Anda di halaman 1dari 9

Hikayat Sa-Ijaan dan Ikan Todak

Singkat cerita, pada zaman dahulu, ada seorang Datu sakti mandraguna sedang bertapa
di tengah laut. Namanya, Datu Mabrur. Ia bertapa di antara Selat Laut dan Selat Makassar.
Maksud pertapaannya itu adalah memohon kepada Sang Pencipta agar diberi sebuah pulau.
Jika dikabulkan, pulau itu akan menjadi tempat bermukim bagi anak-cucu dan keturunannya,
kelak.
Di malam hari, ada kalanya tubuh Datu Mabrur seakan membeku. Cuaca dingin,
angin, hujan, embun dan kabut menyelmuti tubuhnya. Siang hari, terik matahari membakar
tubuhnya yang kurus kering dan hanya dibungkus sehelai kain. Ia tidak pernah makan, keuali
meminum air hujan dan embun yang turun.
Di hari terakhir pertapaannya, ketika laut tenang, seekor ikan besar tiba-tiba muncul
dari permukaan laut dan terbang menyerangnya.Tanpa beringsut dari tempat duduk maupun
membuka mata, Datu Mabrur menepis serangan mendadak itu. Akhirnya, ikan itu terpelanting
dan jatuh kembali ke air. Demikian berulang-ulang. Sementara, di sekeliling karang ribuan
ikan mengepung, memperlihatkan gigi mereka yang panjang dan tajam. Seakan prajurit ikan
yang siap tempur.
Pada serangan terakhir, ikan itu terpelanting jatuh persis saat Datu Mabrur membuka
matanya.
“Hai, ikan! Apa maksudmu mengganggu samadiku? Ikan apa kamu?
“Aku ikan todak, Raja Ikan Todak yang menguasai perairan ini. Samadimu membuat lautan
bergelora. Kami terusik, dan aku memutuskan untuk menyerangmu. Tapi, engkau memang
sakti, Datu Mabrur. Aku Takluk..,” katanya, megap-megap. Matanya berkedip-kedip menahan
sakit. Tubuhnya terjepit di sela karang yang tajam.
“Jadi itu rakyatmu?” Datu Mabrur menunjuk ribuan ikan yang mengepung karang.
“Ya, Datu. Tapi, sebelum menyerangmu tadi, kami telah bersepakat. Kalau aku kalah, kami
akan menyerah dan mematuhi apa pun perintahmu.”
Demikianlah. Di hari terakhir pertapaannya, Datu Mabrur belum diberi tanda-tanda
bahwa permohonannya akan dikabulkan. Sejauh mata memandang, yang tampak hanya
birunya laut, keluasan samudera dan cakrawala. Datu Mabrur kemudian menolong raja ikan
Todak. Menyembuhkan lukanya. Saat Datu Mabrur ditawari istana bawah laut yang terbuat
dari emas dan permata, dilayani ikan duyun dan gurita, Datu Mabrur menolaknya. Kepada
raja ikan Todak, ia sampaikan maksud pertapaannya itu. Betapa terkejutnya Datu Mabrur
ketika raja ikan Todak justru menyanggupi keinginannya itu.
“Aku takkan berdusta. Ini sumpah raja!”
Dengan lembut dan penuh kasih sayang, Datu Mabrur mengangkat raja ikan Todak itu
dan mengembalikannya ke laut.
“Sa-ijaan!” seru raja ikan.
“Sa-ijaan!” sahut Datu Mabrur.
Sebelum tengah malam, sebelum batas waktu pertapaannya berakhir, Datu Mabrur
dikejutkan oleh suara gemuruh yang datang dari dasar laut. Di bawah permukaan air, ternyata
jutaan ikan dari berbagai jenis mendorong dan memunculkan daratan baru itu dari dasar laut.
Sambil mendorong, mereka serempak berteriak, “Sa-ijaan! “Sa-ijaan! “Sa-ijaan..!”
Datu Mabrur tercengang di karang pertapaannya. Raja ikan Todak telah memenuhi
sumpahnya. Datu Mabrur senang dan gembira. Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada
Sang Pencipta, ia menamakannya Pulau Halimun.
