Anda di halaman 1dari 90

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebudayaan merupakan sistem yang tidak terlepas dari kehidupan

manusia. Keberadaannya menentukan sikap yang harus diambil oleh

individu dan komunitas dalam berelasi dan berespon. Sistem ini bersifat

mengikat karena nilai hidup individu akan dipengaruhi oleh pandangan

masyarakat baik atau buruknya menurut kebudayaan setempat. Sebagai

sistem yang mengikat, kebudayaan juga sekaligus bersifat solid atau

mempersatukan, kebudayaan menjadi identitas bersama sekelompok

individu sehingga menimbulkan rasa solidaritas dan tenggang rasa

diantara sesama anggotanya. Contohnya saja, kebanyakan masyarakat

suku Nias akan memandang rendah anggotanya jika mundur dari

perjanjian mahar sebuah rencana pernikahan hanya karena tidak sanggup

memenuhinya. Oleh karena itu, biasanya kerabat-kerabat dekat, semarga,

sekampung dan seketurunan akan bersatu untuk membayar biaya mahar

tersebut.

Menurut Vanhoozer, Anderson, dan Sleasman, kebudayaan memiliki

beberapa makna, sebagai berikut: Pertama, usaha roh manusia untuk

mengekspresikan diri dalam bentuk nyata dengan kebebasannya. Kedua,

kebudayaan adalah ekspresi manusia atas alam ini dengan meninggalkan


2

jejak yang bermakna. Ketiga, kebudayaan adalah kumpulan tindakan

bermakna sehingga kebudayaan tidak bisa lepas dari manusia dan

permasalahanannya. Keempat, kebudayaan adalah sistem yang

diekspresikan dan diterima oleh masyarakat sebagai nilai-nilai yang

mengarahkan manusia. Kelima, kebudayaan adalah drama sejarah yang

berkesinambungan.1

Dari pengertian di atas, jelas bahwa istilah kebudayaan merupakan

perilaku-perilaku aktif yang pada hakikatnya adalah bagian dari jati diri

manusia itu sendiri serta relasinya dengan ciptaan maupun makhluk lain.

Secara sederhana, pengertian kebudayaan diatas dapat didefinisikan

sebagai produk olah pikir dan rasa manusia sebagai insan yang

sepenuhnya sadar akan keberadaan dirinya yang didorong untuk terus

bertumbuh melalui karya dan kreasi yang terintegrasi dengan makhluk

ciptaan lain selama hidupnya di dalam dunia.

Dalam penelitian Ronald Muller, ia mendapatkan bahwa terdapat tiga

jenis budaya dalam hidup manusia, diantaranya: innocence-guilt, shame-

honor dan fear-power. Di dalam banyak kebudayaan manusia, satu

diantaranya akan tampil paling mendominasi. 2 Dalam konteks Indonesia

sendiri, honor and shame (kehormatan dan kehinaan) menjadi pokok

1
Kevin J. Vanhoozer, Charles A. Anderson, and Michael J. Sleasman, Everyday
Theology (Cultural Exegesis): How to Read Cultural Texts and Interpret Trends, (Grand
Rapids: Baker Academic, 2007), 22-23
2
Roland Muller, Honor and Shame: Unlocking the Door, (Philadelphia, Pa:
Xlibris, 2001), 69
3

kebudayaan yang cukup dominan, seperti halnya penelitian yang

dilakukan oleh Pakpahan, tentang shame dan guilt, dimana kata

malu /shame memiliki konteks yang relasional, sementara kata salah/guilt

mempunyai konteks hukum.3

Dalam bahasa daerah tertentu, kata shame dan guilt juga tidak

dipisahkan, seperti dalam bahasa Jawa yang tidak memiliki kata untuk

guilt sementara untuk shame ada dalam kosakatanya. Anak-anak suku

Jawa diajarkan untuk menunjukan hormat (wedi) pada orang tua dan

untuk punya rasa malu (isin) ketika ditegur di depan umum. Dalam bahasa

Batak tidak ada kata guilt, yang dipakai adalah maila, yang merujuk pada

perasaan yang muncul ketika kesadaran akan shame muncul setelah

membuat kesalahan. Dengan demikian, sesungguhnya honor and shame

merupakan tema yang cukup mendominasi konteks budaya di Indonesia.

Budaya honor and shame (kehormatan dan kehinaan) merupakan

sistem budaya yang kental dengan penghargaan/pujian pada tindakan

dan perbuatan yang dilakukan seseorang sehingga memperoleh

kedudukan yang baik dalam status atau derajat sosial dengan

menghindari perbuatan-perbuatan yang memalukan. Keterkaitan antara

pujian dengan sistem nilai kehormatan-kehinaan ini disebabkan pujian

acapkali identik dengan penilaian sosial terhadap apa yang dianggap

3
Binsar Jonathan Pakpahan, “Shameless and Guiltless: The Role of Two
Emotions in the Context of the Absence of God in Public Practice in the Indonesian
Context,” Exchange 45, no. 1 (February 23, 2016):8
4

terhormat dan yang hina.4 Dikatakan sebagai “sistem” karena nilai ini

menjadi suatu standar penilaian yang terpola dan terorganisir mengenai

apa yang dianggap kelompok atau publik sebagai suatu hal atau tindakan

yang terhormat atau memalukan.

Kitab Suci Alkitab menjelaskan bahwa, kebudayaan manusia mulai

terbentuk sejak penciptaan. Penciptaan dimulai tentang apa yang Allah

karyakan sedangkan kebudayaan adalah tentang apa yang manusia mulai

karyakan.5 Signifikansi diantara keduanya ini sangatlah berbeda,

penciptaan merupakan karya yang berawal serta bersumber dari pribadi

Allah, sedangkan kebudayaan adalah bagian dari ekspresi dan karya

manusia.6 Manusia menjadi karya agung dari Allah Pencipta,

mengaruniakan manusia akal dan budi dikelola dan menghasilkan produk-

produk budaya dalam mengembangkan dan mengerjakan mandat Allah

pada mulanya.

Namun, Alkitab juga secara jujur menjelaskan bahwa sifat dari

kebudayaan manusia itu telah menjadi rusak akibat dosa, sejak kejatuhan

manusia pertama Adam dan Hawa yang memilih untuk tidak taat kepada

Allah. Allah menjadikan manusia berakal budi dan istimewa dari segala
4
Binsar Jonathan Pakpahan, “Shameless and Guiltless: The Role of Two
Emotions in the Context of the Absence of God in Public Practice in the Indonesian
Context,” Exchange 45, no. 1 (February 23, 2016):23
5
Lotnatigor Sihombing, “Tanggung Jawab Gereja Dalam Mewujudnyatakan
Karya Kristus Di Sektor Kebudayaan,” Jurnal Amanat Agung 7, no. 2 (2011): 267–288;
Xaverius Wonmut, “Kebudayaan: Karunia Allah Dan Hasil Daya Cipta Manusia,” Jurnal
Masalah Pastoral 4, no. 2 (2016): 12.
6
John Frame, “Kekristenan Dan Kebudayaan (Bagian 1),” Veritas : Jurnal Teologi
dan Pelayanan 6, no. 1 (2005): 11.
5

ciptaan yang ada, dengan maksud untuk memuliakan Dia, namun yang

terjadi justru sebaliknya, akal budi menjadi tercemar oleh dosa, sehingga

secara tidak sadar segala hasil asah dan karyanya telah berorientasi pada

pengagungan dan pemuliaan diri manusia itu sendiri.

Kejadian 11 mengisahkan menara Babel, sebagai awal dari

terseraknya umat manusia ke seluruh penjuru muka bumi dengan bahasa

yang berbeda-beda. Kisah tersebut secara implisit menguraikan bahwa

akal manusia telah menjadikan manusia mampu untuk membangun

peradabannya sendiri dan menghasilkan karya yang baik untuk

perkembangan peradaban. Namun, akibat dosa, motivasi untuk

membangun peradaban dan perkembangan hanyalah untuk mencari

nama dan kemegahan sekelompok manusia cerdas dan terampil. Allah

menentang sikap demikian hingga pada akhirnya menyerakkan dan

menghentikan keponggahan manusia di zaman tersebut. Roma 3:23

menyatakan “karena semua orang telah berdosa dan telah kehilangan

kemuliaan Allah,” Palmer menyatakan bahwa akibat kerusakan total dari

dosa mengakibatkan manusia tidak pernah dapat melakukan kebaikan

yang secara fundamental menyenangkan Allah, bahkan pada


7
kenyataannya, manusia itu akan selalu berbuat jahat.

7
Edwin H. Palmer, Lima Pokok Calvinisme, 3rd ed. (Surabaya: Penerbit
Momentum, 2011),64.
6

Natur dosa telah menjalari budaya manusia, sadar atau tidak sadar

semuanya telah dicemari oleh dosa, menjadikan keterpisahan dengan

Allah semakin nyata, penolakan pada Theokrasi semakin jelas serta

kepekaan pada suara hati nurani pun mulai memudar. Tong, memberikan

suatu pengertian “bahwa kebudayaan yang dengan susah payah

dibangun oleh manusia telah membuat diri sendiri berada dalam suatu

krisis, suatu masalah yang mendalam dan serius. Setiap puncak

kebudayaan selalu menjadi titik krisis kebinasaan atau kemerosotan

kebudayaan itu sendiri”.8 Hal senada dinyatakan juga oleh Stott, bahwa

“Abad 19 yang dianggap sebagai abad penemuan berbagai macam alat

dan bentuk kemajuan kebudayaan manusia, namun justru di abad ini pula

melahirkan dua perang besar di dunia ini”. 9 Ini memberi indikasi semakin

jelas, bahwa segala kecakapan dan kemahiran manusia dalam

pengembangan budaya dan peradaban tidak akan pernah mampu

mengatasi segala bentuk kejahatan, ketidakadilan dan kekejaman dalam

dunia ini.

Dengan demikian, budaya manusia yang pada dasarnya telah

tercemar oleh kuasa dosa memerlukan penerangan dari firman Tuhan.

Sebagai otoritas tertinggi dan sumber kebenaran sejati, firman Tuhan

berkewenangan untuk mengoreksi dan menyatakan kesalahan.

8
Stephen Tong, Dosa Dan Kebudayaan (Surabaya: Momentum, 2007),35.
9
John Stott, Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani (Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1994),71.
7

Kebudayaan yang baik dan memberikan manfaat positif dipertahankan

sebagai ciri khas sedangkan yang bertentangan dengan firman Tuhan dan

membawa kepada kerusakan iman dan moral harus dibenahi bahkan

dihapuskan dari kehidupan umat dan gereja Tuhan.

Kebudayaan umat yang tidak bertentangan dengan nilai Alkitab,

“diperalat” dalam memperkenalkan Injil, menjaga ketertiban struktur

kelompok masyarakat, tata krama dan sopan santun, pembentukan liturgi

gereja, perancangan konstruksi dimensi spiritual umat dan lain

sebagainya. Dampak positif ini sangat baik dalam membangun metode

penyebaran Injil dan pengembangan pelayanan gereja, namun nilai,

norma dan perilaku egosentris sudah mesti dikoreksi, bukan pada diri

manusia itu lagi tetapi kepada Dia yang pada mulanya menghendaki agar

segala sesuatunya yang dijadikan oleh Dia hanyalah untuk Dia (band.

Kolose 1:16).

Dalam konteks memahami kebudayaan honor and shame yang

tumbuh dan hidup di tengah-tengah kehidupan orang percaya, maka

dirasa perlu tindakan meninjau secara benar dan tepat berdasarkan

pandangan Alkitab dalam menyikapi kebudayaan ini. Menurut Whiteman,

dengan memahami tipologi budaya honor and shame, maka dapat

membantu melihat peluang yang tepat agar umat Allah memahami


8

dengan baik dan benar bagaimana budaya dan worldview semestinya

dibentuk melalui perspektif dan pemahaman akan Firman Tuhan. 10

Dengan memahami konsep budaya honor and shame dalam hidup

orang percaya, maka Firman Tuhan dapat dikemas secara kontekstual

dan efektif dalam penyampaian maupun praktisnya. Tidak dipungkiri,

budaya honor and shame sangat memengaruhi orang percaya dalam

bermasyarakat dan bergereja, presuposisi honor and shame tertancap

kuat dalam menilai, mengamati dan memahami pengajaran akan Firman

Tuhan beserta dengan segala sesuatu yang terjadi dalam komunitas

masyarakat dan gerejawi, yang memberikan kontribusi positif secara

kuantitas namun justru mengabaikan sesuatu yang lebih berharga dan

bernilai bagi Allah, yakni pertumbuhan kualitas nilai rohani orang percaya,

pelayanan dan gereja.

Idealnya nilai-nilai kekristenan harus menjadi sumber serapan utama

orang percaya dalam bermasyarakat dan bergereja bahkan dalam

menunaikan tugas tanggung jawab, sedangkan nilai budaya honor and

shame yang tak bersesuaian dengan Alkitab mestinya ditepikan dalam

rangka kepentingan pemuliaan Allah. Meskipun nilai-nilai budaya honor

and shame komunitas orang percaya yang tidak ditentang oleh Alkitab

10
Darrell Whiteman, “Shame/Honor, Guilt/Innocence, Fear/Power: A Missiological
Response to Simon Cozens and Geoff Beech,” International Bulletin of Mission Research
42, no. 4 (October 1, 2018): 355
9

mesti dipertahankan sebagai warna kekhasan kehidupan umat Tuhan

dalam konteks Indonesia.

Sebagaimana semestinya dilakukan orang percaya, maka perlu

dilakukan tinjauan secara Teologis terhadap kebudayaan honor and

shame, sehingga orang percaya yang telah terinternalisasi dengan sistem

kebudayaan honor and shame dapat memahami dan menerapkannya

dalam kehidupan bermasyarakat, bergereja secara khusus dalam

pelayanannya. Melalui tinjauan teologis terhadap kebudayaan honor and

shame, kodrat kebudayaan manusia dapat dibawa kembali kepada tujuan

utama penciptaan dari segala sesuatu yang ada, yakni memuliakan Dia

Sang Pencipta, Tuhan Allah semesta alam. Bila tidak demikian, maka

kemungkinan nantinya, nilai budaya honor and shame yang bertentangan

dengan Alkitab akan terus menjadi penghambat dalam pengembangan

pelayanan, iman dan perilaku hidup umat Allah yang semestinya.

Melalui permasalahan yang diamati oleh peneliti ini, maka merasa

perlu untuk memberikan kontribusi berupa penjelasan tentang tinjauan

teologis terhadap fitur-fitur kebudayaan honor and shame. Penelitian ini

juga terinspirasi dari artikel Jurnal Teologi Kontekstual Indonesia oleh

David Alexander Paksoal, dimana dalam penelitiannya menunjukkan

bahwa fitur kebudayaan honor and shame telah menyentuh kehidupan

umat Tuhan di Indonesia. Untuk semakin memperlengkapinya, maka


10

penulis terinspirasi untuk lebih mendalaminya melalui tinjauan secara

teologis terhadap fitur kebudayaan honor and shame.

Peneliti berharap penelitian ini dapat dijadikan tolak ukur sejauh

mana orang percaya dapat menerapkan fitur-fitur kebudayaan honor and

shame yang sejalan dengan gagasan Alkitab dengan merekonstruksi fitur-

fitur yang kurang bersepadanan dengan Alkitab. Oleh sebab itu, peneliti

akan memilih judul pada penulisan skripsi tentang “Tinjauan Teologis

Terhadap Fitur-Fitur Kebudayaan Honor And Shame Dan

Implementasinya Bagi Orang Percaya Masa Kini”

B. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini, yaitu:

1. Untuk memenuhi standar akademik guna memperoleh gelar

Sarjana Teologi (S.Th) di Sekolah Tinggi Theologi “IKAT”.

2. Untuk mengetahui pengertian kebudayaan honor and shame.

3. Untuk mengetahui fitur-fitur kebudayaan honor and shame.

4. Untuk meninjau secara teologis fitur-fitur kebudayaan honor and

shame.

5. Untuk mengetahui cara mengimplementasikan tinjauan teologis

terhadap fitur-fitur kebudayaan honor and shame bagi orang

percaya masa kini.


