Anda di halaman 1dari 113

K ata

Pengantar

S
ebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, serta mendukung Agenda Prioritas
Pembangunan (Nawa Cita) dan pencapaian program-program prioritas Badan
Pengawas Obat dan Makanan, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan
Bahan Berbahaya sesuai kewenangan, tugas dan fungsinya menyusun Rencana Strategis
(Renstra) yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan serta program dan kegiatan,
indikator, target, sampai dengan kerangka pendanaan dan kerangka regulasi kedeputian
untuk periode 2015-2019.

Rencana strategis Deputi III tahun 2015-2019 merupakan panduan dalam perencanaan
dan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Deputi III untuk 5 (lima) tahun ke depan dan
menjadi acuan kerja bagi unit-unit kerja di lingkungan Deputi III sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya masing-masing. Renstra ini diharapkan dapat meningkatkan kinerja
di lingkungan Deputi III sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dan
diharapkan semua unit kerja dapat melaksanakannya dengan akuntabel serta senantiasa
berorientasi pada peningkatan kinerja lembaga, unit kerja dan kinerja pegawai.

Saya mengucapkan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah
berkonstribusi dalam penyusunan Renstra Deputi III tahun 2015-2019.

Jakarta, 3 Juni 2015


Deputi Bidang Pengawasan Keamanan
Pangan dan Bahan Berbahaya

Drs. Suratmono, MP.

i
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
LAMPIRAN
KEPUTUSAN DEPUTI BIDANG PENGAWASAN
KEAMANAN PANGAN DAN BAHAN BERBAHAYA
NOMOR HK.04.05.04.15.1780 TAHUN 2015
TENTANG
RENCANA STRATEGIS DEPUTI BIDANG PENGAWASAN
KEAMANAN PANGAN DAN BAHAN BERBAHAYA TAHUN
2015-2019

BAB I

PENDAHULUAN

Gambaran kondisi umum dipaparkan mencakup peranan Deputi Bidang


Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya (Deputi III), Sumber Daya Manusia
(SDM) dan hasil pencapaian program dan kegiatan pada periode tahun 2010 – 2014.
Sedangkan potensi dan permasalahan diungkapkan berdasarkan faktor lingkungan
internal sebagai kekuatan dan kelemahan serta faktor eksternal sebagai peluang dan
tantangan. Kondisi umum, serta potensi dan permasalahan tersebut akan menjadi input
dalam menentukan arah kebijakan dan strategi pada periode pembangunan selanjutnya
yaitu tahun 2015 – 2019.

1.1 KONDISI UMUM

Dalam rangka mendukung implementasi RPJMN 2015-2019 yang merupakan


tahap ketiga dari pelaksanaan RPJPN 2005-2025 yang merupakan amanat Undang-
undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dan
mendukung Agenda Prioritas Pembangunan (Nawa Cita) pada butir 5: Meningkatkan
kualitas hidup manusia Indonesia, utamnya di sektor kesehatan; butir 6: Meningkatkan
produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional; serta butir 7: Mewujudkan
kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestic,
serta mendukung pencapaian program-program prioritas Badan Pengawas Obat dan

1
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Makanan (BPOM), maka Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan
Berbahaya (Deputi III) sesuai kewenangan, tugas dan fungsinya menyusun Rencana
Strategis (Renstra) yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan serta program dan
kegiatan kedeputian untuk periode tahun 2015-2019.

Proses penyusunan Renstra Deputi III tahun 2015-2019 dilakukan sesuai dengan
amanat peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hasil evaluasi pencapaian
kinerja tahun 2010-2014, serta melibatkan pemangku kepentingan yang menjadi mitra
Deputi III. Renstra Deputi III ini diharapkan dapat meningkatkan kinerja Badan POM
khususnya di Deputi III sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.

1.1.1 Peran Deputi III Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan

Berdasarkan Keputusan Kepala BPOM Nomor 02001/SK/KBPOM Tahun 2001


tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan pada Bab VII Pasal
231, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya merupakan
unsur pimpinan yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala
BPOM dan mempunyai tugas melaksanakan perumusan kebijakan di bidang pengawasan
keamanan pangan dan bahan berbahaya.

Dalam melaksanakan tugas, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan


Bahan Berbahaya menyelenggarakan fungsi :

a. pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional dan kebijakan umum di bidang


pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya;

b. penyusunan rencana pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya;

c. perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur,


pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan di
bidang penilaian keamanan pangan;

2
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
d. perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur,
pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan di
bidang standardisasi produk pangan;

e. perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur,


pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan di
bidang inspeksi dan sertifikasi pangan;

f. perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur,


pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan di
bidang surveilan dan penyuluhan keamanan pangan;

g. perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur,


pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan di
bidang pengawasan produk dan bahan berbahaya;

h. pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya;

i. koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan


keamanan pangan dan bahan berbahaya;

j. evaluasi pelaksanaan kebijakan teknis pengawasan keamanan pangan dan bahan


berbahaya;

k. pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan oleh Kepala, sesuai dengan bidang tugasnya.

1.1.2 Struktur Organisasi dan Sumber Daya Manusia (SDM)

Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya merupakan


salah satu eselon I di Badan POM yang bertanggung jawab kepada Kepala Badan POM.
Struktur Organisasi Badan POM secara umum ditunjukkan pada Gambar 1.

3
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Kepala
Badan Pengawas Obat dan
Makanan

Sekretariat Utama
1. Biro Perencanaan dan Keuangan
2. Biro Kerjasama Luar Negeri
Inspektorat
3. Biro Hukum dan Hubungan
Masyarakat
4. Biro Umum

Pusat Pusat Pusat Riset Pusat


Pengujian Penyidikan Obat dan Informasi
Obat dan Obat dan Makanan Obat dan
Makanan Makanan Makanan
Nasional

Deputi I Deputi II Deputi III


Bidang Pengawasan Produk Bidang Pengawasan Obat Bidang Pengawasan
Terapetik dan Napza Tradisional, Kosmetik dan Keamanan Pangan dan Bahan
Produk Komplemen Beahaya

Balai Besar/Balai POM

Gambar 1. Struktur Organisasi BPOM RI

Berdasarkan Keputusan Kepala BPOM Nomor 02001/SK/KBPOM Tahun 2001


tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan Pasal 233, Deputi
Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya terdiri dari:

a. Direktorat Penilaian Keamanan Pangan;

b. Direktorat Standardisasi Produk Pangan;

c. Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan;

d. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan;

e. Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya;

4
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
f. Kelompok Jabatan Fungsional.

Secara rinci, struktur organisasi Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan
Berbahaya seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur Organisasi Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan


Bahan Berbahaya

Jumlah SDM yang dimiliki Deputi III untuk melaksanakan tugas dan fungsi
pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya sampai tahun 2014 adalah 184
orang, yang tersebar di lima direktorat sebagai berikut :

a. Direktorat Penilaian Keamanan Pangan, sejumlah 52 orang;

b. Direktorat Standardisasi Produk Pangan, sejumlah 30 orang;

c. Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan, sejumlah 47 orang;

d. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, sejumlah 32 orang;

5
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
e. Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya, sejumlah 23 orang;

Adapun profil pegawai Deputi III berdasarkan tingkat pendidikan pada tahun 2014
dapat dijelaskan pada Tabel 1 di bawah ini:

Non sarjana
S1 Pangan

S1 lainnya
Apoteker

Jumlah
S1 Gizi
No Unit Kerja

S2
Direktorat Penilaian Keamanan 12 18 8 6 4 4 52
1
Pangan
Direktorat Standardisasi Produk
2 8 10 8 - - 4 30
Pangan
Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi
3 6 21 8 2 2 8 47
Pangan
Direktorat Surveilan dan 12 3 11 1 3 2 32
4
Penyuluhan Keamanan Pangan
Direktorat Pengawasan Produk dan 7 8 3 5 23
5 - -
Bahan Berbahaya
TOTAL 45 60 35 9 12 23 184

Tabel 1. Profil pegawai Deputi III berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2014

Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa sebagian besar 33% pegawai di kedeputian III
memiliki latar belakang pendidikan apoteker, 24% sarjana strata 2, 19% sarjana bidang
pangan/teknologi pangan dan 4,89% sarjana bidang gizi. Selain itu terdapat 6,5% sarjana
lainnya dan 13% non sarjana. Komposisi sarjana strata 2 atau apoteker terbanyak
terdapat pada Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya sebesar 65%, dan
komposisi non sarjana terbanyak terdapat pada Direktorat Pengawasan Produk dan
Bahan Berbahaya sebesar 22%.

6
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Selain pendidikan formal, Deputi III memerlukan kompetensi khusus terkait tugas
dan fungsinya, antara lain inspektur pangan, evaluator pangan, tenaga penyuluh
keamanan pangan, district food inspector. Profil kompetensi dapat dilihat pada Tabel 2.

Inspektur Pangan

District Food
Keamanan
Evaluator

Inspector
Penyuluh

Pangan

(DFI)
No Unit Kerja
Dasar Muda Madya

Direktorat Penilaian
1 - - 1 34 - -
Keamanan Pangan
Direktorat Standardisasi
2 - - 1 - - -
Produk Pangan
Direktorat Inspeksi dan
3 11 6 25 - 1 1
Sertifikasi Pangan
Direktorat Surveilan dan
4 - 3 - - 27 20
Penyuluhan Keamanan Pangan
Direktorat Pengawasan
5 - - 2 - - -
Produk dan Bahan Berbahaya
TOTAL 11 9 29 34 28 21
Catatan : seorang pegawai dapat memiliki kompetensi lebih dari satu

Tabel 2. Profil pegawai Deputi III berdasarkan kompetensi tahun 2014

Kelompok jabatan fungsional di Deputi III berupa jabatan fungsional tertentu yang
disebut sebagai Pengawas Farmasi dan Makanan, Pranata Komputer, Arsiparis,
Pengadministrasi Umum dan Verifikator Keuangan. Profil kompetensi dapat dilihat pada
Tabel 3.

7
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Pelaksana lanjutan

Pranata Komputer

Pranata Komputer

Pranata Komputer

Pengadministrasi

Pengadministrasi
PFM Terampil

PFM Terampil

PFM Terampil
PFM Pertama

Verifikator
Arsipparis
PFM Muda

Pelaksana

keuangan

keuangan
Terampil
Penyelia

pertama

umum
Ahli
No Unit Kerja

Direktorat
1 Penilaian 10 22 1 2 2 1 3
Keamanan Pangan
Direktorat
2 Standardisasi 1 12 1 2 1 1 1
Produk Pangan
Direktorat
3 Inspeksi dan 16 9 2 2 2 2 3 1
Sertifikasi Pangan
Direktorat
Surveilan dan
4 2 27 1 2
Penyuluhan
Keamanan Pangan
Direktorat
Pengawasan
5 1 6 1 4
Produk dan Bahan
Berbahaya
TOTAL 30 76 2 5 2 2 5 1 2 13 1 2

Tabel 3. Profil pegawai Deputi III berdasarkan jabatan fungsional tahun 2014

Berdasarkan Analisis Beban Kerja (ABK) Tahun 2014, Deputi III membutuhkan tambahan
sumber daya manusia sebanyak 182 orang agar tiap Direktorat di kedeputian III dapat
menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Data kebutuhan pegawai berdasarkan
ABK tiap Direktorat di kedeputian III dapat dilihat pada Tabel 4.

8
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Pegawai yang
Pegawai yang Ada Kekurangan Pegawai
dibutuhkan

Direktorat Pengawasan Produk & Bahan Berbahaya

Direktorat Pengawasan Produk & Bahan Berbahaya

Direktorat Pengawasan Produk & Bahan Berbahaya


Dit. Surveilan & Penyuluhan Keamanan Pangan

Dit. Surveilan & Penyuluhan Keamanan Pangan

Dit. Surveilan & Penyuluhan Keamanan Pangan


Dit. Inspeksi dan Sertifikasi Pangan
Dit. Inspeksi dan Sertifikasi Pangan

Dit. Inspeksi dan Sertifikasi Pangan


Dit. Standardisasi Produk Pangan

Dit. Standardisasi Produk Pangan

Dit. Standardisasi Produk Pangan


Dit. Penilaian Keamanan Pangan

Dit. Penilaian Keamanan Pangan

Dit. Penilaian Keamanan Pangan


No Jabatan

1 PFM Ahli Madya 2 - - - - 1 - - - - 1 - - - -


2 PFM Ahli Muda 23 28 9 35 3 3 15 0 2 1 20 13 9 33 2
3 PFM Ahli Pertama 27 35 17 35 14 27 19 14 15 7 0 16 3 20 7
4 PFM Terampil Penyelia 6 2 - - 1 0 1 - - 0 6 1 - - 1
5 PFM Terampil Pelaksana 7 - - - 2 1 - - - 1 6 - - - 1
6 Bendahara - - - 1 1 - - 0 1 - - - 1 0
Analis Barang dan Jasa /
7 Pengelola Pengadaan 4 - - - - 0 - - - - 4 - - - -
Barang dan Jasa Muda
Analis Pengelola Barang
8 Milik Negara 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1
(BMN)/Pengelola BMN
Analis Data dan Informasi
9 / Pranata Komputer Ahli 4 4 - 2 1 2 2 - 1 1 2 2 - 1 0
Pertama
Pranata Komputer
10 - - 1 - - - - 1 - - - - 0 - -
Terampil
Pengadministrasi
11 2 2 - - - 1 1 - - - 1 1 - - -
Anggaran
Penata Bahan Evaluasi
12 dan Monitoring Kegiatan 3 1 - - - 1 0 - - - 2 1 - - -

13 Verifikator Keuangan 1 1 1 - 1 1 0 - - 0 0 1 - -
14 Pengadministrasi Umum 2 3 4 3 3 0 3 0 2 3 2 0 4 1 0
Analis Penerimaan
15 Negara Bukan Pajak 1 1 - - - 0 0 - - - 1 1 - - -
(PNBP)

9
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Pegawai yang
Pegawai yang Ada Kekurangan Pegawai
dibutuhkan

Direktorat Pengawasan Produk & Bahan Berbahaya

Direktorat Pengawasan Produk & Bahan Berbahaya

Direktorat Pengawasan Produk & Bahan Berbahaya


Dit. Surveilan & Penyuluhan Keamanan Pangan

Dit. Surveilan & Penyuluhan Keamanan Pangan

Dit. Surveilan & Penyuluhan Keamanan Pangan


Dit. Inspeksi dan Sertifikasi Pangan
Dit. Inspeksi dan Sertifikasi Pangan

Dit. Inspeksi dan Sertifikasi Pangan


Dit. Standardisasi Produk Pangan

Dit. Standardisasi Produk Pangan

Dit. Standardisasi Produk Pangan


Dit. Penilaian Keamanan Pangan

Dit. Penilaian Keamanan Pangan

Dit. Penilaian Keamanan Pangan


No Jabatan

Pengadministrasi
16 2 1 3 2 - 0 0 1 0 - 2 1 2 2 -
Keuangan
17 Arsiparis Terampil 3 3 1 - - 0 1 0 - - 3 2 1 - -
TOTAL 88 82 37 79 26 37 43 16 20 14 51 39 21 59 12

Tabel 4. Kebutuhan Pegawai Berdasarkan Analisis Beban Kerja Tahun 2014

1.1.3 Capaian Kinerja Deputi III periode tahun 2010-2014

Arah kebijakan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan


Berbahaya periode tahun 2010-2014 dilakukan melalui 5 (lima) strategi, yaitu:

Strategi Pertama

Peningkatan intensitas pengawasan pre-market pangan, untuk menjamin


keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu produk, diselenggarakan melalui fokus prioritas :

a. Penapisan penilaian pangan olahan sebelum beredar sebagai antisipasi


globalisasi, termasuk ACFTA.
b. Peningkatan pelayanan publik terkait pendaftaran pangan melalui online
registration.

10
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
c. Pengawasan pengembangan teknologi pangan (PPRG, iradiasi), untuk
perlindungan konsumen dan ketersediaan pangan.
d. Peningkatan pemenuhan Good Manufacturing Practices (GMP) industri
pangan dalam negeri dalam rangka meningkatkan daya saing.

Strategi kedua :

Peningkatan pengawasan post-market pangan, diselenggarakan melalui fokus


prioritas :

a. Pemantapan sampling dan pengujian pangan, berdasarkan risk based


approaches.
b. Intensifikasi pemberantasan produk ilegal.
c. Perluasan cakupan pengawasan pangan jajanan anak sekolah (PJAS), melalui
operasionalisasi Mobil Laboratorium.
d. Pengawasan sarana post-market sesuai dengan GMP dan Good Retail Practices
(GRP)
e. Pengawasan pangan yang tercemar bahan berbahaya
f. Pengawasan pangan fortifikasi

Strategi ketiga:

Pemantapan regulasi dan standar di bidang pengawasan pangan, diselenggarakan


melalui fokus prioritas :

a. Penyelarasan regulasi terkait dengan perubahan lingkungan strategis di


bidang pengawasan pangan.
b. Peningkatan penerapan standar pangan termasuk kemasan pangan yang
terharmonisasi.

11
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Strategi keempat :

Perkuatan Institusi, diselenggarakan melalui fokus prioritas :

a. Implementasi Reformasi Birokrasi Badan POM termasuk peningkatan


pelayanan publik.
b. Perkuatan sistem pengelolaan data serta teknologi informasi dan komunikasi
(TIK) termasuk strategi media komunikasi
c. Perkuatan human capital management Badan POM.
d. Restrukturisasi Organisasi untuk menjawab tantangan perubahan lingkungan
strategis.
e. Peningkatan dan penguatan peran dan fungsi Balai POM, Integrated Bottom
Up Planning dan Quality System Evaluation
f. Perkuatan legislasi di bidang pengawasan pangan

Strategi kelima :

Meningkatkan Kerjasama Lintas Sektor dalam Rangka Pembagian Peran Badan


POM dengan Lintas Sektor terkait, yang diselenggarakan melalui fokus prioritas :

a. Pemantapan koordinasi pengawasan pangan


b. Pemantapan Sistem Kerjasama Operasional Pengawasan pangan
c. Peningkatan operasi terpadu pengawasan pangan pangan
d. Perkuatan jejaring komunikasi
e. Pemberdayaan masyarakat melalui KIE

Dalam rangka menjalankan tugas tersebut, maka sasaran strategis yang dicapai
dalam Renstra BPOM tahun 2010-2014 sebagaimana diuraikan pada Tabel 4.

