Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PELATIHAN

ADVANCED TRAUMA LIFE SUPPORT (ATLS)

Gedung Baktikes Puskes TNI AD Jakarta Pusat

1-2 November 2019

OLEH :

dr Lalu Karisma Aditya

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PATUH PATUT PATJU GERUNG


LOMBOK BARAT
BAB 1

1.1 Latar Belakang

Advanced Trauma Life Support (ATLS) adalah sebuah program pelatihan bagi dokter
medis dalam pengelolaan akut trauma kasus, yang dikembangkan oleh American College of
Surgeons. Program ini telah diadopsi di seluruh dunia di lebih dari 40 negara, namun ada juga
dibawah nama Emergency Management of Severe Trauma (EMST), khususnya di luar
Amerika Utara. Tujuannya adalah untuk mengajarkan pendekatan yang disederhanakan dan
standar untuk pasien trauma. Awalnya dirancang untuk situasi darurat di mana hanya satu
dokter dan satu perawat yang hadir, ATLS sekarang diterima secara luas sebagai standar
perawatan untuk penilaian awal dan pengobatan di pusat-pusat trauma.

Kursus ATLS menekankan pada kecepatan initial assesment dan primary treatment
pasien trauma, dimulai pada saat terjadi trauma dan dilanjutkan initial assesment, intervensi
lifesaving, reevaluasi, stabilisasi, dan jika diperlukan transfer ke trauma center. Kursus ATLS
di negara berkembang telah menurunkan mortalitas kasus trauma. Penurunan rate of deaths
perkapita dari kasus trauma dilaporkan oleh negara yang menerapkan prinsip ATLS.

Konsep ATLS  (Advanced Trauma Life Support) menjawab tantangan dalam


peningkatan kualitas penanganan trauma. Pelatihan ATLS dititik beratkan pada peningkatan
kemampuan berfikir secara konsepsional dan bertindak secara terampil bagi dokter dalam
menghadapi kasus trauma, khususnya bagi yang bertugas di gawat darurat Rumah Sakit.
Advanced Trauma live Support (ATLS) merupakan salah satu standar kompetensi
internasional  dokter (baik dokter umum maupun dokter spesialis) dalam hal penanganan
trauma dan bencana.  Pelatihan ini bukanlah pelatihan yang “biasa” karena menuntut
persiapan pengetahuan yang cukup sebelum kursus dilakukan

1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari pelatihan ini adalah:
 Memberikan pemahaman arti dan pentingnya masalah penanganan kasus
Kegawatdaruratan
 Memberikan pengetahuan dan keterampilan bagi para dokter untuk mengidentifikasi
dan mengelola pasien trauma yang terancam jiwanya dan potensial terancam jiwanya
dalam situasi tekanan ekstrim pada lingkungan dan mencemaskan di UGD
1.3. Manfaat
Setelah menyelesaikan pelatihan ATLS ini, maka para dokter akan mampu :
1. Mendemonstrasikan konsep dan prinsip primary Assesment dan secondary
assesment pada pasien trauma
2. Menetapkan prioritas pengelolaan pasien trauma
3. Memulai primary management and secondary management yang diperlukan
dalam the golden hour agar dapat melakukan penanggulangan pada kondisi
acute life threatening
4. Memberikan simulasi klinik dan praktek keterampilan bedah

1.4. Waktu dan Tempat


Tanggal : 1-2 November 2019
Tempat : Gedung Baktikes Puskes TNI AD Jakarta

1.5. PELAKSANAAN KEGIATAN

Hari 1, Tanggal 1 November 2019

1. Registration
2. Welcome and Introduction Overview of ATLS Course
3. Initial Assesment and Management – Interactive Discussion
4. Initial Assessment Video Primary and Secondary - Discussion
5. Airway and Ventilatory management - Interactive Discussion
6. Shock - Interactive Discussion
7. Thoracic Trauma - Interactive Discussion
8. Abdominal and Pelvic Trauma - Interactive Discussion
9. Head Trauma - Interactive Discussion
10. Spine and Spinal Cord Trauma - Interactive Discussion
11. Muskuloskeletal Trauma - Interactive Discussion
12. Thermal Injury - Interactive Discussion
13. Video Skill Animal - Interactive Discussion
14. Practical Skill Session : Cric/ Breathin/ Circulation Skill Station
 Vena Seksi
 Needle Cricothyroidektomi
 Surgical Cricothyroidektomi
 Pericardiosintesis
 Needle Decompresi
 WSD
 DPL
15. Diner Course

