PENDAHULUAN
Kebutuhan pellet besi pada industri besi dan baja dalam negeri sendiri
membutuhkan sekitar 2,5 juta ton dan selama proses transportasi pellet tersebut
menerima gesekan, tekanan atau goyangan yag menyebabkkan pellet terkikis
ataupuun hancur. Syarat pellet senfiri yang bisa direduksi ukuran 6-20 mm
sedangkan pellet yang berukuran dibawah mm tidak memungkinkan lagi
dgunakan sebagai umpan dan disebut debu pellet atau fines pellet.jumlah pellet
sendiribisa mencapai 3% dari jumlah pellet yang diimport yakni sekitar 75000 ton
[dewi 1992]
Secara ontologis Baja adalah logam campuran yang tediri dari besi (Fe)
dan karbon (C). Jadi baja berbeda dengan besi (Fe), alumunium (Al), seng (Zn),
tembagga (Cu), dan titanium (Ti) yang merumakan logam murni. Dalam senyawa
antaa besi dan karbon (unsur nonlogam) terrsebut besi menjadi unsur yang lebih
dominan dibanding karbon. Kandungan kabon berkisar antara 0,2 – 2,1% dari
berat baja, tergantung tingkatannya. Secara sederhana, fungsi karbon adalah
meningkatkan kwalitas baja, yaitu daya tariknya (tensile strength) dan tingkat
kekerasannya (hardness). Selain karbon, sering juga ditambahkan unsur chrom
(Cr), nikel (Ni), vanadium (V), molybdaen (Mo) untuk mendapatkan sifat lain
sesuai aplikasi dilapangan seperti antikorosi, tahan panas, dan tahan temperatur
tinggi.
Besi ditemukan digunakan pertama kali pada sekitar 1500 SM Tahun 1100
SM, Bangsa hittites yang merahasiakan pembuatan tersebut selama 400 tahun
dikuasai oleh bangsa asia barat, pada tahun tersebut proses peleburan besi mulai
diketahui secara luas. Tahun 1000 SM, Bangsa Yunani, Mesir, Jews, Roma,
Carhaginians dan Asiria juga mempelajari peleburan dan menggunakan besi
dalam kehidupannya.Tahun 800 SM, India berhasil membuat besi setelah di
invansi oleh bangsa arya. Tahun 700 – 600 SM, Cina belajar membuat besi.
Tahun 400 – 500 SM, baja sudah ditemukan penggunaannya di Eropa. Tahun 250
SM, bangsa India menemukan cara membuat baja. Tahun 1000 M, baja dengan
campuran unsur lain ditemukan pertama kali pada 1000 M pada kekaisaran fatim
yang disebut dengan baja Damaskus. 1300 M, Rahasia pembuatan baja damaskus
hilang.1700 M, Baja kembali diteliti penggunaan dan pembuatannya di Eropa.
Proses canai (rolling) dari berbagai profil mulai berkembang pada saat besi
tuang dan besi tempa telah semakin banyak digunakan. Batang – batang mulai
dicanai pada skala industrial sekitar tahun 1780. Perencanaan rel dimulai sekitar
1820 dan diperluas sampai pada bentuk – I menjelang tahun 1870-an.
Perkembangan proses Bessemer (1855) dan pengenalan alur dasar pada konverter
Bessemer (1870) serta tungku siemens-martin semakin memperluas penggunaan
produk – produk besi sebagai bahan bangunan. Sejak tahun 1890, baja telah
mengganti kedudukan besi tempa sebagai bahan bangunan logam yang terutama.
Dewasa ini (1990-an), baja telah memiliki tegangan leleh dari24 000 sampai
dengan 100 000 pounds per square inch, psi (165 sampai 690 MPa), dan telah
tersedia untuk berbagai keperluan struktural.
Biji besi dan atau pelet bijih besi merupakan sumber unsur besi yang
penting untuk pembuatan baja. Produksi pengolahan besi telah berkembang secara
signifikan dalam beberapa tahun terakhir, karena permintaan baja meningkat di
negara-negara berkembang, seperti Cina dan India. Namun kandungan bijih besi
pada endapan alam telah mulai berkurang sehingga bijih besi kadar rendah juga
telah diproses sedemikian rupa. Dan produk yang dihasilkan dari pengolahan
penambangan setelah pembersihan dan pengurangan ukuran harus diaglomerasi
dalam pabrik pelet. Alhasil, sehingga jumlah pabrik pelletizing akan terus
meningkat di masa mendatang.
