Anda di halaman 1dari 2

Birokrat Sandwich

Harian Kompas edisi Minggu, 4 September 2022, menurunkan hasil liputan khas
berjudul “Ujug-ujug” Jadi Ketua RT/RW. Pada intinya, liputan ini mengungkapkan
bahwa menjadi pengurus Rukun Tetangga (RT) dan atau Rukun Warga (RW) itu
merupakan tugas berat. Mereka harus siap mengorbankan waktu untuk mengurusi
masalah-masalah administrasi kependudukan, dan juga aneka macam masalah
sosial kemasyarakatan, seperti perselisihan antarwarga, bantuan sosial, bahkan
kadang harus terseret-seret untuk menghadapi penagih utang. Lebih-lebih pada
masa-masa puncak pandemi Covid-19, pengurus RT mau tidak mau harus terlibat
dan memimpin penanggulangan pandemi di wilayahnya.

Namun sayangnya, untuk memikul tugas berat itu, mereka kurang mendapat
penghargaan, bahkan “belum tentu warga mengingatnya”. Oleh karena itu, ketua
RT/RW sekarang menjadi jabatan yang ramai-ramai dihindari. Akibatnya,
mendapatkan ketua RT baru ketika masa suksesi tiba bukanlah hal yang mudah.
Sering kali masyarakat kemudian menggunakan mekanisme sosial yang “agak
memaksa”. Misalnya dengan sistem pergiliran wajib. Orang-orang yang belum
pernah menjadi pengurus RT/RW harus mau dijadikan calon ketua dalam pemilihan
pengurus dan yang terpilih tidak boleh menolak.

Fenomena yang diungkapkan dalam liputan itu sebenarnya bukanlah hal yang baru
muncul beberapa tahun terakhir ini. Kecenderungan itu kiranya sudah umum terjadi
selama dua dasawarsa terakhir. Di tempat tinggal saya (Sleman DIY) sudah empat
kali sejak 2006 kami kesulitan mendapatkan orang yang mau menjadi (calon) ketua
RT.

Terbalik dari semangat pemilihan pimpinan atau jabatan lain pada umumnya,
menjelang pemilihan Ketua RT setiap orang yang punya elektabilitas tinggi justru
berkampanye agar dirinya tidak terpilih. Pada akhirnya, untuk memperoleh Ketua
RT, warga biasanya menggunakan mekanisme sosial yang “setengah memaksakan”
kehendak kolektif atas seseorang yang punya elektabilitas tinggi, entah itu melalui
musyawarah mufakat atau pemungutan suara.

Jabatan yang Cenderung Menjadi Beban

Kecenderungan orang untuk menolak jabatan Ketua RT itu sangatlah mudah


dipahami. Seperti yang sudah jelas dilaporkan dalam hasil liputan Kompas di atas,
sangatlah nyata bahwa jabatan Ketua RT saat ini sebenarnya lebih merupakan
beban bagi penerimanya.
daripada keuntungan politik serta ekonomi, prestise, dan kebanggaan.

Mengapa demikian? Karena sebagai sebuah tugas, perimbangan antara hak dan
kewajiban pengurus RT/RW itu sangatlah timpang. Disebutkan dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 18 Tahun 2018 tentang Lembaga
Kemasyarakatan Desa (LKD) dan Lembaga Adat Desa (LAD), RT sebagai LKD
bertugas: (a) melakukan pemberdayaan masyarakat; (b) ikut dalam perencanaan
dan pelaksanaan pembangunan desa; (c) meningkatkan pelayanan desa.

Adapun fungsi LKD secara umum ialah (a) menampung dan menyalurkan aspirasi
masyarakat; (b) memupuk rasa persatuan masyarakat; (c) meningkatkan kualitas
pelayanan pemerintah desa; (d) menyusun rencana, melaksanakan, mengontrol,
melestarikan hasil pembangunan; (e) menumbuhkan dan menggerakkan partisipasi
masyarakat; (f) meningkatkan kesejahteraan keluarga; (g) meningkatkan kualitas
SDM.

Kemudian secara khusus fungsi RT ialah untuk membantu kepala desa dalam hal
(a) pelayanan masyarakat; (b) menyediakan data kependudukan dan perizinan, dan
(c) pelaksanaan tugas lain yang diberikan kepala desa.

Menilik tugas dan fungsinya, pengurus RT/RW secara substansial merupakan


bagian dari lembaga birokrasi desa yang bertugas di lingkup kecil permukiman
warga dengan cakupan wilayah sekitar 10-30 rumah. Oleh karena itu, pemerintah
desa sering menyebut RT/RW sebagai “ujung tombak” birokrasi desa.

Akan tetapi, berbeda dari unsur birokrasi pemerintah desa lainnya, RT/RW ini
bukanlah lembaga birokrasi yang mempunyai batasan-batasan kewenangan, tugas
dan tanggung jawab yang jelas

Muatan Permendagri No. 18 tahun 2018 tersebut sebagian besar hanya mengatur
tentang bentuk

Anda mungkin juga menyukai