12
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
TUJUAN SASARAN INDIKATOR TARGET KINERJA
PROGRAM
STRATEGIS KINERJA 2010 2011 2012 2013 2014
Memperku Tersusunnya Jumlah 10 10 10 10 10 Program
at Sistem standar Standar yang standar standar standar standar standar Pengawas
Regulatori makanan Dihasilkan an Obat
Pengawasa yang mampu dalam rangka dan
n Obat dan menjamin Antisipasi Makanan
Makanan pangan Perkembanga
aman, n Isu
bermanfaat Keamanan,
dan bemutu Mutu dan Gizi
Pangan
Jumlah - - 4 4 4
Standar yang standar standar standar
Dihasilkan
dalam rangka
Mendukung
Program
Rencana Aksi
Peningkatan
Keamanan
Pangan
Jajanan Anak
Sekolah
Persentase - - - 50% 60%
UMKM yang
meningkat
daya
saingnya
berdasarkan
hasil grading
(dihitung dari
1800 UMKM)
Meningkatn Meningkatny Persentase 45 55 60 65 70 Program
ya a mutu sarana Pengawas
perlindung sarana produksi an Obat
an produksi dan pangan MD dan
masyarakat distribusi yang Makanan
dari makanan memenuhi
makanan standar GMP
yang yang terkini
beresiko (dihitung dari
terhadap 1000 sarana
kesehatan yang
diperiksa)
Persentase 5 15 35 45 55
sarana
penjualanan
pangan yang
memenuhi
standar
GRP/GDP

13
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
TUJUAN SASARAN INDIKATOR TARGET KINERJA
PROGRAM
STRATEGIS KINERJA 2010 2011 2012 2013 2014
(dihitung dari
6000 sarana
yang diperiksa)
Persentase - - 80 85 90
penyelesaian
tindak lanjut
pengawasan
produk
pangan
(dihitung dari
1000 temuan
ketidaksesuai
an)
Jumlah - - 750 975 1268
sekolah yang
disampling
PJAS
Persentase - - - 50% 55%
sarana UMKM
yang
memenuhi
ketentuan
(dihitung dari
1800 sarana
yang
diperiksa)
Meningkatn Meningkatny Persentase 90% 90% 90% 90% 90%
ya a jumlah keputusan
perlindung produk penilaian
an pangan yang pangan yang
masyarakat memiliki Izin diselesaikan
dari produk Edar. tepat waktu
pangan Persentase - - - 90% 90%
yang keputusan
berisiko penilaian
terhadap pangan
kesehatan industri
UMKM yang
diselesaikan
tepat waktu
Meningkatn Meningkatny Persentase - - - 5 10
ya a Kabupaten/K
Perlindung pemberdaya ota yang
an an Pemda menerbitkan
Masyarakat Kabupaten/K P-IRT sesuai
dari Produk ota melalui ketentuan
Pangan advokasi yang berlaku
yang keamanan Jumlah profil - - - 2 2
Berisiko pangan, serta resiko

14
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
TUJUAN SASARAN INDIKATOR TARGET KINERJA
PROGRAM
STRATEGIS KINERJA 2010 2011 2012 2013 2014
terhadap menguatnya keamanan
Kesehatan rapid alert pangan yang
system dikategorikan
keamanan sebagai early
pangan warning
untuk
merespon
permasalaha
n keamanan
pangan
Persentase - - 70 80 90
Pangan
Jajanan Anak
Sekolah
(PJAS) yang
memenuhi
persyaratan
keamanan
pangan
Jumlah e- - - - 2 2
Learning
tenaga PKP
dan DFI di
Indonesia
Meningkatn Menurunnya Persentase 25 20 17 - -
ya pangan yang pangan yang
efektivitas mengandung mengandung
pengawasa bahan cemaran
n obat dan berbahaya bahan
pangan berbahaya/di
dalam larang*)
rangka Persentase 25 20 17 - -
melindungi temuan
masyarakat kemasan
pangan yang
melepaskan
migran
berbahaya
yang
melampaui
ketentuan ke
dalam pangan
**)
Persentase - - - 40 48
sarana
distribusi
yang
menyalurkan
bahan
dilarang

15
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
TUJUAN SASARAN INDIKATOR TARGET KINERJA
PROGRAM
STRATEGIS KINERJA 2010 2011 2012 2013 2014
untuk pangan
(bahan
berbahaya)
yang sesuai
ketentuan
Persentase - - - 15 14
kemasan
pangan dari
pangan
terdaftar,
yang tidak
memenuhi
syarat
Jumlah - - 15 15 10
advokasi
lintas sektor
yang
dilakukan
terkait bahan
berbahaya
yang
disalahgunak
an pada PJAS
(provinsi)
Jumlah Pasar - - - 62 77
yang di
intervensi
menjadi
pasar bebas
bahan
berbahaya
(kumulatif)
Keterangan:
*) = Indikator sesuai dokumen renstra sebelum revisi dan sudah tidak berlaku
**) = Indikator sesuai dokumen trilateral meeting/ RKP 2012 dan sudah tidak berlaku
Tabel 5. Rencana Strategis Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan
Berbahaya Tahun 2010-2014

16
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Adapun pencapaian keberhasilan pelaksanaan tugas dan kewenangan Deputi III
tersebut dapat dilihat sesuai dengan pencapaian indikator kinerja pada Tabel 6.

17
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Tabel 6. Capaian kinerja Deputi III periode 2010-2014.

TARGET KINERJA
SASARAN INDIKATOR
TAHUN 2010 TAHUN 2011 TAHUN 2012 TAHUN 2013 TAHUN 2014
STRATEGIS KINERJA
T R %C T R %C T R %C T R %C T R %C
Jumlah Standar
yang Dihasilkan
dalam rangka
Antisipasi 10 11 110% 10 14 140% 10 12 120% 10 10 100% 10 10 100%
Perkembangan Isu
Keamanan, Mutu
dan Gizi Pangan
Tersusunnya Jumlah Standar
standar yang Dihasilkan
pangan yang dalam rangka
mampu Mendukung
menjamin Program Rencana 4 4 100% 4 4 100% 4 1 25%
pangan aman, Aksi Peningkatan
bermanfaat Keamanan Pangan
dan bemutu Jajanan Anak
Sekolah
Persentase UMKM
yang meningkat
daya saingnya
50% 33,89% 67,78% 60% 43,67% 72,78%
berdasarkan hasil
grading (dihitung
dari 1800 UMKM)

18
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Persentase sarana
produksi pangan
MD yang
memenuhi standar
45% 44% 97,78% 55% 51,60% 93,82% 60% 54,44% 90,74% 60% 75% 125% 65% 61,19% 94,13%
GMP yang terkini
(dihitung dari
1.000 sarana yang
diperiksa)
Persentase sarana
penjualan pangan
yang memenuhi
Meningkatnya
standar GRP/ GDP 5% 0 0 15% 67,77% 451,80% 35% 68,27% 195,06% 45% 66,06% 132,12% 55% 64,88% 117,97%
mutu sarana
(dihitung dari
produksi dan
6.000 sarana yang
distribusi
diperiksa)
pangan
Persentase
penyelesaian
tindak lanjut
pengawasan
80% 67,50% 84,37% 85% 110% 129,29% 90% 100,51% 111,68%
produk pangan
(dihitung dari
1.000 temuan
ketidaksesuaian)
Jumlah sekolah
yang disampling 750 990 132,00% 975 1.601 164,21% 1.268 1.448 114,20%
PJAS

19
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Persentase sarana
UMKM yang
memenuhi
ketentuan 50% 72,03% 144,07% 55% 69,03% 125,52%
(dihitung dari
1800 sarana yang
diperiksa)
Persentase
keputusan
penilaian pangan 90% 89,74% 99,71% 90% 84,45% 93,83% 90% 87% 96,67% 90% 92,93% 103,25% 90% 73,77% 81,97%
Meningkatnya
yang diselesaikan
jumlah
tepat waktu
produk
Persentase
pangan yang
keputusan
memiliki Izin
penilaian pangan
Edar. 90% 92,30% 102,56% 90% 58,96 65,51%
industri UMKM
yang diselesaikan
tepat waktu
Meningkatnya Persentase
kualitas penyelesaian
tindaklanjut tindak lanjut
informasi informasi jejaring
jejaring nasional, regional
regional dan dan internasional 50% 50% 100% 70% 70,40% 100,57%
internasional terkait dan
dalam post persentase respon
market terhadap
alert/rapid permasalahan
alert Pangan keamanan pangan

20
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Persentase
Kabupaten/Kota
yang menerbitkan
5% 5% 100% 12 10 83%
P-IRT sesuai
ketentuan yang
berlaku
Meningkatnya Jumlah profil
pemberdayaa resiko keamanan
n Pemda pangan yang
Kabupaten/K dikategorikan
ota melalui 2 2
sebagai early 2 paket 100% 2 paket 100%
advokasi paket paket
warning untuk
keamanan merespon
pangan, serta permasalahan
menguatnya keamanan pangan
rapid alert Persentase Pangan
system Jajanan Anak
keamanan Sekolah (PJAS)
pangan 70 76 108,57% 80% 80,79% 100% 90 76,18 84,64%
yang memenuhi
persyaratan
keamanan pangan
Jumlah e-Learning
2 2
tenaga PKP dan 2 paket 100% 2 paket 100%
paket paket
DFI di Indonesia
Menurunnya Persentase pangan
pangan yang yang mengandung
mengandung cemaran bahan 25 20 17
bahan berbahaya/
berbahaya dilarang*)

21
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Persentase temuan
kemasan pangan
yang melepaskan
migran berbahaya 25 20 17
yang melampaui
ketentuan ke
dalam pangan **)
Persentase sarana
distribusi yang
menyalurkan
bahan dilarang
40% 41% 103,66% 48
untuk pangan
(bahan berbahaya)
yang sesuai
ketentuan
Persentase
kemasan pangan
dari pangan
15% 14% 101,04% 14
terdaftar, yang
tidak memenuhi
syarat
Jumlah advokasi
lintas sektor yang
dilakukan terkait
bahan berbahaya
15 15% 13% 86,67% 10
yang
disalahgunakan
pada PJAS
(provinsi)

22
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Jumlah Pasar yang
di intervensi
menjadi pasar
62% 62% 100% 77
bebas bahan
berbahaya
(kumulatif)
Keterangan : T = target, R = realisasi, % C = prosentase capaian

23
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa terdapat beberapa kegiatan yang capaian
melebihi target indikator yang ditetapkan, namun masih ada beberapa kegiatan yang
capaiannya belum memenuhi target yang ditetapkan.

Pencapaian indikator kinerja utama Deputi III yaitu pangan yang memenuhi syarat
selama periode tahun 2010-2014 ditunjukkan pada Gambar 3 di bawah ini.

100.00%

95.00%

90.00%
85.32%
83.94%
85.00% 82.88%

80.00%
76.03% 76.41%
75.00%
2010 2011 2012 2013 2014

Gambar 3. Profil Pangan yang Memenuhi Syarat Tahun 2010-2014

Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa persentase pangan yang memenuhi syarat dari tahun
ke tahun cenderung mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2010, meskipun pada
tahun 2013 mengalami sedikit penurunan.

1.2 POTENSI DAN PERMASALAHAN

Sejalan dengan dinamika lingkungan strategis, baik nasional maupun global,


permasalahan dan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia semakin kompleks.
Globalisasi membawa keleluasaan informasi, peningkatan arus distribusi barang dan jasa
yang berdampak pada munculnya isu-isu yang berdimensi lintas bidang. Percepatan arus
informasi dan modal juga berdampak pada meningkatnya pemanfaatan berbagai sumber
daya alam yang memunculkan isu perubahan iklim, ketegangan lintas-batas antarnegara,

21
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
serta percepatan penyebaran wabah penyakit, mencerminkan rumitnya tantangan yang
harus dihadapi oleh BPOM termasuk Deputi III. Hal ini menuntut peningkatan peran dan
kapasitas Deputi III dalam melakukan fungsi pengawasan pangan.

1. Globalisasi, Perdagangan Bebas dan Komitmen Internasional

Globalisasi merupakan suatu perubahan interaksi manusia secara luas, yang


mencakup banyak bidang dan saling terkait. Proses ini dipicu dan dipercepat dengan
berkembangnya teknologi, informasi dan transportasi yang sangat cepat. Era globalisasi
dapat menjadi peluang sekaligus tantangan bagi pembangunan kesehatan, khususnya
dalam rangka mengurangi dampak yang merugikan, sehingga mengharuskan adanya
suatu antisipasi dengan kebijakan yang responsif.

Dampak dari pengaruh globalisasi tersebut telah mengakibatkan Indonesia masuk


dalam perjanjian-perjanjian internasional, antara lain perjanjian ASEAN-6 (Brunei
Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand) Free Trade Area,
ASEAN-China FTA, ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP), ASEAN-
Korea Free Trade Agreement (AKFTA), ASEAN-India Free Trade Agreement (AIFTA) dan
ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA). Dalam hal ini, negara-
negara tersebut dimungkinkan membentuk suatu kawasan bebas perdagangan yang
bertujuan untuk meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional, berpeluang besar
menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia, serta menciptakan pasar regional. Hal
ini membuka peluang peningkatan nilai ekonomi sektor barang dan jasa serta
memungkinkan sejumlah produk pangan Indonesia akan lebih mudah memasuki pasaran
domestik negara-negara yang tergabung dalam perjanjian pasar regional tersebut. Dalam
menghadapi FTA dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akhir tahun 2015, diharapkan
industri pangan dalam negeri mampu untuk menjaga daya saing terhadap produk luar
negeri. Untuk itu, penerapan globalisasi dan perjanjian-perjanjian internasional tersebut
perlu menekankan prinsip kedaulatan bangsa, negara dan rakyat Indonesia.

22
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Memasuki era globalisasi dengan perdagangan bebas tersebut merupakan
persoalan krusial yang perlu segera diantisipasi. Realitas menunjukkan bahwa saat ini
Indonesia telah menjadi pasar bagi pangan dari luar negeri.

Perdagangan bebas juga membawa dampak tidak hanya terkait isu ekonomi saja,
namun juga merambah pada isu kesehatan. Terkait isu kesehatan, masalah yang akan
muncul adalah menurunnya derajat kesehatan yang dipicu oleh perubahan gaya hidup
dan pola konsumsi masyarakat tanpa diimbangi dengan pengetahuan dan kesadaran
masyarakat akan kesehatan.

Perdagangan bebas membuka peluang perdagangan pangan yang tinggi dengan


memanfaatkan kebutuhan konsumen terhadap produk dengan harga terjangkau sehingga
terdapatnya risiko beredarnya pangan ilegal (tanpa izin edar) dan atau mengandung
bahan berbahaya yang dapat merugikan masyarakat.

Dilihat dari sisi ekonomi, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia
memperkirakan bahwa pada tahun 2015 capaian penjualan produk pangan mencapai Rp
1.000 triliun (Gambar 4). Sementara itu, data Bank Indonesia menyatakan bahwa
pertumbuhan rata-rata tahunan indeks penjualan riil makanan, minuman dan tembakau
pada 2014 lebih tinggi daripada 2013. Data BPS menunjukkan, selama 10 tahun terakhir,
rata-rata pengeluaran per kapita sebulan untuk makanan dan minuman sebesar 51% dari
total pengeluaran. Sementara studi AC Nielsen menunjukkan 48% dari total belanja
middle class income di Indonesia adalah untuk fast moving consumer goods (FMCG),
terutama makanan dan minuman. Industri pangan memiliki banyak diferensiasi produk.
Meningkatnya populasi masyarakat middle class income akan memberikan dampak yang
signifikan bagi perkembangan industri pangan olahan di Indonesia. Healthy, convenience
and lifestyle food product diperkirakan akan tumbuh pesat seiring meningkatnya
kesejahteraan masyarakat dan perubahan gaya hidup. Dari sisi produksi, industri pangan
menjadi kontributor terbesar pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor industri
manufaktur nonmigas Indonesia dengan pangsa sekitar 30%.

23
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Gambar 4. Nilai Penjualan Produk Pangan Tahun 2008 – 2015 (GAPMMI:2014)

Industri pangan dilihat dari sisi keamanan dan mutu pangan, berdasarkan data
BPOM tahun 2015, jumlah pelanggaran di bidang Obat dan Makanan yang ditemukan
pada Operasi Gabungan Nasional 2014 sebanyak 166 kasus, temuan produk tidak
memenuhi syarat (TMS) sebanyak 5.640 item dengan nilai ekonomi sebesar Rp10,978
M. Dari Operasi Gabungan Daerah ditemukan produk TMS sebanyak 4.632 item dengan
nilai ekonomi sebesar Rp9,297 M. Hal ini menjadi tantangan yang sangat serius bagi
BPOM.

Hasil intensifikasi pengawasan keamanan pangan tahun 2014, yang dilaksanakan


pada hari besar keagamaan dan tahun baru, telah dilakukan pengamanan dan
pemusnahan dengan nilai ekonomi mencapai Rp29.933.308.800,-(dua puluh sembilan
miliar sembilan ratus tiga puluh tiga juta tiga ratus delapan ribu delapan ratus rupiah) di
sarana retail dan gudang importir pangan dengan rincian 1.324.059 produk (76,83%)
Tanpa Izin Edar (TIE), 348.754 produk (20,24%) kedaluwarsa, 28.920 produk (1,68%)
rusak, 21.302 produk (1,24%) TMK Label, dan 229 produk (0,01%) produk tanpa bahasa
Indonesia. Jumlah ini meningkat sebanyak 11,46% dibandingkan hasil temuan produk
pada tahun sebelumnya.