Hari 2, Tanggal 2 November 2019

1. Pediatric and Geriatric Trauma - Interactive Discussion


2. Trauma in Pregnancy and Intimate Partner Violence – Discussion
3. Transfer to Definitive Care, Triage, Disaster - Interactive Discussion
4. Practical Skill Stations :
5. Surgical Skill Session
- Adjuncts
- Besic and Advanced, pediatric Airway Management
- Disability
6. Triage Scenarios
7. Latihan Initial Assesment Pasien
8. Ujian Initial Assesment
9. Ujian Tulis
10. Dinner Course - Selesai
BAB 2

ISI DAN KEGIATAN PELATIHAN

2.1. Definisi ATLS

Advanced Trauma Life Support (ATLS) adalah sebuah program pelatihan bagi dokter
medis dalam pengelolaan akut trauma kasus, yang dikembangkan oleh American College of
Surgeons. Program serupa ada untuk perawat (ATCN) dan paramedis (PTLS).

Program ini telah diadopsi di seluruh dunia di lebih dari 40 negara, namun ada juga
dibawah nama Emergency Management of Severe Trauma (EMST), khususnya di luar
Amerika Utara. Tujuannya adalah untuk mengajarkan pendekatan yang disederhanakan dan
standar untuk pasien trauma. Awalnya dirancang untuk situasi darurat di mana hanya satu
dokter dan satu perawat yang hadir, ATLS sekarang diterima secara luas sebagai standar
perawatan untuk penilaian awal dan pengobatan di pusat-pusat trauma. Premis dari program
ATLS adalah menatalaksana ancaman terbesar bagi kehidupan. Hal ini juga pendukung
bahwa kurangnya diagnosis definitif dan rinci sejarah seharusnya tidak memperlambat
penerapan pengobatan diindikasikan untuk luka yang mengancam hidup, dengan waktu yang
paling penting dilakukan intervensi awal. Namun, bukti menunjukkan bahwa ATLS
meningkatkan prognosis pasien.

2.2 Sejarah ATLS

Pada bulan Februari 1976, sebuah tragedi terjadi yang mengubah sejarah perawatan
trauma bagi pasien cedera di Amerika Serikat dan di banyak bagian dunia. Dr Jim Styner,
seorang ahli bedah ortopedi, menaiki pesawat kecil yang jatuh ke dalam sebuah ladang
jagung di Nebraska pedesaan. Dr Styner menderita luka serius, tiga anak-anaknya menderita
luka kritis, dan satu anak menderita luka ringan. Istrinya tewas seketika. Perawatan yang ia
dan keluarganya terima tidak memadai oleh standar hari ini. Dokter bedah, mengenali
bagaimana perlakuan mereka tidak memadai, menyatakan, "Ketika saya dapat memberikan
perawatan yang lebih baik di lapangan dengan sumber daya yang terbatas dari apa yang anak-
anak saya dan saya diterima di fasilitas perawatan primer, ada sesuatu yang salah dengan
sistem, dan sistem harus diubah.”

Pada bulan Januari 1980, American College of Surgeons memperkenalkan Kursus


ATLS di AS dan luar negeri. Kanada bergabung dengan program ATLS tahun berikutnya.
Pada tahun 1986, beberapa negara di Amerika Latin bergabung dengan Komite ACS Trauma
dan memperkenalkan program ATLS di wilayah mereka. Sekarang, ATLS tersedia di hampir
60 negara. Di bawah naungan Komite Militer ACS Trauma, program telah dilakukan untuk
dokter militer AS di Amerika Serikat dan di seluruh dunia.

Selama lebih dari seperempat abad, American College of Surgeons Komite Trauma
telah mengajarkan kursus ATLS untuk lebih dari 1 juta dokter di lebih dari 50 negara. ATLS
telah menjadi dasar dari perawatan untuk pasien cedera dengan mengajar bahasa umum dan
pendekatan umum. Hasilnya adalah ATLS yang kontemporer dan bermakna dalam komunitas
global.

2.3 Prinsip ATLS

Pada prinsipnya ATLS menganut pedoman ABCDE (Airway, Breathing, Circulation,


Disabilitydan Exposure) pada setiap kasus emergensi, apapun itu, dan juga prinsip ini
menjadi prosedur tetap dasar yang sama yang dianut oleh seluruh dunia.

