Anda di halaman 1dari 5

Nama : APTRIKO GADING K.

NIM : 22010069

Bab I

Pendahuluan

Bab 1

Pendahuluan

Sejak kebijakan otonomi daerah diimplementasikan, pelayanan publik menjadi ramai diperbincangkan,
karena pelayanan publik merupakan salah satu variabel yang menjadi ukuran keberhasilan pelaksanaan
otonomi daerah. Apabila pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah baik/berkualitas, maka
pelaksanaan otonomi daerah dapat dikatakan berhasil. Di samping sudah menjadi keharusan bagi
pemerintah/pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas berbagai pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat, isu tentang kualitas pelayanan publik ini juga dipicu adanya pengaruh perubahan paradigma ilmu
administrasi, termasuk perubahan global yang terjadi di berbagai bidang kehidupan dan di berbagai belahan
dunia. New Public Service (NPS) sebagai paradigma terbaru dari administrasi negara/publik meletakkan
pelayanan publik sebagai kegiatan utama para administrator negara/daerah. Salah satu intisari dari prinsip NPS
adalah bagaimana administrator publik mengartikulasikan dan membagi kepentingan (shared interests) warga
negara (Denhardt & Denhardt, 2007).

Sebelumnya, istilah public administration selalu diarahkan kepada administrasi negara, dan tentu saja
orientasi administrasi negara dalam prakteknya pada masa itu lebih cenderung kepada “negara” sebagai
sesuatu yang harus diikuti, ditakuti, dan dilayani. Apapun kalau untuk negara, maka semuanya harus ikut dan
harus turut. Semua energi dan pikiran harus disumbangkan untuk negara. Memang betul apa yang dikatakan
oleh John F. Kennedy (mantan Presiden Amerika Serikat ke-35) bahwa: “Jangan tanyakan apa yang sudah
negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang sudah kamu berikan pada negara.” Pemikiran semacam ini
menjadi produktif manakala sang “administrator negara atau daerah” memang menerapkan prinsip-prinsip
keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan untuk rakyatnya. Tetapi apabila sang “administrator” menampilkan
sosok otoriter, militertistik, tidak adil, tidak demokratis, diskriminatif, KKN dan lain-lain dalam
pemerintahannya, maka istilah “administrasi negara” menjadi kontra produktif. Karena antara pengabdian
rakyatnya kepada negara dan kepada pemerintah memiliki perbedaan yang sangat tipis. Disatu sisi rakyat
sangat menjunjung tinggi kecintaan kepada negara dengan berbagai bentuk pengabdiannya, namun disisi lain
pengabdian itu juga harus ditujukan kepada “penguasa” negara yang bertentangan dengan keinginan
rakyatnya. Bagi pemimpin negara yang otoriter, maka tidak bisa dibedakan antara negara dengan sang
pemimpin. Seolah-olah negara adalah miliknya.

Menurut Keban (2008) administrasi publik mempunyai variasi makna. Ada yang menterjemahkan
administrasi publik sebagai administration of public atau administrasi dari publik. Ada yang administration for
public atau administrasi untuk publik, bahkan ada yang melihatnya sebagai administration by public atau
administrasi oleh publik. Variasi terjemahan tersebut menarik karena dapat menunjukkan suatu rentangan
kemajuan administrasi publik mulai dari administrasi publik yang berparadigma paling tidak demokratis sampai
yang paling demokratis, atau dari yang tidak memperhatikan aspek pemberdayaan masyarakat sampai ke yang
benar-benar memperhatikan pemberdayaan masyarakat.

Lebih lanjut Keban (2008) mengatakan, istilah administration of public menunjukkan bagaimana
pemerintah berperanan sebagai agen tunggal yang berkuasa atau sebagai regulator, yang aktif dan selalu
berinisiatif dalam mengatur atau mengambil langkah dan prakarsa, yang menurut mereka penting atau baik
untuk masyarakat karena diasumsikan bahwa masyarakat adalah pihak yang pasif, kurang mampu, dan harus
tunduk dan menerima apa saja yang diatur oleh pemerintah. Kemudian istilah administration for public
menunjukkan suatu konteks yang lebih maju dari yang pertama di atas, yaitu pemerintah lebih berperanan
dalam mengemban misi pemberian pelayanan publik (service provider). Dalam konteks ini diasumsikan bahwa
pemerintah lebih responsif atau lebih tanggap terhadap apa yang dibutuhkan masyarakat dan lebih
mengetahui cara terbaik untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Meskipun kebutuhan publik
merupakan sasaran utama kegiatan pemerintah, namun pemerintah tidak berupaya memberdayakan
masyarakat. Selanjutnya, istilah administration by public merupakan suatu konsep yang sangat berorientasi
kepada pemberdayaan masyarakat, lebih mengutamakan kemandirian dan kemampuan masyarakat karena
pemerintah memberikan kesempatan untuk itu. Dalam hal ini, kegiatan pemerintah lebih mengarah kepada
“empowerment” yaitu pemerintah berupaya memfasilitasi masyarakat agar mampu mengatur hidupnya tanpa
harus sepenuhnya tergantung terus-menerus kepada pemerintah. Akibatnya masyarakat dapat memiliki
tingkat partisipasi yang tinggi, mulai dari penentuan kebutuhan sampai pada pelaksanaan dan penilaian hasil,
sementara pemerintah lebih memainkan perannya sebagai fasilitator, dan dapat memfokuskan diri pada
urusan-urusan kenegaraan yang bersifat strategis.

