nelayan itu dan pergi ke istana Khalifah. Ar- Rasyidsangat gembira mendengar berita tentang pembebasan favoritnya, dan dia memerintahkan pedagang untuk membawanya segera ke istananya. Ketika gadis itu diterima di hadapan Khalifah, dia mencium tanah di depannya, dan dia bangkit dan menyambutnya dengan gembira. Kut-al- Kulub menceritakan kepadanya kisah petualangannya dan mengatakan kepadanya bahwa penyelamatnya adalah seorang nelayan bernama Khalifah. “Dia sekarang menunggu di pintu istana,” tambahnya. Ar-Rasyid segera mengirim nelayan itu, dan ketika dia memasukinya, dia mencium tanah di depannya dan dengan rendah hati mendoakannya sukacita dan kemuliaan abadi. Khalifah kagum pada transformasi nelayan, kerendahan hati dan kesopanannya. Dia menganugerahkan kepadanya hadiah yang murah hati, memberinya lima puluh ribu dinar, jubah kehormatan yang luar biasa, kuda betina yang mulia, dan budak dari Sudan. Ketika audiensinya dengan Khalifah berakhir, nelayan itu kembali mencium tanah sebelumnya, dia dan meninggalkan kamarnya sebagai orang kaya yang sombong. Saat melewati gerbang istana, Sandal mendekatinya dan mengucapkan selamat atas keberuntungan barunya. KhaUfah mengeluarkan dari sakunya sebuah dompet berisi seribu dinar dan menawarkannya kepadanya. Tetapi budak itu menolak emas itu dan mengagumi kemurahan hatinya dan kebaikan hatinya. Kemudian Khalifah menaiki kuda betina yang telah diberikan oleh Ar- Rasyidkepadanya dan, dengan bantuan dua orang budak yang memegang kekangnya, berkuda dengan anggun melalui jalan-jalan kota sampai dia mencapai rumahnya. Saat dia turun, tetangganya berbondong-bondong di sekelilingnya menanyakan tentang kemakmurannya yang tiba-tiba. Nelayan menceritakan kepada mereka semua yang telah terjadi dan mereka kagum dengan ceritanya. Khalifah menjadi pengunjung tetap di istana Al-Rashid, yang terus melimpahkan martabat dan bantuan tinggi kepadanya. Dia membeli sebuah rumah yang megah dan dilengkapi dengan benda-benda langka dan mahal. Kemudian dia menikahi seorang gadis cantik yang lahir dengan baik, dan hidup bahagia bersamanya sampai dia dikunjungi oleh Penghancur rumah- rumah duniawi, Menteri Kegelapan kuburan.