Pada ATLS kita mengenal tentang initial assessment (atau penilaian awal) yang mana terdiri
dari:
1. Persiapan Awal: 
Tahapan untuk mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan untuk proses primary
survey dan resusitasi, dan yang lebih penting lagi adalah alat proteksi diri (sarung tangan,
masker, kacamata, dll) untuk mencegah penularan penyakit yang mungkin dialami oleh
penderita trauma yang nantinya akan ditolong. 
2. Triage:
Adalah pengambilan keputusan oleh tenaga kesehatan untuk menentukkan pasien mana
yang harus diprioritaskan penangannanya terlebih dahulu berdasarkan jumlah sumber daya
yang tersedia. Contoh: jumlah korban yang melebihi kemampuan sumberdaya rumah
sakit, maka korban yang diprioritaskan adalah yang memiliki kemampuan survive (hidup)
lebih besar, dan sebaliknya jika jumlah korban tidak melebihi kemampuan sumberdaya
rumah sakit, maka korban yang diprioritaskan adalah korban yang sangat terancam
kehidupannya.
3. Primary Survey (ABCDE)
Merupakan penilaian cepat, untuk menemukan kondisi yang mengancam nyawa dan harus
segera ditangani pada SAAT ITU JUGA. Secara teoritis, ditulis secara berurutan
(ABCDE), namun pada kenyataannya dapat dilakukan secara simultan.
4. Resusitasi
Adalah tindakan cepat restorasi untuk penanganan kondisi yang mengancam nyawa, yang
ditemukan saat dilakukan primary survey 
5. Tambahan Pada Primary Survey
Pemeriksaan penunjang "terbatas" dan pemasangan alat untuk monitor atau evaluasi pasca
resusitasi, contoh pemasangan EKG, Pulse Oxymeter, Rontgen Cervical, Thorak, Pelvis,
Kateter Urine, dan nasogastric tube (NGT).
6. Pertimbangkan Rujukan
Pada fase ini, tenaga kesehatan telah memiliki informasi yang cukup tentang keadaan
pasien, dan telah mampu untuk membuat keputusan untuk merujuk atau hanya dirawat
setempat.
7. Secondary Survey
Adalah pemeriksaan lengkap yang dimulai dari anamnesis, riwayat trauma,
pemeriksaanhead to toe, dan pemeriksaan lengkap neurologis.
8. Tambahan Pada Secondary Survey
Pada bagian ini, pemeriksaan penunjang lengkap dapat dikerjakan, contoh Ct Scan, foto
polos kepala, foto abdomen, analisa gas darah dll. Namun, keputusan untuk pemeriksaan -
pemeriksaan ini, sebaiknya tidak sampai menyebabkan penundaan pada proses rujukan
pasien.
9. Re-evaluasi
Sangat penting untuk melakukan reevaluasi pasien, karena ada dugaan late onset atau
proses on going yang berlangsung. Contoh pasien cedera kepala + epidural hematom yang
mungkin pada awal masuk RS masih sadar, kemudian menjadi tidak sadar, dll.
10. Terapi Definitif
Adalah pengobatan beradasarkan penyebab perlukaan, contoh jika trauma tersebut disertai
fraktur maka harus dilakukan operasi ORIF atau OREF, atau pada pasien cardiac
tamponadedengan darah yang telah membeku maka dibutuhkan pericardioctomy dll.

2.4 Primary survey


Primary Survey, merupakan penilaian cepat oleh tenaga kesehatan terhadap keadaan yang
mengancam nyawa. Dari A sampai E.

2.4.1 Airway dengan kontrol servikal


a. Penilaian terhadap Airway
 Menilai patensi airway
 Menilai ada nya tanda-tanda obstruksi airway seperti :
- agitasi, sianosis, retraksi
- suara tambahan : snoring, gurgling, stridor
- periksa lokasi trakea apakah ditengah atau tidak
- pasien gelisah dan mengamuk
b. Manajemen airway
 Melakukan manuver chin lift dan jaw thrust
 Membersihkan airway dari benda asing
 Memasang opa atau npa
 Memasang airway definitif
- Intubasi
- Krikotiroidektomi
2.4.2 Breathing : ventilasi dan oksigenasi
a. Penilaian terhadap breathing
 Tentukan laju dan dalamnya pernafasan
 Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk adanya deviasi trakea, ekspansi
torak simetris atau tidak, pemakaian otot tambahan, dan tanda-tanda cedera
lainnya
 Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
 Auskultasi thoraks bilateral
b. Manajemen breathing
 Pemberian oksigen konsentrasi tinggi
 Ventilasi dengan alat bag valve mask
 Menghilangkan tension pneumothorak
 Menutup open pneumothorak
 Memasang sensor CO2 dari kaonograf pada ETT
 Memasang pulse oximeter
2.4.3 Sirkulasi dengan kontrol perdarahan
a. Penilaian
 Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
 Mengetahui sumber perdarahan internal
 Nadi : Kecepatan, Kualitas, keteraturan, pulsus paradoxus
 Warna kulit
 Tekanan darah
b. Manajemen
 Penekanan langsung pada tempat perdarahan eksternal
 Mengenal adanya perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah,
serta konsultasi bedah
 Memasang 2 iv kateter ukuran besar
 Mengambil sampel darah
 Memberikan cairan dengan cairan RL yang dihangatkan dan pemberian darah
 Cegah hipotermi
2.4.4 Disability : Pemeriksaan neurologis Singkat
 Menentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS
 Nilai pupil untuk besarnya, isokor dan reaksi
2.4.5 Exposure / Environment
 Buka pakaian penderita tetapi cegah hipotermi
2.4.6 Tambahan pada primary survey
 Menentukan AGD dan laju pernafasan
 Monitor udara Ekspirasi dengan monitoring CO2
 Pasang monitor EKG
 Pasang kateter dan NGT
 Pertimbangkan perlunya foto Thorak, Pelvis, servikal
 Pertimbangkan kebutuhan DPL atau USG abdomen
2.4.7 Reevaluasi penderita dan pertimbangkan perlunya Rujukan
2.5 Survey Sekunder
Survei sekunder adalah pemeriksaan secara rinci, evaluasi head-to-toe untuk
mengidentifikasi semua cedera yang tidak dijumpai di primary survey Ini terjadi setelah
survei primer selesai, jika pasien cukup stabil dan tidak membutuhkan perawatan definitif
Anamnesis :

