Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium
tetani, bermanisfestasi dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan otot seluruh
badan. Kekakuan tonus otot massater dan otot-otot rangka
Penyakit tetanus merupakan salah satu yang berbahaya karena mempengaruhi system
urat saraf dan otot otot. Kata tetanus diambil dari bahasa yunani yaitu tetanos dari teinein yang
berarti menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi di mana spasme otot tonik dan
hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum, melengkungnya punggung
(opistotonus), spasme glotal, kejang dan spasme dan paralisis pernapasan.
1. Tetanus lokal (lokalited Tetanus)
Pada lokal Tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat dimana luka
terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan tanda dari Tetanus lokal. Kontraksi otot
tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya
menghilang secara bertahap.
Lokal Tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized Tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan
jarang menimbulkan kematian. Bisajuga lokal Tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik
Tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis
antitoksin.
2. Cephalic Tetanus
Cephalic Tetanus adalah bentuk yang jarang dari Tetanus. Masa inkubasi berkisar 1 –2 hari, yang
berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India ), luka pada daerah muka dan kepala,
termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung.
3. Generalized Tetanus
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang tidak dikenal beberapa
Tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus merupakan gejala utama yang
sering dijumpai ( 50 %), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan
kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain
berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus (kekakuan otot
punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan
sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi urine,kompressi frak tur dan
pendarahan didalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa
mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai
takhikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.
4. Neonatal Tetanus
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses pertolongan
persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan persalinan yang tidak steril, baik
oleh penggunaan alat yang telahterkontaminasi spora C.tetani, maupun penggunaan obat-obatan
untuk tali pusat yang telah terkontaminasi.
Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak
steril,merupakan faktor yang utama dalam terjadinya neonatal Tetanus. Menurut penelitian
E.Hamid.dkk, Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr.Pringadi Medan, pada tahun 1981. ada 42 kasus
dan tahun 1982 ada 40 kasus Tetanus Biasanya ditolong melalui tenaga persalianan tradisional ( TBA
=Traditional Birth Attedence ) 56 kasus ( 68,29 % ), tenaga bidan 20 kasus ( 24,39 % ) ,dan
selebihnya melalui dokter 6 kasus ( 7, 32 %) ). Berikut ini tabel. Yang memperlihatkan instrument
Untuk memotong tali pusat.
2.2 Klasifikasi
Tetanus berdasarkan bentuk klinis dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Tetanus local: biasanya ditandai dengan otot terasa sakit, lalu timbul rebiditas dan spasme pada bagian
paroksimal luar. Gejala itu dapat menetap dalam beberapa minggu dan menghilang.
2. Tetanus general: yang merupakan bentuk paling sering, biasanya timbul mendadak dengan kaku kuduk,
trismus, gelisah, mudah tersinggung daan sakit kepala merupakan manifestasi awal. Dalam waktu singkat
kontraksi otot somatic meluas. Timbul kejang tetanik bermacam grup otot, menimbulkan aduksi lengan dan
ekstensi ekstremitas bagian bawah. Pada mulanya, spasme berlangsung beberapa detik sampai beberapa
menit dan terpisah oleh periode relaksasi.
3. Tetanus segal: varian tetanus local yang jarang terjadi. Masa inkubasi 1-2 hari terjadi sesudah otitis media
atau luka kepala dan muka. Paling menonjol adalah disfungsi saraf III, IV, VII, IX, dan XI tersering saraf
otak VII diikuti tetanus umum.
ETIOLOGI
Gejala ini bukan disebabkan oleh kuman clostridium tetani, tetapi akibat toksin (tetanospasmin) yang
dihasilkan kuman.. Kuman ini banyak terdapat dalam kotoran hewan memamah biak seperti sapi, kuda,
dan lain-lain sehingga luka yang tercemar dengan kotoran hewan sangat berbahaya bila kemasukan
kuman tetanus. Tusukan paku yang berkarat sering juga membawa clostridium tetani kedalam luka lalu
berkembang biak. Bayi yang baru lahir ketika tali pusarnya dipotong bila alat pemotong yang kurang
bersih dapat juga kemasukan kuman tetanus.
Clostiridium tetani adalah kuman yang berbentuk batang seperti penabuh genderang
berspora, golongan gram positif, hidup anaerob. Kuman ini mengeluarkan toksin yang bersifat
neurotoksik (tetanus spasmin), yang mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer
setempat. Timbulnya tetanus ini terutama oleh clostiridium tetani yang didukung oleh adanya
luka yang dalam dengan perawatan yang salah.
