Anda di halaman 1dari 12

TUGAS MATA KULIAH

PENGANTAR EKONOMI MAKRO

Dosen ;

Dr. Sunu Priyawan, M.S., Ak.

Disusun oleh :

Divil Hikma Dwi Yanti

1222200035

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA
2022
TUGAS TOPIK 3 : Kebijakan Ekonomi Moneter

1. penjelasan mengenai wewenang Bank Indonesia dalam menjalankan


kebijakan moneter

pendelegasian kewenangan dalam pengaturan dan pengawasan perbankan ke


OJK menyebabkan fungsi Bank Indonesia dalam mengatur dan menjaga kelancaran
system pembayaran menjadi bukan lagi merupakan ranah / tugas fungsi dari Bamk
Indonesia karna menjaga dan mengatur system pembayaran merupakan suatu usaha
dalam perbankan untuk mengelola agar dalam system pengolahan data
penyelelenggaraan system pembayaran. Adapun tugas dan wewenangBank Indonesia
dalam menjaga system kelancaran pembayaran adalah terdapat dalam pasal 15 – pasal
23 undang -undang Bank Indonesia serta penjelasan pasal yang telah dijelaskan dalam
kewenangan Bank Indonesia diatas, penjelasan mengenai kelancaran pembayaran
emrupakan suatu porsi dalam pelaksanaan system perbankan yang tugas dan
pengawaannya telah beralih ke OJK.

 Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter BI


berwenang: 
1. Menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan
laju inflasi yang ditetapkan; dan
 
2. Melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-
cara antara lain: 
 operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah
maupun valuta asing;
 penetapan tingkat diskonto; dan
 penetapan cadangan wajib minimum.

Berkaitan dengan hal tersebut, BI melaksanakan kebijakan nilai tukar


berdasarkan sistem nilai yang ditetapkan, mengelola cadangan devisa untuk
memenuhi kewajiban luar neger, dan dapat menerima pinjaman luar negeri.

Untuk mencapai sasaran-sasaran moneter, BI juga dapat mempunyai


fungsi lender of the last resort.
 Dalam rangka mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, BI
berwenang: 
1. Melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas
peyelenggaraan jasa sistem pembayaran.
2. Mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk
menyampaikan laporan tentang kegiatannya.
3. Menetapkan penggunaan alat pembayaran.

Disamping itu, BI juga diberi kewenangan untuk mengatur sistem kliring antar
bank dalam mata uang rupiah atau valuta asing dan menetapkan macam,
harga, ciri uang yang akan dikeluarkan, bahan baku yang digunakan dana
tanggal mulai berlakunya sebagai alat pembayaran yang sah.

 Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur dan mengawasi bank, BI


menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan
dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank
dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
 
 Terkait dengan pengawasan bank, dalam UU ini diamanatkan bahwatugas
mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawas sektor jasa
keuangan yang independen, dan dibentuk dengan UU. Pembentukan
lenbaga pengawasan tersebut dilaksanakan paling lambat 31 Desember
2012.
 
 Dalam melaksanakan tugasanya, BI dipimpin oleh Dewan Gubernur, yang
terdiri atas seorang Gubernur, seorang Depuri Gubernur Senior, dan min.
4 orang atau max. 7 orang Deputi Gubernur.
 

2. Tujuan kebijakan moneter


Tujuan adanya kebijakan moneter menurut saya adalah untuk mengarahkan
perekonomian ke kondisi yang lebih baik dengan mengatur jumlah uang yang
beredar, dangan adanya peningkatan output keseimbangan dan juga
terpeliharanya stabilitas harga atau inflasi terkontrol.
Selain itu tujuan kebijakan moneter adalah untuk mengawasi stabilisasi
ekonomi yang dapat diukur dengan adanya kesempatan kerja, kestabilan
harga serya neraca pembayaran internasional yang seimbang.

