Bab 1
Pendahuluan
Sejak diberlakukannya otonomi daerah, pelayanan publik menjadi ramai
diperbincangkan, karena pelayanan publik merupakan salah satu variabel yang menjadi
ukuran keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Apabila pelayanan publik yang dilakukan
oleh pemerintah daerah baik/berkualitas, maka pelaksanaan otonomi daerah dapat dikatakan
berhasil. Di samping sudah menjadi keharusan bagi pemerintah/pemerintah daerah untuk
meningkatkan kualitas berbagai pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, isu tentang
kualitas pelayanan publik ini juga dipicu adanya pengaruh perubahan paradigma ilmu
administrasi, termasuk perubahan global yang terjadi di berbagai bidang kehidupan dan di
berbagai belahan dunia. New Public Service (NPS) sebagai paradigma terbaru dari
administrasi negara/publik meletakkan pelayanan publik sebagai kegiatan utama para
administratur negara. Salah satu intisari dari prinsip NPS adalah bagaimana administrator
publik mengartikulasikan dan membagi kepentingan (shared interests) warga negara
(Denhardt & Denhardt, 2007).
Sebelumnya, istilah public administration selalu diarahkan kepada administrasi negara,
dan tentu saja orientasi administrasi negara dalam prakteknya pada masa itu lebih cenderung
kepada “negara” sebagai sesuatu yang harus diikuti, ditakuti, dan dilayani. Apapun kalau
untuk negara, maka semuanya harus ikut dan harus turut. Semua energi dan pikiran harus
disumbangkan untuk negara. Memang betul apa yang dikatakan oleh John F. Kennedy
(mantan Presiden Amerika Serikat ke-35) bahwa: "Jangan tanyakan apa yang sudah negara
berikan padamu, tapi tanyakan apa yang sudah kamu berikan pada negara." Pemikiran
semacam ini menjadi produktif manakala sang “administrator negara atau daerah” memang
menerapkan prinsip-prinsip keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan untuk rakyatnya. Tetapi
apabila sang “administrator” menampilkan sosok otoriter, militertistik, tidak adil, tidak
demokratis, diskriminatif, KKN dan lain-lain dalam pemerintahannya, maka istilah
“administrasi negara” menjadi kontra produktif. Karena antara pengabdian rakyatnya kepada
negara dan kepada pemerintah memiliki perbedaan yang sangat tipis. Disatu sisi rakyat
sangat menjunjung tinggi kecintaan kepada negara dengan berbagai bentuk pengabdiannya,
namun disisi lain pengabdian itu juga harus ditujukan kepada “penguasa” negara yang
bertentangan dengan keinginan rakyatnya. Bagi pemimpin negara yang otoriter, maka tidak
bisa dibedakan antara negara dengan sang pemimpin. Seolah-olah negara adalah miliknya.
Menurut Keban (2008:4-5) administrasi publik mempunyai variasi makna. Ada yang
menterjemahkan administrasi publik sebagai administration of public atau administrasi dari
publik. Ada yang administration for public atau administrasi untuk publik, bahkan ada yang
melihatnya sebagai administration by public atau administrasi oleh publik. Variasi
terjemahan tersebut menarik karena dapat menunjukkan suatu rentangan kemajuan
administrasi publik mulai dari administrasi publik yang berparadigma paling tidak demokratis
sampai yang paling demokratis, atau dari yang tidak memperhatikan aspek pemberdayaan
masyarakat sampai ke yang benar-benar memperhatikan pemberdayaan masyarakat.
Lebih lanjut beliau mengatakan, istilah administration of public menunjukkan
bagaimana pemerintah berperanan sebagai agen tunggal yang berkuasa atau sebagai
regulator, yang aktif dan selalu berinisiatif dalam mengatur atau mengambil langkah dan
prakarsa, yang menurut mereka penting atau baik untuk masyarakat karena diasumsikan
bahwa masyarakat adalah pihak yang pasif, kurang mampu, dan harus tunduk dan menerima
apa saja yang diatur oleh pemerintah. Kemudian istilah administration for public
menunjukkan suatu konteks yang lebih maju dari yang pertama di atas, yaitu pemerintah
lebih berperanan dalam mengemban misi pemberian pelayanan publik (service provider).
Dalam konteks ini diasumsikan bahwa pemerintah lebih responsif atau lebih tanggap
terhadap apa yang dibutuhkan masyarakat dan lebih mengetahui cara terbaik untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Meskipun kebutuhan publik merupakan sasaran
utama kegiatan pemerintah, namun pemerintah tidak berupaya memberdayakan masyarakat.
