Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE DALAM


PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori Governance

Dosen Pengampu :
Oscar Radyan Danar, S.AP.,M.AP., Ph.D

Disusun Oleh :
Agung Darmawan 175030101111001

KELAS B

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah tentang
“Penerapan Prinsip-Prinsip Good Governance dalam Pelayanan Publik di Indonesia” dengan
baik meskipun banyak kekurangan didalamnya.
Makalah ini ditulis sebagai pemenuhan tugas Ujian Tengah Semester mata kuliah Teori
Governance dan juga sebagai literatur atau bacaan untuk mahasiswa dan masyarakat pada
umumnya yang ingin mengetahui penjelasan lebih spesifik mengenai penerapan prinsip-prinsip
good governance. Atas dukungan moral dan materi yang diberikan dalam penyusunan makalah
ini, maka penulis mengucapkan terimakasih kepada Oscar Radyan Danar, S.AP.,M.AP., Ph.D
selaku dosen mata kuliah Teori Governance yang telah memberikan bimbingan dan ilmu
pengetahuannya kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, saran dan
kritik dari pembaca sangat diharapkan untuk evaluasi dalam penulisan makalah-makalah
selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan bisa memberi pengetahuan baru bagi
siapapun yang membutuhkan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak
yang mendukung terselesaikannya makalah ini.

Malang, 18 Oktober 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penulisan 2

BAB II KAJIAN PUSTAKA


2.1 Good Governance 3
2.1.1 Prinsip-Prinsip Good Governance 4
2.2 Pelayanan Publik 5
2.2.1 Jenis Pelayanan Publik 5
2.2.2 Kriteria Pelayanan Publik 6

BAB III PEMBAHASAN


3.1 Pentingnya Pelayanan Publik dalam Penerapan Good Governance di Indonesia 7
3.2 Penerapan Prinsip-Prinsip Good Governance dalam Pelayanan Publik di Indonesia 8

BAB IV PENUTUP
3.1 Kesimpulan 17

DAFTAR PUSTAKA 18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik menurut World Bank
didefinisikan sebagai “the manner in which power is exercised in the management of a
country’s economic and social resources for development.” (International Fund For
Agricultural Development, 1999). Dapat diartikan sebagai cara dimana kekuasaan dilakukan
dalam pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial suatu negara untuk pembangunan. Agenda
pemerintahan ini dilakukan dengan mereformasi hubungan antara pemerintah (government),
masyarakat sipil (civil society), dan pasar (market), World Bank memandang adanya hubungan
simbiosis antara tiga unsur tersebut.
Good governance bukan lagi sebagai paradigma baru dalam manajemen publik di
Indonesia. Era reformasi menandai berkembangnya good governance di Indonesia. Selama
kurang lebih dua dekade ini praktik governance di Indonesia, namun dampaknya masih belum
begitu dirasakan. Dalam praktinya pemerintah masih mengalami banyak kendala dalam
pengimplementasian good governance. Kendalanya yang pertama adalah good governance
memiliki dimensi yang luas sehingga dalam penerapannya diperlukan perubahan terhadap
segala aspek-aspek pemerintahan. Kedua, kondisi keragaman di Indonesia menyebabkan
kompleksitas terjadinya permasalahan governance menjadi begitu beragam. Ketiga, rendahnya
tingkat komitmen dari berbagai stakeholders dalam governance terhadap pelaksanaan good
governance di Indonesia, sehingga hasil implementasiannya tidak begitu maksimal.
Dari beberapa kendala itulah yang menjadi salah satu faktor mengapa penerapan good
governance di Indonesia masih begitu-begitu saja. Program-program yang dijalankan
pemerintah juga kebanyakan masih bersifat sporadis atau belum merata dan tidak terintegrasi
dengan baik sehingga dampaknya belum dirasakan oleh secara luas. Hal ini menunjukkan
bahwa kesiapan pemerintah dalam menerapkan good governance di Indonesia, pemerintah
juga belum memiliki strategi yang bersifat menyeluruh untuk proses pengembangan good
governance di Indonesia.
Seperti halnya yang dijelaskan sebagai kendala, bahwa pengembangan good
governance memiliki kompleksitas yang tinggi sehingga diperlukannya strategi untuk
pembaharuan dalam penerapan good governance. Menurut Dwiyanto (2014) bahwa
pengembangan good governance akan lebih mudah jika mulai diterapkan melalui sektor
pelayanan publik. Strategi ini lebih mudah diterapkan jika dibandingkan harus

1
mengembangkan nilai-nilai good governance dalam keseluruhan aspek kegiatan tata kelola
pemerintahan. Dengan melakukan pembaharuan pelayanan publik akan berimplikasi luas
terhadap perubahan aspek-aspek pemerintahan lainnya. Maka dari itulah, perubahan pada
pelayanan publik menjadi menjadi awal titik masuk sekaligus motor penggerak utama dalam
mendorong penerapan praktik good governance di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan dari latar kelakang telah diuraikan, maka dapat ditentukan rumusan
masalahnya, yaitu:
1. Bagaimana strategi dan upaya dalam penerapan prinsip good governance dalam
pelayanan publik di Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui strageti dan upaya yang dapat digunakan dalam
penerapan prinsip good governance dalam pelayanan publik di Indonesia.

