Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Baja merupakan material yang banyak digunakan dalam kunstruksi mesin,
karena memiliki sifat ulet mudah dibentuk, kuat maupun mampu keras. Selain itu
baja dengan unsur utama Fe dan C bisa dipadukan dengan unsur lain seperti Cr,
Ni, Ti, dan sebagainya, untuk mendapatkan sifat mekanik seperti yang diinginkan.
Jumlah karbon dalam struktur baja dapat menentukan sifat mekanis dan unjuk
kerja (performance) nya. Untuk memproduksi baja diperlukan bahan baku dan
bahan-bahan penunjang yang sebagian besar masih di import salah satunya bahan
baku yang digunakan dalam pembuatan besi baja yang disebut pellet yang
bersumber dari berbagai negara seperti kanada, brazil dan peru.

Kebutuhan pellet besi pada industri besi dan baja dalam negeri sendiri
membutuhkan sekitar 2,5 juta ton dan selama proses transportasi pellet tersebut
menerima gesekan, tekanan atau goyangan yag menyebabkkan pellet terkikis
ataupuun hancur. Syarat pellet senfiri yang bisa direduksi ukuran 6-20 mm
sedangkan pellet yang berukuran dibawah mm tidak memungkinkan lagi
dgunakan sebagai umpan dan disebut debu pellet atau fines pellet.jumlah pellet
sendiribisa mencapai 3% dari jumlah pellet yang diimport yakni sekitar 75000 ton
[dewi 1992]

Secara ontologis Baja adalah logam campuran yang tediri dari besi (Fe)
dan karbon (C). Jadi baja berbeda dengan besi (Fe), alumunium (Al), seng (Zn),
tembagga (Cu), dan titanium (Ti) yang merumakan logam murni. Dalam senyawa
antaa besi dan karbon (unsur nonlogam) terrsebut besi menjadi unsur yang lebih
dominan dibanding karbon. Kandungan kabon berkisar antara 0,2 – 2,1% dari
berat baja, tergantung tingkatannya. Secara sederhana, fungsi karbon adalah
meningkatkan kwalitas baja, yaitu daya tariknya (tensile strength) dan tingkat
kekerasannya (hardness). Selain karbon, sering juga ditambahkan unsur chrom
(Cr), nikel (Ni), vanadium (V), molybdaen (Mo) untuk mendapatkan sifat lain
sesuai aplikasi dilapangan seperti antikorosi, tahan panas, dan tahan temperatur
tinggi.

Besi ditemukan digunakan pertama kali pada sekitar 1500 SM Tahun 1100
SM, Bangsa hittites yang merahasiakan pembuatan tersebut selama 400 tahun
dikuasai oleh bangsa asia barat, pada tahun tersebut proses peleburan besi mulai
diketahui secara luas. Tahun 1000 SM, Bangsa Yunani, Mesir, Jews, Roma,
Carhaginians dan Asiria juga mempelajari peleburan dan menggunakan besi
dalam kehidupannya.Tahun 800 SM, India berhasil membuat besi setelah di
invansi oleh bangsa arya. Tahun 700 – 600 SM, Cina belajar membuat besi.
Tahun 400 – 500 SM, baja sudah ditemukan penggunaannya di Eropa. Tahun 250
SM, bangsa India menemukan cara membuat baja. Tahun 1000 M, baja dengan
campuran unsur lain ditemukan pertama kali pada 1000 M pada kekaisaran fatim
yang disebut dengan baja Damaskus. 1300 M, Rahasia pembuatan baja damaskus
hilang.1700 M, Baja kembali diteliti penggunaan dan pembuatannya di Eropa.

Penggunaan logam sebagai bahan struktural diawali dengan besi tuang


untuk bentang lengkungan (arch) sepanjang 100 ft (30 m) yang dibangun di
Inggris pada tahun 1777 – 1779. Dalam kurun waktu 1780 – 1820. Dibangun lagi
sejumlah jembatan dari besi tuang, kebanyakan berbentuk lengkungan dengan
balok – balok utama dari potongan – potongan besi tuang indivudual yang
membentuk batang – batang atau kerangka (truss) konstruksi. Besi tuang juga
digunakan sebagai rantai penghubung pada jembatan – jembatan suspensi sampai
sekitar tahun 1840. Setelah tahun 1840, besi tempa mulai mengganti besi tuang
dengan contoh pertamanya yang penting adalah Brittania Bridge diatas selat
Menai di Wales yang dibangun pada 1846 – 1850. Jembatan ini menggunakan
gelagar –gelagar tubular yang membentang sepanjang 230 – 460 – 460 – 230 ft
(70 – 140 – 140 – 70 m) dari pelat dan profil siku besi tempa.

Secara aksiologi Billet merupakan produk setengah jadi berupa baja


batangan hasil peleburan untuk bahan baku utama pembuatan batang kawat (wire
rod). Aplikasi dari batang kawat, antara lain: kawat paku dan mesh, mur dan baut,
spring bed, spoke (kisi-kisi jendela, jeruji dan pintu pagar), serta kawat elektroda
untuk keperluan pengelasan. Slab adalah produksi industri peleburan yang
selanjutnya diproses menjadi baja lembaran panas (hot rolled coil/plate), dan baja
lembaran dingin (cold rolled/sheet).

Secara aksiologi, pengaplikasian baja lembaran panas, antara lain untuk


konstruksi umum dan las (rangka baja jembatan, kapal, otomotif, tiang pancang,
alat berat dan pabrikasi); pipa dan tabung (pipa struktur kecil, pipa kanal, pipa
umum, pipa spesial); komponen dan rangka otomotif (chassis; cross members,
wheel discs and rims, rear axles, tangki bahan bakar, fi lter oli), jalur pipa untuk
minyak dan gas, casing dan tubing pipa sumur minyak, tabung gas elpiji, tabung
pemadam kebakaran, tabung acetylene, dan tangki gas, baja tahan korosi cuaca
(container, kendaraan khusus, menara transmisi, tiang kabel telepon dan
konstruksi jembatan, konstruksi kapal); serta boiler dan pressurized container
(baja untuk pembangkit listrik, pabrik kimia dan pabrik pemrosesan produk
pertanian).