Pellet bijih besi di buat melelui proses peletizing, dengan prinsip utama
pembuatan pellet bijih besi meliputi tiga tahapan yaitu:
3. Indurasi, yaitu proses peningkatan kekuatan pellet Sedangkan pellet biji besi
adalah gumpalan berbentuk bola yang di buat dari partikel halus dengan bahan
konsentrat bijih besi.
Upaya pemanfatan pasir besi lokal sebagai bahan baku besi baja, pasir besi
yang digunakan sebagai bahan baku di campur dengan batubara sebagai bahan
reduktor dan bentonit sebagai perekat lalu dibuat pellet. Semua bahan digiling
dengan kehalusan mesh 100 dan di reduksi di furnace dan di lebur pada suhu 1500
oC selama beberapa jam.[6] Bijih besi dalam bentuk lump ore di pellet dengan
komposisi tertentu lalu di reduksi, saat proses pellet bijih besi ukurannnya
diperkecil, sedangkan suhu reduksi adalah berkisar antara 800 – 1050oC Produk
dari pada sponge iron ini adalah sebagai bahan baku untuk pembuatan baja
dengan jenis produk type of iron-bassed atau ferro alloys.[7]
Secara epistemologi, Proses pembuatan pellet bijih besi terdiri dari tiga
langkah utama:
2. Proses Balling; Green Pellet adalah pellet yang digulung tanpa proses
termal apa pun. Produk ini dihasilkan dan diperoleh di bawah kontrol
kelembaban yang ketat dan memiliki bentuk bola dan diameter 8–16 mm;
Berdasarkan uraian di atas, kita dapat mengetahui bahwa dari segi energi, proses
reduksi besi dengan tanur tinggi sangatlah boros. Hal ini berbeda dengan proses
reduksi langsung, dimana konsumsi energi lebih kecil dan bahan baku tidak
menggunakan kokas tetapi batu bara, minyak bumi dan gas alam yang relatif lebih
murah.
2. 1 REAKSI REDUKSI
Reaksi kimia selalu melibatkan pelepasan maupun penyerapan energi. Hal
tersebut menunjukkan bahwa setiap material memiliki energi. Energi dilepaskan
apabila dalam suatu reaksi produk memiliki energi yang lebih rendah daripada
pereaktan, sedangkan suatu reaksi dikatakan menyerap energi apabila produk
memiliki energi yang lebih tinggi daripada pereaktan.
Ketika suatu unsur bereaksi dengan unsur lain membentuk suatu senyawa,
energi panas yang digunakan pada reaksi tersebut disebut sebagai energi panas
pembentukan (entalpi pembentukan) yang diberi lambang ΔHf. Contoh entalpi
pembentukan adalah sebagai berikut :
ΔH (kal/mol) ΔF (kal/mol)
T ( K)
298 -266800 -242200
400 -266100 -233900
500 -265300 -225900
600 -264300 -218100
700 -262900 -210500
800 -261200 -203100
900 -259500 -196000
1000 -259700 -188900
1100 -260500 -181800
1200 -261100 -174600
1300 -260600 -167400
1400 -260100 -160300
1500 -259600 -153200
1600 -259100 -146100
1700 -259600 -139000
1800 -259500 -131900
Tabel 2.5 Standar Energi Panas dan Energi Bebas Pembentukan Fe2 O 3
T ( K) ΔH (kal/mol) ΔF (kal/mol)
298 -196200 -176800
400 -195800 -170200
500 -195200 -163900
600 -194600 -157700
700 -193900 -151600
800 -193100 -145600
900 -192400 -138900
1000 -191900 -133900
1100 -192400 -128900
1200 -192700 -112200
1300 -192300 -116400
1400 -191900 -110400
1500 -191500 -104800
1600 -191500 -99000
1700 -191200 -93300
1800 -190700 -87500
2.2 Energi Bebas
Energi bebas merupakan selisih antara total energi pada sistem dengan energi
ikatan, TS. Energi bebas reaksi kimia pada temperatur konstan dirumuskan sebagai
berikut :
∆𝐹 = ∆𝐻 − 𝑇∆𝑆………………………...………………(2.1)
Keterangan :
Apabila ΔF bernilai negatif maka reaksi tersebut dapat berjalan secara spontan,
namun apabila suatu reaksi ΔF bernilai positif maka reaksi tersebut tidak dapat berjalan
secara spontan. Contoh energi bebas beberapa reaksi sebagai berikut :
Ada tiga tahapan reaksi reduksi yang terjadi pada besi oksida dengan
reduktor karbon, yakni :
I II III
Persamaan (I)
T
Persamaan (II)
Atau
Persamaan (III)
atau
Untuk mengetahui apakah reaksi ini dapat berlangsung atau tidak pada temperatur
tertentu, maka kita perlu menghitung nilai energi bebasnya. Misalkan pada persamaan
(II), jika temperatur pemanasan 700K maka nilai energi bebas adalah +750 kal/mol.
