ABSTRACT
Mataram Islam is one of the kingdoms in the Java region, this kingdom has played a
large enough role since the 16th century. The ruler of the Islamic Mataram Kingdom who
played a very important role in expanding the territory and developing the economy and
culture of the Islamic Mataram kingdom was Sultan Agung Hanyokrokusumo. The purpose
of writing this thesis is to find out the policies and roles of Sultan Agung in developing the
economy and culture in the Islamic Mataram Kingdom.
The method used in this study is the Historical Research Method which goes through
four stages, namely heuristics, verification, interpretation, and historiography. As for this
writing, it focuses on the background of the establishment of this kingdom and the policies of
Sultan Agung regarding the economy and culture.
The conclusion of this study is that Sultan Agung succeeded in playing a role in
economic and cultural development in the kingdom he leads by making economic policies
and implementing all the policies he has made so that the stability of the country is
maintained. Not only making economic policies, Sultan Agung also succeeded in
implementing cultural policies by acculturating pre-existing cultures and integrating them
with Islamic law.
PENDAHULUAN
1
Sultan Trenggono pada tahun 1546 antara Arya Panansang dengan Jaka Tingkir (sebagai
mertua dari Arya Panggiri putra dari Sunan Prawoto atau cucu dari Pangeran Trenggono).
Pada saat terjadi perselisihan Jaka Tingkir dibantu oleh Ki Ageng Pamanahan, Ki
Juru Martani dan Ki Ageng Penjawi dibantu putra angkatnya Sultan Hadiwijaya yaitu
Ngabei Loring Pasar untuk menghadapi pemberontakan Arya Penangsang. Sebagai
hadiah atas terbunuhnya Arya Panansang, maka sultan Hadiwijaya kemudian
menghadiahkan daerah Mataram1 (Alas Mentaok) kepada Ki Ageng Pamanahan. Putra Ki
Ageng Pamanahan yang bernama Sutawijaya kemudian menjadi penerusnya. Namun
pada masa kepemimpinan Sutawijaya, Ia ingin melepaskan diri dari Kerajaan Pajang dan
membuat kesultanan baru di Mataram, Meskipun demikian, Sutawijaya tetap
menghormati Sultan Hadiwijaya sehingga beliau tidak mau memakai gelar sultan, tetapi
hanya bergelar Panembahan. Panembahan Senopati menjadi penguasa Mataram selama
15 tahun dari 1586-1601. Sepeninggal Panembahan Senopati selanjutnya tahta Mataram
diteruskan oleh Raden Mas Jolang atau Panembahan Seda Ing Krapyak yang berkuasa
selama 12 tahun dari tahun 1601-1613 M. Setelah Raden Mas Jolang meninggal
kekuasaan beralih ke Raden Mas Rangsang atau Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-
1645).
1
Anang Haris Himawan, dalam Babad Pajang (Membuka Tabir Jejak Sejarah yang
Terabaikan) hlm 4-5.
2
Penghormatan kepada para ulama juga diberikan selama masa pemerintahannya
dimana para ulama juga ditempatkan pada posisi yang terhormat, yaitu sebagai anggota
resmi Dewan Parampara (penasihat tinggi kerajaan). Selain itu, sistem hukum agama
Islam didirikan dalam struktur pemerintahan kerajaan, dan gelar raja-raja Mataram
termasuk raja Pandita, artinya raja sebagai kepala pemerintahan juga kepala agama
(Islam). Selain peran Sultan Agung dalam perkembangan Islam, keberadaan ulama/Wali
yang hidup sezaman dengan Sultan Agung, seperti Sunan Kalijaga dan Panembahan
Ratu (keturunan Sunan Gunung Jati), terbukti sangat berperan. Sebagai elit agama atau
ulama, Wali sangat peduli terhadap dakwah dan pendidikan dengan melakukan transmisi
Islam dan pendidikan kepada masyarakat secara Islami. Komitmen dakwah inilah yang
memotivasi para wali untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan dakwah Islam di Jawa
dengan dukungan secara dari Sultan Agung. 2
Dalam konteks menghadapi tantangan tersebut, maka tidak ada cara lain kecuali
dengan memperbaiki dan meningkatkan perekonomian kerajaan melalui berbagai
kebijakan yang tepat dan menyebar luaskan ajaran agama Islam yang toleran dan
melahirkan akulturasi budaya, sehingga tercipta budaya Islam atas dasar budaya Jawa,
dari pemikiran di atas, maka penelitian ini topik utamaya adalah peranan Sultan Agung