Kini istilah dan paradigma administrasi negara berubah menjadi administrasi publik (administration for
public dan administration by public). Jurusan atau program studi ilmu administrasi negara yang ada diberbagai
perguruan tinggi di Indonesia sudah banyak yang mengubah nama dari administrasi negara menjadi
administrasi publik. Dengan perubahan tersebut, orientasi administrasi publik (sesuai dengan namanya)
menjadi kepada publik. Pengertian publik secara umum adalah sekelompok individu dalam jumlah besar.
Menurut Keban (2008) “publik” memang dapat diartikan sebagai masyarakat luas sebagai lawan dari individu,
tetapi “publik” juga menunjuk pada mereka yang bekerja untuk kepentingan masyarakat luas atau dikenal
dengan “lembaga pemerintah.” Dalam perkembangan ilmu administrasi publik, konsep “publik” bermakna luas
daripada hanya “government” (pemerintah saja), seperti keluarga, rukun tetangga, organisasi non-pemerintah,
asosiasi, pers, dan bahkan organisasi sektor swasta. Sebagai akibatnya konsep publik yang luas ini, nilainilai
keadilan, kewarganegaraan (citizenship), etika, patriotisme, dan responsiveness menjadi kajian penting
disamping nilai-nilai efisiensi dan efektivitas. Secara lebih mendalam, Frederickson seperti dikutip oleh
Nurmandi (2010) membedakan berbagai perspektif dalam mendefinisikan publik, yaitu: (1) Publik sebagai
kelompok kepentingan (perspektif pluralis); (2) Publik sebagai pemilih rasional (perspektif pilihan publik); (3)
Publik sebagai pihak yang diwakili (perspektif perwakilan); (4) Publik sebagai pelanggan (perspektif penerima
pelayanan publik; (5) Publik sebagai warga negara. Karena orientasinya kepada publik atau rakyat, maka negara
berusaha sedemikian rupa untuk melayani rakyatnya. Kalau dahulu rakyat yang melayani negara/pemerintah,
maka sekarang pemerintah/negara menjadi pelayan bagi rakyatnya. Terjadinya perubahan paradigma tersebut,
disamping karena adanya tuntutan masyarakat, demokratisasi dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk
diantaranya tuntutan desentralisasi/otonomi daerah (untuk kasus Indonesia), perubahan dan kemajuan
teknologi informasi, teknologi komunikasi, dan teknologi transportasi, juga tidak terlepas dari perubahan
paradigma ilmu administrasi negara atau administrasi publik itu sendiri. Denhardt dan Denhardt membagi
paradigma administrasi negara menjadi 3 paradigma yaitu, Old Public Administration (OPA), New Public
Management (NPM) dan New Public Service (NPS). Paradigma yang paling mutakhir dalam administrasi negara
menurut Denhardt dan Denhardt adalah NPS. Ketiga perbandingan paradigma dimaksud.