Alkisah, Pulau Halimun kemudian disebut Pulau Laut. Sebab, ia timbul dari dasar laut dan
dikelilingi laut. Sebagai hikmahnya, kata sa-ijaan dan ikan todak dijadikan slogan dan
lambang Pemerintah Kabupaten Kotabaru, Kalimatantan Selatan.
Kisah ini diambil dari buku yang baru Hikayat Sa-Ijaan dan Ikan Todak (cerita Rakyat dari
Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan).
Hikayat Abu Nawas : Mengajar Lembu Mengaji Al-Qur’an

“Panggil Abu Nawas kemari hari ini juga,“ titah Sultan Harun Al-Rasyid kepada seorang
hambanya.
“Tuan Abu Nawas …” kata si hamba raja sesampai di rumah Abu Nawas, “Tuan
Hamba dipersilahkan Baginda datang ke istana hari ini juga.”
Hanya berjarak setengah jam setelah hamba sahaya tadi sampai di istana, Abu Nawas
pun tiba di sana.
“Hai Abu Nawas …” kata Sultan, “Tahukah kamu mengapa kamu aku panggil
kemari? Aku minta tolong kepadamu untuk mengajari lembuku supaya bisa mengaji Al-
Qur’an. Jika lembu itu tidak dapat mengaji, niscaya aku akan menyuruh mereka membunuh
kamu.”
“Baiklah Tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas, “Titah tuanku patik junjung di atas
kepala patik.” Kemudian Abu Nawas di suruh pulang dengan menghela seekor lembu.
Sesampai dirumah lembu itu diikat erat-erat pada sebatang pohon kurma.
Esok harinya Abu Nawas mulai memukul lembu itu dengan sebuah cambuk rotan
sampai setengah mati. Ketika binatang itu hampir mengamuk, Abu Nawas mengucapkan
kata “atau”, “atau”, “atau”. Perkataan itulah yang diajarkan Abu Nawas kepada lembu itu
sambil tetap mengayunkan cambukannya tanpa henti. Pekerjaan itu ia lakukan setiap hari pagi
sampai tengah hari dan dari dhuhur sampai maghrib selama beberapa hari sehingga tidak
terpikirkan untuk menghadap ke istana.
Setengah bulan kemudian baginda menyuruh seorang hamba melihat ke rumah Abu
Nawas, apakah dia mampu mengajari lembu itu mengaji atau tidak.
Apa yang disaksikan oleh hamba sahaya tadi di rumah Abu Nawas, tiada lain
cambukan yang dilancarkan oleh Abu Nawas ke badan lembu itu sambil berkata ”atau, “atau,
“atau” sampai binatang itu kesakitan setengah mati. Maka dilaporkanlah hal itu kepada
Baginda Sultan.
“Mohon ampun baginda,” kata hamba sahaya itu sesampai di Istana, “Patik lihat Abu
Nawas sedang mengajar lembu itu di belakang rumah dengan sebuah cambuk rotan yang
besar. Jika tali pengikatnya tidak kuat pastilah lembu itu lepas dan mengamuk, yang diajarkan
tidak lain hanyalah tiga patah kata , yaitu “atau”, “atau”, “atau”.
Baginda terheran-heran mendengar laporan itu, setelah berpikir sejenak baginda
bertitah, “Panggil kemari Abu Nawas sekarang juga, aku mau tahu apakah lembu itu sudah
bisa mengaji atau belum.”
Tidak lama kemudian Abu Nawas pun sampai di Istana, ia pun datang menyembah.
“Hai Abu Nawas, sudahkah engkau mengajari lembuku itu dan apakah lembu itu
sudah bisa mengaji Al-Qur’an?” tanya Baginda Sultan.
Sudah bisa sedikit-sedikit, Ya Tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas.
“Tadi aku suruh seorang hamba melihat ke rumahmu, katanya engkau mengajari
lembu itu kalimat “atau”, “atau”, “atau”. Aku mau tahu apa artinya perkataan itu?”
“Ampun ke Duli Syah Alam,” kata Abu Nawas. Arti “atau”, “atau”, “atau” itu
adalah jika bukan lembu yang mati, atau hamba, atau tuanku, atau tidak ada salah seorang
yang mati, hamba tidak akan puas. Sebab sampai habis umurnya sekalipun, binatang itu tidak
akan bisa mengaji Al-Qur’an. Itu sebabnya binatang itu hamba cambuk agar mati. Dengan
demikian hamba senang karena pekerjaan hamba dapat selesai. Atau hamba yang mati, atau
Paduka yang mati, atau salah satu, barulah habis perkara lembu itu.”