11

C. Identifikasi Masalah

Adapun yang menjadi identifikasi masalah dalam penulisan ini yaitu:

1. Apakah yang dimaksud dengan kebudayaan honor and

shame?

2. Apa saja yang menjadi fitur-fitur dari kebudayaan honor and

shame?

3. Bagaimana tinjauan teologis terhadap fitur-fitur kebudayaan

honor and shame?

4. Bagaimana tinjauan teologis terhadap fitur-fitur kebudayaan

honor and shame dapat diimplementasikan bagi orang

percaya masa kini?

D. Batasan Masalah

Berdasarkan apa yang penulis ingin ungkapkan supaya Skripsi ini

tidak meluas, maka penulis memberi batas untuk pembahasan Skripsi ini

yang akan membahas mengenai tinjauan Teologis terhadap fitur-fitur

kebudayaan honor and shame dan implemetasinya bagi orang percaya

masa kini.

E. Hypotesa

Adapun yang menjadi hypotesa atau kesimpulan sementara dalam

penulisan skripsi ini adalah jika fitur-fitur kebudayaan honor and shame
12

dapat ditinjau secara teologis maka orang percaya masa kini dapat

mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga tidak

akan menyimpang dari Alkitab dan nilai-nilai Kristiani.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penulisan

skripsi ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif menurut

Stevri Lumintang adalah suatu pendekatan yang berdiri berdasarkan

konsep berpikir mengenai suatu peristiwa yang sedang terjadi secara

alamiah (natural) dan empiris. 11 Metode yang digunakan adalah metode

deskriptis-hermeneutik-eksposisi melalui prinsip-prinsip Hermeneutik,

yaitu metode penafsiran berdasarkan prinsip-prinsip penafsiran Alkitab,

dimana penulis menggunakan teknik pengumpulan data melalui

penggalian kepustakaan (library research) yaitu menggunakan Alkitab

dalam berbagai cetakan, kamus, tafsiran, artikel jurnal dan buku-buku

serta berbagai literatur dan tulisan di media online yang berhubungan

dengan pembahasan dalam skripsi ini.

G. Sistimatika Penulisan

11
Lumintang Stevri Indra and Lumintang Danik Astusi, Theologia Penelitian dan
Penelitian Theologis Science-Ascience serta Metodologinya (Jakarta: Geneva Insani
Indonesia, 2016).99
13

Dalam pembuatan Skripsi ini yang menjadi sistimatika dalam

penyusunan yang akan penulis uraikan, yakni sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang Penelitian

B. Tujuan Penulisan

C. Identifikasi masalah

D. Batasan masalah

E. Hypotesa

F. Metode penelitian

G. Sistimatika Penulisan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Pengertian Tinjauan Teologis

B. Pengertian Fitur-Fitur

C. Pengertian Kebudayaan

D. Pengertian Orang Percaya

E. Kebudayaan Honor and Shame

F. Perbedaan Honor and Shame dan Guilt Culture

G. Sistem Kebudayaan Honor and shame

H. Fitur-Fitur Kebudayaan Honor and shame

BAB III Metode Penelitian dan Analisis Pembahasan


14

A. Pendekatan dan Metode Penelitian

B. Sumber Data

C. Teknik Pengumpulan Data

D. Teknik Analisa Data

E. Kajian Teologis Fitur-Fitur Kebudayaan honor and shame

BAB IV Implementasinya Bagi Orang Percaya Masa Kini

A. Prinsip Penerapan Tinjauan Teologis Terhadap Fitur-Fitur

Kebudayaan Honor and Shame Bagi Orang Percaya Masa

Kini

B. Upaya Penerapan Tinjauan Teologis Terhadap Fitur-Fitur

Kebudayaan Honor and Shame Bagi Orang Percaya Masa

Kini

C. Simpulan

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Rekomendasi
15

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Tinjauan Teologis

Istilah tinjauan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer

berarti: hasil meninjau atau yang didapat setelah menyelidiki, mempelajari,

dan sebagainya.12 Tinjauan merupakan usaha untuk menggambarkan

pola-pola secara konsisten dalam data sehingga hasil analisis dapat

dipelajari dan diterjemahkan dan memiliki arti. 13 Dengan demikian tinjauan

adalah hasil meninjau sesuatu yang telah diselidiki dan dipelajari.

Sedangkan istilah theologis berarti segala hal yang berdasarkan atau

berkenaan dengan teologi (ilmu tentang Tuhan serta hubungan antara

Tuhan dan alam semesta; ilmu ketuhanan). 14 Istilah theologis itu menunjuk

segala hal yang berhubungan dengan teologi yaitu pengetahuan

keturunan (mengenai sifat-sifat Allah) dasar kepercayaan kepada Allah

dan agama terutama berdasarkan kitab-kitab suci. 15

Menurut Milard J. Erikson, teologi adalah bidang studi yang berusaha

untuk menyampaikan suatu pernyataan yang berhubungan secara logis

tentang doktrin-doktrin iman kristen, yang terutama berdasarkan Alkitab,


12
Peter Salim & Yenny Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer,
(Jakarta: Modern English Press,1991), 1621
13
Surayin, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Bandung: Yrama Widya,2005), 10
14
Peter Salim & Yenny Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Kontemporer,...,1591
15
Lukman Ali, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999),
1072
16

ditempatkan dalam konteks kebudayaan pada umumnya, dikalimatkan

dalam bahasa masa kini dan berhubungan dengan masalah-masalah

kehidupan.16 Secara lebih ringkas John M. Frame menyatakan bahwa

teologi adalah, “the application of Scripture, by person, to every area of

life” (Penerapan Firman oleh seseorang ke dalam setiap area

kehidupan).17

Dengan demikian penggunaan istilah tinjauan teologis merujuk pada

suatu hasil dari kegiatan menyelidiki dan mempelajari satu pokok tema

pembahasan yang dikaji berdasarkan firman Tuhan yang kemudian dapat

diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, tentu saja dikaji

berdasarkan pada Alkitab sebagai sumber kebenaran tertinggi, luhur

abadi dan sumber iman kekristenan yang dapat mengubah sifat

kehidupan dan hati manusia.

B. Pengertian Fitur-Fitur

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata fitur

adalah karakteristik khusus yang terdapat pada suatu alat seperti televisi,

ponsel dan lain sebagainya. Arti lainnya dari fitur adalah fungsi, antarmuka

atau kemampuan yang khusus dari perangkat keras atau perangkat lunak

pada perangkat komputer.18 Fitur dalam bahasa Inggris disebut “feature”


16
Millrad J. Erikson, Teologi Kristen, Vol.1 (Malang: Gandum Mas, 2004),
17
John M. Frame, Systematic Theology: An Introduction to Christian Belief (New
Jersey: P&R, 2013), 47
18
Lukman Ali, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), 121
17

dijelaskan dalam Merriam Webster sebagai bagian yang menarik atau

penting, kualitas, kemampuan dan lain-lain. Menurut Tjiptono, fitur adalah

unsur-unsur produk yang dipandang penting oleh konsumen dan dijadikan

dasar pengambilan keputusan pembelian.19

Namun, dalam pengertian ini penulis memaknai fitur-fitur sebagai

bagian-bagian penting yang menarik dari sebuah kesatuan satu produk

kebudayaan manusia. Kebudayaan yang dimaksud adalah honor and

shame yang menjadi satu sistem kebudayaan dengan berbagai fitur

didalamnya. Fitur-fitur dari kebudayaan honor and shame ini dikutip

berdasarkan dari penelitian terdahulu dari penelitian ini.

C. Pengertian Kebudayaan

Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal

dari kata latin colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan

juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang

diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indoensia. 20 Dalam bahasa

Sansekerta kata kebudayaan berasal dari kata budh yang berarti akal,

yang kemudian menjadi kata budhi atau bhudaya sehingga kebudayaan

diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Sedangkan pendapat

lain mengatakan bahwa budaya berasal dari kata budi dan daya. Budi

19
https://m.liputan6.com
20
Supartono Widyosiswoyo, Ilmu Budaya Dasar (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), 31
18

adalah akal yang merupakan unsur rohani dalam kebudayaan, sedangkan

daya adalah perbuatan atau ikhtiar sebagai unsur jasmani, sehingga

kebudayaan dapat diartikan sebagai hasil dari akal dan ikhtiar manusia. 21

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebudayaan adalah : 1)

hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti

kepercayaan, kesenian dan adat istiadat, 2) kebudayaan adalah antara

keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang

digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang

menjadi pedoman tingkah lakunya.22 Menurut Kamus Umum Bahasa

Indonesia, kebudayaan adalah : 1) segala sesuatu yang dilakukan oleh

manusia sebagai hasil pemikiran dan akal budinya. 2) peradaban sebagai

hasil akal budi manusia. 3) ilmu pengetahuan manusia sebagai akhluk

sosial yang dimanfaatkan untuk kehidupannya dan memberikan manfaat

kepadanya.23

Menurut E.B Tylor, budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang

meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, adat

istiadat, dan kemampuan lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia

sebagai anggota masyarakat.24 Sedangkan menurut Koentjaraningrat,

kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil

21
Supartono Widyosiswoyo, Ilmu Budaya Dasar (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), 31
22
Lukman Ali, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), 170
23
J.S Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia
(Jakarta: Pusrtaka Sinar Harapan, 1994), 211.
24
Elly. M. Setiadi, Ilmu Sosial Budaya Dasar (Jakarta: Kencana, 2012), 28
19

karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri

manusia dengan belajar.25 Dengan demikian jelas bahwa kebudayaan

merupakan keseluruhan refleksi dari jati diri manusia yang diekspresikan

dalam berbagai bentuk, rupa, tindakan, sistem dan pengetahuan.

D. Pengertian Orang Percaya

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, percaya memiliki arti, 1)

mengakui atau yakin bahwa sesuatu memang benar atau nyata, 2)

menganggap atu yakin bahwa sesuatu itu benar-benar ada, 3)

menganggap atau yakin bahwa seseorang itu jujur, 4) yakin benar atau

memastikan akan kemampuan seseorang atau sesuatu bahwa akan dapat

memenuhi harapannya.26 Untuk istilah percaya yang digunakan disini

merujuk pada orang yang memiliki rasa percaya atau beriman kepada

Tuhan Yesus Kristus, karena dalam konteks Indonesia istilah orang

percaya sering dikaitkan dalam hidup keimanan orang kristen.

Istilah orang percaya berhubungan dengan kepercayaannya kepada

Tuhan yang bangkit dari kematian yang menyebabkan timbulnya relasi

rohani yang khas. Lebih jelas Smith menjelaskan bahwa ada 4 mata

rohani yang menghubungkannya, yaitu 1) Kristus bagi orang percaya

sebagai pengganti (2 Kor. 5:12), 2) Orang percaya bagi Kristus sebagai

25
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 144
26
Lukman Ali, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999)
20

pembenaran (2 Kor. 5:7; Roma 6:11), 3) Kristus dalam hidup orang

percaya sebagai pengudusan (Roma 8:1; 2 Kor. 13:5; Gal. 2:20), dan 4)

Orang percaya bagi Kristus sebagai rasa pengabdian (2 Kor. 5:10). 27

Orang percaya disini adalah percaya akan berita tentang kelahiran,

kematian, kebangkitan dan kedatangan-Nya kedua kali dan menerimanya

dengan segala konsekuensinya. Kepercayaanya itu bermuara dalam

perbuatan melakukan firman-Nya dan pengakuan untuk percaya dalam

hati yang teguh dan kuat.

E. Kebudayaan Honor And Shame

Menurut Georges, budaya honor and shame adalah kebudayaan

yang dimana sebuah perilaku didasarkan pada kacamata komunitas yang

mengandalkan tekanan sosial dari luar diri untuk memastikan seseorang

berlaku benar untuk memperoleh rasa hormat dan menghindari rasa malu.

Budaya honor and shame merupakan budaya moral dimana seseorang

dinilai oleh orang lain maka keputusan moral merupakan hasil dari

tekanan sosial.28

Mischke menyatakan bahwa beberapa budaya berbasis rasa malu

menghindari rasa malu melalui penyangkalan, menyerang diri mereka

sendiri yang menjadi sumber rasa malu itu sendiri, seperti berupa bunuh

27
Alkitab.sabda.org
28
Jayson Georges and Mark D. Baker, Ministering in Honor-Shame Cultures:
Biblical Foundations and Practical Essentials, (Illinois: InterVarsity Press, 2016), 42
21

diri, merendahkan diri, atau masokisme. 29 Ini dapat mencakup anggota

keluarga mereka sendiri, yang tanpa pertimbangan panjang dan jelas bisa

saja melakukannya demi menjaga kehormatan diri dan keluarga. Shaw

percaya bahwa kehormatan sebuah keluarga sebagian besar tergantung

pada perilaku para wanitanya. 30 Wanita yang terhormat sering dihukum

berat atau bahkan dibunuh untuk mengembalikan kehormatan keluarga,

sementara pria sering dimaafkan untuk perilaku yang sama. Sangat jarang

media menyebutkan seorang pria dieksekusi dalam apa yang disebut

pembunuhan demi kehormatan.

Kehormatan dan rasa malu (honor and shame) juga mendorong nilai-

nilai budaya dalam beberapa narasi Alkitab. Banyak budaya Timur

Tengah dan Mediterania modern, kehormatan dan rasa malu terkait erat

dengan perilaku anggota keluarga di Israel Kuno. Perintah kelima

memerintahkan orang Israel untuk menghormati orang tua mereka (Kel

20:12); lebih jauh lagi, anak-anak pemberontak yang menghina atau

mempermalukan keluarga dan tidak mau mendengarkan orang tua

mereka dibawa ke tetua masyarakat dan dirajam (Ulangan 21:18-21).

Melanggar kehormatan seseorang di Israel Kuno beresiko nyawa sang

pelaku akan lenyap.

29
Werner Mischke, The Global Gospel: Achieving Missional Impact in Our
Multicultural World, (Scottsdale, AZ: Mission ONE, 2015), 77.
30
Alison Shaw, Kinship and Continuity: Pakistani Families in Britain, (London,
England: Routledge, 2000), 163.
22

Dalam 1 Samuel 25, Daud melarikan diri dari Saul, dan dia

menemukan dirinya di dekat seorang pria kaya bernama Nabal. Orang-

orang Daud telah menjaga ternak dan gembala Nabal dari bahaya, namun

ketika Daud mengirim utusan ke Nabal untuk meminta perbekalan, Nabal

menghina Daud. Kehormatannya dihina, Daud menginstruksikan anak

buahnya untuk membunuh setiap laki-laki di rumah tangga Nabal. Jika

bukan karena campur tangan istri bijaksana Nabal, Abigael, banyak orang

akan mati; sebaliknya, tindakannya justru memulihkan kehormatan Daud.

Setelah Nabal mengetahui apa yang terjadi, berhentilah jantungnya

berdetak dan ia membatu (1 Sam 25:37), dan sepuluh hari kemudian, dia

meninggal. Pemikiran cepat dan tindakan terhormat Abigael telah menarik

perhatian Daud, dan Abigael diangkat ke posisi terhormat sebagai istri

calon raja. Dalam seksualitas, budaya ini pun terlihat jelas berperan

penting, seperti dalam Perjanjian Baru, ketika para pemimpin agama

membawa kepada Yesus seorang wanita yang tertangkap basah

melakukan perzinahan (Yohanes 8:1-11). Dia dituduh telah merusak moral

kesucian umat Allah, dan pantas untuk hantam dan dilontari batu hinga

tewas menurut perintah Musa dan adat istiadat orang Yahudi. Dalam

perkembangan dan perjalanannya, budaya honor and shame telah

menjadi batu loncatan bertindak, berucap, dan berpikir masyarakat

khususnya daerah Timur Tengah, Asia, dan Afrika.


23

F. Perbedaan Budaya Honor And Shame dan Guilt Culture

Istilah shame and guilt culture, muncul pada tahun 1948 oleh Ruth

Benedict, seorang antroplog dalam bukunya yang berjudul The

Chrysanthemum And The Sword, sebagai dikotomi pembagian bagaimana

pola pikir Barat dan Timur. Barat di kategorikan sebagai penganut budaya

rasa bersalah (guilt culture) dimana orang merasa bersalah jika

melakukan sesuatu perbuatan yang salah sekalipun tidak ada yang

melihat. 