3. kebijakan kuantitatif moneter menurut pendapat saya adalah Langkah-


langkah bank sentral yang tujuan utamanya adalah untuk mempengaruhi
jumlah penawaran uang dan suku bunga dalam perekonomian. Dalam masa
deflasi penawaran uang perlu ditambah. Langkah ini akan menurunkan suku
bunga dan penurunan ini selanjutnya akan menggalakkan perkembangan
kegiatan ekonomi sehingga tingkat kesempatan kerja menjadi lebih tinggi dan
pengangguran berkurang. Dalam masa inflasi pengeluaran masyarakat
adalah melebihi penawaran barang-barang yang tersedia dalam penawaran.
Oleh sebab itu pengeluaran agregat perlu dikurangi melalui pengeluaran
dalam penawaran uang dan kenaikan suku bunga. Perubahan tersebut akan
menurunkan pengeluaran agregat sehingga terdapat keseimbangan di antara
pengeluaran dalam ekonomi dengan jumlah penawaran masing-masing.

4. Kegunaan kebiajakan fiscal :


Antaralain untuk memobiisasi sumber daya seperti meningkatkan investasi,
menyediakan infrastruktur dan pengelolaan energi. Kegunaan lain dari
kebijakan fiscal adalah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi yang pada
akhirnya akan mengurangi tigkat pengangguran dan kemiskinan, dapat pula
di gunakan untuk menstabilisasi harga, karna dapat mempengaruhi efek
inflasi atau deflasi dalam suatu perekonomian, seperti oprasi pasar,
penerapan pajak maupun subsidi.

5. Keterkaitan antara kebijakan fiscal dengan pengeluaran pemerintah.

Dampak kebijakan fiskal terhadap perekonomian melalui pendekatan


permintaan agregat diterangkan melalui pendekatan Keynes. Pendekatan
Keynesian mengasumsikan adanya price rigidity dan excess capacity
sehingga output ditentukan oleh permintaan agregat (demand driven). Keynes
menyatakan bahwa dalam kondisi resesi, perekonomian yang berbasis
mekanisme pasar tidak akan mampu untuk pulih tanpa intervensi dari
Pemerintah. Kebijakan moneter tidak berdaya untuk memulihkan
perekonomian karena kebijakan hanya bergantung kepada penurunan suku
bunga sementara dalam kondisi resesi tingkat suku bunga umumnya sudah
rendah dan bahkan dapat mendekati nol.

Dalam pendekatan Keynes, kebijakan fiskal dapat menggerakkan


perekonomian karena peningkatan pengeluaran pemerintah atau pemotongan
pajak mempunyai efek multiplier dengan cara menstimulasi tambahan
permintaan untuk barang konsumsi rumah tangga. Demikian pula halnya
apabila pemerintah melakukan pemotongan pajak sebagai stimulus
perekonomian. Pemotongan pajak akan meningkatkan disposable income
dan pada akhirnya mempengaruhi permintaan.Kecenderungan rumah tangga
untuk meningkatkan konsumsi dengan meningkatkan marginal prospensity to
consume (mpc), menjadi rantai perekonomian untuk peningkatan
pengeluaran yang lebih banyak dan pada akhirnya terhadapoutput.

Government spending multiplier dinyatakan sebagai 1/(1-mpc), dan dari


formulaini terlihat bahwa semakin besar mpc maka semakin besar pula
dampak dari pengeluaran pemerintah terhadap GDP.Sementara itu efek
multiplier dari pemotongan pajak (tax cut multiplier) dinyatakan sebagai ( 1/(1-
mpc) - 1). Tax cut multiplier adalah satu dikurangi dengan government
spending multiplier. Tax cut multiplier selalu lebih kecil dari spending
multiplier, oleh karenanya pemotongan pajak dianggap kurang potensial
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam masa resesi dibandingkan
dengan peningkatan pengeluaran pemerintah.

Besarnya efek multiplier dari peningkatan pengeluaran pemerintah dan


pemotongan pajak bergantung kepada besarnya mpc yang bergantung
kepada apakah peningkatan tersebut bersifat transitory atau permanen.
Dalam hal ini, dampak mpc atas perubahan pendapatan transitori lebih kecil
dibandingkan perubahan pendapatan yang permanen.
Pengembangan model Keynesian memungkinkan adanya tambahan dampak
crowding out melalui perubahan yang disebabkan oleh suku bunga dan nilai
tukar. Crowding out terjadi apabila Pemerintah menyediakan barang dan jasa
yang menggantikan barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor swasta.
Tingkat crowding out mempengaruhi besaran fiskal multiplier namun tidak
mempengaruhi arah.

