Anda di halaman 1dari 24

NILAI-NILAI PLURALISME DALAM TAFSIR NUSANTARA

Munzir Hitami
Guru Besar UIN Suska Riau
e-mail: mzr.hitami@gmail.com

Abstrak:
Artikel ini merupakan hasil penelitian literature dengan fokus pada ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan
nilai-nilai pluralisme agama. Sedangkan tafsir yang digunakan adalah tafsir yang di tulis ole beberapa ulama
dan intelektual muslim Nusantara. Penelitian ini, menjadi penting ketika kesadaran akan pluralisme agama
di Indonesia semakin tergerus oleh perkembangan politik, budaya, dan lainnya. Maka mengkaji para ulama
tafsir Indonesia menjadi sangat penting untuk dilakuakan. Meskipun terjadi perbedaan penafsiran karena
terjadi perbedaan ruang dan waktu, namun demikian terdapat beberapa nilai yang memberikan kesimpulan
yang sama, yaitu Pertama, Mengakui eksistensi agama lain; Kedua, memberinya hak untuk hidup
berdampingan saling menghormati pemeluk agama lain tanpa ada unsur kecurigaan. Ketiga, Larangan
adanya unsur paksaan dalam beragama. Keempat, kesatuan ajaran dan Kelima, pengakuan keselamatan
pada masing-masing agama.

Kata Kunci: pluralism, tafsir, ulama nusantara

Abstract:
This article is the result of literature research with a focus on verses of the Qur'an relating to the values of religious
pluralism. While the interpretation used is the interpretation written by several Muslim scholars and intellectuals of the
archipelago. This research becomes important when awareness of religious pluralism in Indonesia is increasingly eroded by
political, cultural, and other developments. So it is very important to study the scholars of Indonesian interpretation.
Although there are differences in interpretation due to differences in space and time, however, there are several values that
give the same conclusion, namely First, to acknowledge the existence of other religions; Second, it gives him the right to live
side by side with mutual respect for followers of other religions without any element of suspicion. Third, the prohibition of
the element of coercion in religion. Fourth, the unity of the teachings and Fifth, the recognition of salvation in each
religion.

Keywords: pluralism, interpretation, Indonesian scholar’s

PENDAHULUAN 7/MUNAS VII/MUI/II/2005) berkenaan


dengan keharaman paham pluralisme,
Diantara diskursus yang masih menuai
liberalisme dan sekularisme. 1 Protes keras
kontraversi hingga saat ini adalah persoalan
pluralitas agama. Lebih-lebih pada tanggal 29
Juli 2005 Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Pusat menerbitkan keputusan fatwa (No.

1 Tulisan yang cukup menarik dalam merekam dan Pluralisme, Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta:
kontraversi fatwa tersebut adalah buku Budhy Munawar- Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) dan Paramadina,
Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme 2010), 554- 567

NUSANTARA; Journal for Southeast Asian Islamic Studies


Vol. 17, No. 1, Juni 2021
NUSANTARA; Journal for Southeast Asian Islamic Studies
Vol. 17, No. 1, Juni 2021

pun bermunculan, 2 meskipun tidak sedikit terdapat hanya beberapa wilayah lain di dunia yang
yang setuju dengan fatwa tersebut.3 memiliki pluralisme kultural seperti itu.5 Karena itulah
dalam teori politik Barat di tahun 1930-an dan
Nusantara merupakan negeri yang memiliki
1940-an, wilayah ini, khususnya Indonesia
jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa, dengan
dipandang sebagai “lokus klasik” bagi konsep
17.800 pulau kecil dan besar. Menurut data Badan
masyarakat majemuk/plural (plural society) yang
Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia pada
diperkenalkan ke dunia Barat oleh JS Furnivall.
tahun 2000, menyebutkan bahwa jumlah suku di
Pandangan Hefner ini, bagi konsep masyarakat
Indonesia, yang berhasil terdata sebanyak 1.128
majemuk bukan sesuatu yang berlebihan. Hal ini
suku bangsa, dengan komposisi 1.072 etnik dan
terlihat dari keberagaman yang dimiliki Indonesia
sub-etnik di Indonesia. Sementara Wakil Menteri
sebagai bangsa yang unik dimana hanya beberapa
Pendidikan dan Kebudayaan Windu Nuryanti
wilayah saja di dunia yang dianugrahi keistimewaan
(2012), mengatakan bahwa menurut hasil
ini.
penelitian Indonesia memiliki sekitar 743 bahasa. 4
Dari jumlah itu, 442 bahasa sudah dipetakan oleh Secara sosiologis, adanya pluralisme tersebut
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, menjadi modal sosial untuk mengarahkan konsep
sebanyak 26 bahasa diantaranya ada di Sumatera, pluralisme tidak hanya pada tataran teologis an
10 bahasa di Jawa dan Bali, 55 bahasa di sich. 6 Melainkan meletakkannya kepada wilayah
Kalimantan, 58 bahasa di Sulawesi, 11 bahasa di ideologis dengan mengejawantah pada etika sosial
Nusa Tenggara Barat, 49 bahasa di Nusa Tenggara dalam kehidupan yang heterogen. Sehingga,
Timur, 51 bahasa di Maluku, serta 207 bahasa di pluralisme ditegakkan sebagai cara pandang dalam
Papua. Kondisi ini, Indonesia sungguh menjadi melihat orang lain sebagai bagian dari sistem sosial
salah satu negara dengan tingkat keaneragaman yang harus dihargai. 7 Dan pluralisme digunakan
budaya atau tingkat heterogenitas yang sangat sebagai dasar pemahaman yang inklusif dalam
tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya menentukan pandangan kita terhadap agama-
kelompok suku bangsa namun juga agama lain. Dengan demikian, akan bisa arif
keanekaragaman budaya dalam konteks melihat setiap perbedaan yang ada di dalam
peradaban, tradisional hingga ke modern, dan kemajemukan, dan bisa jadi akan memotivasi
kewilayahan. antara satu dengan yang berbeda untuk saling
berlomba menuju kebaikan.8
Sehingga Hefner pernah menyampaikan
bahwa: Pluralisme kultural di Asia Tenggara, khususnya Namun demikian, tidak jarang prluralisme
Indonesia, Malaysia, dan Singapura sangatlah mencolok, agama di negeri ini juga menjadi bencana. Berbagai

2 Diantara tokoh yang menolak pandangan MUI Pascasarjana Pendidikan dan Pemikiran Islam Universitas
tersebut adalah Faisal Ismail (Guru Besar UIN Sunan Ibn Khaldun Bogor, serta mereka yang tergabung di dalam
Kalijaga Yogyakarta). Beliau menulis di Koran Sindo, edisi Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI).
Jum’at 7 Februari 2014, “apa yang salah dengan pluralisme Lihat Subkhi Ridho, “Kelas Menengah Muslim Baru dan
agama?”. Dalam tulisan ini, Faisal Ismail menegaskan “tidak Kontestasi Wacana Pluralisme di Media Sosial” dalam Jurnal
ada agama yang mengandung ajaran yang mutlak. Dan beranggapan Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2 , Agustus 2017, 96.
bahwa tidak ada yang salah dengan pluralisme agama. Yang terlihat 4 http://www.menkokesra.go.id

salah, menurut pendapat saya, adalah sinkretisme agama. Salah 5 Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural.
seorang pimpinan MUI di sebuah televisi menjelaskan, yang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 83
diharamkan MUI adalah pluralisme agama yang ditarik ke 6 Patut disadari, bila pluralism diletakkan pada wilayah

sinkretisme agama.”. Zuhairi Misrawi dalam bukunya Al Qur’an teologis, maka akan melahirkan kelompok puritan teologis
Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme yang akan selalu mengakui bahwa agamanya adalah yang
(Jakarta: Fitrah, 2007) hlm. 207, juga menjelaskan secara paling benar dan memahami ajarannya secara literlek yang
detail beberapa kekeliruan dalam Fatwa MUI tersebut. kemungkinan besarnya akan turut mengkafirkan ummat lain
3 Kelompok yang menerima diantaranya adalah yaitu yang berbeda agama. Lebih jelas baca, Abdullah Saeed,
Hamid Fahmy Zarkasyi yang merupakan Pimpinan Ponpes Pemikiran Islam: Sebuah Pengantar, terj (Yogyakarta: Kaukaba,
Modern Gontor Ponorogo dan direktur INSISTS (Institute for 2014), 264-266
the Study of Islamic Thought and Civilization), Adian Husaini 7 Heru Nugroho, Menumbuhkan Ide-ide Kritis
alumnis ISTAC Malaysia, Adnin Armas merupakan Ketua (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2001), 174
Yayasan Keadilan untuk Semua (YKUS), dari kalangan muda 8 Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis: Wacana

yaitu Akmal Sjafril, adapun basisnya berasal dari Program Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramadina, 2001), 46-48

9
Munzir Hitami: Nilai-Nilai Pluralisme dalam tafsir Nusantara

konflik atas nama agama, tidak jarang memperkaya pengetahuan, petunjuk dan
bermunculan. Dalam catatan Gavin W. Jones, kesejahteraan manusia serta membebaskan
konflik dan ketegangan antar penganut agama di pikiran-pikiran, moral, dan emosi-emosi yang
Indonesia diantaranya: konflik Kristen-Islam terbelenggu dan meninggikan harkat dan martabat
tahun 1950-an di Aceh dan di desa-desa Kristen di manusia yang tertindas oleh kekuatan-kekuatan
wilayah Toraja Sulawesi Selatan, dan kezaliman, tirani dan tahayyul.11
keteganganketegangan pada akhir tahun 1960-an Namun demikian, tidak jarang kerangka
yang bersumber pada reaksi umat Islam terhadap epistemologis tafsir al -Qur`an, hanya berhenti
peningkatan besar-besaran jumlah jama’ah gereja pada metode bi al-ma’tsūr,12 sehingga gerak tafsir al-
seperti Jawa Timur, Jawa Tengah serta Batak Karo Qur`an terkesan sangat teologis, pembenar dari
di Sumatera Utara. 9 Menurut keterangan Alwi yang maha benar (al-haq), kepastian dari yang maha
Shihab, pada tahun 1931 jumlah umat Krinten di absolute. Akibatnya, otoritas dan potensi kreatif
Indonesia 2,8 % dari jumlah penduduk. Pada
manusia sebagai penafsir, menjadi terkubur.
tahun 1971 menjadi 7,4 % dan pada tahun 1990 Fenomena ini oleh Khaled Abou El Fadl disebut
meningkat menjadi 9,6%. 10 Pada tahun 90-an sebagai despotisme intelektual (al-Istibdād bi alra`yi),
ketegangan antar umat beragama juga terjadi, yaitu pemaksaan pendapat tanpa otoritas yang
bahkan menjadi peristiwa yang diwarnai dengan semestinya. 13 Despotisme intelektual dalam
kekerasan. Hal ini terjadi di berbagai tempat seperti penafsiran terhadap al-Qur`an ini, akan berimbas
di Timor-Timur, Surabaya, Situbondo, Kalimantan kepada cara berpikir dan bertindak umat Islam.
Barat, Tasikmalaya, Jakarta Ambon dan Kelompok masyarakat yang mengikuti pandangan
sebagainya. tersebut, akan bertindak secara otoriter karena
Al-Qur’an sebagai wahyu dan firman Allah, mereka beranggapan bahwa pendapat mereka
menempati posisi sentral dalam Islam. Sehingga adalah kebenaran dari Tuhan yang wajib
pemahaman atas ayat-ayat yang ada didalamnya, ditegakkan.14
akan mempengaruhi sikap dan perilaku Bagaimanapun sebuah tafsir merupakan
penganutnya. Sebagai wahyu, maka al-Qur’an entitas yang berbeda dengan al-Quran. Jika al-
merupakan sebuah pencerahan, sebuah bukti atas
Quran merupakan kebenaran yang bersifat mutlak,
realitas dan sebuah penegasan kebenaran. Ia adalah
maka tafsir memiliki kebenaran yang bersifat
sebuah tanda yang jelas, sebuah bukti atau indikasi, relatif. Proses penafsiran tidak akan pernah
makna atau signifkansi, bagi seorang pemerhati,
mencapai batas akhir (on going prosess), ia akan terus
yang harus diamati, direnungkan dan dipahami. bermunculan seiring dengan banyaknya hasil
Dari wahyu akan memunculkan gagasan, saran,
interpretasi seseorang atas al-Quran, yang mana
pemikiran, penemuan ilmiah, tatanan sosial yang penafsiran tersebut tidak bisa dilepaskan dari
egaliter, dan ditemukannya kebenaran ilahi, konteks di mana tafsir itu diproduksi. 15