2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Good Governance


Menurut Manalu dalam (Kartika, Hanafi dan Hermawan, 2012), good governance
merupakan “good governance is good governance. There are three elements involved in
governance, namely government, society and business. All three relations must be in a position
parallel to and control each other to avoid the domination or exploitation by one component
to another component.” Yang dapat diartikan bahwa good governance adalah pemerintahan
yang baik. Ada tiga elemen yang terlibat dalam pemerintahan, yaitu pemerintah, masyarakat
dan bisnis. Ketiga relasi tersebut harus berada dalam posisi yang sejajar dan saling mengontrol
untuk menghindari dominasi atau eksploitasi oleh salah satu komponen ke komponen lainnya.
Menurut World Bank good governance atau tata kelola pemerintahan adalah “the
manner in which power is exercised in the management of a country’s economic and social
resources for development.” Tata kelola yang baik atau tata kelola pemerintahan adalah “cara
kekuasaan dilakukan dalam pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial suatu negara untuk
pembangunan. (International Fund For Agricultural Development, 1999).
Good governance memiliki banyak pengertian, namun secara umum good governance
dapat diartikan sebagai suatu konsep kesepakatan bersama menyangkut tata kelola
pemerintahan yang diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat, dan sektor bisnis. Dalam
konsepnya good governance melibatkan tiga unsur yang terlibat dalam tata kelola
pemerintahan, yaitu: (Sedarmayanti dalam Arisaputra, 2013)
1. Pemerintah (government), pada konsepnya kepemerintahan didasarkan pada kegiataan
pemerintahan, namun lebih jauh lagi dalam praktiknya dengan melibatkan sektor swasta
dan lembaga masyarakat.
2. Sektor Swasta (private sector), yang dimaksud sektor swasta adalah pelaku sektor swasta
yang mencakup perusahaan yang aktif dalam interaksi dalam sistem pasar, misalnya:
peindustrian, perdagangan, perbankan dan koperasi swasta.
3. Masyarakat sipil (civil society), merupakan perorangan atau kelompok masyarakat yang
mampu berinteraksi secara sosial, politik dan ekonomi yang dapat berkontribusi dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
Dari ketiga unsur tersebut idealnya harus berjalan seiring dan selaras, dalam artian
saling mengendalikan dan sama-sama kuat tidak ada yang mendominasi antara satu sama lain.
Apabila intervensi pemerintah lebih kuat, maka nilai-nilai demokrasi tidak akan tumbuh karena

3
membawa ke-otoriteran pemerintah dalam kekuasan negara. Apabila didominasi oleh kekuatan
masyarakat (civil society), maka kondisi kehidupan negara akan kacau, berantakan, dan
government-less sehingga perkembangan negara tanpa arah yang jelas. Dan apabila peran
didominasi oleh sektor swasta, maka niscaya akan tumbuhnya kaum kapitalis yang akan
mengendalikan pemerintahan dan mempengaruhi kehidupan negara. Maka yang paling ideal
adalah ketiganya memiliki peran yang seimbang dan saling mempengaruhi antara satu sama
lain, sehingga tata kelola pemerintahan dapat berjalan dengan baik dan seimbang.

2.1.1 Prinsip-prinsip Good Governance


Dalam upaya mendukung terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik,
diperlukannya prinsip-prinsip yang menjadi tolak ukur dalam penerapan good governance.
United Nation Development Program (UNDP) dalam Arisaputra (2013) merumuskan prinsip-
prinsip sebagai berikut:
1. Partisipasi (Pariticipation)
Masyarakat memiliki hak suara untuk berpendapat dalam proses perumusan pengambilan
keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung. Prinsip partisipasi ini dibangun
atas dasar kebebasan dalam berpendapat dan berpartisipasi secara konstrukitf.
2. Transparansi (Transparancy)
Dijaminnnya penyediaan informasi terkait seluruh proses pemerintahan yang dapat
diperoleh bagi publik, dan infromasi tersebut harus jelas, akurat, dan mudah dimengerti
oleh semua pihak. Prinsip ini dibangun atas dasar hak kebebasan atas arus informasi.
3. Akuntabilitas (Accountability)
Tata kelola pemerintahan yang telah dilaksanakan oleh lembaga pemerintah dapat
dipertanggungjawabkan kepada publik, dengan melalui laporan pemerintah pada setiap
tahunnya.
4. Efektivitas dan Efisiensi (Effectivness and Efficiency)
Penyelenggaraan suatu proses pemerintahan dengan menggunakan sumber daya yang
tersedia secara optimal dan bertanggungjawab sepenuhnya untuk kepentingan
masyarakat sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.
5. Responsif (Responsiveness)
Merupakan kepekaan pengelola pelayanan terhadap kebutuhan setiap stakehlders
6. Orientasi pada Konsensus (Consensus Orientation)

4
Dalam praktiknya good governance menjadi perantara kepentingan stakeholders yang
berbeda untuk mendapatkan pilihan kepentingan (jalan tengah) yang lebih luas dalam hal
penentuan kebijakan maupun prosedur dalam tata kelola pemerintahan.
7. Aturan Hukum (Rule of Law)
Pemerintahan yang baik setidaknya memiliki karakteristik atas jaminan hukum dan
keadilan masyarakat terhadap keputusan kebijakan yang dipilih.
8. Kesetaraan dan inklusif
Semua elemen masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk meningkatkan
kesejahteraan dan mendapatkan pelayanan tanpa pengecualian.
9. Visi Strategis (Strategic Vision)
Para stakeholders harus memiliki perspektif good governance dan pengembangan secara
luas dan jauh ke depan, sejalan dengan apa yang diperlukan dalam proses pembangunan
secara berkelajutan.