Dalam kerangka teori Keynesian, peningkatan pengeluaran pemerintah akan


menggeser kurva IS ke kanan, (lihat Grafik 2). Pergeseran ini menyebabkan
perekonomian berada dalam keseimbangan baru (dari titik A ke titik B) yaitu
tingkat pendapatan dan tingkat suku bunga yang lebih tinggi. Suku bunga
menjadi lebih tinggi karena dengan kenaikan pendapatan menyebabkan
kenaikan permintaan akan real money balance, sementara di pasar uang
bank sentral tidak menambah pasokan real money balance. Kenaikan suku
bunga tersebut pada gilirannya akan berdampak ke pasar barang, yaitu
peninjauan ulang rencana investasi pengusaha. Dengan demikian, penurunan
pengeluaran investasi akan mengurangi dampak ekspansif dari pengeluaran
pemerintah.Jika tidak terjadi crowding out, berdasarkan Keynesian Cross,
maka output akan menjadi Y3. Namun, adanya crowding out menyebabkan

output hanya meningkat menjadi Y2.

Dalam model IS-LM dengan perekonomian yang terbuka (Mundell-Flemming),


crowding out dapat terjadi melalui nilai tukar. Tingkat suku bunga yang tinggi
akan menarik capital inflow sehingga terjadi apresiasi pada nilai tukar dan
mengakibatkan penurunan pada current account. Pada gilirannya penurunan
pada external current account akan menganulir peningkatan permintaan
domestik yang awalnya dipicu oleh ekspansi fiskal.

Besaran pengaruh crowding out melalui suku bunga dan nilai tukar
dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam kerangka IS-LM. Crowding out
melalui jalur suku bunga akan lebih besar apabila investasi sensitif terhadap
perubahan tingkat suku bunga. Semakin sensitif permintaan akan
uangterhadap perubahan suku bunga dibandingkan terhadap perubahan
pendapatan maka akan semakin besar pula efek crowding out.

Tingkat crowding out juga dipengaruhi oleh fleksibilitas harga. Walaupun


terbatas pada jangka pendek, fleksibilitas harga berpotensi mengurangi nilai
fiskal multiplier khususnya pengaruh dari rezim nilai tukar. Dalam
perekonomian yang tertutup, ekspansi fiskal akan mendorong kenaikan harga
sehingga dapat menghambat peningkatan permintaan agregat dalam jangka
pendek dan pada akhirnya memperkuat crowding out.

Dalam perekonomian terbuka dengan sistem nilai tukar yang fleksibel, tingkat
crowding out bergantung kepada respon dari harga domestik terhadap
perubahan nilai tukar. Secara umum apabila terjadi perubahan harga yang
dipicu oleh perubahan nilai tukar, maka tingkat crowding out yang terjadi akan
lebih kecil dibandingkan pada kondisi dengan price rigidity. Hal ini
dikarenakan apresiasi nilai tukar akan mengurangi harga. Di lain pihak pada
sistem dengan nilai tukar tetap, crowding out akan lebih tinggi dalam kondisi
harga yang fleksible dibandingkan pada kondisi dengan price rigidity.

Studi empiris mengenai hubungan antara kebijakan fiskal dengan aktivitas


perekonomian memberikan hasil yang beragam. Standar Real Business
Cycle (RBC) model umumnya menyatakan konsumsi akan menurun sebagai
respons terhadap peningkatan pengeluaran pemerintah sementara model IS-
LM (Keynesian) menyatakan sebaliknya. Oleh karenanya debat
mengenaihubungan antara kebijakan fiskal dengan aktivitas perekonomian
masih terus berlanjut. Terlepas dari perdebatan tersebut, sebagian besar
penelitian yang ada masih membuktikan hubungan yang didasari oleh teori
Keynes.
Blanchard dan Perotti (1999), Perotti (2002), Mountford dan Uhlig (2002),
Kruscek (2003), Castro (2003)yang masing-masing menggunakan sampel
negara US, negara negara OECD, Uni Eropa, Jerman serta Spanyol
menemukan bahwa shock positif pada pengeluaran pemerintah(peningkatan
defisit dengan pajak tetap) memilikiefek positif terhadap output walaupun
dampaknya cenderung melemah. Sementara itu shock positif pada pajak
dengan membiarkan pengeluaran pemerintah tetap,memiliki efek negatif
terhadap output. Hasil ini juga dikonfirmasi oleh Hemming (2002) yang
menemukan bahwa Keynesian multiplier bernilai positif namun relatif kecil
yang merupakan efek konsumsi terhadap pendapatan saat ini. Sementara itu
penelitian oleh Giavazzi dan Pagano (1990, 1996) dan Giavazzi et all (2000)
menyatakan Keynesian Effecttidak berlaku.