9 Gavin W. Jones, “Agama-Agama di Indonesia: Sejarah keterangan dan perincian-perinciannya dari ayat-ayat al-
dan Perkembangannya”, dalam Agama dan Tantangan Zaman, Qur’an sendiri, sunnah Rasuluallah, pendapat para sahabat,
Pilihan Artikel Prisma 1975-1984 (Jakarta: LP3ES, 1985), dan penjelasan para tabi’in. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah
116. dan Pengantar ilmu al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990),
10 Alwi Shihab, “Pertemuan Islam-Kristen di Indonesia, 213; lihat juga Mahmud Basuni Faudah, al-Tafsir wa al-
Sebuah Tinjauan Historis”, dalam bukunya Islam Inklusif, Manhajatuhu, terj. Mukhtar Zein, (Bandung: Pustaka, 1987),
Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, ed Nurul A 24
Rustamdji, (Bandung: Mizan, 1997), 20. 13 Khaled Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan (Jakarta:
11 Ziaul Haque, Wahyu dan Revolusi, terj. E. Setiyawati Serambi, 2004), 142-143
Al Khatab (Yogyakarta: LKiS, 2000), 9. 14 Menurut Schward, bahwa dampak dari model
12 Secara etimologis kata al-Ma’tsur merupakan isim pendekatan yang mereka terapkan terhadap teks al-Qur’an,
maf’ul dari kata Atsara yang berarti sesuatu yang dinukilkan. membuat mereka memiliki pemahaman yang kaku terhadap
Sedangkan terminologi kata al-Ma’tsur dalam istilah ilmu hukum Islam, anti barat, dan non-muslim yang menguasai
tafsir berarti sesuatu yang diberitakan baik itu berasal dari ekonomi mayoritas umat Islam, seperti China. Lihat Adam
ayat-ayat Al-Qur’an, hadis Rasuluallah, pendapat para Schward, A Nation in Waiting: Indonesia Search for Stability
sahabat, dan para tabi’in guna menjelaskan maksud al- (Washing & Unwin, 1999), 330
Qur’an. Dengan demikian tafsir bi al-Ma’tsur adalah usaha 15 Oleh karena itu, tafsir sangat terbuka untuk dikaji

memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan mencari keterangan- dan dikritisi. Dan tidak mustahil jika kita mempersilakan

10
NUSANTARA; Journal for Southeast Asian Islamic Studies
Vol. 17, No. 1, Juni 2021

Sebagaimana yang disebut oleh Abdul Mustaqim Syria, Muhammad Syahrûr, mencetuskan
bahwa epistemologi tafsir sangat dipengaruhi oleh hermeneutika dalam memahami ayat-ayat hukum,
latar belakang keilmuan, pandangan hidup mufasir, khususnya melalui teori batas (nazhariyyat al-hadd). 21
dan tujuan penafsiran itu sendiri. 16 Meminjam Di Afrika Selatan, beranjak dari kritik terhadap
analogi Abdullah Darras, dia menggambarkan apartheid, Farid Esack melontarkan metodologi
bahwa ayat-ayat al-Quran bagaikan intan. Setiap penafsiran ayat-ayat al-Qur`an dalam konteks
sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda pembebasan dari segala penindasan melalui
dengan apa yang terpancar dari sudut lainnya.17 hermenetika resepsinya (reception hermeneutics).22 Di
Maroko, Muhammad ‘Âbid al­Jâbirî, seorang yang
Misalnya pertumbuhan tafsir di Timur
selama ini dikenal sebagai guru besar filsafat Islam,
Tengah, tempat dimana tafsir al-Qur`an semula
juga tidak hanya menulis tafsir dalam karyanya,
tumbuh dan berkembang, sebagaimana telah
Fahm al-Qur`ân,23 melainkan juga menulis tentang
disurvei secara ekstentif oleh Muhammad Husayn
metodologi tafsir dalam karyanya, Madkhal ilâ al-
al-Dzahabî dalam disertasinya yang kemudian
Qur`ân al-Karîm.24
diterbitkan dengan judul al-Tafsîr wa al-Mufassirûn
(Tafsir dan Para Penafsir), tafsir al-Qur`an sejak Sebagai salah satu negara dengan penduduk
periode klasik hingga periode modern telah mayoritas beragama Islam, Indonesia juga
berkembang dengan berbagai corak aliran, baik memiliki khazanah tafsir yang tidak kurang dari
Ahl al­Sunnah maupun Syî’ah, dan latar belakang negara-negara muslim lainnya. Meskipun, menurut
spesialisasi keilmuan penafsir, baik kalangan Nashruddin Baidan, perkembangan tafsir di
teolog, fuqahâ`, sufi, maupun ilmuwan. 18 Indonesia baru dimulai pada abad ke-20, namun
Demikian dinamisnya sebuah tafsir. pada hari ini, perkembangan tafsir di Indonesia
tidak kalah dibandingkan dengan perkembangan di
Tidak hanya di Timur Tengah, perkembangan
negara-negara lain, baik di Timur Tengah maupun
pemikiran tentang tafsir al-Qur`an juga telah
Asia Tenggara. 25 Dari segi produk penafsiran
merambah ke berbagai belahan dunia dengan
(karya-karya tafsir), sebagaimana disurvei oleh
berbagai corak dan metodologinya. Di anak benua
beberapa pengkaji, seperti Nashruddin Baidan, 26
India, misalnya, juga muncul para pencetus tafsir
al-Qur`an, seperti Farâhî, Ishlâhî yang terkenal
dengan analisis struktur kalimat (nazhm), 19 dan
Fazlur Rahman dengan gerakan ganda (double
movement) dalam teori hermeneutikanya. 20 Di

orang lain memandangnya dari sudut lainnya, dia akan 20 Fazlur Rahman, Islam and Modernity, terj. Ahsin
melihat lebih banyak dari apa yang kita lihat. Demikian Mohammad dengan judul Islam dan Modernitas, terj.
halnya dengan sahabat Ali bin Abi Thalib yang melarang (Bandung: Pustaka, 1995), h. 7-8.
Ibnu Abbas menggunakan Al-Quran dalam mendebat orang 21 Andreas Christmann, “The Form is Permanent, But

lain, karena Al-Quran mengandung banyak wajah.Ali the Content Moves: the Qur`anic Text and Its
menyatakan bahwa Al-Quran dalam artian mushaf tidaklah Interpretation(s) in Mohamad Shahrour`s al-Kitâb wa al-
sanggup berbicara, kecuali manusialah yang membuatnya Qur`ân,” dalam Suha Taji­Farouki (ed), Modern Muslim
berbicara.Manusia yang bertugas mengungkap pesan yang Intellectual and the Qur`an, (London: The Institute of Ismaili
terkandung dalam Al-Quran agar dapat berfungsi memberi Studies, 2004).
petunjuk. H.U Syafrudin, Paradigma Tekstual dan Kontekstual 22 Farid Esack, Qur’an, Liberation, and Pluralism: an

(Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 2-3. Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppressin
16 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Cet. (Oxford: Oneworld Publications, 1997), h. 51-52
II; Yogyakarta: LKis, 2012), hlm. 9. 23 Muhammad ‘Âbid al­Jâbirî, Fahm al-Qur`ân al-

Hakîm: al-Tafsîr al-WâdhihHasab Tartîb al-Nuzûl (Beirut:


18 Lihat lebih lanjut Muhammad Husayn al-Dzahabî, Markaz Dirâsât al-Wahdah al­‘Arabiyyah, 2008).
al-Tafsîr wa al-Mufassirun: Bahts Tafshîlî ‘an Nays`at al-Tafsîr wa 24 Muhammad ‘Âbid al­Jâbirî, Madkhal ilâ al-Qur`ân al-

Tathawwurih wa Alwânih wa Madzâhibih ma’a ‘Ardh Syâmil li Karîm, (Beirut: Markaz Dirâsât al­Wahdah al­‘Arabiyyah,
Asyhar al-Mufassirîn wa Tahlîl Kâmil li Ahamm Kutub al-Tafsîr 2006)
min ‘Ashr al-Nabî Shallâ Allâh ‘alayh wa Sallam ilâ ‘Ashrinâ al- 25 Wardani, Trend Perkembangan Pemikiran Kontemporer;

Hâdhir (Cairo: Dâr al-Hadîts, 2005), 3 volume Metodologi Tafsiral-Qur`an di Indonesia, 6 – 7.


19 Mustansir Mir, Coherence in the Qur`an: A Study of 26 Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur`an di

Islâhi’s Concept of Nazm in Tadabbur-i Qur`ân (Washington: Indonesia (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003).
American Trust Publications, 1986)

11
Munzir Hitami: Nilai-Nilai Pluralisme dalam tafsir Nusantara

Howard M. Federspiel,27 Islah Gusmian,28 dan M. menyelesaikan studi S2 pada Hukum Islam dalam
Nurdin Zuhdi, 29 tafsir Indonesia mengalami Ilmu Agama Islam Bidang Konsentrasi Syari’ah
perkembangan yang pesat pada periode modern IAIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2003. 33
dan kontemporer. Tesis ini membahas tentang ayat-ayat al-Qur’an
tentang pluralisme agama secara umum dengan
Selain itu, beberapa riset menunjukkan bahwa
mengambil sudut pandang mufassir. Disamping
yang meneliti tentang al-Qur’an di Nusantara, 30
itu juga menjelaskan titik perbedaan mendasar
diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh
antara kedua mufassir tersebut dalam memandang
Izza Rohman Nahrowi dengan judul Karakteristik
ayat-ayat yang dinilai pluralistik.
Kajian al-Quran di Indonesia. Namun demikian,
penelitiannya hanya berkisar pada pemaparan Islah Gusmian, dalam salah satu tulisannya
karakter kajian alQur’an (baik itu tafsir ataupun juga merekomendasikan pentingnya kajian studi
karya-karya ulum al-Qur’an yang beredar di Qur’an dengan menimbang aspek kesejarahan dan
Indonesia pada tahun 1998-2002.31 lolitas sekaligus, baik dari aspek bahasa dan aksara
yang dipakai maupun karakteristik lokal yang
Sedangkan penelitian yang berkaitan dengan
menyangganya. 34 Artinya, memahami pluralisme
topik pluralisme agama dan al-Qur’an diantaranya
tanpa merefer para ahli tafsir dengan
adalah tesis yang ditulis oleh H. Abdullah SA
memperhatikan konstruksi sejarah dan
tentang “Kebebasan Beragama dalam Perspektif
kebahasaan, menjadi kurang tepat.
al-Qur’an (Suatu Pendekatan Tafsir Mawdu’i)”.
Tesis ini menjelaskan beberapa ayat yang terkait Oleh karena itu, penelitian tentang wacana
dengan pluralisme agama, lalu menjelaskan tafsir pluralisme agama di kalangan mufasir atau
pandangan mufassir tentang ayat-ayat tersebut. 32 ulama di nusantara belum diteliti secara apik.
Kemudian penelitian saudari Isnatin Ulfa tentang Sehingga penting sekali untuk mengungkap
“Perspektif al-Qur’an tentang Pluralisme Agama bagaimana para Ulama tafsir di Nusantara, dalam
(Tela’ah Komparatif terhadap Pluralisme Agama “membaca” aspek paling sensitif dalam agama,
dalam Tafsir Jami’ al-Bayan dan Tafsir al-Mizan)”. yaitu pluralisme. Disadari atau tidak, bidang tafsir
Riset ini, merupakan tesis yang ditulis untuk memainkan peran penting dalam memberikan

27 Howard M. Federspiel, Popular Indonesian Literature of W. Van Hoeeve, 1955), 169. Nah, di era post-modernisme
the Qur`an (Ithaca, New York: Cornell Modern Indonesia saat ini, istilah “pinggiran” (peripheral) bagi tafsir Nusantara—
Project, 1994). Karya diterjemahkan ke bahasa Indonesia jika diperlawankan dengan “sentral” yang didominasi oleh
oleh Tajul Arifin dengan judul Kajian al-Qur`an di Indonesia: tafsir Timur Tengah— sudahlah tidak tepat lagi, karena baik
dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab, (Bandung: Mizan, tafsir “universal”, jika boleh meminjam oposisi binner,
1996). maupun tafsir “lokal” itu memiliki urgensi yang sama.
28 Islah Gusmian, Kajian Tafsir Indonesia: dari Lokalitas tafsir dan metodologi tafsir yang mendasarinya,
Hermeneutika Hingga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2003). akan memunculkan orisinalitas dan karakter keindonesian
29 M. Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir Indonesia: dari yang perlu diapresiasi, yang tidak selalu ditemukan akarnya
Kontestasi Metodologi hingga Kontekstualisasi (Yogyakarta: dari khazanah tafsir Timur Tengah
Kaukaba, 2014). 31 Izza Rohman, “Karakteristik Kajian al-Quran di
30 Istilah Nusantara ini digunakan karena, beberapa Indonesia”. Skripsi Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif
mufassir di Indonesia memang memiliki karakteristik Hidayatullah Jakarta tahun 2002.
tersendiri yang membedakannya dari tafsir Timur Tengah. 32 H. Abdullah SA, “Kebebasan Beragama dalam

Memang, dalam wacana studi Islam dikalangan Islamisists dan Perspektif al-Qur’an (Suatu Pendekatan Tafsir Mawdu’i)”,
orientalist Barat, masyarakat Muslim di Asia Tenggara yang dalam Tesis, (Surabaya: Hukum Islam dalam Ilmu Agama
jauh dari the heart land of Islam, Makkah dan Madinah atau Islam Bidang Konsentrasi Syari’ah IAIN Sunan Ampel
Timur Tengah pada umumnya, seringkali dianggap sebagai Surabaya, 2002)
Islam pinggiran (periferal), sebuah praktik keagamaan yang 33 Isnatin Ulfa, “Perspektif al-Qur’an tentang
dianggap jauh dari bentuk “asli”. Misalnya, Landon, yang Pluralisme Agama (Tela’ah Komparatif terhadap Pluralisme
menyebutkan bahwa “Islam di Nusantara hanyalah lapisan tipis Agama dalam Tafsir Jami’ al-Bayan dan Tafsir alMizan)”,
diatas kebudayaan local”. Lihat K.P. Landon, Southeast Asia ; dalam Tesis, (Surabaya: Hukum Islam dalam Ilmu Agama
Crossroad of Religion, (Chicago : University ofe Chicago Press, Islam Bidang Konsentrasi Syari’ah IAIN Sunan Ampel
1949), 134 – 164. Begitu juga Van Leur memberikan Surabaya, 2003)
justifikasi terhadap asumsi tersebut, yakni dengan 34 Islah Gusmian, “Tafsir al-Qur’an dan Kekuasaan;

mengibaratkan Islam di Asia Tenggara sebagai lapisan tipis Menelusuri Jejak Dealektika Tafsir al-Qur’an dan Praktik Politik
yang mudah terkelupas dalam timbunan budaya setempat. Rezim Orde Baru”, dalam AICIS XIV (2014).
J.C. Van Leur, Indonesia Trade and Sosciety, (Den Haag :

