Anda di halaman 1dari 14

Kewarisan Beda Agama

Dalam Tinjauan Hukum Islam Konteporer

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fikih Al-Ahwal As-Syakhsiyah

Dosen Pengampu: Dr. Rohmawati, M.A.

Disusun oleh Kelompok 9 :

1. Arti Wahyu Ningrum (126102211021)


2. Danang Ariadi Pratama (126102211028)
3. Dhea Fitria (126102211031)

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG

2023
PENDAHULUAN

Perkawinan beda agama menimbulkan banyak perdebatan di kalangan masyarakat.


Hukum perkawinan di Indonesia melarang terjadinya perkawinan pasangan calon mempelai yang
berbeda agama atau berbeda keyakinan sesuai Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974. Salah satu aspek yang menjadi permasalah dari adanya
perkawinan beda agama yaitu mengenai kewarisan. Dari perkawinan beda agama tersebut
dipandang sebagai salah satu faktor penghambat dalam mendapatkan kewarisan dari orang
tuanya.
Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian besar karena pembagian warisan
sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan bagi keluarga yang ditinggalkan
oleh pewarisnya. Kematian seseorang sering berakibat timbulnya sengketa di kalangan ahli waris
mengenai harta peninggalannya.

Kewarisan beda agama merupakan salah satu dari persoalan kontemporer dalam
pemikiran hukum Islam kontemporer. Di satu sisi, al-Qur’an tidak menjelaskan tentang bagian
ahli waris untuk non muslim, sedangkan hadis juga tidak memberikan penjelasan sedikitpun
bagian harta bagi ahli waris non muslim. Namun di sisi lain, tuntutan keadaan dan kondisi
menghendaki hal yang sebaliknya. Seiring dengan berkembangnya waktu, kasus-kasus yang
terjadi dalam hukum kewarisan beda agama ini semakin marak. Salah satu faktor penyebabnya
adalah ketidak-setujuan ahli waris yang berbeda agama terhadap pembagian harta yang dinilai
tidak adil.

Dalam Islam sendiri, para ulama mazhab (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hambali) telah sepakat
melarang kewarisan beda agama ini. Bagi anggota keluarga yang bukan beragama Islam, mereka
akan termahjubkan dengan status mereka karena memiliki agama yang berbeda. Artinya seorang
muslim tidak mewarisi pewaris yang non muslim, begitu pula non muslim tidak mewarisi harta
pewaris yang muslim.

1
PEMBAHASAN

A. Kewarisan Beda Agama Menurut Ulama Fikih


1. Kewarisan Beda Agama dalam Istilah
Kewarisan menurut bahasa Arab berasal dari lafadz
‫ ف<<<رائض‬yang mempunyai beberapa pengertian, antara lain: Ketentuan/Taqdīr,
Ketetapan/Qath‟I, Menurunkan/inzāl, Penjelasan/Tabyīn, dan Menghalalkan/Ihlāl.
Adapun kata “waris” menurut bahasa, lafadz waris (warisan) mempunyai beberapa
pengertian pula, yaitu menggantikan kedudukan, menganugerahkan, mewarisi .
Secara istilah, lafadz ‫ فرائض‬adalah suatu bagian ahli waris yang ditentukan besar
kecilnya oleh syara’. Sedangkan pengertian ilmu ‫ فرائض‬berdasarkan pendapat lainnya
adalah Ilmu fiqih yang berpautan dengan pembagian harta warisan, dan pengetahuan
tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan untuk mengetahui sesuatu yang
khusus pada setiap pemilik hak pusaka.1
Definisi lainnya dikemukakan oleh Ali Al-Shabuni bahwa kewarisan dalam
Islam adalah sebuah aturan perpindahan properti dari pemiliknya yang sudah mati
kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik peninggalannya itu berupa sesuatu yang
bersifat konkret seperti harta benda maupun yang lebih abstrak berupa hak.12 Pakar
hukum lainnya seperti Hilman Hadikusumo menyatakan bahwa kewarisan adalah
hukum yang mengatur tentang penerusan harya kekayaan dari seseorang yang telah
mati kepada penerusnya.13 Sementara itu dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
hukum kewarisan Islam didefinisikan sebagai hukum yang mengatur tentang
perpindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-
siapa yang berhak menjadi ahli waris, serta bagiannya masing-masing.
Dengan pengertian diatas, antara pengertian ilmu ‫ ف<<رائض‬dan ilmu waris
terdapat kesamaan, yaitu suatu ilmu yang berkaitan atau berhubungan dengan
masalah pembagian harta pusaka (peninggalan). Apabila dikaitkan dengan kalimat
“beda agama”, maka maksudnya adalah masalah pembagian harta waris yang
melibatkan antara seseorang yang beragama Islam dengan orang yang non muslim.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kewarisan beda agama hanya
1
Chamim tohari, “Rekonstruksi Hukum Kewarisan Beda Agama Ditinjau Dari Al-Usul Al-Khamsah”, Jurnal
Pemikiran Hukum Islam, (Jakarta: Gramedia, 207), hal.4

2
dikhususkan dengan pengertian seorang yang beragama Islam yang menjadi bagian
dari ahli waris seorang non muslim yang meninggal yang mana muslim tersebut ikut
mewarisi harta kekayaan, baik orang yang meninggal tersebut adalah orang tua ahli
waris (muslim) yang dimaksud atau sebagai keluarga dekatnya seperti istri, suami,
anak, atau orang tua dari pewaris yang meninggal tersebut.
2. Pendapat yang Mengharamkan
Pendapat yang melarang Muslim mewarisi kafir dikemukakan oleh empat
madzab terkemuka, yakni Hanafi, Maliki Syafi‟i dan Hanbali. Di antara alasan yang
dikemukakan adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Syafi‟i yang menolak
pemaknaan kata “kāfir” dengan “kāfir harbī”, karena menurut Syafi‟i baik kafir ahlul
kitab maupun kafir penyembah berhala, baik kāfir harbī maupun kāfir dzimī, tetap
tidak diperbolehkan Muslim menerima waris darinya, karena mereka sama-sama
kafir. Alasan yang lainnya adalah tidak adanya naṣ yang mentakhshish kata kāfir
dalam hadis yang melarang Muslim dan kafir saling mawarisi.2
Senada dengan Syafi‟i, Syaukani menyatakan kesepakatannya dengan Syafi‟i
bahwa tidak ada pengecualian tentang makna kāfir kecuali dengan dalil yang tegas.
Adapun Ibnu Qudamah berpendapat bahwa riwayat dari Umar, Muadz, dan
Muawiyah yang membolehkan Muslim menerima waris dari nonMuslim adalah
riwayat yang tidak bisa dipercaya dari mereka, karena Imam Ahmad mengatakan
bahwa tidak ada perbedaan pendapat bahwa Muslim tidak mewarisi dan mewariskan
harta orang kafir. Yang dipraktekkan oleh kebanyakan fuqahā‟ adalah perbedaan
agama antara Islam dan kafir menghalangi warisan dari kedua pihak. Begitu pula
mereka sepakat bahwa kafir yang seagama boleh saling mewarisi di antara mereka
apabila mereka berada dalam satu negara. Adapun seorang murtad yang memeluk
agama Islam sebelum harta waris dibagikan, maka berhak baginya mendapatkan
bagian. Demikian Ibnu Qudamah menjelaskan. Intinya, Ibnu Qudamah berpendapat
bahwa hadis shahih harus didahulukan daripada riwayat yang tidak disepakati
keshahihannya.
Sementara dari kalangan ulama kontemporer yang melarang Muslim
mewarisi kafir di antaranya Musthofa as-Salabiy yang mengatakan bahwa naṣ hukum

2
Ibid hal.5

3
yang jelas dan qath‟i adalah pendapat yang awal, yaitu tidak saling mewarisi antara
orang Muslim dengan non-Muslim, dan sebaliknya. Sementara Ali al-Shobuni
memasukkan perbedaan agama antara Muslim dengan non-Muslim menjadi salah
satu penghalang kewarisan. Hal ini sama dengan apa yang dilakukan oleh Sayyid
Sabiq. Larangan yang lain muncul dari fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia)
dengan alasan bahwa hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewarisi
antar orang-orang yang berbeda agama (antara Muslim dengan non-Muslim). Selain
itu, pemberian harta antara orang yang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam
bentuk hibah, wasiat, dan hadiah.3

