Social responsiveness merupakan perilaku korporasi yang secara responsif
dapat mengadaptasi kepentingan sosial masyarakat. Social responsiveness merupakan tindakan antisipasi dan reventif atau bisa juga corporate social responsiveness dapat dijelaskan sebagai kapasitas suatu korporasi dalam memberikan respon terhadap tekanan sosial. Tanggung jawab sosial dapat berkisar pada kontinum dari tidak ada respon (do nothing) untuk respon proaktif (berbuat banyak). Asumsi yang dibuat di sini bisnis yang memang memiliki tanggung jawab sosial dan bahwa fokus utama adalah bukan pada manajemen menerima kewajiban moral namun pada derajat dan tindakan manajerial jenis. Tanggung jawab sosial perusahaan mengacu pada kapasitas perusahaan untuk merespon pressures.Tindakan sosial literal menanggapi, atau mencapai postur yang umumnya responsif, dan berfokur pada masyarakat. Satu mencari organisasi untuk mekanisme, prosedur, pengaturan, dan pola perilaku yang, diambil secara kolektif, akan menandai organisasi sebagai lebih atau kurang mampu menanggapi tekanan sosial. Berdasarkan Frederick (1994), corporate social responsiveness (yang diberikannya label CR2) adalah lebih pragmatis atau lebih terorientasi pada aspek praktis daripada corporate social responsibility (CSR1): The often speculative generalities that becloud the debate about CSR1 yield to the analytic posture and methods of CSR2 scholar and business practitioners who seek to understand the problems and prospects o making specific organization socially response (1994:155). Lebih lanjut, ia berargumentasi bahwa perubahan CSR1 menjadi CSR2 tidak hanya sebatas perubahan istilah saja tetapi lebih merupakan proses yang dapat disebut sebagai revolusi ilmiah kecil (small scientific revolution) seperti yang disampaikan Thomas Khun. Sehingga pada lebih lanjut dia mendefinisikan corporate social responsiveness sebagai: capacity of corporation to respond to social pressures (…) [and] th aility to manage the company’s relations with various social group. Proses (corporate social responsiveness) dalam bentuk tanggapan yang diberikan perusahaan terhadap berbagai tekanan sosial, terjadi pada seluruh industri dan bukan hanya menyangkut satu organisasi perusahaan tertentu dan kebijakan (social issues management) sebagai kebijakan yang dikeluarkan oleh perusahaan secara individual saat mengelola masalah-masalah sosial, di mana masing-masing perusahaan akan mengeluarkan kebijakan yang berbeda-beda dan bergantung pada pertimbangan manajemen untuk mengatasi suatu masalah sosial.
Tahapan Corporate Social Responsiveness
S. Prakash Sethi (1975) yang menetapkan tiga skema untuk mengklasifikasikan adaptasi perilaku perusahaan untuk kebutuhan sosial: 1. Kewajiban sosial (social obligation). Kewajiban sosial melibatkan perilaku perusahaan dalam menanggapi kekuatan pasar atau kendala hukum. 2. Tanggung jawab sosial (social responsibility). Tanggung jawab sosial berarti membawa perilaku perusahaan sampai ke tingkat di mana itu adalah sama dan sebangun dengan norma-norma yang berlaku sosial, nilai- nilai, dan harapan. 3. Kepedulian sosial (social responsiveness). Kepedulian sosial menunjukkan bahwa yang penting adalah bukan bagaimana perusahaan harus merespon tekanan sosial, tetapi apa yang harus menjadi peran jangka panjang mereka dalam suatu sistem sosial yang dinamis. Bisnis, oleh karena itu, harus antisipatif dan preventif
Pendekatan Corporate Social Responsiveness