2.2 Pelayanan Publik


Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Pelayanan
publik didefinisikan sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka untuk pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara
dan penduduk atas barang, jasa atau pelayanan administratif yang disediakan oleh
penyelenggara publik.
Menurut Sinambela, Rochadi, dkk (2006), pelayanan publik adalah pemberian layanan
(melayani) keperluan orang atau masyarakat yang memiliki kepentingan pada organisasi sesuai
dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Sedangkan menurut Subarsono (2014)
Pelayanan publik didefinisikan sebagai serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh birokrasi
publik untuk memenuhi kebutuhan warga sebagai pengguna pelayanan.

2.2.1 Jenis Pelayanan Publik


Menurut Gronroos dalam Subarsono (2014), dalam pelayanan publik terdapat dua jenis,
yaitu pelayanan berupa barang dan pelayanan berusa jasa. Keduanya memiliki perbedaan
karakteristik, yaitu:
a. Pelayanan Barang, memiliki karakteristik sebagai berikut:
1) Sesuatu yang memiliki wujud, berupa barang/benda.
2) Bersifat homogen, yaitu satu jenis barang dapat berlaku untuk semua orang.
3) Proses produksi dan distribusi berlangsung secara terpisah dengan proses konsumsi.
4) Pada umumnya pembeli/pengguna layanan tidak terlibat dalam proses produksi.

5
5) Dapat disimpan sebagai berang persediaan.
6) Dapat terjadi perpindahan kepemilikan.
b. Pelayanan Jasa, memiliki karakteristik sebagai berikut:
1) Sesuatu yang tidak berwujud, karena berupa proses atau kegiatan.
2) Bersifat heterogen, karena satu bentuk pelayanan belum tentu sama dengan pelayanan
orang lain.
3) Proses produk dan distribusi dilakukan bersamaan pada saat dikonsumsi.
4) Pembeli/pengguna layanan terlibat dalam proses produksi.
5) Tidak dapat disimpan.
6) Tidak ada terjadinya perpindahan kepemilikan.

2.2.2 Kualitas Pelayanan Publik


Pada dasarnya tujuan pelayanan publik adalah untuk memuaskan masyarakat. Untuk
mencapai kepuasan tersebut penyelenggara pelayanan dituntut untuk memberikan kualitas
pelayanan prima. tolak ukurnya dapat dinilai melalui: (Sinambela, Rochadi, dkk, 2006)
1. Transparansi, yaitu pelayanan yang bersifat terbuka, mekanisme yang mudah dan dapat
dimengerti, serta dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan pelayanan tanpa
terkecuali dan disediakan secara memadai .
2. Akuntabilitas, yakni pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Partisipatif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam
proses penyelenggaraan pelayanan publik dengan melalui memperhatikan aspirasi,
kebutuhan dan keinginan masyarakat.
4. Keadilan, yaitu pelayanan yang tidak diskriminatif terhadap suku, ras, agama, status
sosial, ataupun golongan.
5. Kondisional, yaitu pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan yang ada
dengan berprinsip pada efektivitas dan efisiensi.
6. Keseimbangan antara hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang mempertimbangkan
aspek keadilan antara pemberi pelayanan dan penerima pelayanan publik.

6
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pentingnya Pelayanan Publik dalam Penerapan Good Governance di Indonesia


Good governance telah lama menjadi impian dalam kehidupan pemerintahan
Indonesia, namun hingga kurang lebih dua dekade berkembangnya praktik governance di
Indonesia masih saja belum dapat dijalankan secara maksimal. Dalam penerapannya
pemerintah masih mengalami banyak kesulitan dalam memperbaiki praktik governance di
Indonesia. Untuk mengatasi permasalah tersebut pemerintah harus mengambil langkah-
langkah yang strategis untuk memperbaiki praktik governance di Indonesia. Salah satu strategi
pilihannya adalah dengan mengembangkan penerapan good governance melalui perbaikan dan
pengembangan penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia, dengan mengamalkan nilai-
nilai khas good governance, yaitu responsif, kesetaraan, transparan, akuntabel, efektif dan
efisien, serta partisipatif.
Beberapa pertimbangan yang menjadikan alasan pelayanan publik sebagai titik awal
untuk memulai mengembangkan penerapan good governance di Indonesia adalah yang
pertama, selama ini pelayanan publik menjadi wadah interaksi bagi pihak pemerintah dan
masyarakat. Masyarakat sering mengeluhkan buruknya penyelenggaraan pelayanan publik,
buruknya kualitas pelayanan dan birokrasi pelayanan menyebabkan kekecewaan masyarakat
terhadap pemerintah. Hal ini sangat mempengaruhi kepercayaan masyarakat, karena
menganggap pelayanan publik bercirikan pelayanan yang buruk. Kuncinya adalah apabila
terjadi perbaikan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik, manfaat dan dampaknya akan
dapat dirasakan masyarakat secara luas. Dengan sendirinya akan mampu membangkitkan
kepercayaan masyarakat bahwa masih ada kesempatan untuk membangun praktik good
governance di Indonesia, karena kepercayaan masyarakat sangatlah penting untuk modal
membangun semangat dalam upaya perbaikan praktik good governance di Indonesia.
Kedua, membangun nilai-nilai good governance dapat diterapkan lebih mudah melalui
ranah pelayanan publik. Hal tersebut dikarenakan pengembangan parameter keberhasilan
praktiknya dapat dinilai secara mudah. Selama ini kompleksitas good governance seringkali
mempersulit dalam pengukuran dan monitoring keberhasilan dari perkembangan praktik good
governance sehingga sulit untuk menentukan definisi berhasil atau gagalnya suatu program.
Dengan melalui pelayanan publik sebagai media untuk penerapan good governance
menjadikan lebih mudah untuk menentukan indikator atau tolak ukur keberhasilannya. Tolak