Sedangkan untuk hasil pengawasan produk rutin di tahun 2014, total temuan
sebesar Rp. 3.163.414.804,- dengan rincian produk Tanpa Izin Edar (TIE) 58759 kemasan

24
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
(22.42%), rusak 10.888 kemasan (4.15%), kedaluwarsa 73.074 kemasan (27.88%), TMK
label 110.338 kemasan (45.54%). Jumlah temuan intensifikasi pengawasan pangan ini
lebih besar daripada temuan rutin dikarenakan tingginya demand di hari besar
keagamaan dan tahun baru, yang dimanfaatkan oleh pelaku usaha yang tidak bertanggung
jawab dengan mengedarkan pangan yang tidak memenuhi ketentuan.

Jika dilihat lebih jauh hasil pengawasan rutin untuk produk MD/ML dan P-IRT,
pada kurun waktu 2010-2014 untuk produk MD/ML produk yang tidak memenuhi
persyaratan mutu dan keamanan mikrobiologi berkisar antara 7,96 % - 14 % dengan
trend menurun (Gambar 5). Sedangkan hasil pengawasan produk P-IRT menunjukkan
bahwa produk yang tidak memenuhi persyaratan berkisar antara 22.09 – 36 % (Gambar
6).

N;5.967 N: 12.323 N:10.684 N:13.379 N:13.084


9

Gambar 5. Hasil Pengawasan Produk Pangan MD/ML Tahun 2010-2014

25
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
N:12.740 N: 9.277 N:11.828 N:3.241 N:3.155

Gambar 6. Hasil Pengawasan Produk Pangan P-IRT Tahun 2010-2014

Sementara itu, kualitas sarana produksi MD dan IRTP menunjukkan bahwa pada
kurun waktu 2010 -2014 sarana MD yang tidak memenuhi ketentuan (TMK) berkisar
45,25 – 48,46 % dengan tren fluktuatif (Gambar 7). Apabila dibandingkan data tahun 2014
dengan tahun sebelumnya terdapat penurunan TMK sebesar 4,47 %. Sedangkan untuk
hasil pemeriksaan sarana IRTP pada kurun waktu 2010-2014 berkisar antara 33,60 –
55,86% dengan tren menurun (Gambar 8). Hasil pengawasan tahun 2014 apabila
dibandingkan dengan tahun sebelumnya mengalami penurunan sebesar 0,67%.

N:879 N:710 N:643 N:1066 N:1.169

Gambar 7. Hasil Pengawasan Sarana Produksi MD Tahun 2010-2014

26
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
N:2.639 N:2.100 N:1.913 N:2.349 N:3.866

Gambar 8. Hasil Pengawasan Sarana Produksi IRTP Tahun 2010-2014

Hasil pengawasan sarana distribusi pangan pada periode tahun 2010 -2014 yang
TMK berkisar 29.61% - 36.29 % dengan tren naik (Gambar 9). Apabila dibandingkan data
tahun 2014 dengan tahun sebelumnya terjadi kenaikan sarana TMK sebesar 1,1 %.

N:13.069 N:7.877 N:7.400 N:9.343 N:9.682

Gambar 9. Hasil pengawasan sarana distribusi pangan tahun 2010-2014

Menghadapi komunitas ASEAN, daya saing UMKM pangan perlu dibenahi.


Rendahnya pengetahuan dan kemampuan teknis untuk memenuhi persyaratan
pendaftaran/standar mutu, rendahnya kesadaran dalam mendaftarkan produk,
keterbatasan kemampuan akses terhadap aplikasi elektronik, keterbatasan pembiayaaan

27
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
penyesuaian standar dan sertifikasi internasional (Hazard Analysis Critical Control
Point/HACCP, GMP, halal, International Standard Organization/ISO, analisa, sertifikasi),
maupun rendahnya penguasaan teknologi pelaku UMKM pangan perlu mendapat
perhatian BPOM. Perlu ada intervensi pembinaan (regulatory assistance) dan kebijakan
yang berpihak kepada UMKM.

2. Perubahan Iklim

Ancaman perubahan iklim dunia, akan semakin dirasakan oleh sektor pertanian
khususnya produk bahan pangan di Indonesia. Perubahan iklim dapat mengakibatkan
berkurangnya ketersediaan pangan yang berkualitas, sehat, bermanfaat, dengan harga
yang kompetitif. Dari sisi ekonomi makro, industri makanan dan minuman di masa yang
akan datang perannya akan semakin penting sebagai pemasok pangan dunia.

3. Perubahan Ekonomi dan Sosial Masyarakat

Kemajuan dari ekonomi Indonesia dapat dilihat dari indikator makro-ekonomi,


yakni pendapatan perkapita sebesar USD 3.500 tahun 2013 dan pada tahun 2014 telah
ditetapkan World Bank menjadi 10 (sepuluh) besar negara yang mendominasi kekuatan
ekonomi dunia. Indikator ini menunjukan besarnya daya beli masyarakat Indonesia.
Secara teori dan fakta, semakin tinggi pendapatan maka semakin besar pula konsumsi
masyarakat terhadap pangan yang memiliki standar dan kualitas.

4. Demografi dan Perubahan Komposisi Penduduk

Rata-rata laju pertumbuhan penduduk Indonesia menurut sensus penduduk tahun


2010, dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir sebesar 32,5 juta jiwa (sebesar 1,49% per
tahun). Dengan laju pertumbuhan sebesar itu, diperkirakan jumlah penduduk Indonesia
pada tahun 2035 akan mencapai 450 juta jiwa. Dari Gambar 10 di bawah ini, dapat dilihat

28
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
bahwa jumlah populasi terbesar berada pada kelompok umur remaja 15-19 tahun, namun
menunjukan tren penurunan. Sementara usia produktif antara 30-54 tahun justru
menunjukan tren meningkat dari waktu ke waktu. Sedangkan usia 55-64 tahun dan usia
di atas 65 tahun menunjukan tren yang meningkat tetapi dengan jumlah yang beda.
Semakin meningkat usia harapan hidup, artinya tingkat kesehatan masyarakat juga
semakin meningkat.

25,000
jumlah penduduk (dalam 000)

20,000

15,000
2009
10,000 2010

5,000 2011
2012
0
2013

Kelompok Umur

Sumber: BPS Proyeksi Penduduk Indonesia Tahun 2000-2013

Gambar 10. Perkembangan Jumlah Penduduk Indonesia Berdasarkan Kelompok Umur


Tahun 2009-2013

Indonesia sebagai negara ke-4 dengan populasi lanjut usia tertinggi, yakni 9,079
juta tahun 2010 dan akan naik menjadi 29,047 juta pada tahun 2020, akan mengalami
perubahan pola penyakit yaitu meningkatnya beban kronik untuk kaum lansia. Hal ini
membutuhkan obat dan konsumsi pangan khusus sesuai kondisi kesehatan dan gizi,
untuk penggunaan jangka panjang yang lebih berkualitas.

Perkembangan penyakit tidak menular (PTM) yang mungkin disebabkan karena


pola makan yang tidak tepat, perlu diantisipasi melalui penanganan pola konsumsi dan
penyediaan pangan yang tepat sehingga dapat mengurangi kondisi PTM. Gambaran
tentang profil beban penyakit berdasarkan sebab tahun 2010 sd 2014 dapat dilihat pada
Gambar 11.

29
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Gambar 11. Profil Beban Penyakit Berdasarkan Sebab Tahun 1990-2010

Secara umum, bahwa transisi demografi juga akan menimbulkan efek pada transisi
status kesehatan dan gizi masyarakat. Efek ini akan dapat mempengaruhi besarnya beban
kerja Deputi III dalam melakukan pengawasan pangan termasuk menyiapkan standar dan
melakukan penilaian terhadap produk pangan yang diperlukan untuk keperluan medis
khusus dan diet khusus sesuai dengan kondisi kesehatan dan gizi masyarakat tersebut.

Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk Indonesia, maka permintaan


terhadap pangan juga akan semakin meningkat, sehingga penawaran produk pangan juga
akan meningkat. Potensi pasar yang besar membuat para produsen pangan baik lokal
maupun internasional semakin meningkatkan volume produksi maupun variasinya.
Bertambahnya jumlah volume produksi dan pangan ini tentunya menuntut semakin
besarnya peran Deputi III dalam proses penilaian dan pengawasannya. Kurangnya
pemenuhan prinsip cara produksi pangan olahan yang baik oleh produsen dalam
memproduksi pangan menjadi tantangan Deputi III dalam melakukan pengawasan dan
pembinaan.

Peningkatan jumlah penduduk jika ditata dengan baik akan menjadi potensi
berupa sumber daya manusia bagi pembangunan ekonomi. Kondisi ini menjadi tantangan
dan peluang bagi pemerintah untuk dapat memanfaatkan fase Bonus Demografi di
Indonesia untuk menciptakan aktivitas ekonomi yang sangat besar dan mampu
memberikan kontribusi yang besar juga dalam APBN.

30
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Berdasarkan peta demografi, penduduk Indonesia dalam usia produktif telah
mencapai 80%. Penduduk ini telah memiliki daya beli lebih tinggi ditambah dengan
kenaikan jumlah penduduk kelas menengah (middle class) yang terjadi pada tahun 2040.
Laporan Mc Kinsey (2012) menunjukkan bahwa kelompok middle class atau consuming
class Indonesia naik dari waktu ke waktu, yakni tahun 2010 hanya 45 juta orang, maka
proyeksi tahun 2020 naik menjadi 85 juta orang dan pada tahun 2030 sudah mencapai
135 juta orang. Kelompok ini akan banyak mempengaruhi pola konsumsi pangan serta
gaya hidup masyarakat Indonesia.

5. Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Dengan perubahan paradigma sistem penyelenggaraan pemerintah yang semula


sentralisasi menjadi desentralisasi atau otonomi daerah, maka urusan kesehatan menjadi
salah satu kewenangan yang diselenggarakan secara konkuren antara pusat dan daerah.
Hal ini berdampak pada pengawasan pangan yang tetap bersifat sentralistik dan tidak
mengenal batas wilayah (borderless), dengan one line command (satu komando), sehingga
apabila terdapat suatu produk pangan yang tidak memenuhi syarat maka dapat segera
ditindaklanjuti.

Desentralisasi dapat menimbulkan beberapa permasalahan di bidang pengawasan


pangan di antaranya kurangnya dukungan dan kerjasama dari pemangku kepentingan di
daerah sehingga tindak lanjut hasil pengawasan pangan belum optimal.

Untuk menunjang tugas dan fungsi Deputi III dalam pengawasan diperlukan
komitmen yang tinggi, dukungan dan kerjasama yang baik dari para pemangku
kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, termasuk swasta dengan
mendayagunakan potensi yang dimiliki masing-masing untuk menghasilkan tata
penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang baik. Pemberlakuan Undang-Undang No
23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah merupakan tantangan bagi Deputi III untuk
menyiapkan Norma, Standar, Pedoman dan Kriteria bagi Pemerintah Daerah dalam
melaksanakan kegiatan terkait pengawasan pangan.

31
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
6. Perkembangan Teknologi

Kemajuan teknologi produksi di bidang pangan meliputi perkembangan pangan


hasil rekayasa genetika, pangan iradiasi, perkembangan teknologi nano untuk produk dan
kemasannya serta produk hasil inovasi lainnya. Hal tersebut merupakan sebagian dari
kemajuan teknologi produksi yang diprediksi akan semakin meningkat seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan.

Kemajuan teknologi telah memungkinkan industri di bidang pangan untuk


berproduksi dalam skala besar dengan cakupan yang luas. Selain itu, dengan kemajuan
teknologi transportasi baik darat, laut dan udara maupun jasa pengiriman barang,
berbagai produk itu dimungkinkan dalam waktu relatif singkat mencapai seluruh wilayah
negeri ini hingga ke pelosok-pelosoknya. Hal tersebut dapat menimbulkan dampak satu
potential problem bagi pengawasan pangan, antara lain bila terdapat produk yang tidak
memenuhi standar, peredarannya dapat menjangkau areal yang luas dalam waktu yang
relatif singkat. Untuk itu, antisipasi pengawasan pangan juga harus sama cepatnya.

Perkembangan teknologi informasi juga dapat menjadi potensi yang bermakna


bagi Deputi III untuk dapat melakukan pelayanan secara online, yang dapat memudahkan
akses dan jangkauan masyarakat. Teknologi informasi juga dapat dimanfaatkan untuk
melakukan sosialisasi, komunikasi, dan edukasi kepada masyarakat. Namun di sisi lain,
teknologi informasi juga dapat menjadi tantangan bagi BPOM terkait tren pemasaran dan
transaksi produk pangan secara online, yang juga perlu mendapatkan pengawasan
dengan berbasis pada teknologi informasi.

7. Implementasi Program Fortifikasi Pangan

Salah satu upaya di dalam mendukung Arah Kebijakan Nasional Perbaikan


Kualitas Konsumsi Pangan dan Gizi Masyarakat dilakukan melalui peningkatan peran

32
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
industri dan Pemerintah daerah dalam ketersediaan pangan beragam, aman, dan bergizi
diantaranya dengan dukungan fortifikasi mikronutrien penting.

Fortifikasi pangan merupakan salah satu cara dalam menangani permasalahan


tingginya angka kekurangan gizi mikro. Sebagai langkah awal pemerintah menetapkan
fortifikasi pada garam dan tepung terigu, mengingat masih tingginya masalah gangguan
kesehatan karena kurang yodium (GAKI). Penerapan fortifikasi harus diiringi dengan
pengawasan. Hasil pengawasan terhadap garam beryodium dalam kurun waktu tiga
tahun terakhir (2010–2013) menunjukkan bahwa jumlah sampel yang TMS mengalami
kenaikan, yaitu berkisar 29%-43%. Hasil pengawasan tepung terigu dalam kurun waktu
tiga tahun terakhir (2010-2013) menunjukkan bahwa jumlah sampel yang TMS juga
mengalami kenaikan, yaitu berkisar 4%-23%.

Untuk mengawal program ini, BPOM mendapatkan mandat strategis baik dalam
Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) maupun Rencana Aksi Daerah Pangan
dan Gizi (RAD-PG), utamanya pada Pokja III Bidang Mutu dan Keamanan Pangan. Kegiatan
Intensifikasi pengawasan produk fortifikasi Nasional (tepung terigu dan garam)
merupakan upaya pengawasan pangan baik dalam rangka pemenuhan persyaratan
(compliance) maupun surveilan keamanan pangan. Upaya tersebut dilakukan melalui
verifikasi terhadap pemenuhan Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB), baik
penerapan CPPOB pada produsen pangan dan penerapan Cara Ritel Pangan yang Baik di
sarana peredaran. Selain itu juga dilakukan pengawasan terhadap pangan baik di sarana
produksi maupun di sarana peredaran dan penegakan hukum terhadap pelaku
pelanggaran di bidang pangan, pengujian laboratorium terhadap parameter keamanan
dan mutu pangan dan gizi pangan, pengawasan terhadap kesesuaian label, monitoring
iklan serta pengawasan terhadap keamanan kemasan pangan yang beredar melalui
sampling dan pengujian.

33
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
8. Jejaring Kerja

Sistem pengawasan pangan di Indonesia merupakan sistem yang terintegrasi


dimana berbagai kementerian dan lembaga terlibat dalam pengawasan tersebut sesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya.

Untuk itu Badan POM dalam hal ini Deputi III mengembangkan kerjasama dan
jejaring dengan lembaga-lembaga, baik di pusat, daerah, maupun internasional.
Pembentukan jejaring dengan cakupan yang luas ini sangat strategis posisinya dalam
mendukung tugas-tugas Deputi III maupun pemangku kepentingan. Beberapa jejaring
kerja yang sudah dimiliki BPOM yang terkait pangan yaitu Jejaring Keamanan Pangan
Nasional/Daerah, Indonesia Rapid Alert System for Food and Feed (INRASFF), Jaringan
Laboratorium Pengujian Pangan Indonesia (JLPPI), Satgas Pemberantasan Obat dan
Makanan Ilegal (Pusat dan Daerah), Indonesia Criminal Justice System (ICJS). Di tingkat
regional maupun internasional terdapat jejaring kerja dengan ASEAN Rapid Alert System
for Food and Feed (ARASFF), World Health Organization (WHO), Codex Alimentarius
Commission, ASEAN Referrences Laboratories (AFL). Peluang kerjasama ini terbuka
tentunya karena citra BPOM yang baik di tingkat internasional.

Jejaring kerjasama ini perlu penguatan karena belum semuanya berjalan efektif.
Sebagai contoh adanya INRASFF akan mendukung pengawasan secara cepat tanggap
terhadap adanya outbreak dan risiko pada pangan. Namun, ada beberapa hal yang masih
menjadi tantangan yaitu: (i) Upstream Notification masih belum optimal, (ii) Asesmen
risiko keamanan pangan impor masih belum optimal, (iii) Tindak lanjut notifikasi di
Competent Contact Point (CCP) belum cepat, dan (iv) Sistem traceability di rantai suplai
pangan masih lemah. Untuk itu, ke depan akan dilakukan pembentukan Local Competent
Contact Point (LCCP) di 5 Propinsi: Medan, Lampung, Surabaya, Denpasar, dan Manado,
serta Pengembangan Pusat Kewaspadaan dan Respon Keamanan Pangan Nasional, yang
mana selain pangan, juga akan dikembangkan untuk Obat, Obat Tradisional, Kosmetik,
dan Suplemen Kesehatan.