Faktor predisposisi
Eksotoksin
Ganglion Sumsum
Otak Saraf Otonom
Tulang Belakang
O2 di otak
Sistem Sistem Pernafasan
Kesadaran
1) Luka tusuk dalam, misalnya luka tusuk karena paku, kuku, pecahan kaleng, pisau,
cangkul dan lain-lain.
2) Luka karena kecelakaan kerja (kena parang0, kecelakaan lalu lintas.
3) Luka ringan seperti luka gores, lesi pada mata, telinga dan tonsil.
Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui sumbu limbik masuk ke sirkulasi
darah dan masuk ke Susunan Saraf Pusat (SSP). Toksin bersifak antigen , sangat mudah diikat
jaringan syaraf dan bila dalam keadaan terikat tidak dapat lagi dinetralkan oleh toksin spesifik.
Toksin yang bebas dalam darah sangat mudah dinetrakan oleh antitoksin spesifik.
Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan hewan
peliharaan dan di daerah pertanian. Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang
dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis
dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi
tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka
pada pembedahan.
2.5 Manifestasi Klinis
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan
leher. Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan gejala umum:
10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan cairan otak.
2.7 Penatalaksanaan Tetanus
Penatalaksanaan pada klien dengan tetanus ada 2 macam yaitu farmakologi dan non-farmakologi.
1. Farmakologi
1. Antitoksin: antitoksin 20.000 1u/ 1.M/5 hari. pemberian baru diberikan setelah dipastikan tidak ada
reaksi hipersensitivitas.
2. Anti kejang (antikonvulsan)
Fenobarbital (luminal): 3 x 100 mg/1.M. Untuk anak diberikan mula-mula 60-100 mg/1.M lalu dilanjutkan
6x30 mg/hari (max. 200mg/hari).
Klorpromasin: 3x25 mg/1.M/hari. Untuk anak-anak mula-mula 4-6 mg/kg BB.
Diazepam: 0,5-10 mg/kg BB/1.M/4 jam, dll.
1. Antibiotic: penizilin procain 1juta 1u/hari atau tetrasifilin 1gr/hari/1.V. Dapat memusnahkan tetani tetapi
tidak mempengaruhi proses neurologiknya.
2. Non-farmakologi
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya,
2. Diet TKTP. Pemberian tergantung kemampuan menelan. Bila trismus, diberikan lewat sonde
parenteral.
3. Isolasi pada ruang yang tenang, bebas dari rangsangan luar.
4. Menjaga jalan nafas agar tetap efisien.
5. Mengatur cairan dan elektrolit.
2.8 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan tetanus meliputi:
1. Darah
1. Skull Ray: untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi.
2. EEG: teknik untuk menekan aktifitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk mengetahui focus
aktifitas kejang, hasil biasanya normal.
2.9 Komplikasi pada klien Tetanus
1. Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air liur (saliva) di rongga mulut. Hal ini
memungkinkan terjadinya aspirasi sehingga dapat terjadi pneumonia aspirasi.
2. Asfiksia.
3. Atelektasis karena obstruksi secret.
1. PENGKAJIAN
3.1 Pengkajian
Nama : Ny. F
Tempat/tgl lahir : Surabaya, 15 September 1954
Umur : 56 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Agama : islam
Warga Negara : Indonesia
Bahasa yang digunakan : Bahasa Jawa
Penanggung jawab
Nama : Tn.H
Alamat : Jln. Kertosari no 14 Sby
Hubungan dg klien : suami
Ny. F datang ke rumah sakit dengan keluhan kejang. Keluarga klien mengatakan pasien kejang sejak 2 bulan yang
lalu. Kejang dirasakan semakin hebat sejak seminggu terakhir. Berdasarkan keterangan dari keluarga, 3 tahun yang
lalu pasien pernah mengalami luka robek di kakinya karena terkena patahan kayu yang tajam.
Keluarga pasien mengatakan bahwa 3 tahun yang lalu pasien pernah mempunyai luka robek akibat terkena patahan
kayu.
1. Keadaan Lingkungan
1. Keadaan Umum
Suhu : 38oC
Nadi : 116 x/menit
Tekanan darah : 120/90 mmHg
RR : 26 x/menit
BB : 52 kg
TB : 160 cm
1. Review of Sistem (ROS)
B1 (breathing): takipnea, RR= 26 x/menit
B2 (blood): disritmia, febris.
B3 (brain): kelemahan fisik, kelumpuhan salah satu saraf otak.
B4 (bladder): retensi urine (oliguria)
B5 (bowel): konstipasi akibat menurunnya gerak peristaltic usus
B6 (bone): sulit menelan.
