Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

GRAND DESIGN PENGELOLAAN PLURALISME DILIHAT DARI


PERSPEKTIF KEBERAGAMAN BUDAYA DI INDONESIA

Dosen pengampuh :
Syafrizal, Drs. H. M.Si,. Ph.D

Disusun oleh kelompok 2 :


1. Andryana 2102090208
2. Kemal Fauzi Gaja 2102090034
3. Khairiyah Nur Hasanah 2102090047
4. Nurmaini Harahap 2102090197
5. Mey Suryani Sukamto 2102090031
6. Putri Annisa Hasibuan 2102090221
7. Rizka Indriani 2102090177
8. Tri Inggi Pratiwi 2102090194
9. Winda Agustin 2102090048

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN ILMU DAN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah sebuah Negara yang terdiri dari berbagai suku
bangsa, agama, dan istiadat. Negara Indonesia memiliki banyak daerah dimana
setiap daerah memiliki ciri khas budaya tersendiri. Dengan semakin beragamnya
masyarakat dan budaya tentunya akan semakin banyak perbedaan keinginan
antara satu kelompok orang dengan kelompok orang lainnya. Bangsa Indonesia
selalu menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan, menjunjung tinggi dasar
negara Pancasila serta semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Meskipun Indonesia
terdiri dari berbagai suku bangsa, ras, etnis, agama, dan kebudayaan namun
bangsa Indonesia mempunyai semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang artinya
adalah “meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu jua” jadi meskipun bangsa
Indonesia beranekaragam, mereka harus tetap bersatu ,saling toleransi, saling
menghormati antara agama satu dengan agama lainnya, budaya satu dengan
budaya lainnya agar semua masyarakat dapat hidup berdampingan secara
damai tanpa terjadinya konflik akibat perbedaan budaya.
Keragaman budaya adalah keunikan yang ada dimuka bumi belahan dunia
dengan banyaknya berbagai macam suku bangsa yang ada didunia,begitu juga
dengan keragaman budaya khususnya di Indonesia tidak dapat dipungkiri
keberadaannya sendiri sehingga menghasilkan kebudayaan yang berbeda dari
setiap suku bangsa khususnya di Indonesia yang berbeda dari hasil kemampuan
menciptakan kebudayaannya sendiri. Masuknya pengaruh-pengaruh
kebudayaan dari luar juga mempengaruhi proses asimilasi kebudayaan
khususnya Indonesia sehingga menambah ragam jenis kebudayaan yang ada di
Indonesia. Kebudayaan tercipta sejak manusia mengenal kehidupan,sehingga
menghasilkan 7 unsur kebudayaan universal seperti bahasa,sistem mata
pencaharian,sistem pengetahuan,sisitem tekhnologi,system kesenian,sistem
kekerabatan dan religi. Kebudayaan dibelahan dunia sangat beraneka ragam
termasuk salah satunya Indonesia, Indonesia sendiri memiliki berbagai macam
suku bangsa,ras,agama,dan adat-istiadat sehingga khusus untuk Indonesia saja
sudah beraneka ragam kebudayaannya yang tercipta oleh setiap suku bangsa
untuk Indonesia. Begitu juga dengan sistem pengetahuan akan berisi tentang
symbol simbol pengetahuan yang digunakan oleh masyarakat pemiliknya untuk
memehami dan menginterpretasikan lingkungannya
Sebagai bangsa dengan masyarakat majemuk, tentunya kita harus benar-
benar memahami makna suku bangsa, ras, agama dalam suatu masyarakat agar
kita tetap sadar bahwa kita tetap satu yaitu Bangsa Indonesia. Oleh karena itu
pentinglah bagi suatu bangsa untuk mempelajari dan mengamalkan pluralisme
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Pancasila sebagai
Dasar Negara Indonesia agar kehidupan rakyat berjalan sesuai dengan cita-cita
bangsa dan hidup damai dengan toleransi antardaerah.
Setiap warga Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang
sama yang pokok adalah bahwa setiap orang haruslah terjamin haknya dan
mendapatkan status kewarganegaraan. Memiliki status kewarganegaraan adalah
tuntutan mutlak kehidupan modern. Setiap orang modern tentu sadar akan
kepentingannya. Banyak persoalan dan kesulitan yang akan dialami oleh mereka
yang tidak jelas status kewarganegaraan. Kesulitan yang paling mengancam
adalah bahwa sulit sekali mendapat perlindungan hukum dari pemerintah untuk
mereka yang tidak memiliki status tersebut apabila pada suatu ketika mereka
membutuhkan jaminan dan perlindungan hukum.
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat pluralis. Menurut
Nurcholish Madjid, Indonesia adalah salah satu bangsa yang paling pluralis di
dunia. Indonesia terdiri atas berbagai macam suku, agama, dan ras yang secara
keseluruhan membentuk tatanan kebudayaan nasional bangsa, yaitu
kebudayaan Indonesia. Pluralisme dalam masyarakat Indonesia merupakan
sebuah kekayaan budaya bangsa yang sangat tinggi nilainya. Tetapi, ada sebuah
ekses yang muncul dalam masyarakat yang sifatnya plural, yaitu seringkali
tumbuh perbedaan-perbedaan yang memunculkan potensi-potensi ke arah
konflik.
Perlu dipahami bahwa pluralisme adalah hukum sejarah, maka perlu
dipahami bahwa pluralisme itu bukanlah sebuah keunikan dalam masyarakat
atau karakteristik yang lain dari sebuah budaya tertentu. Hal ini dibuktikan
dengan tidak adanya dalam sebuah struktur yang benar-benar tunggal tanpa
adanya unsur-unsur lain di dalamnya. Apalagi pada tahun 1980-an di mana
dunia mengalami suatu masa yang belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu
hancurnya batas-batas budaya, rasial, bahasa dan geografis. Untuk pertama
kalinya dalam sejarah dunia tidak lagi terkotak-kotak dalam dua kutub
perbedaan Barat dan Timur.
Oleh sebab itu pluralisme perlu dipahami bukan hanya sebagai kebaikan
negatif yang menyingkirkan paham fanatisme golongan, namun essensi dari
pluralisme adalah dipahami sebagai kekuatan yang bisa menyatukan komponen
masyarakat dalam ikatan pertalian sejati kebhinekaan yang membangun ikatan
keadaban.
Pluralisme secara literal dapat diartikan sebagai paham kemajemukan, baik
dalam agama, etnis, suku, maupun budaya. Namun, karena di Indonesia sering
terjadinya konflik sosial yang dipicu oleh isu agama, wacana pluralisme juga
sering lebih ditekankan pada masalah pluralisme agama. Di era demokrasi dan
globalisasi, pluralisme kemudian menjadi isu yang sangat penting dan gencar
disosialisasikan. Hal ini dilakukan dengan harapan ketika semangat pluralisme
dalam beragama dipahami dengan baik, ketegangan dan konflik yang
disebabkan oleh isu agama dapat diredam, atau paling tidak makin berkurang.
Di Indonesia terdapat enam agama besar, yakni Hindu, Budha, Islam, Kristen
Katholik, Kristen Protestan dan Konghucu yang mempunyai mempunyai
komposisi penganut terbesar masing-masing agama. Yang mana dengan
perbedaan-perbedaan itu berpotensi menimbulkan konflik antar agama. Oleh
sebab itu, dibutuhkan sikap inklusif oleh masing-masing pihak agar tecipta
suasana yang lebih terbuka, pluralistik dan ingin menciptakan bagaimana
pluralitas agama ini tidak menjadi pemicu terjadinya konflik sosial, tetapi
menjadi alat pemersatu bangsa dengan landasan saling menghormati satu sama
lain dan berlomba-lomba dalam kebaikan.
Pernyataan itu juga bisa diartikan bahwa perdamaian dunia tersebut
sekaligus merupakan lingkungan yang kondusif bagi perdamaian antar agama.
Tidak bisa disangkal bahwa agama dan aspek-aspek lain dalam kehidupan
bermasyarakat saling tergantung, satu mempengaruhi yang lain; satu tidak dapat
berdiri sendiri tanpa subyek yang lain.
Di kalangan Cendikiawan Muslim di Indonesia, paham pluralisme agama
pertama kali digagas oleh Nurcholish Madjid. Setelah sepeninggal beliau, ide-ide
pluralisme dikembangkan oleh Abdurahman Wahid, Abdul Munir Mulkhan,
Alwi Shihab, Kommaruddin Hidayat, Budhy Munawar Rahman, Ulil Absor
Abdalla serta tokoh-tokoh muslim lain yang tergolong dalam JIL.
Pluralisme agama banyak dicurigai sebagai paham yang diterjemahkan dari
liberalisme dan memiliki unsur relativisme kebenaran. Dalam pluralisme bisa
jadi terdapat relativisme iman dimana melihat bahwa semua agama mengajarkan
kebenaran untuk menuju pada satu yang absolut dan mutlak yakni Tuhan
sendiri. Dalam logika terbalik dapat dikatakan bahwa kebenaran yang ada di
masing-masing agama adalah parsial saja, jadi bukanlah kebenaran yang sejati
dan yang sesungguhnya. Apabila dinilai sebagai kebenaran subyektifberarti
kebenaran yang hanya dibawa oleh tokoh pendirinya saja dan belum mencapai
kebenaran yang mutlak.
Pengertian tentang budaya itu sendiri merupakan suatu pandangan
menyeluruh atas pola hidup manusia dan sifatnya luas, abstrak serta kompleks
karena menyangkut sistem agama, politik, adat istiadat, bahasa, perkakas,
pakaian dan bangunan serta karya seni. Budaya memiliki sifat dapat dipelajari,
karena manusia bisa hidup dan berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda
budaya serta menjalin komunikasi dengan baik tanpa kehilangan identitas
budayanya. Budaya memiliki sifat yang kompleks dan rumit namun erat
berhubungan dengan masyarakatnya sehingga segala sesuatu yang terdapat
dalam masyarakat ditentukan oleh budaya yang dimilikinya. Budaya juga
memiliki sifat pewarisan sehingga kadang dinilai sebagai superorganic bahkan
dinilai diwariskan secara genetis.
Multikulturalisme adalah pandangan yang menghargai kemajemukan serta
penghormatan terhadap yang lain yang berbeda, membuka diri terhadap
kekayaan budaya yang lainnya serta melibatkan diri secara aktifuntukmencari
persamaan dalamhidup bersama sambil tetap menghargai perbedaan budaya
dan adat istiadat yang ada. Adanya keberagaman budaya dalam bangsa
Indonesia merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri sedemikian hingga
keberagaman tersebut menjadi ciri khas bangsa dan negara Indonesia sejak
diproklamasikan. Amanat hidup dalam keragaman dengan damai terkandung
dalam lambang dan semboyan hidup bangsa yakni Bhinneka Tunggal Ika,
berbeda-beda namun tetap satuju.
Bentuk Pendidikan Pluralisme Bentuk pendidikan pluralisme bagi bangsa
Indonesia adalah bentuk pendidikan yang bercirikan pendidikan yang
menyediakan keberagaman dan perbedaan. Ini berkaitan dengan hakekat
pendidikan karakter yang mau menumbuhkan subjek didik dalam memiliki
pengetahuan dan wawasan akan keberagaman. Harapannya, siswa mampu
bersikap kritis dan melakukan koreksi atas situasi keberagaman. Dalam
pendidikan sikap dan karakter keberagaman, pendidikan pluralisme berfungsi
menyemai dan mengembangkan sensitivitas kultural, toleransi budaya,
penghormatan pada setiap identitas budaya, sikap responsif atas budaya dan
ketrampilan dalam resolusi konflik. Dalam tingkat kognitif, pendidikan
pluralisme ini berfungsi untuk menanamkan pengetahuan tentangkemajemukan