Aplikasi baja lembaran dingin, antara lain: penggunaan umum (suku


cadang otomotif, baja mebel, pipa, tabung, drum, komponen elektronik, atap dan
lantai bangunan, dan berbagai pemakaian yang memerlukan pemotongan,
pembentukan, pengelasan ataupun pabrikasi umum); galvanized sheet (besi baja
dalam bentuk pelat/ lembaran kawat/pipa, yang telah dilapisi logam seng agar
tahan terhadap korosi); porcelain enamel-ware (peralatan dapur, oven gas dan
mesin cuci, alat memasak mangkuk dan panci, alat kedokteran dan kimia,
eksterior bangunan); serta tin mill black plate yaitu baja untuk industri pelat timah
untuk kaleng makanan dan minuman, kaleng cat, kontainer kimia (Sobandi, 2009)

Proses canai (rolling) dari berbagai profil mulai berkembang pada saat besi
tuang dan besi tempa telah semakin banyak digunakan. Batang – batang mulai
dicanai pada skala industrial sekitar tahun 1780. Perencanaan rel dimulai sekitar
1820 dan diperluas sampai pada bentuk – I menjelang tahun 1870-an.
Perkembangan proses Bessemer (1855) dan pengenalan alur dasar pada konverter
Bessemer (1870) serta tungku siemens-martin semakin memperluas penggunaan
produk – produk besi sebagai bahan bangunan. Sejak tahun 1890, baja telah
mengganti kedudukan besi tempa sebagai bahan bangunan logam yang terutama.
Dewasa ini (1990-an), baja telah memiliki tegangan leleh dari24 000 sampai
dengan 100 000 pounds per square inch, psi (165 sampai 690 MPa), dan telah
tersedia untuk berbagai keperluan struktural.

Biji besi dan atau pelet bijih besi merupakan sumber unsur besi yang
penting untuk pembuatan baja. Produksi pengolahan besi telah berkembang secara
signifikan dalam beberapa tahun terakhir, karena permintaan baja meningkat di
negara-negara berkembang, seperti Cina dan India. Namun kandungan bijih besi
pada endapan alam telah mulai berkurang sehingga bijih besi kadar rendah juga
telah diproses sedemikian rupa. Dan produk yang dihasilkan dari pengolahan
penambangan setelah pembersihan dan pengurangan ukuran harus diaglomerasi
dalam pabrik pelet. Alhasil, sehingga jumlah pabrik pelletizing akan terus
meningkat di masa mendatang.

Komposisi pellet dengan reduktor sebanyak 17 %, bijih besi 80 % dan


bentonit 3 % sudah cukup baik karena pada saat selesai pelletisasi dan di
keringkan pellet cukup keras sehingga sewaktu di masukkan ke dalam rotary kiln
tidak hancur sehingga kalau pada saat proses reduksi dan rotary kiln di putar maka
pellet tidak hancur maka perekat bentonit 3% cukup baik. Pada saat proses reduksi
pellet bijih besi di dalam rotary kiln sebaiknya denmgan waktu tinggak selama 2
jam maka rotary harus di putar dengan 1 kali putaran setiap 15 menit sekali ini
dimaksudkan agar sponge iron yang di hasilkan matang dengan rata,untuk
mencegak agar tidak terjadi melting pada satu permukaan saja dan kalau ini
terjadi maka sponge iron yang di hasilkan akan menggumpal satu dengan yang
lainnya tidak memisah.

Proses reduksi langsung didefinisikan sebagai suatu proses menghasilkan


besi-metal dengan mereduksi bijih besi ataupun bentuk senyawa oksida lainnya
dibawah temperatur lebur setiap material yang terlibat di dalamnya [Feinman.,
1999]. Hasil proses reduksi langsung disebut dengan DRI (Direct Reduction Iron),
karena hasilnya masih dalam bentuk padatan dan secara fisik pada permukaannya
terlihat rongga-rongga atau porositas maka disebut juga dengan besi spons. [4]
Gambar 2. Pellet Pasir Besi/ Karat Besi

Gambar 3. Sponge Hasil Reduksi

Pellet bijih besi di buat melelui proses peletizing, dengan prinsip utama
pembuatan pellet bijih besi meliputi tiga tahapan yaitu:

1. Preparasi bahan baku, meliputi proses pengayakan dan grinding.

2. Pembentukan bola pellet (balling), meliputi proses pencampuran, pengadukan


dan pembentukan bahan baku menjadi bentuk bola silinder.

3. Indurasi, yaitu proses peningkatan kekuatan pellet Sedangkan pellet biji besi
adalah gumpalan berbentuk bola yang di buat dari partikel halus dengan bahan
konsentrat bijih besi.
Upaya pemanfatan pasir besi lokal sebagai bahan baku besi baja, pasir besi
yang digunakan sebagai bahan baku di campur dengan batubara sebagai bahan
reduktor dan bentonit sebagai perekat lalu dibuat pellet. Semua bahan digiling
dengan kehalusan mesh 100 dan di reduksi di furnace dan di lebur pada suhu 1500
oC selama beberapa jam.[6] Bijih besi dalam bentuk lump ore di pellet dengan
komposisi tertentu lalu di reduksi, saat proses pellet bijih besi ukurannnya
diperkecil, sedangkan suhu reduksi adalah berkisar antara 800 – 1050oC Produk
dari pada sponge iron ini adalah sebagai bahan baku untuk pembuatan baja
dengan jenis produk type of iron-bassed atau ferro alloys.[7]

Persyaratan kualitas besi pelet, seperti spesifikasi fisik, kimia dan


metalurgi, bergantung pada masing-masing pengolahan pembuatan besi dan
persyaratan tersebut mempengaruhi pengoperasian pabrik pellet. Proses
pelletizing bijih besi dengan metoda memutar bijih besi halus dan lembab dalam
drum untuk membentuk bola bijih besi dan kemudian mengeringkannya, pertama
kali dipatenkan oleh AG Andersson di Swedia pada tahun 1912. Kapasitas
pelletisasi terpasang di dunia saat ini diperkirakan 480,7 juta ton / tahun. Cina
merupakan negara yang memilki kapasitas produksi terbesar, diikuti oleh Amerika
Serikat dan Amerika Serikat serta Brazil.