Dasar teoritis dan fondasi epistemologi dari NPS adalah teori demokrasi, teori ini menyatakan bahwa
persamaan (egalitarianism) dan kebebasan (liberty) individu diperkenankan, konsep kepentingan publik adalah
merupakan hasil dialog dari berbagai nilai, responsivitas birokrasi publik ditujukan kepada citizen’s (warga
negara) bukan clients dan constituent atau juga customer, peran pemerintah sebagai serving, akuntabilitas
terdiri dari multiaspek: akuntabilitas hukum, nilai-nilai, komunitas, norma politik, standar profesional, struktur
organisasi adalah struktur kolaboratif dengan kepemilikan yang berbagi secara internal dan eksternal, dan
asumsi terhadap motivasi pegawai dan administrator adalah pelayanan publik dengan keinginan melayani
masyarakat. Perubahan paradigma tersebut, untuk model Indonesia telah dituangkan dalam berbagai
peraturan perundangundangan. Dari mulai perubahan/amandemen UUD 1945, sampai kepada perubahan
peraturan gubernur, bupati atau walikota. Bahkan sekarang telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Walaupun tidak sepenuhnya mengadopsi paradigma NPS, undang-
undang tersebut paling tidak sudah berupaya untuk memperlakukan warga negara sebagai citizens, bukan
pelanggan atau klien dan berorientasi kepada kepentingan pelayanan publik. Namun demikian, perubahan
orientasi kepada “rakyat/publik” tersebut bukanlah hal yang mudah. Mengubah pola pikir dan kebiasaan
“dilayani” bagi pemerintah/pemerintah daerah (presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota, camat, lurah
hingga kepala desa) menjadi “melayani” memerlukan waktu yang tidak sebentar. Sama halnya merubah sikap
mental anak jajahan, karena sangat lama dijajah oleh Belanda, maka sampai sekarang “sikap mental anak
jajahan” itu belumlah habis semuanya. Selama lebih dari 30 tahun (era Orde Baru), sikap mental “dilayani”
inipun masih terus berlangsung. Masih banyak kepala daerah dan jajarannya menampilkan sosok “raja” yang
harus selalu dilayani oleh rakyatnya. Namun kita juga tidak menutup mata bahwa sekarang ini, dengan
terpilihnya presiden hingga kepala daerah secara langsung oleh rakyat, paradigma ingin “dilayani” sudah
banyak mulai berubah kearah “melayani.” Narasi-narasi berbagai visi, misi, program kerja sang kepala
negara/kepala daerah sekarang ini telah banyak menunjukkan orientasi pelayanan kepada masyarakat. Bahkan
setelah mereka betul-betul terpilih sebagai kepala negara/ daerah program-program pelayanan kepada
masyarakat menjadi prioritas dalam pemerintahannya. Sebut saja misalnya ada istilah pelayanan prima,
Standar Pelayanan Minimum (SPM), pelayanan satu atap/satu pintu, pelayanan perizinan terpadu, pelayanan
kartu keluarga, KTP, akta kelahiran, IMB, bahkan pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis, dan lain-lain.
Setelah satu dasawarsa lebih kebijakan otonomi daerah digulirkan, kata-kata atau istilah pelayanan publik
menjadi sesuatu yang lumrah. Semua orang sudah tidak asing lagi dengan yang namanya pelayanan publik,
sehingga menjadi lupa bahwa paradigma berubah kearah pelayanan publik, bukanlah hanya sebatas merubah
pola pikir dan orientasi kepada pelayanan publik semata. Setelah berhasil merubah orientasi dan paradigma
tersebut, yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik atau
dengan kata lain mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas. Meningkatnya kualitas pelayanan publik dan
publik merasakan kepuasan atas pelayanan tersebut merupakan tujuan akhir dari reformasi birokrasi yang
dijalankan pemerintah. Capaian ini merupakan tujuan jangka menengah dan jangka panjang. Oleh karena itu,
semua Kementerian/Lembaga (K/L) serta pemerintah daerah mempunyai target pencapaian yang jelas setiap
tahunnya. “Kita harus menuju ke sana, dan harus ada ukuran-ukurannya, indikatorindikatornya setiap periode.
Lalu indikator pencapaian tahunan, lima tahunan itu harus ada, konkret,” kata Wakil Presiden (Wapres)
Boediono seusai rapat reformasi birokrasi di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Rabu, 3 November 2010. Boediono
menambahkan hasil dari reformasi birokrasi tidak bisa dirasakan seketika karena banyak aspek yang harus
diperbaiki. “Itu tidak bisa kita harapkan dalam sehari dua hari, ini jangka menengah dan panjang.” Penegasan
Wapres juga sekaligus ditujukan untuk menjawab keresahan masyarakat akibat integritas pelayanan publik
yang terus menurun. Survei integritas sektor publik yang dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
menyebutkan hasilnya terus menurun dibandingkan tahun 2009. Pada 2009, Indeks Integritas mencapai 6,5
sedangkan pada 2010 menjadi 5,42. Penurunan tersebut disebabkan menurunnya “kualitas pelayanan publik”
di beberapa unit pelayanan. Survei berlangsung sejak AprilAgustus 2010 dan dilakukan di 353 unit layanan yang
tersebar di 23 instansi pusat, enam instansi vertikal, dan 22 pemerintah kota. Boediono menambahkan
pemerintah sedang menyusun rencana strategis reformasi birokrasi jangka menengah sampai 2014 dan jangka
panjang hingga 2025. Selain itu, lanjut Boediono, pemerintah telah membentuk komite pengarah yang
langsung diketuai oleh Wapres. Dan tim reformasi birokrasi nasional yang diketuai oleh Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara E.E. Mangindaan. “Tim ini akan melaksanakan dan melihat secara garis besar
dan detail pelaksanaan dari grand design dan road map reformasi birokrasi.” Tim Independen Wapres
menambahkan pihaknya juga telah membentuk tim pendukung, yaitu tim independen dan tim quality
assurance (penjaminan kualitas). Keduanya bekerja di luar dua tim yang pertama. Tim independen terdiri dari
beberapa tokoh pemerintah maupun non pemerintah, akademisi, serta dunia usaha. Tugasnya memberikan
pandangan dan evaluasi kepada komite pengarah reformasi birokrasi. Tim ini diketuai oleh mantan Wakil Ketua
KPK Erry Riyana. Sedangkan tim quality assurance bertugas meneliti kualitas dari pelaksanaan setiap aspek
reformasi birokrasi (Koran Jakarta, 4 November 2010).