Sedangkan jika temperatur pemanasan ditingkatkan menjadi 900K, maka nilai nilai
energi bebas menjadi -1070 kal/mol. Arti tanda positif pada nilai energi bebas adalah
reaksi tersebut tidak akan berjalan, sebaliknya jika tanda nilai energi bebas negatif maka
reaksi tersebut akan berjalan. Semakin negatif nilai energi bebas maka reaksi tersebut
akan berjalan semakin cepat.
2.5 Diagram Bouduard
Gaussner – Bouduard membuat sebuah diagram yang menggambarkan
kesetimbangan antara besi, hematit, magnetit, wustit, karbon padat, karbon monoksida,
dan karbon dioksida.
Secara aksiologi, diagram Bouduard ini merupakan dasar untuk reduksi langsung
dengan karbon.
Pada diagram di atas terdapat kesetimbangan besi oksida dengan campuran gas
CO/ CO2, antara lain :
• Garis kesetimbangan Boudouard : CO2 + C = 2CO
Proses reduksi bijih besi secara umum terbagi atas dua metode yaitu
reduksi tidak langsung (indirect reduction) dan reduksi langsung (direct
reduction). Proses reduksi bijih besi secara tidak langsung dilakukan dalam
blast furnace dengan reduktor berupa kokas batubara atau char dengan
temperatur di atas titik lebur besi dengan produk berupa lelehan logam Fe
yang selanjutnya di umpankan ke dalam BOF (Basic Oxygen Furnace) dan
sebagian kecil akan di cetak menjadi pig iron.
Pada Gambar 2.3 terlihat bahwa pada bagian paling luar terdapat lapisan logam besi, hal
ini menjadikan bagian permukaan besi oksida telah tereduksi sempurna menjadi besi.
Kemudian yang terjadi adalah difusi atom C melalui lapisan logam besi menuju
permukaan besi oksida. Reaksi yang terjadi ditunjukkan oleh persamaan (1) [Ross, 1980]:
FeO + C → Fe + CO ΔG0
1273 = -8,41 Kkal..... ............ (1)
Pada persamaan (1) terlihat bahwa atom karbon akan mereduksi FeO sehingga
menghasilkan Fe
dan gas CO. Secara termodinamika diketahui bahwa gas CO berfungsi sebagai reduktor
sebagaimana
terlihat pada persamaan (2), (3) dan (4) [Rosenqvist, 1980]:
3Fe2O3 + CO → 2Fe3O4 + CO2, ΔG o1273 = -211,292 KJ/mol.......... (2)
Fe3O4 + CO → 3FeO + CO2, ΔGo 1273 = -35,564 KJ/mol........... ..(3)
FeO + CO → Fe + CO2, ΔGo 1273 = -344, 917 KJ/mol...........(4)
Hasil dari reaksi antara besi oksida dengan gas CO akan menghasilkan gas CO2,
kemudian akan
bereaksi dengan karbon yang masih tersisa sehingga menghasilkan gas CO kembali
(reaksi Boudouard)
[Ross, 1980]:
CO2 + C → 2CO ΔG01273 = -12,41 Kkal ................ (5)
Jadi, pada dasarnya proses reduksi adalah proses difusi atom C dan gas CO menuju
permukaan
besi oksida yang kemudian mengikat atom O dan membawanya keluar sebagai gas
produk berupa gasCO ataupun CO2. Tabel 1. merupakan nilai koefisien difusi atom C,
gas H2 dan gas C
Unsur D (m2det1 referensi
C pada temperatur 1000 1,1 X 10-6 Habashi, 1969
0C
H2 pada temperatur 727- 10,82-21,07 Turkdogan,1999
1227 C
CO pada temperatur 727- 1,63-3,20 Turkdogan,1999
1227 C
Untuk mengetahui kespontanan suatu reaksi dapat dilihat dari nilai perubahan energi
bebasnya (ΔG) dari reaksi tersebut, jika ΔG bernilai negatif maka reaksi cenderung akan
berubah secara spontan sedangkan jika bernilai positif maka reaksi cenderung akan
berubah secara spontan pada arah yang sebaliknya dan ketika ΔG = 0, menunjukkan
bahwa reaksi berada pada kondisi kesetimbangan. ΔG dan konstanta kesetimbangan (K)
keduanya saling berhubungan, seperti yang terlihat pada persamaan 6 [Habashi, 1969]:
T = Temperatur (K)
Pada umumnya, reaksi-reaksi kimia pada proses metalurgi berlangsung pada temperatur
dan tekanan tetap, sehingga di dapat nilai ΔG=0, yang berarti bahwa reaksi berada pada
kondisi kesetimbangan yang mengakibatkan persamaan 6 berubah seperti yang
diperlihatkan pada persamaan 7 [Habashi, 1969].
