Anda di halaman 1dari 2

ereja adalah istilah eklesiologis yang digunakan berbagai denominasi Kristen untuk

menyifatkan badan persekutuan umat Kristen yang sejati atau lembaga asali yang diasaskan
Yesus.[1][2][3] Istilah "Gereja" juga digunakan di ranah keilmuan sebagai muradif Kekristenan,
sekalipun pada kenyataannya Kekristenan terdiri atas banyak Gereja atau denominasi, dan
banyak di antaranya yang mendaku sebagai "satu-satunya Gereja yang sejati" dengan
meliyankan yang lain.[4][5][6]

Bagi banyak orang Kristen Protestan, Gereja mengandung dua unsur, yakni kasatmata dan
tak kasatmata. Gereja yang kasatmata adalah lembaga-lembaga tempat "Firman Allah secara
murni diwartakan maupun disimak, dan sakramen-sakramen dilayankan menurut ketetapan
Kristus", sementara Gereja yang tak kasatmata adalah segenap orang "yang sungguh-
sungguh diselamatkan" (dan menjadi warga Gereja yang kasatmata).[7][2][8] Di dalam lingkup
pemahaman akan Gereja yang tak kasatmata ini, "Gereja" (atau Gereja yang am) tidak
merujuk kepada suatu denominasi Kristen tertentu, tetapi mencakup semua orang pribadi
yang sudah diselamatkan.[2] Menurut teori cabang, yang digadang-gadangkan di kalangan
Anglikan, Gereja-Gereja pelestari suksesi apostolik adalah bagian dari Gereja yang sejati.[9]
Teori ini bertentangan dengan sikap menyematkan label "satu-satunya Gereja yang sejati"
pada suatu lembaga nyata Kristen tertentu, yakni sikap eklesiologis yang dianut Gereja
Katolik, Gereja Ortodoks Timur, Gereja-Gereja Ortodoks Oriental, Gereja Asyur dan Gereja
Purba di Timur.[1][10][3]

Di dalam Alkitab bahasa Indonesia, kata "jemaat" digunakan sebagai padanan untuk kata
Yunani "eklesia" (ἐκκλησία), yang makna umumnya adalah "sidang jemaat" atau "jemaah".
[11]
Kata "eklesia" muncul di dalam 2 ayat Injil Matius, 24 ayat Kisah Para Rasul, 58 ayat
surat-surat Paulus (termasuk contoh-contoh terawal dari penggunaannya untuk merujuk
kepada suatu badan persekutuan umat Kristen), 2 ayat Surat kepada Orang Ibrani, 1 ayat
Surat Yakobus, 3 ayat Surat Yohanes III, dan 19 ayat Kitab Wahyu. Jumlah total
kemunculan kata "eklesia" di dalam Perjanjian Baru adalah 114 kali, kendati tidak selalu
dipakai secara teknis untuk merujuk kepada Gereja.[12] Dengan demikian, eklesia dipakai
sebagai sebutan bagi komunitas-komunitas lokal maupun sebagai sebutan yang bermakna
semesta bagi segenap umat beriman.[13] Istilah "Kekristenan" (bahasa Yunani:
Χριστιανισμός, Kristianismos) tercatat pertama kali digunakan sekitar tahun 100 Masehi
oleh Ignasius, Uskup Antiokhia.[14]

Empat Ciri Gereja pertama kali mengemuka di dalam Syahadat Nikea tahun 381 yang
menegaskan bahwa Gereja itu satu, kudus, katolik (am), dan apostolik (rasuli).[15]