dalam Mengembangkan Ekonomi dan Budaya di Kerajaan Mataram Islam tahun 1613-
1645 M.
Metode Penelitian
2
A Nafelian “Politik Ekspansi Sultan Agung (1613-1645”), (Skripsi. FKIP. Universitas
Jember, . 2015.
3
Aditia Muara Padiatra, Ilmu Sejarah metode dan praktik. Gresik : 2020, hlm 22.
3
meliputi kritik internal dan eksternal. Kritik internal bertujuan untuk melihat dan
mengkaji kebenaran isi sumber, yang meliputi kritik terhadap isi, bahasa, situasi,
gaya, dan gagasan. Kritik dilakukan dengan cara menelaah informasi dan
membandingkannya dengan informasi lain untuk memperoleh informasi yang akurat.
Kritik dilakukan untuk mengetahui keabsahan dan keaslian sumber. 4 Ketiga,
interpretasi Setelah kritik sumber, langkah selanjutnya adalah interpretasi. Interpretasi
adalah proses yang melibatkan analisis dan sintesis data untuk menjadikannya catatan
sejarah yang akurat.5 Interpretasi juga dapat diartikan sebagai pembayangan ataupun
pengilustrasian kejadian yang ada di masa lalu. 6 Pada tahap interpretasi, penulis
mencoba menggabungkan fakta sejarah berdasarkan sumber yang ada, setelah melalui
dua tahap kritik internal dan eksternal. Keempat, Historiografi merupakan tahap akhir
dari metode sejarah. Tahapan ini adalah akhir dari tahapan-tahapan yang sebelumnya
telah dilakukan, tujuannya untuk merangkai fakta-fakta yang sudah disaring. 7
4
M. Dien Madjid. “Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar”. (Jakarta: Kencana, 2014) hlm 223.
5
Anwar Sanusi. “Pengantar Ilmu Sejarah” , (Cirebon : Syekh Nurjati Press, 2013) hlm 138 .
6
Aditia Muara Padiatra, Ilmu Sejarah metode dan praktik. Gresik : 2020, hlm 30.
7
Ibid, hlm 78.
8
Fatimah Purwoko, “Sultan Agung Sang Pejuang dan Budayawan dalam Puncak Kekuasaan
Mataram”. Yogyakarta: Sociality. 2020. Hlm 25.
4
beringin tersebut kini dikenal oleh masyarakat dengan nama waringin sepuh dan
masih kokoh berdiri dekat pintu masuk makam Raja-raja Mataram Kotagede.9
Pada tahun 1577, Ki Ageng Pemanahan mulai bekerja keras membuka Alas
Mentaok untuk dijadikan wilayah permukiman yang tertata. Berkat bantuan para
petani Sela, Mentaok berhasil dibuka dan dijadikan permukiman baru. 10 Pada akhir
abad ke-16 permukiman tumbuh dan berkembang menjadi daerah yang makmur.
Wilayah ini juga tumbuh sebagai pusat kekuasaan yang kemudian diberi nama
Mataram. Daerah yang berpusat di Kotagede itu sangat makmur dan ramai dalam
perdagangan karena letaknya yang cukup strategis yakni terletak diantara Kali Opak
dan Kali Praga yang mengalir menuju Samudera Hindia. Dalam perkembangan
selanjutnya daerah tersebut menjadi daerah yang penting dan menggantikan
kedudukan Pajang.11
9
Ibid hlm 29
11
Agus Susilo dan Yeni Asmara, “Sultan Agung Hanyokrokusumo dan Eksistensi Kesultanan
Mataram”, Jurnal Diakronika STKIP Lubuk Linggau, 20 no. 02. 2020 : hlm 116
12
Fatimah,P. Opcit hlm 33
13
A, Nafelian, “Politik Ekspansi Sultan Agung (1613-1645)”, (Skripsi, FKIP, Universitas
Jember), 2015.