34
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Contoh lainnya adalah Indonesia Risk Assessment Centre (INA-RAC), yang mana
sejak pencanangan oleh Menteri Kesehatan pada 20 November 2014, masih menghadapi
beberapa kendala, seperti ketersediaan data nasional kajian risiko keamanan pangan
yang minim dan belum terintegrasi. Tantangan kedepan adalah: (i) Meningkatkan jumlah
kajian risiko keamanan pangan nasional di sepanjang rantai pangan; (ii) Pembentukan
pool of expert database untuk Komite Ilmiah dan Panel Pakar; serta (iii) Melaksanakan
National Capacity Building untuk Risk Assessment.

9. Komitmen dalam Pelaksanaan Reformasi Birokrasi

Untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, BPOM melaksanakan


reformasi birokrasi (RB) sesuai PP Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design RB 2010-
2025. Upaya atau proses RB yang dilakukan BPOM merupakan pengungkit dalam
pencapaian sasaran sebagai hasil yang diharapkan dari pelaksanaan RB. Pola pikir
pelaksanaan RB sebagaimana Gambar 12 di bawah ini:
PENGUNGKIT HASIL
POLA PIKIR DAN BUDAYA KERJA

MENINGKATNYA KAPASITAS

PENGAWASAN INTERNAL
TERWUJUDNYA
PEMERINTAHAN
DAN AKUNTABILITAS
KINERJA BIROKRASI

YANG BERSIH
PELAYANAN PUBLIK

DAN BEBAS
ORGANISASI KORUPSI,
KOLUSI, DAN
NEPOTISME

TATA
SDM
LAKSANA
MENINGKAT-
NYA
AKUNTABILITAS KINERJA KUALITAS
PELAYANAN
PUBLIK
PENATAAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

INOVASI & PEMBELAJARAN

Gambar 12 Pola Pikir Pelaksanaan RB

35
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Sebagai bagaian dari BPOM, Deputi III mendukung pelaksanaan reformasi
Birokrasi oleh Badan POM dalam semua area perubahan dalam rangka Reformasi
Birokrasi yang meliputi : (a) Penataan dan Penguatan Struktur Organisasi; (b) Penataan
Tatalaksana; (c) Penataan Peraturan perundang-undangan dan Penegakan Hukum; (d)
Penguatan Akuntabilitas Kinerja; (e) Penguatan Pengawasan; (f) Penataan Sistem
Manajemen SDM Aparatur; (g) Peningkatan Pelayanan Publik; (h) Manajemen Perubahan.

Uraian untuk masing-masing area perubahan tersebut sebagai berikut :

a. Penataan dan Penguatan Struktur Organisasi

Penataan dan penguatan struktur organisasi dimaksudkan untuk meningkatkan


efektifitas dan efisiensi pelaksanaan tugas dan fungsi serta kewenangan BPOM termasuk
Deputi III. Untuk itu, Deputi III mendukung hal tersebut melalui kajian dan evaluasi,
menyampiakan rekomendasi dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas
organisasi secara proporsional menjadi tepat fungsi dan tepat ukuran sesuai dengan
kebutuhan pelaksanaan tugas dan fungsi Deputi III.

b. Penataan Tatalaksana

BPOM berkomitmen untuk melindungi masyarakat dari Obat dan Makanan yang
berisiko terhadap kesehatan dan secara terus-menerus meningkatkan pengawasan serta
memberikan pelayanan kepada seluruh pemangku kepentingan. Komitmen BPOM
tersebut dilakukan melalui penerapan sistem mutu secara konsisten dan ditingkatkan
secara berkelanjutan yang dibuktikan dengan pemenuhan atau perolehan Quality
Management System ISO 9001:2008; Akreditasi Laboratorium IEC 17025:2005; PIC/S
Quality System Requirement for Pharmateucal Inspectorate (PI 0023), OHSAS 18001:2007;
ISO 27001:2013 Information Security Management System; WHO Quality System
Requirement for National GMP Inspectorates (TRS 902 Annex 8, 2002); dan Persyaratan
Akreditasi Pranata Penelitian dan Pengembangan untuk sistem riset dan pengembangan
(KNAPPP02:2007).

36
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Upaya untuk meningkatkan kualitas kinerja juga dilakukan melalui penerapan e-
government atau penggunaan teknologi informasi di lingkungan BPOM, di antaranya
pendaftaran produk (pangan, obat, obat tradisional) dan berbagai penyelenggaraan
manajemen pemerintahan lainnya yang dilakukan secara elektronik serta keterbukaan
informasi publik bagi masyarakat. Berbagai sistem mutu dan pengembangan e-
government yang dapat meningkatkan kinerja BPOM tersebut seyogyanya dapat
diintegrasikan sesuai dengan ruang lingkupnya agar pelaksanaannya dapat dilakukan
secara efektif dan efisien.

c. Penataan Peraturan perundang-undangan dan Penegakan Hukum

Telah banyak Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang menjadi landasan


teknis pelaksanaan tugas fungsi BPOM. Namun, Peraturan Perundang-undangan yang ada
selama ini kurang mendukung tercapainya efektivitas pengawasan Obat dan Makanan.
Demikian pula sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran di bidang Obat dan Makanan
belum memberikan efek jera sehingga sering terjadi kasus berulang.

Beberapa kerangka regulasi yang diasumsikan dapat mendukung pencapaian


tujuan pengawasan Obat dan Makanan dibahas pada Kerangka Regulasi. Adanya
kerangka regulasi sebagai bagian tak terpisahkan dari kaidah pelaksanaan RPJMN/RKP
membuka peluang untuk menciptakan harmonisasi peraturan perundang-undangan dan
meminimalkan ego sektoral. BPOM perlu mengambil kesempatan ini dengan
mengusulkan peraturan perundang-undangan yang akan masuk dalam prolegnas setiap
tahunnya bersamaan dengan penyusunan rencana kerja. Selain itu sesuai kerangka
regulasi, untuk memastikan bahwa setiap norma kebijakan yang akan diratifikasi
memberikan manfaat bagi masyarakat, BPOM perlu membuat cost-benefit analysis.
Sedangkan terhadap regulasi teknis yang dikeluarkan BPOM, perlu dilakukan regulatory
impact assessment.

Kaitannya dengan pengawasan Obat dan Makanan di daerah, selain ketersediaan


NSPK, perlu didorong terbitnya aspek legal berupa Peraturan/SK Gubernur dan
ditindaklanjuti dengan Peraturan/SK Bupati/Walikota.

37
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Pada level operasional, BPOM telah memiliki Pedoman Pengawasan yang jelas
untuk acuan dalam pengawasan Obat dan Makanan, juga menerbitkan standar mutu
lainnya, seperti standar produksi dan distribusi Obat dan Makanan. Ketersediaan
peraturan perundangan sampai dengan pedoman teknis yang dilegalkan dalam bentuk
Peraturan Kepala BPOM tersebut sangat mendukung penegakan hukum.

Tantangan ke depan, BPOM harus membuat terobosan dalam penegakan hukum


seperti memperkuat kemitraan untuk pengawasan, penindakan, maupun persamaan
persepsi dengan kepolisian, kejaksaan, dan instansi terkait, menggeser pengawasan ke
area preventif, serta memperkuat kerjasama di Free Trade Zone Area. Upaya ini pun perlu
diikuti dengan peningkatan kajian BPOM mengenai kerugian negara secara ekonomi
maupun kesehatan akibat pelanggaran Obat dan Makanan.

d. Penguatan Akuntabilitas Kinerja

Penguatan Akuntabilitas Kinerja bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan


akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Untuk mencapai tujuan tersebut, BPOM telah
mengimplementasikan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dengan
baik, dibuktikan dengan hasil evaluasi KemenPAN-RB tahun 2014 memperoleh nilai B.

Komitmen pimpinan yang sangat tinggi terhadap pelaksanaan SAKIP menjadi


kekuatan penting dalam upaya penguatan akuntabilitas kinerja BPOM. Namun, BPOM
masih perlu melakukan penyempurnaan dalam penatausahaan manajemen
pemerintahan (keuangan dan BMN) dalam mewujudkan pemerintahan yang akuntabel.
Ke depan, untuk menjawab ekspektasi masyarakat terhadap akuntabilitas BPOM selaku
institusi pengawasan, BPOM telah menargetkan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)
terhadap opini laporan keuangan BPOM dari BPK.

e. Penguatan Pengawasan

Penguatan pengawasan bertujuan untuk meningkatkan penyelenggaraan


pemerintahan yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN). Melalui upaya
pengawasan yang dilakukan BPOM, diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan dan

38
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
efektivitas pengelolaan keuangan negara di lingkungan BPOM termasuk Deputi III serta
menghindari tingkat penyalahgunaan wewenang.

Pengawasan yang dilakukan BPOM termasuk Deputi III antara lain melalui
kebijakan penanganan gratifikasi, penerapan Sistem Pengendalian Internal Pemerintah
(SPIP), pengelolaan pengaduan masyarakat, implementasi whistle-blowing system,
penanganan benturan kepentingan, pembangunan zona integritas menuju Wilayah Bebas
dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM), dan
pendayagunaan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) dalam perencanaan dan
penganggaran.

Untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal, upaya pengawasan yang dilakukan
tersebut masih perlu dievaluasi agar dapat ditingkatkan pelaksanaannya. Salah satu hal
yang dapat dilakukan adalah penguatan peran APIP dan unit pengawas fungsional
(Inspektorat) sebagai internal-consultant yang melaksanakan fungsi pembinaan,
penataan, pengawasan, dan pentaatan dengan dukungan SDM yang memadai secara
kualitas dan kuantitas serta berfokus pada pemeriksaan kinerja berbasis risiko untuk
mencegah potensi kesalahan yang mengganggu efektivitas pencapaian sasaran organisasi
dan dapat menimbulkan kerugian negara.

f. Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur

Penataan sistem manajemen SDM aparatur bertujuan untuk meningkatkan


profesionalisme SDM aparatur BPOM termasuk Deputi III yang didukung oleh sistem
rekrutmen dan promosi aparatur berbasis kompetensi, transparan, serta memperoleh
gaji dan bentuk jaminan kesejahteraan yang sepadan, sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Perencanaan kebutuhan
pegawai BPOM dilakukan sesuai dengan kebutuhan organisasi dan proses penerimaan
pegawai dilakukan secara transparan, objektif, akuntabel, dan bebas KKN serta promosi
jabatan dilakukan secara terbuka. Pengajuan usulan kebutuhan pegawai diawali dari
Analisis Beban Kerja dari masing-masing unit kerja yang menyampaikan jumlah dan
kompetensi pegawai yang dibutuhkan.

39
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Pengembangan pegawai yang dilakukan BPOM berbasis kompetensi yang
selanjutnya capaian penilaian kinerja individu pegawai akan dijadikan dasar untuk
pemberian tunjangan kinerja. Hal ini diimbangi dengan penegakan aturan disiplin dan
kode etik serta pemberian sanksi. Seluruh aktivitas manajemen SDM tersebut didukung
oleh sistem informasi kepegawaian.

Kualitas SDM Deputi III terus ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan dan tingkat
kompetensinya untuk mendukung capaian kinerja yang telah ditetapkan. Dari sisi
kuantitas SDM Deputi III belum mencukupi kebutuhan untuk menjalankan tugas dan
fungsinya..

g. Peningkatan Pelayanan Publik

Sebagai organisasi penyelenggara pelayanan publik, BPOM berkomitmen untuk


melindungi masyarakat dari Obat dan Makanan yang berisiko terhadap kesehatan dan
secara terus-menerus meningkatkan pengawasan serta memberikan pelayanan kepada
seluruh pemangku kepentingan. Komitmen BPOM tersebut dilakukan melalui penerapan
sistem mutu secara konsisten dan ditingkatkan secara berkelanjutan yang dibuktikan
dengan pemenuhan atau perolehan Quality Management System ISO 9001:2008;
Akreditasi Laboratorium IEC 17025:2005; PIC/S Quality System Requirement for
Pharmateucal Inspectorate (PI 0023), OHSAS 18001:2007; ISO 27001:2013 Information
Security Management System; WHO Quality System Requirement for National GMP
Inspectorates (TRS 902 Annex 8, 2002); dan Persyaratan Akreditasi Pranata Penelitian dan
Pengembangan untuk sistem riset dan pengembangan (KNAPPP02:2007).

Upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan juga


dilakukan melalui penerapan e-government atau penggunaan teknologi informasi di
lingkungan BPOM, di antaranya pendaftaran produk (pangan, obat, obat tradisional) dan
berbagai penyelenggaraan manajemen pemerintahan lainnya yang dilakukan secara
elektronik serta keterbukaan informasi publik bagi masyarakat. Berbagai sistem mutu
dan pengembangan e-government yang dapat meningkatkan kinerja BPOM tersebut

40
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
seyogyanya dapat diintegrasikan sesuai dengan ruang lingkupnya agar pelaksanaannya
dapat dilakukan secara efektif dan efisien.

Secara khusus sasaran yang akan dicapai dari proses reformasi birokrasi pada
aspek pelayanan publik yang akan dilakukan di Badan POM adalah mengedepankan ke
empat belas aspek pelayanan serta mampu memberikan tingkat kepuasan masyarakat
yang tinggi sehingga didapat kepercayaan publik pada Badan POM.

Dalam rangka peningkatan pelayanan publik, telah dilakukan berbagai upaya


perbaikan dalam pengawasan pre market maupun post market di Deputi III, antara lain
terdiri dari kegiatan pendaftaran pangan olahan dan pelaksanaan sertifikasi impor dan
ekspor pangan agar dapat dilaksanakan secara prima (perbaikan layanan secara terus
menerus). Selain itu, dilakukan revitalisasi sumber daya manusia, intensifikasi sistem
layanan, memangkas birokrasi layanan, atasi keluhan pelanggan dengan motto pelayanan
publik CEPPATT (Cekatan, Efisien, Profesional, Pasti waktu dan biaya, Akurat, Transparan
dan Tanggap).

41
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Deputi III berupaya agar terjadi perbaikan terus menerus pada pelayanan publik
yang dilakukan. Upaya yang telah dilakukan bahkan jauh sebelum arus utama reformasi
birokrasi mengemuka adalah melaksanakan sistem pelayanan satu atap, upaya perbaikan
yang akan dilakukan adalah single sign on serta upaya pelayanan registrasi online dan
percepatan pelayanan. Deputi III sebagai salah satu eselon I pemberi pelayanan publik
perlu melakukan pembenahan terus menerus sesuai dengan peluang dan tantangan baik
internal maupun eksternal. Hasil survey integritas sektor publik tahun 2009 oleh KPK,
Evaluasi produk sebelum beredar termasuk lima belas unit layanan dengan skor
integritas tertinggi. Standar minimal integritas yang ditetapkan oleh KPK dalam survey
ini sebesar 6,00 dari skala 0 - 10,00, semakin besar nilai semakin baik integritasnya. Hasil
survey integritas sektor publik tahun 2010 oleh KPK untuk layanan pendaftaran MD/ML
Badan POM termasuk 10 (sepuluh) teratas unit layanan dengan nilai integritas 7,48
sedangkan untuk perizinan ekspor/impor yang termasuk dalam kategori makanan dan
obat-obatan memiliki nilai integritas 7,13.

Pada area perubahan peningkatan kualitas pelayanan publik sasaran yang harus
dicapai oleh Deputi III meliputi:

1. Meningkatnya kualitas pelayanan publik kepada masyarakat (lebih cepat, lebih aman,
lebih mudah dijangkau, lebih murah) dengan indikatornya adalah pelayanan publik
murah, terjangkau, cepat dan aman. Capaian yang telah dilaksanakan antara lain
menerapkan dan mengembangkan pendaftaran pangan secara online (e-registration),
notifikasi dan e-payment serta penerapan SKI paperless sehingga mendukung
efisiensi dan efektivitas sistem NSW dan diharapkan pelayanan akan semakin cepat,
efisien, efektif dan lebih transparan.
2. Meningkatnya Indeks Kepuasan Masyarakat

Untuk mengukur kinerja pelayanan publik, Direktorat Penilaian Keamanan


Pangan selain melaksanakan survey kepuasan pelanggan juga merupakan salah satu unit
di Badan POM yang pernah mengikuti Kompetisi Layanan Publik dalam rangka Open
Government Indonesia (OGI) yang diselenggarakan oleh UKP-PPP pada tahun 2012.

42
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Kompetisi ini bertujuan untuk lebih mendorong dan mengapresiasi unit layanan publik
yang memiliki keinginan kuat untuk melakukan peningkatan kualitas layanan publik.
Peserta dalam kompetisi ini terdiri dari 62 unit layanan publik yang berasal dari 34
Kementerian/Lembaga. Keikutsertaan dalam Kompetisi Layanan Publik OGI ini sejalan
dengan Reformasi Birokrasi BPOM RI, dimana “Pelayanan Publik” merupakan salah satu
dari 8 area perubahan. Direktorat Penilaian Keamanan Pangan berhasil mendapat
peringkat ke – 7.

h. Manajemen Perubahan

Manajemen perubahan bertujuan untuk mengubah secara sistematis dan


konsisten dari sistem dan mekanisme kerja organisasi serta pola pikir dan budaya kerja
individu atau unit kerja di dalamnya menjadi lebih baik sesuai dengan tujuan dan sasaran
RB. Untuk menggerakkan organisasi dalam melakukan perubahan, telah dibentuk agent
of change di masing-masing unit kerja sebagai role model serta forum bagi pembelajaran
atau inovasi dalam proses perubahan yang dilakukan. Komitmen dan keterlibatan
pimpinan dan seluruh pegawai secara aktif dan berkelanjutan merupakan unsur
pendukung paling utama dalam perubahan pola pikir dan budaya kerja dalam rangka
pelaksanaan RB.