Baginda terperanjat di tempat duduknya, tidak dapat berkata sepatah katapun. Setelah
tercenung sejenak, baginda berkata. “Kalau begitu lembu itu boleh kamu ambil, atau kamu
jual, atau kamu buat sate.”
“Terima kasih banyak-banyak, ya Tuanku Baginda Syah Alam,” kata Abu Nawas
sambil menyembah hingga kepalanya menyentuh tanah. Ia pun mohon diri pulang ke rumah
dengan langkah ringan dan hati senang.
Cerita Rakyat : Hikayat Musang Berjanggut

Raja memerintahkan Cik Awang, suami Syarifah–perempuan berparas cantik–mencari


musang berjanggut. Jika tidak dapat, maka leher Cik Awang akan dipenggal. Cik Awang
gelisah karena tidak mungkin ada musang yang berjanggut.
Namun, Syarifah paham, perintah Raja itu merupakan siasat untuk menyingkirkan
suaminya, dan kemudian menjadikannya sebagai istri. Tidak hanya Raja yang menginginkan
Syarifah, tapi diam-diam Datuk Bendahara, Tumenggung, dan Datuk Hakim mereka adalah
para menteri kerajaan–juga berupaya mendapatkan Syarifah. Mereka selalu bertandang dan
merayu Syarifah.
Hari itu, Datuk Hakim datang merayu Syarifah. Namun, tiba-tiba Si Kolok, pesuruh
Syarifah, mengabarkan Tumenggung segera datang. Datuk Hakim ketakutan. Dia meminta
Syarifah menyembunyikan dirinya. Syarifah memasukkan Datuk Hakim ke dalam peti mati
dan mengunci dari luar. Seperti Datuk Hakim, Tumenggung pun merayu Syarifah. Namun,
tak lama kemudian dikabarkan Datuk Bendahara akan datang. Tumenggung yang dalam
struktur jabatan lebih rendah, ketakutan. Dia minta Syarifah menyembunyikan dirinya.
Syarifah menyarankan Tumenggung berdiri di pojok rumah, berpura-pura jadi patung hiasan.
Tak ada pilihan Tumenggung setuju, meski tubuhnya sering gatal-gatal. Masuklah Datuk
Bendahara. Dia juga melamar Syarifah. Namun, giliran Raja dikabarkan datang.
Datuk Bendahara takut setengah mati. Dia minta disembunyikan. Syarifah
menyembunyikan Datuk Bendahara dalam gentong. Ketika Raja datang ingin melamar
Syarifah dengan cara memaksa, para menteri itu–Datuk Hakim, Tumenggung, Datuk
Bendahara mengetahui kelakuan Raja, yang selama ini mereka hormati. Sampai kemudian,
terjadi keributan. Dari dalam gentong, Datuk Bendahara diam-diam meraih buah-buahan yang
dibawa Raja. Tak sengaja tangannya menyentuh patung Tumenggung. Tumenggung
terperanjat dan berteriak. Semua jadi kacau. Rahasia Raja, Tumenggung, dan Bendahara
terkuak.
Sedangkan Datuk Hakim tetap diam di peti mati. Ketika Raja menagih pada Cik
Awang untuk menunjukkan musang berjanggut, Syarifah dan Cik Awang langsung membuka
peti mati. Terlihatlah Datuk Hakim di sana. Raja, Tumenggung, dan Datuk Bendahara yang
merasa rahasianya pun diketahui Datuk Hakim terkejut dan serempak membenarkan bahwa
yang di dalam peti mati itu adalah musang berjanggut. Untuk menutup malu dan
kebejatannya, Raja kemudian memuji dan memberikan jabatan untuk Cik Awang yang
berhasil menemukan musang berjanggut.
HIKAYAT ABU NAWAS
Asmara Memang Aneh
Secara tak terduga Pangeran yang menjadi putra marikota jatuh sakit. Sudah banyak
tabib yang didatangkan untuk memeriksa dan mengobati tapi tak seorang pun mampu
menyembuhkannya. Akhirnya Raja mengadakan sayembara. Sayembara boleh diikuti oleh
rakyat dari semua lapisan. Tidak terkecuali oleh para penduduk negeri tetangga.