bangsa, kemampuan untukmelakukan analisis dan interpretasi perilaku budaya,
sertakemampuan untukmemiliki kesadaran kritis atas budayanya sendiri. Dalam
penerapannya secara psikomotorik, pendidikan pluralisme berfungsi
mengembangkan subjek didik agar memiliki kemampuan koreksi atas asumsi
salah kaprah, distrosi budaya, stereotipe budaya, strategi hidup multi budaya
dan ketrampilan komunikasi sinergi budaya serta kemampuan tehnik evaluasi-
eksposisi atas dinamika budaya.
Kebutuhan pendidikan pluralisme dalam Budaya Indonesia pendidikan
berbasis pluralisme di tanah air dibutuhkan karena beberapa alasan. Setelah
rezim Orde barn tumbang dan kehidupan demokrasi meningkat kualitasnya di
masyarakat Indonesia, di mana kadar represi pemerintah dan militerterhadap
gerakan pro-demokrasi berkurang, gejolak sektarian justrn meningkat. Angin
kebebasan yang dibawa oleh iklim demokrasi yang membaik ditafsirkan
sebagian masyarakat sebagai rnang untuk memaksakan kepentingan
kelompoknya. Padahal pluralisme berhubungan erat dengan prinsip-prinsip
demokrasi. Pluralisme juga berkenaan dengan hak hidup dari kelompok-
kelompok yang ada di masyarakat. Kelompok-kelompok tersebut memiliki
budayanya masingmasing dan keberadaannya diakui oleh negara.
Di era globalisasi ini, budaya Indonesia perlahan mulai sirna dan berganti
dengan budaya modern. Masyarakat Indonesia sedang mengalami transformasi
budaya kearah modern yang sebenarnya dapat disebut penjajahan bentuk barn,
yakni "pemaksaan" budaya modern secara halus melalui mass-media dan
kecanggihan tehnologi. Sesungguhnya, bangsa Indonesia yang memiliki
keberagaman dalam budaya sedang mengarah pada monokultur atau satu
budaya, yakni budaya modern. Jejak keberagaman budaya nasional masih
nampak jelas, namun hanya nampak di taraf permukaan, misalnya baju adat,
kesenian tradisional, rumah adat, tata desa dan yang sebagainya. Sementara itu,
nilai-nilai yang dikandung yang mempengaruhi cara pandang dan prilaku warga
negara, perlahan mengarah pada nilai-nilai modern yang sebenarnya belum jelas
benar orientasinya. Bukan berarti bahwa kita mau menjadi negara yang menutup
diri dari globalisasi dan dampaknya, namun kiranya kesadaran akan pentingnya
penghargaan atas budaya bangsa sebagai jati diri dan "perawatannya" dengan
baik dan benar akan banyak mendatangkan manfaat bagi pembangunan karakter
bangsa. Selain masyarakat, tentunya pemerintah perlu lebih tanggap akan situasi
anak bangsa dewasa ini agar lebih mengedepankan pendidikan karakter bangsa
yang khas daripada sekedar menjadi "corong" kapitalisme global yang
mengusung budaya lain hanya demi laju pertumbuhan di bidang ekonomi.
Pluralisme budaya atau multikulturalisme yang ditanamkan dengan baik
akan menimbulkan rasa penghargaan dan toleransi antar komunitas budaya
yang berbeda. Kekuatan setiap kelompok komunitas budaya apabila disatukan
akan menjadi pengikat dari negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini.
Pendidikan berbasis pluralisme budaya akan menumbuh-kembangkan subyek
didik dalam memiliki sikap saling menghargai, saling menjunjung tinggi dan
menghormati, bertoleransi dan mampu hidup dan tumbuh dalam keragaman
budaya.
Membicarakan pluralisme bagi kita sebenarnya sebuah hal yang naif karena
dalam realitas hidup sehari-hari sebagai bangsa Indonesia, kita mengalami
pluralisme sebagai realitas yang sudah sudah terkandung di dalamnya. Hal ini
seperti ibarat membicarakan pentingnya air bagi ikan. Bagi bangsa lain dapat
saja pluralisme menjadi sebuah kajian baru dalam menghadapi perubahan jaman
dan perkembangan demografi penduduknya, akan tetapi bagi bangsa Indonesia
yang telah terbentuk dari keanekaragaman suku dan bangsa, pluralisme
sebenarnya sudah menjadi bagian dari hidup sehari-hari. Menjadi sebuah
pertanyaan bagi kita saat pluralisme digagas secara serius bagi kehidupan
bangsa, khususnya dalam pendidikan. Ada hal-hal yang ternyata sudah tidak
ada lagi dan berkembang dalam konteks alamiahnya, yang tadinya diandaikan
ada, sehingga perlu menjadi sebuah pembahasan yang cukup marak belakangan
ini terutama menyangkut pendidikan. Secara khusus hal ini juga dibahas dalam
kurikulum pendidikan nasional 2013. Makin maraknya perselisihan dan konflik
sosial di negara kita yang menunjukkan menguatnya semangat primordial dan
sektarian, dan yang mengutamakan kelompok atau golongan daripada
pengutamaan kepentingan umum, menjadi penanda bagi kepentingan kita untuk
berbicara tentang "Menggagas Pendidikan Berbasis Pluralisme".
Negara Indonesia memiliki keanekaragaman budaya dan kekayaan bahasa
yang sangat banyak, dengan kekhasan yang berbeda satu sama lain, dan ketika
keanekaragaman dan kekayaan itu menyatu menjadi satu bangsa, maka yang
muncul adalah sebuah keindahan.
Penggambaran tentang kekayaan budaya bangsa Indonesia itu dikemukakan
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP), Kementerian
Komunikasi & Informatika RI, Freddy H. Tulung ketika memberikan sambutan
pada acara Sosialisasi Wawasan Kebangsaan Menuju Ketahanan Nasional di
Balai Budidaya Air Payau Boddia, Kecamatan Galesong, Takalar, Sulawesi
Selatan,
Menurut dia, bangsa Indonesia memiliki 742 bahasa/dialek, terdiri atas
berbagai suku bangsa dan sub suku bangsa, jumlahnya tidak kurang dari 478
suku bangsa. "Kekayaan dan keanekaragaman budaya dan bahasa itu ketika
menyatu benar-benar melahirkan keindahan
Budaya merupakan suatu unsur penting pembentuk identitas suatu
kumpulan orang banyakterlebih suatu bangsa. Kepribadian suatu bangsa akan
melalui budayanya. Indonesia menjadi negara yang memiliki ragam budaya dari
setiap daerahnya. Budaya di Indonesia sekarang tidak hanya dari daerah memuji
tetapi juga datang budaya asing,dalam hal ini budaya barat.
Perkembangan budaya barat yang masuk ke Indonesia karena adanya krisis
global yang meracuni sebagian besar masyarakat Indonesia. Pengaruh budaya
barat berjalan sangat cepat ,hal ini menimbulkan guncangan sosial atau budaya
sehingga terjadi ketidakseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat.
Bagi masyarakat yang tidak menahan atau menyaring budaya barat yang
masuk ke Indonesia akan menimbulkan efek penyimpangan. Penyimpangan
kebudayaan adalah suatu bentuk ketidakmampuan kemampuan menyerap
budaya yang akan datang sesuai dengan budaya yang ada di masyarakat. Salah
satu contoh penyimpanganya yaitu Pluralisme.
Pluralisme adalah kemampuan dan kemampuan psikis untuk hidup dengan
orang atau kelompok yang berbeda suku, adat, agama, bahasa, etnis, dan lain-
lain. Masyarakat yang tidak mampu menanggapi pluralisme akan dampak
negatif . Contoh kasusnya yaitu persaingan antara suku, ras, dan agama dalam
masyarakat.
Pluralisme budaya adalah istilah yang digunakan ketika kelompok-kelompok
kecil dalam masyarakat yang lebih besar mempertahankan identitas budaya unik
mereka, di mana nilai- nilai dan praktik mereka diterima oleh budaya dominan,
asalkan hal itu konsisten dengan hukum dan nilai-nilai masyarakat yang lebih
luas. Sebagai istilah sosiologis , definisi dan deskripsi pluralisme budaya telah
berkembang. Ini digambarkan tidak hanya sebagai fakta tetapi juga tujuan sosial.
Dalam budaya pluralis, kelompok tidak hanya hidup tetapi juga
mempertimbangkan kualitas kelompok lain sebagai ciri yang berharga dalam
budaya dominan. Masyarakat pluralistik menempatkan harapanintegrasiyang
kuat pada anggota, melebihi harapanasimilasi. keberadaan lembaga dan praktik
semacam itu jika memungkinkan komunitas budaya diterima oleh masyarakat
yang lebih besar dalam budaya pluralis dan terkadang memerlukan
perlindungan hukum. Kadang-kadang, suatu budaya mungkin memungkinkan
budaya baru atau menghilangkan beberapa aspek budaya mereka yang tidak
sesuai dengan hukum atau nilai-nilai budaya dominan. Beberapa pluralis seperti
Hamed Kazemzadeh berpendapat bahwa konsep budaya pluralis telah lazim
sejak zaman kuno. Bahkan Kekaisaran Achaemenid, yang didirikan oleh Cyrus
Agung, berhasil mengikuti kebijakan menggabungkan dan menoleransi berbagai
budaya.
Pluralisme merupakan satu paham yang berorientasi kepada keberagaman
yang memiliki berbagai penerapan di dalam banyaknya perbedaan, contohnya di
dalam berbagai kerangka filosofi agama, moral, hukum dan politik dimana batas
kolektifnya ialah pengakuan atas kemajemukan di depan ketunggalannya.
“pluralisme agama adalah suatu paham yang menyatakan kemajemukan dan
keragaman agama”. Pluralisme adalah suatu gagasan atau pandangan yang
mengakui adanya hal-hal yang sifatnya banyak dan berbeda-beda (heterogen) di
dalam suatu komunitas masyarakat. Semangat pluralisme sebagai penghargaan
atas perbedaan-perbedaan dan heterogenitas merupakan moralitas yang harus
dimiliki oleh manusia. Mengingat Indonesia negara yang memiliki banyak
pulau, banyak pula memiliki perbedaan baik dari adat istiadat, agama dan
kebudayaan, yang membuat semangat pluralisme sangat penting di tanamkan di
Indonesia. Pluralisme sebagai sebuah sikap mengakui adanya perbedaan-
perbedaan harus diterapkan agar dapat bersikap inklusif di dalam keberagaman.
Sebagaimana diungkapkan Muhammad Arkoun yang menolak menggunakan
referensi teologis sebagai system cultural untuk bersikap ekslusif. Umat Islam
seharusnya menjauhi sifat hegemoni yang berlebihan yang dapat
memarginalisasi kelompok masyarakat lain. Penting bagi seorang Muslim untuk
menjaga moralitas dalam kehidupan karena eklusivisme beragama dan dominasi
Muslim atau non-Muslim dapat merusak iklim pluralisme agama dan persatuan
nasional sehingga sulit dibenarkan oleh prinsip Universalisme Islam itu sendiri.
Jadi, pluralisme dapat dipahami bahwa masyarakat Indonesia beraneka
ragam atau majemuk, Indonesia yang terdiri dari beragam suku, ras, dan agama.
Yang menggambarkan kesan saling menghargai satu sama lain, bahkan
pluralisme antara lain suatu keharusan bagi keselamatan untuk manusia.
Bagaimana pandangan Islam terhadap pluralisme. Sebagai agama samawi, Islam
memiliki pandangan tersendiri dalam menyikapi pluralisme dan pluralistis.
Berkaitan dengan tema pluralisme, atau lebih tepatnya memperkenalkan prinsip-
prinsip pluralisme, atau lebih tepatnya pengakuan terhadap pluralistis dalam
kehidupan manusia. Pengakuan Islam terhadap adanya pluralistis itu dapat
dielaborasi ke dalam dua perpektif, pertama teologis dan kedua sosiologis.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pluralisme Menurut Para Ahli