3.3 Analisis Data
No. Data Etiologi MK
1. DS: Pasien sering mengeluh Tetanus Kejang
pening diikuti dengan kejang- Proliferasi clostridium
kejang tetani ke pembuluh darah
DO: Pasien sering terlihat
kejang oleh keluarga Toksin dari clostridium
tetani menyebar ke
system saraf di otak
melalui pembuluh darah
Toksin menimbulkan
reaksi di system saraf di
otak dan menyebabkan
kejang
2. DS: Pasien mengeluh batuk. Spasme otot faring Bersihan jalan nafas
DO: Ronkhi, batuk tidak efektif Akumulasi sputum di tidak efektif.
disertai sputum atau lender, trakea
hasil lab menunjukkan AGD Ronkhi
abnormal (asidosis
respiratorik).
3. DS: Pasien sesak nafas. Kekakuan otot faring Pola nafas tidak teratur
DO: RR= 26 x/menit, ada
retraksi dinding dada, ada Sesak nafas
pernafasan cuping hidung.
4. DS: pasien demam Infeksi toksin C.tetani Hipertermi
o
DO: suhu= 38 C, hasil lab sel
darah putih (leukosit)= 14.000
mm3. Suhu tubuh meningkat
5. DS: pasien enggan Salah satu syaraf di otak Gangguan rasa percaya
berkomunikasi dg orang lain. terganggu diri.
DO: pasien kesulitan berbicara.
Kesulitan berbicara
6. DS: pasien mengaku badannya Sering kejang Intoleransi aktivitas.
lemas.
DO: kondisi pasien lemah. Kondisi lemah
Kurang bisa memenuhi
kebutuhan shari-hari
7. DS: pasien jarang sekali BAK. Sering kejang Resiko
DO: output pasien munurun, ketidakseimbangan
intake cairan juga menurun oliguria & intake cairan cairan & elektrolit.
kurang
keseimbangan cairan
elektrolit terganggu
8. DS: pasien mengeluh tidak bisa Sering kejang Konstipasi
BAB
DO: pasien sudah 6 hari tidak Gerak peristaltik usus
BAB. menurun
Jarang BAB
9. DS: pasien mengeluh tidak bisa Kejang Perubahan nutrisi kurang
menguyah makanan. dari kebutuhan.
DO: makanan pasien tidak di
habiskan. Spasme otot pengunyah
Tidak bisa makan
Perubahan nutrisi kurang
dari kebutuhan
3.4 Diagnosa Keperawatan
1. Kejang berhubungan dengan penyebaran toksic clostridium tetani di system saraf di otak
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sputum.
3. Pola nafas tidak teratur berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot pernafasan.
4. Hipertermi berhubungan dengan efek toksin (bakterimia).
5. Gangguan rasa percaya diri berhubungan dengan kesulitan berbicara.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kondisi lemah.
7. Resiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake yang kurang daan oliguria.
8. Konstipasi berhubungan dengan penurunan gerak peristaltic usus.
9. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan spasme otot pengunyah.
3.5 Intervensi Rasional
1. Diagnose: kejang berhubungan dengan penyebaran toksic clostridium tetani di system saraf di otak
1. Diagnose: bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumlasi sputum.
1. Lakukan suction.
1. Diagnose: pola nafas tidak teratur berhubungan dengan jalan nafas tergaggu akibat spasme otot
pernafasan.
Kolaborasi:
1. Bila ada luka, berikan tindakan
aseptic dan antiseptic.
2. Kolaborasi:
Tujuan: pasien tidak lagi malu untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Criteria hasil: pasien menunjukkan sikap kooperatif saat diperiksa atau diajak bicara.
Intervensi:
No. Intervensi Rasional
1. Mandiri:
1. Diagnose: resiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake yang kurang dan
oliguria.
2. Kolaborasi:
1. Diagnose: perubahan nutris kurang dari kebutuhan berhubungan dengan spasme otot pengunyah.
2. Kolaborasi:
1. Berikan diet TKTP cair, lunak, 1. Disesuakan dg keadaan klien,
dan bubur kasar. kemampuan mengunyah dan
tingkat membuka mulut.
2. Agar kebutuhan nutrisi
terpenuhi.
1. Berikan cairan IV line. 3. Berfungsi sebagai jalan
masuknya makanan dan
pemberian obat.
3.6 Evaluasi
Individu terkena
Ekssotoksin
Faktor penyebab :
Kuman anaerob (Closteridium tetani)
Lain-lain :
-Umum klien dan Faktor predisposisi :
Belum terimunisasi luka tusuk dalam
luka karena kecelakaan kerja
- luka ringan seperti luka gores, lesi pada mata,
telinga dan tonsil
Neurotoksi
Simpul saraf
Kekakuan otot
Lokal
Generalisata
pencernaan Pusat
terganggu
- Gangguan keluampu
dari kebutuhan,