Anda di halaman 1dari 3

ERP DAN CIPTA KERJA PROVINSI JAKARTA

Permasalahan kemacetan merupakan perihal yang telah menjadi momok


sejak lama di Provinsi DKI Jakarta. Permasalahan ini selalu terjad9i di setiap
tahunnya. Berbagai kebijakan telah diterapkan demi meminimalisir masalah ini.
Namun hasilnya tidak terlalu signifikan. Beberapa kebijakan yang pernah
diterapkan diantaranya adalah Three In One dan juga kebijakan ganjil genap.
Kebijakan Three in One merupakan kebijakan yang diterapkan pada masa
Gubernur Sutiyoso yang mengharuskan mobil berisikan 3 orang untuk melewati
jalan-jalan tertentu di ibukota. Kemudian terdapat juga kebijakan ganjil genap
yang mengharuskan pengendara menyelaraskan antara tanggal dan juga angka
pada plat nomor yang terpasang di kendaraannya. 
Berbagai kebijakan tersebut telah dilakukan meskipun hasilnya masih
belum dirasakan secara maksimal oleh masyarakat DKI Jakarta yang masih terus
merasakan kemacetan di berbagai tempat. Sehingga, menghambat mobilitas
mereka. Kebijakan pembatasan bagi sepeda motor untuk melintasi daerah Jalan
Sudirman hingga jalan M.H. Thamrin yang diatur dalam Pergub No. 195 Tahun
2014 dan juncto Pergub DKI No. 141 Tahun 2015 tentang Pembatasan Lalu
Lintas Sepeda motor tersebut dicabut melalui mekanisme judicial review dengan
keputusan nomer 57 P/HUM/2017. Dalam putusan tersebut majelis hakim
menyatakan bahwa aturan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang –
undangan yang lebih tinggi. Hasil dari berbagai kebijakan yang dirasa belum
maksimal tersebut mendorong pemerintah DKI Jakarta merencanakan untuk
memberlakukan kebijakan ERP (Electronic Road Pricing) dengan harapan agar
dapat meminimalisir kemacetan di jakarta secara signifikan.
ERP atau Electronic Road Pricing merupakan skema tol elektronik untuk
mengatur lalu lintas melalui road pricing sebagai mekanisme penggunaan
berbasis perpajakan. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang telah lama
dirumuskan terutama oleh pemerintah DKI Jakarta untuk mengatasi masalah
kemacetan di Jakarta. Terutama pada jam jam krusial seperti pagi dan sore hari.
Kebijakan ini direncanakan akan diterapkan di jalan-jalan utama untuk
mengurangi kepadatan sehingga dapat memperlancar mobilitas masyarakat
khususnya warga DKI Jakarta.
Namun, rencana penerapan kebijakan tersebut tidak berjalan dengan
mulus. Banyak pihak yang merasa penerapan kebijakan tersebut malah
memberatkan masyarakat di berbagai golongan. Masyarakat merasa bahwa
jalanan adalah hak mereka selaku pihak yang membayar pajak sehingga
tidak perlu lagi dilakukan pemerasan di jalanan untuk melewati jalan-jalan
yang ada di DKI Jakarta. Meskipun demikian, Pemerintah DKI Jakarta dan
juga DPRD DKI Jakarta terus mendorong agar Perda terkait kebijakan
ERP ini akan segera tuntas pada tahun 2023. Sehingga, penerapan ERP
dapat dilakukan sesegera mungkin. Hal itu seperti memperlihatkan bahwa
pemerintah DKI Jakarta tuli akan aspirasi masyarakat yang akan sangat
berdampak apabila kebijakan ini direalisasikan. Berbagai golongan salah
satunya dari kalangan ojek online telah melakukan demonstrasi yang
seharusnya menjadi pertimbangan bahwa kebijakan ini tidak mewakili
kebutuhan masyarakat dan perlu dikaji ulang termasuk terkait kesiapan
infrastruktur dan berbagai hal lainnya sehingga kebijakan ini dapat
mencapai target utamanya tanpa menyulitkan kebutuhan mobilitas
masyarakat.

Pantaskah ERP Diaplikasikan di Jakarta ?


Pejabat Pemerintah Provinsi selaku aparatur Negara sejatinya
bertanggung jawab untuk memberikan segala kebutuhan yang diperlukan
masyarakat dalam bentuk penerapan berbagai kebijakan yang dirasa pantas
dan tepat untuk diaplikasikan di masyarakat. Segala macam usaha yang
dilakukan oleh pemerintahan haruslah mewakili keresahan di masyarakat
tanpa melahirkan masalah yang lebih mendasar dan segala usaha tersebut
dirumuskan dalam kebijakan publik (Joko Widodo, 2021). Kebijakan publik
adalah serangkaian rencana, program, aktivitas, aksi, keputusan sikap untuk
bertindak maupun tidak bertindak yang dilakukan oleh para pihak aktor-
aktor kebijakan sebagai tahapan untuk penyelesaian berbagai masalah yang
dihadapi dan segala tindakan itu didasarkan pada kepentingan masyarakat
(iskandar, 2012).
ERP atau Electronic Road Pricing merupakan salah satu bentuk wacana
dari kebijakan publik terkait keresahan masyarakat akan kemacetan. Akan tetapi,
kebijakan ini dirasa membebani masyarakat di berbagai tingkatan dan hanya
menyelesaikan masalah dengan masalah baru sehingga dipertanyakan
keefektifitasannya untuk menyelesaikan problematika kemacetan yang sudah
menjadi darah daging DKI Jakarta. Banyak pihak yang merasa bahwa kebijakan
ini perlu dilakukan riset yang lebih mendalam sebelum direalisasikan dalam
bentuk kebijakan yang tentunya sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Perumusan kebijakan ini pun dinilai sangat minim terkait partisipasi masyarakat
didalamnya dan dilakukan dalam keadaan yang terlalu terburu-buru (Meaningful
Participation).
Padahal berdasarkan Pasal 96 Undang-undang nomor 12 Tahun 2011
tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan telah mengatur bahwa
masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam
pembentukan Perda tersebut. Hal ini tercerminkan dalam demonstrasi yang
dilakukan oleh pengemudi ojek online di depan balaikota pada tanggal 8 Februari
2023. Demonstrasi itu menggambarkan bahwa proses sosialisasi dan juga ruang
partisipasi yang diberikan Pemerintah kepada masyarakat dalam hal perumusan
wacana kebijakan ini sangatlah kurang dan hal ini merupakan hal yang mendasar
karena pada dasarnya kebijakan ERP ini merupakan bentuk kebijakan publik yang
perlu melibatkan masyarakat dalam proses pembentukannya. Sehingga, kebijakan
ini tidak seakan-akan mencuri uang masyarakat melalui kedok kebijakan publik
yang akan sangat merugikan masyarakat terutama sekarang masih dalam suasana
pemulihan pasca pandemi covid-19.
Selain ruang partisipasi masyarakat yang kurang, para pengamat salah
satunya melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta juga menilai bahwa
proses perumusan kebijakan ini perlu diikuti oleh pembentukan beberapa
kebijakan lainnya sehingga mendukung keberhasilan capaian dari kebijakan ERP
ini. Salah satu yang dipertanyakan oleh LBH adalah bagaimana usaha yang
dilakukan pemerintah DKI Jakarta untuk mengintegrasikan transportasi publik.

Anda mungkin juga menyukai