Untuk mengurangi risiko kegagalan yang disebabkan kemungkinan timbulnya


resistensi terhadap perubahan dibutuhkan media komunikasi secara reguler untuk
mensosialisasikan RB atau perubahan yang sedang dan akan dilakukan, termasuk
pentingnya peran agent of change dan manfaat dari forum pembelajaran atau inovasi.

ANALISA TERHADAP LINGKUNGAN STRATEGIS (STRENGTHS, WEAKNESSES,


OPPORTUNITIES, THREATS)

Secara garis besar, lingkungan strategis yang dihadapi oleh Deputi bidang
pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya diidentifikasi berdasarkan
pengamatan terhadap kondisi internal (strenghts dan weaknesses) dan eksternal

43
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
(opportunities dan threats) organisasi, selanjutnya dilakukan analisa terhadap kekuatan
(strength), kelemahan (weaknesses), kesempatan (opportunities) dan ancaman (threats).

A. FAKTOR LINGKUNGAN INTERNAL

Kekuatan

 Integritas Pelayanan Publik diakui secara Nasional


 Komitmen Pimpinan dan seluruh pegawai di Kedeputian III untuk menerapkan
Reformasi Birokrasi
 Sistem pengawasan pangan yang komprehensif mencakup pre-market dan post
market
 Penerapan dan sertifikasi sistem manajemen mutu ISO 9001: 2008 di seluruh unit
kerja
 Networking yang kuat dengan lembaga-lembaga pusat/daerah/regional/
internasional
 Pengembangan dan penerapan pengawasan pangan berbasis risiko
 Peraturan dan standar yang mengacu standar internasional
 Intensifikasi kegiatan Komunikasi, Informasi dan Edukasi Keamanan Pangan
 Tugas, fungsi dan kewenangan yang jelas dalam peraturan perundang-undangan
 Pengakuan kompetensi SDM keamanan pangan melalui pembentukan Lembaga
Sertifikasi Profesi Keamanan Pangan
 Terbentuknya INRASFF dan INARAC sebagai bagian dari penguatan pengawasan
pangan olahan
 Koordinasi dan komunikasi antar unit kerja di Deputi III/ pusat yang semakin kuat
dan lancar.
 Trend anggaran yang meningkat
 Menguatnya Jejaring Keamanan Pangan Nasional

44
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Kelemahan

 Payung hukum pengawasan pangan belum memadai, peraturan pelaksanaan UU


dan NSPK yang terbaru dengan pemerintah daerah
 Jumlah dan sebaran pengawas pangan belum memadai dibandingkan dengan
cakupan tugas dan wilayah pengawasan.
 Terbatasnya sarana dan prasarana baik pendukung maupun utama
 Belum optimalnya dukungan sistem IT dalam pengawasan pangan olahan
 Kelembagaan Pusat dan Balai belum sinergi
 Unit pelaksana teknis terbatas hanya di tingkat provinsi
 Pemberdayaan stakeholder dan konsumen masih belum optimal
 Kompetensi dan profesionalitas tenaga pengawas/evaluator perlu ditingkatkan.
 Jumlah ASN belum memadai dibandingkan dengan beban kerja (berdasarkan
Analisis Beban Kerja)
 Pelaksanaan Regulatory Impact Assessment/RIA belum optimal
 Keterbatasan kemampuan pengujian untuk mengawal fungsi pengawasan.

B. FAKTOR LINGKUNGAN EKSTERNAL

Peluang

 Kebijakan Program Fortifikasi Pangan secara nasional


 Perkembangan Teknologi Informasi sebagai sarana pengawasan keamanan
pangan termasuk KIE
 Pengakuan stakeholder terhadap peran Badan POM (Deputi III) sebagai leading
sektor dalam INRASFF dan INARAC.
 Jumlah dan variasi industri pangan yang berkembang pesat
 Terjalinnya kerjasama dengan instansi terkait

45
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
 Peranan industri pangan dalam perkembangan ekonomi nasional
 Peningkatan demand pangan
 Globalisasi perdagangan MEA, harmonisasi ASEAN dll
 Perkembangan teknologi di bidang pangan
 Komitmen manajemen untuk bermitra dalam keamanan pangan
 Peningkatan tuntutan dan harapan masyarakat terhadap pangan yang aman
 Jumlah industri pangan yang berkembang pesat termasuk industri UMKM
 Kuatnya dukungan dari stakeholder
 Perkembangan regulasi global terkait pangan

Tantangan

 Perubahan iklim dunia yang mempengaruhi pola penyakit akibat pangan


 Penjualan pangan ilegal secara online
 Demografi dan Perubahan Komposisi Penduduk
 Perubahan pola hidup masyarakat (sosial dan ekonomi) termasuk pola makan
 Munculnya (kembali) berbagai penyakit baru (re-emerging pahogen bacteria)
 Masih banyaknya jumlah pelanggaran di bidang pangan
 Bidang kesehatan menjadi kewenangan yang diselenggarakan secara konkuren
antara pusat dan daerah
 Lemahnya penegakan hukum
 Kebijakan peredaran pangan di wilayah perbatasan
 Berkurangnya ketersediaan pangan yang berkualitas dengan harga yang
kompetitif
 Desentralisasi bidang kesehatan belum optimal
 Belum optimalnya tindaklanjut hasil pengawasan pangan oleh pemangku
kepentingan di daerah
 Luasnya jangkauan area pengawasan pangan

46
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
 Penyakit tidak menular akibat pangan; terkait isu Gula- Garam-Lemak, 1000 Hari
Pertama Kehidupan, Stunting, Kualitas Manula
 Masih munculnya Kejadian Luar Biasa (outbreak)
 Daya saing IRTP/UMKM masih rendah
 Kemampuan telusur produk masih rendah (traceability)
 Masih banyaknya pelanggaran di bidang pangan

47
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
BAB II

VISI, MISI DAN TUJUAN DEPUTI

BIDANG PENGAWASAN KEAMANAN PANGAN DAN BAHAN BERBAHAYA

Berdasarkan kondisi umum, potensi, permasalahan dan tantangan yang dihadapi


ke depan, maka Deputi III sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai unit organisasi yang
bertanggungjawab dalam melaksanakan pengawasan pangan dituntut untuk dapat
menjamin keamanan, mutu dan manfaat pangan sesuai persyaratan yang telah
ditetapkan.

2.1 VISI

Visi dan Misi Pembangunan Nasional untuk tahun 2105-2019 telah ditetapkan
dalam Peraturan Presiden RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Visi pembangunan nasional untuk tahun
2015-2019 adalah “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan
Berkepribadian berlandaskan Gotong Royong”. Upaya untuk mewujudkan visi ini
adalah melalui 7 Misi Pembangunan yaitu:

1. Mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah,


menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim, dan
mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan,
2. Mewujudkan masyarakat maju, berkesinambungan dan demokratis berlandaskan
negara hukum,
3. Mewujudkan politik luar negeri yang bebas-aktif dan memperkuat jati diri sebagai
negara maritim,
4. Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera,
5. Mewujudkan bangsa yang berdaya saing,

48
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
6. Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju dan kuat dan
berbasiskan kepentingan nasional, dan
7. Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan.

Sejalan dengan visi dan misi pembangunan dalam RPJMN 2015-2019, maka BPOM
telah menetapkan Visi BPOM 2015-2019 yaitu :

”Obat dan Makanan Aman Meningkatkan Kesehatan Masyarakat dan Daya


Saing Bangsa”

Mengingat Deputi III memiliki peran strategis dalam mendukung pencapaian Visi
BPOM, maka Visi Deputi III yang akan dicapai sesuai Renstra periode 2015-2019 adalah
sama dengan Visi BPOM. Diharapkan Deputi III memberikan kontribusi yang signifikan
sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya bagi keberhasilan pencapaian Renstra BPOM
2015-2019 terutama dalam bidang pangan.

Penjelasan Visi:
Proses penjaminan pengawasan Pangan harus melibatkan masyarakat dan
pemangku kepentingan serta dilaksanakan secara akuntabel serta diarahkan untuk
menyelesaikan permasalahan kesehatan yang lebih baik. Sejalan dengan itu, maka
pengertian kata Aman dan Daya Saing adalah sebagai berikut:
Aman : Kemungkinan risiko yang timbul pada penggunaan Pangan telah melalui
analisa dan kajian, sehingga risiko yang mungkin masih timbul adalah
seminimal mungkin/ dapat ditoleransi/tidak membahayakan saat
digunakan pada manusia. Dapat juga diartikan bahwa manfaat pangan
meyakinkan, keamanan memadai, dan mutunya terjamin.
Daya Saing : Kemampuan menghasilkan produk barang dan jasa yang telah
memenuhi standar, baik standar nasional maupun internasional,
sehingga produk lokal unggul dalam menghadapi pesaing di masa depan.

49
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
2.2 MISI
Untuk mewujudkan visi tersebut di atas, diperlukan tindakan nyata sesuai dengan
tugas pokok dan fungsi Deputi III dalam bentuk misi sebagai berikut :
1. Meningkatkan sistem pengawasan pangan berbasis risiko untuk melindungi
masyarakat

2. Mendorong kemandirian pelaku usaha dalam memberikan jaminan keamanan


pangan serta memperkuat kemitraan dengan pemangku kepentingan.

3. Meningkatkan kapasitas kelembagaan BPOM

Penjelasan Misi :

1. Meningkatkan sistem pengawasan pangan berbasis risiko untuk melindungi


masyarakat

Pengawasan pangan merupakan pengawasan komprehensif (full spectrum)


mencakup standardisasi, penilaian produk sebelum beredar, pemeriksaan sarana
produksi dan distribusi, sampling dan pengujian produk serta penegakan hukum.
Dengan penjaminan mutu produk pangan yang konsisten, yaitu memenuhi standar
aman, bermanfaat dan bermutu, diharapkan Deputi III mampu melindungi
masyarakat dengan optimal. Menyadari kompleksnya tugas yang diemban Deputi III,
maka perlu disusun suatu strategi yang mampu mengawalnya.

Di satu sisi tantangan dalam pengawasan pangan semakin tinggi, sementara


sumber daya yang dimiliki terbatas, maka perlu adanya prioritas dalam
penyelenggaraan tugas. Untuk itu pengawasan pangan seharusnya didesain
berdasarkan analisis risiko, untuk mengoptimalkan seluruh sumber daya yang
dimiliki secara proporsional untuk mencapai tujuan sasaran strategis ini.

Deputi III perlu melakukan mitigasi risiko di semua proses bisnis Deputi III,
antara lain pada pengawasan sarana dan produk, Deputi III secara proaktif

50
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
memperkuat pengawasan lebih ke hulu melalui pengawasan importir bahan baku
dan produsen.

2. Mendorong kemandirian pelaku usaha dalam memberikan jaminan keamanan


pangan serta memperkuat kemitraan dengan pemangku kepentingan

Dalam 5 (lima) tahun ke depan, paradigma pengawasan pangan harus diubah


yang sebelumnya adalah “watchdog” control menjadi “pro-active control” dengan
mendorong penerapan Risk Management Program oleh industri.

Sebagai salah satu pilar Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SISPOM),
pelaku usaha mempunyai peran yang sangat strategis dalam dalam pengawasan
pangan. Pelaku usaha harus bertanggungjawab memenuhi standar dan persyaratan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku terkait dengan produksi dan distribusi pangan
sehingga menjamin pangan yang diproduksi dan diedarkan aman, bermanfaat dan
bermutu.
Sebagai unit organisasi pengawas, Deputi III harus mampu membina dan
mendorong pelaku usaha untuk dapat memberikan produk pangan yang aman,
bermanfaat dan bermutu. Dengan pembinaan secara berkelanjutan, ke depan
diharapkan pelaku usaha mempunyai kemandirian dalam memberikan jaminan
keamanan pangan.
Era perdagangan bebas telah dihadapi oleh seluruh negara di dunia, termasuk
Indonesia. Sementara itu, kontribusi industri pangan terhadap Pendapatan Nasional
Bruto (PDB) cukup signifikan. Industri pangan, minuman dan tembakau memiliki
kontribusi PDB non migas di tahun 2012 sebesar 36,33 persen, sementara Industri
Kimia dan Farmasi sebesar 12,59 persen (sumber: Laporan Kemenperin 2004-2012).
Perkembangan industri pangan dan minuman dari tahun 2004 sampai dengan 2012
mempunyai tren yang meningkat. Hal ini tentunya merupakan suatu potensi yang
luar biasa untuk industri tersebut berkembang lebih pesat.

51
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Industri dalam negeri harus mampu bersaing baik di pasar dalam maupun luar
negeri. Kemajuan industri pangan secara tidak langsung dipengaruhi dari sistem
serta dukungan regulatory yang mampu diberikan oleh Deputi III. Sehingga Deputi III
berkomitmen untuk mendukung peningkatan daya saing, yaitu melalui jaminan
keamanan, manfaat dan mutu pangan.
Masyarakat sebagai konsumen juga mempunyai peran yang sangat strategis
dalam pengawasan pangan. Sebagai salah satu pilar pengawasan pangan, masyarakat
diharapkan dapat memilih dan menggunakan pangan yang memenuhi standar, dan
diberi kemudahan akses informasi dan komunikasi terkait pangan. Untuk itu, Deputi
III melakukan berbagai upaya yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat dalam mendukung pengawasan melalui kegiatan Pemberdayaan,
Komunikasi, Informasi dan Edukasi kepada masyarakat, serta kemitraan dengan
pemangku kepentingan lainnya sehingga mampu melindungi diri sendiri dan
terhindar dari produk pangan yang mengandung bahan berbahaya dan ilegal.

Perkembangan ilmu dan teknologi pengolahan dan pengemasan pangan,


metode dan teknik pemasaran dan perdagangan pangan, serta peningkatan
kesadaran tentang kesehatan, telah mendorong berbagai inovasi produk pangan.
Jenis pangan yang diperkenalkan semakin bervariasi; diantaranya pangan organik,
bahan tambahan pangan, pangan iradiasi, pangan produk rekayasa genetik, pangan
untuk bayi, usia lanjut dan kebutuhan medis khusus. Menyadari hal tersebut, sejak
awal penyusunan regulasi, Badan POM telah mengikutsertakan para pemangku
kepentingan. Pertimbangan keamanan pangan, perlindungan konsumen, penerapan
oleh industri pangan dan implementasi perdagangan yang jujur dan bertanggung
jawab didiskusikan secara transparan dan kondusif.

Meningkatkan kemitraan dengan pemangku kepentingan termasuk industri


pangan, merupakan salah satu misi Deputi III, oleh karena itu komunikasi yang sudah
terjalin selama ini antara lain dalam perumusan regulasi, sosialisasi implementasi

52
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
regulasi, penanganan emerging issue, diskusi antisipasi Harmonisasi ASEAN, dan
pendampingan UMKM perlu terus ditingkatkan intensitas dan kualitasnya.

Meningkatnya pangan yang memenuhi syarat adalah salah satu target Deputi
III. Direncanakan penerapan Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB) akan
menjadi persyaratan mendasar yang wajib dilaksanakan dan
dipertanggungjawabkan setiap industri pangan agar tidak ditemukan lagi
penggunaan bahan dan proses produksi yang membahayakan kesehatan dan higiene
sanitasi yang buruk, termasuk dengan pendekatan Hazard Analysis and Critical
Control Point (HACCP) untuk tindakan pencegahan sehingga tingkat kepercayaan
terhadap keamanan dan kualitas pangan di Indonesia meningkat.

Partisipasi aktif dilakukan oleh Deputi III dalam rangka persiapan


diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economy Community) pada
tahun 2015, dimana pangan dan kemasan pangan menjadi salah satu prioritas yang
akan diharmonisasikan. Badan POM sebagai national competent authority di bidang
keamanan pangan berpartisipasi aktif dalam forum – forum diskusi di tingkat
nasional dan internasional untuk meningkatkan kompetensi pelaku usaha di dalam
negeri dalam rangka persiapan pasar bebas ASEAN. Sejumlah standar, pedoman dan
peraturan juga telah dipersiapkan dalam mendukung perlindungan konsumen dan
industri dalam negeri menyambut era perdagangan bebas ASEAN.

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Deputi III tidak dapat berjalan sendiri,
sehingga diperlukan kerjasama atau kemitraan dengan pemangku kepentingan
lainnya. Dalam era otonomi daerah, khususnya terkait dengan bidang kesehatan,
peran daerah dalam menyusun perencanaan pembangunan serta kebijakan
mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pencapaian tujuan nasional di
bidang kesehatan. Pengawasan Pangan bersifat unik karena tersentralisasi, yaitu
dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Pusat dan diselenggarakan oleh Balai di
seluruh Indonesia. Hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri dalam pelaksanaan
tugas pengawasan, karena kebijakan yang diambil harus bersinergi dengan kebijakan

53
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
dari Pemerintah Daerah sehingga pengawasan dapat berjalan dengan efektif dan
efisien.

3. Meningkatkan kapasitas kelembagaan BPOM

Untuk mendorong misi pertama dan kedua, diperlukan sumber daya yang
memadai dalam mencapai kapasitas kelembagaan yang kuat. Hal ini membutuhkan
sumber daya yang merupakan modal penggerak organisasi. Sumber daya dalam hal
ini terutama terkait dengan sumber daya manusia dan sarana-prasarana penunjang
kinerja. Ketersediaan sumber daya yang terbatas baik jumlah dan kualitasnya,
menuntut Deputi III harus mampu mengelola sumber daya tersebut seoptimal
mungkin agar dapat mendukung terwujudnya sasaran program dan kegiatan yang
telah ditetapkan. Pada akhirnya, pengelolaan sumber daya yang efektif dan efisien
menjadi sangat penting untuk diperhatikan oleh seluruh elemen organisasi.
Di samping itu, Deputi III untuk melaksanakan tugas tertentu tidak hanya
bersifat teknis semata (techno structure), namun juga melaksanakan fungsi
pengaturan (regulating), pelaksana (executing), dan pemberdayaan (empowering).
Untuk itu, diperlukan penguatan kelembagaan/organisasi. Kelembagaan tersebut
meliputi struktur yang kaya dengan fungsi, proses bisnis yang tertata dan efektif,
serta budaya kerja yang sesuai dengan nilai organisasi.