12
NUSANTARA; Journal for Southeast Asian Islamic Studies
Vol. 17, No. 1, Juni 2021

gambaran tentang universalitas Islam. Tafsir analitis-kritis untuk mencermati sejauh mana
merupakan manifestasi upaya pemahaman akan al- penafsiran tersebut saling berkelindan atau saling
Qur’an sebagai pedoman utama umat Islam. Tafsir bertolak belakang demi tercapainya hasil yang
adalah akar mula seluruh pemahaman dalam diharapkan. Analisa dan kritik ini tentunya tidak
bangunan keagamaan Islam.35 dimaksudkan untuk meragukan kapabilitas
mufassir dimaksud, akan tetapi lebih pada upaya
Penelitian ini, akan mencoba membaca atau
untuk menilai dengan obyektif sebelum
membatasi sampel hanya pada beberapa buku
mengamini atau menolak tawaran tafsir yang
tafsir yang ditulis oleh mufassir Nusantara, yaitu
disuguhkan. Dengan demikian, kajian ini
Tafsir al-Nur Marah Labid karya Nawawi al-
berbentuk kajian kualitatif yang mendasarkan data-
Bantani; Hamka, Tafsir al-Azhar; dan Tafsir Al-
datanya, murni pada survey kepustakaan untuk
Mishbâh. 36 Serta beberapa pandangan para
memperoleh gambaran dan penjelasan berupa
intelektual muslim Indonesia dalam memaknai
asumsi-asumsi dasar yang diperoleh dari hasil
beberapa istilah kunci dalam penelitian ini.
hipotesis. 42 Di samping itu, peneliti menjadi alat
Misalnya, Nurcholish Madjid, Abdurrahman
utama untuk mengumpulkan data sebagaimana
Wahid, M. Dawam Rahardjo, 37 Abd. Moqsith
yang dikemukakan oleh Lexy J. Moleong dalam
Ghazali,38 Djohan Effendi,39 Jalaluddin Rahmat, 40
kajian kualitatif.43
dan Budhy Munawar-Rahman.41
Kajian ini, menggunakan metode deskriptif
untuk memaparkan penafsiran masing-masing Nalar Pluralisme Agama; Sebuah Eksistensi
mufassir terhadap beberapa ayat, yang menjadi Tafsir Nusantara
sampel penelitian. Hal ini penting dilakukan Kajian tentang pluralisme agama dalam studi
sebelum menggunakan metode komparatif untuk agama-agama terbilang baru.44 Seratus tahun yang
mendapatkan gambaran perbandingan yang lalu tidak ada seorang pun menyebut atau menulis
sebenarnya antara kedua penafsiran yang dikaji. tentangnya. Yang kita temukan adalah istilah
Setelah sampel dibandingkan, dibutuhkan metode
convivencia (bahasa Spanyol untuk co-existence atau

35 Ulya Fikriyati, “Isu-isu Global dalam Khazanah 43 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian: Kualitatif,

Tafsir Nusantara: Studi Perbandingan antara Tafsir marah (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2004), h. 165
lab´d dan tafsîr almishbâh” dalam Jurnal Ṣuḥuf, Vol. 6, No. 2, 44 Dalam catatan Anis Malik Thoha, setidaknya wacana

2013 (Jakarta: Lajnah Pentashihan Al-Qur’an Kemenag RI, pluralisme agama lahir sektar tahun 60-an. Wacana ini
2003) berawal dari agama Kristen yang dimulai setelah Konsili
36 Alasan pemilihan ini, sesungguhnya karena alasan Vatikan II pada permulaan tahun 60-an yang
pragmatis saja. Pertama, ingin membaca konsep kunci tentang mendeklerasikan “keselamatan umum” bahkan untuk
pluralisme agama dari masa dan tempat yang berbeda-beda. agama-agama di luar Kristen. Gagasan pluralisme ini
Dari sisi latar belakang dan bahasa yang digunakan dalam sebenarnya adalah sebagai upaya peletakan landasan teologis
penulisan tafsirnya. Kedua, Pemilihan ini dimaksudkan untuk Kristen untuk berinteraksi dan bertoleransi dengan agama-
melihat dinamika keberagaman tafsir, pergeseran penafsiran agama lain. Ada juga pendapat bahwa wacana ini lahir dari
dari masa yang berbeda pula. Rammohan Ray (1773-1833) pencetus gerakan Brahma
37 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur`an: Tafsir Samaj dari India, yang semula pemeluk agama Hindu, telah
Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, mempelajari konsep keimanan terhadap Tuhan dari sumber-
2002). sumber Islam, sehingga ia mencetuskan pemikiran Tuhan
38 Abdul Moqsith Ghozali, Argumen Pluralisme Agama: Satu dan persamaan antar agama. Selain itu, Sri Rama
Membangun Toleransi Berbasis al-Qur`an (Jakarta: Kata Kita, Krishna (1834-1886), seorang mistis Bengali, setelah
2009). mengarungi pengembaraan spritual antar agama (passing
39 Djohan Effendi, Pesan-pesan al-Qur`an: Mencoba over) dari agama Hindu ke Islam, kemudian ke Kristen dan
Mengerti Intisari Kitab Suci, (Jakarta: Serambi, 2012) akhirnya kembali ke Hindu lagi. Anis Malik Thoha, Tren
40 Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme; Akhlak Pluralisme Agama, (Jakarta: Perspektif, 2005), h. 14. Meskipun
Qur’an Menyikapi Perbedaan, (Jakarta: Serambi, 2006) sesungguhnya, secara teoretis gagasan tentang pluralisme ini
41 Budhy Munawar Rachman, Argumen Islam untuk bukanlah sebuah fenomena baru dalam Islam. Budhy
Pluralisme, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Munawar-Rachman, Argumen Islam untuk Pluralisme, (Jakarta:
2010) PT Grasindo, 2010), 16
42 Robert Bogdan & Steven J. Taylor, Kualitatif, Dasar-

dasar Penelitian, terj. A. Khozin Afandi, (Surabaya: Usaha


Nasional, 1993), h. 30

13
Munzir Hitami: Nilai-Nilai Pluralisme dalam tafsir Nusantara

hidup bersama dengan rukun damai), toleration atau kegerejaan maupun non kegerejaan. Kedua,
tolerance (dari bahasa Latin tolero, tolerare yang artinya pengertian filosofis; berarti system pemikiran yang
membawa, memanggul, menanggung, menahan (to mengakui adanya landasan pemikiran yang
carry, bear, endure, sustain; to support, keep up, mendasarkan lebih dari satu. Sedangkan ketiga,
maintain). 45 Di era modern, wacana ini pengertian sosio-politis: adalah suatu system yang
dikembangkan oleh sejumlah pemikir Kristen mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik
mutakhir, yaitu Raimundo Panikkar (seorang yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai
pastor Katholik kelahiran Sepanyol yang ayahnya dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek
beragama Hindu), 46 Wilfred Cantwell Smith perbedaan yang sangat kerakteristik di antara
(pengasas dan mantan pengarah Institute of Islamic kelompok-kelompok tersebut.52
Studies di McGill University Canada), 47 Fritjhof Bagi Moh. Shofan pluralisme adalah upaya
Schuon (mantan Kristen yang pergi mengembara untuk membangun tidak
keluar masuk pelbagai macam agama),48 dan John
saja kesadaran normatif teologis tetapi juga
Hick (profesor teologi di Claremont Graduate School kesadaran sosial, di mana kita hidup di tengah
California USA).49 masyarakat yang plural dari segi agama, budaya,
Secara etimologi, pluralisme agama, berasal etnis, dan berbagai keragaman sosial lainnya. 53
dari dua kata, yaitu "pluralisme" dan "agama". Karenanya, pluralisme bukanlah konsep teologis
Dalam bahasa Arab diterjemahkan "al-ta'addudiyyah semata, melainkan juga konsep sosiologis.
al-diniyyah" dan dalam bahasa Inggris "religious Sementara itu Syamsul Ma’arif mendefinisikan
pluralism". Pluralism berarti "jama'" atau lebih dari pluralisme adalah suatu sikap saling mengerti,
satu. Martin H. Manser dalam Oxford Learner’s memahami, dan menghormati adanya perbedaan-
Pocket Dictionary: menyebutkan bahwa “Plural (form perbedaan demi tercapainya kerukunan antarumat
of a word) used of referring to more than one”. 50 beragama. Dan dalam berinteraksi dengan aneka
Sedangkan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ragam agama tersebut, umat beragama diharapkan
pluralisme diartikan sebagai hal yang mengatakan masih memiliki komitmen yang kokoh terhadap
jamak atau tidak satu”.51 agama masing-masing.54
Pluralism dalam bahasa Inggris menurut Anis Dari beberapa definisi di atas dikatakan bahwa
Malik Thoha mempunyai tiga pengertian. Pertama, pluralisme merupakan suatu faham tentang
pengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk orang kemajemukan yang mana terdapat beraneka ragam
yang memegang lebih dari satu jabatan dalam ras dan agama yang hidup berdampingan dalam
struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan suatu lokasi. Di sini pluralisme tidak hanya sekedar
atau lebih secara bersamaan, baik bersifat hidup berdampingan tanpa mempedulikan

45 Lihat misalnya John Locke, A Letter Concerning macam agama ketika mengajar di India di tahun 1941 – 1945.
Toleration (London, 1689; aslinya dalam bahasa Latin berjudul Dia termasuk penggagas berdirinya Islamic Studies McGill
Epistola de Tolerantia) dan Voltaire, Traité sur la tolerance (Paris, University, Canada. di W.C. Smith, The Meaning and End of
1763). Menurut kamus Oxford English Dictionary, “tolerance Religion (London: S.P.C.K., 1978) = Memburu Makna Agama,
is the ability or willingness to tolerate the existence of opinions or (Bandung: Mizan, 2004)
behaviour that one dislikes or disagrees with; the capacity to endure 48 F. Schuon, The Transcendent Unity of Religions, tr. Peter

continued subjection to something such as a drug or environmental Townsend (New York: Pantheon, 1953) = Mencari Titik Temu
conditions without adverse reaction.” Agama-Agama (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003)
46 Pannikar adalah seorang Spanyol yang beragama 49 J. Hick, Problems of Religious Pluralism (New York: St

Katolik, dan ayahnya beragama Hindu. Ia juga seorang Martin Press, 1985)
Pastor, yang memperoleh gelar Doktor dalam bidang Sains, 50 Martin H. Marsen, Oxford Leaner’s Pokcet Dictionary,

Filsafat, dan Teologi. Dalam salah satu tulisannya ia menulis (Oxford: Oxford University, 1999), Third Edition, 329
“Saya meninggalkan Kekristenan saya, menemukan diri nsaya sebagai 51 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus

Hindu, dan kembali menjadi penganut Budha, tanpa berhenti menjadi Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), 691
seorang penganut Kristen”. R. Panikkar, The Intra-Religious 52 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan

Dialogue (New York: Paulist Press, 1978), dalam edisi Bahasa kritis, (Jakarta: Perspektif, 2005), 11
Indonesia, buku ini berjudul Dialog Intra Religius, (Yogyakarta: 53 Moh. Shofan, Menegakkan Pluralisme: Fundamentalisme

Kanisius, 1994). Konservatif di Tubuh Muhammadiyah, (Jakarta: LSAF, 2008), 87


47 Wilfred Cantwell Smith adalah seorang sejarawan 54 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia,

agama yang memiliki pengalaman langsung dengan berbagai (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005), 17