Secara epistemologi, Proses pembuatan pellet bijih besi terdiri dari tiga
langkah utama:

1. Persiapan dan pencampuran bahan pelet: bahan baku (konsentrat bijih


besi, aditif — antrasit, dolomit — dan pengikat) disiapkan berdasarkan
ukuran partikel dan spesifikasi kimiawi, dicampur sesuai dengan
prosentasenya dan dicampur bersama untuk dilakukan proses pelletizing.

2. Proses Balling; Green Pellet adalah pellet yang digulung tanpa proses
termal apa pun. Produk ini dihasilkan dan diperoleh di bawah kontrol
kelembaban yang ketat dan memiliki bentuk bola dan diameter 8–16 mm;

3. Proses Indurasi: Green Pellet dikeraskan dalam pemrosesan suhu tinggi


dengan laju pemanasan yang terkontrol, dan bertujuan untuk mencapai
persyaratan fisik dan metalurgi tertentu untuk penanganan, transportasi,
dan aplikasinya.
BAB II
DASAR FILOSOFIS

Proses reduksi langsung merupakan proses pembuatan besi yang menghindari


fasa cair. Proses ini merupakan pengembangan dari teknologi tanur tinggi.
Sebagai teknologi pembuatan besi yang paling tua, tanur tinggi memiliki beberapa
kelemahan, yakni [1]:

 Temperatur proses sangat tinggi ( >1500 oC) untuk melelehkan besi.


 Konsumsi energi yang sangat tinggi, dikarenakan untuk mencapai
temperatur tinggi.
 Penggunaan kokas yang harganya relatif mahal dan dalam jumlah banyak.

Berdasarkan uraian di atas, kita dapat mengetahui bahwa dari segi energi, proses
reduksi besi dengan tanur tinggi sangatlah boros. Hal ini berbeda dengan proses
reduksi langsung, dimana konsumsi energi lebih kecil dan bahan baku tidak
menggunakan kokas tetapi batu bara, minyak bumi dan gas alam yang relatif lebih
murah.

2. 1 REAKSI REDUKSI
Reaksi kimia selalu melibatkan pelepasan maupun penyerapan energi. Hal
tersebut menunjukkan bahwa setiap material memiliki energi. Energi dilepaskan
apabila dalam suatu reaksi produk memiliki energi yang lebih rendah daripada
pereaktan, sedangkan suatu reaksi dikatakan menyerap energi apabila produk
memiliki energi yang lebih tinggi daripada pereaktan.

Ketika suatu unsur bereaksi dengan unsur lain membentuk suatu senyawa,
energi panas yang digunakan pada reaksi tersebut disebut sebagai energi panas
pembentukan (entalpi pembentukan) yang diberi lambang ΔHf. Contoh entalpi
pembentukan adalah sebagai berikut :

C + ½O2 → CO ΔHf = - 26.416 cal/mol

C + O2 → CO2 ΔHf = - 94.05


cal/mol

Tanda negatif (-) mengindikasikan jumlah panas yang


dibutuhkan.

Ketika suatu senyawa bereaksi dengan senyawa lain membentuk


suatu senyawa baru maka ΔHf berubah menjadi ΔH penguraian, oleh
karena itu besar ΔHf harus dibalik. Apabila ΔH reaksi bernilai positif
maka reaksi merupakan reaksi endotermik (menyerap panas). Apabila
ΔH bernilai negatif maka reaksi merupakan reaksi eksotermik
( melepaskan panas).
Berikut ini adalah beberapa tabel Kelly:

Tabel 2.1 Standar Energi Panas dan Energi Bebas Pembentukan CO


o ΔH ΔF
T ( K) (kal/mol) (kal/mol)
298 -26416 -32808
400 -26320 -35010
500 -26300 -37180
600 -26330 -39360
700 -26410 -41530
800 -26510 -43680
900 -26640 -45820
1000 -26770 -47920
1100 -26910 -50050
1200 -27060 -52150
1300 -27210 -54240
1400 -27380 -56310
1500 -27540 -58370
1600 -27730 -60430
1700 -27900 -62640
1800 -28080 -64480
Tabel 2.2 Standar Energi Panas dan Energi Bebas Pembentukan
FeO
o ΔH (kal/mol) ΔF
T ( K) (kal/mol)
298 -63500 -58150
400 -63250 -56800
500 -94090 -94390
600 -94120 -94440
700 -94170 -94540
800 -94220 -94580
900 -94270 -94610
1000 -94320 -94640
1100 -94360 -94660
1200 -94410 -94680
1300 -94460 -94690
1400 -94510 -94710
1500 -94560 -94730
1600 -94620 -94720
1700 -94670 -94720
1800 -94710 -94720
Tabel 2.3 Standar Energi Panas dan Energi Bebas Pembentukan Fe3O4

