Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PELATIHAN PERAWAT ANASTESI DASAR

ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI PADA TN.S DIAGNOSA OPEN


FRAKTUR METATARSAL, RUPTUR TENDON DORSALIS PEDIS DENGAN
GENERAL ANESTESI - INTUBASI

RSUD Dr SAIFUL ANWAR PROVINSI JATIM

OLEH :

RANI PRAMADANI Amd.Kep


INSTANSI : RS MUHAMMADIYAH LAMONGAN

INSTALASI ANESTESI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. SAIFUL ANWAR

PROVINSI JATIM

2023
LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI PADA TN.S DIAGNOSA OF METATARSAL, RUPTUR TENDON


DORSALIS PEDIS DENGAN GENERAL ANESTESI - INTUBASI

RSUD Dr SAIFUL ANWAR PROVINSI JATIM

Telah Disetujui pada :

Hari :

Tanggal :

Tempat :

Malang, 2023

Peserta Pelatihan Pembimbing

( ) ( )
BAB I
FRAKTUR METATARSAL

A. Pengertian
Fraktur adalah patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik .
Fraktur adalah patah tulang dan terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa.
Fraktur Metatarsal adalah fraktur yang terjadi pada tulang Metatarsal akibat jatuh
ataupun trauma
B. Etiologi
Penyebab fraktur secara umum disebabkan karena pukulan secara langsung, gaya
meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot eksterm . Fraktur yang
paling sering adalah pergerseran condilius lateralis tibia yang disebabkan oleh pukulan
yang membengkokkan sendi lutut dan merobek ligamentum medialis sendi tersebut.
Penyebab terjadinya fraktur yang diketahui adalah sebagai berikut:
1. Trauma langsung (direct)
Fraktur yang disebabkan oleh adanya benturan langsung pada jaringan tulang
seperti pada kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan benturan benda keras oleh
kekuatan langsung.
2. Trauma tidak langsung (indirect)
Fraktur yang bukan disebabkan oleh benturan langsung, tapi lebih disebabkan
oleh adanya beban yang berlebihan pada jaringan tulang atau otot , contohnya seperti pada
olahragawan atau pesenam yang menggunakan hanya satu tangannya atau satu kakinya
untuk menumpu beban badannya.
3. Trauma pathologis
Fraktur yang disebabkan oleh proses penyakit seperti osteomielitis,
osteosarkoma, osteomalacia, cushing syndrome, komplikasi kortison / ACTH, osteogenesis
imperfecta (gangguan congenital yang mempengaruhi pembentukan osteoblast). Terjadi
karena struktur tulang yang lemah dan mudah patah.
C. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur metatarsal
OTA ( Orthopaedic Trauma Association) mengklasifikasikan fraktur metatarsal
secara detail mengenai bentuk frakturnya tetapi tidak berdasarkan stabilitas ataupun
penatalaksanaannya. Fraktur metatarsal berdasarkan klasifikasi ini adalah 81. Identifikasi
huruf untuk menunjukkan metatarsal yang terkena, yaitu:
a. T: metatarsal 1
b. N: metatarsal 2
c. M: metatarsal 3
d. R: metatarsal 4
e. L: metatarsal 5
Lalu dilanjutkan dengan kompleksitas dari fraktur
a. A: diafiseal fraktur simpel dan bentuk baji
b. B: parsial artikular dan diafesial bentuk baji
c. C: fraktur intraartikular yang kompleks
Diikuti dengan area yang terkena:
a. 1: metafisis proksimal
b. 2: diafesial
c. 3: metafisis distal
Kemudian diikuti dengan nomor yang sesuai dengan bentuk fraktur
D. Tanda dan gejala
Menurut Brunner dan Suddarth, (2002 : 2358), tanda dan gejala
fraktur antara lain :
1. Sakit (nyeri), karena kerusakan jaringan dan perubahan struktur yang
meningkat menyebabkan penekanan sisi fraktur dan pergerakan
bagian fraktur.
2. Inspeksi : bengkak atau penumpukan cairan yang disebabkan oleh
kerusakan pembuluh darah deformitas (perubahan struktur dan
bentuk tulang).
3. Palpasi : nyeri tekan, nyeri sumbu, krepitasi (dapat dirasakan atau
didengarkan bila digerakkan).
4. Gerakan : aktif (tidak bisa : function laesa), pasif (gerakan abnormal).
5. Perubahan warna kulit : pucat, ruam cyanosis.
6. Parastesia (kurangnya sensasi yang dapat terjadi karena adanya
gangguan saraf, dimana saraf ini dapat terjepit dan terputus oleh
fragmen tulang).
E. Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer & Bare, 2002 manifestasi klinis fraktur adalah nyeri,
hilangnya fungsi deformitas, pemendekan ekstermitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan
berubahan warna. Pada fraktur metatarsal lebih sering terjadi karena trauma langsung
akibat kejatuhan barang yang cukup berat, atau karena trauma tak langsung, hal ini terjadi
sewaktu kaki menginjak tanah dengan kuat secara tiba tiba badan melakukan gerakan
memutar.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyartai fraktur merupakan bentuk bidai alami yang dirancang untuk
meminimalkan gerakan antar frakmen tulang
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara tidak alami (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya. Ekstermitas
tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas
tulang tempat melengketnya otot
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi
otot yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu
sama lain
4. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus
yang teraba akibat gesekan antara fragmen satudengan yang lainnya. (uji krepitus dapat
menyebabkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat).
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau
hari setelah cedera. Tidak semua tanda dan gejala terdapat pada setiap fraktur, pada fraktur
linear atau fraktur impaksi (perrmukaan patahan saling berdesak satu sama lain).
Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik, pemeriksaan sinar-x pasien.

F. Patofisiologi
Fraktur ganggguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma gangguan
adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolic, patologik.
Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang terbuka ataupun tertutup. Kerusakan
pembuluh darah akan mengakibatkan pendarahan, maka volume darah menurun. COP
menurun maka terjadi perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi
plasma dan poliferasi menjadi odem lokal maka penumpukan di dalam tubuh. Fraktur
terbuka atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa
nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang dan dapat terjadi revral vaskuler yang
menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggau. Disamping itu fraktur
terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi dan
kerusakan jaringan lunak akan mengakibatkan kerusakan integritas kulit.
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma gangguan
metabolik, patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Baik fraktur terbuka atau tertutup
akan mengenai serabut syaraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri.
Selain itu dapat mengenai tulang sehingga akan terjadi neurovaskuler yang akan
menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggu, disamping itu fraktur
terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi
terkontaminasi dengan udara luar.Pada umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun
tertutup akan dilakukan imobilitas yang bertujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah
dihubungkan tetap pada tempatnya sampai sembuh.
Fraktur metacarpal dapat terjadi pada satu metacarpal atau multiple metacarpal atau
multiple pada beberapa metacarpal. Fraktur leher metacarpal sering terjadi padas seorang
yang mengalami trauma dengan posisi kepalan tinju. Trauma langsung pada telapak atau
punggung tangan biasanya disertai kerusakan jaringan lunak pada tangan. Fraktur metatarsal
dapat terjadi pada satu metatarsal atau multiple metatarsal atau multiple pada beberapa
metatarsal. Fraktur leher metatarsal sering terjadi pada seorang yang mengalami trauma
kebentur benda berat pada telapak kaki.

G.Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal fraktur meliputi reposisi dan imobilisasi fraktur dengan splint.
Status neurologis dan vaskuler di bagian distal harus diperiksa baik sebelum maupun
sesudah reposisi dan imobilisasi. Pada pasien dengan multiple trauma, sebaiknya
dilakukan stabilisasi awal fraktur tulang panjang setelah hemodinamis pasien stabil.
Sedangkan penatalaksanaan definitif fraktur adalah dengan menggunakan gips atau
dilakukan operasi dengan ORIF maupun OREF.
Tujuan Pengobatan fraktur :
1. REPOSISI dengan tujuan mengembalikan fragmen keposisi anatomi
 Tertutup : fiksasi eksterna, Traksi (kulit, sekeletal)
 Terbuka : Indikasi :
1. Reposisi tertutup gagal
2. Fragmen bergeser dari apa yang diharapkan
3. Mobilisasi dini
4. Fraktur multiple
5. Fraktur Patologis
2. IMOBILISASI / FIKSASI
Tujuan mempertahankan posisi fragmen post reposisi sampai Union.
Jenis Fiksasi :
 Ekternal / OREF
- Gips ( plester cast)
- Traksi
Indikasi :
 Pemendekan (shortening)
 Fraktur unstabel : oblique, spiral
 Kerusakan hebat pada kulit dan jaringan sekitar
1. Traksi Gravitasi : U- Slab pada fraktur hunerus
2. Skin traksi
Tujuan menarik otot dari jaringan sekitar fraktur sehingga fragmen akan kembali ke posisi
semula. Beban maksimal 4-5 kg karena bila kelebihan kulit akan lepas.
3. Sekeletal traksi : K-wire, Steinmann pin atau Denham pin.
Dipasang pada distal tuberositas tibia (trauma sendi koksea, femur, lutut), pada tibia
atau kalkaneus ( fraktur kruris)
Komplikasi Traksi :

1. Gangguan sirkulasi darah à beban > 12 kg


2. Trauma saraf peroneus (kruris) à droop foot
3. Sindroma kompartemen
4. Infeksi à tmpat masuknya pin
Indikasi OREF :
1. Fraktur terbuka derajat III
2. Fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas
3. fraktur dengan gangguan neurovaskuler
4. Fraktur Kominutif
5. Fraktur Pelvis
6. Fraktur infeksi yang kontraindikasi dengan ORIF
7. Non Union
8. Trauma multiple
Internal / ORIF : K-wire, plating, screw, k-nail

G. Pathway
Fraktur metatarsal

Fraktur tertutup trauma fraktur terbuka

Bengkak
Bengkaktekanan
tekanan meningkat
meningkat pembuluh darah,
Pembuluh Kontak dengan
darah ,saraf,jaringan lingkungan luar
lunak rusak
Denyut nadi menurun

Resiko infeksi
Menekan jaringan sekitar Darah mengalir ke
pembuluh darah daerah fraktur

Iskemia
Pertumbuhan bakteri
Penekanan pada
jaringan vaskuler

kontraktur Resiko infeksi

Penurunan aliran darah

Jaringan tulang nekrosis

Nyeri Kerusakan
integritas kulit
Kerusakan mobilitas fisik
BAB II

KONSEP DASAR ANESTESI

Untuk diketahui bahwa teknik anestesi dibagi menjadi anestesi umum, anestesi
intravena, anestesi local dan regional.
1. Anestesi Umum
a. Pengertian
Teknik anestesi umum adalah suatu tindakan meniadakan nyeri (analgetik)
secara sentral disertai hilangnya kesadaran (hipnotik), relaksasi otot (relaxan)
yang merupakan triase anestesi yang bersifat dapat pulih kembali.
b. Stadium anestesi
1) Stadium satu adalah adalah stadium analgesia atau disorientasi yang
berlangsung antara induksi sampai hilangnya kesadaran.
2) Stadium dua adalah stadium delirium / eksitasi yang dimulai dari hilangnya
kesadaran atau hilangnya reflex bulu mata sampai nafas teratur.
3) Stadium tiga adalah pembedahan (surgical) adapun dibagi menjadi empat
plana
 plana I
Ventilasi teratur, sifatnya toraco abdominal, mata terfiksasi / ekstrensik,
pupil miosis, reflex cahaya (+), lakrimasi meningkat, reflex faring /
muntah (-), tonus otot mulai menurun.
 Plana II
Ventilasi teratur, sifatnya abdomino toracal, tidal volume menurun,
ferkwensi napas meningkat, pupil mulai midriasis, refleks cahaya
menurun dan refleks kornea (-).
 Plana III
Ventilasi teratur dan sifatnya abdominal karena kelumpuhan syaraf
intercostals, lacrimasi (-), pupil melebar, refleks laring dan peritoneum
(-), tonus otot menurun.
 Plana IV
Ventilasi tidak teratur dan tidak adekuat (megap-megap).
4) Stadium empat adalah stadium paralisis/overdosis yang dimulai dari henti
nafas {apnoe) sampai dengan henti jantung (cardio arrest).
2. Teknik Anestesi dengan Endotrakea Tube (ETT)
a. Definisi
Intubasi endotrakheal adalah tindakan untuk memasukan pipa endostracheal
kedalam trachea. Tujuannya adalah pembebasan jalan nafas, pemberian nafas
buatan dengan bag and mask, pemberian nafas buatan secara mekanik
(respirator)memungkinkan pengisapan secret secara adekuat, mencegah
aspirasi asam lambung dan pemberian oksigen dosis tinggi.

b. Tujuan
Tujuannya adalah pembebasan jalan nafas, pemberian nafas buatan dengan
bag and mask, pemberian nafas buatan secara mekanik
( respirator)memungkinkan pengisapan secret secara adekuat, mencegah
aspirasi asam lambung dan pemberian oksigen dosis tinggi.

c. Indikasi
1. Ada obstruksi jalan nafas bagian atas
2. Pasien memerlukan bantuan nafas dengan respirator
3. Menjaga jalan nafas tetap bebas
4. Pemberian anestesi seperti pada operasi kepala, mulut, hidung,
tenggorokan, operasi dominal dengan relaksasi penuh dan operasi
thoracotomy.
5. Terdapat banyak sputum ( pasien tidak mengeluarkan sendiri )

d. Jenis Intubasi
1. Intubasi oral
Keuntungan : lebih mudah dilakukan, bisa dilakukan dengan cepat pada
pasien dalam keadaan emergency, resiko terjadinya trauma jalan nafas
lebih kecil
Kerugian : tergigit, lebih sulit dilakukan oral hygiene dan tidak nyaman.
2. Intubasi nasal
Keuntungan : pasien merasa lebih enak/ nyaman, lebih mudah dilakukan
pada pasien sadar, tidak akan tergigit
Kerugian : pipa ET yang digunakan lebih kecil, pengisapan secret lebih
sulit, dapat terjadi kerusakan jaringan dan perdarahan, dan lebih sering
terjadi infeksi ( sinusitis

e. Komplikasi
1. Ringan : Tenggorokan serak, kerusakan pharyng, muntah,aspirasi, gigi
copot/ rusak.
2. Serius : Laryngeal edema, obstruksi jalan nafas, rupture trachea,
perdarahan hidung, fistula trcheoesofagal granuloma, memar, laserasi
akan terjadi dysponia dan dyspagia, bradi kardi, aritmia, sampai dengan
cardiac arrest.
Penyulit :
a.Leher pendek
b.Fraktur servical
c.Rahang bawah kecil
d.Osteoarthritis temporo mandibula joint
e.Trismus
f.Ada masa difaring dan laring
f. Mesin Anestesi
Selalu pastikan mesin berguna dengan baik dengan cara :
1. Hubungkan kabel listik dengan sumber listrik.
2. Hubungkan pipa oksigen dari mesin anestesi dengan ”Outlet” sumber
oksigen .
3. Pasang Currogated + bag sesuai kebutuhan.
4. Cek apakan ada kebocoran dengan cara tutup valve, kembangkan bag
5. flash O2 atau putar O2 10 lpm, lalu coba pompa bag dan cari apakah ada
kebocoran dari bag, sambungan, atau currogate
6. Soda lime ( bila warna sudah berubah harus diganti )
7. Vaporizer harus di cek apakan agent inhalasi sudah terisi

g. Persiapan Pasien Dan Alat


1. Persiapan pasien.
a) Beritaukan pasien tentang tindakan yang akan dilakukan.
b) Minta persetujuan keluarga/ informed consent
c) Berikan support mental
d) Hisap cairan atau sisa makanan dari naso gastric tube
e) Yakinkan pasien terpasang IV line dan infuse menetes dengan lancar

2. Persiapan alat
a) Bag and mask + slang 02 dan 02
b) Laryngoscope lengkap dengan blade sesuai ukuran pasien dan lampu
harus menyala dengan terang
c) Alat-alat untuk suction ( yakinkan berfungsi dengan baik )
d) Xillocain jelli/ xyllocain spraydan ky jelli
e) Naso/ orotracheal tube sesuai ukuran pasien
f) Laki-laki dewasa no 7, 7.5, 8
g) Perempuan dewasa no 6.5, 7, 7.5
h) Anak-anak usia ( dalam tahun ) + 4 dibagi 4
i) Konektor yang cocok dengan tracheal tube yang disiapkan
j) Stilet/ mandarin
k) Magyll forcep
l) Oropharingeal tube ( mayo tube )
m) Stethoscope
n) Spuit 20 cc untuk mengisi cuff
o) Flester untuk fiksasi
p) Gunting bantal kecil setinggi 12 cm

h. Prosedur
1. Mencuci tangan
2. Posisi pasien terlentang
3. Kepala diganjal bantal kecil setinggi 12 cm
4. Pilih ukuran pipa endotraceal yang akan digunakan
5. Periksa balon pipa/ cuff ETT
6. Pasang blade yang sesuai
7. Oksigenasi dengan bag dan mask/ ambil bag dengan O2 100%
8. Masukan obat-obat sedasi dan muscle relaxan
9. Buka mulut dengan laryngoscope sampai terlihat epiglottis
10. Dorong blade sampai pangkal epiglottis
11. Lakukan pengisapan lender bila banyak secret
12. Anastesi daerah laring dengan xillocain spray ( bila kasus emergency tidak
perlu dilakukan )
13. Masukan endotraceal tube yang sebelumnya sudah diberi jelli
14. Cekapakah endotraceal sudah benar posisinya
15. Isi cuff dengan udara, sampai kebocoran mulai tidak terdengar
16. Lakukan fiksasi dengan plester
17. Foto thorak
i. Perawatan Intubasi
1. Fiksasi harus baik
2. Gunakan oropharing air way ( guedel )pada pasien yang tidak kooperatif
3. Hati-hati pada waktu mengganti posisi pasien
4. Jaga kebersihan mulut dan hidung
5. Jaga patensi jalan nafas
6. Humidifikasi yang adekuat
7. Pantau tekanan balon
8. Observasi tanda-tanda vital dan suara paru-paru
9. Lakukan fisioterapi nafas tiap 4 jam
10. Lakukan suction setiap fisioterapi nafas dan sewaktu-waktu bila ada suara
lender
11. Yakinkan bahwa posisi konektor dalam posisi baik
12. Cek blood gas untuk mengetahui perkembangan
13. Lakukan foto thorak segera setelah intubasi dan dalam waktu-waktu
tertentu
14. Observasi terjadinya empisema kutis
15. Air dalam water trap harus sering terbuang
16. Pipa endotraceal tube ditandai diujung mulut/ hidung
j. Hal hal yang harus di dokumentasikan
1. Tanggal pemasangan, siapa yang memasang
2. No OTT/ ETT
3. Jumlah udara yang dimasukan pada balon
4. Batas masuknya NTT/ OTT
5. Obat-obat yang diberikan
6. Respon pasien/ kesulitan yang terjadi
k. Syarat Ekstubasi
1. Insufisiensi nafas (-)
2. Hipoksia (-)
3. Hiperkarbia (-)
4. Kelainan asam basa (-)
5. Gangguan sirkulasi ( TD turun tidak ada, perdarahan tidak ada )
6. Pasien sadar penuh
7. Mampu bernafas bila diperintah
8. Kekuatan otot sudah pulih .
9. Tidak ada distensi lambung
DAFTAR PUSTAKA

Arief Mansjoer 2012. Kapita Selekta Kedokteran Jilid, Media Eusculapius, Jakarta

Brunner & Suddart. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi VIII Volume
2.Jakarta : EGC

Ekawati,Sinta.2015. Penatalaksanaan Terapu latihan pada Kasus Fraktur Cruris
.http://digilibstikeskusumahusada.ac.id

Grace,Pierce A, neil R. Borley.2007.At a Glance Ilmu Bedah.edisi ketiga.Jakarta: Erlangga.


.

Khany, Z. 2008. Ketepatan Intubasi emergency oral endotracheal. Jurnal Kedokteran Syiah
Kuala Vo. Nomor 2 Agustus 2008.
Lukman, N. N. 2013. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.

PPNI. 2017.  Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) edisi 1 cetakan II. DPP


PPNI. Jakarta

PPNI. 2018.  Standart Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI.
Jakarta

PPNI. 2019.  Standart Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI.
Jakarta

Wahid Abdul. 2013 . Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal.


Jakarta : Trans Info Media

Zairin, Noor. 2016. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika
ANALISA DATA ( PRE ANESTESI)

NO DATA PENYEBAB MASALAH


1 DS : DS: Agen pencedera fisik Nyeri
- Pasien mengatakan nyeri karena trauma
pada kaki kiri
DO:
- TD : 178/101 mmHg
- RR : 18 x/mnt
- N : 98 x/mnt
- Skala nyeri : 6
ANALISA DATA (INTRA ANESTESI)

NO DATA PENYEBAB MASALAH


1 DS: - Pengaruh sekunder: Ketidakefektifan pola
DO: obat-obatan anestesi nafas
- Pasien terpasang ETT king
ukuran
- Ada periode apneu sesaat
setelah diberikan induksi
dengan propofol mg
- -Pasien mendapat
pelumpuh otot tramus 25
mg
ANALISA DATA (POST ANESTESI)

NO DATA PENYEBAB MASALAH


1 DS: - Mukus banyak, efek Bersihan jalan nafas
DO: general anestesi tidak efektif
- Pasien belum sadar penuh
- Pasien pasca dilakukan GA
intubasi
- Suara nafas gurgling

Anda mungkin juga menyukai