Sebaliknya, suatu bangsa yang menganut budaya rasa hormat dan

malu (honor and shame culture), akan terus melakukan sesuatu yang

salah dan merasa nyaman serta akan merasa malu jika ketahuan. 31

Selaras dengan itu, berdasarkan dikotomi secara geografis, maka Neyrey

membagi sistem perbedaan panutan kedua budaya antara shame culture

di daerah Mediterania dan guilt culture di bagian dunia Barat, sebagai

berikut:32

Nilai Budaya Mediterania Kuno Barat Modern

Tidak langsung/ Langsung/ Konteks


Komunikasi
Konteks tinggi rendah

Individualisme Kolektivistik Individualistis


31
Ruth Benedict, The Chrysanthemum And The Sword, (Tokyo: Charles E. Tuttle
Company,1983),5.
32
Jerome H. Neyrey, Honor and Shame in the Gospel of Matthew, (Louisville, KY:
Westminster John Knox Press, 1998), 15.
24

Orientasi
Patriakhal Egaliter
Kemanusiaan

Orientasi Waktu Orientasi acara Orientasi waktu

April dan Mooketsi menyatakan bahwa budaya shame merupakan

emosi sosial, yang berhubungan dengan seluruh jati diri manusia,

sementara guilt berbicara tentang perilaku tertentu. 33 Budaya shame akan

menilai perilaku itu berdasarkan kacamata komunitas, sedangkan budaya

guilt yang menilai idealnya berdasarkan hukum dan peraturan.

Budaya guilt mengandalkan internalisasi nilai ke dalam hati nurani,

sementara budaya shame mengandalkan tekanan sosial dari luar diri

untuk memastikan seseorang berlaku benar. 34 Cara penyelesaian masalah

dalam budaya shame adalah dengan restorasi terhadap nilai

honor/kehormatan bukan oleh diri sendiri lewat permintaan maaf tapi oleh

pihak luar yaitu komunitas.35 K. Bertens memberikan perbedaan antara

honor and shame culture dan guilt culture, sebagai berikut:36

Shame Culture Guilt Culture

33
Binsar Jonathan Pakpahan, “Shameless and Guiltless: The Role of Two
Emotions in the Context of the Absence of God in Public Practice in the Indonesian
Context,” Exchange 45, no. 1 (February 23, 2016): 1–20
34
Jayson Georges and Mark D. Baker, Ministering in Honor-Shame Cultures:
Biblical Foundations and Practical Essentials, (Illinois: InterVarsity Press, 2016), 42.
35
Ibid...46
36
K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2007),88.
25

Ditandai rasa malu Ditandai rasa bersalah


Menekankan pengertian ;
hormat, reputasi, nama baik, Dosa dan kebersalahan
status dan gengsi
Kendati suatu kejahatan tidak
Bila melakukan kejahatan
diketahui oleh orang lain,
harus disembunyikan dari
pelaku tetap merasa
orang lain.
bersalah
Sanksi datang dari luar, yaitu
Sanksi datang dari dalam,
apa yang dipikirkan dan
yaitu batin/hati pelaku
dikatakan oleh orang lain
Hati nurani hampir tidak Hati nurani berperan sangat
berperan. penting

Flanders merangkum ciri-ciri budaya kehormatan/malu (honor and

shame) dan bersalah/tidak bersalah (guilt culture) dengan demikian:

“Tanda yang membedakan budaya malu adalah ketergantungan pada apa

yang orang lain pikirkan. Sebaliknya, bukan persepsi orang lain yang

mendorong budaya rasa bersalah, melainkan tuntunan moral internal

seseorang, yakni hati nurani individu.”37

G. Sistem Kebudayaan Honor And Shame

Menurut pandangan budaya kehormatan dan rasa malu (honor and

shame) kebudayaan dimana kata-kata seperti hormat, reputasi, nama

baik, status, dan gengsi sangatlah ditekankan. Bila seseorang melakukan

suatu kejahatan, hal ini tidak dianggap sebagai sesuatu yang buruk begitu

37
Flanders, Christopher L., About Face: Rethinking Face for 21st Century
Missions, (Eugene, OR: Pickwick Publications, 2011), 58.
26

saja, melainkan sesuatu yang harus disembunyikan untuk orang

lain. Malapetaka hanya terjadi bilamana kesalahan tersebut diketahui oleh

orang lain sehingga pelaku kehilangan muka. Bukan perbuatan jahat itu

saja yang dianggap penting, melainkan juga jangan sampai perbuatan

jahat itu diketahui oleh banyak orang.

Dalam honor and shame culture sanksi berasal dari luar, yaitu apa

yang dipikirkan atau dikatakan oleh orang lain. Dalam honor and shame

culture tidak ada hati nurani, ia hadir semata-mata sebagai rasa serba

salah yang besar terhadap diri sendiri, bahkan mungkin akan mencapai

titik tak mampu untuk memaafkan diri sendiri atas kesalahan yang ia

perbuat.38 Neyrey mendefinisikan kehormatan sebagai kualitas atau nilai

diri seseorang yang baik di mata orang lain, yakni masyarakat desa,

tetangga, dan masyarakat luas.39 Ketika kehormatan (honor) seseorang

hilang, konsekuensinya adalah malu (shame) yang mengakibatkan

hilangnya status sosial.

Brown mengungkapkan bahwa rasa malu adalah perasaan atau

pengalaman yang sangat amat menyakitkan karena dia meyakini bahwa

dirinya cacat dan karena itu tidak layak untuk cinta dan rasa untuk

memiliki.40 Mischke mengungkapan bahwa rasa bersalah itu bersifat

38
K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2007),88.
39
Jerome H. Neyrey, Honor and Shame in the Gospel of Matthew, (Louisville, KY:
Westminster John Knox Press, 1998), 15.
40
Brené Brown, Daring Greatly: How the Courage to Be Vulnerable Transforms the
Way We Live, Love, Parent, and Lead, (New York, NY: Gotham, 2012), 59.
27

internal, ditempatkan pada individu itu sendiri sedangkan rasa malu

berada di sisi lain karena bersifat eksternal. 41 Rasa bersalah dinyatakan

dengan ungkapan, “saya telah melakukan sesuatu yang salah”,

sementara rasa malu adalah ketika seseorang berkata, “ada yang salah

dengan saya”.

Georges menyatakan, “malu berarti orang lain menganggap rendah

dirimu dan tidak mau bersamamu”. 42 Isolasi diri dan pengucilan dari

kelompok inti sangat menghancurkan dalam budaya kolektivistik dimana

penerimaan oleh kelompok inti adalah hal yang paling penting. Ketika di

satu sisi rasa malu merupakan sesuatu yang harus dihindari dengan

segala cara, justru rasa malu juga memiliki tujuan untuk membimbing

perilaku orang-orang di masyarakat.

Misalnya, di banyak budaya akan sangat memalukan jika anak-anak

tidak merawat orang tua yang sudah lanjut usia. Kegagalan merawat

orang tua akan menimbulkan rasa malu yang besar. Maka, untuk

menghindari tontonan rasa malu di tengah masyarakat, banyak keluarga

di seluruh dunia hidup bersama sehingga anak-anaknya dapat merawat

orang tua. Budaya rasa malu (honor and shame) cenderung kolektif dan

condong ke arah kerja sama untuk menjaga penampakan “wajah”

komunitas. Demikianlah dapat diibaratkan, “wajah” yang adalah konstruksi


41
Werner Mischke, The Global Gospel: Achieving Missional Impact in Our
Multicultural World, (Scottsdale, AZ: Mission ONE, 2015), 38-40.
42
Jayson Georges, Ministering in Honor-Shame Cultures: Biblical Foundations and
Practical Essentials, (Downers Grove, IL: IVP Academic, 2016), 42.
28

sosial dan dapat didefinisikan sebagai citra sosial seseorang yang secara

umum dan kolektif dirasakan dan dilihat oleh orang lain.

Proses konstruksi wajah ini disebut facework yang dapat

didefinisikan sebagai tindakan, verbal atau nonverbal, yang digunakan

orang untuk mempertahankan, mendapatkan, atau memulihkan wajah

yang hilang. Facework yang diperlukan untuk mendapatkan,

mempertahankan, atau memulihkan wajah adalah keterampilan sosial

yang penting dalam budaya kehormatan-malu (honor and shame).43

Karena wajah merupakan konstruksi sosial, maka jumlah wajah yang

dapat dimiliki seseorang bergantung pada dua faktor; seberapa banyak

wajah yang dia terima dari masyarakat dan seberapa banyak wajah yang

diklaim dan diharapkan orang tersebut.44

H. Fitur-Fitur Kebudayaan Honor And Shame Dalam Pelayanan

Berikut ini akan dijabarkan tentang enam fitur budaya honor and

shame:

1. Patronage

43
Stella Ting-Toomey, ed., The Challenge of Facework: Cross-Cultural and
Interpersonal Issues, eBook, (Albany, NY: State University of New York Press, 1994),
273.
44
Stella Ting-Toomey, ed., The Challenge of Facework: Cross-Cultural and
Interpersonal Issues, eBook, (Albany, NY: State University of New York Press, 1994),
275.
29

George menjelaskan bahwa patronage berbicara tentang hubungan

timbal balik satu sama lain. Jadi biasanya sisi "lebih tinggi" atau lebih kaya

akan membantu menyediakan kepada pihak lain dengan kebutuhan hidup

dan sumber daya yang mereka butuhkan, dan sebagai imbalannya, pihak

yang diberikan akan memberikan rasa hormat, pelayanan, dan rasa terima

kasih kepada pihak tersebut. Mereka yang berkeadaan menyediakan

kebutuhan materi bagi yang membutuhkan dan sebagai imbalan non-

material yang mereka dapat berikan ialah berupa kesetiaan, pengabdian

dan rasa syukur.45

Mereka yang berperan sebagai patron diibaratkan seperti orang tua

yang bertanggungjawab terhadap kemakmuran khalayak orang banyak

dan kelancaran biaya operasional gereja. Dengan pola demikian, mereka

yang menjadi patron menjadi asing bila umpanbalik non-material itu tidak

ditunjukkan oleh mereka yang menerimanya. Secara sederhana,

patronage merupakan penyediaan uang/dana untuk kebutuhan para yang

membutuhkan dengan umpanbalik berupa rasa syukur secara verbal dan

ketaatan dengan kesetiaan kepada mereka.

2. Indirect Communication

45
Georges and Baker, Ministering in Honor-Shame Cultures: Biblical Foundations
and Practical Essentials, (Illinois: InterVarsity Press,2016),51.
30

Dalam budaya honor and shame, orang berkomunikasi dengan

tujuan mempertahankan hubungan, identitas sosial, daripada

mengkomunikasikan informasi secara terbuka. Kebenaran dalam budaya

honor and shame, harus tetap relasional dan bukan hanya dengan logika.

Karena salah satu tujuan utama budaya honor and shame adalah

kerukunan masyarakat, sehingga menghargai orang lain dan menjaga

citra masing masing menjadi lebih penting. Dalam praktiknya, orang yang

“terlalu jujur” dan “berterus terang” berisiko merugikan orang lain. Jadi

komunikasi tidak langsung adalah sebuah strategi untuk menghindari rasa

malu dan terbongkarnya aib seseorang.46

Indirect communication merupakan petunjuk non-verbal yang penuh

dengan seni. Relasi dalam konteks budaya yang tinggi memerlukan

kepekaan untuk menjaga hal-hal kecil sehingga komunikasi tidak

langsung, merupakan alternatif cara untuk mempertahankan relasi

tersebut. Dengan komunikasi tidak langsung, maka petunjuk yang bisa

merugikan orang lain dapat dikemas lebih baik, aman dan tak

menimbulkan masalah.

3. Event Focus

46
Georges and Baker, Ministering in Honor-Shame Cultures: Biblical Foundations
and Practical Essentials, (Illinois: InterVarsity Press,2016),53.
31

Budaya honor shame sangat mementingkan eksistensi komunitas

dibandingkan penyelesaian suatu acara. Dalam budaya honor shame

yang terpenting adalah ketika semua orang sudah hadir, dan bukan

sekedar menjalankan suatu kegiatan sesuai dengan waktu yang

dijadwalkan. Tepat waktu berarti semua atau sebagian besar orang sudah

hadir di acara dan bukan ketika mereka mulai sesuai dengan jadwal yang

sudah ditentukan. Acara adalah hal yang penting dalam budaya honor and

shame karena orang menentukan status dan identitas berdasarkan

seberapa banyak orang berkumpul dalam acaranya dan bukan seberapa

sukses dia menjalankan tugasnya.47

Dengan demikian, mengulur waktu untuk menunggu kehadiran

orang banyak adalah poin utama. Waktu bukanlah jadwal yang harus

diikuti, tapi peluang untuk menambah relasi. Kehadiran orang banyak

menjadi waktu dimulainya sebuah acara, terlebih lagi bila kehadiran yang

dinanti adalah seorang penting, maka kehadirannya menjadi yang

terutama dibandingkan dengan ketepatan dan konsistensi waktu yang

telah ditetapkan.

4. Purity

47
Georges and Baker, Ministering in Honor-Shame Cultures: Biblical Foundations
and Practical Essentials, (Illinois: InterVarsity Press,2016),54.
32

Dalam budaya honor and shame, kesucian adalah salah satu ciri

penting dari budaya ini, karena kesucian dan kenajisan adalah sumber

rasa hormat dan rasa malu. Lebih lanjut, Georges menjelaskan bahwa

konsep kesucian bukan hanya membicarakan hal-hal yang mencemarkan

keperawanan tubuh, tapi tentang kesucian pribadi dan sosial. Purity

berbicara tentang sesuatu yang benar di tempat yang benar. Pencemaran

atau polusi mengindikasikan sesuatu yang salah di tempat yang salah.

Misalnya ketika seseorang menyapu halaman belakang rumah,

namun disaat bersamaan debu tersebut justru mengotori lantai dan

ruangan dapur. Sifat dari kesucian menjelaskan tentang penerimaan dan

kebersihan. Sentuhan purity lebih luas ke dalam dibandingkan dengan

yang terlihat kotor di luar yang dapat dibersihkan, karena hal ini

menyangkut kesucian pribadi dan kemurnian komunitas.

Gagasan kesucian adalah esensi kebenaran dari sebuah penilaian,

sehingga kesucian dan kecemaran merupakan sumber umum untuk

memperoleh kehormatan dan rasa malu. Peraturan purity menjaga

batasan komunitas dan identitas manusia. Tiap budaya dianggap sebagai

“sacred cows” pada waktu, tempat dan aksi penyuciannya, dengan

melakukan sesuatu yang bermakna untuk menunjukkan identitas mereka.


33

Memperhatikan dengan baik aturan kesucian komunitas adalah cara

menolong seseorang tetap menjaga kemurnian lingkungannya. 48

5. Social roles

Dalam budaya honor and shame, komunitas memberi setiap orang

peran khusus. Mereka mempertahankan kehormatannya dengan

bertindak sesuai peran itu. Social roles adalah jalur sosial yang ditetapkan

kepada semua orang untuk berjalan bersama sesuai perannya masing-

masing. Penetapan peran berdasarkan jenis kelamin, usia, status sosial,

kemampuan keuangan, dan lain-lain. Seseorang yang bertindak sesuai

dengan harapan sosial akan mendapatkan rasa hormat, seperti cara

berpakaian, cara berbicara, cara berteman bahkan dalam memilih

pasangan.

Kemampuan seseorang menjalankan perannya dengan memenuhi

ekspetasi orang banyak menunjukkan rasa solidaritas komunitas tersebut.