Adapun pengertian pluralisme menurut para ahli yang memiliki pandangan
berbeda-beda.
1. Geralrd O’Collins & Edward G. Farrugia
Pengertian pluralisme menurut Geralrd O’Collins & Edward G. Farrugia, yakni cara
pandang fisiologis yang tidak menggambarkan semua pada prinsip atau keyakinan
pribadi. Tapi, ketersediaan untuk menerima berbagai macam keragaman yang ada.
Ruang lingkup pluralisme di antaranya politik, budaya dan agama.
2. Anton M. Moeliono
Anton M. Moeliono berpendapat pengertian pluralisme adalah sesuatu yang
memberi makna jamak atau ganda dari segi kebudayaan yang berbeda dalam
masyarakat. Rasa hormat terhadap nilai kebudayaan lain dan sikap saling
menghargai adalah dasar terciptanya pluralisme.
3. Syamsul Maa’arif
Menurut Syamsul Maa’arif, pengertian pluralisme adalah suatu sikap saling
memahami dan menghormati adanya perbedaan demi tercapainya kerukunan antar
umat beragama.
4. Santrock
Santrock menyatakan pengertian pluralisme adalah penerimaan tiap individu yang
berpendapat bahwa perbedaan budaya harus dipertahankan dan dihargai
keberadaannya.
5. Webster
Pengertian pluralisme menurut Webster, yakni keadaan sosial yang hadir dalam
beragam etnis, agama, ras dan etnis yang mempertahankan tradisi berpartisipasi
dalam masyarakat. Kemudian, kondisi ini menciptakan sebuah pola masyarakat
yang hidup saling berdampingan dalam keberagaman yang ada.
B. Macam-macam Pluralisme
Jenis-jenis pluralisme terbagi menjadi beberapa macam, antara lain:
1. Pluralisme Budaya
Pluralisme budaya adalah kondisi budaya yang majemuk, yang mana istilah ini
digunakan untuk menggambarkan penerimaan budaya alternatif. Maksudnya,
orang-orang hidup bersama dengan saling toleransi terhadap budaya orang lain
yang berbeda-beda agar tercapai pluralitas. Karena, sering sekali keberagaman
budaya ini menyebabkan konflik. Hal ini disebabkan oleh munculnya persaingan,
sikap egosentrisme dan primordialisme yang mengklaim bahwa kebudayaan
mereka paling terbaik diba Karena, sering sekali keberagaman budaya ini
menyebabkan konflik. Hal ini disebabkan oleh munculnya persaingan, sikap
egosentrisme dan primordialisme yang mengklaim bahwa kebudayaan mereka
paling terbaik dibandingkan budaya lain.

2. Pluralisme Agama

Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang memiliki makna luas, berkaitan


dengan penerimaan terhadap agama yang berbeda dan digunakan dalam cara yang
berbeda-beda. Pluralitas agama ini mengingatkan bahwa semua keyakinan itu sama,
karena kebenaran setiap agama adalah relatif. Karena itu, setiap umat beragama tak
boleh mengklaim bahwa keyakinan yang dianutnya paling benar dan lainnya salah.
Selain itu, keberagaman agama dalam masyarakat ini menjadikan hidup lebih
berwarna. Keberagaman ini juga bisa diimbangi dengan sikap toleransi. Tanpa sikap
toleransi, keberagaman agama ini bisa mengakibatkan perpecahan maupun konflik
dalam masyarakat.
Seperti yang kita tahu, di Indonesia ada 6 agama yang diakui oleh pemerintah, yakni
islam, Kristen, katolik, hindu, budha dan konghucu. Setiap warga negara Indonesia
berhak memeluk salah satu dari keenam agama tersebut.

3. Pluralisme Sosial

Pluralisme sosial adalah sebuah paham yang menerima keberagaman berupa sikap
saling menghormati dalam interaksi sosial yang terjadi antar individu atau
kelompok pada sebuah tatanan sosial.
Dalam kehidupan bersosial, pluralisme akan tercapai bila masyarakat saling hidup
berdampingan dan menunjukkan sikap menghargai maupun menghormati dengan
orang lainnya.

4. Pluralisme Ilmu Pengetahuan

Pluralisme ilmu pengetahuan adalah keanekaragaman ilmu yang menjadi faktor


utama pertumbuhan ilmu pengetahuan. Banyaknya teori yang bermunculan, tapi
belum bisa dibuktikan kebenarannya ini merupakan bentuk kebebasan berpikir
ilmiah sehingga bisa disimpulkan bahwa ekonomi sosial termasuk bagian dari
pluralisme ilmu pengetahuan.
Adanya pluralitas ilmu pengetahuan ini bisa memperlihatkan hak individu dalam
mengambil keputusan atas suatu kebenaran yang bersifat menyeluruh atau
universal bagi setiap individu.

5. Pluralisme Media

Pluralisme media adalah keberagaman teknologi untuk membantu orang-orang


komunikasi, baik dalam jarak jauh maupun jarak dekat. Karena, media salah satu
sarana penyampaian informasi dan diakui keberadaannya. Ada pula beragam media
yang bisa digunakan untuk menyampaikan pendapat.

C. Dampak Pluralisme

Adanya pluralisme dalam kehidupan bermasyarakat pastinya bisa memberikan


dampak positif dan negatif. Berikut ini, dampak positif dan dampak negatif
pluralisme yang harus dipahami.

1. Dampak positif pluralisme


Pluralisme bisa memberikan dampak positif untuk kehidupan masyarakat yang
tenang dan damai, antara lain:
a. Memahami perbedaan
Perbedaan adalah keadaan, sifat dan karakter yang telah diciptakan oleh Tuhan
supaya manusia saling mengenal, berinteraksi, saling memahami dan memberi
manfaat satu sama lain.
Jika seseorang memahami adanya keberagaman atau pluralisme, maka sikap ini
akan menciptakan lingkungan yang tenang, damai dan saling tolong-menolong
karena orang-orang mau memahami perbedaan yang ada dalam masyarakat.
b. Masyarakat lebih modern
Modern biasanya merujuk pada sesuatu yang terkini, baru dan semacamnya.
Modern bisa merujuk pada zaman maupun gaya yang sifatnya terbaru.
Jika setiap orang memahami adanya keberagaman atau pluralitas, sikap ini akan
membentuk masyarakat yang lebih modern maupun berpikir lebih maju.
c. Meningkatkan pendapatan negara
Pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah
nilai kekayaan bersih. Pendapatan negara terdiri atas penerimaan perpajakan,
penerimaan negara bukan pajak dan penerimaan hibah.
Adanya pluralitas dan masyarakat yang saling menghargai serta menghormati, hal
ini akan membantu meningkatkan pendapatan negara. Masyarakat yang berbeda-
beda itu mungkin akan memanfaat pluralitas ini sebagai sumber pendapatan atau
semacamnya.
d. Meningkatkan daya tarik turis
Daya tarik adalah kualitas yang menyebabkan minat, keinginan atau tarikan pada
seseorang atau sesuatu. Daya tarik bisa dihasilkan dari rangsangan visual.
Pluralitas atau keberagaman budaya, suku dan ras yang ada di Indonesia justru bisa
menjadi daya tarik turis untuk berwisata. Keberagaman ini juga bisa menjadi ciri
khas suatu wilayah yang akan dikenal oleh wisatawan asing. Pada akhirnya, hal ini
bisa membantu meningkatkan pendapatan masyarakat maupun negara.

2. Dampak negatif pluralitas

Pluralitas bisa memberikan dampak negatif berupa konflik di tengah kehidupan


masyarakat, antara lain:
a. Menimbulkan persaingan
Persaingan adalah suatu proses sosial ketika ada dua pihak atau lebih saling
berlomba dan berbuat sesuatu untuk mencapai tujuan atau kemenangan. Persaingan
bisa terjadi bila ada beberapa pihak yang menginginkan sesuatu supaya menjadi
pusat perhatian umum.
Karena ada keberagaman suku, ras, agama dan budaya di Indonesia, hal ini bisa
menimbulkan persaingan di tengah masyarakat. Mereka mungkin berlomba-lomba
dan mengklaim budaya maupun keyakinannya paling benar supaya menjadi
panutan maupun pusat perhatian.
Akibatnya, kondisi ini bisa menimbulkan perpecahan atau pertikaian karena
toleransi orang-orang yang kurang terhadap perbedaan ras, suku, budaya dan
agama.
c. Menimbulkan rasa egois
Egois adalah sifat selalu memprioritaskan keinginan dan kebutuhan sendiri di atas
kebutuhan dan keinginan orang lain. Karena rasa ingin menang atau menjadi pusat
perhatian umum di tengah keberagaman, hal ini bisa menimbulkan rasa egois untuk
mementingkan diri sendiri.
d. Menimbulkan gesekan sosial
Gesekan sosial bisa dikatakan sebagai pertikaian yang muncul akibat konflik
mengenai pluralitas yang ada, baik pluralitas agama, budaya, sosial dan lainnya.
Orang dengan keyakinan atau kebudayaan yang berbeda dengan lainnya tidak bisa
saling toleransi sehingga sulit untuk bersatu.
e. Menimbulkan sikap individualisme
Individualisme adalah satu filsafat yang memiliki pandangan moral, politik atau
sosial yang menekankan kemerdekaan manusia serta kepentingan bertanggung
jawab dan kebebasan sendiri. Orang yang individualis akan melanjutkan
pencapaian dan kehendak pribadi. Mereka cenderung menentang intervensi dari
masyarakat, negara dan setiap badan atau kelompok atas pilihan pribadinya.
Karena mereka hanya mementingkan dirinya sendiri, maka adanya keberagaman
atau pluralitas akan membentuk seseorang yang individualis dan cenderung tidak
menerima atau mengakui perbedaan tersebut.