Riwayat “AMPE” yang harus diingat yaitu :


A : Alergi
M : Medikasi (obat yang diminum sebelumnya)
P : Past illness (penyakit sebelumnya)/Pregnancy (hamil)
E : Event/environment (lingkungan yang berhubungan dengan kegawatan)
Pemeriksaan fisik :

1. Pemeriksaan kondisi umum menyeluruh


a. Posisi saat ditemukan
b. Tingkat kesadaran
c. Sikap umum, keluhan
d. Trauma, kelainan
e. Keadaan kulit
2. Periksa kepala dan leher
a. Rambut dan kulit kepala
Perdarahan, pengelupasan, perlukaan, penekanan
b. Telinga
Perlukaan, darah, cairan
c. Mata
Perlukaan, pembengkakan, perdarahan, reflek pupil, kondisi kelopak mata, adanya
benda asing, pergerakan abnormal
d. Hidung
Perlukaan, darah, cairan, nafas cuping hidung, kelainan anatomi akibat trauma
e. Mulut
Perlukaan, darah, muntahan, benda asing, gigi, bau, dapat buka mulut/ tidak
f. Bibir
Perlukaan, perdarahan, sianosis, kering
g. Rahang
Perlukaan, stabilitas, krepitasi
h. Kulit
Perlukaan, basah/kering, darah, suhu, warna
i. Leher
Perlukaan, bendungan vena, deviasi trakea, spasme otot, stoma, stabilitas tulang leher
3. Periksa dada

Flail chest, nafas diafragma, kelainan bentuk, tarikan antar iga, nyeri tekan, perlukaan
(luka terbuka, luka mengisap), suara ketuk/perkusi, suara nafas

4. Periksa perut

Perlukaan, distensi, tegang, kendor, nyeri tekan, undulasi

5. Periksa tulang belakang

Kelainan bentuk, nyeri tekan, spasme otot

6. Periksa pelvis/genetalia

Perlukaan, nyeri, pembengkakan, krepitasi, inkontinensia

7. Periksa ekstremitas atas dan bawah

Perlukaan, angulasi, hambatan pergerakan, gangguan rasa, bengkak, denyut nadi, warna
luka

2.6 Trauma Thoraks

2.6.1. Fraktur Iga


Merupakan komponen dari dinding thorax yang paling sering mengalami trauma,
perlukaan pada iga sering bermakna, Nyeri pada pergerakan akibat terbidainya iga terhadap
dinding thorax secara keseluruhan menyebabkan gangguan ventilasi. Batuk yang tidak efektif
untuk mengeluarkan sekret dapat mengakibatkan insiden atelaktasis dan pneumonia
meningkat secara bermakna dan disertai timbulnya penyakit paru – paru. Fraktur sternum dan
skapula secara umum disebabkan oleh benturan langsung, trauma tumpul jantung harus selalu
dipertimbangkan bila ada fraktur sternum. Yang paling sering mengalami trauma adalah iga
begian tengah ( iga ke – 4 sampai ke – 9 ).
Kompresi anteroposterior dari rongga thorax akan menyebabkan lengkung iga akan
lebih melengkung lagi kea rah lateral dengan akibat timbulnya fraktur pada titik tengah
(bagian lateral) iga. Cedera langsung pada iga akan cenderung menyebabkan fraktur dengan
pendorongan ujung-ujung fraktur masuk ke dalam rongga pleura dan potensial menyebabkan
cedera intratorakal seperti pneumothorax. Patah tulang iga terbawah (10 sampai 12) harus
dicurigai adanya cedera hepar atau lien. Pada penderita dengan cedera iga akan ditemukan
nyeri tekan pada palpasi dan krepitasi. Jika teraba atau terlihat adanyadeformitas harus curiga
fraktur iga. Foto Thoraks harus dibuat untuk menghilangkan kemungkinan cedera intratorakal
dan bukan untuk mengidentifikasi fraktur iga. Plester iga, pengikat iga dan bidai eksternal
merupakan kontra indikasi. Yang penting adalah menghilangkan rasa sakit agar penderita
dapat bernafas dengan baik. Blok interkostal, anestesi epidural dan analgesi sistemik dapat
dipertimbangkan untuk mengatasi nyeri.