14
NUSANTARA; Journal for Southeast Asian Islamic Studies
Vol. 17, No. 1, Juni 2021

orang lain. Hal itu membutuhkan ikatan, Berdasarkan pengertian tersebut, tidak heran
kerjasama, dan kerja yang nyata. Ikatan komitmen jika Nurcholis Madjid memberikan catatan
yang paling dalam, perbedaan yang paling terhadap mereka dalam mengambil sikap
mendasar dalam menciptakan masyarakat secara pluralisme agama; Pertama, Sikap eksklusif dalam
bersama-sama menjadi unsur utama dari melihat agama lain. Sikap ini memandang agama-
pluralisme. agama lain adalah jalan yang salah, yang
menyesatkan umat; Kedua, Sikap inklusif.. Sikap ini
Adapun tentang agama para ahli sosiologi dan
memandang agama-agama lain adalah bentuk
antropologi cenderung mendefinisikan agama dari
implisit dari agama yang kita yakini; dan Ketiaga,
sudut fungsi sosialnya-yaitu suatu system
Sikap pluralis. Sikap ini bisa terekspresikan dalam
kehidupan yang mengikat manusia dalam satuan-
macam-macam rumusan, misalnya pengakuan
sataun atau kelompok-kelompok sosial.
bahwa “agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama
Sedangkan kebanyakan pakar teologi,
sah untuk mencapai kebenaran yang sama”, atau
fenomenologi dan sejarah agama melihat agama
“agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi
dari aspek substansinya yang sangat asasi-yaitu
merupakan kebenaran yang sama sah”, atau “setiap
sesuatu yang sakral.
agama mengekspresikan bagian penting bagi sebuah
Dengan demikian, maka akan didapat kebenaran”.58
pengertian pluralisme agama adalah suatu sikap
Jadi, pluralisme sesungguhnya adalah sebuah
membangun tidak saja kesadaran normatif teologis
aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak akan
tetapi juga kesadaran sosial, di mana kita hidup di
berubah, sehingga tidak mungkin dilawan atau
tengah masyarakat yang plural dari segi agama,
diingkari. 59 Karenanya, pluralisme sebagai desain
budaya, etnis, dan berbagai keragaman sosial
Tuhan (sunnatullah) harus diamalkan berupa sikap
lainnya. Selain itu, pluralisme agama juga harus
dan tindakan yang menjunjung tinggi sikap
dipahami sebagai pertalian sejati dalam
beragama yang toleran.
kebhinekaan. Pluralisme tidak juga bisa dimaknai
sebagai singkretisme, mencampuradukkan Selanjutnya menurut Nurcholis Madjid yang
berbagai agama dalam satu keyakinan. Pluralisme dikutip Rachman, mengatakan bahwa pluralisme
menghendaki adanya pengakuan (recognisi) atas agama tidak dapat dipahami hanya dengan
adanya berbagai perbedaan. 55 Pluralisme agama mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk,
juga bukan ajaran relativisme, bahwa semua beraneka ragam, berdiri dari berbagai suku dan
kebenaran dalam setiap agama adalah relativ, agama yang justru hanya menggambarkan kesan
sehingga akan menggerus keimanan seseorang. fragmentasi bukan pluralisme. Pluralisme agama harus
Pluralisme agama juga bukan berarti meminta dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan
orang untuk berpindah agama, apalagi memaksa dalam ikatanikatan keadaban (genuine engagement of
orang lain untuk pindah agama.56 Oleh karena itu, diversities within the bond of civility). 60 Sementara itu
secara epistemologis, pluralisme agama adalah menurut Alwi Shihab pluralisme yaitu tiap pemeluk
meyakini bahwa agama yang dipeluknya adalah agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan
agama yang paling benar, namun pada saat yang dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha
sama, ia juga meyakini bahwa orang lain yang memahami perbedaan dan persamaan guna
memeluk agama berbeda, memiliki memiliki tercapainya kerukunan, dalam klebhinekaan.61
keyakinan yang sama.57

55 Budhy Munawar Rachman, Argumen Islam untuk 57 Ibid, 94


Pluralisme, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 58 Nurcholis Madjid, “Mencari Akar-Akar Islam bagi
2010), 74 Pluralisme Modern: Pengalaman Indonesia”, dalam Mark R.
56 Ibid, 80. Pandangan yang sama dikemukakan oleh Woodward (ed), Jalan Baru, (Bandung: Mizan, 1998), 56
Alwi Shihab, bahwa pluralisme agama bukanlah sinkretisme, 59 Ibid, 106

yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan 60 Budi Munawar Rachman, Islam Pluralis, (Jakarta:

unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa Paramadina, 2001), 39
agama untuk dijadikan bagian integral dari agama tersebut. 61 Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka ,

Lihat Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka, (Bandung: Mizan, 1999), 39
(Bandung: Mizan, 1999), 41-42

15
Munzir Hitami: Nilai-Nilai Pluralisme dalam tafsir Nusantara

Dari beberapa definisi menurut para ahli di surat Yunus ayat 99, menegur keras Nabi
atas, maka dapat disimpulkan bahwa pluralisme Muhammad SAW ketika beliau menunjukkan
agama merupakan sunnatullah yang tidak akan bisa keinginan dan kesediaan yang menggebu untuk
dirubah atau diingkari. Karenanya pluralisme harus memaksa manusia menerima dan mengikuti ajaran
diamalkan berupa sikap saling mengerti, yang disampaikanya, sebagai berikut:
memahami, dan menghormati antarumat Dan jikalau Tuhanmu menghendaki,
beragama guna tercapainya kerukunan umat tentulah beriman semua orang yang di muka
beragama dan terjalin pertalian sejati kebhinekaan. bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu
Bisa juga dipahami bahwa "pluralitas agama" (hendak) memaksa manusia supaya mereka
adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar menjadi orang-orang yang beriman
agama (dalam arti yang luas) yang berbeda-beda semuanya (QS. Yunus: 99)
dalam satu komunitas dengan tetap
mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran Ayat di atas telah mengisyaratkan bahwa
masing-masing agama.62 manusia diberi kebebasan percaya atau tidak.
Kaum Nabi Yunus yang tadinya enggan beriman,
Makna tersebut, dalam konteks Indonesia
dengan kasih sayang Allah swt. yang telah memberi
tentu menjadi sangat penting untuk peringatan kepada mereka, hingga kaum Yunus
dikembangkan. Dalam sejarah panjang perjalanan
yang tadinya membangkang, kemudian atas
bangsa ini, ketegangan intra beragama dan antar kehendak mereka sendiri mereka sadar dan
umat beragama senantiasa menghiasi perjalanan beriman. 64 Demikianlah prinsip dasar Al-Qur’an
bangsa ini. Sudah banyak konflik terjadi dalam satu
yang berkaitan dengan masalah pluralisme dan
dasawarsa terakhir. Korban tewas dalam konflik toleransi. Karena Islam menilai bahwa syarat untuk
sudah tak terhitung. Rumah-rumah peribadatan membuat keharmonisan adalah pengakuan
hancur, sebagian hangus di bakar, sebagian luluh terhadap komponen-komponen yang secara
lantak dirobohkan, dan sebagian lainnya rusak oleh alamiah berbeda.
amuk massa yang terbakar api kemarahan
bersentimen keagamaan.63 Dengan demikian, menjadi penting untuk
melihat dan mendalami bagaimana para ulama
Salah satu bagian penting dari konsekuensi memberikan tafsir atas fenomena ini dalam al-
tata kehidupan global yang ditandai kemajemukan Qur’an. Sebab, hasil riset yang dilakukan oleh Islah
etnis, budaya, dan agama tersebut, adalah Gusmian,65 menunjukkan bahwa tafsir Al-Qur’an
membangun dan menumbuhkan kembali bukan sekadar menjadi arena pemahaman atas teks
semangat ber-tasâmuh dalam masyarakat. Karena Al-Qur’an an sich, tetapi juga menjadi arena
pada hakikatnya kita semua adalah sebagai seorang penafsir dalam memahami realitas sosial-politik
”saudara” dan ”sahabat”. Bahkan, Islam melalui yang terjadi. Dengan demikian, tafsir tidak sekadar
Al-Qur’an dan Hadistnya juga mengajarkan sikap-
bersifat abstrak, transhistoris, melainkan konkret
sikap toleran. Dalam kaitannya yang langsung dan secara sosial-politik menjadi sikap penafsir
dengan prinsip inilah Allah, di dalam Al-Qur’an atas realitas sosial-politik yang terjadi. Tafsir tidak

62 Sebagaimana yang dikemukakan oleh Peter Byrne, salvation. (3) All major [religious] traditions are to be seen as
profesor di King‟s College London UK, bahwa pluralisme agama containing revisable, limited accounts of the nature of this reality: none
merupakan persenyawaan tiga tesis, yaitu: Pertama, semua is certain enough in its dogmatic formulations to provide the norm for
tradisi agama-agama besar dunia adalah sama, semuanya interpreting the others.”
merujuk dan menunjuk sebuah realitas tunggal yang 63 Amirulloh Syarbini, Al-Qur’an dan Kerukunan Hidup

transendent dan suci. Kedua, semuanya sama-sama Umat Beragama (Bandung: Quanta, 2011), 2-3
64 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan
menawarkan jalan keselamatan. Dan Ketiga, semuanya tidak
ada yang final. Artinya, setiap agama mesti senantiasa terbuka Keserasian Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2005), cet 1, vol
untuk dikritik dan ditinjau kembali. Peter Byrne, Prolegomena 6. 164
to Religious Pluralism (London: Macmillan Press, 1995), 191: 65 Islah Gusmian, “Tafsir Al-Qur’an dan Kekuasaan;

dalam bahasa aslinya beliau menulis “The three defining theses of Menelusuri Jejak Dialektika Tafsir Al-Qur’an dan Praktik
our version of [religious] pluralism are as follows: (1) All major Politik Rezim Orde Baru”, dalam Paper AICIS 2014,
religious traditions are equal in respect of making common reference to Balikpapan.
a single, transcendent reality. (2) All major [religious] traditions are
likewise equal in respect of offering some means or other to human

16
NUSANTARA; Journal for Southeast Asian Islamic Studies
Vol. 17, No. 1, Juni 2021

sekadar sebagai bentuk media komunikasi yang berperasaan, bertempat tinggal maupun dalam
menangkap dan kemudian menampilkan kembali bertindak.
titah Tuhan dari teks Al-Qur’an, lebih dari itu tafsir Al-Qur’an dalam memberikan ide tentang
juga merupakan sebuah misi praksis-pragmatik
kesadaran terhadap Pluralisme agama terhadap
dengan membahas isu-isu sosial-politik yang umat manusia, diantaranya tampak dari beberapa
sedang terjadi pada saat tafsir ditulis dan firman-Nya sebagai berikut :
dipublikasikan. Misi yang di dalamnya kemudian
lahir gerakan keberpihakan pada hal-hal yang oleh Pertama, Mengakui eksistensi perbedaan.
penafsir diyakini benar dan bermanfaat bagi Perbedaan ini, tidak hanya pada konteks ras, suku,
kehidupan umat manusia. bahasa, tapi juga agama. “Hai manusia, Sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
Dalam konteks ini, para ulama nusantara,
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
ketika menafsirkan juga tidak mungkin berada bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
dalam ruang kosong, tanpa memperdulikan mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
sekelilingnya. Artinya, Indonesia yang memiliki kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
tingkat pluralitas yang sangat tinggi, 66 tidak kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
mungkin dilewati begitu saja oleh para ulama tafsir. Mengenal (Q.S al Hujurat: 13);
Senan, pluralitas itu sesungguhnya menjadi bagian
yang tidak terpisah dari kehidupan alam raya ini, Hamka dalam tafsirnya menguraikan awal
dan menjadi modal besar bagi Bangsa Indonesia penciptaan manusia yaitu berasal dari jiwa yang
dalam membangun kehidupan yang penuh dengan satu yaitu Adam as kemudian dijadikan istrinya
kenyamanan dan kedamaian. Masing-masing bisa Hawa. perkumpulan kedua insan tersebut
saling memperkaya dan memberikan perspektif mengakibatkan berkumpulnya dua khama yang
kehidupan yang bermanfaat untuk meningkatkan belum mempunyai warna dan sifat kemudian
kualitas kehidupan bersama. berwarna menurut iklim buminya, hawa udaranya,
letak tanahnya, peredaran musimnya, sehingga
Jejak Pluralisme Agama dalam Tafsir di
timbullah warna dan sifat yang berbeda-beda.
Nusantara Terjadinya berbagai bangsa, suku-suku, warna
Gagasan Tuhan tentang pluralisme agama ini, kulit, bahasa bukan agar bertambah lama
tercermin dari beberapa Firman yang Dia bertambah jauh, melainkan supaya mereka saling
sampaikan dalam al-Qur’an. Tuhanlah yang mengenal, kenal mengenal darimana asal usulnya,
menghendaki makhlukNya bukan hanya berbeda darimana pangkal nenek moyangnya, darimana
dalam realitas fisikal melainkan juga berbeda-beda asal keturunan dahulu kala. Dengan demikian
dalam ide, gagasan, berkeyakinan, dan beragama. dimanapun manusia pergi dia suka mengaji asal
Pluralitas ini, tentunya menghendaki adanya usulnya karena ingin mencari pertalian dengan
hubungan antar umat beragama untuk saling orang lain agar yang jauh menjadi dekat, yang
menghargai dan rukun. Kerukunan ini, harus renggang menjadi karib. Kesimpulannya adalah
didasari oleh kesadaran hidup bermasyarakat tidak ada perbedaan antara satu dengan yang
secara plural. Sekaligus disertai dengan keyakinan lainnya sehingga tidak perlu membangkit-
bahwa pluralitas Agama merupakan Sunnatullah. bangkitkan perbedaan akan tetapi menginsafi
Karena pluralisme agama dalam Islam itu diterima adanya persamaan keturunan, karena pada
sebagai kenyataan sejarah yang sesungguhnya hakekatnya yang membedakan manusia disisi
diwarnai oleh adanya pluralitas kehidupan manusia Allah swt hanyalah ketakwaannya.67
itu sendiri, baik Pluralitas dalam berpikir,

66 Sekedar mengulang betapa Indonesia itu Indonesia atau tepatnya 1.340 suku bangsa menurut sensus
“berpelangi” sangat indah, adalah bahwa kekayaan Indonesia BPS tahun 2010. Sementara agama-agama yang dianut
tidak saja sebatas pada hasil alam saja, tetapi juga pada ragam penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
suku, bahasa, agama, kepercayaan, dan adat istiadat. Misal Budha, dan Konghucu. Di luar enam agama itu, menurut
untuk kekayaan suku bangsa, Indonesia memiliki ratusan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003, ada
nama suku bahkan ribuan jika dirinci hingga subsukunya. 245 agama lokal di Indonesia.
Terdapat lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa di 67 Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid. XIII..., h. 208-209