Hidup menjadi lebih sederhana ketika komunitas menentukan peran dan

perilaku yang seharusnya. Peran dan ekspetasi ini seringkali

dikristalisasikan pada jenis kelamin. Beberapa budaya menginginkan agar

wanita menghindari rasa malu melalui sopan santun dan kebijaksanaanya,

sedangkan pria diharapkan mampu berkompetisi dalam area publik. 49


48
Georges and Baker, Ministering in Honor-Shame Cultures: Biblical Foundations
and Practical Essentials, (Illinois: InterVarsity Press,2016),55
49
Georges and Baker, Ministering in Honor-Shame Cultures: Biblical Foundations
and Practical Essentials, (Illinois: InterVarsity Press,2016),57
34

6. Hospitality

Hospitality/ ramah tamah adalah kesempatan untuk mendapatkan

kehormatan melalui jamuan. Ramah tamah dan pesta terbukti

memberikan ruang untuk memperoleh rasa hormat melalui orang-orang

yang datang. Pesta adalah salah satu cara dalam menunjukkan status

sosialnya. Hospitality digunakan juga untuk mengundang seorang asing

menjadi teman.

Kegagalan untuk memberikan yang terbaik merupakan tindakan

meremehkan tamu dan mempermalukan tuan rumah. Rasa malu

dirampas secara materi lebih masuk akal dibandingkan besarnya rasa

malu karena ketidakmampuan menjadi seorang yang dermawan bagi para

tamu. Ketika World Bank bertanya kepada orang miskin tentang arti

sebuah kemiskinan, banyak diantaranya menjawab rasa malu ketika tak

dapat memberi hidangan kepada tamu.

Hospitality mengubah orang asing menjadi teman, makan bersama

berarti berbagi kehidupan bersama, memecahkan roti menjadi simbol

komunitas dan penerimaan. Meja makan melambangkan penerimaan,

kebersamaan dan kesatuan. Disisi lain perilaku hospitality bila tidak

mendapat batasan yang tepat, maka akan dapat menjadi negatif yang

hanya diibaratkan sebagai perilaku pamer yang sia-sia (ostentation) dan


35

juga suatu kewajiban yang dilakukan karena takut terancam dengan

gosip.50

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN DAN ANALISIS PEMBAHASAN

A. Pendekatan dan Metodologi Penelitian

50
Georges and Baker, Ministering in Honor-Shame Cultures: Biblical Foundations
and Practical Essentials, (Illinois: InterVarsity Press,2016),58-59
36

Metodologi berasal dari kata metode dan logos. Metode berarti

proses, prinsip serta prosedur yang digunakan untuk mendekati masalah

dalam mencari jawaban,51 suatu teknik pemecahan masalah yang tepat

akan sesuatu yang sedang terjadi. Sedangkan logos berarti ilmu atau

pengetahuan. Secara gamblang, metodologi berarti suatu cara untuk

melakukan sesuatu dengan seksama dalam mencapai target tertentu, 52

dalam hal ini untuk memahami objek dalam penelitian yang dilakukan.

Penelitian adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk meneliti dan

menyelidiki secara hati-hati dan terstruktur akan suatu fakta yang terjadi di

lapangan.53 Kata ini merupakan terjemahan dari kata research yang berarti

riset. Research terdiri dari dua kata, yakni re yang berarti kembali dan

search yang berarti mencari. Jika digabungkan maka kata riset bermakna

mencari kembali.54 Penelitian menolong peneliti untuk membuka

cakrawala berpikir dan melihat suatu kejadian dari sudut pandang yang

berbeda, lebih memahami fakta akan permasalahan yang terjadi di

lapangan sehingga hasil penelitian mendukung rencana pemecahan

masalah yang terjadi.55

51
Surahman, Rachmat Mochamad, and Supardi Sudibyo, Metodologi Penelitian
(Jakarta: Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan,
2016).1
52
Suharjito Didik, Pengantar Metodotogi Penelitian, ed. Januarini Nia (Bogor: IPB
Press, 2014).11
53
Siyoto Sandu and Sodik Ali, Dasar Metodologi Penelitian, ed. Ayup (Yogyakarta:
Literasi Media Publishing, 2015).4
54
Surahman, Mochamad, and Sudibyo, Metodologi Penelitian.2
55
Ngatno, Buku Ajar Metodologi Penelitian Bisnis (Semarang: Cv. Indoprinting,
2015).6-7
37

Metodologi penelitian dapat berarti cara kerja untuk memahami objek

penelitian, suatu teknik pengumpulan, analisis dan pengkajian data yang

telah diperoleh dalam suatu wadah tertentu. 56 Mengidentifikasi

permasalahan yang terjadi di lapangan berdasarkan fakta yang nampak,

mengumpulkan data sebanyak-banyaknya, menganalisis dan mengkaji

data kemudian menarik kesimpulan konkret merupakan bagian dalam

metodologi penelitian yang dimaksud, termasuk mempelajari peraturan-

peraturan yang terdapat dalam penelitian. 57 Pada hakikatnya, metodologi

penelitian berarti usaha peneliti dalam menemukan, mengembangkan

atau mengkaji kebenaran secara sistimatis, logis dan empiris dengan

menggunakan metode ilmiah untuk memperoleh kebenaran berdasarkan

hasil penelitian.58

A.1 Pendekatan Penelitian

Adapun yang menjadi paradigma atau pendekatan penelitian yang

digunakan penulis adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif

menurut Stevri Lumintang adalah suatu pendekatan yang berdiri

berdasarkan konsep berpikir mengenai suatu peristiwa yang sedang

terjadi secara alamiah (natural) dan empiris.59 Muri Yusuf menuliskan


56
Didik, Pengantar Metodotogi Penelitian.53
57
Ngatno, Buku Ajar Metodologi Penelitian Bisnis.10-11
58
Surahman, Mochamad, and Sudibyo, Metodologi Penelitian.2
59
Lumintang Stevri Indra and Lumintang Danik Astusi, Theologia Penelitian dan
Penelitian Theologis Science-Ascience serta Metodologinya (Jakarta: Geneva Insani
Indonesia, 2016).99
38

bahwa penelitian kualitatif termasuk dalam filsafat postpositivisme,

bertujuan untuk mendapatkan pengertian, makna, pemahaman mengenai

suatu peristiwa, kejadian, ataupun perilaku manusia dalam suatu

organisasi atau institusi dengan terjun langsung ke lapangan penelitian

yang diteliti.60

Hasil penelitian ini bersumber dari data yang dikumpulkan berupa

kalimat penggambaran, dan bukan dalam bentuk nomor/angka,

menganalisis secara induktif, menekankan proses dan tidak bertumpu

pada hasil/produk.61 Sehingga hasil yang didapatkan berupa kalimat-

kalimat yang jelas, detail, menyeluruh dan sistimatis yang didapatkan

melalui pengamatan, wawancara dan analisis dokumen, sehingga sifat

pendekatan ini adalah deskriptif. 62

Pendekatan penelitian kualitatif berusaha memaparkan berbagai

gejala unik yang terlihat dalam individu, kelompok, masyarakat, dan/atau

organisasi terkait dengan menyeluruh, rinci, detail, dalam serta dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 63 Penelitian dengan pendekatan ini

berorientasi pada proses dari pada hasil atau produk yang dikeluarkan. 64

60
Yusuf Muri, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian Gabungan
(Jakarta: Kencana, 2016).328
61
Rukajat Ajat, Pendekatan Penelitian Kualitatif (Qualitative Research Approach)
(Yogyakarta: Deepublish, 2018).3-4
62
Indra and Astusi, Theologia Penelitian dan Penelitian Theologis Science-Ascience
serta Metodologinya.99-102
63
Sandu and Ali, Dasar Metodologi Penelitian.28
64
Hengki Wijaya, “Metode Penelitian Pendidikan Teologi,” Jurnal E-Modul 09 (2020):
3.
39

Penelitian ini berfokus pada aspek-aspek yang mendetail dan rinci serta

kritis yang melihat suatu gejala sebagai studi kasus yang harus dicerna

dan diteliti.65 Sehingga hasil yang didapatkan berupa kalimat-kalimat yang

jelas, detail, menyeluruh dan sistimatis yang didapatkan melalui

pengamatan, wawancara dan analisis dokumen, sehingga sifat

pendekatan ini adalah deskriptif. 66 Penelitian deskriptif mengusahakan

penjelasan melalui kata-kata dan demi tujuan penelitian terkait. 67

Penelitian dengan segenap realita yang bersifat subjektif dan berdimensi

banyak ini menilai data berdasarkan hasil observasi langsung yang

dilakukan peneliti sebagai intrumen.68

A.2 Metode Penelitian

Metode penelitian karya ilmiah yang digunakan peneliti adalah

metode deskriptif-hermeneutik-eksposisi. Metode penelitian deskriptif

diartikan sebagai suatu wadah atau proses untuk memecahkan suatu

masalah berdasarkan dengan setiap fakta dan gejala yang kelihatan,

kemudian dikaji dengan sedemikian rupa. 69 Penelitian dengan metode ini

65
Ngatno, Buku Ajar Metodologi Penelitian Bisnis, 1st ed. (Semarang: Indroprinting,
2015).17
66
Indra and Astusi, Theologia Penelitian dan Penelitian Theologis Science-Ascience
serta Metodologinya.99-102
67
Amir, Metode Penelitian Kualitatif.1
68
Sandu and Ali, Dasar Metodologi Penelitian.8
69
Surahman, Rachmat Mochamad, and Supardi Sudibyo, Metodologi Penelitian
(Jakarta: Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan,
2016).4
40

dilaksanakan untuk menilai variabel mandiri, baik suatu variabel atau lebih

(independen) tanpa menunjukkan perbandingan atau penghubungan

dengan variabel lainnya.70 Metode deskriptif juga menjadikan kegiatan

ontologis menjadi pusat kegiatan dalam penelitian. Dalam penelitian juga

kata-kata, kalimat, atau bahkan gambar dijadikan sebagai data utama

yang harus dikumpulkan untuk dilihat makna dan pemahaman yang lebih

nyata. Gambaran kalimat yang rinci, lengkap dan mendalam digambarkan

sesuai dengan situasi yang sebenarnya guna mendukung penyajian

data.71

Penelitian ini menggunakan metode hermeneutik karena peneliti

melakukan penelitian berdasarkan penafsiran pada prinsip-prinsip

Alkitabiah, yang berisi kebenaran empiris yang berdasar pada wahyu atau

penyataan.72 Penyataan firman Allah membentuk pemahaman,

pengertian, dan sumber kebenaran. Stevri dan Danik Lumintang juga

mendefinisikan “penelitian untuk menemukan arti teks Alkitab untuk

pembaca pertama (meant) dan arti teks tersebut faktual untuk pembaca

pada masa kini (mean or means)”.73 Karena itu, peneliti menjadikan

Alkitab yang adalah firman Allah sebagai landasan teori untuk

memecahkan masalah yang terjadi dalam karya tulis ilmiah ini. Eksposisi
70
Surahman, Mochamad, and Sudibyo, Metodologi Penelitian.4
71
Muri, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian Gabungan.331-336
72
Hengki Wijaya, “Metode Penelitian Pendidikan Teologi,” Jurnal E-Modul 09
(2020): 1.
73
Indra and Astusi, Theologia Penelitian dan Penelitian Theologis Science-Ascience
serta Metodologinya.124
41

merupakan tulisan/ paragraf/ karangan yang menguraikan suatu prosedur

atau proses, menerangkan, menjelaskan, memberikan definisi dengan

gaya penulisan yang singkat, padat dan akurat sehingga membuka

cakrawala berpikir. Metode eksposisi erat hubungannya dengan tafsiran

Alkitab, di mana pengaplikasian dan hubungan dengan Alkitab menjadi

konteks dan dasar utama dalam pemaparan.74

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti menyimpulkan bahwasanya

pendekatan yang peneliti gunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah

pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif-hermeneutik-eksposisi,

yaitu metode penelitian yang memfokuskan pada fakta atau realita yang

terjadi sekarang ini dan didasari pada kebenaran Alkitab sebagai firman

Allah untuk pemecahan masalah dengan penguraian yang singkat, padat

dan akurat.

B. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber

data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah data yang dibuat

oleh peneliti untuk maksud khusus menyelesaikan permasalahan yang

sedang ditanganinya. Data dikumpulkan sendiri oleh peneliti langsung dari

74
Panjaitan Tutur Parade Tua et al., “Mengimpelementasikan Karakteristik
Kepemimpinan Salomo pada Masa Kini : Eksposisi 2 Tawarikh 1 : 1-13,” Haggadah:
Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 2, no. 2 (2021): 135.
42

sumber pertama atau tempat objek penelitian dilakukan. Data primer ini

merupakan sumber data utama yang menjadi sumber fokus dari penelitian

dan mampu untuk memunculkan gagasan utama dari sumber penelitian.

Sedangkan data sekunder adalah data yang telah dikumpulkan untuk

maksud selain menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Penelitian

ini yang menjadi sumber data sekunder adalah literatur atau buku-buku

yang mendukung, artikel jurnal serta situs internet yang berkenaan

dengan penelitian yang dilakukan.75

Sumber data primer penelitian ini secara langsung dari Alkitab, buku

“Ministering in Honor and Shame Culture” oleh Jayson Georges dan Mark

D. Baker dan artikel jurnal berjudul “Budaya Honor and Shame dalam

Konteks Pelayanan Sebuah Gereja di Bekasi” oleh Daniel Alexander

Paksoal. Selain data primer, penelitian ini juga menggunakan sumber data

sekunder yaitu buku-buku hermeneutika, tafsir Alkitab, aplikasi eksegesis

Alkitab, aplikasi sabda, internet dan sebagainya.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama

dalam penelitian, tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data.

Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan

mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan. 76 Pada


75
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung:
Alfabeta,2007), 137
76
Sugiyono, Metode Penelitian Kuatitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung:
Alfabeta,2007), 137
43

teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu

dengan cara studi pustaka (library research). Studi pustaka adalah teknik

pengumpulan data yang dilaksanakan dengan cara membaca, menelaah

dan mencatat berbagai literatur atau bahan bacaan yang sesuai dengan

pokok bahasan, kemudian disaring dan dituangkan dalam kerangka

pemikiran.77

Setelah mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penelitian, tentu

yang harus dilakukan selanjutnya adalah pengolahan data sebagai proses

menuju penulisan yang lebih lengkap. Adapun pengolahan data dalam

penelitian ini ada tiga langkah atau tahapan, yaitu langkah pertama teknik

pengolahan data yang dikumpulkan adalah data-data, baik berupa data

primer maupun sekunder untuk keperluan penelitian. Langkah pengelohan

data, merupakan tindakan terpenting dalam penelitian ilmiah, hal ini

dikarenakan data yang didapat akan menjadi sumber rujukan dalam

melakukan analisis hasil penelitian. Langkah kedua, ialah mengedit data

penelitian, dan langkah ketiga adalah organizing yakni penyusunan hasil

penelitian, tujuannya untuk mempermudah pelaksanaan analisis. 78 Dalam

penelitian ini, teknik pengumpulan data yang dipakai yakni:

1. Mencari ayat-ayat dalam Perjanjian Lama yang berhubungan

dengan fitur kebudayaan honor and shame.

77
Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Research (Bandung: ALUMNI, 1998), 78
78
Moh Nazir, Metodologi Penelitian, cet. Ke-6 (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), 174.
44

2. Mencari ayat-ayat dalam Perjanjian Baru yang berhubungan

dengan fitur kebudayaan honor and shame.

3. Mencari buku-buku teologi yang berisi ulasan teologis tentang

kebudayaan honor and shame.

4.Mencari buku-buku umum atau informasi dari internet tentang

kebudayaan honor and shame.

5. Dari sumber kepustakaan.

D. Teknik Analisis Data

Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara

sistematis data yang diperoleh. Analisis data dilakukan dengan

mengorganisasikan data, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan

sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang

akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada

orang lain.79 Dalam penelitian ini, setelah data terkumpul dan diolah, mak

langkah selanjutnya ialah analisa secara deskriptif kualitatif, artinya

bersifat penggambaran dengan ungkapan kata-kata. Dengan demikian

akan digambarkan secara jelas tentang tinjauan teologis terhadap fitur-

fitur kebudayaan honor and shame.

Adapun langkah-langkah analisis data sebagai berikut:

79
Sugiyono, Metode Penelitian Kuatitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung:
Alfabeta,2007), 334
45

1. Inventarisasi data, yaitu mengumpulkan data sebanyak-

banyaknya dari sumber literatur yang terkait dengan studi.

2. Mereduksi data berarti merangkum, dengan cara memilih dan

memilah sesuai dengan kebutuhan penelitian. 80 Demikian data

yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang jelas dan

mempermudah peneliti untuk mengumpulkan tema-tema pokok.