ΔH (kal/mol) ΔF (kal/mol)
T ( K)
298 -266800 -242200
400 -266100 -233900
500 -265300 -225900
600 -264300 -218100
700 -262900 -210500
800 -261200 -203100
900 -259500 -196000
1000 -259700 -188900
1100 -260500 -181800
1200 -261100 -174600
1300 -260600 -167400
1400 -260100 -160300
1500 -259600 -153200
1600 -259100 -146100
1700 -259600 -139000
1800 -259500 -131900

Tabel 2.5 Standar Energi Panas dan Energi Bebas Pembentukan Fe2 O 3
T ( K) ΔH (kal/mol) ΔF (kal/mol)
298 -196200 -176800
400 -195800 -170200
500 -195200 -163900
600 -194600 -157700
700 -193900 -151600
800 -193100 -145600
900 -192400 -138900
1000 -191900 -133900
1100 -192400 -128900
1200 -192700 -112200
1300 -192300 -116400
1400 -191900 -110400
1500 -191500 -104800
1600 -191500 -99000
1700 -191200 -93300
1800 -190700 -87500
2.2 Energi Bebas
Energi bebas merupakan selisih antara total energi pada sistem dengan energi
ikatan, TS. Energi bebas reaksi kimia pada temperatur konstan dirumuskan sebagai
berikut :
∆𝐹 = ∆𝐻 − 𝑇∆𝑆………………………...………………(2.1)
Keterangan :

ΔF = Energi bebas (cal/mol)


ΔH = Entalpi (cal/mol)
T = Temperatur (K)
ΔS = Perubahan entropi

Apabila ΔF bernilai negatif maka reaksi tersebut dapat berjalan secara spontan,
namun apabila suatu reaksi ΔF bernilai positif maka reaksi tersebut tidak dapat berjalan
secara spontan. Contoh energi bebas beberapa reaksi sebagai berikut :

1. 2Fe + O2 = 2FeO ΔF = -124100 + 29,9T kal/mol

2. 6FeO + O2 = 2Fe2 O3 ΔF = -149240 + 59,8T kal/mol

3. 4Fe O + O = 6Fe O ΔF = -119240 + 67,24T kal/mol

4. 2C + O = 2CO ΔF = -53400 – 42T kal/mol

5. C + O = CO ΔF = -94200 – 0,2T kal/mol

6. 2CO + O = 2CO ΔF = -135000 + 41,6T kal/mol

7. CO + C = 2CO ΔF = +40500 - 41,25T kal/mol

Energi bebas suatu reaksi juga dapat ditentukan dengan menggunakan


prinsip kesetimbangan kimia. Pada reaksi kimia :
A+B→C+D

Kecepatan reaksi pereaktan sama dengan kecepatan pereaksi produk


(Vpereaktan = Vproduk). Energi bebas dapat ditentukan dengan Persamaan 2.2.
............................(2.2)
Keterangan :

ΔFo = Energi bebas (cal/mol)


R = konstanta gas
T = Temperatur (K)
a = aktivitas
Aktivitas pada gas sama dengan tekanan parsial yang dimiliki oleh gas
tersebut. Untuk material padat dan cair, sama dengan konsentrasi yang dimiliki.

2.3 Diagram Ellingham

Gambar 2.1 Diagram Ellingham


Diagram Ellingham merupakan diagram yang berisi energi bebas suatu
reaksi yang di plot ke dalam suatu grafik dengan parameter energi bebas vs
temperatur. Pada diagram Ellingham, logam yang aktif secara kimia memiliki
energi bebas yang paling tinggi (negatif) dalam membentuk oksida terletak pada
diagram dibagian paling bawah. Sedangkan untuk logam yang memiliki energi
bebas terkecil (positif) dalam membentuk oksida terletak pada diagram dibagian
paling atas. Nilai dari ΔFo untuk reaksi oksidasi merupakan ukuran afinitas kimia
suatu logam terhadap oksigen. Semakin negatif nilai ΔFo suatu logam
menunjukkan logam tersebut semakin stabil dalam bentuk oksida.

Dari diagram Ellingham pada Gambar 2.1, kita dapat mengetahui


temperatur minimal yang dibutuhkan agar reaksi tersebut dapat terjadi. Hal
tersebut dapat ditunjukkan oleh perpotongan antara kurva oksidasi dan garis
pembentukan CO. Termodinamika hanya dapat digunakan untuk menentukan
apakah suatu reaksi dapat berjalan spontan ataukah tidak pada temperatur tertentu
berdasarkan energi bebas yang dimiliki. Namun tidak dapat digunakan untuk
menentukan laju reaksi. Perpotongan antara garis reaksi oksidasi dan reduksi
secara termodinamika menunjukkan bahwa reaksi tersebut dapat berjalan pada
temperatur tertentu. Selain menggunakan diagram Ellingham, kita juga dapat
menentukan termodinamika suatu reaksi melalui perhitungan energi bebas ΔF dari
reaksi tersebut dengan menggunakan ΔFo referensi seperti yang telah tercantum
diatas.

2.4 Tahapan Reaksi Reduksi

Ada tiga tahapan reaksi reduksi yang terjadi pada besi oksida dengan
reduktor karbon, yakni :

I II III

Fe2O3  Fe3O4  FeO  Fe

(I) 3Fe2O3 + CO  2Fe3O4 + CO2 ∆𝐻 = - 1236 cal

(II) Fe3O4 + CO  3FeO + CO2 ∆𝐻 = 8664 cal

(III) FeO + CO  Fe + CO2 ∆𝐻 = - 4136 cal


Dengan menggunakan rumus energi bebas, maka persamaan diatas secara
termodinamika dapat ditulis sebagai berikut :

Persamaan (I)

6Fe2O3  4Fe3O4 + O2 ΔFT o = +119.240 – 67,24T cal/molO2

2CO + O2  2 CO2 ΔFT o = -135.000 + 41,6 T cal/mol O2

6 Fe2O3 + 2CO  4Fe3O4 + 2 CO2 ΔFT o = -15.760 – 25,64 T cal/mol O2


Atau

3Fe2O3 + CO  2Fe3O4+ CO ΔF o = -7.880 - 12.82 T cal/mol O2

T
Persamaan (II)