5
dengan julukan Panembahan Senopati. Setelah Ki Ageng Pemanahan wafat, Pajang
mengirim utusan untuk menanyakan kesetiaan Mataram. Hal tersebut dilakukan
mengingat setahun setalah mangkatnya Ki Ageng Pemanahan, Sutawijaya tidak
menghadap Sultan Hadiwijaya. Utusan dari Pajang tersebut tidak diperdulikan oleh
Sutawijaya, karena Sutawijaya memang ingin menjadikan Mataram sebagai kerajaan
merdeka, maka dari itu ia tidak mengindahkan undangan dari Pajang, ia lebih memilih
mempersiapkan Mataram menjadi sebuah kerajaan dengan membangun benteng dan
melatih tentara.14
14
Fatimah, P. Op Cit.
15
Garwa padmi adalah sinonim dari kata permaisuri yang artinya istri utama dari seorang raja
yang sedang berkuasa, keturunan dari seorang garwa padmi kelak akan menjadi pengganti raja.
16
Babad Tanah Jawa halaman 370 menerangkan bahwa Panembahan Senopati pernah berjanji
kepada Ratu Lungayu (istri pertama Panembahan Senopati) kelak Raden Mas Wuryah akan diangkat
sebagai raja akan tetapi menjelang wafatnya beliau berwasiat kepada Adipati Mandaraka bahwa Mas
Rangsanglah yang harus menggantikan beliau agar kerajaan lebih tersohor lagi karena Mas Rangsang
dianggap lebih mampu dan Mas Wuryah pun pada saat itu memiliki kekurangan yang menyebabkan
beliau kurang mampu untuk memimpin kerajaan terlebih usia mereka pada saat itu terpaut 12 tahun,
lebih tua Mas Rangsang.
6
Pajang, sedangkan Raden Mas Martapura adalah putra yang dilahirkan oleh putri dari
Ponorogo, ,menurut Panembahan Senopati trah dari Pajang kedudukannya lebih tinggi
daripada trah dari Ponorogo.17
17
Soetjipto, A, “Babad Tanah Jawi” Jogja Laksana, hlm 372.
7
Terkait kebudayaan, Sultan Agunng juga membuat kebijakan dengan diadakannya
kembali upacara grebeg mulud atau sekaten yang dahulu pernah dilaksanakan pada
masa pemerintahan Demak, Upacara ini biasanya dilengkapi dengan gamelan.
Upacara yang diadakan di kerjaan Demak Bintara selalu diiringi dengan sebuah
gamelan yang dibuat oleh Sunan Giri yang kemudian oleh keturunan Sunan Gunung
Jati dibawa ke Cirebon. Sehingga terciptalah gamelan Kyai Guntur Sari dan Kyai
Guntur Madu pada tahun 1566 atas perintah Sultan Agung. Gamelan ini akan terus
ditabuh selama 7 hari. Hitungan hari tersebut mulai dari tanggal 5 hingga 12 setiap
bulan Rabiulawal pada waktu upacara Sekaten sebagai tanda memperingati kelahiran
Nabi Muhammad. Perayaan Grebeg, menyesuaikan dengan hari besar Islam, yakni
hari raya Idul Fitri yang disebut Grebeg Poso, dan Maulid Nabi yang disebut Grebeg
Mulud. Pada saat perayaan Maulid Nabi/ Grebeg Mulud maka Gamelan Sekaten akan
dibunyikan.18
Sedekah Raja pada saat sekaten juga mengalami perubahan pada masa Sultan
Agung. Perubahan terjadi dari awalnya berupa nasi tumpeng berbentuk gunungan
dengan sembilan tingkatan dilengkapi berbagai macam lauk pauk diperintahkan untuk
membuat Gunungan yang lebih besar dengan bahan makanan lebih banyak mulai dari
lauk pauk, sayur mayur, buah-buahan, berbagai jenis kue, hingga hasil tani
masyarakat.Gunungan ini nantinya akan diiring oleh prajurit kraton menuju ke masjid
dan didoakan olch penghulu. Penghulu akan menerangkan tentang tujuan dari upacara
tersebut adalah untuk kesejahteraan dan keselamatan rakyat, Raja serta seluruh
kerajaan. Akhirnya gunungan tersebut akan di bawa ke alun-alun dan dibagian kepada
seluruh yang mengikuti upacara.19
18
Ibid, hlm 133.