3. Interpretatif hermeneutik, penulis berusaha untuk

menginterpretasikan dan menganalisis secara memadai

mengenai tinjuan teologis terhadap fitu kebudayaan honor and

shame, dengan menggunakan pendekatan hermeneutik

eksposisi biblika.

4. Menarik kesimpulan, setelah melalui proses reduksi data dan

interpretasi data, maka dilakukan konklusi atau penarikan

kesimpulan dari data yang telah diteliti. Kesimpulan tersebut

memaparkan atau menggambarkan penemuan atau data baru

yang telah diteliti.

E. Kajian Teologis Terhadap Fitur-Fitur Kebudayaan Honor And

Shame

80
Sugiyono, Metode Penelitian Kuatitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung:
Alfabeta,2007), 82
46

Kebudayaan honor and shame terkonstruksi dalam diri orang

percaya sebagai bagian dari nilai hidup mereka yang terkoneksi terhadap

Allah, Pencipta seluruh umat manusia. Ketika nilai budaya honor and

shame terkmaknai secara tidak benar dalam hidup orang percaya, maka

mereka yang telah menjadi umat-Nya sudah semestinya kembali pada

penilaian Alkitab akan nilai tersebut.

Nilai-nilai budaya honor and shame yang disampaikan oleh Alkitab

menerangi dunia untuk menjadikan gerakan-gerakan moral sosial budaya

manusia kembali pada hakikat untuk memuliakan Allah, baik dalam gaya

hidup sendiri, maupun ketika berelasi dengan sesama, terlebih dalam

cakupan realisasi relasi dan pengagungan akan Allah. Berikut kajian

teologis terhadap fitur-fitur kebudayaan honor and shame:

1. Patronage

Pandangan patronage dalam kehidupan orang percaya tentu bukan

hanya sekedar menjadikan seseorang yang telah berjasa, baik mengenai

keuangan maupun jabatan, sebagai orang yang disegani atau diberi nilai

hormat lebih tinggi. Fokus utama ialah ketika yang lebih “tinggi”

mengklaim balas jasa terhadap bantuannya baik kepada kepada gereja,

pelayan, bahkan jemaat yang berkekurangan. Balas jasa ini bisa berupa

tenaga atau hutang budi penerima jasa kepada orang yang lebih tinggi.
47

Ulangan 24:14, ”Janganlah engkau memeras pekerja harian yang

miskin dan menderita, baik ia saudaramu maupun seorang asing yang

ada di negerimu, di dalam tempatmu”. Kata “memeras” ‫( תאשוק‬ta’ashoq)

memiliki arti verb qal imperfect 2ms, yang memiliki arti bahwa tindakan

memeras, menindas, mengeksploitasi pekerja merupakan perbuatan akan

yang dilakukan oleh sang pemberi pekerjaan setelah berbuat baik

menyediakan pertolongan dan pekerjaan. 81 Pernyataan tentang “seorang

asing, miskin dan menderita” berkaitan dengan ayat 18, “Haruslah

kauingat, bahwa engkau pun dahulu budak di Mesir dan engkau ditebus

Tuhan, Allahmu, dari sana; itulah sebabnya aku memerintahkan engkau

melakukan hal ini.” Keadaan bangsa Israel yang berkeadaan dituntut

untuk mengingat keadaan mereka dahulu di Mesir sebagai budak yang

menderita, dengan cara memperhatikan kehidupan mereka yang miskin,

menderita dan asing di tengah-tengah umat Israel.

Christiana van Houten mengungkapkan bahwa kitab Ulangan

terkenal untuk memberi perhatian kemanusiaan atas kelompok yang

tersisihkan, diantaranya adalah orang asing. 82 Kebergantungan orang

miskin dan asing kepada orang Israel yang mapan merupakan

tanggungjawab yang harus mereka laksanakan, melindungi dan

menyediakan pekerjaan bagi mereka merupakan wujud dari perintah

81
https://alkitabsabda.org
82
Christiana van Houten. The Alien in Israel Law. JSOT Supplement Series 107
(Sheffield: JSOT Press, 1991), 93.
48

tersebut. Dalam versi NIV dikatakan, “Do not take advantage of a hired

worker who is poor and needy, whether that worker is a fellow Israelite or

a foreigner residing in one of your towns.” Dalam ayat ini, tersirat berita

peringatan untuk tidak tergoda mengambil keuntungan dari kerja keras

dan pengabdian mereka terhadap tuan-tuan mereka. Pertolongan untuk

menyediakan pekerjaan bukan berarti menjadikan mereka pekerja tanpa

bayaran sebagai imbalan para penyedia lapangan pekerjaan. Mereka

tetap harus membayar upah sedemikian sesuai peraturan yang berlaku,

karena dulu mereka pernah mengalaminya pula ketika berada di tanah

pembuangan dan di Mesir.83

Matthew Henry menambahkan bahwa, “tidaklah sulit untuk

membuktikan bahwa kesucian, kesalehan, keadilan, belas kasihan,

perilaku adil, kebaikan kepada orang miskin dan melarat, perhatian

kepada mereka, dan kemurahan hati, menyenangkan Allah, dan menjadi

umat tebusan-Nya. Kesulitannya adalah memperhatikan mereka dalam

perjalanan dan percakapan kita sehari-hari” 84. Kebaikan hati harus disusuli

dengan kebaikan hati pula, belas kasihan harus disusuli dengan belas

kasihan pula, bukan disusuli dengan niat memanfaatkan terlebih lagi

memeras segala milik mereka.

83
Thompson, Deuteronomy (Leicester: Inter-Varsity Press, 1974), 67
84
Matthew Henry, Concise Commentary On Bible (Grand Rapids, MI: Christian
Classics Ethereal Library, 1961), 336
49

Dalam hal memberi, 2 Korintus 9:7 juga berkata demikian,

“Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya,

jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi

orang yang memberi dengan sukacita”. Pemberian berupa persembahan

bukanlah berasal dari kantong, sebab akan bertolak ukur dari sedikit atau

banyak. Pemberian haruslah berasal dari hati, sebab dari hatilah manusia

mengerti, mengukur dan memahami kualitas pemberiannya kepada Allah

dan sesama disertai sukacita karena penyertaan Allah. 85 Kerelaan hati

memberi mengindikasikan keberserahan penuh tanpa harap

pengembalian secara matematis dalam bentuk apapun.

Paulus memberikan antonim kesedihan dengan istilah sukacita,

memberi makna perkenaan Allah pada pemberian umat-Nya ditandai

dengan sukacitanya baik sebelum, saat dan setelah memberikan

persembahannya. Selain kesadaran akan berkat dan penyertaan Allah

dalam hidupnya, sukacita orang benar dalam memberi juga didasari pada

kesadaran diri bahwa ia ikut terlibat dalam pekerjaan pelayanan agung

Allah di tengah-tengah umat-Nya dan dunia dimana ia berada.

2. Indirect Communication

85
P.E Hughes, Paul’s Second Epistle to The Corinthians,(Philadelphia: Eerdmans
Pub Co,1962),53.
50

Dalam beberapa situasi, indirect communication memang sangat

penting dalam berelasi. Berkata-kata dengan penuh kehati-hatian dengan

menjaga intonasi suara dan seleksi kata, peka membaca situasi penerima

maupun kondisi sekitar adalah seni memperoleh perhatian dan

penerimaan para pendengar (band. Amsal 25:11). Tuhan Yesus dalam

pengajarannya, acapkali menggunakan sistem perumpamaan untuk

mengajarkan firman-Nya. Misalnya dalam Mat. 13:1-9 (perumpamaan

tentang seorang penabur), Mat.13:24-30 (perumpamaan tentang lalang di

antara gandum), Mark. 4:30-34 (perumpamaan tentang biji sesawi) dan

sebagainya. Perumpamaan di dalam Alkitab merupakan salah satu cara

Yesus untuk menyampaikan pesan pokok dari ajaran yang hendak

disampaikan-Nya.86

Namun, dalam beberapa kasus memang Tuhan Yesus berterus

terang, bahkan terdengar kasar kepada mereka yang telah mengerti

firman, namun tidak melakukannya. Dalam Mat. 23, ada sebanyak 8 kali

Yesus secara tegas mengatakan “Celakalah kamu,hai kamu ahli-ahli

taurat dan orang-orang farisi...”. Yesus menyebut mereka sebagai orang

munafik sebanyak 7 kali, bahkan menyebut mereka sebagai “keturunan

ular beludak” (Mat. 12:24).

86
Lembaga Biblika Indonesia, Mendengarkan Tuhan Bercerita, (Jakarta: Yayasan
Lembaga Biblika Indonesia, 2011), 10
51

Amsal 15:23, ”Seseorang bersukacita karena jawaban yang

diberikannya, dan alangkah baiknya perkataan yang tepat pada

waktunya!”. Kitab Amsal merupakan kitab sastra hikmat tradisional yang

mengajarkan hal-hal praktis menghidupi sikap takut akan Tuhan dan

rahasia cara untuk memperolehnya. 87 Kata “bersukacita” ‫( שמחה‬simchah)

memiliki arti kebahagiaan, kebanggaan, kesenangan, 88 dengan demikian

seseorang yang menjawab dengan baik benar menjadi bahagia karena

perkataannya tersebut merupakan kebanggaan yang diperoleh atas

dirinya sendiri. Ayat di atas merupakan ekspresi kebahagiaan sang

pengamsal setelah mengetahui bahwa perkataan (ayat 22) yang dijaga

dengan baik dan benar mampu memberikan nilai guna dalam hidupnya

yang merupakan utilitas dari hikmat kebijkasanaan, sedangkan tutur kata

yang gegabah dan jahat justru mendatangkan kesulitan. Salah satu

indikasi sikap orang yang takut akan Tuhan, acapkali ditemukan dalam

bentuk sikap bertutur kata.89

“Seseorang bersukacita karena jawaban mulutnya: dan sepatah kata

yang diucapkan pada waktunya, alangkah baiknya!” (terj. versi KJV).

Perkataan yang baik pada waktu yang tepat akan memberikan

kebahagiaan bagi pembicaranya dan bermanfaat bagi pendengarnya.

87
Barnabas Ludji, Pemahaman Dasar Perjanjian Lama 2 (Bandung: Bina Media
Informasi,2009) 184.
88
https://alkitabsabda.org
89
Henry D. Maurice & Joseph S. Exell, The Pulpit Commentary: The Book of
Proverbs (Illnois: Grace of God Publishing, 2009), 118
52

Matthew Henry berkata, “wisdom is needed to suit our discourse to the

occasions”,90 (kebijaksanaan diperlukan dalam mengatur tutur kata kita di

tiap kesempatan yang ada). Perkataan yang keluar sekali, tak dapat

ditarik kembali. Kebijaksanaan dalam bertutur kata adalah cara paling

tepat untuk memelihara relasi dan perasaan pendengar, sekalipun makna

yang ingin disampaikan cukup keras dan bersifat menegur.

3. Event Focus

Ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan dalam sebuah acara

tepat waktu, alhasil menciptakan pola hidup masyarakat yang senang

berlambat-lambat, tidak menghargai waktu yang ada dan menjadi malas.

Georges menyatakan bahwa kebiasaan masyarakat yang tidak dapat

hadir tepat waktu akan menghasilkan sifat malas dan tidak

bertanggungjawab.91 Sifat malas yang timbul dari kebiasaan untuk

menunda-nunda dan tidak bertanggungjawab timbul dari kebiasan

merendahkan suatu tugas.

Efesus 5:16, “dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari

ini adalah jahat”. Bagi Paulus, salah satu model hidup anak-anak terang di

dalam dunia adalah peka dengan waktu dan kesempatan yang diberikan

Allah untuk bersikap bijaksana dan arif mempergunakannya mencari


90
Matthew Henry, Concise Commentary On Bible (Grand Rapids, MI: Christian
Classics Ethereal Library, 1961), 1028
91
Georges and Baker, Ministering in Honor-Shame Cultures: Biblical Foundations
and Practical Essentials, (Illinois: InterVarsity Press,2016),58.
53

kehendak Allah, sebab dunia semakin jahat, membodohi umat manusia

hingga mereka terbuai dengannya. Kata waktu menggunakan kata Yunani

Kairon dari bentuk awal Kairos, yang memiliki arti waktu, musim, saat. 92

Istilah untuk Kairos sendiri memiliki arti kesempatan atau moment yang

berarti lebih dari sekedar waktu kronologi. Kesempatan ini tak akan

terulang kembali atau pun jika terulang, momentnya sudah tidak akan

sama lagi.

Filsuf Herakleitos pernah berkata, “seseorang tidak bisa dua kali

masuk ke aliran sungai yang sama”, ini menandakan bahwa kesempatan

adalah waktu yang begitu berharga yang tidak dapat diputar kembali. Bila

kesempatan itu datang, maka kesempatan itu ialah waktu yang amat

berharga sebagai bentuk anugrah Allah. Istilah “pergunakanlah” berarti

“pemborongan” εξαγοραζόμενοι (exagorazomenoi), yang merupakan

istilah perdagangan pasar dan menunjukkan aktivitas yang hebat, untuk

mengambil cepat mungkin semua kesempatan yang ada. 93 Dengan

demikian kesempatan-kesempatan yang ada harus segera diambil, harus

segera dikerjakan, bila tidak demikian maka waktu akan terus berjalan

sedangkan manusia tidak akan sadar betapa besar kerugian yang telah ia

dapatkan dari penyia-nyiaan waktu yang ada.

92
https://alkitab.sabda.org
93
R.P. Martin (terj: Broto Semedi), Tafsiran Alkitab Masa Kini 3, (Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih,2013),601.
54

Pengabaian terhadap waktu menimbulkan kemalasan untuk bekerja

dan keenganan untuk bersegera. Amsal 6:6, “Hai pemalas, pergilah

kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak”. Bunyan

menyatakan, rasa congkak pasti melekat dengan si pemalas, menggoda

orang lain untuk mengikuti jalur hidupnya, namun nyatanya mereka

tergantung terbelenggu di tepi jalan. 94 Salomo dalam amsalnya jelas,

memacu para pemalas untuk bekerja dan giat, selagi masih ada

kesempatan dan waktu yang ada. Jangan sampai kemiskinan dan

kekurangan membangunkan mereka dari kemalasannya (ay 10,11).

Henry mengatakan, “Habits of indolence and indulgence grow upon

people. Thus liferuns to waste; and poverty, though at first at a distance,

gradually draws near, like a traveller;and when it arrives, is like an armed

man, too strong to be resisted”95 (Kebiasaan berlambat dan bersenang-

senang tumbuh pada diri masing-masing orang. Demikianlah

kehidupannya akan berjalan sia-sia dan menjadikannya miskin, sekalipun

pada awalnya sangat jauh, namun secara bertahap akan mendekat,

seperti seorang musafir, dan ketika datang ia seperti orang bersenjata,

terlalu kuat untuk dilawan).

4. Purity
94
John Bunyan, The Pilgrim’s Progress, (Oxford: Oxford University
Press,2003),263.
95
Matthew Henry, Concise Commentary On Bible (Grand Rapids, MI: Christian
Classics Ethereal Library, 1961), 1005
55

Dalam Alkitab, kesucian dan kekudusan merupakan hal yang begitu

penting dan bersifat mutlak. Alkitab mengajarkan untuk menjauhi hal-hal

yang tidak suci atau najis (2 Tim. 2:22), mengejar kesucian bila ingin

mendekat pada Allah (Maz. 24:3-4), hidup meneladani Yesus sendiri yang

adalah kudus, hendaklah umat-Nya pun harus demikian (1 Pet. 1:15) dan

sebagainya. Dalam segala aspek kehidupan, tuntutan untuk hidup kudus,

suci, tak cemar dan murni adalah poin penting dan utama bagi setiap

umat Allah.