17
Munzir Hitami: Nilai-Nilai Pluralisme dalam tafsir Nusantara

Sementara Abdurrahman Wahid, menyatakan dengan berbangsabangsa dan bersuku-suku adalah


bahwa Islam dengan demikian mengakui dengan harapan bahwa satu dengan yang lainnya
perbedaan. Perbedaan itu akan selalu ada pada dapat berinteraksi secara baik dan positif. Lalu
setiap ciptaan Tuhan. dilanjutkan dengan ayat... inna akramakum ‘indallahi
atqakum... maksudnya, bahwa interaksi positif itu
“Kitab suci al-Qur’an menyatakan,
sangat diharapkan menjadi prasyarat kedamaian
sesungguhnya telah Ku ciptakan kalian
dibumi ini. Namun, yang dinilai terbaik di sisi Allah
sebagai laki-laki dan perempuan, dan Ku
adalah mereka itu yang betul-betul dekat kepada
jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-
Allah.71
suku bangsa agar kalian saling mengenal (QS
al-Hujurat: 13), menunjukkan kepada Dalam konteks agama-agama, al-Qur’an
perbedaan yang senantiasa ada antara laki-laki menyatakan dengan tegas bahwa “Sekiranya Allah
dan perempuan serta antar berbagai bangsa menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
atau suku bangsa. Dengan demikian, (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
perbedaan merupakan sebuah hal yang diakui pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah
Islam, sedangkan yang dilarang adalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali
perpecahan dan keterpisahan (Tafarruq)”.68 kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa
yang telah kamu perselisihkan itu.” (QS. Al-Maidah:
Menurut Quraish Shihab, ayat di atas
48); Ayat lainnya, “Dan kalau Allah menghendaki,
menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan setara
niscaya dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi
di hadapan Allah. Mereka mempunyai nilai
Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan
kemanusiaan yang tidak berbeda. Hanya satu hal
memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
yang membedakan mereka jika ingin dibedakan,
(QS. An Nahl: 93).
yaitu kadar ketakwaan dalam masing-masing diri
mereka. Karena orang yang paling mulia adalah Muhammad ibn Umar Nawawi al-Jawi al-
orang yang memiliki akhlak yang baik. Baik Bantani, dalam Marah al-Labid menjelaskan sebagai
terhadap Allah, dan baik terhadap sesama berikut:
makhluk-Nya.69 (wa ma kana al-nnasu illa umatan wahidah, dan
Adapun menurut Syeikh Nawawi, manusia itu dahulu tiada lain kecuali satu
sesungguhnya tidak ada tujuan lain dari penciptaan umat) Maknanya: mereka berada dalam agama
manusia menjadi berbangsa-bangsa dan bersuku- Islam dari masa Adam sampai peristiwa
suku kecuali agar mereka bisa saling mengenal pembunuhan Habil oleh Qabil. (fa-khtalafu)
sebagai sesama manusia yang diturunkan dari satu bahwa sebagian mereka menjadi kafir dan
bapak. Oleh karena itu, diperintahkan bagi setiap sebagian yang lainnya tetap dalam agama
manusia untuk tidak membangga-banggakan Islam. (wa lau la kalimatun sabaqat min Rabbika)
keturunan dan nasabnya. Sesungguhnya yang Maknanya: kalau bukan karena Allah Ta’ala
paling mulia di hadapan Allah adalah mereka yang telah memberi tahu bahwa beban kewajiban
bertakwa.70 tetap berada di pundak hambaNya meskipun
Pada intinya bahwa ayat ini menjelaskan mereka kafir, (laqudhiya bainahum, niscaya
diputuskan hukumannya di antara mereka)
bahwa Allah swt telah menciptakan makhluknya,
dengan menyegerakan hisab dan azab karena
laki-laki dan perempuan, dan menciptakan
kekafiran mereka, dan manakala hal itu
manusia berbangsa-bangsa, untuk menjalin
menjadi sebab hilangnya beban kewajiban
hubungan yang baik. Kata ta’arafu pada ayat ini
maksudnya bukan hanya berinteraksi tetapi (taklif) dan melanggengkannya lebih baik,
berinteraksi positif. Karena itu setiap hal yang baik
dinamakan dengan ma’ruf. Dijadikannya makhluk

68 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, 71 Muhamad Arif Mustofa, “Kerukunan Umat
(Jakarta: The Wahid Institute, 2006), 134 Beragama (Studi Analisis Tentang Non Muslim, Ahlul Kitab
69 Quraish Shihab, Tafsîr Al-Mishbâh …, vol. 13, 262 & Pluralisme)”, dalam Jurnal MIZANI VOL. IX, NO.1,
70 Mu¥ammad Nawawî al-Jawi, Marah Labid…, jilid. 2, Februari 2015.
440

18
NUSANTARA; Journal for Southeast Asian Islamic Studies
Vol. 17, No. 1, Juni 2021

maka Allah menunda balasannya sampai hari dan sebagai ujian dan sarana manusia dalam
Akhirat.72 berlomba menuju kebaikan dan prestasi.
Ayat ini, menegaskan akan kemestian Kedua, Memberinya hak untuk hidup
keragaman dalam beragama. Menurut M. Qurais berdampingan saling menghormati pemeluk
Shihab memang dalam dunia ini banyak kelompok agama lain tanpa ada unsur kecurigaan. Dalam al-
yang berbeda-beda atau bertolak belakang tetapi Qur’an, Allah mengatakan “Dan janganlah kamu
itu adalah kehendak Allah. memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain
Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
“...Seandainya dia menghendaki, dia akan
melampaui batas tanpa pengetahuan… (QS. Al-An’am:
menjadikan kamu seia sekata, tetapi itu tidak
108). Ayat ini ditujukan kepada kaum Muslimin
dikehendakinya dan dia akan memutuskan
yakni, dan janganlah kamu wahai kaum muslimin
perbedaan itu kelak diakhirat bukan di dunia
memaki sembahan-sembahan, seperti berhala-
ini. Jadi jangan jadikan perbedaan sebagai
berhala yang meraka sembah selain Allah karena
dalih tidak menepati janji walaupun dengan
jika kamu memakinya, maka akibatnya mereka
kelompok yang berbeda Aqidah dan
akan memaki pula Allah dengan melampaui batas
kepercayaan dengan kamu. Dan jikalau Allah
atau secara tergesah-gesah tanpa berfikir dan tanpa
menghendaki namun tidak tidak
pengetahuan. Menghindari kekerasan dan
dikehendakinya, Niscaya dia menjadikan
memelihara tempat-tempat beribadah umat
kamu satu umat saja.73
beragama lain Qs. Al.Hajj : 40.
Hamka di dalam Tafsir Al-Azhar juga
Oleh karena itu, bagi Hamka, umat Islam juga
mengatakan bahwa dalam ayat tersebut Allah
dilarang mencaci-maki sesembahan yang disembah
mengatakan bahwa sesungguhnya:
oleh orang Kafir karena itu akan menyebabkan
Ia kuasa untuk menjadikan syariat manusia itu mereka akan balik memaki Allah dengan tanpa
satu saja sejak zaman Adam sampai ilmu. Lebih baik ditunjukkan saja kepada mereka
Muhammad. Namun Allah tidak menjadikan alasan yang masuk akal bagaimana keburukan
demikian, manusia tidak hanya diberi insting, menyembah berhala atau tuhan selain Allah. 76
tetapi juga diberi akal. Maka di ujilah manusia Sedangkan menurut M. Quraish Shihab, ayat ini
dengan akal tersebut untuk menyesuaikan ingin memberikan bimbingan kepada kaum
hidupnya dalam alam sekeliling dan muslimin untuk tidak melakukan hal-hal yang
dianjurkan untuk menggunakan akal tersebut menyangkut mencaci Tuhan-Tuhan non muslim
untuk berlomba-lomba melakukan perbuatan maupun penganut agama selain Allah swt, karena
baik. Dengan diberinya kebebasan berpikir boleh jadi mereka berbalik memaki Allah dengan
untuk menuju kebaikan, maka sudah tentu melebihi batas kewajaran.77
terdapat perselisihan pendapat dan ijtihad.74
Maka dari itu ayat ini mengandung dua
Dari uraian tersebut di atas, menunjukkan konsep yaitu wujud dan dampak, dampaknya yaitu
bahwa proses penciptaan manusia di alam semesta mereka akan melakukan hal yang sama bahkan
bertujuan untuk dapat saling mengenal dan lebih seperti apa yang dilakukan oleh orang muslim
memahami satu sama lain, dengan menjauhkan diri ketika ketika keyakinan mereka dihina ataupun
dari perasaan fanatisme (ta’ashub); baik terhadap dimaki bukan saja itu dampak yang akan terjad bila
golongan, partai politik, suku, ataupun bangsa. 75 melakukan tindakan memaki atau pelecehan
Oleh karena itu, memahami pluralitas perbedaan terhadap penganut agama lain antara lain yaitu
itu, dengan menginsafinya sebagai sarana renggangnya suatu hubungan dalam kehidupan
berinteraksi dan berdialog antarsesama manusia beragama dan toleransi kehidupan beragama

72 Muhammad ibn Umar Nawawi al-Jawi al-Bantani, 74 Hamka, Tafsir Al-Azhar......, 349
Marah al-Labid li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid, (Beirut: Dar 75 Nasarudin Umar, Deradikalisasi , 316
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1997), 482 – 483. 76 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz VII-VIII (Jakarta :
73 M. Qurais Shihab. Membumikan al-Qur’an: Mukjizat Pustaka Panjimas, 1984), hlm. 409
Al-Qur’an. Cet. I. (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007), 710- 77 M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah: Pesan dan

711 Keserasian Al-Qur’an Vol. 3 h. 606

19
Munzir Hitami: Nilai-Nilai Pluralisme dalam tafsir Nusantara

adalah suatu upaya perilaku dan tindakan sesuai Sedangkan M. Quraish Shihab memberikan
dengan nilai-nilai agama yang menekankan penjelasan terkait dengan ayat tersebut adalah
kerukunan hidup beragama serta menjaga toleransi sebagai berikut:
dalam masyarakat. Pada hakikatnya muslim “Kalau kalian berpaling dan menolak ajakan
ataupun non muslim telah dilarang melakukan ini,, saksikanlah dan akuilah bahwa kami
celaan atau hinaan terhadap suatu keyakinan, ras, adalah orang-orang muslim, yang akan
suku, serta budaya apalagi jika dilihat dalam melaksanakan secara teguh apa yang kami
konteks bangsa Indoesia yang menganut paham percayai. Pengakuan kalian akan eksistensi
kebhinekaan (Berbeda tapi satu). Jika dalam kami sebagai muslim, walau kepercayaan kita
kehidupan beragama saling menghina atau berbeda menuntut kalian untuk membiarkan
mencela maka akibatnya dalam kehidupan tidak kami melaksanakan tuntutan ajaran agama
ada rasa perdamaian, rasa toleransi, rasa aman, kami. Karena kamipun sejak dini telah
serta terpecah belah suatu hubungan yang
mengakui eksistensi kalian tanpa kami percaya
mengakibatkan peperangan antar agama ataupun apa yang kalin percayai. Namun demikian,
berujung pada pertikaian antar umat beragama. kami mempesilahkan kalian melaksanakan
Konsekuensi dari kesadaran pemahaman kalian melaksanakan ajaran agama kalian..”80
tersebut adalah munculnya kesadaran baru tentang
Proposisi tersebut, diperkuat oleh pandangan
relasi antara agama ini. Allah mengatakan para mufasir bahwa semua ajaran yang dibawa oleh
“Katakanlah, “Wahai, Ahlul Kitab! Marilah kemari para Nabi dan Rasul, merujuk pada satu ajaran,
kepada kalimat yang sama di antara kami dan kalian,
yaitu Islam.81 Artinya, pada dasarnya semua agama
yaitu janganlah kita menyembah melainkan kepada yang lahir di alam semesta ini, wujud dari islam.
Allah, dan janganlah kita menyekutukan sesuatu dengan Sebagaimana penafsiran Nurcholish Madjid
Dia, dan jangan menjadikan sebagian dari kita akan sebagai berikut;
sebagian yang lain menjadikan Tuhan-Tuhan selain
Allah.” Maka jika mereka berpaling, hendaklah kamu “Pada dasarnya seluruh agama adalah sama,
katakana, “Saksikanlah olehmu bahwasannya kami ini walaupun memiliki jalan yang berbeda-beda
adalah orang-orang Islam.” (Q.S. Ali Imrân [3]: 64) untuk tujuan yang sama dan satu. Dalam al-
Quran misalnya, diilustrasikan bahwa semua
Dalam Tafsir al-Azhar, disebutkan bahwa ayat Nabi dan rasul itu adlah Muslim. Semua
ini berkaitan “Betapapun pada kulitnya kelihatan kita agama para Nabi adalah Islam. Sehingga Islam
ada perbedaan, ada Yahudi, ada nasrani, dan ada Islam, par execellence ini adalah bentuk terlembaga dari
namun pada kita ketiganya tedapat satu kalimat yang agama yang sama itu.”82
sama, satu kata yang menjadi titik pertemuan kita. Yaitu
”Janganlah menyembah melainkan kepada Allah,” Abdul Munir Mulkhan juga menulis bahwa
sekiranya saudara-saudara sudi kembali kepada satu jika semua agama memang benar sendiri, perlu
kalimat itu, niscaya tidak akan ada selisih kita lagi”.78 diyakini bahwa surga Tuhan juga satu namun
Bahkan menurut keterangan Hamka, ayat ini memiliki banyak pintu. Akan ada kamar di surga
jugalah yang dijadikan Nabi Muhammad saw, bagi pemeluk Islam, Konghuchu, Budha dan lain-
sebagai alasan untuk mengirim surat kepada lain. 83 Pendapat serupa diungkapkan pula oleh
Heraclius Raja Romawi Syam.79 Abdul Moqsith Ghazali.84
Begitu pula, menurut Tarjuman al-Mustafid,
Abdur Ra’uf as-Sinkili memberikan penafsiran atas

78 Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid I, 649. sesuatu apap pun selain dari pada-Nya. Lihat Syamsul Arifin,
79 Ibid, 652. Studi Islam Kontemporer, 237.
80 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, volume 2, 141 82 Nurcholis Majid, Islam Doktrin dan Peradaban
81 Pemaknaan Islam ini penting dan perlu digunakan (Jakarta, Paramadina, 2008), 421.
pada makna generiknya, yaitu kepasrahan penuh atau 83 Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jala Kematian

totalitas ketundukan pada Tuhan, tanpa kemungkinan Syekh Siti Jenar (Yogykarta, Kreasi Wacana, 2008), 44.
menberi peluang untuk melakukan sikap dasar serupa 84 Abdul Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama

(Jakarta, Kata Kita, 2009), 240-421.