2 Fe3O4  6FeO + O2 ΔFT o = +149.240 – 59,80T cal/molO2

2CO + O2  2CO2 ΔFT o = -135.000 + 41,6 T cal/molO2

2Fe3O4+2CO  6FeO+2CO2 ΔFT o = + 14.240 – 18,2 T cal/molO2

Atau

Fe3O4+CO  3FeO+CO2 ΔFT o = + 7.120 – 9,1 T cal/molO2

Persamaan (III)

2FeO  Fe + O2 ΔFT o = +124.100 – 29,90T cal/molO2

2CO + O2  2 CO2 ΔFT o = -135.000 + 41,6 T cal/molO2

2FeO + 2CO  2Fe + 2CO2 ΔFT o = -10.900 + 11,7 T cal/molO2

atau

FeO + CO  Fe + CO2 ΔFT o = -5.450 + 5,85 T cal/molO2

Untuk mengetahui apakah reaksi ini dapat berlangsung atau tidak pada temperatur
tertentu, maka kita perlu menghitung nilai energi bebasnya. Misalkan pada persamaan
(II), jika temperatur pemanasan 700K maka nilai energi bebas adalah +750 kal/mol.
Sedangkan jika temperatur pemanasan ditingkatkan menjadi 900K, maka nilai nilai
energi bebas menjadi -1070 kal/mol. Arti tanda positif pada nilai energi bebas adalah
reaksi tersebut tidak akan berjalan, sebaliknya jika tanda nilai energi bebas negatif maka
reaksi tersebut akan berjalan. Semakin negatif nilai energi bebas maka reaksi tersebut
akan berjalan semakin cepat.
2.5 Diagram Bouduard
Gaussner – Bouduard membuat sebuah diagram yang menggambarkan
kesetimbangan antara besi, hematit, magnetit, wustit, karbon padat, karbon monoksida,
dan karbon dioksida.

Secara aksiologi, diagram Bouduard ini merupakan dasar untuk reduksi langsung
dengan karbon.

Gambar 2.2 Diagram Gaussner – Bouduard

Pada diagram di atas terdapat kesetimbangan besi oksida dengan campuran gas
CO/ CO2, antara lain :
• Garis kesetimbangan Boudouard : CO2 + C = 2CO

• Garis kesetimbangan : 3Fe2O3 + CO = 2Fe3O4+ CO2

• Garis kesetimbangan : Fe3O4 + CO = 3FeO + CO2

• Garis kesetimbangan : FeO + CO = Fe + CO2


Seacar epistimologi, diagram Bouduard pada garis
kesetimbangannya pada temperatur 1000 0C terdapat 100 % gas CO.
Apabila temperatur diturunkan maka kesetimbangan tersebut tidak
tercapai sehingga terjadi penguraian dari gas CO menjadi CO2 dan C.
Sehingga jumlah gas CO (pereduktor) akan berkurang. Pada daerah
disebelah kiri garis kesetimbangan boudouard maka gas CO2 akan
lebih stabil sehingga gas CO yang ada akan terurai menjadi CO2. Pada
daerah disebelah kanan garis kesetimbangan boudouard gas CO lebih
stabil sehingga gas CO2 akan mengalami reaksi boudouard
membentuk gas CO.

Hal tersebut merupakan contoh dari prinsip Le Chatelier, reaksi Boudouard


merupakan reaksi yang endotermik sehingga membutuhkan temperatur tinggi untuk
dapat berjalan. Dari Diagram Bauer Glassner dan Boudouard pada Gambar 2.2 ,
senyawa yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh perbandingan antara CO/CO2 dan
juga temperatur operasi. Misal pada temperatur 700 0C dengan perbandingan
CO/CO2 adalah 60:40, maka senyawa yang paling stabil adalah wustit. Magnetit
akan tereduksi menjadi wustit, sedangkan Fe akan mengalami oksidasi menjadi
wustit.

Hal penting yang dapat disimpulkan dari kesetimbangan Boudouard antara


garis kesetimbangan wustit/Fe dan garis kesetimbangan boudouard berpotongan pada
temperatur 700 0
C Hal tersebut menunjukkan bahwa temperatur minimum
yang dibutuhkan untuk mereduksi wustit menjadi Fe adalah 700 0
C.
Antara garis kesetimbangan Magnetit/wustit dan garis kesetimbangan boudouard
berpotongan pada temperatur 650 0C. Hal tersebut menunjukkan bahwa temperatur
minimum yang dibutuhkan untuk mereduksi magnetit menjadi wustit adalah 650
0
C. Temperatur minimum diatas pada tekanam 1 atm. Sangat tidak mungkin reaksi
dapat berjalan dibawah temperatur minimum karena karbonmonoksida terurai
menjadi karbondioksida.
2.6 Reduksi secara langsung
2.6.1. Reduksi Bijih Besi
Bijih besi adalah batuan yang mengandung mineral besi sejumlah mineral
pengotor seperti silika, alumina, magnesia dan nikel. Umumnya bijih besi
lebih mudah berikatan dengan unsur oksigen sehingga di alam besi lebih
banyak berbentuk oksida seperti hematite (Fe2O3), magnetite (Fe3O4), goethite
(Fe2O3.H2O) atau limonite (2Fe2O3.nH2O) [Hulbrut, 1971]. Sebelum
digunakan sebagai bahan baku pembuatan besi baja, bijih besi yang masih
dalam bentuk oksida harus melalui suatu tahapan proses tertentu. Tahapan
proses tersebut di butuhkan untuk melepaskan sejumlah oksigen yang terikat
pada bijih besi sehingga pada akhirnya yang tersisa pada bijih besi tersebut
hanya Fe dalam bentuk logamnya, tahapan proses ini di sebut reduksi bijih
besi.