1 Korintus 6:18, ”Jauhkanlah dirimu dari percabulan! Setiap dosa lain

yang dilakukan manusia, terjadi di luar dirinya. Tetapi orang yang

melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri”. Dalam suratnya

kepada jemaat di Korintus, Paulus mendengar bahwasannya ada

kekeliruan paham dari jemaat yang ada disana. Mereka telah masuk

dalam pemahaman yang radikal tentang kebebasan, sehingga dengan

mudahnya mengerti bahwasannya berita kebebasan dalam Kristus yang

pernah mereka terima dari Paulus adalah kebebasan untuk berbuat apa

saja, termasuk bebas dalam berbuat dosa. 96

Kata “Jauhkanlah”, φεύγετε (pheugete), memiliki arti kabur,

melarikan diri, pergi dalam bentuk present imperatif aktif,97 artinya ini

merupakan sebuah kata perintah atau permintaan untuk berbuat sesuatu

96
Matthew Henry, Concise Commentary On Bible (Grand Rapids, MI: Christian
Classics Ethereal Library, 1961), 1650.
97
https://alkitabsabda.org
56

secara terus-menerus dan berulang kali. Perintah Paulus ini merupakan

perintah untuk bersegera melarikan diri dari godaan perbuatan cabul,

karena godaan ini mampu belenggu dan memperbudak diri mereka lagi

dan lagi dan merusak diri mereka yang adalah anggota dari tubuh

Kristus.98 Penebusan Kristus terhadap mereka menjadikan tubuh mereka

milik Kristus yang telah dibayar lunas, maka Paulus mendesak supaya

menjaga kekudusan tubuh mereka sebagai anggota tubuh Kristus dan

memuliakan Dia (ayat 20).

Fakta untuk menjaga kesucian diri umat Allah adalah baik dan benar.

Namun, tidak juga dipungkiri bahwa dalam realita hidup orang percaya

kecenderungan untuk menjadi cemar dan bernoda pasti ada. Alkitab tidak

menyembunyikan fakta mengerikan ini. Alkitab juga tidak

menyembunyikan fakta kegagalan para tokoh di dalam tulisannya. Alkitab

secara jelas memaparkan contoh-contoh peristiwa amoral dan tidak suci,

kisah Daud dan Betsyeba (2 Sam. 11), Yehuda dan Tamar (Kejadian

38:1-30), Lot dan kedua anak gadisnya (Kejadian 19:30-38), perempuan

yang kedapatan berzinah (Yoh 8) dan sebagainya. Contoh-contoh

demikian telah melanggar titah suci dan memutuskan untuk menuruti

hawa nafsu. Sekalipun ada rasa penyesalan dan pertobatan, bukan berarti

melepaskan mereka dari konsekuensi dosa. Kisah-kisah di atas tidak

98
Richard E. Oester, JR, The College Press NIV Commentary: I Corinthians (USA:
College Press Publishing Co,2005), 148
57

sedang menggambarkan kebenaran perbuatan, melainkan

mempertontonkan besar-Nya kasih Allah yang mau menerima mereka

kembali melalui penyesalan diri dan pertobatan hati.

Demikianlah Verkuyl juga menyatakan, “Tetapi anak-anak-Nya

memandang kepada-Nya, dan Ia pun memandang kepada mereka dan

pandangan-Nya itu seperti pandangan seorang bapa yang penuh kasih”.99

Kesucian memang amat utama dan penting dalam hidup orang percaya,

sebagai anggota tubuh Kristus yang harus memuliakan Dia melalui tubuh

mereka, namun bukan berarti menolak dan tidak lagi memberi tempat bagi

mereka yang telah kehilangan kesuciannya. Melalui pengakuan dosa,

penyesalan diri dan pertobatan sejati, Allah Bapa yang penuh kasih akan

menyucikan kehidupan mereka kembali.

5. Social Roles

Ekspetasi masyarakat terhadap pimpinan, gender dan kaum tertentu

untuk bertindak sesuai kehendak mereka adalah perhatian utama dalam

fitur budaya ini. Ekspetasi yang tinggi ditaruh kepada pihak-pihak tertentu,

sekalipun sebenarnya mereka yang ditunjuk pun tidak demikian dan tidak

menginginkan.100 Dalam Alkitab, fitur budaya ini terliat jelas kala orang-

orang Nazaret yang ada di rumah ibadat mendengarkan pengajaran

99
J. Verkuyl, Khotbah di Bukit, (Jakarta: Gunung Mulia, 2002), 20.
100
Georges and Baker, Ministering in Honor-Shame Cultures: Biblical Foundations
and Practical Essentials, 71.
58

Yesus. Matius 13: 55, “Bukankah Ia ini anak tukang kayu? Bukankah ibu-

Nya bernama Maria dan saudara-saudara-Nya: Yakobus, Yusuf, Simon

dan Yudas?”. Awalnya mereka kagum dengan Dia, tetapi ketika melihat

realita, bahwa Yesus secara silsilah jasmani bukanlah siapa-siapa dan

tidak layak mengajarkan hal-hal demikian, mereka menjadi kecewa dan

menolak Yesus.

Dalam kisah lain, Pontius Pilatus yang lebih mementingkan

kepuasan hati orang banyak dan rela memadamkan hati nuraninya untuk

melepaskan Yesus yang tidak bersalah untuk dihukum mati dan disalibkan

(Mark. 15:15). Ini merupakan tindakan buruk demi pemenuhan ekspetasi

dari posisi dan perannya, ia harus mengorbankan kebenaran demi

kepuasaan arus publik yang mendesak dan menuntutnya bersikap sesuai

keinginan mereka. Hal yang begitu memalukan bagi Pilatus ketika ia lebih

mementingkan persoalan ukuran bijaksana publik dan bukan asas

pemerintah yang telah ditetapkan.101

Topeng sosial acapkali menjadi solusi dari kegagalan fitur budaya ini,

demi membawa dampak positif bagi masyarakat. Namun, belajar dari

Yesus, tak satu pun tersembunyi dari-Nya, tak satu pun dusta keluar dari

mulut-Nya hanya untuk menyenangkan dan memenuhi ekspetasi

manusia. Matius 5: 37, “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak,

101
C.E.G. Swif (terj: Harun Hadiwijono), Tafsiran Alkitab Masa Kini 3, (Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2013),180.
59

hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari

si jahat”.

Galatia 6:4, “Baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri;

maka ia boleh bermegah melihat keadaannya sendiri dan bukan melihat

keadaan orang lain.” Surat kepada jemaat Galatia oleh Rasul Paulus

menekankan sekali lagi akan pembenaran oleh karena iman melalui

doktrin yang terus ia ajarkan kepada jemaat di Galatia. 102 Dalam

pengertian ini, “menguji” δοκιμάζετο (dokimazeto) yang memiliki arti

menguji,melihat, membuktikan dalam bentuk present active imperative,103

artinya kata ini memiliki makna perintah untuk terus dilakukan orang

percaya, yakni menilai diri mereka sendiri terlebih dahulu dari apa yang

telah mereka kerjakan dengan pembuktian yang jelas, sehingga ketika

mereka berelasi dengan orang lain, maka mereka akan mengukurnya

secara pantas tanpa melebih-lebihkan diri mereka sendiri dan

merendahkan hasil pekerjaan orang lain .104

Doktrin Paulus dalam surat ini disertai arahan perbuatan praktis

yang harus dikerjakan oleh orang yang telah dibenarkan oleh Kristus

sehingga mereka mampu beriman benar dan berelasi benar. Sebagai

surat kebanggaan Luther, ia mengatakan, “...lest Satan take from us this

doctrine of faith, and bring into the church again the doctrine of works and
102
Matthew Henry, Concise Commentary On Bible (Grand Rapids, MI: Christian
Classics Ethereal Library, 1961), 1877
103
https://alkitabsabda.org
104
https://alkitabsabda.org
60

of men's traditions. Wherefore it is very necessary that thisdoctrine be kept

in continual practice and public exercise, both of reading and hearing...”

(...jangan sampai setan mengambil doktrin iman ini dari kita, dan

membawa lagi ke dalam gereja doktrin tentang perbuatan dan tradisi

manusia. Oleh karena itu, doktrin ini harus disimpan dalam praktik hidup

yang terus-menerus melalui latihan dalam hidup masyarakat, baik dalam

hal membaca dan mendengar).105 Pemahaman doktrin yang benar

haruslah disimpan melalui gaya hidup orang percaya yang membawa

iman yang dibenarkan itu dalam ketekunan membaca, mendengar firman

Tuhan bahkan kehidupannya sehari-hari dalam masyarakat .Dalam

perihal relasi, penekanan hidup sebagai orang yang telah dibenarkan

karena iman harus mulai memfokuskan diri pada pekerjaan masing-

masing dibandingkan dengan mengamati, menilai dan berharap pada

pekerjaan orang lain.

6. Hospitality

Mengadakan sebuah perjamuan merupakan hal yang wajar dan baik

untuk sebuah pengungkapan rasa syukur atas penyertaan dan berkat

Tuhan. Kebiasaan ini menjamur dan melekat dalam pribadi masyarakat

budaya honor and shame. Ketiadaan perjamuan makan, dalam sebuah

ibadah rumah tangga justru menjadi hal yang tabu dan tidak lazim
105
Matthew Henry, Concise Commentary On Bible (Grand Rapids, MI: Christian
Classics Ethereal Library, 1961), 1877
61

dilakukan. Kisah Para Rasul 2:41-47, relevan dengan tradisi perjamuan

makan bersama di dalam jemaat, mereka bersukacita dengan tulus hati

dan memecah-mecahkan roti secara bergilir dari rumah ke rumah.

Dalam praktiknya, kebiasaan ini acapkali dilaksanakan secara

berlebihan dan dengan motivasi yang salah. Perjamuan makan diadakan

untuk mendapatkan kehormatan dari para tamu yang dijamu, persediaan

makanan mewah yang dihidangkan menjadi tolak ukur status sosial

seseorang. Akibatnya, klaim rasa hormat lebih menjadi umpan balik yang

mau tidak mau harus diterima oleh sang penjamu.

Lukas 14:12-14, Yesus mengajarkan untuk mengundang orang-

orang papah dan tersisihkan yang tidak dapat membalas kebaikan sang

penjamu untuk ikut dalam sebuah perjamuan makan. Lukas 14:13-14,

”Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang

miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta.

Dan engkau akan berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa

untuk membalasnya kepadamu. Sebab engkau akan mendapat balasnya

pada hari kebangkitan orang-orang benar.” Pernyataan ini, beranjak dari

pandangan Yesus melihat tuan rumah perjamuan hanya memilih tamu-

tamunya dari pertimbangan rasa dikucilkan dan dibanggakan. Tidak salah

jika pernah mengajak teman, saudara, dan sebagainya, namun salah jika
62

hanya mengundang orang-orang seperti itu, yakni mereka yang dapat

membalas sesuatu kepadanya.106

Yesus ingin menyampaikan untuk tidak berpesta atau menjamu

dengan orang hanya atas dasar apa yang dapat mereka lakukan sebagai

umpan balik, karena dengan demikian perbuatan itu hanyalah kehidupan

yang berpusat pada diri sendiri. Kehidupan sedemikian akan merugikan

tuan rumah karena akan segera mendapat balasannya. Kata “membalas”

ανταποδούναι (antapodounai)107 memiliki arti aorist infinitive aktiv, yang

berarti perbuatan yang hanya terjadi satu kali saja, hal ini menunjukkan

bahwa memang benar bahwa mereka yang miskin dan menderita yang

diundang itu tidak akan mampu untuk membalas hal yang sama pada saat

itu juga satu kali pun, karena pembalasan kekal dari Allah yang justru

lebih dari itu telah tersedia pada kebangkitan orang benar. Jika berbuat

sebagaimana arahan Yesus, penjamu orang lemah akan dibalas, dengan

pembayaran penuh datang pada kebangkitan orang benar (ayat 14).

Yesus sekali lagi menunjukkan betapa pentingnya hidup dengan

perspektif kekal, mengerjakan pekerjaan kekal demi tujuan hidup yang

kekal.

Dari sinilah rasa hormat yang sejati Yesus ajarkan, bukan dari dunia,

melainkan kelak pada hari kebangkitan orang-orang benar, ia memperoleh

106
Norval Geldenhuys, Commentary on the Gospel of Luke: The English Text (Grand
Rapids Michigan: Kregel Publisher,1971), 358
107
https://alkitabsabda.org
63

bahagia hormatnya. Yesus tidaklah mempersalahkan suatu

penyelenggaraan pesta untuk kaum keluarga atau sahabat-sahabat

seseorang, melainkan mempersalahkan sikap melakukan kebaikan

semata-mata untuk menerima dan mengklaim balasan duniawi yang

nyata. Seseorang wajib berusaha berbuat baik kepada mereka yang tidak

dapat memberikan sesuatu apa pun sebagai balasan dan menyerahkan

seluruh soal pembalasan itu kepada Allah.108

“Even in the common actions of life, Christ marks what we do, not

only in our religious assemblies, but at our tables”. Our Lord did not mean

that a proud and unbelieving liberality should be rewarded, but that his

precept of doing good to the poor and afflicted should be observed from

love to him”109 (bahkan dalam kehidupan sehari-hari, Kristus

memperhatikan apa yang kita kerjakan, bukan hanya yang tampil dalam

sistem religiusitas, namun sikap terhadap meja kita sendiri. Tuhan tak

memaksudkannya sebagai tindakan kemurahan hati yang perlu

dipamerkan, namun ajaran untuk berbuat baik kepada orang yang lemah

dan menderita harus karena cinta kepada Tuhan). Menyikapi sebuah meja

perjamuan adalah perihal yang diperhatikan oleh Allah, dengan tanpa

alasan untuk memamerkan kemurahan hati, mengundang orang papah

dan menderita adalah tindakan karena cinta akan Allah.


108
L.Marshall (terj: P.S. Naipospos), Tafsiran Alkitab Masa Kini 3, (Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2013),229.
109
Matthew Henry, Concise Commentary On Bible (Grand Rapids, MI: Christian
Classics Ethereal Library, 1961), 1617
64

BAB IV

IMPLEMENTASI TINJAUAN TEOLOGIS TERHADAP FITUR-FITUR

KEBUDAYAAN HONOR AND SHAME BAGI ORANG PERCAYA MASA

KINI

A. Prinsip Penerapan Tinjauan Teologis Terhadap Fitur-Fitur

Kebudayaan Honor and Shame Bagi Orang Percaya Masa Kini


65

Dalam menerapkan tinjauan Teologis terhadap fitur-fitur kebudayaan

honor and shame, maka perlu diketahui sebelumnya bahwasannya

terdapat beberapa prinsip yang harus dipahami sebelumnya. Adapun

prinsip penerapan tinjauan Teologis tersebut, di antaranya:

1. Dilakukan secara Terus-Menerus

Penerapan suatu kebiasaan tidak terjadi secara instan, tetapi

simultan dan harus teratur, terus menerus dan berulang-ulang, artinya

membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga menjadi suatu kebiasaan

dan gaya hidup baru.110 Kebiasaan untuk mulai menerapkan tinjauan

Teologis terhadap fitur-fitur kebudayaan honor and shame akan menjadi

kebutuhan pokok dalam hidup orang percaya, yang jikalau tidak dilakukan

akan terasa kehilangan dan kekurangan suatu yang penting dalam

kehidupannya. Penerapan tinjauan Teologis ini, jika dilakukan hanya

sekali dua kali, ataupun saat mood baik tidak akan memberi dampak

dalam kehidupan orang percaya. Penerapan tinjauan Teologis terhadap

fitur-fitur kebudayaan honor and shame haruslah dilakukan setiap waktu,

berkali-kali dan terus menerus, menjadi gaya hidup yang tiada masa

habisnya sebagai bentuk kesadaran akan kelemahan dan keterbatasan

manusia serta kebergantungan penuh pada Tuhan sumber kebenaran

110
Kasmiran Woerjo, dkk, Pengantar Psikologi Umum (Surabaya: Usaha Nasional,
2002), 101.
66

sejati. Kuantitas penerapan tinjauan Teologis terhadap fitur-fitur

kebudayaan honor and shame yang memadai akan menghasilkan

pemahaman yang benar sehingga berdampak dalam kehidupan orang

percaya yang seturut dengan kehendak Tuhan.