20
NUSANTARA; Journal for Southeast Asian Islamic Studies
Vol. 17, No. 1, Juni 2021

ayat 10 surat Yunus tentang keniscayaan akan Beberapa ayat al-Qur’an, yang menegaskan hal itu
pluralitas penciptaan, sebagai berikut: adalah; “Tidak ada paksaan untuk (memeluk) agama
(Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada
“Dan tiada ada manusia itu daripada masa
jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar
Adam datang kepada masa Nuh melainkan
kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka
atas agama Islam, kemudian maka bersalah-
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang
salahan mereka itu. Dan jikalau tiada sudah
amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha
hukum dahulu daripada Tuhanmu
Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Baqarah :
mengemudiankan balas kepada hari kiamat
256). Pernyataan tentang tidak ada paksaan untuk
niscaya dihukumkan antara segala manusia di
memeluk agama ini, kemudian dikuatkan oleh ayat
dalam dunia pada yang di dalamnya bersalah-
al-Qur’an yang membahas tentang bagaimana
salahan mereka itu”.85
seharusnya sikap seorang muslim jika ada umat
Hamka dalam hal ini, juga memberikan non-muslim yang mengajaknya untuk bertukar
pernyataan yang sangat lugas, bahwa; keyakinan, yaitu surat Al-Kafirµn : ayat 1-6.
Umat manusia pada dasarnya adalah satu. Dalam menafsiri Surat al-Baqarah ayat 256,
Begitu pula hanlnya, agama-agama ini Hamka mengemukakan asbabun nuzul yang
sebenarnya satu. Kandungan pesan semua diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu
nabi tidak berubah, meskipun perubahan Mundzir, Ibnu Jarir, Ibnu Abu Hatim, Ibnu
terjadi dalam bahasa. Syariat dan cara Hibban, Ibnu Mardawaihi, dan al-Baihaqi dari
pelaksanaannya bisa saja berbeda karena Ibnu Abbas dan beberapa riwayat lainnya. Hamka
perubahan waktu dan tempat. Namun intisari menguraikannya sebagai berikut;
dari maksud agama yang sebenarnya hanyalah
Dalam hadits tersebut dikisahkan bahwa
satu, pengakuan akan keesaan Tuhan.86
penduduk Madinah sebelum memeluk agama
Hamka sangat menenakankan bahwa agama Islam, merasa bahwa kehidupan orang Yahudi
yang dibawa sejak Nabi Adam hingga Nabi lebih baik dari kehidupan mereka sebab
Muhammad, termasuk Musa dan Isa, tidak lain mereka masih jahiliyah. Sebab itu, di antara
adalah agama Islam, yang berarti kepasrahan dan mereka ada yang menyerahkan anaknya
ketundukan kepada Tuhan, dan beriman semata kepada orang yahudi untuk dididik dan setelah
kepada-Nya.87 besar mereka menjadi Yahudi. Ada pula
Inilah makna kesataraan dalam beragama. perempuan Arab yang tiap beranak mati maka
Dengan memaknai agama adalah proses kalau ia beranak lagi, lekas-lekas diserahkan
menemukan kebenaran universal pada setiap kepada orang Yahudi. Dan oleh orang Yahudi
agama, maka semua orang umat beragama akan anak-anak tersebut diyahudikan. Selanjutnya,
bertemu pada titik kesamaan ini. Dalam konteks orang Madinah menjadi Islam, dan menjadi
kebangsaan Indonesia, pokok pangkal dari kaum Anshar. Maka setelah Rasulullah pindah
kebenaran universal yang tunggal ini adalah yang ke Madinah, dibuatlah perjanjian dengan
termaktub pada sila pertama dari Pancasila, yaitu kabilah-kabilah Yahudi yang tinggal di
Ketuhanan Yang Maha Esa, atau tawhid, Madinah. Akan tetapi dari bulan-ke bulan,
mengesakan Allah,88 tahun ke tahun, perjanjian itu mereka ingkari,
baik dengan cara halus aaupun kasar.
Ketiga, Larangan adanya unsur paksaan Akhrinya, terjadilah pengusiran terhadap
dalam beragama. Al-Qur’an tidak pernah Yahudi Bani Nadhir yang telah didapati telah
membenarkan adanya paksaan dalam memeluk dua kali hendak membunuh Nabi. Namun
suatu agama, karena hal merupakan hak-hak ditengah-tengah Bani Nadhir itu ada anak
manusia yang memang menjadi perhatian serius orang Anshar yang telah menjadi Yahudi.
dari setiap pesan-pesan (message) al-Qur’an.

85 Abdur Ra’uf as-Sinkili, al-Tarjuman al-Mustafid, h. 210 88 Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin Peradaban, (Jakarta:
86 Hamka, Tafsir al-Azhar, jilid I, 184 Paramadina, 1992), 180
87 Ibid, 135. Lihat juga Mun’im A. Sirri, Polemik Kitab

Suci, (Jakarta: Gramedia, 2013), 131

21
Munzir Hitami: Nilai-Nilai Pluralisme dalam tafsir Nusantara

Ayah anak itu memohon kepada Nabi supaya “lâ ikrâha fî al-dîn…” tidak ada paksaan dalam
anak itu ditarik kepada Islam, kalau perlu beragama. (Q.S. al-Baqarah/2: 256). Demikian
dengan paksaan. Si ayah yang telah memeluk pandangan Muhammad Nawâwî al-Jawî, dalam
Islam tidak sampai hati melihat anaknya yang Marah Labib.92
menjadi Yahudi. “belahan diriku sendiri akan Dalam menafsirkan surat al-Kafirun. Hamka
masuk neraka, ya Rasulallah!” kata orang menulis: soal akidah, di antara tauhid mengesakan
Anshar itu. Di waktu itulah turun ayat ini.89 Allah, sekali-sekali tidaklah dapat dikompromikan atau
Sedangkan Quraish Shihab ketika dicampuradukkan dengan syirik. Tauhid kalau telah
menafsirkan Al-Baqarah : 256, beliau menjelaskan didamaikan dengan syirik, artinya kemenangan syirik. 93
terlebih dahulu hubungan dengan ayat sebelumnya Oleh sebab itu, bagi Hamka “....ibadahmu itu bukan
yaitu ayat al-Kursiy, yang menerangkan siapa Allah ibadah dan tuhanmu itu pun bukan tuhan. Untuk
dan kewajaran-Nya untuk disembah, serta kamulah agamamu. Jangan pula aku diajak menyembah
keharusan mengikuti agama yang ditetapkan-Nya, yang bukan tuhan itu. Dan untuk akulah agamaku,
serta jelas pua Dia memiliki kekuasaan yang tidak jangan sampai hendak kamu campur adukkan dengan
terbendung, maka bisa jadi ada yang menduga apa yang kamu sebut agama itu”.94
bahwa hal tersebut dapat menjadi alasan bagi Allah Syeikh Nawawi menafsirkan ayat ke-enam
untuk memaksa makhluk menganut agama-Nya,
tersebut dengan menjadikannya penguat dan
apalagi dengan kekuasaan-Nya yang tidak keputusan akhir dari ayat sebelumnya yang artinya:
terkalahkan itu.90 Hal ini, Allah menghendaki agar
setiap orang merasakan kedamaian. Agama-Nya “Sesungguhnya agamamu, yaitu agama yang
dinamai Islam, yakni damai. Kedamaian tidak syirik, hanya berlaku bagimu, dan demikian
dapat diraih kalau jiwa tidak damai. Paksaan juga agamaku, yaitu agama tauhid, juga hanya
menyebabkan jiwa tidak damai, karena itu tidak berlaku bagiku. Sesungguhnya aku adalah
ada paksaan dalam menganut keyakinan agama seorang Nabi yang diutus kepada kalian untuk
Islam.91 menyeru kepada kebenaran dan keselamatan,
dan jika kalian tidak menerima seruan
Suatu hari, kota Madinah kedatangan tersebut, dan tidak pula mengikutinya, maka
rombongan pedagang dari Syam. Mereka adalah tinggalkanlah aku dan jangan mengajakku
saudagar-saudagar yang biasa memasok barang kepada kesyirikan…. Dikatakan juga bahwa
dagangan ke Makkah dan Madinah. Para saudagar makna ayat ini adalah: bagi kalian hukuman
itu beragama Kristen. Sambil berdagang mereka dari Tuhanku, dan bagiku hukuman dari
melakukan tugas misionaris (dakwah) kepada berhala-berhala kalian. Akan tetapi berhala-
penduduk di kawasan Jazirah Arabia. Kedua anak berhala kalian adalah benda mati, dan aku
Abû al-Husein kerap membeli minyak dan sama sekali tidak takut atas hukuman mereka”
kebutuhan lainnya dari para pedagang itu. Seperti
biasanya, para pedagang itu mengkampanyekan Menurut M. Qurais Shihab, QS. Al-Kafirun
agama mereka kepada para pedagang di Madinah, ayat ke enam di atas, merupakan pengakuan
termasuk kepada kedua anak Abû al-Husein. eksistensi secara timbal balik, bagi kamu agama kamu
Karena khawatir tidak mendapat pasokan barang- dan bagiku agamaku. Sehingga dengan demikian
barang dari para saudagar itu, kedua anak tersebut masing-masing pihak dapat melaksanakan yang
akhirnya memutuskan diri masuk Kristen. Mereka dianggapnya benar dan baik, tanpa memutlakkan
dibaptis oleh para saudagar itu, sebelum mereka pendapat kepada orang lain tetapi sekaligus tanpa
kembali ke Syam. Mendengar kedua anaknya mengabaikan keyakinan masing-masing. 95
masuk Kristen, Abû al-Husein sangat terpukul. Ia Kemudian Quraisy Shihab melanjutkan dengan
pun mendatangi Nabi dan mengadukan perkara mengutip QS. Saba‟ [34] ayat: 24-26, dan
yang menimpanya itu. Lalu, turunlah ayat terkenal menyatakan bahwa ayat tersebut menerangkan

89 Ibid 93 Hamka, Tafsir Al-Azhar, jilid IX h. 679.


90 M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah, h. 551-552. 94 Ibid, h. 679-680
91 Ibid. h. 551-552. 95 M. Quraish Shihab, Vol. 15, 581-582.
92 Muhammad Nawâwî al-Jawî, Marah Labib, jilid I