D. Perilaku Pluralisme

Secara umum, masyarakat akan mengalami perubahan perilaku terhadap pluralisme


yang terbagi menjadi 3 bentuk, antara lain:

1. Afektif

Afektif adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan sikap, watak, perilaku, minat,
emosi dan nilai yang ada pada setiap individu. Menurut beberapa ahli, afektif ini
erat kaitannya dengan kognitif.
Kaitannya dengan perubahan perilaku masyarakat terhadap pluralitas, afektif
merupakan perubahan perilaku yang timbul dari perilaku kehidupan di lingkungan
masyarakat.

2. Kognitif
Kognitif adalah proses otak yang mendasari banyak aktivitas sehari-hari dalam
kesehatan dan penyakit sepanjang rentang usia. Kognitif juga memiliki fungsi
penting untuk kehidupan sehari-hari yang mengatur perilaku dan tindakan.
Kaitannya dengan perubahan perilaku masyarakat terhadap pluralitas, kognitif
adalah perubahan perilaku yang berdasarkan pola pikir. Jadi, sikap yang
ditunjukkan seseorang terhadap pluralitas ini sesuai dengan pola pikirnya.

3. Psikomotorik

Psikomotorik salah satu ranah yang menilai keterampilan atau kemampuan


seseorang melakukan sesuatu setelah setelah menerima pembelajaran pada bidang
tertentu. 
Kaitannya dengan perubahan perilaku masyarakat terhadap pluralitas, perubahan
perilaku seseorang sesuai dengan tindakan yang dilakukan dalam lingkungan
sosial.

E. Manfaat Pluralisme

Berbagai macam pluralisme yang ada di Indonesia ini pastinya memberikan


sejumlah manfaat bagi masyarakatnya. Berikut ini, manfaat adanya pluralisme.

1. Kemandirian

Kemandirian adalah suatu hal atau kondisi seseorang yang bisa berdiri sendiri atau
tidak bergantung pada orang lain. Maksudnya, kemandirian adalah kesiapan dan
kemampuan individu untuk berdiri sendiri dengan ditandainya sikap inisiatif.
Adanya pluralisme bisa memberikan manfaat untuk meningkatkan kemandirian.
Setiap orang bisa berdiri sendiri tanpa ada perasaan tertekan, terkontrol dan diawasi
oleh orang dari kelompok lainnya dengan latar belakang kultur yang berbeda.
Karena, setiap orang memiliki hak untuk hidup dan maju. Bahkan, setiap orang juga
berhak mengembalikan tradisi atau kultur yang sudah alam menjadi panutannya
dalam kehidupan bersosial, sehingga kondisi ini menimbulkan stimulasi dalam
kemandirian.

2. Kebebasan

Kebebasan adalah kemampuan bertindak tanpa paksaan, ketiadaan kendali dan


kekuasaan untuk memilih tindakan seseorang. Kebebasan juga bisa didefinisikan
sebagai kondisi di mana individu memiliki kemampuan untuk bertindak sesuai
dengan keinginannya. 
Adanya pluralitas bisa memberikan manfaat berupa kebebasan akan institusi,
pranata sosial dan kultural yang bisa berdiri sebanyak-banyaknya tanpa ada
halangan serta rintangan. 
Kaitannya dengan kultur atau budaya yang berbeda-beda bisa dibangun optimal
dan sedekat mungkin tanpa ada batas-batas hierarkikal dan birokrasi hingga batas
negara sekalipun.

3. Menumbuhkan sifat saling menghargai

Sifat saling menghargai bisa diartikan sebagai sikap menghormati, menerima atau
mengakui seseorang maupun sesuatu. Kaitannya dengan pluralisme, orang-orang
saling menghargai dan menghormati adanya keberagaman maupun perbedaan yang
ada.
Adanya pluralsme ini bisa membantu meningkatkan sifat saling menghargai orang-
orang antar ras, etnik atau suku yang berbeda, orang dengan agama, keyakinan
maupun kelompok yang berbeda.
Selain itu, setiap orang dengan suku, ras dan agama yang berbeda ini bisa
mengembangkan budaya, nilai-nilai ajaran dan tradisinya tanpa seorang pun yang
menghalangi upaya pengembangan tersebut.

4. Toleransi

Toleransi adalah suatu perilaku atau sikap manusia yang tidak menyimpang dari
aturan, di mana seseorang menghormati atau menghargai setiap tindakan yang
dilakukan orang lain. Toleransi juga bisa berarti suatu sikap saling menghormati
dan menghargai antar kelompok atau antar individu dalam masyarakat.
Adanya sikap pluralisme dalam kehidupan masyarakat akan menimbulkan jiwa
yang penuh toleransi tanpa adanya diskriminasi terhadap perbedaan apapun. Jadi,
masyarakat bisa segera mengatasi atau menemukan solusi ketika dihadapkan
dengan berbagai macam konflik sosial.
Contoh sikap toleransi adanya pluralisme ini berupa menghargai dan menghormati
orang dari kelompok agama yang berbeda ketika melakukan ibadah dan begitu pula
sebaliknya. Contoh toleransi lainnya, orang-orang saling menghargai dan
memberikan kesempatan pada kelompok lainnya melakukan tradisi kebudayaan
atau cara pandang orang lain sesuai dengan kulturnya.
Konsep pluralisme sebenarnya sudah ditekankan sejak bangku sekolah dasar. Di
sana kita diberi pengetahuan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
beranekaragam budaya, bahasa, suku, agama dan kepercayaannya. Tapi,
keberagaman itu bukanlah hambatan untuk menjalin persatuan. Dikatakan,
Indonesia bersatu dalam semangat pluralisme.
Berangkat dari konsep inilah kemudian muncul satu kerangka yang menuntut
adanya interaksi antar kelompok yang berbeda dengan landasan saling
menghormati dan toleransi satu sama lain. Ringkasnya, seluruh komponen plural
yang terlibat di dalamnya memiliki kedudukan yang sama. Sama dalam artian
sama-sama berhak untuk dihormati, sama-sama berhak untuk dihargai, dan sama-
sama berhak untuk diayomi oleh negara. Sampai di sini, kita dapat melihat dengan
jelas, keberadaan posisi pluralisme sejatinya adalah dalam ranah sosial, bukan yang
lain.
Secara umum, pluralisme merupakan sebuah paham yang menghargai adanya
perbedaan di tengah kehidupan masyarakat dan mengizinkan kelompok berbeda itu
tetap menjaga budayanya sebagai ciri khas. Pluralisme mengimplikasikan tindakan
yang fokus pada pengakuan kebebasan beragama, kebebasan berpikir atau mencari
informasi, sehingga seseorang atau suatu kelompok butuh kematangan kepribadian
mereka untuk mencapai pluralisme. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia,
pluralisme adalah keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dalam sistem
sosial dan politiknya), berbagai kebudayaan yang berbeda-beda dalam suatu
masyarakat.
F. Menyikapi Pluralisme Budaya Bangsa Indonesia
Pluralisme masyarakat indonesia – Perbedaan memang menjadi sesuatu yang
lumrah ditemukan. Perbedaan ini tak hanya bisa ditemukan di lingkungan
masyarakat, dimana ada penduduk asli dan ada pendatang. Melainkan bisa juga
dalam satuan sosial lebih kecil, yakni di dalam keluarga sendiri. Setiap orang dalam
satu atap dijamin memiliki sifat maupun pendapat berbeda-beda.
Oleh sebab itu, perlu membiasakan diri untuk menerima perbedaan tersebut.
Sehingga saat mengetahui ada banyak sekali perbedaan saat berinteraksi dengan
orang sekitar maka mampu bersikap dengan baik.
Pertama, pluralisme adalah ungkapan deskriptif, mengenai de facto
kemajemukan agama (religious diversity). Penjelasan ini tentu tampak gamblang
walau ada sejumlah turunan maknanya. Dengan kemajemukan tentu juga berarti
ada derajat otonomi dalam tradisi agama masing-masing, di mana ia mampu
mengelola rumah tangganya sendiri. Jadi, ada kemandirian institusional dari agama
tersebut. Yang tak kalah menarik dari ihwal kemajemukan ini ialah bahwa dalam
perkembangan mutakhirnya, posisi otonomi agama tadi mendorong transformasi
internalnya, yang antara lain mengakibatkan adanya kemajemukan internal dalam
satu agama (sekte-sekte). Para ahli sosiologi agama melihat adanya sejumlah pola
transformasi internal agama tersebut: antara lain dalam sebentuk sinkretisme (di
mana ada percampuran yang melahirkan wajah baru agama itu), bisa juga
pematrian aspek baru yang menyepuh agama lokal (bricolage, sesuatu yang umum
dalam ekspresi agama di Afrika), atau proses belajar, meminjam dan berkembang
walau tetap mempertahankan orisinalitas agamanya (bentuk hybrid). Pendek kata,
pluralisme internal agama menunjukkan adanya diferensiasi di dalam agama
tersebut yang menuntut semacam keleluasaan dari agama itu dalam menentukan
batas-batas dirinya.
Kedua, pluralisme juga berarti pengakuan publik akan eksistensi agama-agama
tertentu, yang nanti dilanjutkan pada pengakuan negara. Pengakuan publik secara
sosiologis berarti ada semacam penerimaan publik bahwa eksistensi agama tertentu
itu ada tanpa menjadi ancaman bagi dirinya. Demikian juga makna pengakuan
negara, yaitu bahwa agama tersebut tidak akan mengguncang kekuasaannya
sehingga memang dalam setiap konteks (masyarakat atau bangsa) selalu ada
kepelbagaian pola dan batas-batas penerimaan atas agama-agama yang masuk. Di
sini (kalau memakai terminologi agama di Indonesia) kita membicarakan pluralisme
sebagai sikap toleran (di mata publik) dan sebagai kerukunan (di mata pemerintah).
Dalam konteks pemaknaan pluralisme sebagai toleransi dan kerukunan tadi,
terbentang semacam tarik-ulur yang tak terhindari. Kalau ”kita” menerima lima
atau enam agama resmi, itu berarti mereka kita akui sebagai kompetitor yang sah
dalam menjalankan dan menyebarkan misi agamanya. Namun, segera juga
persoalan ini mendatangkan persoalan baru, adakah batas kebebasan beroperasinya
agama yang sudah ”kami” akui eksistensinya itu? Bukankah kebebasan itu tidak
boleh sampai mengguncang konsensus yang semula ada bahwa setiap agama
hendaknya juga beroperasi demi menjaga integritas masyarakat (dan negara)
tersebut.
Dalam perkembangan tertentu, masing-masing masyarakat malah menerbitkan
seperangkat hukum untuk menjaga integritasnya atas kemungkinan tergerusnya
agama tertentu akibat beroperasinya agama lain. Pluralisme agama dalam konteks
itu memang menolak free-fight liberalism, juga menolak pasar bebas agama-agama
sebab selalu ada batas-batas penerimaan sosial dari masyarakat terhadap karya dan
sepak terjang agama-agama.
Pluralisme di sini berarti seperti yang diserukan dalam semboyan bhineka
tunggal ika (’meskipun beragam, tunggal juga’) itu, yang dipertegas dengan
sambungan kata-kata tan hana dharma mangrwa (’tiada pluralisme dalam agama’,
di sini saya memakai terjemahan Rachmat Subagya dalam bukunya Agama Asli
Indonesia, 1981). Dengan kata lain, sekalipun saat itu di Jawa terjadi pluralisme
(”agama primal” Jawa, Hindu, dan Buddha hidup berdampingan), ada batas-
batasnya: ketiga agama itu bisa ditolerir selama mereka rukun dan konsensus dalam
masyarakat saat itu tidak dilanggar (kala itu konsensusnya masih bercorak kosmis,
yaitu bahwa dharma itu bagaimana pun satu jua).