Sayembara yang menyediakan hadiah menggiurkan itu dalam waktu beberapa hari
berhasil menyerap ratusan peserta. Namun tak satu pun dari mereka berhasil mengobati
penyakit sang pangeran. Akhirnya sebagai sahabat dekat Abu Nawas, menawarkan jasa baik
untuk menolong sang putra mahkota.
Baginda Harun Al Rasyid menerima usul itu dengan penuh harap. Abu Nawas sadar
bahwa dirinya bukan tabib. Dari itu ia tidak membawa peralatan apa-apa. Para tabib yang ada
di istana tercengang melihat Abu Nawas yang datang tanpa peralatan yang mungkin
diperlukan. Mereka berpikir mungkinkah orang macam
Abu Nawas ini bisa mengobati penyakit sang pangeran? Sedangkan para tabib terkenal
dengan peralatan yang lengkap saja tidak sanggup. Bahkan penyakitnya tidak terlacak. Abu
Nawas merasa bahwa seluruh perhatian tertuju padanya. Namun Abu Nawas tidak begitu
memperdulikannya.
Abu Nawas dipersilahkan memasuki kamar pangeran yang sedang terbaring. la
menghampiri sang pangeran dan duduk di sisinya.
Setelah Abu Nawas dan sang pangeran saling pandang beberapa saat, Abu Nawas
berkata, “Saya membutuhkan seorang tua yang di masa mudanya sering mengembara ke
pelosok negeri.”
Orang tua yang diinginkan Abu Nawas didatangkan. “Sebutkan satu persatu nama-nama
desa di daerah selatan.” perintah Abu Nawas kepada orang tua itu.
Ketika orang tua itu menyebutkan nama-nama desa bagian selatan, Abu Nawas
menempelkan telinganya ke dada sang pangeran. Kemudian Abu Nawas memerintahkan agar
menyebutkan bagian utara, barat dan timur. Setelah semua bagian negeri disebutkan, Abu
Nawas mohon agar diizinkan mengunjungi sebuah desa di sebelah utara. Raja merasa heran.
“Engkau kuundang ke sini bukan untuk bertamasya.”
“Hamba tidak bermaksud berlibur Yang Mulia.” kata Abu Nawas.
“Tetapi aku belum paham.” kata Raja.
“Maafkan hamba, Paduka Yang Mulia.
“Kurang bijaksana rasanya bila hamba jelaskan sekarang.” kata Abu Nawas. Abu
Nawas pergi selama dua hari.
Sekembali dari desa itu Abu Nawas menemui sang pangeran dan membisikkan sesuatu
kemudian menempelkan telinganya ke dada sang pangeran. Lalu Abu Nawas menghadap
Raja.
“Apakah Yang Mulia masih menginginkan sang pangeran tetap hidup?” tanya Abu
Nawas.
“Apa maksudmu?” Raja balas bertanya.
“Sang pangeran sedang jatuh cinta pada seorang gadis desa di sebelah utara negeri ini.”
kata Abu Nawas menjelaskan.
“Bagaimana kau tahu?”
“Ketika nama-nama desa di seluruh negeri disebutkan tiba-tiba degup jantungnya
bertambah keras ketika mendengarkan nama sebuah desa di bagian utara negeri ini. Dan sang
pangeran tidak berani mengutarakannya kepada Baginda.”
“Lalu apa yang harus aku lakukan?” tanya Raja.
“Mengawinkan pangeran dengan gadis desa itu.”
“Kalau tidak?” tawar Raja ragu-ragu.
“Cinta itu buta. Bila kita tidak berusaha mengobati kebutaannya, maka ia akan mati.”
Rupanya saran Abu Nawas tidak bisa ditolak. Sang pangeran adalah putra satu-satunya yang
merupakan pewaris tunggal kerajaan.
Abu Nawas benar. Begitu mendengar persetujuan sang Raja, sang pangeran berangsur-
angsur pulih. Sebagai tanda terima kasih Raja memberi Abu Nawas sebuah cincin permata
yang amat indah.

Hikayat Cabe Rawit

Pada zaman dahulu kala, di sebuah kampung antah berantah, hiduplah sepasang suami
istri. Mereka merupakan sebuah keluarga yang sangat miskin. Demikianlah miskinnya
keluarga itu. Rumah mereka pun jauh dari pasar dan keramaian. Namun demikian, suami-istri
yang usianya sudah setengah abad itu sangat rajin beribadah.