2.6.2. Flail Chest


Terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan
keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua atau
lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya segmen flail chest (segmen
mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan
parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan
menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu trauma
pada parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidak-stabilan
dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dari dinding dada pada inspirasi dan
ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya
hipoksia pada penderita ini terutama disebabkan nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding
dada yang tertahan dan trauma jaringan parunya.
Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat) dengan
dinding dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris dan
tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur
tulang rawan membantu diagnosis. Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan terlihat
fraktur iga yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat.
Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga
membantu dalam diagnosis Flail Chest. Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian
ventilasi adekuat, oksigen yang dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok
maka pemberian cairan kristoloid intravena harus lebih berhati-hati untuk mencegah
kelebihan pemberian cairan. Bila ada kerusakan parenkim paru pada Flail Chest, maka akan
sangat sensitif terhadap kekurangan ataupun kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang
lebih spesifik harus dilakukan agar pemberian cairan benar-benar optimal.
Terapi definitif ditujukan untuk mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi
yang cukup serta pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua
penderita membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan hipoksia merupakan hal penting
pada penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi perlu diberikan untuk waktu singkat
sampai diagnosis dan pola trauma yang terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara
lengkap. Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan, tekanan oksigen arterial dan penilaian
kinerja pernafasan akan memberikan suatu indikasi timing / waktu untuk melakukan intubasi
dan ventilasi.

2.6.3. Kontusio Paru


Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada golongan
potentially lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan berkembang
sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian, sehingga rencana penanganan definitif
dapat berubah berdasarkan perubahan waktu. Monitoring harus ketat dan berhati-hati, juga
diperlukan evaluasi penderita yang berulang-ulang. Penderita dengan hipoksia bermakna
(PaO2 < 65 mmHg atau 8,6 kPa dalam udara ruangan, SaO2 < 90 %) harus dilakukan
intubasi dan diberikan bantuan ventilasi pada jam-jam pertama setelah trauma.
Kondisi medik yang berhubungan dengan kontusio paru seperti penyakit paru kronis
dan gagal ginjal menambah indikasi untuk melakukan intubasi lebih awal dan ventilasi
mekanik. Beberapa penderita dengan kondisi stabil dapat ditangani secara selektif tanpa
intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanik. Monitoring dengan pulse oximeter, pemeriksaan
analisis gas darah, monitoring EKG dan perlengkapan alat bantu pernafasan diperlukan untuk
penanganan yang optimal. Jika kondisi penderita memburuk dan perlu ditransfer maka harus
dilakukan intubasi dan ventilasi terlebih dahulu.

2.6.4. Pneumothoraks Sederhana


Pneumotoraks disebabkan masuknya udara pada ruang potensial antara pleura viseral
dan parietal. Dislokasi fraktur vertebra torakal juga dapat ditemukan bersama dengan
pneumotoraks. Laserasi paru merupakan penyebab tersering dari pnerumotoraks akibat
trauma tumpul. Dalam keadaan normal rongga toraks dipenuhi oleh paru-paru yang
pengembangannya sampai dinding dada oleh karena adanya tegangan permukaan antara
kedua permukaan pleura. Adanya udara di dalam rongga pleura akan menyebabkan
kolapsnya jaringan paru. Gangguan ventilasi-perfusi terjadi karena darah menuju paru yang
kolaps tidak mengalami ventilasi sehingga tidak ada oksigenasi.
Ketika pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada sisi yang terkena dan pada
perkusi hipesonor. Foto toraks pada saat ekspirasi membantu menegakkan diagnosis. Terapi
terbaik pada pneumotoraks adalah dengan pemasangan chest tube pada sela iga ke 4 atau ke
5, anterior dari garis mid-aksilaris. Bila pneumotoraks hanya dilakukan observasi atau
aspirasi saja, maka akan mengandung resiko. Sebuah selang dada dipasang dan dihubungkan
dengan WSD dengan atau tanpa penghisap, dan foto toraks dilakukan untuk mengkonfirmasi
pengembangan kembali paru-paru. Anestesi umum atau ventilasi dengan tekanan positif tidak
boleh diberikan pada penderita dengan pneumotoraks traumatik atau pada penderita yang
mempunyai resiko terjadinya pneumotoraks intraoperatif yang tidak terduga sebelumnya,
sampai dipasang chest tube. Pneumotoraks sederhana dapat menjadi life thereatening tension
pneumothorax, terutama jika awalnya tidak diketahui dan ventilasi dengan tekanan positif
diberikan. Toraks penderita harus dikompresi sebelum penderita ditransportasi/rujuk.