Sejalan dengan hal tersebut di atas, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi juga menemukan bahwa kualitas pelayanan publik pada instansi pemerintah masih lemah dan
setengah hati. Deputi Pelayanan Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) mengaku,
pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat selama ini masih memiliki banyak kelemahan dan
kekurangan sehingga perlu diperbaiki. Menurut dia, hampir semua instansi pemerintah memberikan pelayanan
publik kepada masyarakat melalui one stop service atau biasa disebut pelayanan terpadu satu atap. Namun,
implementasinya masih banyak ditemukan penyimpangan dan terkesan setengah hati. Dalam hal perizinan
misalnya, banyak masyarakat yang mengeluhkan sulitnya mendapatkan surat izin. Padahal, dalam peraturan
perundang-undangan disebutkan, semua kewenangan instansi berada dalam satu pintu pelayanan terpadu.
”Kita lihat pemerintah daerah masih setengah hati, namanya pelayanan terpadu semua kewenangan ada di situ
sehingga kalau misalnya mau investasi atau usaha apa, di situ bisa diputuskan dalam ruangan atau gedung
terpadu itu,” jelasnya. Sayangnya, dalam pelaksanaan, ada sejumlah instansi seperti Dinas Perdagangan dan
Perindustrian yang tidak mau melimpahkan kewenangannya pada pelayanan terpadu. Sehingga untuk
pengambilan keputusan tetap harus mendatangi instansi atau dinas yang bersangkutan. Akibatnya, proses
pengurusan menjadi lebih lama. Selain ketidakseriusan dalam memberikan pelayanan, kata Deputi Pelayanan
Publik Kementerian PAN, hingga kini masih banyak instansi pemerintah terutama daerah yang belum
membentuk pelayanan terpadu. Berdasarkan data yang ada, dari 524 pemerintah daerah kabupaten/kota, baru
70% yang membentuk pelayanan terpadu atau baru sekitar 300 instansi. Sisanya belum ada (pelayanan
terpadu), yang sudah membentuk sebanyak 300 tersebut tapi belum 100% menjalankan fungsi pelayanan
terpadu.

Berbagai riset, penelitian, ide, gagasan dan kajian tentang kualitas pelayanan publik telah dimunculkan
dan dilakukan, baik dalam bentuk opini, makalah, skripsi, tesis, maupun disertasi. Berbagai hal tentang kualitas
pelayanan publik tersebut telah pula dipublikasikan dalam koran, buku, majalah, jurnal, atau di internet.
Kualitas pelayanan publik akan selalu menarik untuk dikaji dan dibahas, karena masyarakat selalu mengalami
dinamika, ilmu pengetahuan dan teknologi pun selalu mengalami perkembangan dengan pesat. Seiring dengan
hal tersebut, tentu saja konsep, dimensi, indikator-indikator tentang kualitas pelayanan publik akan mengalami
perubahan seiring dengan perubahan zaman. Kemampuan beradaptasi dengan perubahan tersebut, akan
menjadi modal bagi pengambil kebijakan untuk selalu meningkatkan kualitas pelayanan publik. Kemampuan
meningkatkan kualitas pelayanan publik, bagi kepala negara/ daerah akan dapat meningkatkan kepercayaan
publik/rakyat kepada mereka, sehingga tidak menutup kemungkinan, bila mereka kembali mencalonkan diri
sebagai kepala negara/daerah akan dipilih lagi oleh rakyatnya bahkan kebaikan yang telah mereka lakukan
akan selalu dikenang oleh rakyatnya sepanjang masa. Buku ini akan membahas panjang lebar tentang konsep,
dimensi, dan implementasi kualitas pelayanan publik, dan disertai dengan UU No. 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik, beserta penjelasannya.

Anda mungkin juga menyukai