“Istriku,” kata sang suami suatu malam. “Sebenarnya apakah kesalahan kita sehingga
sudah di usia begini tua, kita belum juga dianugerahkan seorang anak pun. Padahal, aku tak
pernah menyakiti orang, tak pernah berbuat jahat kepada orang, tak pernah mencuri walaupun
kita kadang tak ada beras untuk tanak.”
“Entahlah, suamiku. Kau kan tahu, aku juga selalu beribadah dan memohon kepada
Tuhan agar nasib kita ini dapat berubah. Jangankan harta, anak pun kita tak punya. Apa
Tuhan terlalu membenci kita karena kita miskin?” keluh sang istri.
Malam itu,. Tanpa sadar, mulut sang suami mengucapkan sumpah, “Kalau aku diberi
anak, sebesar cabe rawit pun anak itu akan kurawat dengan kasih sayang.” Entah sadar atau
tidak pula, si istri pun mengamini doa suaminya.
Beberapa minggu kemudian, si istri mulai merasakan sakit diperutnya.
Bulan berganti bulan, pada suatu subuh yang dingin, si istri merasakan sakit dalam
perutnya teramat sangat. Ternyata istrinya melahirkan seorang anak. Senyum sejenak
mengambang di wajah keduanya. Akan tetapi, betapa terkejutnya suami-istri itu, ternyata
tubuh anak yang baru saja lahir sangat kecil, sebesar cabe rawit.
Singkat cerita, si anak pun dipelihara hingga besar. Anak itu perempuan. Kendati
sudah berumur remaja, tubuh anak itu tetap kecil, seperti cabe rawit. Demi kehidupan
keluarganya, sang ayah bekerja mengambil upah di pasar. Ia membantu mengangkut
dagangan orang untuk mendapatkan sedikit bekal makanan yang akan mereka nikmati
bersama.
Sahdan, suatu ketika si ayah jatuh sakit, tak lama kemudian meninggal dunia.
Sedangkan si ibu, tubuhnya mulai lemas dimakan usia. Bertambahlah duka di keluarga itu
sejak kehilangan sang ayah. Kerja si ibu pun hanya menangis. Tak tahan melihat keadaan
orangtuanya, si anak yang diberi nama cabe rawit karena tubuhnya memang kecil seperti
cabe.
Cabai rawit mendesak ibunya agar diizinkan bekerja ke pasar. Sahdan, sang ibu pun
akhirnya memberikan izin kepada cabe rawit. Maka pergilah cabe rawit ke pasar tanpa bekal
apa pun.
Belum sampai ke pasar, di perempatan jalan, melintaslah seorang pedagang beras
dengan sepedanya. Ketika pedagang beras nyaris mendahului si cabe rawit, ia mendengar
sebuah suara.
“Hati-hati sedikit pedagang beras, jangan sampai ban sepedamu menggilas tubuhku
yang kecil ini. Ibuku pasti menangis nanti,” kata suara itu.
Berhentilah pedagang beras tersebut karena terkejut. Ia melihat ke sekeliling, tapi tak
didapatinya seorang manusia pun. Sementara suara itu kembali terdengar. Setelah mendengar
suara tersebut berulang-ulang, akhirnya pedagang beras lari pontang-panting ketakutan. Ia
mengira ada makhluk halus yang sedang mengintainya. Padahal, itu suara cabe rawit yang
tidak kelihatan karena tubuhnya yang teramat mungil.
Sepeninggalan pedagang beras, cabe rawit pulang sambil membawa sedikit beras yang
sudah ditinggalkan oleh pedagang tersebut. Sesampainya di rumah, si ibu bertanya.
“Tadi, di jalan aku bertemu dengan pedagang beras, Bu. Dia tiba-tiba meninggalkan
berasnya begitu saja. Daripada diambil orang lain atau dimakan burung, kuambi sedikit,
kubawa pulang untuk kita makan. Bukankah kita sudah tidak memiliki beras lagi?” jawab
cabe rawit.