7
ukur penilainnya adalah dapat berupa pelayanan publik yang adil, responsif, transparan,
akuntabel, efektif dan efisien, serta partisipatif.
Ketiga, dalam pelayanan publik melibatkan kepentingan semua elemen governance,
yaitu pemerintah, masyarakat dan pasar (swasta). Baik atau buruknya pelayanan yang diberikan
pemerintah nantinya akan mempengaruhi kepuasan masyarakat sebagai customer. Selama ini
masyarakat hanya terpaksa menggunakan layanan publik yang diberikan oleh pemerintah
meskipun kualitasnya buruk, dikarenakan tidak ada pilihan lagi. Kemudian swasta sebagai
salah satu pengguna layanan pemerintah, juga turut merasakan dampaknya. Kita tahu bahwa
pelayanan dalam hal yang berkaitan dengan bisnis dan investasi sangatlah buruk. Apabila
pelayanan publik yang diberikan pemerintah sudah baik dan berwawasan good governance,
nantinya akan membantu mempermudah berkembangnya sektor swasta di Indonesia. Misalnya
dalam urusan perizinan usaha, kebijakan investasi, dan sebagainya. Keberadaan mereka sangat
penting karena sektor swasta sangat mempengaruhi sumber daya ekonomi yang merupakan
salah satu modal untuk Indonesia dalam mereformasi pelayanan publik.
Maka dengan demikian upaya pengembangan praktik governance di Indonesia akan
mendapat dukungan dari berbagai elemen. Dukungan sangatlah penting untuk menentukan
keberhasilan dalam upaya membangun good governance di Indonesia.

3.2 Penerapan Prinsip-Prinsip Good Governance dalam Pelayanan Publik di Indonesia


1. Pelayanan Publik yang Transparan
Transparansi merupakan prinsip yang sangat penting, karena dalam praktik governance
pemerintah dituntut untuk transparan terhadap semua elemen terkait dengan keterbukaan
informasi yang berkaitan dengan tata kelola pemerintahan, misalnya proses kebijakan, alokasi
dana anggaran, dan informasi lainnya. Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan
kepada stakeholders untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja pemerintah.
Menurut Maani (2009), dalam konsep transparansi setidaknya memiliki tiga aspek,
yaitu; 1) berkaitan dengan ketersediaan informasi, 2) kejelasan peran dan tanggung jawab
lembaga pelayanan publik, dan 3) jaminan atas sistem dan kapasitas dibalik produksi informasi.
Di Indonesia sendiri terkait masalah keterbukaan informasi masih menjadi suatu hal yang
langkah, karena sangat terbatas informasi yang dapat diakses oleh masyarakat. Apalagi
informasi yang berkaitan dengan anggaran, hal tersebut menjadi suatu pembahasan yang
sensitif. Masyarakat seringkali kesulitan untuk mendapatkan data yang berkaitan dengan
dana/anggaran, karena yang biasanya mengetahui adalah orang-orang tertentu di dalam
birokrasi pemerintahan dan hanya menjadi rahasia sendiri bagi birokrat pemerintahan.

8
Transparansi menjadi satu ukuran penting dari implementasi good governance, karena
memiliki keterkaitan erat dengan nilai good governance lainnya yaitu partisipasi dan
akuntabilitas. Jika pemerintah tidak transparan bagaimana bisa mewujudkan prinsip akuntabel,
karena penilaian apakah pemerintah akuntabel atau tidak tergantung dari keterbukaan
informasi yang diberikan. Selain itu untuk dapat menerapkan prinsip partisipatif, pemerintah
juga dituntut untuk transparan karena masyarakat atau stakeholders lainnya perlu mengetahui
hal-hal terkait pelayanan publik. Jika pemerintah bersikap tidak transparan, tentunya
stakeholders akan kesulitan untuk mendapatkan informasi terkait apa peran mereka, bagaimana
hak dan kewajiban mereka, dan bagimana aturan main berpartisipasinya. (Dwiyanto, 2014)
Untuk dapat mengukur tingkat transparansi pelayanan publik, Dwiyanto (2014)
menentukan tiga indikator untuk mengukur tingkat transparansi pelayanan publik. 1) Tingkat
keterbukaan informasi mengenai proses penyelenggaraan pelayanan publik. Tingkat
keterbukaannya meliputi informasi seluruh proses pelayanan publik yang didalamnya terkait
persyaratan, prosedur, biaya, mekanisme yang dibutuhkan dalam suatu pelayanan publik. 2)
Seberapa mudah peraturan dan prosedur pelayanan yang dapat dipahami oleh pengguna
pelayanan. Misalnya, kejelasan terkait persyaratan, prosedur, dan mekanisme pelayanan.
Karena banyak prosedur dalam pelayanan yang sulit dijelaskan dan diterima oleh para
pengguna layanan. 3) Kemudahan dalam memperoleh informasi terkait berbagai aspek
penyelenggaraan pelayanan publik. Seberapa tingkat kemudahan pengguna layanan dalam
mendapat informasi, jika semakin mudah maka tingkat transparansi dalam penyelenggaraan
pelayanan publik semakin tinggi.