(Kairo: Dâr al-Kutub, 1976), h. 74

22
NUSANTARA; Journal for Southeast Asian Islamic Studies
Vol. 17, No. 1, Juni 2021

Nabi Muhammad tidak diperintahkan menyatakan pula mereka bersedih hati”. (QS. Al-Baqarah: 111 –
apa yang di dalam keyakinan tentang kemutlakan 112).
kebenaran ajaran Islam, tetapi justru sebaliknya, M. Nawawi al-Jawi menjelaskan bahwa klaim
kandungan ayat tersebut bagaikan menyatakan:
yang disebut oleh al-Qur’an itu adalah orang
Mungkin kami yang benar, mungkin pula kamu; Yahudi Madinah dan Nashrani Najran. Lebih
mungkin kami yang salah, mungkin pula kamu. Kita lanjut, ia menyatakan;
serahkan saja kepada Tuhan untuk memutuskannya.96
Orang-orang Yahudi Madinah berkata bahwa
Tidak dibolehkannya pemaksaan agama yang masuk surga hanya orang-orang Yahudi.
tersebut, menjadi jelas posisi manusia yang Tak ada agama selain Yahudi. Orang-orang
diberikan kebebasan untuk menentukan sikap dan Nashrani Najran juga berkata bahwa yang
keyaknan beragamanya. Pemaksaan dalam
masuk surga hanyalah orang-orang Nashrani.
beragama menjadi tidak dibenarkan. 97 Sehingga Tak ada agama selain Nashrani. Sama sekali
kebebasan beragama merupakan prinsip dasar tidak. Selain mereka masuk surga. Yaitu
ajaran Islam. Memeluk agama sejatinya merupakan orang-orang yang tulus mepada Allah dengan
keyakinan mendalam terhadap setiap ajaran yang tidak menyekutukan-Nya, berbuat baik dalam
ditetapkan oleh agama itu sendiri. Bahkan setiap semua tindakannya. Baginya adalah pahala
orang punya hak yang sama untuk menentukan
telah dijanjikan Tuhan-Nya di dalam surga.99
sendiri agamanya. Ketika Rayhanah binti Zaid,
salah seorang budak Nabi Muhammad, 98 diminta Menurut Hamka, yang dimaksud sabi’in adalah
oleh Nabi untuk ber-Islam, namun Rayhanah orang yang keluar dari agamanya yang asal dan
menolak dengan tetap memilih agama Yahudi, masuk ke dalam agama lain, sebab hal ini pernah
maka Nabi tidak marah dan tidak memaksa dituduhkan kepada Rasulullah ketika Nabi
Rayhanah masuk Islam. menginkari menyembah berhala sebagaimana
kebiasaan kaum Quraisy sehingga Rasulullah di
Keempat, pengakuan keselamatan pada sebut sabi’. 100 Sedangkan Abd Rauf, menyebut
masing-masing agama. Apakah surga hanya milik
Shabi’in sebagai suatu tha’ifah dari agama Nashara
umat beragama tertentu saja? Al-Qur’an dengan atau Yahudi. 101 Menurut riwayat para ahli tafsir
tegas menjelaskan sebagai berikut: Mereka (sebagian golongan sabi’in pada mulanya adalah golongan
Yahudi dan Nasrani) berkata; “Sekali-kali tidak akan orang-orang yang memeluk agama Nasrani lalu
masuk surga kecuali orang-orang Yahudi atau Nashrani”. mendirikan agama sendiri. Menurut penyelidikan
Demikian itu hanyalah angan-angan kosong mereka saja. mereka masih berpegan teguh pada cinta kasih
Katakanlah “tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika ajaran al Masih, akan tetapi mereka pun mulai
kamu adalah orang yang benar”. Bahkan barangsiapa menyembah malaikat dan percaya akan pengaruh
yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat bintang-bintang.102
kebajikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (ada) “... Umat Yahudi, Nasrani dan sabi’in tidak
ada perbedaan apabila memenuhi persyaratan
96 Ibid, h. 582. pemaksaan kepada seseorang untuk menentukan agamanya.
97 Muhammad Bâqir al-Nashirî, ahli tafsir asal Iran, Pesan ini bersifat umum (‘am) dan ditujukan bukan hanya
menjelaskan bahwa ada lima pendapat berkaitan dengan Q.S. untuk kaum tertentu saja. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr
al-Baqarah/2: 256. Pertama, pelarangan itu hanya khusus al-Qur’ân al-Hakîm, juz III (Beirut: Dâr al-Fikr, 1964), h. 31.
kepada Ahl al-Kitab (Yahudi dan Kristen). Kedua, pelarangan 98 Dalam catatan Ibn Kastir, budak perempuan Nabi

itu ditujukan kepada semua orang non-Islam. Ketiga, orang- Muhammad itu ada 24 orang. Diantara budak-budak nabi
orang yang masuk Islam setelah perang tidak merasa dipaksa, tersebut ada yang beragama Yahudi, yaitu Rayhanah binti
tetapi mereka masuk secara sukarela. Keempat, ayat tersebut Zaid dan beragama Nashrani, yaitu al-Qibtiyah. Lihat Ibn
ditujukan hanya kepada kaum Anshâr. Kelima, pilihan Katsir, al-Bidayat wa al-Nihayat, jilid III, 307 – 313.
beragama bukanlah sesuatu yang dipaksakan dari Allah, tapi 99 Muhammad ibn Umar Nawawi al-Jawi al-Bantani,

ia merupakan pilihan manusia, karena persoalan agama Marah al-Labid li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid, Juz I, (Beirut:
adalah persoalan keyakinan individual. Muhammad Bâqir al- Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1997), 30
Nashirî, Mukhtashar Majma’ al-Bayân (Kairo: Dâr al- 100 Hamka, Tafsir al Azhar, Jilid. 1,..., h. 264

Ma’rifah, t.t), h. 169. Dan Rasyid Ridha lebih cenderung 101 Abdur Ra’uf al-Sinkili, Tarjuman al-Mustafid,

setuju dengan pendapat kelima. Yakni, bahwa maksud ayat (Mumbai: Nelini Berindra, Ahmad Abad, 1951), 12.
“lâ ikrâha fî al-dîn…” adalah bahwa tidak boleh ada 102 Hamka, Tafsir al Azhar, Jilid. 1,..., h. 264

23
Munzir Hitami: Nilai-Nilai Pluralisme dalam tafsir Nusantara

yang telah ditetapkan yaitu iman dan beramal Sabi’ah untuk beriman kepada Nabi
shaleh. Syarat pertama belum cukup apabila Muhammad.104
belum dipenuhi syarat yang kedua yaitu Buya Hamka menyebutkan dalam
beramal shaleh atau berbuat pekerjaan- menafsirkan ayat diatas, ”kesan pertama yang
pekerjaan yang baik yang berfaedah dan dibawa oleh ayat ini ialah perdamaian dan hidup
bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun berdampingan secara damai di antara pemeluk
masyarakat...”103 sekalian agama dalam dunia ini”.105 Hamka merasa
Selain itu, secara progresif al-Qur’an jutru cemas terhadap pemeluk agama yang fanatik. Yang
mengakui akan adanya doktrin penyelamatan kadang saking fanatiknya, imannya bertukar
(salvafic efficacy) umat lain dalam hubungannya dengan cemburu, “orang yang tidak seagama dengan
dengan lingkup monoteisme yang lebih luas. Al- kita adalah musuh kita.” Dan ada lagi yang bersikap
Qur’an menjelaskan dalam surat al-Baqarah/2: 62 agresif, menyerang, menghina dan menyiarkan propaganda
dan alMaidah/5: 69, sebagai berikut: Ayat lainnya agama mereka dan kepercayaan yang tidak sesuai ke
adalah Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang dalam daerah negeri yang telah memeluk suatu agama.106
Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, Itu semua menjadi kecemasan Buya Hamka.
siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman Menurut Hamka ayat ini dengan jelas
kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka menganjurkan persatuan agama, jangan agama
akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada dipertahankan sebagai suatu golongan, melainkan
kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka hendaklah selalu menyiapkan jiwa mencari dengan
bersedih hati (QS. Al-Baqarah: 62); Ditegaskan lagi otak dingin, manakah dia hakikat kebenaran. Iman
pada ayat yang lain “Sesungguhnya orang-orang kepada Allah dan hari akhirat diikuti oleh amal
Mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Shabiin, dan yang saleh.107
orang-orang Nashrani, siapa saja (di antara mereka) yang Sementara dalam Tarjuman al-Mustafid,
benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan
beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap Bahwasanya segala mereka yang percaya ia
mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS al- akan segala Nabi yang dahulu dan mereka
Maidah/5: 62). yang Yahudi dan Nashara dan Shabi’in yakni
suatu tha’ifah darpada Nashara atau Yahudi,
Jika diperhatikan dengan seksama, maka jelas barang siapa percaya daripada mereka itu akan
bahwa dalam ayat itu [Q.S. 2:62] tidak ada Allah Ta’ala dan akan hari Kiamat dan
ungkapan agar orang Yahudi, Nasrani, dan orang- mengerjakan mereka itu akan amal yang saleh,
orang Sabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad. maka adalah bagi mereka itu pahala segala
Dengan mengikuti bunyi harafiah ayat tersebut, amal mereka itu pada Tuhan mereka itu dan
maka orang-orang beriman yang tetap dalam tiada takut atas mereka itu dan tiada mereka
keimanannya, orang-orang Yahudi, Nasrani, dan
itu yang “percintaan”.108
Sabi’ah yang beriman kepada Allah dan hari Akhir
serta melakukan amal saleh–sekalipun tak beriman Menurut Said Aqil Siraj setiap agama atau
kepada Nabi Muhammad, maka mereka akan kepercayaan memiliki jalan keselamatan masing-
memperoleh balasan dari Allah. Pernyataan agar masing. Asalkan beriman kepada Allah, hari akhir,
orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Sabi’ah beriman dan beramal saleh, maka keselamatan akan
kepada Nabi Muhammad adalah pernyataan para diperolehnya. Berhubungan dengan kedua ayat
mufasir dan bukan ungkapan Alquran. tersebut di atas, Said Aqiel Siradj menjelaskan:
Muhammad Rasyid Rida berkata tak ada ”Ayat tersebut di sisi lain, menggoreskan
persyaratan bagi orang Yahudi, Nasrani, dan suatu pemahaman yang akan meredam
kontroversi antar agama-agama di dunia.

103 Hamka, Tafsir al Azhar, Jilid. 1,..., h.265 beriman. Lihat Abdul Moqsith, Argumen Pluralisme Agama
104 Hal ini, sebagaimana pandangan Muhammad (Jakarta: Katakita, 2008).
Rasyid Rida dalam Tafsir al-Manar, bahwa Q.S. al-Baqarah 105 Hamka, jilid I h. 169.

(2:62) dan al-Ma’idah (5:69) itu membicarakan keselamatan 106 Ibid

ahlulkitab yang risalah Nabi Muhammad belum atau tidak 107 Ibid, h, 169-170.

sampai kepada mereka, sehingga mereka tidak diwajibkan 108 (al-Tarjuman al-Mustafid: 12)

24
NUSANTARA; Journal for Southeast Asian Islamic Studies
Vol. 17, No. 1, Juni 2021

Kalau kita renungkan secara mendalam,


disertai dengan sikap tidak emosional serta bi
husni al-niyyat, ayat di atas tidak hanya
meretaskan benteng-benteng syari’ah yang
bersifat dzanniyat, tetapi juga memupus
pagar-pagar absolutisme agama yang banyak
terefleksi pada doktrin-doktrin teologi. Bagi
Allah SWT, dalam nash ayat tadi, kebajikan
dan balasan baik (pahala, surga) tidak akan
melihat predikat Muslim, Yahudi, Kritiani,
Majusi, Budhis, Hinduis, penganut Kong Hu
Chu ataupun lebellebel agama lainnya, namun
titik tekannya hanya pada kemaun mereka
beriman kepada-Nya dan kehidupan akhirat
serta beramal shalih”.109
M. Quraish Shihab memberikan catatan
penting terkait ayat ini yaitu, “ bahwa surga dan
neraka adalah hak prerogratif Allah memang harus
diakui. Tetapi hak tersebut tidak menjadikan semua
agama sama dihadapan-Nya. Bahwa hidup rukun dan
damai antar pemeluk agama sesuatu yang muthlak dan
tuntutan agama, tetapi cara untuk mencapai hal itu bukan
dengan mengorbankan ajaran agama. Caranya adalah
hidup damai dan menyerahkan kepada-Nya semata untuk
memutuskan di hari kemudian kelak, agama siapa yang
direstui-Nya dan agama siapa pula yang keliru, kemudian
menyerahkan pula kepada-Nya penentuan akhir, siapa
yang dianugerahi kedamaian surga dan siapa pula yang
akan takut dan bersedih.110

109 Said Aqiel Siradj, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam 110 M. Quraish Shihab, volume 1, h. 213-214.
Lintas Sejarah. (Yogyakarta: LKPSM, 1999)

25
Munzir Hitami: Nilai-Nilai Pluralisme dalam tafsir Nusantara

Penutup
Dari pemaparan tersebut di atas menunjukkan
bahwa negeri Nusantara yang memiliki pluralitas
suku, bangsa, budaya, dan agama ini, juga disertai
oleh pemahaman yang sama dari para mufasir
Nusantara dalam memaknai isu-isu tentang
pluralisme agama. Dalam hal inil Islam
menunjukkan bahwa isu-isu pluralisme agama
khususnya tentang pengakuan akan eksistensi
agama lain; memberinya hak untuk hidup
berdampingan saling menghormati pemeluk
agama lain tanpa ada unsur kecurigaan; Larangan
adanya unsur paksaan dalam beragama; dan
pengakuan keselamatan pada masing-masing
agama, telah dikupas dan dibahas oleh para
mufasir nusantara.
Tidak ada perbedaan mendasar tentang
prinsip utama dari ajaran-ajaran tersebut. Islam
memerintahkan umatnya untuk menghormati
agama orang lain, tidak berbuat teroris, selalu
menjaga perdamaian di mana pun berada, dan
menghormati manusia manapun sebagai manusia.
Karena semua manusia layak untuk dihormati dan
dijaga jiwa raganya. Kendati demikian, Islam tidak
menutup kemungkinan adanya penafsiran yang
berbeda dalam beberapa ayat al-Qur’an. Hal itu
bukan lantaran Islam tidak konsisten dengan
ajarannya, akan tetapi secara tidak langsung
mengajarkan kepada umat bagaimana seharusnya
mempraktekkan toleransi kepada mereka yang
memiliki pemikiran yang berbeda. Lebih dari itu,
keberagaman bentuk penafsiran dalam khazanah
keilmuan Islam Nusantara, khususnya, menjadi
gambaran bagaimana Islam mengejawantah dalam
kehidupan berbangsa dan bermasyarakat
Indonesia, hingga pada semboyan kebangsaan
yang berbunyi: “Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda-
beda tetapi tetap satu jua. Walla hu a’lam bi al-
Showab.