Etimologi
Kata Yunani "eklēsia", secara harfiah berarti "yang dipanggil keluar" atau "yang dipanggil
maju ke depan", dan lazimnya digunakan untuk menyifatkan sekelompok orang yang
dipanggil berhimpun untuk melakukan sesuatu, teristimewa untuk menyifatkan rapat warga
sebuah kota, misalnya di dalam nas Kisah Para Rasul 19:32–41. Kata ini adalah istilah
Perjanjian Baru yang merujuk kepada Gereja (baik dalam arti jemaat lokal maupun dalam
arti segenap umat beriman). Di dalam Septuaginta, kata "eklesia" digunakan sebagai
padanan untuk kata Ibrani "qahal" (‫)קהל‬. Sebagian besar bahasa rumpun Romawi dan
rumpun Kelt menggunakan aneka ragam turunan dari kata ini, baik yang diwarisi maupun
yang dipinjam dari bentuk Latinnya, ecclesia. Salah satu contohnya adalah kata "igreja"
dalam bahasa Portugis, yang diserap menjadi kata "gereja" dalam bahasa Indonesia.[16]

Sejarah
Informasi lebih lanjut: Sejarah Kekristenan dan Konsili Yamnia
Ikon Kristen Timur yang menggambarkan turunnya Roh Kudus, peristiwa yang menjadi
tonggak sejarah "lahirnya Gereja"
Gereja mula-mula terbentuk di Yudea, negeri jajahan Romawi, pada abad pertama tarikh
Masehi, berlandaskan ajaran-ajaran Yesus orang Nazaret, yang pertama kali menghimpun
murid. Murid-murid inilah yang kemudian hari disebut "umat Kristen". Menurut Kitab Suci,
Yesus mengamanatkan kepada mereka agar menyebarluaskan ajaran-ajarannya ke seluruh
dunia. Bagi sebagian besar umat Kristen, hari Pentakosta (peristiwa yang terjadi sesudah
Yesus naik ke surga) adalah hari jadi Gereja,[17][18][19] ditandai turunnya Roh Kudus ke atas
murid-murid Yesus yang sedang berkumpul (Kisah Para Rasul 2).[20] Kepemimpinan Gereja
berawal dari para rasul.

Karena terlahir dari lingkungan Yahudi zaman Haikal ke-2, sejak awal sejarah Kekristenan,
umat Kristen menerima orang-orang non-Yahudi (bangsa-bangsa lain) tanpa mewajibkan
mereka untuk menerima dan mengamalkan seluruh adat-istiadat Yahudi, misalnya adat
khitanan (Kisah Para Rasul 10–15).[21] Dalam agama Yahudi, orang-orang semacam itu
disebut proselit, orang-orang yang takut akan Allah, dan pengamal syariat Nuh. Beberapa
pihak menduga bahwa konflik dengan para pemuka agama Yahudilah yang dalam waktu
singkat mengakibatkan umat Kristen terusir dari rumah-rumah ibadat Yahudi di Yerusalem.
[22]

Sedikit demi sedikit Gereja menyebar ke seluruh dan ke luar wilayah Kekaisaran Romawi,
bahkan tumbuh pesat di kota-kota semisal Yerusalem, Antiokhia, dan Edesa.[23][24][25] Gereja
dianiaya pemerintah Romawi lantaran umat Kristen menolak mempersembahkan kurban
kepada dewa-dewi Romawi dan menentang penuhanan kaisar.[26] Gereja akhirnya
dilegalisasi di Kekaisaran Romawi, bahkan dinaikkan statusnya menjadi Gereja Negara
Kekaisaran Romawi pada abad ke-4 oleh Kaisar Konstantinus Agung dan Kaisar Teodosius
I.

Sedari abad ke-2, umat Kristen sudah menyanggah ajaran-ajaran yang mereka anggap bidat,
khususnya ajaran Gnostik dan juga ajaran Montanus. Ignasius dari Antiokhia pada awal
abad ke-2, dan Ireneus pada akhir abad yang sama memandang persatuan dengan uskup
sebagai uji iman Kristen yang benar. Sesudah Gereja dilegalisasi pada abad ke-4, perdebatan
ajaran Arius dengan ajaran Tritunggal menjadi kontroversi besar, manakala para kaisar silih
berganti menunjukkan keberpihakan kepada salah satunya.[27][28]

Peristilahan Kristen purba

Artikel utama: Sejarah Kekristenan § Gereja mula-mula

Anda mungkin juga menyukai