2. Pelayanan Publik yang Akuntabel


Akuntabilitas dalam pelayanan publik dapat diartikan sebagai bentuk
pertanggungjawaban penyelenggara pelayanan atas kebijakan maupun pelayanan publik yang
telah dilaksanakan. Akuntabilitas dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur kualitas
kinerja pelayanan publik. Seringkali hasil dari pertanggungjawaban tersebut menunjukan
bahwa pelayanan publik masih ditingkatan yang rendah, masyarakat menilai bahwa kualitas
pelayanan publik masih buruk dan cenderung lamban. Salah satu penyebab buruknya
pelayanan publik adalah dalam penyelenggaraan pelayanan publik pemerintah terlalu
berorientasi kepada proses kegiatan dan pertanggungjawaban formal saja, sehingga orinetasi
hasil dan kualitas pelayanan dikesampingkan.
Dikutip dalam Kumorotomo (2014) akuntabilitas memiliki dua bentuk, yaitu
akuntabilitas implisit dan akuntabilitas eksplisit. Akuntabilitas implisit adalah

9
pertanggungjawaban atas setiap kebijakan, tindakan dan pelayanan publik yang telah
dilaksanakan. Sedangkan akuntabilitas eksplisit adalah pertangungjawaban pemerintah
(seorang pejabat atau pegawai pemerintah) untuk menanggung dan menjawab kosekuensi dari
cara-cara yang mereka gunakan dalam melaksanakan tugasnya.
Birokrasi pemerintahan seringkali dikaitkan dengan kasus KKN. Kasus KKN di
birokrasi pemerintahan sudah menjamur ke berbagai aspek pemerintahan, khususnya aspek
pelayanan publik. Salah satu faktor penyebab dari menjamurnya kasus KKN di lingkungan
pemerintahan adalah rendahnya tingkat akuntabilitas lembaga publik. Hasil penelitian pada
tahun 2004 yang dikutip dari Kumorotomo (2014), menyatakan bahwa lembaga/institusi di
Indonesia yang tingkat korupsinya paling tinggi adalah 1) Bea Cukai dengan tingkat korupsi
sebesar 62%, 2) Kepolisian, 3) TNI, dan 4) Lembaga Peradilan. Hal ini semakin menunjukkan
kondisi lembaga pelayanan publik yang semakin memprihatinkan. Maka dari itu good
governance menuntut untuk adanya pemerintahan yang akuntabel.
Sebagai suatu nilai good governance yang harus diterapkan, maka untuk mewujudkan
pelayanan publik yang akuntabel, dapat dilakukan melalui beberapa strategi, yaitu:
(Kumorotomo, 2014)
1) Penerapan merit sistem terhadap kinerja sektor publik
Permasalahan yang sering dijumpai pada birokrasi publik adalah penempatan jabatan
seseorang yang tidak berdasarkan pada kemampuan/kompetensinya. Inilah yang menjadi
salah satu penyebab dari ketidakmaksimalnya kualitas pelayanan publik yang diberikan.
Maka dari itu, diperlukannya pembaharuan terhadap sistem kerja sektor publik. Birokrasi
publik perlu menerapkan sistem yang objektif, berdasarkan kinerja pegawai yang telah
dicapai. Capaian itu dapat ditukar dengan imbalan/remunerasi, seperti tunjangan,
insentif, atau imbalan lainnya. Sehingga dengan ada bentuk reward tersebut, dapat
membangun semangat para birokrat untuk memberikan pelayanan secara maksimal.
2) Memberantas budaya paternalistik
Budaya paternalistik merupakan tindakan yang membatasi hak kebebasan seseorang atau
kelompok untuk demi kebaikannya sendiri. Misalnya, memprioritaskan pelayanan
kepada kawan atau kerabat. Budaya ini sudah menjadi salah satu ciri khas dari organisasi
sektor publik. Maka diperlukannya upaya untuk memerangi budaya paternalistik, agar
pelayanan publik dapat berlangsung secara adil dan setara bagi siapaun.
3) Pelayanan yang berorientasi pada pengguna pelayanan
Strategi ini diadopsi melalui organisasi swasta, dimana sistem pelayanannya selalu
mementingkan pelanggan. Penilaian pelanggan menjadi salah satu evaluasi terhadap

10
pelaksanaan pelayanan. Maka demikian pula dengan organisasi sektor publik yang
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pelayan publik dituntut untuk mampu
berorientasi kepada masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan mereka.
4) Penegakkan prinsip efektivitas dan efisiensi dalam pelayanan publik
Seringkali birokrasi pelayanan publik tidak memperhatikan aspek efektivitas dan
efisiensi, yang terpenting adalah tujuan dari kegiatannya dapat terlaksana. Dalam aspek
ini, akuntabilitas pelayanan publik dapat ditingkatkan jika mengutamakan prinsip
efektivitas dan efisiensi.
5) Melakukan perampingan struktur organisasi
Organisasi sektor publik sering diidentifikasikan sebagai organisasi kaya akan struktur,
sehingingga seringkali terjadi tumpang tindih tugas dan fungsinya, kewenangan yang
bias, pelemparan kewenangan. Inilah yang menyebabkan pemborosan dalam birokrasi
publik. Sehingga diperlukannya reformasi terhadap struktur organisasi agar terwujudnya
organisasi yang minim struktur namun kaya akan fungsi. Sehingga tidak lagi terjadinya
pemborosan.
6) Adanya delegasi kewenangan yang bertanggungjawab
Permasalahan umum yang terjadi di Indonesia adalah terhambatnya proses pelayanan
dikarenakan kendala dari pimpinan lembaga. Misalnya seseorang ingin mengajukan
permohonan pembuatan KTP namun terhambat karena permohonan KTP tersebut harus
ditandatangani oleh camat secara langsung, sehingga hal ini menyebabkan terhambatnya
proses pelayanan dan tentunya sangat tidak efektif dan efisien karena orang tersebut
harus berusaha ekstra untuk mendapat tanda tangan hanya untuk permohonan pembuatan
KTP. Solusinya adalah diperlukannya pendelegasian kewenangan dan diskresi terhadap
kewenangan yang dirasa tidak terlalu urgent, sehingga proses pelayanan dapat dilakukan
secara efektif dan efisien bagi pihak birokrat publik maupun bagi pengguna pelayanan
itu sendiri.
Dengan adanya strategi tersebut, nantinya dapat diterapkan dan dapat meningkatkan
akuntabilitas pelayanan publik di Indonesia. Akuntabilitas memiliki implikasi terhadap aspek
transparansi dan partisipatif dalam penerapan good governance, sekaligus sebagai landasan
dalam proses penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