2.6.5. Pneumothorax terbuka ( Sucking chest wound )


Defek atau luka yang besar pada dinding dada yang terbuka menyebabkan
pneumotoraks terbuka. Tekanan di dalam rongga pleura akan segera menjadi sama dengan
tekanan atmosfir. Jika defek pada dinding dada mendekati 2/3 dari diameter trakea maka
udara akan cenderung mengalir melalui defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau
lebih kecil dibandingkan dengan trakea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga
menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.
Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa stril yang diplester hanya pada 3
sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek flutter Type Valve
dimana saat inspirasi kasa penutup akan menutup luka, mencegah kebocoran udara dari
dalam. Saat ekspirasi kasa penutup terbuka untuk menyingkirkan udara keluar. Setelah itu
maka sesegera mungkin dipasang selang dada yang harus berjauhan dari luka primer.
Menutup seluruh sisi luka akan menyebabkan terkumpulnya udara di dalam rongga pleura
yang akan menyebabkan tension pneumothorax kecuali jika selang dada sudah terpasang.
Kasa penutup sementara yang dapat dipergunakan adalah Plastic Wrap atau Petrolotum
Gauze, sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan dilanjutkan dengan
penjahitan luka.

2.6.6. Tension Pneumothorax


Tension pneumorothorax berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena ventil),
kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau melalui dinding dada masuk ke dalam
rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang masuk ke
dalam rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural akan
meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan
menghambat pengembalian darah vena ke jantung (venous return), serta akan menekan paru
kontralateral.
Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi penggunaan
ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada penderita dengan
kerusakan pada pleura viseral. Tension pneumothorax dapat timbul sebagai komplikasi dari
penumotoraks sederhana akibat trauma toraks tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim
paru tanpa robekan atau setelah salah arah pada pemasangan kateter subklavia atau vena
jugularis interna. Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding dada juga dapat
menyebabkan tension pneumothorax, jika salah cara menutup defek atau luka tersebut dengan
pembalut (occhusive dressings) yang kemudian akan menimbulkan mekanisme flap-valve.
Tension pneumothorax juga dapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang
mengalami pergeseran (displaced thoracic spine fractures).
Diagnosis tension pneumotorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan tetapi tidak
boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radiologi. Tension pneumothorax ditandai
dengan gejala nyeri dada, sesak, distres pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi trakes,
hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher. Sianosis merupakan manifestasi
lanjut. Karena ada kesamaan gejala antara tension pneumothorax dan tamponade jantung
maka sering membingungkan pada awalnya tetapi perkusi yang hipersonor dan hilangnya
suara nafas pada hemitoraks yang terkena pada tension pneumothorax dapat membedakan
keduanya.
Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan awal
dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga dua garis midclavicular
pada hemitoraks yang mengalami kelainan. Tindakan ini akan mengubah tension
pneumothorax menjadi pneumothoraks sederhana (catatan : kemungkinan terjadi
pneumotoraks yang bertambah akibat tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan.
Tetapi definitif selalu dibutuhkan dengan pemsangan selang dada (chest tube) pada sela iga
ke 5 (garis putting susu) diantara garis anterior dan midaxilaris.

2.6.7. Hemothorax
Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari pembuluh
darah interkostal atau arteri mamaria internal yang disebabkan oleh trauma tajam atau trauma
tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga dapat menyebabkan terjadinya
hemotoraks. Biasanya perdarahan berhenti spontan dan tidak memerlukan intervensi operasi.
Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto toraks, sebaiknya diterapi
dengan selang dada kaliber besar. Selang dada tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga
pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat
dipakai dalam memonitor kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga
memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur diafragma
traumatik.
Walaupun banyak faktor yang berperan dalam memutuskan perlunya indikasi operasi
pada penderita hemotoraks, status fisiologi dan volume darah yang kelura dari selang dada
merupakan faktor utama. Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari
selang dada sebanyak 1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jam untuk
2 sampai 4 jam, atau jika membutuhkan transfusi darah terus menerus, eksplorasi bedah herus
dipertimbangkan.