26
NUSANTARA; Journal for Southeast Asian Islamic Studies
Vol. 17, No. 1, Juni 2021

DAFTAR KEPUSTAKAAN Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural


(Yogyakarta : Pilar Media, 2005)
.
Alford T. Welch, “Studies in Qur’an and Tafsir”
A.Hasan, Tafsir Al Furqan cet II (Surabaya: Al
JAAR., Vol 47, 1979,
Ikhwan, 1986)
al-Musnad, edisi Ahmad Muhammad Shākir, vol. 7
Abdul Moqsith Ghazali, “Membangun Teologi
(Mesir: Maktabat al-Turāth al-
Pluralis”, dalam Media Indonesia,
Islāmī, t.th.),
Edisi Jumat, 24 Mei 2000.
Alwi Shihab, “Menyingkapi Pluralisme Agama”,
_____________________, Argumen Pluralisme
dalam Republika, edisi 9 Agustus
Agama (Jakarta, Kata Kita, 2009)
2005,
Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jala Kematian
___________, “Pertemuan Islam-Kristen di
Syekh Siti Jenar (Yogykarta, Kreasi
Indonesia, Sebuah Tinjauan Historis”,
Wacana, 2008)
ed Nurul A Rustamdji, (Bandung:
Abdullah Saeed, Pemikiran Islam: Sebuah Mizan, 1997),
Pengantar, terj (Yogyakarta:
__________, Islam Inklusif : Menuju Sikap
Kaukaba, 2014)
Terbuka Dalam Beragama, (Bandung :
Abdur Ra’uf al-Sinkili, Tarjuman al-Mustafid, Mizan, 1998),
(Mumbai: Nelini Berindra, Ahmad
Amir Muslims Hussein, “Pluralism, and
Abad, 1951)
Interfaith Dialogue,” in Progresive
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Muslims; on Justice, Gender and
Kita, (Jakarta: The Wahid Institute, Pluralism, Omid Safi (ed) (Oxford:
2006) One World Publications, 2003),

Abuddin Nata, (ed.) Asas-asas Pluralisme dan Amirulloh Syarbini, Al-Qur’an dan Kerukunan
Toleransi dalam Masyarakat Madani, Hidup Umat Beragama (Bandung:
(Jakarta : PT. Grasindo, 2002), Quanta, 2011),

Adam Schward, A Nation in Waiting: Indonesia Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama;
Search for Stability (Washing & Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif
Unwin, 1999) Kelompok Gema Insani, n.d.),

Ahamad Musthofa al-Maraghi, Tafsir Al- Badr al-Din al-Zarkasyi, selanjutnya disebut al-
Maraghi, (Semarang : Toha Putra, Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-
1993) Qur’an, Jilid II, Isa al-Babiy al-
Halabi, Mesir,1972,
Ahmad al-Sāwī al-Mālikī, Hāshiyat al-‘Allāmah al-
Sāwī ‘alā Tafsīr al-Jalālayn, vol. 2 Bagus Lorens. Kamus Filsafat
(Beirut: Dār al-Fikr, 1993) (Jakarta:PT.Gramedia pustaka
utama, 2000)
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir,
(Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku- Bahtiar Effendy, “Disartikulasi Pemikiran
buku ilmiah Keagamaan Pondok Politik Islam?”, dalam Oliver Roy,
Pesantren, 1984) L’échec de l’Islam politique,
diterjemahkan oleh Harimurti dan
Qamaruddin SF dengan judul

27
Munzir Hitami: Nilai-Nilai Pluralisme dalam tafsir Nusantara

Gagalnya Islam Politik (Jakarta: Pilihan Artikel Prisma 1975-1984


Serambi, 1996), (Jakarta: LP3ES, 1985),

Bishri Mustafa, al-Ibriz li Ma’rifati Tafsiri al-Qur’an H. Abdullah SA, “Kebebasan Beragama dalam
al-‘Aziz, (Kudus: Menara Kudus, Perspektif al-Qur’an (Suatu
t.t.) Pendekatan Tafsir Mawdu’i)”,
dalam Tesis, (Surabaya: Hukum
Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis: Wacana Islam dalam Ilmu Agama Islam
Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Bidang Konsentrasi Syari’ah IAIN
Paramadina, 2001) Sunan Ampel Surabaya, 2002)

____________________ dan Moh Shofan, Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta : Pustaka


Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme Panjimas, 1984)
(Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2010), Harold Coward, Pluralism in the World Religions: A
Short Introduction (Oxford: One
____________________, Reorientasi Pembaruan World Publications, 2000)
Islam: Sekularisme, Liberalisme dan
Pluralisme, Paradigma Baru Islam Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir al-Bayan, Vol. 1
Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi (Bandung: PT. Al Am‟arif, t.th)
Agama dan Filsafat (LSAF) dan
Paramadina, 2010) Hornby, As., Oxford Advanced Learner's Dictionary
of Current English, (Oxford :
Burhan Bungin, Metodologi Penelitan Kualitatif, University Press, 2000),
(Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006) Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur’an di
Indonesia, terj. Tajul Arifin,
Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural. (Bandung: Mizan, 1996)
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009)
Ibn Jarîr at-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wil Âyi-
Elias A. Elias, Modern Dictionary Arabic-English, l Qur’ân. Beirut: Dâr al-A’lâm dan
Dar Gharib li al-Tiba’ah, Kairo, Dâr Ibn Hazm, 2002, juz 1,
1976,
Ibn Kathīr, Tafsīr Ibn Kathīr, vol. 1 (Beirut: Dār
Farid Essack, Qur’an, Liberation & Pluralism: An al-Fikr, 1986)
Islamic Perspective of InterReligious
Solidarity Against Oppression) Islah Gusmian, “Tafsir al-Qur’an dan
(England: One World Publications, Kekuasaan; Menelusuri Jejak
1998) Dealektika Tafsir al-Qur’an dan
Praktik Politik Rezim Orde Baru”,
Farir Esack, Membebaskan yang Tertindas: Al- dalam AICIS XIV (2014).
Qur’an, Liberalisme dan Pluralisme,
(Bandung : Mizan 2000), hlm. 206- _____________, Khazanah Tafsir Indonesia dari
207 Hermenutika hingga Ideologi (Jakarta:
Teraju, 2002),
Fazlur Rahman, dkk., Agama untuk Manusia,
Editor Abdul Aziz Sachedina, Isnatin Ulfa, “Perspektif al-Qur’an tentang
(Yogyakarta: 2002), Pluralisme Agama (Tela’ah
Komparatif terhadap Pluralisme
Gavin W. Jones, “Agama-Agama di Indonesia: Agama dalam Tafsir Jami’ al-Bayan
Sejarah dan Perkembangannya”, dalam dan Tafsir alMizan)”, dalam Tesis,
Agama dan Tantangan Zaman, (Surabaya: Hukum Islam dalam

28
NUSANTARA; Journal for Southeast Asian Islamic Studies
Vol. 17, No. 1, Juni 2021

Ilmu Agama Islam Bidang M. Qurais Shihab, Membumikan al-Qur’an:


Konsentrasi Syari’ah IAIN Sunan Mukjizat Al-Qur’an. Cet. I.
Ampel Surabaya, 2003) (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007)
Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Sayuthi, ______________, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan
selanjutnya disebut al-Suyuthi, al- dan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta:
Itqan Fi Ulum al-Qur’an,Dar al-Fikr, Lentera Hati, 2005),
Beirut Libanon, tt,
M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-
Jalāl al-Dīn al-Suyūtī dan Jalāl al-Dīn al-Mahallī, Azhar (Jakarta: Pustaka Panji Mas,
Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīm (Tafsīr al- 1990),
Jalālayn), vol. 1 (Semarang: Toha
Putra, t.th.), Malik bin Nabi, Fenomena al-Qur’an, terj. Saleh
Mahfoed, (Bandung: al-Ma’rif,
John Hick, dalam Mircea Eliade (ed), The 1983)
Encyclopedia of Religion, (New York:
MacMillan Publishing Company, Manna Khalil al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-
1987), Vol. 12, hal. 331. Qur’an, Mansyurat al-Ashr al-Hadits,
Beirut, Libanon,tt,
John L. Esposito, Islam and Politics (Syracuse:
Syracuese University Press, 1984) Media Zainul Bahri, Satu Tuhan Banyak Agama:
Pandangan Sufistik Ibn ‘Arabi, Rumi,
Junaidi Idrus, Rekonstruksi Pemikiran Nurcholis Dan Al-Jili (Bandung: Mizan, 2011)
Madjid : Membangun Visi dan Misi
Baru Islam Indonesia, (Yogyakarta : Mishbahus Surur, “Metode dan Corak Tafsir
Logung Pustaka, 2004) Faidh ar-Rahman Karya
Muhammad Shaleh Ibn Umar As-
Khaled Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan (Jakarta: Samarani” (Skripsi--IAIN
Serambi, 2004) WaliSongo Semarang, 2011),
Klaus Krippendorff, Analisis isi:pengantar teori dan Moc. Nur Ichwan, “Literatur Tafsir Qur’an
metodologi, (Jakarta: Rajawali Pres,
Melayu-Jawi di Indonesia: Relasi
1991) Kuasa, Pergeseran dan Kematian”
dalam Visi Islam Jurnal Ilmu-ilmu
L. Carl Brown, Religion and State: The Muslim
Keislaman, Volume 1, Nomor 1,
Approaches to Politics (New York:
Januari 2002,
Columbia University Press, 2000)
Muhamad Arif Mustofa, “Kerukunan Umat
Lesslie Newbigin, Injil Dalam Masyarakat
Beragama (Studi Analisis Tentang
Majemuk (Jakarta: Gunung Mulia,
Non Muslim, Ahlul Kitab &
1993)
Pluralisme)”, dalam Jurnal MIZANI
M. A. Aziz Masyhuri, 99 Kiai Kharismatik VOL. IX, NO.1, Februari 2015.
Indonesia: Biografi, Perjuangan, Ajaran
Muhammad Ali al-Shabuniy, al-Tibyan fi ‘Ulum al-
dan Do’a-do’a Utama yang Diwariskan
Qur’an, Dar al-Irsyad, Beirut, tt,
(Yogyakarta: Kutub, 2008)
Muhammad ar-Râzi Fakhruddin, Tafsîr al-Kabîr
M. Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir Indonesia,
wa Mafâtih al-Ghaib. (Beirut: Dâr a-
(Yogyakarta: Kaukabapa. 2014),
Fikr, 2005), juz 1

29
Munzir Hitami: Nilai-Nilai Pluralisme dalam tafsir Nusantara

Muhammad Bâqir al-Nashirî, Mukhtashar Majma’ Said Aqiel Siradj, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam
al-Bayân (Kairo: Dâr al-Ma’rifah, t.t), Lintas Sejarah. (Yogyakarta: LKPSM,
1999)
Muhammad Husayn al-Dhahabî, al-Tafsîr wa al-
Mufassirûn, Vol. 3 (Kairo: Dâr al- Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir
Kutub al-Hadîthah, 1961), (Yogyajarta: Pustaka Insan Madani,
2008),
Muhammad ibn Umar Nawawi al-Jawi al-
Bantani, Marah al-Labid li Kasyfi Salman Harun, “Hakekat Tafsir Tarjuman al-
Ma’na al-Qur’an al-Majid, (Beirut: Mustafid Karya Syekh Abdurrauf
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1997) Singkel” (Disertasi--IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta,1988)
Muhammad ibn Umar Nawawi al-Jawi al-
Bantani, Marah al-Labid li Kasyfi Subkhi Ridho, “Kelas Menengah Muslim Baru
Ma’na al-Qur’an al-Majid, Juz I, dan Kontestasi Wacana Pluralisme
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, di Media Sosial” dalam Jurnal
1997) Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2 ,
Agustus 2017
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Qur’ân al-
Hakîm, juz III (Beirut: Dâr al-Fikr, Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif,
1964) dan R&D, (Bandung:
ALFABETA,2011)
Mun’im A. Sirri, Polemik Kitab Suci, (Jakarta:
Gramedia, 2013) Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1993)
Mun’im Sirry (ed.), Fiqih Lintas Agama :
Membangun Masyarakat Inklusif- Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi
Pluralis, (Jakarta : Yayasan [17], diterjemahkan dari Al Jami’ li
Paramadina, 2004) Ahkaam Al Qur‟an, terj. Akhmad
Khatib, (Jakarta: Pustaka Azzam,
Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur’an 2009),
di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri, 2003) Tantawi Jauhari, al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’ân
(Kairo: Dâr al-Fikr, t.t.)
Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan
Keindonesiaan (Bandung : Mizan, Taufikurrahman, “Kajian Tafsir di Indonesia”,
1998) dalam Jurnal Mutawâtir Vol.2|No.1|
Januari -Juni 2012|
______________, Islam, Doktrin Peradaban,
(Jakarta: Paramadina, 1992) Tengku Muhammad Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-
Qur'anul Majid : An-Nur, (Semarang
Oliver Roy, The Failure of Political Islam, translated : : Pustaka Rizki Putra, 2000), Cet.
by Carol Volk (Cambridge: Harvard II.,
University Press, 1992)
Tim Penterjemah Depag RI, al-Qur’an dan
Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Terjemahnya, Khadim al-Haramayn,
Muhammad Abduh Kajian Masalah Makkah al-Mukarromah, 1991,
Akidah dan Ibadah, Paramadina,
Jakarta, 2002, TM Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar
Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 1999),

30
NUSANTARA; Journal for Southeast Asian Islamic Studies
Vol. 17, No. 1, Juni 2021

Yudi Latif. Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis atas


Sekularisasi dan Islamisai di Indonesia
(Yogyakarta: Jalasutra, 2007),

Ziaul Haque,Wahyu dan Revolusi, terj. E.


Setiyawati Al Khatab (Yogyakarta:
LKiS, 2000),

Zuhairi Misrawi dalam bukunya Al Qur’an Kitab


Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan
Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah,
2007)

31

Anda mungkin juga menyukai