Misi Deputi III diadaptasi dari misi BPOM yang merupakan langkah utama yang
disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi BPOM. Pengawasan pre- dan post-market
yang berstandar internasional diterapkan dalam rangka memperkuat Deputi III
menghadapi tantangan globalisasi. Dengan penjaminan mutu produk pangan yang
konsisten, yaitu memenuhi standar aman, bermanfaat dan bermutu, diharapkan Deputi
III mampu melindungi masyarakat dengan optimal.
Dari segi organisasi, Deputi III perlu meningkatkan kualitas kinerja dengan tetap
mempertahankan sistem manajemen mutu dan prinsip organisasi pembelajar (learning
organization). Untuk mendukung itu, maka Deputi III perlu untuk memperkuat

54
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
koordinasi internal dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia serta saling
bertukar informasi (knowledge sharing).

2.3 BUDAYA ORGANISASI

Budaya organisasi merupakan nilai-nilai luhur yang diyakini dan harus dihayati
dan diamalkan oleh seluruh anggota organisasi dalam melaksanakan tugasnya. Nilai-nilai
luhur yang hidup dan tumbuh-kembang dalam organisasi menjadi semangat bagi seluruh
anggota organisasi dalam berkarsa dan berkarya, adalah:

1. Profesional
Menegakkan profesionalisme dengan integritas, objektivitas, ketekunan dan
komitmen yang tinggi.
2. Integritas
konsistensi dan keteguhan yang tak tergoyahkan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai
luhur dan keyakinan
3. Kredibilitas
Dapat dipercaya, dan diakui oleh masyarakat luas, nasional dan internasional.
4. Kerjasama Tim
Mengutamakan keterbukaan, saling percaya dan komunikasi yang baik.
5. Inovatif
Mampu melakukan pembaruan dan inovasi-inovasi sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi terkini.
6. Responsif/Cepat Tanggap
Antisipatif dan responsif dalam mengatasi masalah.
2.4 TUJUAN
Untuk mewujudkan Visi dan melaksanakan Misi di atas, Deputi III menetapkan 2
(dua) tujuan yang akan dicapai Deputi III dalam kurun waktu 2015-2019 adalah sebagai
berikut:

55
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
1. Meningkatnya jaminan produk pangan aman, bermanfaat, dan bermutu dalam rangka
meningkatkan kesehatan masyarakat;
2. Meningkatnya daya saing pangan di pasar lokal dan global dengan menjamin mutu
dan mendukung inovasi.
Tujuan pertama adalah sesuai dengan tugas pokok Deputi III sebagaimana
diamanatkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, Deputi III
diharapkan mampu melakukan tugasnya sehingga dapat memberikan jaminan bagi
masyarakat atas tersedianya pangan olahan yanag memenuhi persyaratan keamanan,
mutu dan gizi dalam rangka meningkatkan status kesehatan masyarakat Indonesia.

Sedangkan tujuan kedua, terkait dengan perkembangan dan perubahan


lingkungan strategis dalam menghadapi era globalisasi dan perdagangan bebas, Deputi
III diharapkan meberikan kontribusi dalam hal peningkatan daya saing produk baik di
pasar lokal maupun regional dan global melalui penjaminan mutu dan dukungan
terhadap inovasi yang dilakukan oleh industri pangan.

Ukuran keberhasilan atau indikator kinerja untuk kedua tujuan tersebut di atas,
dijelaskan dalam bagian Sasaran Strategis.

2.5 SASARAN STRATEGIS

Keberhasilan pencapaian visi dan tujuan organisasi sangat ditentukan oleh


keberhasilan pelaksanaan program dan kegiatan dilaksanakan oleh masing-masing
Direktorat. Keberhasilan tersebut perlu diukur dalam bentuk sasaran strategis dengan
indikator dan target capaian yang ditetapkan per tahun.

Sasaran strategis ini disusun berdasarkan visi dan misi yang ingin dicapai Deputi
III, dengan mempertimbangkan perubahan lingkungan strategis, tantangan masa depan
dan sumber daya serta infrastruktur yang dimiliki.

Sasaran strategis Deputi III dalam kurun waktu 5 (lima) tahun ke depan (2015-
2019) adalah sebagai berikut:

56
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
1. Menguatnya Sistem Pengawasan Makanan

Pangan yang menjadi obyek pengawasan Deputi III merupakan komoditi yang
dikonsumsi setiap hari oleh masyarakat baik yang sehat maupun sakit, dengan
berbagai golongan dan strata masyarakat dalam berbagai kesempatan. Oleh karena
itu maka pengawasan terhadap pangan menjadi hal yang mutlak dilakukan oleh
Pemerintah dalam hal ini Deputi III dengan sistem yang menyeluruh dan
komprehensif untuk mengurangi kemungkinan dampak negatif atau merugikan bagi
masyarakat sebagai konsumen. Dalam konteks ini, pengawasan tidak dapat
dilakukan secara parsial hanya pada produk akhir yang beredar di masyarakat. Pada
seluruh mata rantai pengawasan tersebut, harus ada sistem yang dapat mendeteksi
secara dini jika terjadi degradasi mutu, produk sub standar dan hal-hal lain untuk
dilakukan pengamanan sebelum merugikan konsumen/masyarakat.
Sistem pengawasan pangan yang diselenggarakan oleh Deputi III merupakan suatu
proses yang komprehensif, mencakup pengawasan pre-market dan post-market.
Ruang lingkup pengawasan pangan meliputi :

1. Standardisasi
Fungsi standardisasi meliputi penyusunan standar, regulasi, dan kebijakan
terkait dengan pengawasan pangan. Standardisasi pangan dilakukan secara
terpusat dengan maksud untuk menghindari perbedaan standar dan kualitas
produk yang dihasilkan oleh masing-masing daerah apabila setiap provinsi
membuat standar tersendiri.

57
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
2. Penilaian (pre-market evaluation)
Penilaian pangan merupakan proses evaluasi terhadap pangan olahan yang
dilakukan dalam rangka penerbitan izin edar / persetujuan pendaftaran. Izin
edar/persetujuan pendaftaran pangan olahan diterbitkan apabila berdasarkan
hasil penilaian terhadap aspek keamanan, mutu, gizi serta informasi pada label
telah memenuhi persyaratan sesuai ketentuan perundang-undangan. Penilaian
dilakukan terpusat dan terstandar dengan sistem elektonik berbasis web
sehingga memudahkan pelaku usaha untuk menyampaikan permohonan
pendaftaran dan memudahkan petugas untuk melakukan proses penilaian. Izin
edar / persetujuan pendaftaran pangan olahan berlaku secara nasional.
3. Pengawasan setelah beredar (post-market control)
Pengawasan produk di peredaran dilakukan untuk melihat konsistensi mutu
produk, keamanan dan informasi produk yang dilakukan dengan melakukan
sampling produk pangan yang beredar, pemeriksaan sarana produksi dan
distribusi, pengawasan label dan monitoring iklan. Pengawasan post-market
dilakukan secara nasional dan terpadu, konsisten, dan terstandar. Pelaksanaan
pengawasan ini melibatkan petugas Balai Besar/Balai POM di 33 provinsi
termasuk wilayah yang sulit terjangkau dan daerah perbatasan yang dilakukan
oleh Pos Pengawasan Obat dan Makanan (Pos POM).
Sampling produk pangan beredar dilakukan secara terencana berbasis risiko.
Disamping pengawasan yang terencana dan rutin, pengambilan sampel juga
dapat dilakukan sewaktu waktu jika diperlukan misalnya dalam rangka
intensifikasi atau terjadinya kasus akibat pangan di peredaran.
4. Pengujian laboratorium
Produk pangan yang disampling kemudian diuji di laboratorium untuk melihat
konsistensi kesesuaian dan pemenuhan terhadap persyaratan keamanan,
manfaat dan mutu produk di peredaran. Hasil uji laboratorium ini merupakan
dasar ilmiah yang digunakan sebagai alat bukti untuk menetapkan sanksi, jika

58
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
terjadi pelanggaran atau ketidak sesuaian terhadap persyaratan, sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
5. Penegakan hukum
Penegakan hukum di bidang pangan didasarkan pada bukti hasil pengujian,
pemeriksaan, maupun investigasi awal. Sanksi hukum yang dapat diberikan
terhadap pelanggaran di bidang pangan meliputi sanksi administratif (seperti
larangan untuk diedarkan, penarikan dari peredaran, pencabutan izin edar,
pengamanan dan pemusnahan) serta sanksi pidana.

Prinsip ini sudah sejalan dengan kaidah-kaidah dan fungsi-fungsi pengawasan full
spectrum di bidang pangan yang berlaku secara internasional. Diharapkan melalui
pelaksanaan pengawasan pre-market dan post-market yang profesional dan
independen akan dihasilkan produk pangan yang aman, dan bermanfaat dan
bermutu.
Untuk mengukur capaian sasaran strategis ini, ditetapkan indikator dan target
sebagai berikut:
“Persentase makanan yang memenuhi syarat, dengan target 90,1% pada
akhir 2019.”

2. Meningkatnya kemandirian pelaku usaha, kemitraan dengan pemangku


kepentingan, dan partisipasi masyarakat

Kebijakan pengawasan pangan merupakan kebijakan multisektoral dengan


keterlibatan berbagai sektor baik pemerintah maupun non pemerintah. Hal tersebut
dikenal dengan 3 (tiga) pilar pengawasan pangan yang meliputi Pemerintah, Pelaku
usaha dan Masyarakat. Agar fungsi dan tujuan pengawasan pangan dapat terwujud,
diperlukan koordinasi dan komunikasi yang baik dan intensif antar pihak tersebut,
termasuk dalam pilar Pemerintah yang melibatkan berbagai kementerian dan

59
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
lembaga. Peranan masing-masing pilar pengawasan sangat penting dalam
pelaksanaan fungsi pengawasan pangan.
Pengawasan oleh pelaku usaha seyogyanya dilakukan sejak dari hulu sampai hilir,
dimulai dari pemeriksaan bahan baku, proses produksi, distribusi hingga produk
tersebut dikonsumsi oleh masyarakat. Pelaku usaha mempunyai peran dalam
memberikan jaminan produk pangan yang memenuhi syarat (aman, bermanfaat dan
bermutu) melalui proses produksi yang sesuai dengan ketentuan.
Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengawasan pangan, pelaku
usaha perlu memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk mengembangkan dan
memelihara sistem manajemen risiko secara mandiri.
Pemerintah dalam hal ini Deputi III Badan POM bertugas dalam menyusun kebijakan
dan regulasi terkait persyaratan yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha dan industri
pangan didorong untuk menerapkan Risk Management Program. Dengan demikian,
diharapkan kemandirian pelaku usaha tersebut dapat berkontribusi secara nyata
terhadap peningkatan daya saing produk pangan di pasar lokal, regional maupun
global.
Tanpa meninggalkan tugas utama di bidang pengawasan, Deputi III berupaya
memberikan dukungan kepada pelaku usaha dalam upaya pemenuhan persyaratan
yang ditetapkan melalui pemberian insentif, clearing house, dan pendampingan
regulatory.
Terkait dengan subsistem pengawasan pangan oleh masyarakat sebagai konsumen,
perlu diciptakan kondisi masyarakat yang memiliki tingkat kesadaran yang tinggi
terhadap pentingnya pangan yang aman, bermutu dan bergizi. Masyarakat harus
lebih cerdas dalam memilih dan mengkonsumsi pangan yang aman, bermanfaat dan
bermutu. Upaya peningkatan kesadaran masyarakat tersebut dilakukan oleh Deputi
III melalui kegiatan pembinaan dan bimbingan melalui Komunikasi, layanan
Informasi, dan Edukasi (KIE). Apabila masyarakat sudah cerdas dalam memilih dan
menentukan pangan yang sesuai untuk dikonsumsinya, akan berdampak secara
nyata terhadap pelaku usaha untuk memproduksi dan mengedarkan produk pangan

60
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
yang memenuhi ketentuan serta bersaing dengan jujur dan bertanggung jawab
dalam mempromosikan produknya.
Untuk mengukur keberhasilan pencapaian sasaran strategis ini, maka ditetapkan
indikator dan target sebagai berikut:
“Persentase industri pangan olahan yang mandiri dalam rangka menjamin
keamanan pangan, dengan target kumulatif 11% industri pangan olahan
pada tahun 2019”
Ringkasan Visi, Misi, Tujuan, Sasaran Strategis dan Indikator Kinerja Deputi III
periode 2015-2019 sesuai dengan penjelasan di atas, adalah sebagai berikut :

SASARAN INDIKATOR
VISI MISI TUJUAN
STRATEGIS KINERJA
Makanan Meningkat kan Meningkatnya Menguatnya Persentase
Aman sistem pengawasan jaminan produk Sistem makanan yang
Meningkatkan pangan berbasis pangan aman, Pengawasan memenuhi
Kesehatan risiko untuk bermanfaat, dan Makanan syarat
Masyarakat melindungi bermutu dalam
dan Daya Saing masyarakat rangka
Bangsa meningkatkan
kesehatan
masyarakat
Mendorong Meningkatnya Meningkatnya Persentase
kemandirian pelaku daya saing pangan kemandirian industri
usaha dalam di pasar lokal dan pelaku usaha, pangan olahan
memberikan global dengan kemitraan yang mandiri
jaminan keamanan menjamin mutu dengan dalam rangka
pangan serta dan mendu kung pemangku menjamin
memper kuat inovasi kepentingan, dan keamanan
kemitraan dengan partisipasi pangan;
pemangku masyarakat
kepentingan
Tabel 7. Visi, Misi, Tujuan, Sasaran Strategis dan Indikator Kinerja Deputi III periode
2015-2019

61
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Dari indikator kinerja tersebut di atas, ditetapkan Indikator Kinerja Utama Deputi III
adalah :

1. Persentase makanan yang memenuhi syarat;

2. Persentase industri pangan olahan yang mandiri dalam rangka menjamin


keamanan pangan;

62
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
BAB III

ARAH KEBIJAKAN, STRATEGI, KERANGKA REGULASI


DAN KERANGKA KELEMBAGAAN

Untuk mencapai visi, misi,tujuan dan sasaran strategis sebagaimana telah


diuraikan dalam Bab II, ditetapkan arah kebijakan dan strategi Deputi III, yang mengacu
kepada arah kebijakan dan strategi Badan POM.

3.1 ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI BPOM


Dalam rangka mencapai sasaran strategis Badan POM untuk periode 2015-2019,
maka ditetapkan arah kebijakan dan strategi sebagai acuan langkah-langkah
penyusunan target outcome program. Arah kebijakan dan strategi BPOM disusun untuk
mendukung tujuan pembangunan subbidang kesehatan dan gizi masyarakat. Upaya
secara terintegratif dalam fokus dan lokus pengawasan Obat dan Makanan dilakukan
demi tercapainya tujuan dan sasaran strategis.

Arah Kebijakan BPOM :


1) Penguatan Sistem Pengawasan Obat dan Makanan berbasis risiko untuk melindungi
masyarakat
Penguatan Sistem Pengawasan Obat dan Makanan berbasis risiko dimulai dari
perencanaan yang diarahkan berdasar pada aspek teknis, ekonomi, sosial dan
spasial. Aspek-aspek tersebut dilakukan dengan pendekatan analisis risiko yaitu
dengan memprioritaskan pengawasan kepada hal-hal yang berdampak risiko lebih
besar agar pengawasan yang dilakukan lebih optimal.
Keberadaan BB/Balai POM hampir di seluruh wilayah Indonesia memungkinkan
BPOM meningkatkan pemerataan pembangunan terutama di bidang pengawasan
Obat dan Makanan. Perencanaan berbasis spasial sudah menjadi hal yang perlu
diperhatikan karena secara logis risiko terhadap Obat dan Makanan yang beredar di
masyarakat berbeda pada setiap lokus atau wilayah di daerah. Kebijakan ini harus

61
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
dijabarkan juga oleh BB/Balai POM di daerah dalam perencanaan pengawasan Obat
dan Makanan di catchment area-nya.
Selain itu, penguatan sistem pengawasan Obat dan Makanan juga didorong untuk
meningkatkan perlindungan kepada kelompok rentan meliputi balita, anak usia
sekolah, dan penduduk miskin. Pada pengawasan Obat, hal ini dilakukan antara lain
melalui pengawasan keamanan, khasiat, dan mutu vaksin serta Obat Program JKN.
Pada pengawasan pangan, kelompok rentan ini bahkan telah diidentifikasi
mencakup bayi, orang sakit, ibu hamil, orang dengan immunocompromised, dan
manula. Pengawasan ini dilakukan antara lain melalui pengawasan pangan berisiko
tinggi (seperti susu formula dan produk kaleng), pengawasan Pangan Jajanan Anak
Sekolah, dan pengawasan pangan fortifikasi.
2) Peningkatan pembinaan dan bimbingan dalam rangka mendorong kemandirian
pelaku usaha dalam memberikan jaminan keamanan dan daya saing produk Obat
dan Makanan
Sejalan dengan Revolusi Mental, diharapkan BPOM dapat meningkatkan
kemandirian ekonomi utamanya daya saing Obat dan Makanan. Pendekatan dalam
kebijakan ini meliputi antara lain penerapan Risk Management Program secara
mandiri dan terus menerus oleh produsen Obat dan Makanan. Ketersediaan tenaga
pengawas merupakan tanggung jawab produsen. Namun BPOM perlu memfasilitasi
pemenuhan kualitas sumber daya pengawas tersebut melalui pembinaan dan
bimbingan, pelatihan, maupun media informasi, serta verifikasi kemandirian
tersebut.
3) Peningkatan Kerjasama, Komunikasi, Informasi dan Edukasi publik melalui
kemitraan pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan
Obat dan Makanan
Menyadari keterbatasan BPOM, baik dari sisi kelembagaan maupun sumber daya
yang tersedia (SDM maupun pembiayaan), maka kerjasama kemitraan dan
partisipasi masyarakat adalah elemen kunci yang harus dipastikan oleh BPOM
dalam pelaksanaan tugas dan fungsi pengawasan Obat dan Makanan. Di sisi lain,