KINETIKA REDUKSI
Yang dimaksud dengan kinetika reaksi adalah untuk mempelajari laju reaksi (rate of
reaction), sehingga memungkinkan untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan bagi
berlangsungnya suatu reaksi [4].
Lama pengamatan
Namun pernyataan laju reaksi tersebut diatas merupakan nilai rata-rata selama
pengamatan, sedang pada umumnya laju reaksi tidaklah tetap atau berubah selama
berlangsungnya proses. Dengan demikian dinyatakan perubahan konsentrasi dalam
jumlah yang kecil terhadap perubahan waktu yang singkat pula. Jadi laju reaksi dapat
dinyatakan dengan rumus :
Keterangan :
Pada persamaan di atas dapat pula dinyatakan selain perubahan konsentrasi juga
perubahan berat atau perubahan volume yang biasanya diketahui melalui percobaan.
Sehingga laju reaksi sesungguhnya dapat juga dinyatakan oleh pertambahan produk
reaksi.
Bila laju reaksi dinyatakan sebagai perubahan komposisi terhadap waktu yaitu :
……………………………..(2.13)
Lama pengamatan
Namun pernyataan laju reaksi tersebut diatas merupakan nilai rata-rata selama
pengamatan, sedang pada umumnya laju reaksi tidaklah tetap atau berubah selama
berlangsungnya proses. Dengan demikian dinyatakan perubahan konsentrasi dalam
jumlah yang kecil terhadap perubahan waktu yang singkat pula. Jadi laju reaksi dapat
dinyatakan dengan rumus :
Keterangan :
Pada persamaan di atas dapat pula dinyatakan selain perubahan konsentrasi juga
perubahan berat atau perubahan volume yang biasanya diketahui melalui percobaan.
Sehingga laju reaksi sesungguhnya dapat juga dinyatakan oleh pertambahan produk
reaksi.
Bila laju reaksi dinyatakan sebagai perubahan komposisi terhadap waktu yaitu :
……………………………..(2.13)
……………………………………….(2.16)
Persamaan 2.12 merupakan persamaan umum laju reaksi. Sedangkan faktor-faktor yang
mempengaruhi laju reaksi tersebut adalah :
1. Konsentrasi reaktan
2. Temperatur operasi
Ditinjau dari jumlah fasa yang terlihat dalam suatu rekasi, maka jenis reaksi dpat di golongkan
dalam 2 kategori, yaitu:
Pada reaksi heterogen terdapat bidang kontak antarreaktan maupun antara reaktan dengan produk.
Jika hasil reaksi berupa padatan terbentuk pada sistem heterogen yang melibatkan fasa padat,
kinetika reaksi ditentukan oleh lapisan padatan tersebu, porous atau non porous. Kemudian akan
timbul lapisan yang diam di permukaan lapisan padat tersebut. Jika lapisan padatan bersifat
porous, difusi reaktan melalui boundary layer perlu diperhitungkan, sedangkan pada lapisan
padatan yang porousnya sangat sedikit bisa diabaikan.