2. Dilaksanakan secara Moderat dan Proporsional

Dalam konteks penerapan tinjauan Teologis terhadap fitur-fitur

kebudayaan honor and shame, maka orang percaya semestinya

bertingkah laku seturut dengan kebenaran firman Tuhan. Namun sebagai

orang percaya juga, perilaku untuk menerapkannya harus disertai dengan

kesadaran bahwa orang percaya pun masih hidup di dalam dunia

multikultural, yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari sebuah

keberadaan budaya masyarakat. Sebagai orang percaya yang dipimpin

untuk hidup dengan tidak menjadi batu sandungan (band. Roma 14:13),

maka diperlukan sikap yang moderat dan proporsional dalam menerapkan

tinjauan Teologis terhadap fitur-fitur kebudayaan honor and shame.

Menurut KBBI, moderat berarti selalu menghindarkan perilaku atau

pengungkapan yang ekstrem dengan berkecenderungan pada arah

dimensi jalan tengah, yang berarti mampu untuk mempertimbangkan

pandangan pihak lain.111 Dalam pengertian ini, sikap menerapkan tinjauan

Teologis terhadap fitur-fitur kebudayaan honor and shame secara moderat

111
http://kbbi.kemdikbud.go.id
67

haruslah dipahami sebagai metode penghindaran sikap menolak ekstrimis

terhadap kebiasaan dan budaya masyarakat supaya Injil tidak ditolak

namun justru diterima dengan kerelaan hati oleh sesama orang percaya,

gereja dan masyarakat lainnya.

Secara proporsional, KBBI memberikan definisi yang berarti sesuai

dengan proporsi, sebanding, seimbang, berimbang. 112 Dalam konteks

penerapan tinjauan Teologis terhadap fitur-fitur kebudayaan honor and

shame secara proporsional, maka orang percaya perlu selektif terhadap

kebudayaan honor and shame, dengan maksud memilah nilai positif

budaya honor and shame yang mampu mendorong perilaku baik orang

percaya dengan dipertahankannya nilai tersebut sebagai petunjuk dan

batasan perilaku dalam masyarakat. Dalam hal ini juga mencakup bagian

dari memelihara dan mempertahankan kekhasan kekayaan budaya

daerah sebagai rakyat Republik Indonesia yang terkenal dengan

kekentalan budaya yang menakjubkan.

3. Mendidik dalam Kebenaran

Penerapan tinjauan Teologis terhadap fitur-fitur kebudayaan honor

and shame ditujukan untuk mendidik orang percaya untuk belajar hidup

dalam kebenaran, mengamalkan firman Allah sebagai Pencipta atas umat

(ciptaan) yang terus berjuang untuk menjadi citra Allah dalam pengenalan

112
http://kbbi.kemdikbud.go.id
68

yang benar akan kehendak dan perintah Allah. Orang percaya masa kini

perlu memahami bahwa penerapan tinjauan Teologis terhadap fitur-fitur

kebudayaan honor and shame bertujuan untuk mendidik dan menuntun

orang percaya semakin mengenal kebenaran Ilahi dan hidup dalam

kekudusan guna menunjang pertumbuhan karakter spiritulaitas ilahi dan

kehidupan sosial yang humanis.

Dengan memperhatikan prinsip sola scriptura (hanya oleh firman

Allah dalam Alkitab) dalam konteks tinjauan Teologis terhadap budaya,

maka sudah sepatutnya orang percaya mengimani serta mengakui

otoritas Alkitab sepenuhnya dalam menilai dan menelaah kehidupan umat

manusia. Upaya untuk tunduk pada kebenaran Allah yang dinyatakan

dalam Alkitab akan mengajarkan dan mendidik orang percaya bukan

hanya menjadi tunduk karena keterpaksaan, melainkan menjadi tunduk

karena cintanya kepada Allah yang direalisasikan dengan menghidupinya

setiap saat (band. 2 Timotius 3:16).

B. Upaya Penerapan Tinjauan Teologis Terhadap Fitur-Fitur

Kebudayaan Honor and Shame Bagi Orang Percaya Masa Kini

Dengan hasil penelitian berupa tinjauan Teologis terhadap fitur-fitur

kebudayaan honor and shame, maka penerapan praktis yang perlu

dilakukan adalah sebagai berikut:


69

1. Patronage

a) Bersyukur dan berterimakasih untuk setiap pemberian orang lain

Ucapan “terima kasih” adalah salah satu bentuk realitas dari

aktivitas yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia, karena

ucapan ini adalah ungkapan rasa syukur atau membalas budi setelah

menerima kebaikan seseorang, sehingga rasa syukur pun

dipanjatkannya kepada Allah. Mengucapkan kata “terimakasih”

disertai rasa syukur atas pertolongan Tuhan melalui orang lain

merupakan perilaku yang sudah sepatutnya dilakukan oleh orang

percaya. Ungkapan rasa terimakasih merefleksikan jati diri orang

percaya (band. 1 Tesalonika 5:18) yang hidup dengan penuh

kerendahan hati dan kelemahlembutan. Kebiasaan seperti ini

merupakan sistem yang perlu dipertahankan dalam memelihara erat

hubungan di antara sesama manusia terlebih di antara sesama orang

percaya.

b) Tidak memanfaatkan pemberian masa lampau dengan memeras

dan menindas (berdasarkan Ulangan 24:14)

Dalam sistem patronage, hal ekstrim yang dapat dilakukan adalah

menjadikan pemberian atau penyediaan kepada orang yang lemah

sebagai dalih untuk mendapat untung dari mereka yang menerima.

Menahan upah, mempekerjakan secara sewenang-wenang


70

merupakan tindakan yang perlu diberhentikan. Kebaikan di masa

lampau adalah kebaikan yang ditabur pada masa itu, sementara

kebaikan yang perlu diperhatikan oleh orang percaya adalah kebaikan

dan kemurahan hati di tiap-tiap hari dan di saat itulah kebaikan perlu

ditaburkan kembali. Dengan tidak berharap balasan, kebaikan orang

percaya mestinya selalu disusul dengan kebaikan-kebaikan hati

lainnya pula. Mengasihi dan berbaik hati bukan dengan dorongan

supaya dihargai oleh orang lain tetapi keinginan untuk menaati

perintah Tuhan karena benar-benar mengasihi Allah dan umat-Nya.

c) Memberi dan menyediakan dengan kerelaan hati (berdasarkan 2

Korintus 9:7)

Kerelaan hati dalam memberi merupakan sikap untuk tidak

mengingat dan mengungkit-ungkit lagi pemberian yang telah

diberikan. Kerelaan hati orang percaya untuk membantu dan

menyediakan akan membawa sukacita di dalam hatinya karena

kesadaran untuk memberi dengan kerelaan hati timbul dari rasa

syukur atas pemeliharaan Allah yang sempurna. Allah mengasihi

orang yang memberi dengan sukacita sebab dengan demikian orang

percaya menunjukkan kemurnian iman dan hatinya untuk Tuhan.

Memberi dengan kerelaan hati bukan karena paksaan, tuntutan

maupun ketakutan sebab jika tidak memberi akan dipandang rendah


71

atau jika tidak memberi takut Tuhan akan berhenti untuk

memberkatinya. Memberi dengan kerelaan hati ditujukkan karena

cinta kepada Allah, sebab di dalam kasih kepada Allah sesungguhnya

tidak ada lagi ketakutan (band. 1 Yohanes 4:18).

2. Indirect Communication

a) Berucap didasari rasa takut akan Tuhan (berdasarkan Amsal 15:23)

Dengan memperhatikan sikap rasa takut akan Tuhan, seorang

percaya pasti dengan seksama menyeleksi dengan benar setiap

ucapan yang dia ucapkan. Kesadaran bahwa ucapan tiap-tiap orang

merupakan cerminan isi hatinya mampu menunjukkan kualitas diri

manusia tersebut. Jikalau orang tersebut seorang anak Tuhan maka

sudah semestinya ucapan yang keluar dari mulutnya didasari pada

rasa takutnya akan Tuhan. Sikap rasa takut akan Tuhan akan

mendorong orang percaya untuk berucap dengan baik dan benar,

berkata-kata dengan tujuan untuk menuntun dan memberkati,

sekalipun itu berisi teguran dan kritikan. Dengan memperhatikan ini,

maka orang percaya yang berucap dengan kata-katanya akan

menampilkan pribadi yang berkarakter dan tulus dalam mengasihi

Tuhan Allah dan sesama.

b) Memperhatikan konteks pembicaraan


72

Dengan memperhatikan konteks budaya daerah di Indonesia,

maka orang percaya yang tidak boleh terlepas dari situasi konteks

dimana dia berada. Seperti kata pepatah, “dimana tanah diinjak,

disana langit dijunjung”, orang percaya pun harus mampu mengenal

dan mengetahui kondisi tempat dia berbicara. Dengan maksud

supaya iman kepercayaan Kristen tidak ditolak namun justru diterima

dengan kerelaan hati, maka perlu bagi orang percaya untuk

mempertahankan dan terus membangun kemampuan komunikasi

secara tidak langsung. Menggunakan perumpamaan, cerita atau mitos

kuno, pepatah dan ilustrasi buatan tanpa menyinggung pihak lain

merupakan metode-metode yang tepat sasaran yang perlu

dikembangkan dengan tujuan pemberitaan firman, cinta Allah dan Injil

Kerajaan sorga.

c) Mengingat selalu konsekuensi jangka panjang

Dalam komunikasi tidak langsung, relasi lebih penting

dibandingkan menyatakan kebenaran yang justru mempermalukan

kesalahan seseorang. Sebagai sesama manusia yang rapuh yang

tidak akan mampu bertahan hidup sendirian tanpa manusia lain, maka

hendaknya orang percaya selalu mengingat untuk mempertahankan

relasi yang baik diantara sesama manusia sekalipun dia bersalah.

Kesadaran sebagai sesama manusia yang terbatas, mampu


73

mengingatkan orang percaya bahwasannya dia pun berpotensi untuk

berada diposisi yang sama, sehingga dengan kesadaran ini orang

percaya hadir sebagai pribadi-pribadi yang mengingatkan dan

menopang dengan lemahlembut. Sikap seperti ini akan memelihara

relasi antar sesama hingga pada waktu yang lama dalam damai

sejahtera dan kesehatian yang dikenan dan dikehendaki oleh Allah

dalam Kristus Yesus Tuhan.

3. Event Focus

a) Menghargai setiap moment yang ada (berdasarkan Efesus 5:16)

Setiap waktu yang berjalan adalah masa yang tidak akan kembali

lagi, sekalipun itu satu detik yang lampau. Menghargai setiap

kesempatan yang ada merupakan refleksi kesadaran hidup orang

percaya dalam mengimplementasikan firman Tuhan dalam hidupnya.

Sebab orang percaya harus sadar bahwa kesempatan-kesempatan itu

adalah anugrah Tuhan supaya orang percaya yang dianugrahi

kesempatan itu boleh berbuah, berbuat dan menyaksikan kemuliaan

Tuhan. Dalam kesempatan itu, orang percaya terus bertumbuh

melalui pengalaman iman yang ditaruh berdasarkan pengertian-

pengertian hikmat yang mereka alami di tiap kesempatan. Dengan

memperhatikan setiap moment yang ada, orang percaya mampu


74

mempergunakan waktunya sebanyak mungkin untuk menjadi berkat

bagi sesama dan terlebih mempermuliakan Allah.

b) Memulai suatu kegiatan tepat waktu

Orang percaya sudah sepatutnya hidup menjadi teladan dan figur

yang mampu memengaruhi kehidupan di dunia. Melalui kebiasaan

untuk tepat waktu dalam mengadakan suatu event merupakan

kebiasaan yang mampu menjadi tolak ukur bagi orang banyak betapa

disiplinnya cara hidup orang percaya. Mengubah standar nilai

penghargaan dengan kedisiplinan pada waktu akan justru akan

memengaruhi orang lain yang berdatangan untuk tepat waktu dan

menghindari rasa malu bila datang terlambat. Disiplin terhadap waktu

orang percaya dalam suatu kegiatan atau acara merupakan

kebiasaan yang sangat efisien untuk memengaruhi cara pandang

orang banyak.

c) Melepaskan diri dari keinginan bermalas-malasan (berdasarkan

Amsal 6:6)

Kebiasaan untuk mengulur waktu dan menunda-nunda akan

melahirkan kebiasaan buruk bagi orang percaya untuk menjadi lambat

dan bermalas-malasan. Sifat untuk menjadi malas memang indah dan

nyaman pada awal perjalanan kehidupan seseorang, namun


75

sesungguhnya sifat ini lambat laun akan memasung kehidupan orang

percaya sehingga amat sulit untuk bergerak untuk memulai suatu

aktivitas. Menghargai kesempatan dan disiplin terhadap waktu adalah

cara terbaik untuk terhindar dan terlepas dari kebiasaan bermalas-

malasan yang dapat merenggut waktu dan kesempatan orang

percaya. Waktu akan terus berjalan, orang percaya pun harus terus

berjalan, dengan seksama memperhatikan caranya mereka hidup

yang dituntun untuk menjadi arif dan bijaksana dan bukan seperti

kebiasaan dunia.

4. Purity

a) Saling peduli terhadap sesama

Sebagaimana pengertian purity yang lebih mendalam sebagai

penilaian pribadi dan komunitas, maka sepantasnya sebagai sesama

manusia terlebih sesama orang percaya untuk peduli terhadap orang

lain. Orang percaya tidak dipanggil sebagai penonton dan komentator

sebuah kejadian, namun dipanggil untuk menjadi berkat bagi dunia.

Jika seorang dari komunitas menjadi cemar, maka sesungguhnya

kegagalan juga terdapat pada diri internal komunitas tersebut yang

lalai dalam memperhatikan anggotanya. Menjadi peduli dengan

sesama adalah tindakan preventif atau pencegahan terhadap

perbuatan-perbuatan seseorang yang akan mendorongnya pada


76

perilaku amoral. Dengan kepedulian untuk mengingatkan secara

personal dalam hikmat Allah, orang percaya telah menjalankan fungsi

dan panggilannya untuk memberkati orang lain.

b) Kabur dari godaan seks

Godaan seks merupakan godaan terbesar yang sering

menjatuhkan seseorang dan yang paling sulit untuk dijauhkan hingga

berakhir pada penyesalan. Godaan seks yang tidak benar akan

merusak diri orang percaya yang adalah tubuh Kristus yang pada

hakikatnya terpanggil untuk hidup kudus. Bersegera sadar dan kabur

dari godaan ini adalah cara paling tepat untuk melepaskan diri dari

ancamannya. Bersegera keluar dari aplikasi dan situs-situs gelap,

memperbanyak aktivitas di luar ruangan sepi dengan mencari

komunitas atau teman-teman untuk sekedar berbasa-basi maupun

beraktivitas positif lainnya adalah cara untuk kabur dari godaan ini.

Melepaskan diri dari memunculkan potensi terhadap godaan seks

mampu membuat orang percaya terjauhkan dari perbuatan-perbuatan

amoral. Perilaku orang percaya penting di dalam dan di luar

komunitas karena itu mencerminkan mereka adalah umat Allah yang

kudus. Dengan selalu mengingat kekudusan diri sendiri yang adalah

tubuh Kristus dan bait Roh Kudus, orang percaya harus tetap
77

bergantung pada kuasa Allah untuk melawan dan kabur dari godaan

ini.

c) Tidak mencerca sesama yang telah jatuh dalam dosa seks

Sebagaimana hati Bapa yang tidak pernah menolak anaknya yang

telah berbuat salah dengan mengaku, menyesal dan berubah

demikian pulalah hati Allah terhadap orang percaya, umat yang telah

dipilih dan ditebus oleh-Nya. Jika Allah yang kudus masih menerima

mereka yang telah jatuh dalam dosa kecemaran, maka orang percaya

yang juga umat Allah hendaknya memiliki hati seperti Allah.

Penghakiman sejati adalah milik Allah, sedangkan orang percaya

dipanggil untuk mengasihi dan merangkul sesama. Belajar dari

pengalaman orang lain yang telah jatuh dalam kecemaran merupakan

teguran bagi orang percaya untuk hidup kudus dan pengingat akan

kesusahan bila terjatuh dalam dosa demikian. Orang percaya yang

telah jatuh dalam dosa kecemaran pasti mengalami banyak kesulitan

dalam sebagai konsekuensi dosanya di dalam dunia, maka sebagai

sesama orang percaya sudah tidak perlu lagi mencerca dan menyakiti

hati mereka. Belajar menjadi sesama manusia yang rapuh dan

berhenti menjadi hakim untuk sesama manusia.