3. Pendapat yang Membolehkan


Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim alJauzi. Hal
ini berdasarkan riwayat dari Mu‟adz bin Jabal, Muawiyah bin Abi Sufyan,
Muhammad bin Hanafiyah, Muhammad bin Ali bin Husain, Sa‟id bin Musayyab,
Masyruq bin Ajda‟, Abdullah bin Mughaffal, Yahya bin Ya‟mar, dan Ishak. Inilah
pendapat yang dipilih oleh Syaikh al-Islām Ibnu Taimiyah. Riwayat tersebut
menjelaskan bahwa Muadz bin Jabal, Muawiyah, dan mereka yang membolehkan
Muslim mewarisi kafir berkata;” Kita mewarisi mereka dan mereka tidak mewarisi
kita sebagaimana kita menikahi wanita-wanita mereka dan mereka tidak boleh
menikahi wanita-wanita kita.” Menurut kedua ulama besar ini, hadis “Orang Muslim
tidak boleh menerima waris dari orang kafir, tidak pula orang kafir dari orang
Muslim,” bisa ditakwilkan dengan takwilan para ahli fiqh madzab Hanafi terhadap
hadis “Seorang Muslim tidak boleh dibunuh dengan sebab membunuh orang kāfir,”
yang dimaksud kafir dalam hadis tersebut adalah kāfir harbī, karena orang harbī
memerangi umat Islam, karena hal itu memutuskan hubungan antara keduanya.
Demikian pula dengan murid Ibnu Taimiyah, yakni Ibnu Qayyim alJauziyah yang
juga berpendapat bahwa kesetiaan hati tidaklah menjadi syarat atau „illat dari
kewarisan. Tetapi „illat-nya adalah adanya tolong-menolong, seorang Muslim
menolong ahlu dzimmah, maka baginya berhak mewarisi mereka, sedangkan orang
ahlu dzimmah tidak menolong orang Muslim sehingga tidak berhak mewarisinya.

3
Ibid hal.6

4
Dalam hal ini Ibnu Qayyim mengatakan bahwa sesungguhnya hal ini sebagai takhṣīṣ
dari lafaz yang sifatnya umum, dan sebenarnya dibolehkannya Muslim mewarisi
non-Muslim akan mendatangkan kemaslahatan yang lebih besar bagi Muslim dan
agama Islam daripada dibolehkannya pernikahan dengan wanita ahlul kitab, dan hal
ini tidak bertentangan dengan kaidah dalam ilmu ushul. Karena sesungguhnya kaum
Muslimin menolong ahli dzimmi, berperang untuk mereka, melindungi untuk
keluarga mereka. Dan kewarisan berlaku karena adanya semangat tolongmenolong,
maka kaum Muslimin mewarisi mereka. Sementara mereka tidak menolong kaum
Muslimin sehingga tidak mewarisinya. Karena dasar kewarisan bukanlah kesetiaan
hati, seandainya demikian maka orang munafiq tidak menerima waris dari orang
Islam, namun di dalam Sunnah mereka mewarisi dan mewariskan.
Pendapat ini senada dengan apa yang difatwakan oleh seorang ulama besar
kontemporer, yaitu Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi. Menurutnya, illat dari masalah
waris adalah semangat tolong-menolong, bukan perbedaan agama. Menurut al-Al-
Qaradhawi, „illat dalam masalah warisan adalah pemberian pertolongan. Sedangkan
adanya perbedaan agama tidak memungkinkan untuk menjadi „illat dalam masalah
ini. Ajaran Islam dan umat Islam menolong ahlu dzimmah, maka umat Islam
menerima warisan dari mereka, sedangkan ahlu dzimmah –dengan kekafirannya itu-
tidak menolong umat Islam, maka mereka tidak menerima warisan dari umat Islam.
Karenanya ia berkeyakinan bahwa dasar waris bukanlah ikatan hati. Jika hal ini
dijadikan alasan, orang munafiq tidak menerima dan memberikan waris. Padahal
sunnah telah menjelaskan bahwa mereka menerima dan memberi waris.4
Tampaknya, pandangan Ibnu Qayyim dan Yusuf al-Qaradhawi yang
menyatakan bahwa adanya semangat tolong-menolong yang membolehkan seorang
Muslim menerima warisan dari keluarga non-Muslimnya adalah semangat tolong
menolong dalam lingkup hubungan darah dan pernikahan, bukan di luar itu. Karena
jika adanya semangat tolong menolong dimaknai secara bebas sebagai dasar
dibolehkannya Muslim dan non-Muslim saling mewarisi, maka justru tidak hanya
Muslim yang dibolehkan menerima warisan dari non-Muslim, tetapi non Muslim
juga dibolehkan menerima warisan dari Muslim. Hal yang kedua ini bertentangan