G. Plularisme di Indonesia
Pluralisme sering diartikan sebagai suatu paham atau pandangan hidup yang
mengakui dan menerima adanya kemajemukan atau keanekaragaman dalam suatu
kelompok masyarakat. Kemajemukan tersebut dapat dilihat dari segi agama, suku
ras adat istiadat dan lain lain. Pluralisme merupakan suatu gagasan yang mengakui
kemajemukan realitas. Ia mendorong setiap orang untuk menyadari dan mengenal
keberagaman di segala bidang kehidupan, seperti agama, sosial, budaya, sistem
politik, etnisitas, tradisi lokal, dan sebagainya. Gagasan yang dimaksudkan adalah
dalam rangkan mencipatakan kesepahaman, toleransi dengan tujuan membentuk
masyarakat dalam memajukan lingkungan plural yang produktif. Ada kenyamanan,
ketentraman, keadilan dan kemerdekaan yang setara, sehingga secara tidak
langsung mereka dapat menjadi masyarakat yang kokoh.
Pluralisme atau kemajemukan suatu masyarakat dapat dilihat dari dua sudut
pandang, yaitu secara horizontal dan secara vertikal. Masyarakat secara horizontal
dapat dilihat dari kenyataan yang menunjukan adanya satuan-satuan sosial yang
keragamannya dicirikan oleh perbedaan suku bangsa, agama, adat istiadat atau
tradisi serta unsur-unsur kedaerahan lainnya. Perbedaan secara horizontal itu
diartikan sebagai perbedaan yang tidak dapat diukur berdasarkan kualitas dari
unsur- unsur yang membentuk keragaman tersebut. Misalnya dengan adanya
perbedaan adat istiadat bukan berarti bahwa adat istiadat suatu suku itu lebih baik
daripada suku yang lain, begitu juga sebaliknya. Sedangkan secara vertikal
pemahaman kemajemukan itu dipandang atas dasar perbedaan yang bersifat
vertikal yaitu bahwa perbedaan dari unsur-unsur yang membuat keragaman
tersebut dapat diukur berdasarkan kualitas atau bobotnya contohnya, ekonomi akan
ditandai dengan adanya kelompok masyarakat dengan tingkat ekonomi yang tinggi,
menengah, dan lemah.
Menurut Nasikun (1948 ) berapa faktor penyebab terciptanya pluralisme
masyarakat Indonesia, antara lain yaitu karena kondisi geografis indonesia yang
terdiri dari 17.000 pulau yang memciptakan berbagai suku bangsa. Selain itu juga
dipengaruhi faktor letak geografis indonesia di antara samudra indonesia dengan
samudra pasifik yang menyebabkan pluaritas agama. Atas hal ini pengaruh
berbagai kebudayaan asing dengan mudahnya masuk ke Indonesia melalui para
pedagang atau perantau asing. Pluralisme masyarakat Indonesia adalah suatu
kenyataan bahwa bagsa indonesia terdiri dari kolektivitas kelompok- kelompok
masyarakat yang bersifat majemuk dari segi etnis terdapat 656 suka bangsa dan
tidak kurang dari 300 enis bahasa- bahasa lokal (daerah), dipapua saja lebih dari 200
bahasa- bahasa suku bangsa. Indonesia memiliki keragaman Pluralisme dalam
implementasinya merujuk kepada konsep keseimbangan yang memelihara
hubungan keragaman atau pluralitas serta memelihara perbedaan melalui faktor -
faktor kesamaan , pengikat dan kesatuan .
Smith ( 1969 ) menggambarkan konsep keseimbangan itu sebagai penggabungan
kesatuan- kesatuan sosial yang berbeda kedalam suatu masyarakat politik. Furnivall
(1967 ) dalam kaitan ini menyatakan bahwa pluralisme sebenarnya merujuk kapada
suatu masyarakat yang terdiri dari dua elemen atau lebih dari mana elemen- elemen
itu hidup secara sendiri- sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain didalam
kesatuan politik. Pluralitas dalam konteks Indonesia merupakan keniscayaan sejak
lahirnya bangsa ini.
Catatan sejarah sejak pra terbentuknya bangsa ini memang telah banya
disinggahi berbagai macam peradaban. Memberengus serta mengabaikan
kemajemukan adalah kebrutalan yang menghantarkan pada disintegrasi bangsa.
Dukungan secara hukum lewat undang-undang yang tersurat dalam tubuh bangsa
ini serta tumpukan sejarah bangsa ini setidaknya menjadi pijakan utama dalam
merumuskan eksistensi agama di lingkungan negeri ini. Islam sebagai bagian dari
bangsa ini sudah selayaknya menjadi pelopor mengingat kondisi politk dan massa
yang cukup dominan. Keangkuhan paham fanatisme buta perlu dihilangkan
kemudian mengambil pluralisme dengan melibatkan rasa kemanusiaan dan
kebangsaan.
H. Pluralisme dalam Perspektif Keberagaman Budaya di Indonesia
Pluralisme ialah perspektif pemikiran dan gerakan yang ingin menghapus kan
sekat sekat priomordialisme dalam pola dan proses interaksi sosial manusia dalam
kehidupan. Secara sederhana pluralisme di katakan sebagai faham tentang
kemajemukan masyarakat. Masyarakat majemuk ( plural society ) ialah suatu
masyarakat dimana sejumlah etnis dan golongan hidup secara berdampingan yang
sebagian besar berbeda satu sama lain. Dalam masyarakat yang pluralistik,
senantiasa terjadi proses asimilasi dan terbentuk kultural pluralism, dimana setiap
subkultur dalam masyarakat mengalami adaptasi dan penciptaan kondisi untuk
menerima perbedaan.
Kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sebagai keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat,
1980 : 193). Kebudayaan dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para
anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi
dari kebiasaan (folkways)dan tata kelakuan (mores ),tetapi suatu sistem perilaku
yang terorganisasi.
Penggalian budaya nasional bukan diarahkan konformisme budaya, tetapi lebih
diarahkan pada totalitas nilai dan perilaku yang mencerminkan hasrat dan
kehendak masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara sehingga
mempunyai dua arah pokok yaitu fungsi pelestarian dan fungsi pengembangan.
Fungsi pelestarian diarahkan pada pengenalan dan pendalaman nilai-nilai luhur
budaya bangsa yang bersifat universal, dan merupakan kekayaan budaya bangsa
yang tak ternilai harganya, sehingga diharapkan dapat menumbuhkandan
memperkokohrasa cinta tanah air dan kebanggan nasional. Dalam fungsi
pengembangan diarahkan padaperwujudan budaya nasional yaitu perpaduan
keragaman budaya tradisional ditambah dengan nilai-nilai baru yang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai universal yang berlaku dalam budaya masyarakat,
guna memperkaya budaya bangsa dan mempekukuh jati diri dan kepribadian
bangsa.
Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah ada
sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan
secara damaimerupakan kekayaan yang tak ternilai karena diunggulkannya suatu
nilai oleh seseorang atau sekelompok masyarakat, bukan berarti tidak
dihiraukannya nilai-nilai lainnya melainkan kurang dijadikannya sebagai
acuandalam bersikap dan berperilaku dibandingkan dengan nilai yang
diunggulkannya. Ciri utama masyarakat majemuk (plural society) sendiri menurut
Furnivall (1940) adalah orang yang hidup berdampingan secara fisik, tetapi karena
perbedaan sosial mereka terpisah-pisah dan tidak bergabung dalam sebuah unit
politik.
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat majemuk (pluralistic society).
Hal tersebut dapat dilihat pada kenyataan sosial dan semboyan Bhinneka Tunggal
Eka (berbeda-beda namun satu jua). Kemajemukan Indonesia juga didukung
dengan status negara ini sebagai negara berkembang, yang selalu mengalami
perubahan yang sangat pesat dalam berbagai aspek kehidupan, baik perubahan
sistem ekonomi, politik sosial, dan sebagainya, dan dalam kenyataan tidak ada
satupun gejala perubahan sosial yang tidak menimbulkan akibat terhadap
kebudayaan setempat.
Masyarakat Indonesia dan kompleks kebudayaannya, masing-masing
plural(jamak ) danheterogen (anekaragam). Pluralitas sebagai kontradiksi dari
singularitas mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan,
yaitu dijumpainya berbagai sub kelompok masyarakat yang tidak bisa disatu
kelompokkan dengan yang lainnya, demikian pula dengan kebudayaan mereka.
Sementara heterogenitasmerupakan kontraposisi dari homogenitas,
mengindikasikan suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan ketidaksamaan
dalam unsur-unsurnya.
Masalah yang biasanya dihadapi oleh masyarakat majemuk adalahadanya
persentuhan dansaling hubungan antara kebudayaan suku bangsa dengan
kebudayaan umum lokal, dandengan kebudayaan nasional. Kondisi masyarakat
Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial ini
memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika
dalam masyarakat. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia mendemonstrasikan
hubungan antar etnik dan agama telah berulangkali mengalami pasang surut yang
memprihatinkan.  Bahkan dalam banyak kasus, kerusuhan atau peperangan
antarsuku dan agama, sering membawa korban yang tidak sedikit dan sulit untuk
diatasi.
Adanya berbagai konflik ini biasanya mendekatkan kita pada satu konsep
Etnosentrisme. Secara formal, Etnosentrisme didefinisikan sebagai pandangan
bahwa kelompok sendiri adalah pusat segalanya dan kelompok lain akan selalu
dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar kelompok sendiri.Etnosentrisme
membuat kebudayaan diri sebagai patokan dalam mengukur baik buruknya, atau
tinggi rendahnya dan benar atau ganjilnya kebudayaan lain dalam proporsi
kemiripannya dengan kebudayaan sendiri.
Pluralisme yang berjalan seiring pembangunan bangsa juga masih menyisakan
rangkaian produk aturan bermasalah, seperti Undang-Undang ataupun Perda
bernuansa syariah di sejumlah daerah. Memang, hal yang paling sensitif ketika
membicarakan isu pluralisme adalah agama. Meskipun konteks pluralisme tidak
hanya bersinggungan dan konsen pada bidang teologi, hanya saja
memperbincangkan segala ide maka dengan sendirinya akan berhubungan dengan
ideologi, dan suatu keharusan ideologi akan bergulat pada keyakinan, iman, dan
kepercayaan. Inilah agama, lembar terpenting dalam kehidupan masyarakat
Indonesia.
Dalam perkembangan umat manusia di tengah globalisasi dan kesadaran akan
pentingnya harmoni, pluralisme telah tumbuh menjadi semacam idiologi baru yang
di Gandrungi oleh generasi baru. Dalam dunia politik kini telah muncul partai-
partai politik dengan idiologi inklusif (terbuka) sebagai antitesis dari partai politik
dengan idiologi ekslusif (tertutup) dimana dalam kalangan umat Islam masih
mengalami perdebatan yang kontroversial, baik dari level strategi maupun teologi.
Dalam gerakan-gerakan keagamaan, bahkan lahir teologi pluralisme yang tumbuh
bersamaan dengan mekar nya filsafat perenial. Dalam pandangan sihap, konsep
pluralisme dalam teologi dan sikap keberagamaan dapat di tunjukkan oleh beberapa
hal sebagai berikut:
Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang
kemajemukan, namun juga ada nya keterlibatan aktif dengan mengambil peran
berinteraksi positif dalam kenyataan kemajemukan itu. Dalam kehidupan beragama
setiap pemeluk agama bukan hanya mengakui ada nya kemajemukan agama, tetapi
terlibat dalam memahami dan menciptakan kerukunan dalam kebhinekaan.
Kedua, pluralisme harus di bedakan dari kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme
menunjukkan pada realitas dimana aneka ragam agama, ras, dan bangsa, hidup
berdampingan di suatu lokasi seperti di kota kota megapolis tetapi interaksi antar
penduduk tersebut sangat minimal. Dalam pluralisme harus ada interaksi yang
intensif
Ketiga, pluralisme tidak sama dengan relatifme memandang setiap agama harus
di nyatakan sama benarnya, sedangkan pluralisme mengakui kebenaran agama
masing-masing hanya saja tidak merasa memonopoli dan memaksakan kebenaran
agama nya kepada pihak lain
Keempat, pluralisme agama bukan lah sinkretisme, yakni menciptakan suatu
agama baru dengan memadukan unsur unsur tertentu atau sebagian komponen
ajaran dari beberapa agama untuk di jadikan bagian integral dari agama baru
tersebut.
Ideologi pluralisme memang di perlukan untuk meminimalisasi atau mencegah
konflik dan sekaligus menciptakan harmoni antar pemeluk agama-agama dengan
tetap berpegang pada kesadaran bahwa setiap pemeluk agama di biarkan memiliki
komitmen yang kokoh atas agama masing-masing tanpa harus mengarah pada
relatifisme dan singkretisme.