3. Pelayanan Publik yang Partisipatif


Hingga saat ini pemerintah masih mendominasi segala aspek pemerintahan. Berbagai
peran-peran penting dijalankan oleh birokrasi pemerintah, mulai dari peran regulatif, protektif,

11
distributif, hingga publik servis. Namun dengan adanya pergeseran paradigma government
menjadi governance telah merubah pandangan keotoriteran pemerintah menjadi demokratif.
Bahwa memang seharusnya pemerintahan yang baik diciptakan dengan kerjasama antar
elemen, yaitu pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta.
Dengan adanya paradigma baru, membuat terjadinya pergeseran peran penyelenggara
pelayanan publik. Dimana peran tersebut diserahkan kepada swasta karena dianggap dapat
menjalankan secara lebih efisien. Maka peran pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan
publik menjadi sangat minim hanya sebatas pembuat regulasi dan pengawas atas kinerja sektor
swasta. Misalnya dalam beberapa kasus
Sejatinya dalam konsep governance, masyarakat tidak hanya berperan sebagai
pelanggan/pengguna pelayanan publik (customer), melainkan masyarakat sekaligus pemilik
(owner) atas tata kelola pemerintahan tersebut. Maka dari itu, masyarakat sejak awal harus
dilibatkan dalam perumusan pelayanan publik.
Strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi dalam pelayanan publik,
dianataranya adalah :
1) Membuka wadah untuk kritik dan saran bagi pemerintah yang dapat dilakukan melalui
telepon, komentar online (website), tulisan surat, dan media lainnya.
2) Menguatkan peran DPR/DPRD sebagai wadah aspirasi masyarakat.
3) Membentuk forum dan tim khusus untuk membantu masyarakat dalam menyampaikan
aspirasinya dengan skala yang lebih luas.
4) Membentuk program kemitraan dengan elemen masyarakat untuk melakukan
pendekatan dan mencari permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.
5) Melakukan survei terhadap kualitas pelayanan publik dan menjaring aspirasi masyarakat.
Dengan adanya partisipasi publik dalam penyediaan pelayanan publik sangatlah
mempengaruhi terhadap tingkat kualitas pelayanan publik. Adanya partisipasi masyarakat dari
awal perumusan bentuk dan macam pelayanan publik yang dibutukan, diharapkan dapat sesuai
dengan kebutuhan dan permintaan masyarakat sebagai pengguna pelayanan publik.

4. Pelayanan Publik yang Responsif


Pelayanan publik yang responsif merupakan kemampuan penyelenggara pelayanan
publik untuk mengidentifikasikasi kebutuhan dari masyarakat, dengan menyusun berbagai
prioritas kebutuhan dan mengembangkannya menjadi berbagai program layanan yang
dibutuhkan masyarakat. Karena pada hakikatnya tujuan adanya pelayanan publik adalah untuk

12
memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat serta mewudjukannya dengan hasil yang
memuaskan. Responsivitas dalam pelayanan publik dapat dinilai melalui:
1) Kemampuan untuk menciptakan sistem pelayanan publik yang efektif dan efisien yang
tidak bersifat birokratis.
2) Dapat memenuhi kebutuhan pengguna layanan (masyarakat) serta dapat menyelesaikan
segala permasalahan yang terjadi secara menyeluruh
Seringkali pelayanan di Indonesia kurang memenuhi dengan apa yang diinginkan
masyarakat, dikarenakan penyelenggara pelayanan publik hanya merencanakan pelayanan
tanpa melihat aspirasi (berupa kebutuhan, keinginan, keluuhan) dari masyarakat. Hal inilah
yang menyebabkan pelayanan publik sering tidak tepat sasaran. Selain itu, penyebab rendahnya
tingkat resposivitas birokrasi pelayanan publik di Indonesia diantaranya adalah 1) Rendahnya
komitmen dari birokrat itu sendiri untuk dapat menyelenggarakan pelayanan publik yang
responsif, 2) Buruknya budaya organisasi dan motivasi semangat kerja di birokrasi pelayanan
publik, 3) Lemahnya kode etik pelayanan dan sanksi yang memberatkan, dan 4) Kurang
memadainya sarana dan prasana untuk menunjang pelayanan publik yang responsif.
Pelayanan yang responsif adalah pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan target
pengguna layanan. Kesigapan penyelenggara pelayanan dalam merespon kebutuhan dan
keinginan masyarakat sangatlah dibutuhkan. Untuk meningkatkan responsivitas tersebut dapat
dilakukannya beberapa strategi yaitu; menerapkan startegi Know Your Customer (KYC) dan
penerapan citizen’s charter. (Subarsono, 2014)
a. Strategi Know Your Customer (KYC)
Strategi know your customer/KYC yang diadopsi dari konsep pendekatan perbankan,
merupakan sebuah konsep pendekatan terhadap customer bertujuan untuk mengenali
customer. Dalam konteks pelayanan publik, KYC dapat digunakan untuk mengenali
kebutuhan dan keinginan publik sebelum menentukan jenis pelayanan yang akan
diberikan kepada pengguna. Untuk dapat mengetahui kebutuhan dan keingin publik
dapat dilakukan beberapa metode, yaitu 1) melalui survei dengan menyiapkan daftar
pertanyaan yang dapat digunakan untuk mengidentifikasikan kebutuhan masyarakat, 2)
melalui wawancara, dan 3) melalui observasi.
b. Penerapan Citizen’s Charter
Citizen charter atau piagam warga merupakan bentuk kontrak pelayanan antara birokrasi
pelayanan publik dan pengguna pelayanan publik yang bertujuan untuk menjamin
kualitas dari pelaksanaan pelayanan publik. Dalam kontrak tersebut disepakati hak dan
kewajiban pengguna pelayanan secara jelas, berisi prosedur pelaksanaan, informasi