4
Ibid hal.7

5
dengan al-ahwāl al-khamsah. Lantas, bagaimana seandainya ada anak yang non-
Muslim yang berbakti kepada orang tuanya yang Muslim, apakah seseorang tersebut
berhak menerima harta waris sedangkan ia telah berbakti dan terpenuhi unsur tolong
menolong dalam lingkup hubungan darah? Jika merujuk pada logika kemaslahatan
dan takhṣiṣ dari dalil yang melarang kewarisan tersebut, maka konsekuensinya
adalah selama anak non-Muslim tersebut dengan harta warisan yang ia terima
mampu mendatangkan kemaslahatan bagi Islam dan keluarganya yang Muslim, tentu
dibolehkan dengan dalil kemaslahatan.

B. Kewarisan Beda Agama Menurut Kompilasi Hukum Islam


Dalam menyikapi perihal kewarisan semacam ahli waris non Islam dapat terjadi
karena dalam perjalanan ikatan perkawinan antara suami istri salah satu pihak keluar dari
agama Islam, dan juga dapat terjadi anak keturunan dari perkawinan tersebut yang
memeluk agama selain Islam, sehingga setelah adanya pembagian harta warisan hal ini
menimbulkan persoalan hukum tersendiri khususnya dalam pembagian harta warisan.
Dapat kita lihat seperti misal perpindahan agama ini sangat memilki potensi untuk
menimbulkan sebuah permasalahan hukum tersendiri. Takkala dalam sebuah keluarga
ketika salah seorang anak keluar dari agama orang tuanya atau memutus tali peragamaan
dari kedua orang tuanya ini akan berdampak pada status kewarisan anak tersebut terhadap
orang tuanya. Selama ini status perbedaan agama kerap kali menimbulkan permasalahan
dimana anak yang keluar dari agama orang tuanya tidak memiliki hak terhadap harta
orang tuanya.
Dalam konteks Hukum Islam, ada beberapa sumber hukum yang digunakan dalam
hal kewarisan yakni Al-Qur’an, Hadits, Pendapat Ulama, dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI). Al-quran secara eksplisit tidak menerangkan hukum yang jelas mengenai kewarisan
terhadap keluarga beda agama.5 Sedangkan dalam hadits waris beda agama di atur dalam
sebuah hadits yang berbunyi : “Seorang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan
orang kafir tidak mewarisi orang muslim.” (Bukhari dan Muslim. “Tidaklah berhak
seorang muslim mewarisi harta orang kafir, dan tidak berhak pula orang kafir mewarisi
harta seorang muslim”. (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam hadits tersebut di jelaskan
5
Budi Hariyanto, dikutip dari jurnal Tinjauan Yurudis Terhadap Pembagian Harta Waris Beda Agama Menurut Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), Vol.VIII, Jurnal IUS, (02 September 2020), hal.38

6
bahwa pewaris muslim tidak bisa mewarisi ahli waris yang non muslim, begitupun juga
sebaliknya. Sebagian ulama mengatakan bahwa ahli waris muslim tetap mendapat harta
warisan dari pewaris yang kafir. Mereka mengaku bersandar pada pendapat Mu’adz bin
Jabal ra, yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi harta orang kafir, tetapi
tidak boleh mewariskan hartanya kepada orang kafir. Sebagian ulama jumhur lainnya
mengatakan terhalang perihal niatan mewariskan. Pendapat demikian dikemukakan oleh ke
empat Imam Mujtahid yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy Syafi’i dan Imam
Ahmad bin Hanbal.
Terkait dengan hak waris beda agama, Kompilasi Hukum Islam lebih merujuk pada
pendapat para ulama klasik yang menegaskan bahwa perbedaan agama antara pewaris
dengan ahli waris menjadi penghalang terjadinya proses kewarisan. Hal ini bisa dilihat
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Pasal 171 huruf b menyatakan bahwa:
“Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal
berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta
peninggalan.”
Sedangkan, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan pasal yang sama yakni
Pasal 171 huruf (c) menyatakan bahwa: “Ahli waris adalah orang yang pada saat
meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris,
beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”. Ketentuan
beragama seseorang dapat ditentukan lewat identitasnya, hal ini jelas dalam KHI pada
Pasal 172 yang berbunyi: “Ahli waris yang dipandang beragama Islam apabila diketahui
dari kartu identitas aau pengakuan atau amalah atau kesaksian, sedangkan bayi yang baru
lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.
Ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) memang tidak dinyatakan secara
tegas bahwa perbedaan agama sebagai penghalang untuk dapat melakukan pewarisan,
namun Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (KHI) tersebut menyatakan bahwa
pewaris dan ahli waris harus dalam keadaan beragama Islam maka diantara keduanya,
apabila salah satunya tidak beragama Islam maka diantara keduanya tidak dapat saling
mewarisi, maka dalam ketentuan hak kewarisan otomatis terputus ketika berkaitan dengan
perbedaan agama.6