I. PluralismeDalam perspektif keberagaman budaya Indonesia


Pluralisme dalam perspektif filsafat budaya merupakan konsep kemanusiaan
yang memuat kerangka interaksi dan menunjukkan sikap saling menghargai, saling
menghormati, toleransi satu sama lain dan saling hadir bersama atas dasar
persaudaraan dan kebersamaan; dilaksanakan secara produktif dan berlangsung
tanpa konflik sehingga terjadi asimilasi dan akulturasi budaya. Pluralitas tidak bisa
dihindarkan apalagi ditolak meskipun golongan tertentu cenderung menolaknya
karena pluralitas dianggap ancaman terhadap eksistensi komunitasnya. Sebenarnya
pluralisme merupakan cara pandang yang bersifat horisontal, menyangkut
bagaimana hubungan antarindividu yang berbeda identitas harus disikapi.
Sementara kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sebagai
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar
(Koentjaraningrat, 1980 : 193). Kebudayaan dipelajari dan dialami bersama secara
sosial oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaanbukanlah
hanya akumulasi dari kebiasaan (folkways)dan tata kelakuan (mores ),tetapi suatu
sistem perilaku yang terorganisasi.
Penggalian budayanasional bukandiarahkan konformisme budaya, tetapi lebih
diarahkan pada totalitas nilai dan perilaku yang mencerminkan hasrat dan
kehendak masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara sehingga
mempunyai dua arah pokok yaitu fungsi pelestarian dan fungsi pengembangan.
Fungsi pelestarian diarahkan pada pengenalan dan pendalaman nilai-nilai luhur
budaya bangsa yang bersifat universal, dan merupakan kekayaan budaya bangsa
yang tak ternilai harganya, sehingga diharapkan dapat menumbuhkandan
memperkokohrasa cinta tanah air dan kebanggan nasional. Dalam fungsi
pengembangan diarahkan padaperwujudan budaya nasional yaitu perpaduan
keragaman budaya tradisional ditambah dengan nilai-nilai baru yang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai universal yang berlaku dalam budaya masyarakat,
guna memperkaya budaya bangsa dan mempekukuh jati diri dan kepribadian
bangsa.
Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah ada
sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan
secara damaimerupakan kekayaan yang tak ternilai karena diunggulkannya suatu
nilai oleh seseorang atau sekelompok masyarakat, bukan berarti tidak
dihiraukannya nilai-nilai lainnya melainkan kurang dijadikannya sebagai
acuandalam bersikap dan berperilaku dibandingkan dengan nilai yang
diunggulkannya. Ciri utama masyarakat majemuk (plural society) sendiri menurut
Furnivall (1940) adalah orang yang hidup berdampingan secara fisik, tetapi karena
perbedaan sosial mereka terpisah-pisah dan tidak bergabung dalam sebuah unit
politik.
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat majemuk (pluralistic society).
Hal tersebut dapat dilihat pada kenyataan sosial dan semboyan Bhinneka Tunggal
Eka (berbeda-beda namun satu jua). Kemajemukan Indonesia juga didukung
dengan status negara ini sebagai negara berkembang, yang selalu mengalami
perubahan yang sangat pesat dalam berbagai aspek kehidupan, baik perubahan
sistem ekonomi, politik sosial, dan sebagainya, dan dalam kenyataan tidak ada
satupun gejala perubahan sosial yang tidak menimbulkan akibat terhadap
kebudayaan setempat.
Masyarakat Indonesia dan kompleks kebudayaannya, masing-masing
plural(jamak ) danheterogen (anekaragam). Pluralitas sebagai kontradiksi dari
singularitas mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan,
yaitu dijumpainya berbagai sub kelompok masyarakat yang tidak bisa disatu
kelompokkan dengan yang lainnya, demikian pula dengan kebudayaan mereka.
Sementara heterogenitasmerupakan kontraposisi dari homogenitas,
mengindikasikan suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan ketidaksamaan
dalam unsur-unsurnya.

Realita Tak Semanis Kerangka


Masalah yang biasanya dihadapi oleh masyarakat majemuk adalahadanya
persentuhan dansaling hubungan antara kebudayaan suku bangsa dengan
kebudayaan umum lokal, dandengan kebudayaan nasional. Kondisi masyarakat
Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial ini
memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika
dalam masyarakat. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia mendemonstrasikan
hubungan antar etnik dan agama telah berulangkali mengalami pasang surut yang
memprihatinkan. Bahkan dalam banyak kasus, kerusuhan atau peperangan
antarsuku dan agama, sering membawa korban yang tidak sedikit dan sulit untuk
diatasi.
Adanya berbagai konflik ini biasanya mendekatkan kita pada satu konsep
Etnosentrisme. Secara formal, Etnosentrisme didefinisikan sebagai pandangan
bahwa kelompok sendiri adalah pusat segalanya dan kelompok lain akan selalu
dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar kelompok sendiri.Etnosentrisme
membuat kebudayaan diri sebagai patokan dalam mengukur baik buruknya, atau
tinggi rendahnya dan benar atau ganjilnya kebudayaan lain dalam proporsi
kemiripannya dengan kebudayaan sendiri.
Ditengah kerangka nation building, Indonesia mendapat tantangan dari
kepluralisme-an yang disandangnya. Setelah selama lebih kurang satu abad
"proyek" nation building diselenggarakan, nyatanya masih belum tuntas juga.
Stabilitas sosial dan politik yang relatif terpelihara sepanjang pemerintahan orde
baru sempat menimbulkan keyakinan bahwa proyek pembangunan bangsa (nation
building) nyaris usai. Namun saat ini proses nation building tengah berbalik arah.
Demokratisasi dan desentralisasi pascareformasi ternyata tidak memperkuat
sentimen kebangsaan, tetapi justru membuka ruang bagi munculnya kembali
sentimen-sentimen antipluralisme. Pancasila, yang sebelumnya dipercaya sebagai
sumber perekat bangsa, seperti kehilangan makna.