Keesokan harinya, hal serupa kembali terjadi pada pedagang ikan. Pedagang ikan itu
juga ketakutan saat mendengar ada suara yang menyapanya. Ia lari lintang pukang
meninggalkan ikan-ikan dagangannya. Maka pulanglah cabe rawit sembari membawa
beberapa ikan semampu ia papah.
Begitulah hari-hari dilalui cabe rawit. Ia tidak pernah sampai ke pasar. Selalu saja, di
perempatan atau pertengahan jalan, dia berpapasan dengan para pedagang. Hatta, keluarga
yang dulunya miskin dan jarang makan enak itu menjadi hidup berlimpah harta. Pedagang
beras akan meninggalkan berasnya di jalan saat mendengar suara cabe rawit. Pedagang
pakaian meninggalkan pakaian dagangannya, pedagang emas pun pernah melakukan hal itu.
Heranlah orang-orang sekampung melihat si janda miskin menjadi hidup bergelimang
harta.
Orang-orang kampung pun mulai curiga
Singkat cerita, ketahuan juga bahwa suara itu dari seorang manusia yang sangat kecil,
sebesar cabe. Suasana berubah menjadi tegang. Si janda menjelaskan semuanya. Ia
menceritakan tentang sumpah yang pernah ia lafalkan dengan sang suami tentang keinginan
punya anak walau sebesar cabe pun. Mahfumlah kepala kampung dan penduduk di sana.
Akhirnya, para penduduk sepakat membangun sebuah rumah lebih bagus untuk di janda
bersama anaknya. Hidup makmurlah keluarga cabe rawit. Ia tidak lagi harus pergi ke pasar
sehingga membuat orang-orang takut.

HIKAYAT HANG TUAH

Pada suatu ketika ada seorang pemuda yang bernama Hang Tuah, anak Hang
Mahmud. Mereka bertempat tinggal di Sungai Duyung. Pada saat itu, semua orang di Sungai
Duyung mendengar kabar teng Raja Bintan yang baik dan sopan kepada semua rakyatnya.
Ketika Hang Mahmud mendengar kabar itu, Hang Mahmud berkata kepada istrinya
yang bernama Dang Merdu,
”Ayo kita pergi ke Bintan, negri yang besar itu, apalagi kita ini orang yang yang
miskin. Lebih baik kita pergi ke Bintan agar lebih mudah mencari pekerjaan.”
Lalu pada malam harinya, Hang Mahmud bermimpi bulan turun dari langit.
Cahayanya penuh di atas kepala Hang Tuah. Hang Mahmud pun terbangun dan mengangkat
anaknya serta menciumnya. Seluruh tubuh Hang Tuah berbau seperti wangi-wangian. Siang
harinya, Hang Mahmud pun menceritakan mimpinya kepada istri dan anaknya. Setelah
mendengar kata suaminya, Dang Merdu pun langsung memandikan dan melulurkan anaknya.
Setelah itu, ia memberikan anaknya itu kain,baju, dan ikat kepala serba putih. Lalu Dang
Merdu member makan Hang Tuah nasi kunyit dan telur ayam, ibunya juga memanggil para
pemuka agama untuk mendoakan selamatan untuk Hang Tuah. Setelah selesai dipeluknyalah
anaknya itu.
Lalu kata Hang Mahmud kepada istrinya,
”Adapun anak kita ini kita jaga baik-baik, jangan diberi main jauh-jauh.” Keesokan
harinya, seperti biasa Hang Tuah membelah kayu untuk persediaan. Lalu ada pemberontak
yang datang ke tengah pasar, banyak orang yang mati dan luka-luka.
Orang-orang pemilik took meninggalkan tokonya dan melarikan diri ke kampong.
Gemparlah negri Bintan itu dan terjadi kekacauan dimana-mana. Ada seorang yang sedang
melarikan diri berkata kepada Hang Tuah,
” Hai, Hang Tuah, hendak matikah kau tidak mau masuk ke kampung.?” Maka kata
Hang Tuah sambil membelah kayu,
”Negri ini memiliki prajurit dan pegawai yang akan membunuh, ia pun akan mati
olehnya.” Waktu ia sedang berbicara ibunya melihat bahwa pemberontak itu menuju Hang
Tuah sambil menghunuskan kerisnya. Maka ibunya berteriak dari atas toko, katanya,
”Hai, anakku, cepat lari ke atas toko!”