6
Ibid hal.39

7
Apabila dilihat segi sudut pandang Hukum Waris Islam, maka anak yang lahir dari
perkawinan beda agama atau ahli waris yang berbeda agama dengan pewaris tidak
mempunyai hak untuk mendapatkan harta waris apabila tidak seagama dengan pewaris
yang dalam hal ini pewaris beragama Islam. Artinya apabila ada anak yang seagama
dengan bapak atau ibunya saja, maka ia hanya akan mendapatkan hak kewarisan dari
bapak atau ibunya saja yang seagama, sehingga ia akan berhadapan dengan saudaranya
yang beda agama.7 Meskipun hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewaris
antar orang-orang yang berbeda agama (antara muslim dengan non-muslim), tetapi terdapat
ketentuan yang menyatakan bahwa pemberian harta antar orang berbeda agama hanya
dapat dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah.
Hal tersebut mengacu pada ketentuan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor :
5/MUNAS VII/9/2005 tentang Kewarisan Beda Agama, yang menetapkan bahwa :
a. Hukum Waris Islam tidak memberikan hak saling mewaris antar orang-orang yang
berbeda agama (antara muslim dengan non-muslim).
b. Pemberian harta antar orang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam bentuk hibah,
wasiat dan hadiah.

Oleh karena itu, dilihat dari sudut pandang Hukum Waris Islam, maka anak yang lahir dari
perkawinan beda agama tidak mempunyai hak untuk mendapatkan harta waris apabila
tidak seagama dengan pewaris yang dalam hal ini pewaris beragama Islam,yang demikian
termaktub dalam Pasal 832 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) maupun
Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Adapun dijelaskanya dalam segi hadits yang menjadi dasar pelarangan oleh ulama
mainstream (4 madzhab) adalah hadis riwayat Abū Dāwud dari Usāmah bin Zaid (Abi
Dawud 1990, 124).
‫ثري ال الق ملسو هيلع للها ىلص يبنال نع ديز نب ةماسأ نعملسمال رفاكال الو رفاكال ملسمل‬
Dari Usamah bin Zaid dari Nabi saw. bersabda: “Orang Muslim tidak mendapat warisan
dari orang kafir, dan orang kafir tidak mendapat warisan dari orang Muslim”.

‫ورمع نب للها دبع هدج نع هيبأ نع بيعش نب ورمع نعنيتلم لهأ ثراوتيال ملسو هيلع للها ىلص للها لوسر الق القىتش‬
Dari ‘Amr bin Syu‘aib, dari ayahnya dari kakeknya Abdulah bin ‘Amr berkata: Rasulullah
saw bersabda: “Tidak saling mewarisi antara kedua penganut agama yang
berbeda”(Abdullah Ismail al-Bukhari)

7
Ibid hal.39

8
Kalangan ulama kontemporer juga melarang pada kalangan Muslim mewarisi non-
muslim diantaranya adalah Musthofa al-Salabiy yang mengatakan bahwa nas} hukum yang
jelas dan qat}’iy adalah pendapat yang awal, yaitu tidak saling mewarisi antara orang
Muslim dengan non-Muslim, dan sebaliknya. Sementara Ali al-S}abuni memasukkan
perbedaan agama antara Muslim dengan non-Muslim menjadi salah satu penghalang
kewarisan. Hal ini sama dengan apa yang dilakukan oleh Sayyid Sabiq. 8 Cara untuk
mengidentifikasi seorang ahli waris beragama Islam adalah sebagaimana dijelaskan dalam
pasal 172: “Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas
atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak
yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.”