Hilangnya satu faktor kuat yang dapat menumbuhkan kebanggaan kolektif


bangsa atau pemersatu bangsa menjadi masalah krusial. Sesekali perasaan menjadi
satu muncul, seperti saat beberapa atlet negeri memenangkan kejuaraan
internasional, tsunami di Aceh, atau ketika Malaysia “merampas” pulau dan budaya
Indonesia. Namun semua itu hanya letupan api sesaat yang mudah hilang. Pada
momen lain, kebersamaan itu tercabik-cabik oleh konflik horisontal antarkelompok,
seperti saat pemilu. Pluralisme yang terkait dengan karakter dan jatidiri bangsa,
dalam realitas aktual juga menunjukkan suatu “kebangkrutan moral” diberbagai
bidang : korupsi, mafia hukum, tawuran dan kemunafikan dalam politik. Hal ini
tidak relevan untuk mengacu pada tata nilai tradisional yang dianut oleh etnik
nusantara dengan sikap dan tatakrama terhadap sesama dan lingkungan.
Hal-hal diatas membuat rakyat kehilangan kepercayaannya terhadap negara.
Keberpihakan yang rendah dari elite-elite terhadap nasib rakyat menjadi
pemicunya. Di tengah krisis kepercayaan ini, rakyat mencari perekat alternatif yang
dapat menimbulkan rasa aman. Repotnya, pengalaman yang mereka temukan
bukanlah berskala nasional, tetapi lokal atau partikular. Agama, bahasa, etnisitas,
dan lokalitas adalah simbol-simbol yang mereka pandang lebih konkret ketimbang
simbol-simbol nasional, seperti Garuda Pancasila, bendera Merah Putih, atau lagu
Indonesia Raya. Identitas pluralisme tadi lebih mudah dicerna, dekat dengan
kehidupan sehari-hari, cepat membangkitkan kolektifitas, dan dapat menjadi faktor
pendorong gerakan massa, bahkan revolusi.
Pluralisme yang berjalan seiring pembangunan bangsa juga masih menyisakan
rangkaian produk aturan bermasalah, seperti Undang-Undang ataupun Perda
bernuansa syariah di sejumlah daerah. Memang, hal yang paling sensitif ketika
membicarakan isu pluralisme adalah agama. Meskipun konteks pluralisme tidak
hanya bersinggungan dan konsen pada bidang teologi, hanya saja
memperbincangkan segala ide maka dengan sendirinya akan berhubungan dengan
ideologi, dan suatu keharusan ideologi akan bergulat pada keyakinan, iman, dan
kepercayaan. Inilah agama, lembar terpenting dalam kehidupan masyarakat
Indonesia.
Sepanjang 2011, menurut data yang dihimpun oleh Center for Religious and
Cross-curtural Studies (CRCS) dan beberapa pemberitaan media massa, setidaknya
ada 36 kasus yang diduga berlatar belakang agama terjadi di 14 provinsi di
Indonesia. Angka tersebut hanya menunjukan permasalahan ibadah belum
mencakup semua permasalahan yang dipicu oleh mispresepsi dan miskomunikasi
antar umat beragama (Republika, 2012). Pluralisme bukan menganggap semua
agama itu sama. Islam berbeda dengan Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik,
ataupun dengan Hindu. Hal itu tidak bisa disamakan. Tak cukup kekerasan yang
dilakukan oleh kelompok yang memiliki pandangan keagamaan lain, situasi
diperparah dengan munculnya berbagai RUU dan Perda yang menafikkan
keragaman sosio-kultural-religius masyarakat. Padahal dalam perundang-undangan
nasional ada batasan-batasannya. Moral, adat, dan agama tidak dapat dijadikan
hukum tertulis. Dalam hukum, ketiganya disebut sebagai norma otonom. Jika
diformalkan, berarti negara mencampuri urusan privat warganya.
Kesenjangan dan sakralisasi pembangunan yang dilakukan pemerintahan
sebelum-sebelumnya telah melahirkan banyak korban. Uniformalitas terhadap
budaya lokal dengan dalih kesatuan dan persatuan adalah contoh yang nyata.
Dalam konteks ini pemerintahan Orde Baru tidak mendudukan pembangunan
dengan konteks lokal, pembangunan hanya berorientasi pada pusat, sehingga
kemajuan yang dirasakan pusat tidak dirasakan oleh daerah. Perubahan paradigma
kekuasaan sentralis menjadi paradigma kekuasaan berbasis daerah (desentralis)
melalui kebijakan otonomi daerah memberikan nafas baru dalam upaya
membangkitkan kembali modal sosial berupa spirit lokalitas yang telah lama
hilang.UU No. 25 Tahun 1999 disusul kemudian UU No.32 Tahun 2004 membawa
misi penguatan masyarakat lokal dalam rangka peningkatan kapasitas demokrasi
ditingkat lokal, pengembalian martabat dan harga diri masyarakat daerah yang
sudah lama termarjinalkan pusat, serta membingkai kembali masyarakat Indonesia
yang majemuk. Namun pada kenyataannya sejak era reformasi, justru kemajemukan
masyarakat cenderung menjadi beban daripada modal bangsa Indonesia.
Permasalahan antaragama seperti dibahas sebelumnya, ras dan suku menjadi
contohnya.
Urbanisasi dan industrialisasi Indonesiaternyata malah memberi kecenderungan
penguatan aspek-aspek antipluralisme (suku, agama, dan sistem simbolik lainnya)
dalam kehidupan masyarakat kota. Ironisnya, kemajemukan ini berkembang
bersama proses transformasi masyarakat kota itu sendiri dari masyarakat agraris ke
masyarakat industri, sehingga kemajemukan dalam aspek kehidupan tersebut
menjadi berganda.Konsekuensi logis dari pelaksanaan Otonomi Daerah adalah
pemerintah selalu di hadapkan pada dua tugas utama yang harus mereka emban;
Pertama, membangun negara kesatuan (integrasi) yang mampu mengatasi ikatan-
ikatan primordial. Kedua, membangun demokrasi yang dapat memberikan ruang
politik dan aspirasi masyarakat secara luas.
Dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, satu prinsip yang harus dipegang oleh
bangsa Indonesia adalah bahwa aplikasi otonomi daerah tetap berada dalam
konteks persatuan dan kesatuan nasional Indonesia (integrasi nasional). Otonomi
tidak ditujukan untuk kepentingan pemisahan suatu daerah untuk bisa melepaskan
diri dari Negara Kesatuan RI. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah
untuk memungkinkan daerah bersangkutan mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri untuk kepentingan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian jelaslah bahwa aplikasi pemerintahan dan pembangunan di
daerah sekarang ini didasarkan pada dua sendi utama yaitu: Otonomi Daerah dan
Integrasi Nasional.
Pemahaman pluralisme budaya diperlukan sejalan dengan dinamika masyarakat
di era otonomi daerah. Di lain pihak, pluralisme budaya cenderung dianggap
"kambing hitam", mengingat belum bagusnya implementasi otonomi daerah,
maraknya anarkisme, dan konflik sosial. Bung Karno pernah berkata bahwa dari
lima sila Pancasila jika diperas maka akan menjadi Tri Sila yaitu, sosio-nasionalisme,
sosio-demokratis, dan ke-Tuhanan. Dari Tri Sila tersebut jika diperas lagi maka akan
menjadi satu perkataan yaitu gotong-royong, dan gotong-royong adalah dasar dari
semua sila Pancasila. Walaupun pada dasarnya kita semua memiliki perberbedaan,
namun semua itu harusnya tidak mengurangi semangat kegotong-royongan dalam
membangun bangsa.
Faktor –Faktor Penyebab Tumbuh Kembangnya Pluralisme
1. Faktor Internal
Faktor internal disini yaitu mengenai masalah teologis. Keyakinan seseorang
yang mutlak dan absolut terhadap apa yang diyakini dan diimaninya merupakan
hal yang wajar. Sikap absolutisme agama tak ada yang mempertantangkannya
hingga muncul teori tentang relativisme agama. Pemikiran relativisme ini
merupakan sebuah sikap pluralisme terhadap agama.
2. Faktor Eksternal.
a.Faktor Sosio-Politik
Faktor ini berhubungan dengan munculnya pemikiran mengenai masalah
liberalisme yang menyuarakan kebebasan, toleransi, kesamaan, dan pluralisme.
Liberalisme inilah yang menjadi cikal bakal pluralisme. Pada awalnya liberalisme
hanya menyangkut mengenai masalah politik belaka, namun pada akhirnya
menyangkut masalah keagamaan juga. Politik liberal atau proses demokratisasi
telah menciptakan perubahan yang sistematis dan luar biasa dalam sikap dan
pandangan manusia terhadapa agama secara umum. Sehingga dari sikap ini
timbullah pluralisme agama. Situasi politik global yang kita alami saat ini
menjelaskan kepada kita secara gamblang tentang betapa dominannya kepentingan
politik ekonomi barat terhadap dunia secara umum. Dari sinilah terlihat jelas
hakikat tujuan yang sebenarnya sikap ngotot barat untuk memonopoli tafsir tunggal
mereka tentang demokrasi. Maka pluralisme agama yang diciptakan hanya
merupakan salah satu instrumen politik global untuk menghalangi munculnya
kekuatan-kekuatan lain yang akan menghalanginya.
b. faktor Keilmuan
Pada hakikatnya, terdapat banyak faktor keilmuan yang berkaitan dengan
munculnya pluralisme. Namun yang berkaitan langsung dengan pembahasan ini
adalah maraknya studi-studi ilmiah modern terhadap agama-agama dunia, atau
yang sering dikenal dengan perbandingan agama. Diantara temuan dan kesimpulan
penting yang telah dicapai adalah bahwa agamaagama di dunia hanyalah
merupakan ekspresi atau manifestasi yang beragam dari suatu hakikat metafisik
yang absolut dan tunggal, dengan kata lain semua agama adalah sama.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pluralisme merupakan kenyataan sejarah yang tidak bisa diingkari
keberadaannya, dan merupakan tantangan yang dihadapi agama-agama dunia
dewasa ini. Adanya truth claim atau klaim absolutisme, baik Islam, Kristen,
Hindu, Budha maupun Yahudi, merupakan sesuatu yang mendesak untuk
segera diatasi. Untuk menghadapi tantangan pluralisme, diperlukan pemahaman
yang plural terhadap agama.
Pluralisme adalah menerima kehadiran orang lain atas dasar konsep hidup
berdampingan secara damai, tidak saling mengganggu, dan mengembangkan
kerjasama sosial-keagamaan melalui berbagai kegiatan untuk mendorong proses
pengembangan kehidupan beragama yang rukun. Di Indonesia nilai-nilai
pluralisme sudah tercakup dalam isi Pancasila, dan dilindungi oleh undang-
undang 1945 (UUD 45). pluralisme merupakan konsep yang mengatur
bagaimana cara untuk bisa hidup rukun dan damai dalam kemajemukan
masayarakat, baik dalam hal sosial, agama, adat istiadat dan budaya, dimana
tujuanya adalah supaya mereka bisa saling bekerja sama dalam membangun
sebuah negara atau kelompok masyarakat.
Setiap agama hendaknya dinilai sebagai tradisi-tradisi yang utuh, bukan
sebagai fenomena keagamaan yang partikular. Tradisi perbedaan keagamaan
hendaknya dianggap sebagai sama-sama produktif (equally-productive) dalam
mengubah manusia dari perhatian pada diri sendiri. Semua agama cenderung
memiliki klaim absolutisme, dan klaim pemeluk agama monoteisme yang
partikularistik-subyektif akan berdampak pada konflik antarumat beragama, dan
konflik tersebut akan menjadi memuncak jika beberapa organisasi keagamaan
yang kuat dan partikularistik hidup berdampingan. Oleh karena itu, dalam
memahami persoalan agama-agama perlu wawasan multikulturalisme.
Tantangan teologis paling besar dalam kehidupan beragama sekarang ini,
adalah: bagaimana seorang beragama bisa mendefinisikan dirinya di tengah-
tengah agama lain. Atau istilah yang lebih teknis—yang bisa dipahami dalam