5. Social Roles
78

a) Bertanggungjawab atas peran masing-masing

Sebagai manusia yang hidup di tengah-tengah komunitas

masyarakat dan budaya, maka tidak akan terlepas dari peran dan

tanggung jawab yang dilimpahkan kepadanya. Oleh sebab itu,

sebagai orang percaya, bertanggung jawab penuh dengan setulus hati

pada tugas yang diberikan, berdiri di atas status gender yang

ditetapkan dan berperilaku sesuai pada posisi yang ditempati adalah

cara untuk mempertontonkan kehidupan orang percaya yang taat dan

setia. Dengan menjadi role model yang patuh pada ketetapan

lingkungan, tempat kerja dan pelayanan, orang percaya menjaga

panggilannya sebagai umat pilihan untuk hidup berdasarkan batas-

batas berperilaku yang sepantasnya. Orang percaya yang setia pada

perkara kecil akan dipercayakan perkara besar, namun jika yang

dipercayakan itu masih atau selalu perkara-perkara kecil sekalipun,

orang percaya dipanggil untuk mengerjakannya dengan tanggung

jawab dan cinta yang besar kepada Allah.

b) Tidak merendahkan peran orang lain

Mendiskreditkan tugas dan peran orang lain adalah perbuatan

yang lahir dari keangkuhan dan kedengkian hati. Terlebih jika

pendiskreditan itu terjadi akibat dari sejarah kelam dan masa sulit

seseorang. Melihat dan menilai buah dari seseorang terlebih penting


79

daripada menilai dari statusnya. Dalam rentetan sejarah hidup

manusia, Allah masih terus bekerja dalam kehidupan orang percaya

yang ditetapkan-Nya untuk menyatakan kemuliaan Allah. Mereka

yang dulunya hina dan tidak terpandang, di lain waku Allah

mengangkat dan mempermuliakan-Nya. Melihat kehadiran seseorang

dengan bijaksana sebagaimana hari ini dan masa depannya yang

penuh misteri adalah cara yang terbaik untuk tidak merendahkan dan

menjauhinya. Sebagai pribadi, tidak ada seorang manusia pun yang

lebih atau yang kurang dari yang lain. Keberadaan manusia yang

demikian ini mengantarnya menjadi pribadi yang penuh dan utuh.

c) Tidak membanding-bandingkan diri dengan orang lain (berdasarkan

Galatia 6:4)

Belajar untuk fokus pada peran masing-masing adalah tindakan

yang perlu dilakukan oleh orang percaya, sebab tugas dan tanggung

jawab tersebut ditetapkan atas kedaulatan Allah yang mengenal dan

mengerti kemampuan masing-masing umat-Nya melalui lingkungan,

tempat kerja bahkan pelayanannya. Jika orang percaya terbiasa untuk

membanding-bandingkan peran dengan orang lain, maka tugas dan

tanggung jawab yang ada padanya tidak mampu dikerjakan dengan

setulus hati. Dalam hikmat dan pengetahuan Allah, masing-masing

orang diberikan tugas, peran dan berkat sesuai dengan kemampuan


80

dan kebutuhannya untuk dapat dikerjakan dlam rangka

mempermuliakan nama Tuhan.

6. Hospitality

a) Perjamuan diadakan dengan setulus hati

Ketulusan hati untuk mengadakan perjamuan makan bersama

rekan, sahabat maupun keluarga adalah kesungguhan dari hati yang

tidak berpura-pura dalam diri orang percaya yang berpaut pada

kepentingan dan kehendak Allah. Ketika menjamu orang lain

hendaklah disertai dengan rasa syukur kepada Allah sebagai bukti

pemeliharaan Allah atas penyediaan dan pertolongan yang Ia berikan.

Dengan mengadakan perjamuan makan setulus hati, maka sikap ini

akan memberi kebahagiaan kepada mereka yang diundang dan

dijamu sebab ketulusan itu disertai dengan kebahagiaan hati yang

dibagikan melalui undangan dan perjamuan. Dengan memperhatikan

ini, maka orang percaya memenuhi panggilannya untuk memberkati

dan menjadi berkat bagi orang lain tanpa pamrih.

b) Mengingat dan berbagi kepada orang yang lemah dan lapar

(berdasarkan Lukas 14:13-14)

Perjamuan yang tidak luput terhadap perhatiannya kepada orang-

orang lemah dan lapar adalah panggilan orang percaya yang sedang
81

mengadakan perjamuan. Maka sepatutnya, orang percaya hadir

memberikan penghiburan dengan mengingat dan berbagi kepada

mereka. Dengan tidak berharap balasan, sebab mereka pun pasti tak

mampu membalasnya, hati dan mata orang percaya hendaknya

tertuju dan terarah pada berkat yang telah disediakan Allah baginya

yang tidak dapat dibeli dengan kekayaan dunia sebesar apapun. Jika

orang percaya hendak mengingat dan berbagai kepada orang lemah

dan lapar, maka mereka sedang memenuhi panggilannya untuk

menjadi berkat dan terang dalam dunia yang gelap sedang dikerjakan

untuk kemuliaan Allah.

c) Perjamuan makan didasarkan pada cinta kepada Allah

Cinta kepada Allah harus dinyatakan melalui kepedulian terhadap

sesama. Kasih jugalah yang menjadi penggerak hati orang percaya

untuk berbagi kebahagiaan dan berkat kepada sesama manusia.

Dengan memperhatikan ini, maka keinginan untuk mendapat hormat

maupun pengakuan akan tidak bernilai lagi, sebab penilaian tertinggi

akan, sedang dan telah mereka peroleh yang berasal dari Allah yang

menerima jamuan makan tersebut. Jika orang percaya mengadakan

perjamuan makan karena cintanya kepada Allah, maka rasa hormat

dan pengakuan dari manusia akan bernilai sangat kecil baginya,


82

sebab nilai itu tidak sebanding dengan nilai kasih Allah bagi diri orang

percaya.

C. Simpulan

Berdasarkan data hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa

pemahaman yang benar akan tinjauan Teologis terhadap fitur-fitur

kebudayaan honor and shame dengan didukung penerapannya yang

berkelanjutan dalam kehidupan orang percaya sangat penting untuk mulai

dilaksanakan. Tinjauan Teologis terhadap fitur patronage dapat

diimplementasikan orang percaya masa kini dengan selalu

mengekspresikan rasa syukur melalui ucapan terimakasih kepada pihak

lain yang memberi, dimana pihak yang memberi juga dilarang untuk

memeras dan memanfaatkan pihak yang ditolong, terlebih lagi dalam

rangka pemberian berupa sukarela yang harus diberikan didasarkan pada

sukacita akan Allah.

Tinjauan Teologis terhadap fitur indirect communication dapat

diimplementasikan orang percaya masa kini dengan selalu

memperhatikan tutur kata yang diucapkan berdasarkan rasa takut akan

Tuhan, sebab dengan demikian orang percaya akan berbahagia dari

perkataan yang diucapkan olehnya maupun oleh pendengarnya.

Memperhatikan dengan seksama konteks pembicaraan dan kemungkinan

konsekuensi percakapan menjadikan orang percaya mampu untuk


83

berkomunikasi dengan baik dan jelas tanpa menyakiti dan merusak relasi

dengan orang lain.

Tinjauan Teologis terhadap fitur event focus dapat

diimplementasikan orang percaya masa kini dengan bijaksana

memperhatikan dan menghargai setiap waktu, kesempatan dan moment

yang tersedia. Melalui ketepatan waktu pelaksanaan suatu kegiatan atau

acara, orang percaya mampu mendisiplinkan diri dan lingkungan untuk

membiasakan gaya hidup yang disiplin waktu. Dengan demikian,

kedisplinan terhadap waktu akan membawa orang percaya untuk terlepas

dari sikap menunda-nunda dan kemalasan.

Tinjauan Teologis terhadap fitur purity dapat diimplementasikan

orang percaya masa kini dengan hidup yang saling peduli terhadap

sesama anggota komunitas, sebab kecacatan individu merupakan

kecacatan golongan. Dengan saling memperhatikan maka masing-masing

orang dapat terhindarkan dari perilaku-perilaku cemar. Kabur dari godaan

seks yang dapat mencenari diri sendiri dan komunitas merupakan langkah

penting bagi orang percaya untuk menjaga kemurnian dan kekudusan

hidupnya. Tidak mencerca dan mencela sesama yang telah cemar adalah

salah sikap yang juga perlu dilakukan oleh orang percaya masa kini dalam

menanggapi fitur kebudayaan ini.

Tinjauan Teologis terhadap fitur social roles dapat diimplementasikan

dalam kehidupan orang percaya masa kini dengan berfokus pada tugas,
84

peran dan tanggungjawab masing-masing dan tidak membanding-

bandingkan diri dengan tugas orang lain. Setiap tugas, peran dan

tanggungjawab memiliki kapasitas yang berbeda, sehingga sikap

merendahkan atau mendikreditkan status dan peran orang lain adalah

perilaku yang harus dihindari dan ditolak.

Tinjauan Teologis terhadap fitur hospitality dapat diimplementasikan

orang percaya masa kini dengan mengadakan perjamuan makan yang

didasari pada niat hati yang tulus tanpa harap kembali atau keinginan

untuk pamer di hadapan orang lain. Mengingat perjamuan makan yang

diadakan didasarkan pada ketulusan hati akan cinta pada Allah, maka

orang percaya harus mengingat dan berbagai juga terhadap orang yang

lemah dan lapar sebagaimana Allah pun mengasihi dan memberkati

mereka.

Dengan memahami sikap yang harus diambil dalam menanggapi

fitur kebudayaan honor and shame, orang percaya dapat

mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan nilai-

nilai hidup kristiani dan ajaran Alkitab yang tepat dan benar. Dengan

demikian orang percaya dapat memberikan dampak positif bagi diri

sendiri, orang lain, lingkungan dan masyarakat dunia, terlebih dalam

mempermuliakan nama Tuhan.


85

BAB V

PENUTUP

Berdasarkan penjelasan bab-bab sebelumnya, maka pada bagian ini

peneliti akan menyimpulkan seluruh pembahasan untuk mendapatkan

suatu kesimpulan dari apa yang telah peneliti paparkan sebelumnya.

Selain itu peneliti juga akan memberikan masukan yang dianggap perlu.

A. Simpulan
86

Kebudayaan honor and shame merupakan kebudayaan yang hidup

dalam kehidupan umat manusia, khususnya dalam karakteristik budaya

manusia yang berada di wilayah daerah timur dunia. Secara sederhana,

kebudayaan honor and shame merupakan kebudayaan yang menilai

kualitas diri seseorang atau kelompok berdasarkan kemampuannya dalam

memperoleh rasa hormat dan tindakannya dalam menghindari rasa malu.

Penilaian ini berasal dari luar diri sehingga mampu memberikan dampak

yang membatin terhadap kebanggaan diri atau sebaliknya tekanan

terhadap kepercayaan diri akibat rasa malu dari sebuah perbuatan yang

tidak terhormat.

Kebudayaan honor and shame didasarkan pada solidaritas kelompok

budaya masyarakat. Solidaritas ini memiliki makna agar masing-masing

anggota kelompok mampu menjaga nama baik komunitas dengan berhati-

hati dalam berbuat dan bertindak demi menjaga kemurnian nilai

kehormatan kelompoknya dimata kelompok masyarakat lain. Oleh sebab

itu, penghukuman sosial dalam berbagai macam hukuman akan

dikenakan terhadap anggota yang berbuat suatu tindakan yang

mempermalukan kelompoknya, dalam rangka pemeliharaan nama baik

komunitas. Dalam penelitian sebelumnya, terdapat enam fitur yang

menjadi ciri khas kebudayaan ini yaitu patronage (kewajiban berbalas budi

pada orang lain yang telah menolong), indirect communication

(komunikasi tidak langsung), event focus (kehadiran khalayak ramai lebih


87

penting dibandingkan ketepatan waktu), purity (kesucian), social roles

(pemenuhan tanggung jawab sesuai peran sosial), dan hospitality

(kewajiban dalam memberikan jamuan pada tamu).

Fitur-fitur kebudayaan honor and shame ini telah menjadi bagian

dalam kebudayaan masyarakat Indonesia tak terkecuali dalam kehidupan

orang percaya. Berdasarkan pemahaman Alkitabiah dalam konteks

Indonesia, maka fitur-fitur kebudayaan ini harus dinilai berdasarkan

kebenaran Alkitab yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan orang-

orang percaya. Pemahaman yang benar dan tepat terhadap firman Tuhan

mampu memberikan kontribusi positif bagi orang-orang percaya dalam

menanggapi dampak-dampak negatif dan buruk akan keberadaan fitur-

fitur kebudayaan honor and shame ini.

Peninjauan Teologis terhadap fitur-fitur kebudayaan honor and

shame dapat diimplementasikan dalam kehidupan orang percaya dengan

memperhatikan keberlanjutan tindakanannya, keseimbangan perilakunya

dan komitmen dalam melakukannya sebagai wujud karna cinta pada Allah

dan firman-Nya serta bukan karena keterpaksaan saja. Dengan

memperhatikan prinsip praktik tinjauan Teologis terhadap fitur-fitur

kebudayaan honor and shame, orang percaya akan mengalami

pertumbuhan rohani secara intelektual dan emosional yang berkarakter

Ilahi dengan menjadi teladan bagi sesama manusia dan orang percaya

serta dengan tidak menjadi batu sandungan bagi masyarakat lainnya yang
88

belum memahami akan kebenaran suatu nilai rohani dalam budaya

masyarakat.

B. Saran

Selain memberikan kesimpulan, peneliti juga akan memberikan

saran-saran yang dianggap perlu bagi orang percaya juga bagi hamba-

hamba Tuhan terkait guna meningkatkan pertumbuhan rohani melalui

tinjauan Teologis terhadap fitu-fitur kebudayaan honor and shame.

1. Bagi orang percaya

a. Sebagai orang percaya, sangatlah penting dalam menjalani

kehidupannya sehari-hari dengan tetap berpegang pada

kebenaran firman Tuhan sebagai penuntun arah perilaku

dan bukan karena faktor eksternal dirinya,

b. Sebagai orang percaya, penting untuk tetap menjadi

masyarakat yang berbudaya dengan menghargai ciri khas

nilai budaya honor and shame dalam tatanan kehidupan

sosial masyarakat dengan menghidupinya sebagai ekspresi

keutuhan diri yang bernalar, berperasaan dan bertindak.

c. Sebagai orang percaya, penting untuk memahami bahwa

supremasi kebenaran tertinggi adalah firman Tuhan di dalam

Alkitab, sehingga nilai keberadaan dari fitur-fitur kebudayaan


89

honor and shame harus bersesuain dengan pernyataan-

pernyataan dalam Alkitab untuk dapat dilakukan.

d. Sebagai orang percaya, dalam menjalani hidup ataupun

hidup di antara masyarakat berbudaya honor and shame,

hendaklah bertindak didasarkan pada kecintaan akan Allah

dan firman-Nya bukan karena dorongan dan tuntutan

lingkungan sekitar.

2. Bagi hamba Tuhan

a. Sebagai hamba Tuhan, sepantasnya secara terus-menerus

mengingatkan orang percaya untuk menghidupi nilai-nilai

kebenaran firman Tuhan atas nilai dari fitur kebudayaan

honor and shame.

b. Sebagai hamba Tuhan, menjadi teladan pertama di tengah-

tengah komunitas orang percaya dalam mempraktikan nilai-

nilai tinjauan Teologis terhadap kebudayaan honor and

shame sudah harus menjadi agenda harian yang wajib

dilaksanakan dalam rangka pemenuhan tugas tanggung

jawab dalam pelayanan.

c. Mengembangkan diri secara intelektual dan emosional

dalam memahami serta merespon nilai kebudayaan honor

and shame dapat menjadi sarana yang efektif dalam


90

mengembangkan pelayanan, relasi serta kontekstualitas

dalam penyampaian akan kebenaran firman Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai