Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

SISTEM DAN KEBIJAKAN PERBANKAN DI INDONESIA

Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah “Kebanksentralan”

Dosen Pengampu: Dr. Moh. Haris Balady, S.E., M.M.

Di Susun Oleh Kelompok 7:

1. Mohammad Zaki Al Mahdi 204105010009


2. Alif Rahmatullah Fian Pratama 204105010042
3. Moh Sholeh 204105010046
4. Nuril Hidayati Dini Islamiyah 204105010050

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KH ACMAD SIDDIQ

JEMBER

2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puja dan puji syukur atas kehadiran Allah SWT.
Yang telah memberikan rahmat dan inayah-Nya sehingga penulis dapat
menselesaikan makalah ini sebagai salah satu tugas dari mata kuliah
“KEBANKSENTRALAN”. Ucapan terima kasih kepada bapak Dr. Moh. Haris
Balady, S.E., M.M. Selaku bimbingan dan pengarah kami, sehingga Makalah ini
terselesaikan dengan maksimal serta terima kasih pula kepada teman-teman atas
kerja sama sehingga penulis dengan maksimal telah menyelesaikan Makalah ini
dengan maksimal.

Dalam Makalah ini penulis akan menjelaskan berbagai Materi yang


menarik yang berjudul Sistem dan Kebijakan Perbankan di Indonesia. Kami
menyadari bahwa makalah yang kami buat jauh dari kata sempurna, baik dari segi
penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapakan kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca guna
menjadi acuan agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi dimasa mendatang.

Semoga makalah ini bisa menambah wawasan para pembaca dan bisa
bermanfaat untuk Perkembangan dan Peningkatan ilmu pengetahuan.

Jember, 16 April 2023

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan perbankan menunjukkan dinamika dalam kehidupan


ekonomi. Sebelum sampai pada praktik-praktik yang terjadi saat ini, ada banyak
permasalahan yang terkait dengan masalah-masalah perbankan ini. Masalah utama
yang muncul dalam praktik perbankan ini adalah pengaturan sistem keuangan
yang berkaitan dengan mekanisme penentuan volume uang yang beredar dalam
perekonomian. Sistem keuangan, yang terdiri dari otoritas keuangan (financial
authorities), sistem perbankan dan sistem lembaga keuangan bukan bank, pada
dasarnya merupakan tatanan dalam perekonomian suatu Negara yang memiliki
peran utama dalam menyediakan fasilitas jasa-jasa keuangan. Fasilitas jasa
tersebut diberikan oleh lembaga-lembaga keuangan, termasuk pasar uang dan
pasar modal. Secara umum lembaga keuangan dapat dikelompokan dalam dua
bentuk yaitu lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank. Sistem
perbankan di Indonesia dibedakan berdasarkan fungsinya yang terdiri dari Bank
Sentral, Bank Umum, dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Bank Umum, dapat
menghimpun dana dari masyarakat secara langsung dalam bentuk simpanan giro,
tabungan dan deposito berjangka, lalu menyalurkan kepada masyarakat terutama
dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya. Bank umum dalam kegiatannya
memberikan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sementara itu, Bank
Perkreditan Rakyat, berdasarkan peraturan perundangundangan, dalam
pelaksanaan kegiatannya menghimpun dana, dapat menerima tabungan dan
deposito berjangka, namun tidak diperkenankan menerima simpanan giro dan
tidak diperkenankan member jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sedangkan
jenis lembaga keuangan bukan bank dapat berupa lembaga pembiayaan,
perusahaan model ventura, perusahaan anjak piutang, perusahaan pembiayaan
konsumen, perusahaan kartu kredit, dana pensiun, pegadaian, pasar modal dan
lain-lain.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sistem Perbankan di Indonesia
2. Bagaimana Kebijakan Perbankan: Sebelum, Saat, Sesudah Krisis 1997
3. Restrukturisasi Perbankan
1.3 Tujuan Masalah
1. untuk mengetahui sistem perbankan di Indonesia
2. untuk mengetahui kondisis kebijakan perbankan sebelum, saat, dan
sesudah krisis 1997
3. untuk mengetahui restrukturisasi perbankan
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sistem Perbankan di Indonesia


Bank-bank yang beroperasi di Indonesia saat ini pada dasarnya dikelompokkan ke
dalam Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Sedangkan Bank
Indonesia berfungsi sebagai bank sentral. Namun demikian, sejalan dengan
terjadinya perubahan dalam sistem keuangan terutama yang terkait dengan
kelembagaan perbankan sebagai dampak dikeluarkannya undang-undang di
bidang keuangan dan perbankan.
Definisi Bank (menurut UU No.10 Tahun1998) Badan usaha yang kegiatannya
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan
kepada masyarakat dalam bentuk kredit guna meningkatkan taraf hidup
masyarakat.
Pengelompokan Bank Umum
1. Aspek Fungsi
a. Bank Sentral, adalah bank yang merupakan badan hukum milik
Negara yang tugas pokoknya membantu pemerintah, contoh : Bank
Indonesia
b. Bank Umum, adalah bank yang sumber utama dananya berasal dari
simpanan pihak ketiga, serta pemberian kredit jangka pendek
dalam penyaluran dana, contoh : BNI, BRI, dll.
c. Bank Pembangunan, adalah bank yang dalam pengumpulan
dananya berasal dari penerimaan simpanan deposito serta
commercial paper, contoh : Bank Jatim, Bank DKI, dll.
d. Bank Desa, adalah kantor bank di suatu desa yang tugas utamanya
adalah melaksanakan fungsi perkreditan dan penghimpunan dana
dalam rangka program pemerintah memajukan pembangunan desa.
e. BPR, adalah kantor bank di kota kecamatan yang merupakan unsur
penghimpun dana masyarakat maupun menyalurkan dana nya di
sektor pertanian dan pedesaan.
2. Status Kepemilikan
a. Bank Milik Negara, adalah bank yang seluruh modalnya berasal
dari kekayaan Negara yang dipisahkan dan pendiriannya di bawah
UU tersendiri, contoh : BNI, BRI, BTN.
b. Bank Milik Swasta Nasional, adalah bank milik swasta yang
didirikan dalam bentuk perseroan terbatas, di mana seluruh
sahamnya dimiliki oleh WNI dan/ atau badan-badan hukum di
Indonesia, contoh : BCA, Bank Mega, Bank Danamon.
c. Bank Swasta Asing, adalah bank yang didirikan dalam bentuk
cabang bank yang sudah ada di luar negeri atau dalam bentuk
campuran antara bank asing dengan bank nasional yang sudah ada
di Indonesia. Bank asing ini hanya diperkenankan menjalankan
operasinya di lima kota besar di Indonesia, contoh : Citibank,
HSBC.
d. Bank Pembangunan Daerah, adalah bank yang pendiriannya
berdasarkan peraturan daerah propinsi dan sebagian besar
sahamnya dimiliki oleh pemerintah kota dan pemerintah
kabupaten, di wilayah yang bersangkutan, dan modalnya
merupakan harta kekayaan pemerintah daerah yang dipisahkan,
contoh : Bank Jatim.
e. Bank Campuran, adalah bank yang sebagian sahamnya dimiliki
oleh pihak asing dan pihak swasta nasional, contoh : Bank UOB
Buana, ANZ Panin Bank.
3. Kegiatan Operasional
a. Bank Devisa, adalah bank yang mempunyai hak dan wewenang
yang diberikan oleh Bank Indonesia untuk melakukan transaksi
valuta asing dan lalu lintas devisa serta hubungan koresponden
dengan bank asing di luar negeri, contoh : BCA, Bank Mega, Bank
Bukopin.
b. Bank Nondevisa, adalah bank yang operasionalnya hanya
melaksanakan transaksi di dalam negeri, tidak melakukan transaksi
valuta asing, dan tidak melakukan hubungan dengan bank asing di
luar negeri.
4. Penciptaan Uang Giral
a. Bank Primer, adalah bank yang dalam kegiatan operasionalnya
tidak sekedar menghimpun dan menyalurkan dana nya, tetapi juga
melaksanakan semua transaksi yang berhubungan langsung dengan
kas.
b. Bank Sekunder, adalah bank yang kegiatan operasionalnya hanya
sekedar melaksanakan transaksi kas secara langsung.
5. Sistem Organisasi
a. Unit Banking System, adalah bank yang kegiatan operasionalnya
hanya mempunyai satu kantor saja dan melayani masyarakat di
sekitar wilayah itu. Contoh : BPR baik konvensional maupun
syariah.
b. Branch Banking Syistem, adalah bank yang kegiatan
operasionalnya di beberapa wilayah dan memiliki beberapa kantor
cabang, di mana sistem organisasi, keuangan, dan sumber daya
manusia terkait dengan kantor pusat. Contoh : Bank Danamon,
Bank Mega, Bank BCA.
Fungsi Bank Secara umum, fungsi utama bank adalah menghimpun dana dari
masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat untuk berbagai
tujuan. Misalnya adalah :
a. Agent of Trust
Dasar utama kegiatan perbankan adalah kepercayaan, baik dalam hal
penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Masyarakat akan mau
menitipkan dananya di bank apabila dilandasi adanya unsur kepercayaan.
Masyarakat percaya bahwa uangnya tidak akan disalahgunakan oleh bank,
uangnya akan dikelola dengan baik, bank tidak akan bangkrut, dan pada
saat yang telah dijanjikan simpanan tersebut dapat ditarik kembali dari
bank.
b. Agent of development
Kegiatan perekonomian masyarakat di sektor moneter dan sektor riil tidak
dapat dipisahkan. Sektor riil tidak akan dapat bekerja dengan baik apabila
sektor moneter tidak bekerja dengan baik. Kegiatan bank berupa
penghimpunan dan penyaluran dana sangat diperlukan bagi lancarnya
kegiatan perekonomian sektor riil. Kegiatan bank tersebut dapat
mendorong masyarakat melakukan kegiatan investasi, kegiatan distribusi,
serta kegiatan konsumsi barang dan jasa. Dan kelancaran kegiatan
investasi-distribusikonsumsi ini tidak lain adalah kegiatan pembangunan
perekonomian suatu masyarakat.
c. Agent of Service
Bank memberikan penawaran jasa perbankan yang lain kepada
masyarakat. Jasa yang ditawarkan bank ini erat kaitanya dengan kegiatan
perekonomian masyarakat secara umum. Berupa jasa pengiriman uang,
penitipan barang berharga, pemberian jaminan bank, dan penyelesaian
tagihan
2.2 Kebijakan Perbankan: Sebelum, Saat, dan Sesudah Krisis 1997
1. Kebijakan Moneter Periode Pre-Krisis Ekonomi 1997
Pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang moneter mengalami evolusi sesuai
dengan pasang-surut perkembangan ekonomi dan iklim politik bangsa Indonesia.
Perkembangan ekonomi sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan kebijakan
moneter tidak hanya karena kebijakan moneter itu diarahkan untuk mempengaruhi
berbagai variabel ekonomi makro, khususnya inflasi dan pertumbuhan ekonomi,
tetapi juga karena perkembangan ekonomi akan menentukan bagaimana reaksi
Bank Indonesia merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneternya. Secara
khusus, perkembangan sektor keuangan sangat mempengaruhi pelaksanaan
kebijakan moneter karena mekanisme transmisi kebijakan moneter pada dasarnya
terjadi melalui sektor keuangan, sesuai dengan fungsinya dalam intermediasi
keuangan. Sementara itu, perjalanan politik bangsa Indonesia secara langsung
maupun tidak langsung juga menyebabkan terjadinya pergeseran peranan Bank
Indonesia. Hal ini terutama karena pelaksanaan kebijakan ekonomi makro,
termasuk kebijakan moneter, tidak dapat dilepaskan dari tatanan dan iklim politik
suatu negara. Dengan kata lain, pelaksanaan kebijakan moneter sering kali
dikaitkan dengan pelaksanaan agenda politik pemerintah yang berkuasa, khusunya
di negara-negara yang sedang berkembang.
a. Periode 1945-1952
Pada awal kemerdekaan, untuk pertama kalinya pemerintah Indonesia
mengambil keputusan untuk mendirikan bank sirkulasi berbentuk bank
milik negara, dan dalam pelaksanaannya berupa pendirian Bank Negara
Indonesia (BNI) dan Bank rakyat Indonesia (BRI) pada tahun 1946. Kedua
bank milik negara tersebut dan beberapa bank swasta yang ditunjuk
pemerintah melaksanakan penukaran mata uang Hindia Belanda dan
Jepang dengan mata uang Republik Indonesia (ORI) yang dikeluarkan
oleh pemerintah Indonesia. Tujuan pengeluaran/pengedaran ORI tersebut
adalah untuk menggantikan peranan mata uang Hindia Belanda dan Jepang
dalam perekonomian Indonesia. Dalam perjalanannya, penggunaan ORI
hanya mencapai usia 3 tahun 5 bulan, sebelum akhirnya ditarik dari
peredaran dan diganti dengan uang De Javasche Bank. De Javasche Bank
akhirnya diputuskan sebagai bank sentral pada penyerahan kedaulatan
Indonesia pada pemerintah Republik Indonesia Serikat. Beberapa waktu
setelah pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
dilakukan nasionalisasi terhadap De Javasche Bank melalui Undang-
Undang Nasionalisasi De Javasche Bank pada tanggal 6 Desember 1951.
b. Periode Tahun 1953-1967
Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintah Indonesi mengeluarkan UU
No.11 Tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia sebagai pengganti
Javasche Bank wet tahun 1922. Dengan undang-undang tersebut
dibentuklah Dewan Moneter, dan Menteri Keuangan bertindak sebagai
Ketua, sementara Menteri Ekonomi dan Gubernur Bank Indonesia
bertindak sebagai anggota. Dewan Moneter mempunyai berbagai tugas
dan kewenangan yang terkait erat dengan upaya-upaya untuk
mengendalikan kondisi moneter, antara lain menentuan kebijakan moneter
secara umum, mengatur dan menstabilkan mata uang, serta memajukan
urusan kredit dan perbankan pada umumnya . Dengan dibelakukannya UU
No.11 Tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia, tuntutan yang sangat
besar diarahkan kepada Bank Indonesia untuk ikut serta secara aktif dalam
menata dan mengembangkan perekonomian nasional yang pada waktu itu
mengalami banyak permasalahan. Fokus dari peran yang diinginkan
banyak terkait dengan fungsi Bank Indonesia sebagai bank sirkulasi.
Tantangan terbesar pada masa ini adalah menyatukan mata uang yang
pada waktu telah banyak beredar dan berbeda-beda di berbagai wilayah
Indonesia. Karena itu, Bank Indonesia dituntut untuk menerbitkan mata
uang baru, rupiah, sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah di
seluruh wilayah negara Indonesia menggantikan mata-mata uang yang ada
di masing-masing daerah. Satu hal yang menarik adalah bahwa nilai
pembanding atau paritas yang digunakan untuk penukaran mata uang
suatu daerah dengan mata uang rupiah didasarkan pada perkiraan jumlah
uang beredar sesuai dengan kebutuhan perekonomian daerah yang
bersangkutan. Inilah merupakan contoh kongkrit bagaimana peran bank
sirkulasi dan kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonesia, yang
tidak saja sesuai dengan kondisi perekonomian yang pada waktu itu masih
relatif tradisional, tetapi juga diarahkan untuk mendukung persatuan dan
kesatuan negara yang baru merdeka.

2. Periode deregulasi, debirokratisasi, dan liberalisasi ekonomi (1983-1997)

Pada awal dekade 1980-an terjadi kemerosotan harga minyak di pasar


dunia sebagai akibat adanya kecenderungan terjadinya resesi dunia. Hal ini telah
menyebabkan terbatasnya penerimaan negara untuk pembiayaan Anggaran
Penrimaan dan Belanja Negara (APBN). Dominasi Pemerintah dalam menopang
peningkatan kegiatan ekonomi tidak dapat lagi dipertahankan, dan akibatnya
kelangsungan pembangunan nasional terancam. Karena itu, Pemerintah kemudian
menempuh serangkaian kebijakan reformasi di bidang ekonomi untuk mengatasi
ancaman krisis karena merosotnya harga minyak tersebut. Tujuannya adalah
untuk menumbuhkan, mendorong, dan meningkatkan peran sektor swasta dalam
setiap aspek kehidupan ekonomi untuk menggantikan peran Pemerintah dalam
rangka mempertahankan pembangunan nasional. Karena itu, sejak awal dekade
1980-an Pemerintah menempuh kebijakan deregulasi, debirokratisasi, dan bahkan
liberalisasi di berbagai sektor ekonomi, baik sektor perbankan dan keuangan,
perdagangan, investasi, dan sebagainya.
Pada 1 Juni 1983 Pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi
perbankan, yang menandai era liberalisasi di sektor perbankan khususnya dan
sektor keuangan pada umumnya. Kebijakan ini telah mendorong begitu pesatnya
perkembangan sektor perbankan dan keuangan di Indonesia. Hal ini tidak saja
dapat dilihat dari jumlah bank yang beroperasi, besarnya dana masyarakat yang
dapat dimobilisasi baik dalam bentuk giro, tabungan dan deposito, tetapi juga
dalam bentuk kredit dan jenis pembiayaan lainnya yang disediakan oleh
perbankan untuk dunia usaha.
Demikian pula di pasar keuangan, terjadi perkembangan yang pesat baik
dari sisi volume transaksi keuangan maupun berbagai produk keuangan (saham,
obligasi, surat-surat berharga, dan produk-produk derivati) yang diperdagangkan.
Dengan perkembangan seperti ini, semakin banyak dana yang berputar di sektor
keuangan dan mempengaruhi keeratan hubungan antara uang, inflasi, dan output
dibanding dengan periode sebelumnya. Kondisi ekonomi, khususnya sektor
keuangan, seperti ini telah membawa implikasi mendasar pada pelaksanaan
kebijakan moneter oleh Bank Indonesia. Kebijakan moneter yang sebelumnya
dilakukan secara langsung dengan selective credit policy mulai beralih ke cara-
cara tidak langsung dan berorientasi pasar, antara lain dengan melakukan operasi
di pasar uang (operasi pasar terbuka) untuk mengendalikan likuiditas
perekonomian. Pengendalian moneter diarahkan pada jumlah uang beredar (M1
dan M2) sebagai sasaran antara dan uang primer (M0) sebagai sasaran
operasional. Sementara itu, operasi di pasar uang dilakukan melalui lelang
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang mulai diterbitkan pada tahun 1984 sebagai
instrumen utama kebijakan moneter. Pengendalian likuiditas juga dibantu dengan
intervensi di pasar uang rupiah dengan cara memberi pinjaman jangka pendek
antara overnight hingga tujuh hari. Operasi di pasar uang dimaksud diarahkan
untuk mencapai sasaran operasional uang primer tersebut untuk diarahkan agar
sasaran antara jumlah uang beredar (M1 dan M2) tetap terkendali sesuai dengan
perkiraan yang telah ditetapkan.
Dalam perkembangan selanjutnya, untuk mendorong kegiatan ekonomi
dalam negeri dalam menghadapi persaingan global, pada 1988 pemerintah
mengeluarkan paket kebijakan 27 Oktober 1988, yang secara umum merupakan
paket penyempurnaan kebijakan di bidang keuangan, moneter, dan perbankan.29
Dalam hubungannya dengan upaya peningkatan efektivitas pengendalian moneter,
langkah-langkah yang ditempuh antara lain adalah penurunan reserve requirement
dari 15% menjadi 2%. Selain itu, di bidang perbankan, dilakukan penciptaan iklim
persaingan yang lebih kondusif melalui perlonggaran izin pendirian bank-bank
baru dan bank campuran. Kebijakan deregulasi yang cukup longgar tersebut telah
mengakibatkan perkembangan yang sangat pesat sektor perbankan dan keuangan
di Indonesia.
Sejalan dengan pesatnya perkembangan perbankan dan pasar keuangan di
Indonesia tersebut, timbul permasalahan baru dalam pelaksanaan kebijakan
moneter, khususnya berkaitan dengan uapaya pengendalian jumlah uang beredar
(M1 dan M2). Operasi dan produk perbankan baik dalam memobilisasi dana
maupun dalam pembiayaan dunia usaha tidak hanya terbatas pada rekening giro,
tabungan, deposito, ataupun kredit, tetapi juga telah bervariasi dalam berbagai
bentuk instrumen pasar uang seperti negotiable certificate of deposits, commercial
papers, promissory notes, Automated Teller Machines (ATMs), dan sebagainya.
Di sisi lain, perkembangan pasar modal sendiri juga telah demikian pesat, baik
dalam bentuk volume transaksi maupun jesnis suratsurat berharga yang
diperdagangkan. Akibatnya, terjadi kecenderungan adanya decoupling ‘pelepasan’
keterkaitan antara sektor keuangan dan sektor riil, sehingga menyebabkan
semakin renggangnya hubungan antara uang beredar dengan inflasi dan output
riil, khususnya dalam jangka pendek.
Selain itu, sebagai dampak dari liberalisasi sektor keuangan, aliran dana
yang masuk ke perekonomian Indonesia, khususnya pinjaman luar negeri swasta,
demikian besar dan pesat. Hal ini juga memanfaatkan periode boom dalam
perekonomian Indonesia dan didukung oleh gelombang globalisasi di sektor
keuangan, perdagangan, dan investasi yang demikian pesat pada waktu itu. Di
satu sisi, besarnya aliran dana luar negeri tersebut mampu menutup kesenjangan
tabungan-investasi (saving-investment gap) sehingga dapat mendorong
peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Namun, di sisi
lain aliran dana luar negeri tersebut juga kemudian menimbulkan sejumlah
permasalahan. Dana luar negeri tersebut pada umumnya berupa pinjaman luar
negeri swasta, berjangka pendek, tidak memperhitungakn risiko perubahan nilai
tukar, dan banyak dimanfaatkan untuk membiayai proyek proyek swasta yang
berjangka panjang dan tidak menghasilkan devisa. Dari sisi moneter, besar dan
mobilitas aliran dana luar negeri tersebut juga mempersulit pelaksanaan kebijakan
moneter oleh Bank Indonesia.
Untuk menghindari dampak negatif dari ekspansi uang beredar yang
berasal dari aliran dana luar negeri tersebut terhadap peningkatan inflasi dan
kestabilan nilai tukar rupiah, Bank Indonesia melakukan penyerapan kelebihan
likuditas dalam perekonomian sehingga mendorong kenaikan suku bunga dalam
negeri. Namun, kenaikan suku bunga ini semakin mendorong masuknya aliran
dana luar negeri tersebut, khususnya dalam bentuk surat-surat berharga yang
berjangka pendek. Akibatnya, seperti telah kita ketahui bersama, jumlah pinjaman
luar negeri swasta dalam berbagai bentuk dan jangka waktunya semakin
membesar. Kondisi ini diperburuk lagi dengan tidak dijalankan proyek-proyek
swasta yang dibiayai dari pinjaman luar negeri tersebut sesuai dengan prinsip-
prinsip pengelolaan usaha yang sehat (good corporate governance) sehingga
menjadi penyebab utama dari krisis sejak tahun 1997.

3. Kebijakan moneter periode setelah krisis ekonomi 1997

Krisis yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 telah menimbulkan


berbagai permasalahan yang demikian sulit dan kompleks di berbagai bidang.
Krisis yang mulanya berasal dari krisis moneter telah berubah cepat menjadi krisis
ekonomi, krisis sosial budaya, krisis politik, sehingga menjadi “krisis multi-
dimensi”. Salah satu pemicu utama krisis tersebut adalah terjadinya kelangkaan
dana perbankan sebagai akibat penarikan dana oleh masyarakat yang sangat besar.
Ditambah dengan semakin melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS,
kepercayaan masyarakat terhadap rupiah semakin berkurang sehingga nilai tukar
rupiah terus mengalami penurunan yang sangat tajam. Untuk mencegah
kehancuran sektor perbankan, Pemerintah (Bank Indonesia) menyuntik dana ke
sektor perbankan dalam jumlah yang sangat besar, yang selanjutnya berakibat
pada melonjaknya laju inflasi. Di sisi lain, Bank Indonesia harus menyerap
kelebihan likuiditas di masyarakat melalui kebijakan moneter kontraktif, yang
berakibat pada naiknya suku bunga dan persoalan lain di pasar keuangan secara
keseluruhan.
Kondisi krisis tersebut menunjukkan bahwa dalam pembangunan nasional
yang dilaksanakan pada masa sebelum terjadinya krisis ekonomi mengandung
banyak kelemahan struktur dan sistem perekonomian yang menimbulkan
penyimpangan-penyimpangan atau distorsi ekonomi. Kondisi ini telah
menyebabkan lemah dan tidak sehatnya struktur perekonomian nasional. Di sisi
lain, perkembangan ekonomi internasional mengalami perubahan yang cepat dan
mendasar menuju kepada sistem ekonomi global yang ditandai dengan semakin
terintegrasinya pasar keuangan dunia yang memudahkan pergerakan aliran dana
luar negeri disertai dengan semakin ketatnya persaingan di dunia internasional.
Selain menguntungkan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional,
pergerakan aliran dana luar negeri juga meningkatkan kerentanan perekonomian
nasional. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu diupayakan pemecahannya yang
sekaligus dapat meletakkan landasan perekonomian nasional yang kukuh melalui
strategi pembangunan yang tepat dalam rangka mewujudkan perekonomian
nasional yang mampu bersaing di kancah perekonomian internasional.
Guna mewujudkan perekonomian yang kukuh tersebut perlu diadakan
penyesuaian berbagai kebijakan ekonomi yang selama ini telah ditempuh di
Indonesia. Kebijakan moneter yang merupakan salah satu bagian penting dari
kebijakan pembangunan ekonomi nasional harus lebih diarahkan kepada upaya
untuk menciptakan dan menjaga stabilitas moneter. Temuan empiris dari
pengalaman berbagai negara, dan pengalaman selama ini di Indonesia seperti telah
diuraikan pada bagian bagian sebelumnya, menunjukkan bahwa kebijakan
moneter akan lebih optimal apabila difokuskan pada pemeliharaan stabilitas
moneter. Dengan terfokusnya tujuan kebijakan moneter, maka tanggung jawab,
tujuan, dan tugas Bank Indonesia menjadi lebih jelas dan terarah.
2.3 Restrukturisasi Perbankan
1. Restrukturisasi perbankan sebagai bagian integral dari paket stabilisasi dan
pemulihan ekonomi.

Di banyak negara yang dinilai berhasil dalam melaksanakan


restrukturisasi perbankan yang sistemik menempatkan program tersebut dalam
suatu paket stabilisasi dan pemulihan ekonomi. Motivasi yang melandasi
strategi tersebut pada dasarnya didorong oleh kenyataan bahwa
prosespenyehatan perbankan secara mikromemiliki pula dampak
makroekonomiyang penting untuk dikendalikan.
Dampak makroekonomi darirestrukturisasi perbankan secararingkas
dapat dilihat dari sudut fiskal,moneter, dan permintaan ataupenawaran
aggregat. Dari aspek fiskal,intervensi pemerintah dan bank sentraldalam proses
restrukturisasi perbankan seringkali membawa beban fiskal ataupun quasi-
fiskal yang berat. Tidak jarang hal ini mengakibatkan defisit fiskal dan
peningkatan utangpemerintah yang amat besar sehingga mengganggu kestabilan
makroekonomi. Dari aspekmoneter, upaya melindungi sistempembayaran
nasional dari kelum–puhan akibat pelarian-simpanan yangsistemik seringkali
pula memerlukantindakan darurat berupa pemberianlikuiditas dari bank
sentral sebagailender of the last resort. Namun, hal iniakan mengakibatkan
ekspansi uangberedar yang seringkali sangat besardan mungkin akan
bertentangandengan tujuan meredam tekanan-tekanan terhadap inflasi dan
nilaitukar yang biasanya muncul dalamsituasi krisis keuangan yang
sistemik.Proses restrukturisasi perbankan jugaakan dapat mempengaruhi
keter–sediaan dan proses alokasi kreditsehingga respons dari
kegiatanproduksi dan investasi akantergantung kepada seberapa
cepatrestrukturisasi perbankan dilakukan.Selain itu, alokasi ‘loss” (allocation
ofloss) dalam proses restrukturisasiperbankan akan mempengaruhi kekayaan
dari para pemilik bank, kreditur bank, dan deposan, sehingga memiliki
dimensisosial dan politik yang cukup sensitif bila tidak ditangani secara baik.
Dengan menyadari terdapatnya berbagai aspek makro di atas,
restrukturisasi perbankan di banyak negara rujukan umumnya dirancang
dalam suatu program yang bersifat komprehensif, mencakup baik upaya
penyehatan individual bank dan sistemperbankan maupun pertimbangan
dampaknya bagi pemulihan kondisi makroekonomi.Konflik dalam mencapai
sasaran mikro dan makro seperti diuraikan di atas seringkalitidak
terhindarkan. Namun, pengalaman di negara-negara rujukan menunjukkan
bahwakonflik akan dapat dikendalikan apabila pilihan instrumen yang
digunakan dapatmeminimalkan moral hazard, menggunakan biaya yang
minimum, serta menciptakansistem insentif yang sehat bagi pemilik dan
pengelola bank untuk senantiasa memeliharakesehatan bank secara
berkesinambungan.
Patut dikemukakan bahwa keputusan untuk melakukan restrukturisasi
perbankanyang komprehensif di negara-negara rujukan tersebut
mencerminkan kemampuanmereka mengenali luas dan dalamnya
permasalahan (properdiagnosis) serta adanya visiyang jelas mengenai arah
penyelesaian krisis perbankan yang dihadapi. Hal-hal inimemungkinkan
langkah-langkah korektif yang diambil dapat ditempuh dengan cepat(prompt
action) sehingga ikut mengurangi terjadinya kerugian yang lebih besar seandainya
proses restrukturisasi ditunda-tunda.
2. Strategi restrukturisasi perbankan
Program restrukturisasi perbankan yang komprehensif memiliki
sasaran untukmenyehatkan posisi keuangan dan operasional bank secara
individu, mengatasikelemahan dan kekurangan yang terdapat di dalam
lingkungan operasi dan konfigurasisistem perbankan, serta memulihkan
kepercayaan masyarakat. Meskipun tidak ada suaturesep yang dapat berlaku
secara umum, pengalaman di negara-negara rujukanmenunjukkan bahwa selain
komprehensif, suatu strategi restrukturisasi perbankan yangberhasil memiliki ciri-
ciri dapat dilaksanakan dengan cepat (prompt action), menerapkanexit policy
yang tegas, serta memiliki suatu badan pengendali (lead agency)
yangberwenang penuh melaksanakan restrukturisasi perbankan.
Secara teknis, inti dari setiap strategi restrukturisasi perbankan
menyangkut upayamempercepat penyelesaian masalah solvabilitas (masalah
stock) dan pemulihan profitabilitas (masalah flow) perbankan. Penyelesaian
masalah stock berkaitan denganneraca suatu bank, yakni di sisi aktiva akan
terkait terutama dengan penyelesaian kreditbermasalah sedangkan di sisi pasiva
akan lebih berkaitan dengan upaya rekapitalisasibank. Instrumen yang
banyak digunakan dalam penyelesaian masalah stock ini dapatdilihat pada
lampiran.
Namun, penyelesaian masalah solvabilitas saja tidaklah cukup untuk
menyehatkansistem perbankan secara berkesinambungan. Upaya pemulihan
profitabilitas danpencegahan munculnya kembali kerugian harus pula
dilakukan segera setelah masalahstock dapat diselesaikan atau paling tidak
setelah program yang jelas telah dimiliki. Halini terutama berkaitan dengan
penyempurnaan sistem akunting, kerangka hukum danketentuan prudensial
yang melandasi operasi bank, struktur kelembagaan sertapenyempurnaan
supervisi perbankan. Patut dikemukakan, survei yang dilakukan IMF(1997),
menemukan banyak negara yang berhasil dalam menyelesaikan masalah
stock,tetapi hanya sebagian saja yang berhasil memecahkan masalah flow.
Fakta inimenunjukkan bahwa strategi restrukturisasi perbankan yang baik
harus mencakuppenyehatan individual bank dan sistemnya, serta lingkungan
eksternal yang kondusifbagi kesehatan operasionalnya.
Secara garis besar strategi restrukturisasi perbankan yang ditempuh di
banyak negara dapat dilihat dari tiga aspek, yakni:
a. Bagaimana menstabilkan sistem keuangan/perbankan secepat mungkin.
Strategi yangditerapkan disini bertujuan untuk meredam krisis,
memulihkan kepercayaandeposan, dan melindungi sistem pembayaran
nasional secepat mungkin. Namun,dalam situasi situasi krisis yang
sistemik dengan pelarian simpanan yang sangat besarmaka strategi
kebijakan dan instrumen yang tersedia menjadi amat terbatas.
Olehkarena itu, di banyak negara penyediaan likuiditas oleh bank
sentral sebagai lenderof the last resort, dan likuiditas darurat lainnya
seperti kemudahan overdraft bagibank-bank sering dilakukan bila
fasilitas likuiditas yang normal tidak mencukupi.Di beberapa negara
seperti Swedia, Turki, Finlandia, Thailand, dan Korea penerapanskim
jaminan yang menyeluruh (blanket guarantee sheme) baik kepada
deposanmaupun kreditur menjadi bagian yang cukup berhasil dalam
menstabilkan sistemkeuangan secara menyeluruh. Namun, keberhasilan
dari strategi ini akan sangattergantung kepada kemampuan untuk
meminimalkan moral hazard baik melalui penalti suku bunga yang
tinggi ataupun bentuk penalti nonmoneter seperti penggantianmanajemen,
penguasaan aset/kepemilikan bank, dan sebagainya.
b. Bagaimana menyelesaikan masalah solvabilitas (stock) bank. Setelah
krisis dapat dikendalikanmaka restrukturisasi perbankan diarahkan
untuk memulihkan kesehatan posisikeuangan perbankan melalui
restrukturisasi keuangan (financial restructuring), baik disisi aktiva
maupun sisi pasiva. Instrumen yang digunakan di banyak negara
sangatbervariasi tergantung kepada sumber dan intensitas permasalahan
yang dihadapi. Masalah yang akan dihadapi adalah bagaimana dampak
dari instrumenyang digunakan kepada kondisi moneter dan fiskal,
distribusi kerugian yang dibebankankepada pemerintah, pemilik bank,
kreditur, dan deposan, serta efektivitas pengembaliankredit bermasalah
(loan recovery). Hal-hal ini akan kritikal bagi pengendalian moneteryang
independen dan pengurangan moral hazard.
c. Bagaimana mendorong perbankan kembali beroperasi secara sehat.
Seperti disinggungsebelumnya, penyehatan posisi keuangan bank tidak
akan lengkap bila tidak diikutioleh perbaikan lingkungan eksternal tempat
beroperasinya perbankan (restrukturisasioperasional). Oleh karena itu,
strategi restrukturisasi perbankan dalam tahaprestrukturisasi operasional
diarahkan untuk menjawab kelemahan-kelemahan yangada dalam sistem
akunting, konfigurasi sektor perbankan dan kerangka hukum yangakan
mempengaruhi gerak operasional perbankan di masa depan. Dalam
praktiknya,langkah-langkah yang diambil di banyak negara berkaitan
dengan upayamenciptakan sistem perbankan yang dapat mendorong
disiplin pasar (marketdiscipline) melalui kompetisi dan exit-policy
yang tegas. Dilihat dari sisi otoritasperbankan maka ini berarti akan
menyangkut pula penyempurnaan aspek kerangkahukum dan supervisi
perbankan
3. Aspek hukum dan politik dari restrukturisasi perbankan
Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa restrukturisasi
perbankansecara sistemik merupakan suatu proses yang panjang (multi-tahun) dan
penyelesaiannyasering bersinggungan dengan dimensi sosial dan politik. Hal
ini dapat dimengertimengingat krisis perbankan yang sistemik memberikan
dampak negatif yang amat luasdi dalam suatu perekonomian. Munculnya
resistensi terhadap perubahan drastis yangdiperlukan dalam mengatasi krisis
perbankan mengakibatkan banyaknya benturankepentingan, baik di tingkat
pemerintahan, dunia usaha, maupun masyarakat luas. Dalambanyak kasus,
penyelesaian konflik yang kurang efektif akibat ketiadaan konsensusnasional
dan dukungan politik serta landasan hukum yang tegas menjadikan
prosesrestrukturisasi perbankan tertunda-tunda. Apabila ini terjadi maka program
restrukturisasi perbankan akan berjalan sangat lambat dan pada akhirnya
memerlukan langkah korektifyang lebih drastis dan biaya fiskal yang amat besar.
Pengalaman di Swedia merupakan contoh suatu proses restrukturisasi
perbankanyang berhasil karena dapat dijalankan dengan cepat dan biaya
yang relatif kecil berkatadanya dukungan yang kuat dari sisi politik dan hukum.
Dalam kasus lain, penyelesaiankrisis perbankan sering tertunda-tunda karena
tidak adanya visi yang sama dan badanpengendali restrukturisasi perbankan
yang kuat dan independen. Berdasarkanpengamatan ini, Andrew Sheng (1992)
menyimpulkan bahwa keberhasilan restrukturisasiperbankan memerlukan kondisi-
kondisi umum:
a. Terciptanya kondisi makroekonomi yang stabil dan sektor riil yang
kompetitif
b. Kemauan politik yang kuat untuk melakukan restrukturisasi
c. Perangkat institusi dan instrumen restrukturisasi perbankan yang efektif
d. Ketentuan hukum (legal framework) yang mampu menciptakan disiplin
keuangan
Keempat aspek di atas menunjukkan bahwa kelancaran dan keberhasilan
programrestrukturisasi perbankan akan menyangkut konsistensi program tersebut
dengan aspekmakro, mikro, kelembagaan dan aturan hukum yang melandasi
bekerjanya sistemperbankan. Dua di antaranya terkait dengan pentingnya peranan
dukungan politik danhukum dalam keseluruhan proses restrukturisasi
perbankan.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Bank-bank yang beroperasi di Indonesia saat ini pada dasarnya
dikelompokkan ke dalam Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Definisi Bank Badan usaha yang kegiatannya menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit
guna meningkatkan taraf hidup masyarakat. Pengeelompokan bank terdiri dari
aspek fungsi, status kepemilikan, kegiatan operasional, penciptaan uang giral, dan
sistem organisasi. Serta dalam sejarahnya sendiri, kebijakan perbankan di
Indonesia mengalami berbagai macam perubahan hingga sekarang. Perubahan-
perubahan kebijakan tersebut bertujuan untuk kondisi moneter negara menjadi
lebih baik.
3.2 Saran
Dengan diselesaikan makalah ini, diharapakan agar para pembaca dapat
memahami secara rinci tentang sistem dan kebijakan perbankan. Kami dari
penyusun makalah ini menyadari bahwa makalah kami masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kami mengharap kepada pembaca yang dermawan atas
kritikan dan saran apabila mendapati penjelasan kami dalam makalah yang kurang
berkenan. Mungkin itu saja yang bisa kami sajikan kepada para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Ascarya. Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter. Seri Kebanksentralan


No.3, PPSK, Bank Indonesia, 2002.
Budisantoso, Totok dan Sigit Triandaru. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.
Jakarta: Salemba Empat, 2011.
Ibrahim, Maulana. Strategi Restrukturisasi Perbankan, Bahan Disukusi pada
SESPIBI XXIII, Jakarta, 1998.
Samuelson, Paul.A. dan William D. Nordhaus, Economics, 7th Edition, The
McGraw-Hill/Irwin, 2002.

Anda mungkin juga menyukai