Studi empiris yang menggunakan sampel negara berkembang masih sangat


terbatas, salah satu diantaranya dilakukan oleh Schlarek (2005). Schlarek
menggunakan data panel yang melibatkan 40 negara dan 19 diantaranya
adalah negara berkembang. Hasil empiris membuktikan bahwa shock
pengeluaran pemerintah memiliki Keynesian effect terhadap konsumsi swasta
baik di negara industrimaupun di negara berkembang. Sementara itu tax
effect hanya memiliki Keynesian effect di negara-negara berkembang.
Schlarek juga menemukan bahwa shock pengeluaran pemerintah memiliki
Keynesian effect terhadap konsumsi swasta yang lebih tinggi di negara
berkembang dibandingkan dengan di negara maju.

Tidak terbuktinya Keynesian effect sebagaimana dikemukakan oleh Levine


dan Renelt (1992) yang terdapat dalam Fu, et all (2003) disebabkan
penggunaan indikator fiskal yang terpisah. Penggunaan salah satu variabel
kebijakan fiskal saja ditengarai tidak cukup untuk dapat menangkapstance
kebijakan fiskal. Sebagai contoh peningkatan pengeluaran pemerintahdapat
dikatakan ekspansif apabila ia dibiayai dengan peningkatan defisit. Akan
tetapi pengeluaran pemerintah dapat dikategorikan sebagai kontraktif jika ia
dibiayai dengan peningkatan pajak karena kebijakan tersebut dapat
berimplikasi pada meningkatnya peran sektor publik. Hasil ini dikonfirmasi
oleh penelitian Martin dan Fardmanesh (1990) dan Kocherlakota dan Yi
(1997) sebagaimana yang terdapat dalam Fu, et all (2003) bahwa penurunan
pajak dapat berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi hanya bila public
capital dijaga tetapkonstan.

Untuk kasus Indonesia, aplikasi teori Keynes tersebut di beberapa model


ekonomi makro yang dikembangkan Bank Indonesia, meliputi SOFIE dan

SEMAR, sejalan dengan temuan empiris tersebut. 5 Namun, derajat


pengaruhnya terhadap output saling berbeda. Dalam SOFIE, kenaikan
pengeluaran pemerintah, baik dalam bentuk konsumsi maupun investasi,
sebesar Rp10 triliun akan menaikkan PDB sebesar 0,3%. Sementara
penambahan pengeluaran pemerintah untuk program infrastruktur sebesar
Rp10,8 triliun akan menaikkan PDB sebesar 0,0512% di model SEMAR.
Perbedaan pengaruh tersebut mungkin disebabkan oleh sifat kedua model
tersebut yang berbeda, yaitu SOFIE yang bersifat dinamis stokastik,
sementara SEMAR lebih bersifat statis deterministk.

6. Deskripsi kebijakan moneter

Kebijakan monetrer merupakan kebijakan otoritas moneter atau bank sentral


dalam bentuk pengfendalian besaran moneter untuk mencapai
perkembangan kegiatan perekonomian yang di inginkan. Kebijakan moneter
yang di sebutkan merupakan bagian integral dari kebijakan ekomiomi makro,
yang pada umumnya dilakukan dengan mempertimbangkan siklus kegiatan
ekonomi, sifat perekonomian suatu negara tertutup atau terbuka, serta faktor-
faktor fundamental ekonomi lainnya. Dalam pelaksanaannya, strategi
kebijakan moneter dilakukan berbeda beda dari satu negara dengan negara
lain, sesuai dengan tujuan yang ingin di capai dan mekanisme yang di Yakini
berlaku pada perekonomian yang bersangkutan. Berdasarkan strategi dan
trasmisi yang dipilih, maka dirimiskan karangka oprsional kebijakan moneter.