13
terkait pelayanan, misalnya biaya, waktu, persyaratan dan sebagainya. Sehingga dalam
kontrak pelayanan tersebut dapat diketahui juga pelayanan publik yang dibutuhkan dan
diinginkan oleh pengguna pelayanan.

5. Pelayanan Publik yang Efektif dan Efisien


Pelayanan publik merupakan kewajiban dari birokrasi pemerintah sebagai
penyelenggara pelayanan publik yang harus diberikan kepada masyarakat sebagai pengguna
pelayanan publik. Selama ini proses pelaksanaan pelayanan publik hanyalah berorientasi pada
pelaksanaan dan pertanggung jawaban saja, namun tidak memiliki orientasi pada pelaksanaan
yang efektif dan efisien. Sehingga menyebabkan krisis kepercayaan terhadap birokrasi
pemerintah dalam menyelenggaraan pelayanan publik.
Dalam konsep good governance, suatu pelayanan harus mencerminkan nilai efektif dan
efisien. Menurut Warsono (2016) suatu kinerja dikatakan efisien apabila mencapai output yang
lebih tinggi (berupa hasil, produktivitas, performa) dibandingkan dengan input yang digunakan
(berupa tenaga kerja, bahan, uang, mesin dan waktu). Sedangkan efektivitas merupakan ukuran
yang menyatakan seberapa jauh target yang telah dicapai (berupa kualitas, kuantitas, dan
waktu). Apabila target yang dicapai besar, maka tingkat efektivitasnya semakin tinggi.
Birokasi pelayanan di Indonesia seringkali dicirikan sebagai birokasi yang boros
terhadap penggunaan sumber daya, namun kualitas yang dihasilkan tidak maksimal. Maka dari
itu birokrasi pelayanan publik perlu merevitalisasi diri agar berorientasi pada pelayanan publik
yang efektif dan efisien. Langkah upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan pelayanan
publik yang efektif dan efisien adalah : (Subarsono, 2014)
1) Sistem pelayanan yang harus menyesuaikan dengan kebutuhan pengguna layanan, agar
tidak terjadi pemborosan. Penyelenggara pelayanan publik harus mampu
mengidentifikasi kebutuhan dan keinginan masyarakat sebagai pengguna layanan. Hal
ini sangatlah kompleks, untuk meminimalisir terjadinya kesalahan dalam identifikasi
kebutuhan masyarakat dapat dilakukan melalui strategi Know Your Customer. Tujuan
dari penerapan strategi mengenali pengguna adalah untuk mengurangi resiko terjadinya
kesalahan identifikasi kebutuhan publik.
2) Menerapkan pelayanan yang berbasis teknologi modern untuk menunjang efisiensi.
Misalnya, melalui pemanfaatan komputer akan menghasilkan output yang lebih banyak
dengan waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan tenaga manual.

14
3) Menyiapkan SDM pegawai yang memiliki wawasan teknologi agar sebanding dengan
pembaharuan sistem pelayanannya, sehingga mampu untuk beradaptasi dengan sistem
pelayanan yang baru.
4) Menghapuskan budaya paternalisme dalam birokrasi pelayanan. Kasus-kasus seperti
inilah yang menjadi penghambat dalam mewujudkan pelayanan publik yang efektif dan
efisien, sehingga perlu untuk diberantas dari birokrasi pelayanan.

6. Pelayanan Publik yang Adil


Pelayanan yang adil merupakan pelayanan yang memperlakukan semua pengguna
layanan secara sama/setara tanpa membedakan berdasarkan suku, ras, agama, status sosial, dan
sebagainya. Pelayanan publik harus dilakukan tanpa adanya tindakan diskriminasi terhadap
pengguna layanan. Indikator untuk mengukur suatu pelayanan publik yang adil atau tidak dapat
dinilai melalui: (Subarsono, 2014)
1) Adanya akses bagi semua orang untuk mendapatkan kualitas pelayanan yang sama.
2) Menerapkan nomor urut dalam pemberian pelayanan publik.
3) Tidak diberlakukakknya dispensasi pelayanan kepada pengguna layanan
Menurut Subarsono (2014). dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang adil dan
menjunjung tinggi asas equity, terdapat tiga acuan yang harus diterapkan, yaitu :
1) Asas Kesamaan Hukum
Penyelenggara pelayanan harus memberikan akses yang sama bagi semua pengguna
untuk mendapatakan pelayanan publik yang mereka butuhkan. Asas ini bertujuan untuk
tidak terjadinya tindak diskriminatif terhadap pengguna yang ingin mendapatkan
pelayanan publik, sehingga tindakan prioritas bagi kawan, kerabat, hubungan dekat
lainnya, atau bahkan tindak penyuapan dapat dihindarkan.
2) Prinsip Netralitas
Tujuan diterapkannya prinsip netralis didasarkan pada kesamaan status dalam pelayanan
publik, tidak dibedakan berdasarkan jabatan, golongan, atau kelompok. Prinsip netralis
diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan yang telah melarang untuk semua
PNS menjadi anggota atau pengurus partai. Dengan diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, sesuai ketentuan yang berlaku
dalam pasal 9 ayat 2 bahwa “Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi
semua golongan dan partai politik”. Konsekuensinya adalah apabila ingin menjadi
anggota atau pengurus partai diharuskan untuk mengundurkan diri, apabila terbukti