62
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
tanggung jawab pengawasan Obat dan Makanan (walau mandat konstitusionalnya
ada di BPOM) ini mestinya tidak hanya melekat dan menjadi monopoli BPOM, tapi
pemerintah daerah dan masyarakat juga dituntut untuk ikut andil dan terlibat aktif
dalam pelaksanaan pengawasan tersebut. Dalam hal ini BPOM mestinya jeli dan
proaktif dalam mendorong kerjasama dan kemitraan dengan melibatkan berbagai
kelompok kepentingan dalam dan luar negeri, baik dari unsur pemerintah, pelaku
usaha (khususnya Obat dan Makanan), asosiasi pihak universitas/akademisi, media
dan organisasi masyarakat sipil terkait lainnya, dalam upaya memastikan bahwa
Obat dan Makanan yang beredar di masyarakat itu aman untuk dikonsumsi.
Bentuk draft dan model kerjasama/kemitraan itu juga harus dirancang dengan
fleksibel, tapi tetap mengikat dan dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat dalam
kerjasama, serta berkelanjutan dengan terpantau.
Kebijakan ini juga dapat difokuskan pada memaksimalkan Komunikasi, Informasi
dan Edukasi publik sebagai upaya strategis dalam pengawasan Obat dan Makanan.
Dalam hal ini, yang harus dipastikan bahwa materi KIE itu harus distandarkan,
memiliki muatan informatif dan jelas menguraikan pesan yang dikampanyekan,
serta mampu menjangkau khalayak yang ingin disapa oleh BPOM tersebut
(misalnya memanfaatkan berbagai media sosial).
4) Penguatan kapasitas kelembagaan pengawasan OM melalui penataan struktur yang
kaya dengan fungsi, proses bisnis yang tertata dan efektif, budaya kerja yang sesuai
dengan nilai organisasi serta pengelolaan sumber daya yang efektif dan efisien.
Kebijakan ini mengarahkan pada pengelolaan sumber daya internal secara efektif
dan efisien, dengan fokus pada 8 (delapan) area reformasi birokrasi untuk
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan
terpercaya. Pengelolaan persediaan, penataan aset, penguatan kapasitas
laboratorium, penguatan sistem informasi teknologi untuk mendukung pelayanan
publik, pengembangan SIPT sebagai aplikasi knowledge base dalam mendukung risk
based control, penguatan sistem perencanaan dan penganggaran, serta
implementasi keuangan berbasis akrual perlu menjadi penekanan/agenda prioritas.

63
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Dalam upaya meraih WTP, selain memelihara komitmen dan integritas pimpinan,
para pengelola keuangan, dan pelaksana kegiatan, perlu juga dilakukan strategi dan
upaya penguatan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), penguatan
perencanaan dan penganggaran, peningkatan kualitas laporan keuangan (LK),
peningkatan kualitas proses pengadaan Barang dan Jasa, pembenahan
penatausahaan BMN (aset tetap dan persediaan), penguatan monitoring dan
evaluasi, peningkatan kualitas pengawasan dan reviu LK, serta percepatan
penyelesaian tindak lanjut Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP).
Terkait perencanaan dan penganggaran, sesuai tuntutan suprasistem, BPOM perlu
mengubah data elektronisasi menjadi data bentuk peta (spasial) dapat diakses
secara online dan real time yaitu berupa data-data kondisi (misalnya peta
penyebaran sarana produksi & sarana distribusi Obat dan Makanan), peta capaian
hasil kinerja pengawasan (misalnya peta hasil pengujian laboratorium, penyelesaian
kasus, dan sebagainya). Selain itu data-data perlu diolah dan dilakukan analisis
kesenjangan kinerja pengawasan antar wilayah sehingga dapat menjadi input
dalam pelaksanaan program pengawasan Obat dan Makanan berbasis risiko.
Selain memberi arah penguatan ke dalam institusi BPOM, kebijakan ini perlu
disertai dengan strategi dan upaya peningkatan kerjasama dan komunikasi ke pihak
eksternal yang strategis.

Sedangkan strategi yang akan dilaksanakan mencakup eksternal dan internal:


Eksternal:

1) Penguatan kemitraan dengan lintas sektor terkait pengawasan Obat dan


Makanan;
2) Peningkatan pembinaan dan bimbingan melalui komunikasi, informasi dan
Edukasi kepada masyarakat dan pelaku usaha di bidang Obat dan Makanan;

64
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Internal:

1) Penguatan Regulatory System pengawasan Obat dan Makanan berbasis risiko;


2) Membangun Manajemen Kinerja dari Kinerja Lembaga hingga kinerja
individu/pegawai;
3) Mengelola anggaran secara lebih efisien, efektif dan akuntabel serta diarahkan
untuk mendorong peningkatan kinerja lembaga dan pegawai;
4) Meningkatkan kapasitas SDM pengawas di BPOM di tingkat pusat dan daerah
secara lebih proporsional dan akuntabel;
5) Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendukung maupun utama dalam
mendukung tugas Pengawasan Obat dan Makanan.

Strategi eksternal lebih ditekankan pada aspek kerjasama dan kemitraan dengan
lintas sektor dan lembaga (pemerintah, dunia usaha dan kelompok masyarak sipil).
Mengingat begitu kompleksnya tantangan dari lingkungan strategis baik internal
maupun eskternal seperti yang diuraikan pada Bab I tersebut di atas, maka dengan
sendirinya menuntut penyesuaian-penyesuaian dalam mekanisme internal organisasi
dan kelembagaan BPOM sendiri. Sedangkan strategi internal lebih difokuskan pada
pembenahan internal organisasi dan kelembagaan serta sumber daya pegawai BPOM
sendiri. Poin penting yang harus diperhatikan di sini adalah soal SDM pegawai, karena
kunci keberhasilan sebuah lembaga sangat ditentukan dari kualitas SDM-nya.
Agar pembangunan pengawasan Obat dan Makanan menjadi tajam dan terarah,
arah kebijakan dan strategi tersebut harus dijabarkan pada perencanaan tahunan
dengan penekanan sesuai isu nasional terkini (penjabaran tahunan Nawacita) dan atau
mengacu alternatif penekanan sebagai berikut :
– Tahun 2016 :
Mendorong penguatan kelembagaan dan Pengembangan program strategis dalam
pengawasan Obat dan Makanan serta memaksimalkan fungsi pelayanan publik.
(Dalam hal ini Penguatan Laboratorium, Sistem IT dan Dukungan Sarana Prasarana
menjadi pra syarat yang harus dipenuhi)

65
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
– Tahun 2017 :
Penguatan regulasi di bidang pengawasan Obat dan Makanan termasuk Pelaksanaan
Regulatory Impact Analysis, Penguatan sistem data pre dan post terintegrasi antara
pusat dan daerah (sistem pemeriksaan penyidikan dan pengujian), dan Penguatan
Kapasitas dan Kapabilitas Laboratorium Pengawasan Obat dan Makanan untuk
memaksimalkan Fungsi Penegakan Hukum.
– Tahun 2018 :
Penguatan dalam penegakan hukum di bidang pengawasan Obat dan Makanan
didukung dengan analisis dampak efektifitas pengawasan secara ekonomi dan sosial
untuk mendukung pencapaian pembangunan nasional. (Dalam hal ini economic
burden akibat pengawasan Obat dan Makanan yang tidak efektif akan menjadi beban
pemerintah secara nasional).
– Tahun 2019 :
Percepatan pengawasan Obat dan Makanan serta evaluasi program (Renstra 2015-
2019) dalam rangka peningkatan kinerja pengawasan Obat dan Makanan periode
berikutnya.

Untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi sebagai lembaga pengawasan Obat
dan Makanan tersebut, BPOM menetapkan program-programnya sesuai RPJMN periode
2015-2019, yaitu program utama (teknis) dan program pendukung (generik), sebagai
berikut:
a. Program Teknis
Program Pengawasan Obat dan Makanan
Program ini dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas utama Badan
Pengawasan Obat dan Makanan dalam menghasilkan standardisasi dalam
pemenuhan mutu, keamanan dan manfaat Obat dan Makanan melalui serangkaian
kegiatan penetapan standar pengawasan, penilaian Obat dan Makanan sesuai
standar, pengawasan terhadap sarana produksi, pengawasan terhadap sarana

66
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
distribusi, sampling dan pengujian Obat dan Makanan beredar, penegakan hukum,
serta pembinaan dan bimbingan kepada pemangku kepentingan.
b. Program Generik
1) Program generik 1. Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas
Teknis lainnya.
2) Program generik 2. Program Peningkatan Sarana dan Prasarana BPOM.

Selanjutnya, program-program tersebut dijabarkan dalam kegiatan-kegiatan


prioritas BPOM, sebagai berikut:

a. Kegiatan-kegiatan utama untuk melaksanakan Pengawasan Obat dan Makanan :


1) Penyusunan standar Obat dan Makanan berupa Norma, Standar, Prosedur dan
Kriteria (NSPK) pengawasan Obat dan Makanan (pre dan post-market);
2) Peningkatan efektivitas evaluasi pre-market melalui penilaian Obat;
3) Peningkatan cakupan pengawasan mutu Obat dan Makanan beredar melalui
penetapan prioritas sampling berdasarkan risiko termasuk iklan dan penandaan.
4) Peningkatan pengawasan sarana produksi dan distribusi Obat dan Makanan,
sarana pelayanan kesehatan, serta sarana produksi dan sarana distribusi pangan
dan bahan berbahaya;
5) Peningkatan pengawasan narkotika, psikotropika, prekursor, dan zat adiktif;
6) Penguatan kemampuan pengujian meliputi sistem dan sumber daya
laboratorium Obat dan Makanan;
7) Penyidikan terhadap pelanggaran Obat dan Makanan;
8) Peningkatan penelitian terkait pengawasan Obat dan Makanan antara lain
regulatory science, life science;
9) Peningkatan Pembinaan dan bimbingan melalui kemitraan dengan pemangku
kepentingan, serta meningkatkan partisipasi masyarakat.

b. Kegiatan untuk melaksanakan ketiga program generik (pendukung):


1) Koordinasi dan Pengembangan Organisasi, Penyusunan Program dan Anggaran,
Keuangan;

67
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
2) Pengawasan dan Peningkatan Akuntabilitas Aparatur Badan Pengawas Obat dan
Makanan;
3) Pengadaan, Pemeliharaan dan Pembinaan Pengelolaan, serta Peningkatan Sarana
dan Prasarana Penunjang Aparatur BPOM;
4) Peningkatan Kompetensi Aparatur BPOM;
5) Peningkatan kualitas produk hukum, serta Layanan Pengaduan Konsumen dan
Hubungan Masyarakat.

3.2 ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI DEPUTI III


Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab I, Renstra Deputi Bidang Pengawasan
Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya (Deputi III) disusun berdasarkan Renstra
Kepala BPOM tahun 2015-2019.
Berdasarkan pelaksanaan, pencapaian, dan sebagai keberlanjutan Renstra
periode sebelumnya, Renstra Deputi III ditujukan untuk meningkatkan jaminan produk
pangan aman, bermanfaat, dan bermutu dalam rangka mendukung terwujudnya visi
organisasi BPOM yaitu meningkatkan kesehatan masyarakat dan daya saing bangsa.
Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab di bidang pengawasan
keamanan pangan dan bahan berbahaya, pada periode tahun 2015-2019, Deputi III
mendukung agenda Nawacita ke 5, 6 dan 7 sebagaimana dicantumkan pada Tabel 6
dibawah ini.

AGENDA PRIORITAS PEMBANGUNAN (NAWA CITA) TERKAIT DEPUTI BIDANG


PENGAWASAN KEAMANAN PANGAN DAN BAHAN BERBAHAYA
5. Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia (Pembangunan kesehatan
khususnya pelaksanaan program Indonesia sehat)

6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional


(Peningkatan kapasitas inovasi dan teknologi)

7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis


ekonomi domestik (peningkatan kedaulatan pangan)
Tabel 8. Agenda Prioritas Pembangunan (NAWACITA) yang terkait dengan Deputi III

68
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Nawa Cita 5 : Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia
Program prioritas:
1. Revitalisasi Pengawasan Pangan Fortifikasi
2. Kontribusi Badan POM dalam Perlindungan Kesehatan Anak Sekolah
(PJAS)

Nawa Cita 6 : Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar


internasional
Program prioritas:
1. Perkuatan Program pasar aman bahan berbahaya (mendukung 5000
pasar tradisional)
2. Intensifikasi Pengawasan Produk Impor Ilegal

Nawa Cita 7 : Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-


sektor strategis ekonomi domestik
Program prioritas:
1. Perkuatan UMKM Pangan
2. Perkuatan Gerakan Keamanan Pangan Desa (GKPD)

Uraian Program Prioritas dan Kegiatan di Deputi III yang terkait dengan masing-masing
Nawacita diuraikan pada Tabel 9.

Nawa Cita Program Prioritas Kegiatan Prioritas


5 Meningkatkan Revitalisasi Pengawasan Pengawasan Pangan Fortifikasi
kualitas hidup Pangan Fortifikasi
manusia Kontribusi Badan POM Pengawalan 18.000 SD
Indonesia dalam Perlindungan Intervensi Keamanan PJAS di
Kesehatan Anak Sekolah SMP/SMU
6 Meningkatkan Perkuatan Program Monitoring dan Evaluasi

69
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Nawa Cita Program Prioritas Kegiatan Prioritas
produktivitas pasar aman bahan Implementasi Pasar Aman dari
rakyat dan daya berbahaya (mendukung Bahan Berbahaya
saing di pasar 5000 pasar tradisional)
internasional Intensifikasi Pengawasan Perkuatan pengawasan pangan
Produk Impor Ilegal ilegal
7 Mewujudkan Penguatan UMKM Forum koordinasi dalam
kemandirian Pangan pembinaan dan pemberdayaan
ekonomi dengan UMKM diantara K/L
menggerakan Pendampingan UMKM untuk
sektor-sektor pemenuhan persyaratan mutu dan
strategis keamanan pangan (CPPOB
ekonomi pelabelan pangan dan penggunaan
domestik BTP)
Perkuatan Gerakan Bulan Keamanan Pangan
Keamanan Pangan Desa Perkuatan kapasitas desa
Pemberdayaan komunitas desa

Tabel 9. Program Prioritas dan Kegiatan di Deputi III yang mendukung Nawacita

Dalam Sasaran Pokok RPJMN 2015-2019, Badan POM dalam hal ini Deputi III
termasuk dalam 2 (dua) bidang yaitu :
1) Bidang Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama – Sub bidang Kesehatan dan Gizi
Masyarakat,
Fokus pada pembangunan sub bidang kesehatan dan Sumber Daya Manusia,
tantangan ke depan adalah meningkatkan upaya promotif dan preventif, yang
mencakup:
– peningkatan kesehatan keluarga melalui pangan yang aman,
– perbaikan gizi (spesifik dan sensitif),
– peningkatan pengawasan pangan
– peningkatan akses pangan yang aman, serta
– peningkatan dan pemeliharaan kompetensi SDM di bidang keamanan pangan.

70
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Pada matriks Bidang Pembangunan Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama,
terdapat 3 (tiga) program lintas di bawah koordinasi Menteri Koordinator
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) yang melibatkan Deputi III, yaitu:
a. Program Lintas Percepatan Perbaikan Gizi Masyarakat,
Program ini terdiri atas 12 Program di 11 K/L termasuk Program Pengawasan
Obat dan Makanan yang dilaksanakan melalui 3 (tiga) kegiatan dan diukur
dengan ukuran 1 (satu) indikator kinerja program (IKP) dan 5 (lima) indikator
kinerja kegiatan (IKK), sebagaimana diuraikan dalam Tabel 10.

Kode Program/Kegiatan Indikator


1.2 Program Pengawasan Pangan Persentase pangan yang memenuhi syarat
Persentase sarana distribusi yang
1.2.1 Pengawasan Produk dan
menyalurkan bahan berbahaya sesuai
Bahan Berbahaya
ketentuan
Persentase keputusan penilaian pangan
1.2.2 Penilaian Pangan Olahan
olahan yang diselesaikan
1.2.3 Surveilan dan Penyuluhan Jumlah hasil kajian profil risiko keamanan
Keamanan Pangan pangan
Jumlah Kabupaten/Kota yang sudah
menerapkan Peraturan Kepala BPOM
tentang IRTP
Jumlah desa pangan aman yang menerima
Intervensi Pengawasan Keamanan
pangan

Tabel 10. Program / Kegiatan Keamanan Pangan terkait Lintas Perbaikan


Percepatan Perbaikan Gizi Masyarakat dan Indikatornya

b. Program Lintas Peningkatan Promosi Kesehatan dan Pengendalian Penyakit


Program ini terdiri atas program Dukungan Manajemen Kemenkes, P2PL,
Kepemudaan dan Olahraga, serta Program Pengawasan Obat dan Makanan yang
dilaksanakan melalui 3 (tiga) kegiatan dengan ukuran 1 (satu) IKP dan 7 (tujuh)
IKK, sebagaimana diuraikan dalam Tabel 11.