7. Arti kebijakan uang ketat

Kebijakan uang ketat adalah berkurangnya motif spekulasi dimana hal ini juga
tidka di sebut secara eksplisit oleh pemerintah. Pemerintah hanya
menjelaskan bahwa kebijakan uang ketat baru-baru ini adalah sebagai
Tindakan pencegahan mengalirnya uang rupiah ke dolar atau mata. Uang
asing lainnya.

8. kebijakan operasi pasar terbuka ketika perekonomian mengalami resesi

Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara
menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter
dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: (a) Kebijakan moneter ekspansif
(Monetary expansive policy). Adalah suatu kebijakan dalam rangka
menambah jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan untuk
mengatasi pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat
(permintaan masyarakat) pada saat perekonomian mengalami resesi atau
depresi. Kebijakan ini disebut juga kebijakan moneter longgar (easy money
policy). (b) Kebijakan Moneter Kontraktif (Monetary contractive policy). Adalah
suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar.
Kebijakan ini dilakukan pada saat perekonomian mengalami inflasi. Disebut
juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy) (Rahardja, 2005).

9. Uraian penerapan kebijakan fiscal

Pelaksanaannya wajib dipatuhi seluruh wajib pajak, pemungutan dan


pengawasannya dilakukan aparat pemerintah. Kebijakan fiskal adalah
penyesuaian dalam pendapatan dan pengeluaran pemerintah seperti yang
sudah ditetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

10. Uraian penerapan kebijakan fiscal diskrioner

Kebijakan fiskal diskresioner (discretionary fiscal policy), yaitu kebijakan fiskal


yang ditempuh oleh pemerintah dengan perubahan yang bersifat diskresi
dalam belanja pemerintah dan/atau penerimaan pajak untuk mencapai tujuan
ekonomi nasional tertentu, misalnya full employment, stabilitas harga, dan
pertumbuhan ekonomi. Desain kebijakan fiskal diskresioner ini seringkali
direkomendasikan oleh para ekonom untuk merespon kondisi ekonomi agar
pendulum siklus bisnis menjadi lebih moderat. Saran ini seringkali terdengar
pada masa resesi, yang memerlukan kebijakan pemotongan pajak atau
fiskal diskresioner sulit digunakan untuk tujuan stabilisasi karena "inside
lag"—beda kala (time-lag) antara waktu ketika kebutuhan atas kebijakan fiskal
muncul dengan waktu ketika kebijakan itu diiimplementasikan oleh
pemerintah. Hal ini juga terkait dengan proses pengambilan keputusan politik
yang dipengaruhi oleh beragam kepentingan dan kebijakan fiskal diskresi
tidak secara otomatis berbalik apabila siklus perekonomian membaik
(Baunsgaard and Symansky, 2009).
Daftar Pustaka
M Jeffri Arlinandes Chandra
Jurnal Hukum Sehasen Vol.1 No.1 Tahun 2015 24
KEWENANGAN BANK INDONESIA DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN PERBANKAN
SETELAH TERBITNYA UNDANG-UNDANG NO 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA
KEUANGAN

Latifah, N. A. (2015).
KEBIJAKAN MONETER DALAM PERSPEKTIF EKONOMI SYARIAH. 
Jurnal Ekonomi Modernisasi, 11(2), 124–134. https://doi.org/10.21067/jem.v11i2.873
Sujai, M. (2020).

KEBIJAKAN FISKAL PEMERINTAH DALAM UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN

MASYARAKAT INDONESIA. 

Publikasi Penelitian Terapan Dan Kebijakan, 5(2). Diambil dari

http://ejournal.sumselprov.go.id/pptk/article/view/216
Surjaningsih, Ndari; Utari, G. A. Diah; and Trisnanto, Budi (2012)
"DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP OUTPUT DAN INFLASI," Bulletin of Monetary Economics and
Banking: Vol. 14: No. 4, Article 7. 
DOI: 10.21098/bemp.v14i4 
Available at: https://bulletin.bmeb-bi.org/bmeb/vol14/iss4/7

BT Cahyono - Unisia, 1991 - journal.uii.ac.id

Anda mungkin juga menyukai