Proses reduksi bijih besi secara umum terbagi atas dua metode yaitu
reduksi tidak langsung (indirect reduction) dan reduksi langsung (direct
reduction). Proses reduksi bijih besi secara tidak langsung dilakukan dalam
blast furnace dengan reduktor berupa kokas batubara atau char dengan
temperatur di atas titik lebur besi dengan produk berupa lelehan logam Fe
yang selanjutnya di umpankan ke dalam BOF (Basic Oxygen Furnace) dan
sebagian kecil akan di cetak menjadi pig iron.

Proses reduksi langsung merupakan proses pemisahan Fe dari oksigen


dengan reduktor berupa padatan seperti batubara atau gas alam (CH 4). Proses
reduksi langsung dilakukan di bawah titik lebur sehingga produk yang
dihasilkan dalam bentuk padatan (besi spons) [Sun, 1997]. Reduksi langsung
bijih besi oleh batubara terjadi ketika gas CO hasil gasifikasi batubara secara
langsung berdifusi secepat gas CO terbentuk [Ross, 1980]. Tumbukan secara
langsung antara bijih besi dengan batubara akan terganggu ketika terbentuk
logam besi pada permukaan bijih besi seperti yang diperlihatkan pada
Gambar 2.3
Gambar 2.3 Tumbukan Bijih Besi Secara Langsung

Pada Gambar 2.3 terlihat bahwa pada bagian paling luar terdapat lapisan logam besi, hal
ini menjadikan bagian permukaan besi oksida telah tereduksi sempurna menjadi besi.
Kemudian yang terjadi adalah difusi atom C melalui lapisan logam besi menuju
permukaan besi oksida. Reaksi yang terjadi ditunjukkan oleh persamaan (1) [Ross, 1980]:
FeO + C → Fe + CO ΔG0
1273 = -8,41 Kkal..... ............ (1)
Pada persamaan (1) terlihat bahwa atom karbon akan mereduksi FeO sehingga
menghasilkan Fe
dan gas CO. Secara termodinamika diketahui bahwa gas CO berfungsi sebagai reduktor
sebagaimana
terlihat pada persamaan (2), (3) dan (4) [Rosenqvist, 1980]:
3Fe2O3 + CO → 2Fe3O4 + CO2, ΔG o1273 = -211,292 KJ/mol.......... (2)
Fe3O4 + CO → 3FeO + CO2, ΔGo 1273 = -35,564 KJ/mol........... ..(3)
FeO + CO → Fe + CO2, ΔGo 1273 = -344, 917 KJ/mol...........(4)
Hasil dari reaksi antara besi oksida dengan gas CO akan menghasilkan gas CO2,
kemudian akan
bereaksi dengan karbon yang masih tersisa sehingga menghasilkan gas CO kembali
(reaksi Boudouard)
[Ross, 1980]:
CO2 + C → 2CO ΔG01273 = -12,41 Kkal ................ (5)
Jadi, pada dasarnya proses reduksi adalah proses difusi atom C dan gas CO menuju
permukaan
besi oksida yang kemudian mengikat atom O dan membawanya keluar sebagai gas
produk berupa gasCO ataupun CO2. Tabel 1. merupakan nilai koefisien difusi atom C,
gas H2 dan gas C
Unsur D (m2det1 referensi
C pada temperatur 1000 1,1 X 10-6 Habashi, 1969
0C
H2 pada temperatur 727- 10,82-21,07 Turkdogan,1999
1227 C
CO pada temperatur 727- 1,63-3,20 Turkdogan,1999
1227 C

Termodinamika Reduksi Langsung Bijih Besi Dengan Padatan Karbon

Untuk mengetahui kespontanan suatu reaksi dapat dilihat dari nilai perubahan energi
bebasnya (ΔG) dari reaksi tersebut, jika ΔG bernilai negatif maka reaksi cenderung akan
berubah secara spontan sedangkan jika bernilai positif maka reaksi cenderung akan
berubah secara spontan pada arah yang sebaliknya dan ketika ΔG = 0, menunjukkan
bahwa reaksi berada pada kondisi kesetimbangan. ΔG dan konstanta kesetimbangan (K)
keduanya saling berhubungan, seperti yang terlihat pada persamaan 6 [Habashi, 1969]:

ΔG - ΔG0 = RT ln K............................................................................... (6)

Keterangan: ΔG = Perubahan energi bebas (kkal atau kj/mol)

T = Temperatur (K)

ΔG0 = Perubahan energi bebas standar (kkal atau kj/mol)


K = Konstanta kesetimbangan

R = Tetapan gas (1,987 kal/mol atau 8,314 j/mol.K)

Pada umumnya, reaksi-reaksi kimia pada proses metalurgi berlangsung pada temperatur
dan tekanan tetap, sehingga di dapat nilai ΔG=0, yang berarti bahwa reaksi berada pada
kondisi kesetimbangan yang mengakibatkan persamaan 6 berubah seperti yang
diperlihatkan pada persamaan 7 [Habashi, 1969].

ΔG0 = RT ln K........................................................................................ (7)

KINETIKA REDUKSI

Yang dimaksud dengan kinetika reaksi adalah untuk mempelajari laju reaksi (rate of
reaction), sehingga memungkinkan untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan bagi
berlangsungnya suatu reaksi [4].