2.6.8. Hemothorax Masif


Hemotoraks masif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1.500 cc di
dalam rongga pleura. Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus yang merusak pembuluh
darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru. Hal ini juga dapat disebabkan trauma
tumpul. Kehilangan darah menyebabkan hipoksia. Vena leher dapat kolaps (flat) akibat
adanya hipovolemia berat, tetapi kadang dapat ditemukan distensi vena leher, jika disertai
tension pneumothorax. Jarang terjadi efek mekanik dari adarah yang terkumpul di intratoraks
lalu mendorong mediastinum sehingga menyebabkan distensi dari pembuluh vena leher.
Diagnosis hemotoraks ditegakkan dengan adanya syok yang disertai suara nafas menghilang
dan perkusi pekak pada sisi dada yang mengalami trauma.
Terapi awal hemotoraks masif adalah dengan penggantian volume darah yang
dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan infus cairan
kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan kemudian pmeberian darah dengan golongan
spesifik secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat dikumpulkan dalam penampungan yang
cocok untuk autotransfusi. Bersamaan dengan pemberian infus, sebuah selang dada (chest
tube) no. 38 French dipasang setinggi puting susu, anterior dari garis midaksilaris lalu
dekompresi rongga pleura selengkapnya. Ketika kita mencurigai hemotoraks masif
pertimbangkan untuk melakukan autotransfusi. Jika pada awalnya sudah keluar 1.500 ml,
kemungkinan besar penderita tersebut membutuhkan torakotomi segera. Beberapa penderita
yang pada awalnya darah yang keluar kurang dari 1.500 ml, tetapi pendarahan tetap
berlangsung. Ini juga mamebutuhkan torakotomi.
Keputusan torakotomi diambil bila didapatkan kehilangan darah terus menerus
sebanyak 200 cc/jam dalam waktu 2 sampai 4 jam, tetapi status fisiologi penderita tetap lebih
diutamakan. Transfusi darah diperlukan selama ada indikasi untuk toraktomi. Selama
penderita dilakukan resusitasi, volume darah awal yang dikeluarkan dengan selang dada
(chest tube) dan kehilangan darah selanjutnya harus ditambahkan ke dalam cairan pengganti
yang akan diberikan. Warna darah (arteri atau vena) bukan merupakan indikator yang baik
untuk dipakai sebagai dasar dilakukannya torakotomi. Luka tembus toraks di daerah anterior
medial dari garis puting susu dan luka di daerah posterior, medial dari skapula harus disadari
oleh dokter bahwa kemungkinan dibutuhkan torakotomi, oleh karena kemungkinan melukai
pembuluh darah besar, struktur hilus dan jantung yang potensial menjadi tamponade jantung.
Torakotomi harus dilakukan oleh ahli bedah, atau dokter yang sudah berpengalaman dan
sudah mendapat latihan.

2.7 Trauma Abdomen

2.7.1 Manifestasi Klinis

Kasus trauma abdomen ini bisa menimbulkan manifestasi klinis meliputi: nyeri tekan
diatas daerah abdomen, distensi abdomen, demam, anorexia, mual dan muntah, takikardi,
peningkatan suhu tubuh, nyeri spontan.
Pada trauma non-penetrasi (tumpul) pada trauma non penetrasi biasanya terdapat adanya :
- Jejas atau ruktur dibagian dalam abdomen
- Terjadi perdarahan intra abdominal.
Apabila trauma terkena usus, mortilisasi usus terganggu sehingga fungsi usus tidak normal
dan biasanya akan mengakibatkan peritonitis dengan gejala mual, muntah, dan BAB hitam
(melena)
- Kemungkinan bukti klinis tidak tampak sampai beberapa jam setelah rauma.
- Cedera serius dapat terjadi walaupun tak terlihat tanda kontusio pada dinding abdomen.
Pada trauma penetrasi biasanya terdapat:
- Terdapat luka robekan pada abdomen
- Luka tusuk sampai menembus abdomen
- Penanganan yang kurang tepat biasanya memperbanyak perdarahan/memperparah keadaan
- Biasanya organ yang terkena penetrasi bisa keluar dari dalam andomen.