Selanjutnya, istilah administration by public merupakan suatu konsep yang sangat
berorientasi kepada pemberdayaan masyarakat, lebih mengutamakan kemandirian dan
kemampuan masyarakat karena pemerintah memberikan kesempatan untuk itu. Dalam hal ini,
kegiatan pemerintah lebih mengarah kepada “empowerment” yaitu pemerintah berupaya
memfasilitasi masyarakat agar mampu mengatur hidupnya tanpa harus sepenuhnya
tergantung terus-menerus kepada pemerintah. Akibatnya masyarakat dapat memiliki tingkat
partisipasi yang tinggi, mulai dari penentuan kebutuhan sampai pada pelaksanaan dan
penilaian hasil, sementara pemerintah lebih memainkan perannya sebagai fasilitator, dan
dapat memfokuskan diri pada urusan-urusan kenegaraan yang bersifat strategis.
Kini istilah administrasi negara berubah menjadi administrasi publik (administration
for public dan administration by public). Jurusan atau program studi ilmu administrasi negara
yang ada diberbagai perguruan tinggi di Indonesia sudah banyak yang mengubah nama dari
administrasi negara menjadi administrasi publik. Dengan perubahan tersebut, orientasi
administrasi publik menjadi kepada publik. Pengertian publik secara umum adalah
sekelompok individu dalam jumlah besar. Menurut Keban (2008) “publik” memang dapat
diartikan sebagai masyarakat luas sebagai lawan dari individu, tetapi “publik” juga menunjuk
pada mereka yang bekerja untuk kepentingan masyarakat luas atau dikenal dengan “lembaga
pemerintah.” Dalam perkembangan ilmu administrasi publik, konsep “publik” bermakna luas
daripada hanya “government” (pemerintah saja), seperti keluarga, rukun tetangga, organisasi
non-pemerintah, asosiasi, pers, dan bahkan organisasi sektor swasta. Sebagai akibatnya
konsep publik yang luas ini, nilai-nilai keadilan, kewarganegaraan (citizenship), etika,
patriotisme, dan responsiveness menjadi kajian penting disamping nilai-nilai efisiensi dan
efektivitas. Secara lebih mendalam, Frederickson seperti dikutip oleh Nurmandi (2010:1)
membedakan berbagai perspektif dalam mendefinisikan publik, yaitu: (1) Publik sebagai
kelompok kepentingan (perspektif pluralis); (2) Publik sebagai pemilih rasional (perspektif
pilihan publik); (3) Publik sebagai pihak yang diwakili (perspektif perwakilan); (4) Publik
sebagai pelanggan (perspektif penerima pelayanan publik; (5) Publik sebagai warga negara.
Karena orientasinya kepada publik atau rakyat, maka negara berusaha sedemikian rupa
untuk melayani rakyatnya. Kalau dahulu rakyat yang melayani negara/pemerintah, maka
sekarang pemerintah/negara menjadi pelayan bagi rakyatnya. Terjadinya perubahan
paradigma tersebut, disamping karena adanya tuntutan masyarakat, demokratisasi dalam
berbagai bidang kehidupan, termasuk diantaranya tuntutan desentralisasi/otonomi daerah
(untuk kasus Indonesia), perubahan dan kemajuan teknologi informasi, teknologi komunikasi,
dan teknologi transportasi, juga tidak terlepas dari perubahan paradigma ilmu administrasi
negara atau administrasi publik itu sendiri.
Denhardt dan Denhardt membagi paradigma administrasi negara menjadi 3 paradigma
yaitu, Old Public Administration (OPA), New Public Management (NPM) dan New Public
Service (NPS). Paradigma yang paling mutakhir dalam administrasi negara menurut Denhardt
dan Denhardt adalah NPS. Ketiga perbandingan paradigma dimaksud, disajikan dalam tabel
berikut ini;
Referensi
Denhardt, Janet V. and Robert B. Denhardt. 2007. The New Public Service: Serving, not Steering.
Expanded Edition. Armon, New York: M.E. Sharpe.
http://www.menpan.go.id/index.php/liputan-media-index/143-kualitas-pelayanan-publik-rendah
[16-3-2011]
Keban, Yeremias T. 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik : Konsep, Teori dan Isu.
Yogyakarta: Gava Media.
Koran Jakarta, Kamis 4 November 2010
Nurmandi, Achmad. 2010. Manajemen Pelayanan Publik. Yogyakarta: Sinergi Publishing
Purwanto, Erwan Agus. 2005. “Pelayanan Publik Partisipatif” dalam Agus Dwiyanto (editor).
2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta : JICA
bekerjasama dengan Gajah Mada University Press.