Laju reaksi didefinisikan sbb:

Laju reaksi : Jumlah zat yang berubah

Lama pengamatan

Namun pernyataan laju reaksi tersebut diatas merupakan nilai rata-rata selama
pengamatan, sedang pada umumnya laju reaksi tidaklah tetap atau berubah selama
berlangsungnya proses. Dengan demikian dinyatakan perubahan konsentrasi dalam
jumlah yang kecil terhadap perubahan waktu yang singkat pula. Jadi laju reaksi dapat
dinyatakan dengan rumus :

Laju reaksi = - (dt/dc) = k.A.C (2.12)

Keterangan :

C = konsentrasi reaktan. t = waktu.

k = tetapan laju reaksi.

A = luas permukaan kontak.

(-) = menunjukkan penurunan konsentrasi reaktan

Pada persamaan di atas dapat pula dinyatakan selain perubahan konsentrasi juga
perubahan berat atau perubahan volume yang biasanya diketahui melalui percobaan.
Sehingga laju reaksi sesungguhnya dapat juga dinyatakan oleh pertambahan produk
reaksi.

Bila laju reaksi dinyatakan sebagai perubahan komposisi terhadap waktu yaitu :

……………………………..(2.13)

Dari persamaan diatas didapat:

………………………………..(2.14) dimana: w = komposis zat


pada waktu t ; wo = kompoSisi zat mula-mula Yang dimaksud dengan kinetika reaksi
adalah untuk mempelajari laju reaksi (rate of reaction), sehingga memungkinkan untuk
mengetahui waktu yang dibutuhkan bagi berlangsungnya suatu reaksi [4].

Laju reaksi didefinisikan sbb:

Laju reaksi : Jumlah zat yang berubah

Lama pengamatan

Namun pernyataan laju reaksi tersebut diatas merupakan nilai rata-rata selama
pengamatan, sedang pada umumnya laju reaksi tidaklah tetap atau berubah selama
berlangsungnya proses. Dengan demikian dinyatakan perubahan konsentrasi dalam
jumlah yang kecil terhadap perubahan waktu yang singkat pula. Jadi laju reaksi dapat
dinyatakan dengan rumus :

Laju reaksi = - (dt/dc) = k.A.C (2.12)

Keterangan :

C = konsentrasi reaktan. t = waktu.


k = tetapan laju reaksi.

A = luas permukaan kontak.

(-) = menunjukkan penurunan konsentrasi reaktan

Pada persamaan di atas dapat pula dinyatakan selain perubahan konsentrasi juga
perubahan berat atau perubahan volume yang biasanya diketahui melalui percobaan.
Sehingga laju reaksi sesungguhnya dapat juga dinyatakan oleh pertambahan produk
reaksi.

Bila laju reaksi dinyatakan sebagai perubahan komposisi terhadap waktu yaitu :

……………………………..(2.13)

Dari persamaan diatas didapat:

………………………………..(2.14) dimana: w = komposis zat


pada waktu t ; wo = komposisi zat mula-mula
dengan memasukkan harga fraksi ter-ekstraksi :

……………………………………..(2.15) Kedalam persamaan 2.14,


didapat :

……………………………………….(2.16)

Persamaan 2.12 merupakan persamaan umum laju reaksi. Sedangkan faktor-faktor yang
mempengaruhi laju reaksi tersebut adalah :

1. Konsentrasi reaktan

2. Temperatur operasi

3. Pengadukan atau kecepatan aliran gas (peningkatan efektifitas kontak antar


reaktan)

4. Pengaruh ukuran dan bentuk partikel ( khusus untuk padatan ).

Ditinjau dari jumlah fasa yang terlihat dalam suatu rekasi, maka jenis reaksi dpat di golongkan
dalam 2 kategori, yaitu:

1. Reaksi homogen ( melibatkan satu fasa )

2. Reaksi heterogen ( melibatkan lebih dari satu fasa )

Pada reaksi heterogen terdapat bidang kontak antarreaktan maupun antara reaktan dengan produk.
Jika hasil reaksi berupa padatan terbentuk pada sistem heterogen yang melibatkan fasa padat,
kinetika reaksi ditentukan oleh lapisan padatan tersebu, porous atau non porous. Kemudian akan
timbul lapisan yang diam di permukaan lapisan padat tersebut. Jika lapisan padatan bersifat
porous, difusi reaktan melalui boundary layer perlu diperhitungkan, sedangkan pada lapisan
padatan yang porousnya sangat sedikit bisa diabaikan.

PEMBUATAN BESI DALAM INDUSTRI

• Biji Besi (Iron Ore) :

- Hematite (Fe2O3), kandungan besi 50%

- Magnetite (Fe3O4), kandungan besi 60%

- Limonite (2Fe2O3), kandungan besi 40%

• Sebelum dilebur didalam tanur, biji besi mengalami proses:


- crushing,screening, washing, pemanasan

• Untuk mendapatkan besi, biji besi direduksi (menarik O2 dari oksida besi )

- Reduksi langsung

- Reduksi tak langsung

• Pelet biji besi dirubah menjadi besi spons di dalam reaktor

• Gas reduktor: Hidrogen atau CO yang dihasilkan dari pemanasan gas alam cair (LNG)
dengan uap air

CH4 (g) + H2O (l) à CO (g) + 3H2(g)

Fe2O3 (s) + 3H2 (g) à 2Fe (l) + 3H2O (l)

Atau

Fe2O3(s) + 3CO (g) à 2Fe (l) + 3CO2 (g)

• Pembuatan besi spons dengan Rotary Kiln

• Reduktor : Batubara

• Bahan lain : dolomite yang berfungsi sebagai penyerap belerang

• Reaksi:

C + CO2 à CO

Fe2O3 + 3CO à 2Fe + 3 CO2

Tanur Tinggi (Blast Furnace)

• Biji besi dilebur didalam tanur tinggi (blast furnace)

• Pada tanur biji besi direduksi (reduksi tak langsung) menjadi besi

• Biji besi + kokas + batu kapur (CaCO3) dimasukkan ke dalam tanur

• Kokas berfungsi sebagai bahan bakar

• Batu kapur berfungsi sebagai pengikat kotoran pada biji besi


Reaksi Kimia Dalam Tanur Tinggi

Udara panas ditiupkan kedalam tanur sehingga kokas (karbon) terbakar menghasilkan panas