19
Al-Bayan, Gerakan Dakwah Sultan Agung, Jurnal Sultan Agung dan Gerakan Dakwah, Vol
24 No. 01, hlm 128.
8
terdiri dari 365 hari berubah menjadi 354 hari. Tahun Jawa perhitungannya dimulai
dari tahun yang digunakan dalam kalender saka yaitu 1555 saka, dengan demikian
tahun Jawa dimulai dari tahun 1556 bukan tahun satu atau pertama, tidak juga dimulai
dari tahun Nabi Muhammad SAW hijrah.
Perubahan tahun ini juga menunjukan bahwa Sultan Agung yang saat itu menjabat
sebagai sebagai Raja Jawa Islam merupakan keturunan dari kesultanan Islam Demak
ditunjukan dengan Tahun Hijriyah dan Raja Hindu Majapahit ditujukan dengan Tahun
Saka.
Adanya penanggalan Jawa merupakan salah satu hasil dari proses akulturasi
budaya yang terjadi di masyarakat yakni pola akulturasi dialogis yakni kebudayaan baru
yang datang tidak serta merta menghapus kebudayaaan lama yang sudah ada. Tetapi
terjadi dialog diantara kebudayaan tersebut. Dengan menggabungkan unsur dari
penanggalan tahun saka dan penanggalan hijriyah menjadi bentuk baru dalam kalender
Jawa.20
Kesimpulan
Kebijakan-kebijakan ekonomi yang telah dibuat Sultan Agung Hanyokrokusumo antara
lain melakukan pendistribusian tanah, menerapkan kebijakan fiskal dan pembuatan lembaga
keuangan. Sedangkan terkait kebijakan budaya adalah dilanjutkannya upacara Sekaten, Grebeg
Mulud, dan dibuatnya kalender Jawa Saka . Adapun peranan Sultan Agung di bidang ekonomi
adalah ekonomi kerajaan menjadi stabil, ada lapangan pekerjaan untuk rakyat. Sedangkan peranan
di bidang budaya adalah munculnya kebudayaan baru bagi masyarakat Jawa khususnya, dakwah
Islam jadi semakin mudah diterima oleh masyarakat yang dulunya cenderung sinkretis.
Ainun Haerda, dkk, “Akulturasi Islam dan Budaya Jawa pada Masa Kekuasaan Sultan
20
Agung di Kerajaan Mataram Islam”, Jurnal Konstelasi Ilmiah Mahasiswa UNISSULA (KIMU), hlm
132.
9
DAFTAR PUSTAKA
Graaf, D. (1989). Puncak Kekuasaan Mataram. jakarta: PT Pustaka Grafitipers Anggota IKAPI
Himawan, Harris A, dkk. (2020). Babad Pajang (Membuka Tabir Jejak Sejarah yang
Terabaikan). Jakarta Pusat: Litbang Lektur Khazanah Keagamaan, dan Managemen
Organisasi
Muara Padiatra, Aditia, Ilmu Sejarah Metode dan Praktik. 2020. Gresik : CV. Jendela Sastra
Indonesia Perss.
Munawar, Zaid. (2021). Tanah, Otoritas Politik dan Stabilitas Ekonomi Kerajaan Mataram
Islam. Diakronika. Vol. 21 No. 01.
Munawar,Zaid. (2020). Pengelolaan Pajak di Kerajaan Mataram Islam Masa Sultan Agung.
Juspi (Jurnal SPI) UNU Surakarta. Vol.4 No.2.
10
Nafelian,A. (2015). Politik Ekspansi Sultan Agung (1613-1645). Skripsi. FKIP. Universitas
Jember.
11