Rumusan pasal-pasal demikian, bila dicermati tampak adanya ketidakkonsistenan


dalam rumusan KHI tentang kewarisan beda agama. Pasal 171 dan 172 mengisyaratkan
adanya larangan waris beda agama, padahal telah ditegaskan bahwa antara pewaris dan ahli
waris harus beragama Islam. Sementara pasal 173 mengisyaratkan sebaliknya, jika
perbedaan agama tidak termasuk dalam kelompok penghalang mendapatkan warisan, maka
logika hukumnya adalah orang yang berbeda agama dimungkinkan bisa saling mewarisi.9
C. Analisis Kasus
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur
mengenai syarat sahnya perkawinan yaitu mengenai batas umur minimal seseorang yang
dapat melangsungkan perkawinan ataupun adanya izin dari kedua orang tuanya. Adapun
terhadap pasangan yang melangsungkan perkawinan di luar Indonesia diatur dalam Pasal
56 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi,
“Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga negara
Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan warga negara Asing adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu
dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan
Undang-undang ini”.

8
Rohmawati, dikutip dari jurnal Progresivitas Hukum Kewarisan Beda Agama di Indonesia Berbasis Keadilan dan Maslahah,
Vol 20 No 2, International Journal Ihya’ ‘Ulum Al-Din, (2018), hal.221
9
Ibid hal.225

9
Berdasarkan bunyi pasal tersebut maka dapat diartikan bahwa perkawinan yang
dilakukan Almarhum Ir. Atjep Soetopo dengan istrinya Inggrid Elisabeth dinyatakan sah dengan
adanya bukti Surat Keterangan Kawin antara Almarhum Ir. Atjep Soetopo dengan Inggris
Elisabeth dalam bahasa Jerman yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil Garbsen, yang sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tanggal 14 Juni 2004 maka terhadap hal tersebut
Pengadilan Agama Jakarta Utara memandang pernikahan antara Almarhum Ir. Atjep Soetopo
dengan Inggrid Eelisabeth dianggap telah terjadi dan sah. Dengan demikian maka Inggrid
Elisabeth juga diakui sebagai istri sah dari Almarhum Ir. Atjep Soetopo dan berhak atas harta
peninggalan suaminya.
Istri yang masih hidup berhak atas harta gono gini serta mendapatkan pula bagian dari
harta peninggalan mendiang suaminya. Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa
apabila terjadi cerai mati maka pasangan yang hidup terlama akan mendapatkan separuh harta
bersama. Untuk harta peninggalan istri sendiri diatur dalam Pasal 180 Kompilasi Hukum Islam,
dijelaskan apabila pewaris meninggalkan anak maka istri mendapatkan seperdelapan bagian.
Akan tetapi karena dalam kasus Putusan Nomor 2185/Pdt.G/2019/PA.JU istri dari pewaris
merupakan non muslim sedangkan pewaris sendiri merupakan seorang muslim, maka ia tidak
dianggap sebagai ahli waris melainkan hanya mendapat bagian harta peninggalan melalui wasiat
wajibah sebanyak 1/3 bagian.
Berdasarkan kasus tersebut diketahui juga bahwa antara pewaris dengan istrinya, Inggrid
Elisabeth telah lama menjalin hubungan perkawinan yaitu selama empat puluh tahun hidup
sebagai suami istri dan juga memperoleh keturunan. Berdasarkan pada Yurisprudensi No.
16.K/AG/2010, dalam putusan tersebut Mahkamah Agung menyatakan bahwa perkawinan
Pemohon Kasasi dengan pewaris sudah cukup lama terjalin yaitu selama delapan belas tahun,
berarti cukup lama Pemohon kasasi mengabdikan diri kepada pewaris, karena dasar
pertimbangan itu maka walapun Pemohon Kasasi beragama non muslim, ia layak dan adil untuk
memperoleh hak-haknya selaku istri untuk mendapat bagian dari harta melalui wasiat wajibah
serta bagian dari harta bersama. Oleh karena itu, Mahkamah Agung menetapkan bahwa ahli
waris yang berbeda agama dengan pewaris boleh menerima harta waris melalui wasiat wajibah.
10