Karbon + Oksigen à Karbon dioksida + panas

C (s) + O2( g) à CO2 (g) + panas

2. Karbon dioksida kemudian bereaksi dengan karbon panas menjadi karbon monoksida

CO2(g) + C(s) à 2CO (g)

3. Selanjutnya Karbon monoksida mereduksi besi dalam biji besi menjadi besi cair

CO2(g) + Fe2O3 (s) à CO2 (g) + besi (l)

Besi cair yang telah didinginkan disebut Pig Iron dengan

kadar karbon 3.5 - 4.5%

• Batu kapur (CaCO3): untuk menghilangkan kotoran pada biji besi: silika atau Silikon
Oksida, SiO2

1. CaCO3 terdekomposisi di dalam tanur tinggi menjadi CaO dan CO 2

CaCO3(s)  à        CaO(s)        +        CO2(g)

2. Silikon Oksida bereaksi dengan Calcium Oksida membentuk Calcium Silicate atau biasa
disebut terak (Slag)

CaO2(s) + SiO2 (s) à CaSiO3 (l) (slag)


Bab III

ANALISA DATA

Dari hasil analisa basah penentuan nilai Normalitas K2Cr2O7 diperlukan untuk penentuan % Fe total dan
% Fe metal berdasarkan rumus pada persamaaan 10 dan 11 dibawah ini

Maka selanjutnya nilai % metalisasi dapat dihitung berdasarkan persamaan

Untuk mengetahui nilai energi aktivasi yang dibutuhkan dalam suatu proses reduksi, dapat di hitung
dengan menggunakan persamaan Arrhenius seperti yang diperlihatkan pada persamaan reaksi 13 dan
14 [Habashi, 1969].
-Pada gambar 7 dapat dilihat pengaruh dari ukuran butir dan temperatur reduksi terhadap persen
metalisasi. Menurut gambar 7, metalisasi besi menurun sebanding dengan semakin besarnya ukuran
butir, namun berbanding terbalik dengan peningkatan temperatur. Persen metalisasi diperoleh pada
ukuran 120,97 um berturut-turut pada temperatur 900, 950, dan 100 C adalah 86,34 dan 89,2256. Hal
ini menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur pada tube furnace maka laju perpindahan panas
akan meningkat yang mengakibatkan laju reaksi reduksi daoat lebih ceoat dan pembentukan logam Fe.
Pada temperatur 900 dan 950 tingkat metalisasi pada pellet lebih rendah dibandingkan metalisasi pada
temperatur 1000 C. hal ini dipengaruhi oleh gasifikasi karbon yang dihasilkan batu bara yang berjalan
lambat. Menurut diagram kesetimbangan gas CO dan CO2 keberadaan karbon pada proses reduksi
menyebabkan co2 akan menjadi tidak stabil pada temperatur tinggi dan akan tereduksi menjadi CO.
dengan kata lain, gas co akan stabil pada temoeratur diatas 900 (Biswas 1981) demikian pula jika dilihat
dari diagram Ellingham pada temperatur 1000 reduksi Feo menjadi Fe dapat berlangsung jika kondisi
dalam proses reduksi dapat menghasilkan komposisi gas co melebihi daerah kestabilan feo dan adanya
sisa karbon pada proses reduksi.

-Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa pada temperatur 1000 reaksi gasifikasi berjalan lebih
cepat sehingga gas CO yang dihasilkan mecukupi untuk mereduksi FeO menjadi logam Fe dengan waktu
proses yang sama menjadi lebih sempurna dan lebih tinggi dibandin temperatur 900 dan 950 seperti
pada gambar 7
Sepertihalnya metalisasi, persen reduksi juga dipengaruhi oleh temperatur. Penentuan % reduksi berdasarkan persamaan
15

Pada Gambar 8. terlihat bahwa persen reduksi tertinggi diperoleh pada temperatur 1000 oC sebesar 93,08%. Sementara
untuk temperatur 900 dan 950 0C, persen reduksinya berturut-turut hanya sebesar 88,81 dan 91,41%. Ini menunjukkan
bahwa temperatur sangat berpengaruh karena temperatur tinggi dibutuhkan untuk menjaga kestabilan gas CO yang
merupakan hasil reaksi gasifikasi batubara sebagai reduktor yang digunakan pada proses reduksi fines pellet. Sedangkan
untuk pengaruh ukuran butir baik itu terhadap persen metalisasi maupun persen reduksi, secara kinetika tidak terlalu
berpengaruh meski hasil tertinggi sama-sama dihasilkan pada ukuran butir 130,97µm. Hal ini dikarenakan dari energi
aktivasi bahwa proses dikendalikan oleh reaksi kimia yang sangat bergantung pada temperatur.
BAB IV

KESIMPULAN.

Energi aktivasi dari fines pellet terendah terjadi pada ukuran butir 130,97µm sebesar 13,70 kkal/mol dan
tertinggi sebesar 24,09 kkal/mol pada ukuran butir 3700 µm.

2. Metalisasi fines pellet meningkat dengan naiknya temperatur reduksi.

3. Persen metalisasi terbesar diperoleh pada ukuran 130,97

4. nilai persen reduksi berbanding lurus dengan nilai persen metalisasi, persen reduksi tertinggi juga
diperoleh pada ukuran 130,97

5. ukuran butir dan temperatur reduksi cukup memberikan pengaruh terhadap kenaikan nilai persen
metalisasi dan persen reduksi.

6. parameter optimum proses pada ukuran butir 130,97 temperatur reduksi 1000 dengan waktu tahan
selama 90 menit.

Anda mungkin juga menyukai