15
masih berstatus sebagai PNS namun menjadi anggota atau pengurus partai sanksinya
adalah diberhentikan dengan tidak hormat.
3) Menegakkan Penerapan Kode Etik
Tujuan diberlakukannya kode etik dalam birokasi pelayanan publik adalah untuk
memberikan sanksi kepada birokrat pelayanan yang terbukti melakukan diskriminasi
terhadap pengguna pelayanan, serta melakukan pelanggaran lainnya. Saat ini adanya
kode etik hanya sebagai aturan belaka, dan tidak sepenuhnya diterapkan. Hal tersebut
dikarenakan kurangnya kontrol dari berbagai stakeholders terkait. Maka dengan itu
perlunya penegakan kode etik untuk dapat mewujudkan pelayanan yang netral dan non
partisan.

16
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Praktik good governance di Indonesia sudah berjalan kurang lebih dua dekade, namun
masih saja dalam penerpannya belum menhasilkan perkembangan yang diharapkan.
Pemerintah masih mengalami kendala sehingga implementasi good governance di Indonesia
masih terhambat. Kendalanya diantaranya adalah, 1) good governance memiliki dimensi yang
luas sehingga dalam penerapannya diperlukan perubahan terhadap segala aspek-aspek
pemerintahan. 2) kondisi keragaman di Indonesia menyebabkan kompleksitas terjadinya
permasalahan. 3) rendahnya tingkat komitmen dari berbagai stakeholders dalam pelaksanaan
good governance di Indonesia.
Untuk itu pemerintah harus merumuskan strategi yang dapat digunakan untuk
memperbaiki dan mengembangkan praktik good governance di Indonesia, yaitu dengan
menerapkan nilai-nilai good governance melaui pelayanan publik di Indonesia. Alasan yang
mendasari pengembangan praktik good governance melalui pelayanan publik dikarenakan
mudahnya untuk menentukan indikator keberhasilanya, yakni apabila pelayanan publik
berjalan secara transparan, akuntabel, partisipatif, responsif, efektif dan efisien serta
berkeadilan, maka praktiknya dapat dikatakan berhasil.
. Meskipun pada kenyataanya tingkat kualitas pelayanan publik di Indonesia masih
dikatakan rendah, namun apabila benar dapat terwujudnya perbaikan pelayanan publik dengan
melalui nilai-nilai good governance akan berimplikasiasi terhadap aspek pemeritahan lainnya.
Selain itu, dengan adanya perbaikan tingkat pelayanan publik dan aspek pemerintahan lainnya
akan menjadi harapan baru bagi bangsa Indonesia untuk dapat mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang baik.

17
DAFTAR PUSTAKA

Arisaputra, M. Ilham. 2013. PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE


DALAM PENYELENGGARAAN REFORMA AGRARIA DI INDONESIA. Jurnal
Yuridika: Volume 28 No. 2, Mei-Agustus 2013.
Dwiyanto, Agus. 2014. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik (Cetakan
Keempat). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Dwiyanto, Agus. 2014. Transparansi Pelayanan Publik, dalam Agus Dwiyanto,ed.
Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, hal. 223-267. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
International Fund For Agricultural Development. 1999. Good Governance An Overview.
Roma : Executive Board – Sixty-Seventh Session.
Kartika, Hanafi dan Hermawan. 2012. GOOD ENVIRONMENTAL GOVERNANCE. Malang :
Universitas Brawijaya Press.
Kumorotomo, Wahyudi. 2014. Pelayanan yang Akuntabel dan Bebas dari Praktik KKN, dalam
Agus Dwiyanto,ed. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, hal. 95-
134. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Maani, Karjuni Dt. 2009. Transparansi dan Akuntabilitas Pelayanan Publik. Jurnal Demokrasi
Volume VIII No. 1 Tahun 2009.
Purwanto, Erwan Agus. 2014. Pelayanan yang Partisipatif. dalam Agus Dwiyanto,ed.
Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, hal. 173-222. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Sinambela, Rochadim, dkk. 2016. Reformasi Pelayanan Publik: Teori, Kebijakan, dan
Implementasi. Jakarta : Bumi Aksara.
Subarsono, Ag. 2014. Pelayanan Publik yang Efisien, Efektif dan Non Partisan. dalam Agus
Dwiyanto,ed. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, hal. 135-172.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Warsono, Eko. 2016. PENGARUH EFISIENSI PELAYANAN PUBLIK DAN DISIPLIN KERJA
TERHADAP EFEKTIVITAS KERJA PEGAWAI KELUARAHAN SUNTER JAYA DI
JAKARTA UTARA. The Indonesian Journal of Public Administration, Volume 2 No. 1,
Januari-Juni 2016.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara

18

Anda mungkin juga menyukai