Perluasan dimensi corporate social responsibility menjadi corporate socialresponsiveness didorong oleh terjadinya kecenderungan pada masyarakat industri yangdapat disingkat dengan fenomena DEAF, sebuahakronim dari Dehumanisasi, Equalisasi, Aquariumisasi, dan Feminisasi (Suharto, 2005) 1. Dehumanisasi industri. Efisien dan mekanisasi yang semakin menguat di dunia industri telah menciptakan persoalan-persoalan kemanusiaan baik bagi kalangan buruh di perusahaan tersebut, maupun bagi masyarakat di sekitar perusahaan. "Merger mania" dan perampingan perusahaan telah menimbulkan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja dan pengangguran, ekspansi dan eksploitasi dunia industri telahmelahirkan polusi dan kerusakan lingkungan yang hebat. 2. Equalisasi hak-hak publik. Masyarakat kini semakin sadar akan haknya untuk meminta pertanggungjawaban perusahaaan atas berbagai masalah sosial yang sering kali ditimbulkan oleh beroperasinya perusahaan. Kesadaran ini semakin menuntut akuntabilitas (accountability) perusahaan bukan saja dalam proses produksi, melainkan pula dalam kaitannya dengan kepedulian perusahaan terhadap berbagai dampak sosial yang ditimbulkannya. 3. Aquariumisasi dunia industri. Dunia kerja ini semakin transparan dan terbuka laksana sebuah akuarium .Perusahaan yang hanya memburu rente ekonomi dan cenderung mengabaikan hokum, prinsip, etis, dan, filantropis tidak akan mendapat dukungan publik. Bahkan dalam banyak kasus, masyarakat menuntut agar perusahaan seperti ini di tutup. 4. Feminisasi dunia kerja. Semakin banyaknya wanita yang bekerja semakin menuntut dunia perusahaan, bukan saja terhadap lingkungan internal organisasi, seperti pemberian cuti hamil dan melahirkan, kesehatan dan keselamatan kerja, melainkan pula terhadap timbulnya biaya-biaya sosial, seperti penelantaran anak, kenakalan remaja akibat berkurangnya kehadiran ibu-ibu dirumah dan tentunya dilingkungan masyarakat. Pelayanan sosial seperti perawatan anak (child care), pendirian fasilitas pendidikan dan kesehatan bagi anak-anak, atau pusat-pusat kegiatan olah raga dan rekreasi bagi remaja bisa merupakan sebuah “kompensasi” sosial terhadap isu ini.
Keterkaitan CSR dengan Corporate Social Responsiveness
Corporate social responsievness mengidentifikasi bagaimana organisasi dan stakeholder secara dinamis berinteraksi dan peduli terhadap lingkungan. Sebaliknya, Corporate Social Responsbility mengacu pada kewajiban moral perusahaan kepada masyarakat. Responsievness (daya tanggap) dan Responsbility (tanggung jawab) tentunya saling terkait. CSR adalah suatu komitmen bagi para perusahaan untuk melakukan hubungan ynag menguntungkan antara bisnis dan juga masyarakat, sedangkan Corporate social responsiveness merupakan upaya untuk merespons kebutuhan sosial. Jika didasarkan pada perspektif ini, maka Corporate Social Responsiveness bisa menjadi bagian dari implementasinnya. Corporate social responsieveness lebih merujuk pada strategi dari perusahaan dalam merespon ekspetasi ekonomi, hukum serta moral dari para stakeholder. Setidaknya ada 4 model dalam Corporate social responsievenss. 1. Expectations, Ini adalah ketika tanggung jawab yang perusahaan lakukan tidak bertemu dengan ekspetasi dari stakeholder. 2. Reactive, Ketika perusahaan menggunakan strategi ini maka ia akan melakukan tindakan yang masih minim atau dibawah ekspetasi publik. 3. Defensive, Strategi ini adalah ketika perusahaan mengakui tanggung jawab atas permasalahn namun mereka melakukan “sesuatu yang paling tidak dibutuhkan” berdasarakan ekpesatasi masyarakat. 4. Accomadative, Perusahaan akan mengakui tanggung jawab akan masalah dan mereka juga melakukan segala hal yang menjad ekspetasi dari masyarakat. 5. Proactive, adalah ketika perusahaan mengantisipasi permasalahan terjadi dan melakukan sesatu diatas ekspetasi serta mereka menjadi pemimpin industri berdasarkan pendekatannya.
Manajemen konflik dalam 4 langkah: Metode, strategi, teknik-teknik penting, dan pendekatan operasional untuk mengelola dan menyelesaikan situasi konflik
ILMU PERUBAHAN DALAM 4 LANGKAH: Strategi dan teknik operasional untuk memahami bagaimana menghasilkan perubahan signifikan dalam hidup Anda dan mempertahankannya dari waktu ke waktu