• Untuk mendapatkan besi, biji besi direduksi (menarik O2 dari oksida besi )
- Reduksi langsung
• Gas reduktor: Hidrogen atau CO yang dihasilkan dari pemanasan gas alam cair (LNG)
dengan uap air
Atau
• Reduktor : Batubara
• Reaksi:
C + CO2 à CO
• Pada tanur biji besi direduksi (reduksi tak langsung) menjadi besi
Udara panas ditiupkan kedalam tanur sehingga kokas (karbon) terbakar menghasilkan panas
2. Karbon dioksida kemudian bereaksi dengan karbon panas menjadi karbon monoksida
3. Selanjutnya Karbon monoksida mereduksi besi dalam biji besi menjadi besi cair
• Batu kapur (CaCO3): untuk menghilangkan kotoran pada biji besi: silika atau Silikon
Oksida, SiO2
2. Silikon Oksida bereaksi dengan Calcium Oksida membentuk Calcium Silicate atau biasa
disebut terak (Slag)
ANALISA DATA
Dari hasil analisa basah penentuan nilai Normalitas K2Cr2O7 diperlukan untuk penentuan % Fe total dan
% Fe metal berdasarkan rumus pada persamaaan 10 dan 11 dibawah ini
Untuk mengetahui nilai energi aktivasi yang dibutuhkan dalam suatu proses reduksi, dapat di hitung
dengan menggunakan persamaan Arrhenius seperti yang diperlihatkan pada persamaan reaksi 13 dan
14 [Habashi, 1969].
-Pada gambar 7 dapat dilihat pengaruh dari ukuran butir dan temperatur reduksi terhadap persen
metalisasi. Menurut gambar 7, metalisasi besi menurun sebanding dengan semakin besarnya ukuran
butir, namun berbanding terbalik dengan peningkatan temperatur. Persen metalisasi diperoleh pada
ukuran 120,97 um berturut-turut pada temperatur 900, 950, dan 100 C adalah 86,34 dan 89,2256. Hal
ini menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur pada tube furnace maka laju perpindahan panas
akan meningkat yang mengakibatkan laju reaksi reduksi daoat lebih ceoat dan pembentukan logam Fe.
Pada temperatur 900 dan 950 tingkat metalisasi pada pellet lebih rendah dibandingkan metalisasi pada
temperatur 1000 C. hal ini dipengaruhi oleh gasifikasi karbon yang dihasilkan batu bara yang berjalan
lambat. Menurut diagram kesetimbangan gas CO dan CO2 keberadaan karbon pada proses reduksi
menyebabkan co2 akan menjadi tidak stabil pada temperatur tinggi dan akan tereduksi menjadi CO.
dengan kata lain, gas co akan stabil pada temoeratur diatas 900 (Biswas 1981) demikian pula jika dilihat
dari diagram Ellingham pada temperatur 1000 reduksi Feo menjadi Fe dapat berlangsung jika kondisi
dalam proses reduksi dapat menghasilkan komposisi gas co melebihi daerah kestabilan feo dan adanya
sisa karbon pada proses reduksi.
-Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa pada temperatur 1000 reaksi gasifikasi berjalan lebih
cepat sehingga gas CO yang dihasilkan mecukupi untuk mereduksi FeO menjadi logam Fe dengan waktu
proses yang sama menjadi lebih sempurna dan lebih tinggi dibandin temperatur 900 dan 950 seperti
pada gambar 7
Sepertihalnya metalisasi, persen reduksi juga dipengaruhi oleh temperatur. Penentuan % reduksi berdasarkan persamaan
15
Pada Gambar 8. terlihat bahwa persen reduksi tertinggi diperoleh pada temperatur 1000 oC sebesar 93,08%. Sementara
untuk temperatur 900 dan 950 0C, persen reduksinya berturut-turut hanya sebesar 88,81 dan 91,41%. Ini menunjukkan
bahwa temperatur sangat berpengaruh karena temperatur tinggi dibutuhkan untuk menjaga kestabilan gas CO yang
merupakan hasil reaksi gasifikasi batubara sebagai reduktor yang digunakan pada proses reduksi fines pellet. Sedangkan
untuk pengaruh ukuran butir baik itu terhadap persen metalisasi maupun persen reduksi, secara kinetika tidak terlalu
berpengaruh meski hasil tertinggi sama-sama dihasilkan pada ukuran butir 130,97µm. Hal ini dikarenakan dari energi
aktivasi bahwa proses dikendalikan oleh reaksi kimia yang sangat bergantung pada temperatur.
BAB IV
KESIMPULAN.
Energi aktivasi dari fines pellet terendah terjadi pada ukuran butir 130,97µm sebesar 13,70 kkal/mol dan
tertinggi sebesar 24,09 kkal/mol pada ukuran butir 3700 µm.
4. nilai persen reduksi berbanding lurus dengan nilai persen metalisasi, persen reduksi tertinggi juga
diperoleh pada ukuran 130,97
5. ukuran butir dan temperatur reduksi cukup memberikan pengaruh terhadap kenaikan nilai persen
metalisasi dan persen reduksi.
6. parameter optimum proses pada ukuran butir 130,97 temperatur reduksi 1000 dengan waktu tahan
selama 90 menit.