Hang Tuah mendengarkan kata ibunya, iapun langsung bangkit berdiri dan memegang
kapaknya menunggu amarah pemberontak itu. Pemberontak itu datang ke hadapan Hang Tuah
lalu menikamnya bertubi-tubi.
Maka Hang Tuah pun Melompat dan mengelak dari tikaman orang itu. Hang Tuah lalu
mengayunkan kapaknya ke kepala orang itu, lalu terbelalah kepala orang itu dan mati.
Maka kata seorang anak yang menyaksikannya,”Dia akan menjadi perwira besar di
tanah Melayu ini.”
Terdengarlah berita itu oleh keempat kawannya, Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang
Lekir, dan Hang Lekui. Mereka pun langsung berlari-lari mendapatkan Hang Tuah. Hang
Jebat dan Hang Kesturi bertanya kepadanya,
”Apakah benar engkau membunuh pemberontak dengan kapak?” Hang Tuah pun
tersenyum dan menjawab,”Pemberontak itu tidak pantas dibunuh dengan keris, melainkan
dengan kapak untuk kayu.”
Kemudian karena kejadian itu, baginda raja sangat mensyukuri adanya sang Hang
Tuah. Jika ia tidak datang ke istana, pasti ia akan dipanggil oleh Sang Raja. Maka
Tumenggung pun berdiskusi dengan pegawai-pegawai lain yang juga iri hati kepada Hang
Tuah. Setelah diskusi itu, datanglah mereka ke hadapan Sang Raja. Maka saat sang Baginda
sedang duduk di tahtanya bersama para bawahannya, Tumenggung dan segala pegawai-
pegawainya datang berlutut, lalu menyembah Sang Raja,
“Hormat tuanku, saya mohon ampun dan berkat, ada banyak berita tentang
penghianatan yang sampai kepada saya. Berita-berita itu sudah lama saya dengar dari para
pegawai-pegawai saya.”
Setelah Sang Baginda mendengar hal itu, maka Raja pun terkejut lalu bertanya,
“Hai kalian semua, apa saja yang telah kalian ketahui?”

Maka seluruh menteri-menteri itu menjawab, “Hormat tuanku, pegawai saya yang
hina tidak berani datang, tetapi dia yang berkuasa itulah yang melakukan hal ini.”
Maka Baginda bertitah, “Hai Tumenggung, katakana saja, kita akan membalasanya.”
Maka Tumenggung menjawab, “Hormat tuanku, saya mohon ampun dan berkat, untuk
datang saja hamba takut, karena yang melakukan hal itu, tuan sangat menyukainya. Baiklah
kalau tuan percaya pada perkataan saya, karena jika tidak, alangkah buruknya nama baik
hamba, seolah-olah menjelek-jelekkan orang itu.”
Setelah Baginda mendengar kata-kata Tumenggung yang sedemikian itu, maka
Baginda bertitah,
“Siapakah orang itu, Sang Hang Tuah kah?” Maka Tumenggung menjawab,
“Siapa lagi yang berani melakukannya selain Hang Tuah itu.
Saat pegawai-pegawai hamba memberitahukan hal ini pada hamba, hamba sendiri juga
tidak percaya, lalu hamba melihat Sang Tuah sedang berbicara dengan seorang perempuan di
istana tuan ini. Perempuan tersebut bernama Dang Setia. Hamba takut ia melakukan sesuatu
pada perempuan itu, maka hamba dengan dikawal datang untuk mengawasi mereka.
” Setelah Baginda mendengar hal itu, murkalah ia, sampai mukanya berwarna merah
padam. Lalu ia bertitah kepada para pegawai yang berhati jahat itu,
“Pergilah, singkirkanlah si durhaka itu!” Maka Hang Tuah pun tidak pernah terdengar
lagi di dalam negri itu, tetapi si Tuah tidak mati, karena si Tuah itu perwira besar, apalagi dia
menjadi wali Allah.
Kabarnya sekarang ini Hang Tuah berada di puncak dulu Sungai Perak, di sana ia
duduk menjadi raja segala Batak dan orang hutan. Sekarang pun raja ingin bertemu dengan
seseorang, lalu ditanyainya orang itu dan ia berkata,
“Tidakkah tuan ingin mempunyai istri?” Lalu jawabnya, “Saya tidak ingin mempunyai
istri lagi”

Anda mungkin juga menyukai