Wasiat wajibah berlaku bukan hanya untuk istri non muslim melainkan juga untuk anak
10
Rizki Isihlayungdianti dan Abdul Halim, ”Kewarisan Non-Muslim dalam Perkawinan Beda Agama”
Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Islam, hal. 465-466

10
non muslim terhadap harta peninggalan orang tuanya. Jika ditinjau berdasarkan hukum Islam
pemberian wasiat wajibah terhadap non muslim memang bertentangan dengan yang diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam, karena di dalam Kompilasi Hukum Islam diatur bahwa yang berhak
menjadi ahli waris dari seorang muslim adalah orang yang juga beragama Islam. Pemberian
wasiat wajibah terhadap ahli waris non muslim memang tidak diatur di dalam aturan manapun,
baik itu dalam perundang-undangan maupun dalam hukum Islam, melainkan hanya didasarkan
pada keputusan hakim terdahulu. Wasiat wajibah sendiri bukanlah wasiat yang dinyatakan
langsung oleh Pewaris melainkan diberikan oleh negara melalui putusan yang dikeluarkan oleh
penguasa atau hakim sebagai aparat Negara yang mempunyai kewenangan untuk memaksa atau
memberikan putusan wasiat wajibah. Hal tersebut bertujuan untuk mengisi terjadinya
kekosongan hukum demi tercapinya keadilan.

11
KESIMPULAN

Kewarisan menurut pendapat ulama fiqih terdapat perbedaan, ada yang menghramkan
dan ada yang menghalalkan. Ulama yang mengharamkan yaitu Ulama empat Madzhab yakni
Mazhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi'i, Madzhab Hambali. Alasan beliau- beliau
mengharamkan yaitu salah satunya tidak adanya nas yang mentakhshish kata kāfir dalam hadis
yang melarang Muslim dan kafir saling mawarisi. menurut Syafi'i baik kafir ahlul kitab maupun
kafir penyembah berhala, baik kafir harbi maupun kafir dzimi, tetap tidak diperbolehkan Muslim
menerima waris darinya, karena mereka sama-sama kafir. Dan ulama yang menghalalkan yaitu
Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauzi. Menurut beliau yang dimaksud kafir dalam hadis
tersebut adalah kafir harbi, karena orang harbi memerangi umat Islam, karena hal itu
memutuskan hubungan antara keduanya.

Berdasarkan KHI, waris beda agama maka sang ahli waris tidak mendapat
bagian/terputus ini berdasarkan Pasal 171 hurufc KHI tersebut menyatakan "bahwa pewaris dan
ahli waris harus dalam keadaan beragama Islam maka diantara keduanya apabila salah satunya
tidak beragama Islam maka diantara keduanya tidak dapat saling mewarisi, maka dalam
ketentuan hak kewarisan otomatis terputus ketika berkaitan dengan perbedaan agama"

Pembagian waris bagi non muslim dalam perkawinan beda agama dapat dilakukan
dengan wasiat wajibah. Wasiat wajibah dapat diberikan tidak hanya kepada anak angkat atau
orang tua angkat sebagaimana diatur dalam Pasal 209 KHI namun juga dapat diberikan kepada
ahli waris yang tidak beragama Islam (non-Muslim).

12
DAFTAR PUSTAKA

Hariyanto, Budi. 2020. “Tinjauan Yurudis Terhadap Pembagian Harta Waris Beda Agama
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Kompilasi
Hukum Islam (KHI)”. Jurnal IUS, (Online),Vol.VIII, diakses 02 September 2020.

Isihlayungdianti, Rizki dan Abdul Halim, ”Kewarisan Non-Muslim dalam Perkawinan Beda
Agama”, Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Islam.

Rohmawati. 2018. “Progresivitas Hukum Kewarisan Beda Agama di Indonesia Berbasis


Keadilan dan Maslahah” International Journal Ihya’ ‘Ulum Al-Din, Vol 20 No 2.

Tohari, Chamim. 2017. “Rekonstruksi Hukum Kewarisan Beda Agama Ditinjau Dari Al-
Usul Al-Khamsah”. Jurnal Pemikiran Hukum Islam. Jakarta: Gramedia.

13

Anda mungkin juga menyukai