2.7.2 Diagnosis
A. Riwayat trauma
Mekanisme peristiwa trauma sangat penting dalam menentukan kemungkinan
cedera organ intra-abdomen. Semua informasi harus diperoleh dari saksi mata
kejadian trauma, termasuk mekanisme cedera, tinggi jatuh, kerusakan interior dan
eksterior kendaraan dalam kecelakaan kendaraan bermotor, kematian lainnya di lokasi
kecelakaan, tanda vital, kesadaran, adanya perdarahan eksternal, jenis senjata, dan
seterusnya.
B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan abdomen harus dilakukan dengan cara yang teliti dan sistematis
dengan urutan : inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi. Penemuannya, positif atau
negatif , harus direkam dengan teliti dalam catatan medis.
Pada saat kedatangan ke rumah sakit, mekanisme dan pemeriksaan fisik
biasanya akurat dalam menentukan cedera intra-abdomen pada pasien dengan
kesadaran yang terjaga dan responsif, meskipun terdapat keterbatasan pemeriksaan
fisik. Banyak pasien dengan perdarahan intra-abdomen yang moderat datang dalam
kondisi hemodinamik yang terkompensasi dan tidak memiliki tanda-tanda peritoneal
1. Inspeksi
Penderita harus ditelanjangi. Kemudian periksa perut depan dan
belakang, dan juga bagian bawah dada dan perineum, harus diperiksa untuk
goresan, robekan, luka, benda asing yang tertancap serta status hamil.
Penderita dapat dibalikkan dengan hati – hati untuk mempermudah
pemeriksaan lengkap.
2. Auskultasi
Melalui auskultasi ditentukan apakah bising usus ada atau tidak. Darah
intraperitoneum yang bebas atau kebocoran (ekstravasasi) abdomen dapat
memberikan ileus, mengakibatkan hilangnya bunyi usus. Cedera pada struktur
berdektan seperti tulang iga, tulang belakang, panggul juga dapat
menyebabkan ileus meskipun tidak ada cedera di abdomen dalam, sehingga
tidak adanya bunyi usus bukan berarti pasti ada cedera intra-abdominal.
3. Perkusi
Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapat
menunjukkan adanya peritonitis yang masih meragukan. Perkusi juga dapat
menunjukan bunyi timpani akibat dilatasi lambung akut di kuadran atas atau
bunyi redup bila ada hemiperitoneum.
4. Palpasi
Kecenderungan untuk menggerakan dinding abdomen (voluntary
guarding) dapat menyulitjan pemeriksaan abdomen. Sebaliknya defans
muscular (involuntary guarding) adalah tanda yang handal dari iritasi
peritoneum. Tujuan palpasi adalah mendapatkan adanya dan menentukan
tempat dari nyeri tekan superfisial, nyeri tekan dalam atau nyeri lepas. Nyeri
lepas terjadi ketika tangan yang menyentuh perut dilepaskan tiba – tiba, dan
biasanya menandakan peritonitis yang timbul akibat adanya darah atau isi
usus. Dengan palpasi juga dapat ditentukan uterus yang membesar dan
diperkirakan umur janin.
C. Pemeriksaan Penunjang
Pasien hemodinamik stabil dengan trauma tumpul dan kondisi yang memadai
dievaluasi oleh studi USG abdomen atau CT, kecuali luka parah lain mengambil
prioritas dan pasien harus pergi ke ruang operasi sebelum evaluasi perut objektif.
Dalam kasus seperti itu, peritoneal lavage diagnostik biasanya dilakukan di ruang
operasi untuk menyingkirkan cedera intra-abdomen dan memerlukan eksplorasi
bedah segera. Pasien trauma tumpul dengan ketidakstabilan hemodinamik harus
dievaluasi dengan USG di ruang resusitasi, jika tersedia, atau dengan lavage
peritoneum untuk menyingkirkan cedera intra-abdomen sebagai sumber hilangnya
darah dan hipotensi.
BAB 3
KESIMPULAN

Berdasarkan laporan terakhir dari WHO dan CDC lebih dari sembilan orang
meninggal tiap menit akibat trauma atau kekerasan dan setiap tahun lebih dari 5,8 juta
orang dari semua umur dan tingkat ekonomi mengalami trauma dan kekerasan. Beban
akibat trauma sangat signifikan yaitu 12% dari beban seluruh penyakit di seluruh dunia.
Kursus ATLS di negara berkembang telah menurunkan mortalitas kasus trauma.
Penurunan rate of death per kapita dari kasus trauma dilaorkan oleh negara yang
menerapkan prinsip ATLS. Kursus ATLS merupakan pendekatan yang mudah diingat
oelh para dokter dalam mengevaluasi dan menangani kasus trauma, meskipun dalam
tekanan stress, kecemasan dan harus dihadapi dalam bersamaan melakukan proses
resusitasi.
Kursus ATLS memberikan dasar-dasar untuk melakukan evaluasi, penanganan,
edukasi dan jaminan muti. Pendeknya sistem ini dapat diukur, direproduksi dan
komprehensif. Program ATLS secara luas berdampak positif bagi institusi yang
memberikan pelayanan kasus trauma. Hal ini telah meningkatkan keterampilan dan
pengetahuan bagi para dokter dan lainnya yang mengiktu kursus ATLS.

Anda mungkin juga menyukai