literatur teologi kontemporer— bagaimana bisa berteologi dalam konteks agama-
agama.
Pluralisme bangsa adalah pandangan yang mengakui adanya keragaman di
dalam suatu bangsa, seperti yang ada di Indonesia. Istilah plural mengandung
arti berjenisjenis, tetapi pluralisme bukan berarti sekedar pangakuan terhadap
hal tersebut. Namun mempunyai implikasi-implikasi politis, sosial, ekonomi.
Oleh sebab itu, pluralisme berkaitan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Banyak
negara yang menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi tetapi tidak
mengakui adanya pluralisme di dalam kehidupannya sehingga terjadi berbagai
jenis segregasi.
Pluralisme ternyata berkenaan dengan hak hidup kelompok-kelompok
masyarakat yang ada dalam suatu komunitas. Komunitas-komunitas tersebut
mempunyai budaya masing-masing dan keberadaan mereka diakui negara
termasuk budayanya. Budaya di dalam kehidupan bermasyarakat sangat
penting karena menjadi alat perekat di dalam suatu komunitas.
Pada dasarnya globalisasi mengubah semua yang ada pada dunia kita, hal itu
menyangkut terhadap pemikiran, politik, ekonomi, budaya, agama, etnis,
termasuk dimensi keamanan dan strategi. Oleh karena itu, tidak bisa kita
pungkiri kenyaatan bahwa perjumpaan berbagai perbedaan adalah suatu hal
yang sangat pasti. Dan tentunya hal ini menjadi sebuah tantangan yang nyata
bagi manusia untuk menghadapi berbagai keberagaman nilai, budaya dan
agama. Pluralisme sendiri juga dapat berarti kesediaan untuk menerima
keberagaman (pluralitas), artinya, untuk hidup secara toleran pada tatanan
masyarakat yang berbeda suku, golongan, agama, adat, hingga pandangan
hidup.
Cara pandang terhadap pluralisme merupakan suatu yang berperan sangat
penting dalam kehidupan bermasyarakat. Tak jarang cara pandang pluralisme
menjadi sorotan yang utama dan menimbulkan sikap-sikap tertentu, misalnya
keterbukaan, ketertutupan, kebencian dan lain-lain. Diantara banyaknya
keberagaman yang kita miliki, agama adalah salah satu aspek yang dinilai dan
dilihat sebagai sesuatu yang paling sering dibicarakan. Hal ini disebabkan oleh
nilai-nilai mutlak yang terkandung di dalam ajaran agama tersebut dan juga
karena agama sangat mempengaruhi cara berelasi orang-orang beragama.
Berkenaan dengan munculnya berbagai paham mengenai pluralisme sendiri
menjadi sorotan banyak orang yang menimbulkan pro dan kontra di kalangan
cendikiawan, pemikir dan tokoh agama. Secara khusus dalam hal agama,
berbagai masyarakat yang menganut agama/kepercayaan berbeda-beda, dengan
gambaran seperti itu, dapat dikatakan bahwa pluralisme agama bukanlah
kenyataan yang mengharuskan orang untuk saling menjatuhkan, saling
merendahkan, atau mencampuradukkan antara agama yang satu dengan yang
lain, tetapi justru mempertahankannya pada posisi saling menghormati dan
bekerjasama. Sejatinya pluralisme bukanlah paham yang secara tiba-tiba muncul
dari ruang hampa, akan tetapi di situ terdapat penghubung yang kokoh antara
diskursus sekularisme, liberalisme yang kemudian lahirlah pluralisme
Menghormati setiap individu tanpa melihat latar belakangnya. Bersikap terbuka
terhadap perbedaan yang ada. Tidak memaksakan kehendak. Saling membantu.
Tidak mengejek keyakinan, agama, ras ataupun budaya lain. Contoh Pluralisme
Masyarakat di Indonesia
Orang-orang saling menghargai dan menghormati perbedaan suku, ras,
tradisi dan agama. Orang-orang saling menghargai adat istiadat dalam
kehidupan masyarakat. Orang-orang saling bergotong-royong dan tolong-
menolong ketika ada yang membutuhkan meskipun berbeda.
Pluralisme dan Multikulturalisme membawa dampak pengaruh yang besar
bagi bangsa Indonesia. Sikap pluralisme dan multikulturalisme sangatlah
diperlukan agar tercipta negara yang aman dan tentram tanpa adanya konflik
yang muncul karena adanya perbedaan antar warga negara. Namun, jika
masyarakat Indonesia tidak memiliki sikap toleransi terhadap perbedaan dan
keberagaman maka sangat sulit untuk tercipta masyarakat yang aman dan
tentram, selain itu jika tidak diterapkan dengan baik dan benar sikap pluralisme
dan multikulturalisme maka dapat membawa kehancuran bagi bangsa Indonesia
dan hilangnya keberagaman yang ada di Indonesia.
Pluralisme dalam perspektif filsafat budaya merupakan konsep kemanusiaan
yang memuat kerangka interaksi dan menunjukkan sikap saling menghargai,
saling menghormati, toleransi satu sama lain dan saling hadir bersama atas dasar
persaudaraan dan kebersamaan; dilaksanakan secara produktif dan berlangsung
tanpa konflik sehingga terjadi asimilasi dan akulturasi budaya. Pluralitas tidak
bisa dihindarkan apalagi ditolak meskipun golongan tertentu cenderung
menolaknya karena pluralitas dianggap ancaman terhadap eksistensi
komunitasnya. Sebenarnya pluralisme merupakan cara pandang yang bersifat
horisontal, menyangkut bagaimana hubungan antarindividu yang berbeda
identitas harus disikapi.
Sementara kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sebagai
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar
(Koentjaraningrat, 1980 : 193). Kebudayaan dipelajari dan dialami bersama secara
sosial oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaanbukanlah
hanya akumulasi dari kebiasaan (folkways)dan tata kelakuan (mores ),tetapi
suatu sistem perilaku yang terorganisasi.
Pluralisme menjadikan ciri khas nagara Indonesia sebagai negara kaya akan
budaya, bahasa, suku dan adat istiadat. Bahkan bukan hanya budaya kekayaan
bangsa kita melainkan melainkan juga kaya indonesia dapat dilihat dari sumber
daya alamnya. Kekayaanpun diidentikan dengan keberbedaan yang dimiliki
bangsa kita tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan gesekan satu sama
lain sehingga dapat menimbulkan konflik didalamnya. Tuntutan masyarakat
untuk dapat hidup damai sebagai satu kesatuan negara haruslah menjunjung
tinggi akan perbedaan yang ada. Tidak kemudian menonjolkan sikap perbedaan
yang dimiliki dan selalu dikedepankan sehingga dapat memicu adanya gesekan
yang berbau Sara. Konflik adalah sifat natural dalam kehidupan dan sepanjang
jaman yang telah dilalui manusia. Namun konflik secara sistem dapat terjadi
karena juga karena adanya ketidak adilan terhadap apa yang menjadi hak,
sehingga membuat kekecewaan dan memicu konflik. Namun hal ini tidak dapat
dijadikan alasan sebagai pengahambat satu tujuan atau disfungsional terlebih
yang ingin dicapai adalah tujuan negara. Konflik yang berasal dari gesekan Sara,
bukan hanya mengakibatkan kerugian matriil yakni hancurnya infrastruktur
yang ada dan hilang/rusaknya harta kekayaan, namun kedaulatan negara
menjadi terancam apabila konflik yang berbau Sara tidak ditangani secara serius
oleh negara. Karena konflik yang terjadi dalam masyarakat sangatlah sedikit
untuk tidak terjadi ketakutan, pertumpahan darah bahkan menjadi trauma
berkepanjangan seperti yang terjadi dalam konflik agama di Poso, yang sewaktu-
waktu akan kembali mencuat bagai bom waktu.
Oleh sebab itu pluralisme perlu dipahami bukan hanya sebagai kebaikan
negatif yang menyingkirkan paham fanatisme golongan, namun essensi dari
pluralisme adalah dipahami sebagai kekuatan yang bisa menyatukan komponen
masyarakat dalam ikatan pertalian sejati kebhinekaan yang membangun ikatan
keadaban Masyarakat Indonesia adalah sketsa masyarakat yang plural, karena di
dalamnya terdapat bermacam suku, agama, budaya dan ras. Pada tradisi
kehidupan beragam di Indonesia sering terjadi ambiguitas dalam
perkembangannya. Hal ini terkait dengan masalah-masalah keagamaan yang
berujung pada peristiwa-peristiwa konflik yang di luar nalar ataupun ajaran
agama yang mengajarkan tentang cinta damai. pluralisme tidak semata
menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, namun yang
dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut.
Pluralisme agama dan budaya dapat kita jumpai di mana-mana, namun
seseorang baru dapat dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat
berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain
pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan
saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha
memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam
kebhinekaan. pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme.
Kosmopolitanisme menunjuk pada suatu realita di mana aneka ragam agama,
ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Sebagai contoh, New York.
Kota ini adalah kota kosmopolitan. Di kota ini terdapat orang Yahudi, Kristen,
Muslim, Hindhu, Budha, bahkan tanpa agama sekalipun.
pluralisme dapat dipahami bahwa masyarakat Indonesia beraneka ragam
atau majemuk, Indonesia yang terdiri dari beragam suku, ras, dan agama. Yang
menggambarkan kesan saling menghargai satu sama lain, bahkan pluralisme
antara lain suatu keharusan bagi keselamatan untuk manusia. Bagaimana
pandangan Islam terhadap pluralisme. Sebagai agama samawi, Islam memiliki
pandangan tersendiri dalam menyikapi pluralisme dan pluralistis. Berkaitan
dengan tema pluralisme, atau lebih tepatnya memperkenalkan prinsip-prinsip
pluralisme, atau lebih tepatnya pengakuan terhadap pluralistis dalam kehidupan
manusia. Pengakuan Islam terhadap adanya pluralistis itu dapat dielaborasi ke
dalam dua perpektif, pertama teologis dan kedua sosiologis.
Pluralisme menjadikan ciri khas nagara Indonesia sebagai negara kaya akan
budaya, bahasa, suku dan adat istiadat. Bahkan bukan hanya budaya kekayaan
bangsa kita melainkan melainkan juga kaya indonesia dapat dilihat dari sumber
daya alamnya. Kekayaanpun diidentikan dengan keberbedaan yang dimiliki
bangsa kita tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan gesekan satu sama
lain sehingga dapat menimbulkan konflik didalamnya. Tuntutan masyarakat
untuk dapat hidup damai sebagai satu kesatuan negara haruslah menjunjung
tinggi akan perbedaan yang ada. Tidak kemudian menonjolkan sikap perbedaan
yang dimilikidan selalu dikedepankan sehingga dapat memicu adanya gesekan
yang berbau Sara.
Konflik adalah sifat natural dalam kehidupan dan sepanjang jaman yang
telah dilalui manusia. Namun konflik secara sistem dapat terjadi karena juga
karena adanya ketidakadilan terhadap apa yang menjadi hak, sehingga membuat
kekecewaan dan memicu konflik. Namun hal ini tidak dapat dijadikan alasan
sebagai pengahambat satu tujuan atau disfungsional terlebih yang ingin dicapai
adalah tujuan negara. Konflik yang berasal dari gesekan Sara, bukan hanya
mengakibatkan kerugian matriil yakni hancurnya infrastruktur yang ada dan
hilang/rusaknya harta kekayaan, namun kedaulatan negara menjadi terancam
apabila konflik yang berbau Sara tidak ditangani secara serius oleh negara.
Karena konflik yang terjadi dalam masyarakat sangatlah sedikit untuk tidak
terjadi ketakutan, pertumpahan

Anda mungkin juga menyukai