71
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Kode Program/Kegiatan Indikator
1.2 Program Pengawasan Pangan Persentase pangan yang memenuhi syarat
3.4.2 Inspeksi dan Sertifikasi Jumlah inspeksi sarana produksi dan
Pangan distribusi pangan yang dilakukan dalam
rangka pendalaman mutu dan sertifikasi
Persentase penyelesaian tindak lanjut
pengawasan mutu dan keamanan produk
pangan
Persentase industri pangan olahan yang
mandiri dalam rangka menjamin
keamanan pangan
3.4.7 Penyusunan Standar Pangan Jumlah Standar Pangan yang disusun
1.2.1 Pengawasan Produk dan Persentase sarana distribusi yang
Bahan Berbahaya menyalurkan bahan berbahaya sesuai
ketentuan
Persentase kemasan pangan yang
memenuhi syarat keamanan
Jumlah pasar yang diintervensi menjadi
pasar aman dari bahan berbahaya

Tabel 11. Program / Kegiatan Keamanan Pangan terkait Lintas Peningkatan


Promosi Kesehatan dan Pengendalian Penyakit dan Indikatornya

2) Bidang Ekonomi – Sub bidang UMKM dan Koperasi


Fokus pada pembangunan sub bidang UMKM dan Koperasi, tantangan ke depan
adalah membantu industri pangan dalam negeri, khususnya UMKM pangan yang
tidak hanya menghadapi permasalahan dari dalam, tetapi juga harus bersiap
menghadapai masyarakat ekonomi ASEAN 2015. Produk dalam negeri harus bisa
bersaing dengan produk luar dengan mutu dan harga yang lebih baik. UMKM
pangan menjadi tulang punggung pada sektor pangan di Indonesia dan memainkan
peran penting dalam mendorong pemulihan ekonomi Indonesia. Dengan demikian
sasaran pokok Deputi III di sub bidang ini menacakup bagaimana meningkatkan
kemampuan UMKM pangan memenuhi persyaratan keamanan pangan, karena
keamanan pangan tidak hanya meningkatkan kesehatan masyarakat, tetapi juga
meningkatkan fasilitasi perdagangan, yang pada akhirnya akan meningkatkan
ekonomi Indonesia secara lebih luas.

72
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Sasaran pokok ini dilaksanakan melalui 4 kegiatan dengan ukuran 1 (satu) IKP dan
5 IKK, sebagaimana diuraikan dalam Tabel 12.

Kode Program/Kegiatan Indikator


Program Pengawasan Obat
1.2 Persentase pangan yang memenuhi syarat
dan Makanan
Persentase industri pangan olahan yang
3.4.2 Inspeksi dan Sertifikasi
mandiri dalam rangka menjamin
Pangan
keamanan pangan
1.2.1 Pengawasan Produk dan Jumlah pasar yang diintervensi menjadi
Bahan Berbahaya pasar aman dari bahan berbahaya
1.2.2 Persentase keputusan penilaian pangan
Penilaian Pangan Olahan
olahan yang diselesaikan
1.2.3 Surveilan dan Penyuluhan Jumlah Kabupaten/kota yang sudah
Keamanan Pangan menerapkan Peraturan Kepala BPOM
tentang IRTP
Jumlah desa pangan aman yang menerima
Intervensi Pengawasan Keamanan
pangan

Tabel 12. Program / Kegiatan Keamanan Pangan terkait Peningkatan Kemampuan


UMKM Pangan dan Indikatornya

Untuk mewujudkan pencapaian sasaran pembangunan bidang Kesehatan dan


Gizi Masyarakat tahun 2015-2019, dimana terdapat satu arah kebijakan pembangunan
di bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat yang terkait dengan Badan POM, yaitu
“Meningkatkan Pengawasan Obat dan Makanan”.

Untuk itu, Deputi III menetapkan 6 (enam) strategi sebagai berikut :


1. Perkuatan sistem pengawasan pangan berbasis risiko;
2. Peningkatan sumber daya manusia pengawas pangan;
3. Perkuatan kemitraan pengawasan pangan dengan pemangku kepentingan;
4. Peningkatan kemandirian pengawasan pangan berbasis risiko oleh masyarakat dan
pelaku usaha;
5. Peningkatan kapasitas dan inovasi pelaku usaha dalam rangka mendorong
peningkatan daya saing produk pangan; dan

73
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
6. Perkuatan kapasitas dan kapabilitas pengujian pangan.

Berdasarkan arah kebijakan Renstra BPOM tahun 2015-2019, maka arah


kebijakan untuk mencapai tujuan dan sasaran strategis Deputi III tahun 2015-2019
adalah:

1) Perkuatan sistem pengawasan pangan berbasis risiko untuk melindungi


masyarakat
Pendekatan analisis risiko dilakukan dengan memprioritaskan pengawasan
pangan baik pre market maupun post market terhadap hal-hal yang memiliki
dampak risiko lebih besar dengan tujuan pengawasan yang dilakukan lebih
optimal seperti meningkatkan perlindungan kepada kelompok rentan meliputi
bayi, balita, anak usia sekolah, orang sakit, ibu hamil, orang dengan
immunocompromised, dan manula. Pengawasan ini dilakukan antara lain melalui
pengawasan pangan berisiko tinggi (seperti susu formula dan produk kaleng),
pengawasan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS), pengawasan pangan fortifikasi
dan Gerakan Keamanan Pangan Desa (GKPD).

2) Peningkatan pembinaan dan bimbingan dalam rangka mendorong


kemandirian pelaku usaha dalam memberikan jaminan keamanan dan daya
saing produk pangan
Sejalan dengan Revolusi Mental, diharapkan Deputi III dapat meningkatkan
kemandirian ekonomi utamanya daya saing pangan. Pendekatan dalam kebijakan
ini meliputi antara lain penerapan Risk Management Program secara mandiri dan
terus menerus oleh produsen pangan. Ketersediaan tenaga pengawas internal atau
auditor internal merupakan tanggung jawab produsen. Namun Deputi III perlu
memfasilitasi pemenuhan kualitas sumber daya pengawas tersebut melalui
pembinaan dan bimbingan, pelatihan, maupun media informasi, serta verifikasi
kemandirian tersebut.

74
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
3) Peningkatan koordinasi, kerjasama, komunikasi, informasi dan edukasi
publik melalui kemitraan pemangku kepentingan dan partisipasi
masyarakat dalam pengawasan pangan
Dengan keterbatasannya dari sisi kelembagaan dan sumber daya (SDM dan biaya),
Deputi III memerlukan kerjasama kemitraan dan partisipasi masyarakat dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya dalam pengawasan pangan. Dalam hal ini
Deputi III harus proaktif dalam meningkatkan kerjasama dan kemitraan dengan
melibatkan berbagai kelompok kepentingan dalam dan luar negeri, baik dari unsur
pemerintah, pelaku usaha, asosiasi pihak universitas/akademisi, media dan
organisasi masyarakat sipil terkait lainnya, dalam upaya memastikan bahwa
pangan yang beredar di masyarakat itu aman untuk dikonsumsi. Bentuk
kerjasama/kemitraan harus dirancang dengan fleksibel, namun tetap mengikat
dan dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat dalam kerjasama, serta terpantau dan
berkelanjutan.
Komunikasi, Informasi dan Edukasi publik merupakan salah satu upaya yang
strategis dalam pengawasan pangan. Dalam hal ini, yang harus dipastikan bahwa
materi KIE itu harus distandarkan, memiliki muatan informatif dan jelas
menguraikan pesan yang dikampanyekan, serta mampu menjangkau khalayak
yang ingin dituju. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan berbagai media
sosial yang ada.

4) Perkuatan kapasitas kelembagaan pengawas pangan melalui penataan


struktur yang kaya dengan fungsi, proses bisnis yang tertata dan efektif,
budaya kerja yang sesuai dengan nilai organisasi serta pengelolaan sumber
daya yang efektif dan efisien
Kebijakan ini mengarahkan pada pengelolaan sumber daya internal secara efektif
dan efisien, dengan fokus pada 8 (delapan) area reformasi birokrasi untuk
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan
terpercaya. Pengelolaan persediaan, penataan aset, perkuatan kapasitas

75
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
laboratorium, penguatan sistem informasi teknologi untuk mendukung pelayanan
publik, pengembangan SIPT sebagai aplikasi knowledge base dalam mendukung
risk based control, penguatan sistem perencanaan dan penganggaran, serta
implementasi keuangan berbasis akrual perlu menjadi penekanan/agenda
prioritas.
Dalam upaya meraih WTP, selain memelihara komitmen dan integritas pimpinan,
para pengelola keuangan, dan pelaksana kegiatan, perlu juga dilakukan strategi
dan upaya penguatan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), penguatan
perencanaan dan penganggaran, peningkatan kualitas laporan keuangan (LK),
peningkatan kualitas proses pengadaan Barang dan Jasa, pembenahan
penatausahaan BMN (aset tetap dan persediaan), penguatan monitoring dan
evaluasi, peningkatan kualitas pengawasan dan reviu LK, serta percepatan
penyelesaian tindak lanjut Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP).
Terkait perencanaan dan penganggaran, sesuai tuntutan suprasistem, Deputi III
perlu mengubah data elektronisasi menjadi data bentuk peta (spasial) dapat
diakses secara online dan real time yaitu berupa data-data kondisi (misalnya peta
penyebaran sarana produksi & sarana distribusi pangan), peta capaian hasil
kinerja pengawasan (misalnya peta hasil pengujian laboratorium, penyelesaian
kasus, dan sebagainya). Selain itu data-data perlu diolah dan dilakukan analisis
kesenjangan kinerja pengawasan antar wilayah sehingga dapat menjadi input
dalam pelaksanaan program pengawasan pangan berbasis risiko.
Selain memberi arah penguatan ke dalam institusi Deputi III, kebijakan ini perlu
disertai dengan strategi dan upaya peningkatan kerjasama dan komunikasi ke
pihak eksternal yang strategis.

76
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Sedangkan strategi yang akan dilaksanakan mencakup eksternal dan internal:
Eksternal:
1. Perkuatan kemitraan dengan lintas sektor terkait pengawasan pangan;
2. Peningkatan pembinaan dan bimbingan melalui Komunikasi, Informasi dan Edukasi
(KIE) kepada masyarakat dan pelaku usaha di bidang pangan;

Internal:
1. Perkuatan regulatory system pengawasan pangan berbasis risiko;
2. Membangun manajemen kinerja dari kinerja lembaga hingga kinerja
individu/pegawai;
3. Mengelola anggaran secara lebih efisien, efektif dan akuntabel serta diarahkan untuk
mendorong peningkatan kinerja lembaga dan pegawai;
4. Meningkatkan kapasitas SDM di Deputi III secara lebih proporsional dan akuntabel;
5. Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendukung maupun utama dalam
mendukung tugas pengawasan pangan, termasuk pemanfaatan teknologi informasi.

Strategi eksternal lebih ditekankan pada aspek kerjasama dan kemitraan dengan
lintas sektor dan lembaga (pemerintah, dunia usaha dan kelompok masyarak sipil).
Adapun kerjasama dan kemitraan yang telah dibangun Kedeputian Bidang Pengawasan
Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya dalam rangka penguatan kemitraan dengan
lintas sektor terkait pengawasan pangan, yaitu :
1) Jejaring Keamanan Pangan Nasional (JKPN)
Indonesia telah memiliki Sistem Keamanan Pangan Terpadu yang diwujudkan
melalui Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor 23
tahun 2011 tentang Tim Koordinasi Jejaring Keamanan Pangan Nasional (JKPN).
Subsite JKPN dapat diakses pada http://skpt.pom.go.id.
JKPN membangun kemitraan dan koordinasi di bidang keamanan pangan baik di
pusat maupun di daerah serta mengidentifikasi cara-cara koordinasi yang dapat
membuat instansi di sepanjang rantai suplai pangan dapat melaksanakannya
secara individual, serta bersama-sama, untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.

77
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
JKPN akan memastikan keterlibatan berkelanjutan mitra kerja dari semua
stakeholder di sepanjang rantai suplai pangan termasuk asosiasi industri pangan,
akademi, dan masyarakat untuk memahami dan bertindak atas kemajuan dan
perkembangan sistem pengawasan keamanan pangan nasional dengan pendekatan
pencegahan. Tiga jejaring akan diperkuat pada tingkat pusat yaitu Jaringan
Intelejen Pangan (JIP), Jaringan Pengawasan Pangan (JPP) dan Jaringan Promosi
Keamanan Pangan (JPKN). Pada tingkat daerah, jejaring yang akan diperkuat ialah
JPP dan JPKN, karena JIP akan difokuskan pada tingkat Pusat.

2) Indonesia Rapid Alert System for Food and Feed (INRASFF)


Saat ini sudah dibentuk Indonesia Rapid Alert System for Food and Feed (INRASFF)
dan Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan (SPKP) bertindak
selaku National Contact Point (NCP). Untuk mendukung kebijakan joint FAO/WHO,
Direktorat SPKP juga bertindak selaku Emergency Contat Point (ECP) untuk
International Food Safety Authotities Network (INFOSAN). INRASFF working group
terdiri dari otoritas kompeten keamanan pangan di tingkat pusat (CCP) dan juga di
tingkat daerah (LCCP). CCP INRASFF terdiri dari perwakilan di Kementerian
Pertanian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan dan BPOM. INRASFF
dirancangan sebagai subsiteearly warning keamanan pangan untuk Indonesia.
Subsite INRASFF merupakan sumber utama informasi untuk mempersiapkan dan
menanggapi notifikasi pangan baik yang bersifat upstream (sumber informasi dari
dalam negeri) maupun downstream (sumber informasi dari luar negeri). Situs ini
terus menindaklanjuti notifikasi dan memberikan informasi publik yang
dibutuhkan untuk melindungi kesehatan masyarakat.

3) Indonesia Risk Assessment Center (INARAC)


INARAC merupakan forum utuk memfasilitasi pengumpulan data, pool of expert di
bidang kajian risiko di tingkat nasional, peningkatan kapasitas serta berkomunikasi
dengan kementerian atau lembaga. INARAC merupakan bentuk kemitraan dengan

78
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
berbagai pihak dalam rangka melakukan kajian risiko keamanan pangan secara
terintegrasi, dimana hasil kajiannya dikomunikasikan dengan baik kepada para
pengambil kebijakan dan pihak yang berkepentingan. INARAC untuk menjawab
salah satu persyaratan World Trade Organization (WTO) dalam Sanitary Phyto
Sanitary (SPS) Agreement, yaitu sebagai anggota WTO jika komplain atau protes
harus berbasis ilmiah.

Strategi eksternal lainnya yaitu peningkatan pembinaan dan bimbingan melalui


Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) kepada masyarakat dan pelaku usaha di
bidang pangan. Terkait hal ini, Deputi III mempromosikan respon awareness publik
melalui komunikasi risiko dan menyebarluaskan hasil kajian risiko keamanan pangan
dengan disain promosi keamanan pangan yang komprehensif. Kebutuhan untuk
komunikasi risiko yang efektif semakin diakui oleh pemerintah, industri pangan dan
konsumen. Oleh karena itu, penting untuk memanfaatkan Jejaring Promosi Keamanan
Pangan (JPKP) untuk pertukaran informasi dan opini mengenai risiko dan faktor risiko
terkait diantara asesor risiko, manajer risiko, komunikator risiko dan konsumen,
termasuk pihak lain yang berkepentingan dalam rangka komunikasi risiko yang efektif,
sekaligus sebagai sarana KIE.
Sedangkan strategi internal lebih difokuskan pada pembenahan internal organisasi
dan kelembagaan serta sumber daya pegawai di Deputi III sendiri. Poin penting yang
harus diperhatikan di sini adalah peningkatan kapasitas SDM pengawas di Deputi III,
secara lebih proporsional dan akuntabel, karena kunci keberhasilan sebuah lembaga
sangat ditentukan dari kualitas SDM-nya.
SDM yang kompeten dalam bidang keamanan pangan akan mampu melaksanakan
tugasnya dengan baik. Untuk meningkatkan, memastikan dan memelihara kompetensi
SDM, telah dikembangkan sistem kompetensi bidang keamanan pangan, yaitu
penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Bidang Keamanan
Pangan yang perlu direview setiap 5 tahun seiring dengan perkembangan ilmu dan
teknologi. Badan POM RI telah memiliki lisensi sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP)
Keamanan Pangan.

79
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
LSP Keamanan Pangan Badan POM RI saat ini telah siap melakukan asesmen
kompetensi untuk tenaga Penyuluh Keamanan Pangan (PKP) dan District Food Inspector
(DFI), sedangkan untuk National Food Inspector (NFI) sedang dalam proses persiapan.
LSP Keamanan Pangan ini didukung dengan sistem pembelajaran keamanan pangan
jarak jauh berbasis kompetensi (E-Learning). Ke depan akan dikembangkan kompetensi
bidang keamanan pangan lainnya, baik yang ada di lingkungan Badan POM RI maupun di
industri pangan.
Agar pembangunan pengawasan pangan menjadi tajam dan terarah, arah
kebijakan dan strategi BPOM sudah dijabarkan pada perencanaan tahunan dengan
penekanan sesuai isu nasional terkini (penjabaran tahunan Nawacita). Mengacu hal
tersebut, Deputi III menetapkan penekanan tahunan sebagai berikut :
– Tahun 2016 :
Mendorong penguatan kelembagaan dan Pengembangan program strategis dalam
pengawasan pangan serta memaksimalkan fungsi pelayanan publik.
– Tahun 2017 :
Penguatan regulasi di bidang pengawasan pangan termasuk pelaksanaan regulatory
impact analysis, penguatan sistem data pre dan post terintegrasi antara pusat dan
daerah (sistem pemeriksaan penyidikan dan pengujian).
– Tahun 2018 :
Penguatan dalam penegakan hukum di bidang pengawasan pangan didukung dengan
analisis dampak efektifitas pengawasan secara ekonomi dan sosial untuk
mendukung pencapaian pembangunan nasional.
– Tahun 2019 :
Percepatan pengawasan pangan serta evaluasi program (Renstra 2015-2019) dalam
rangka peningkatan kinerja pengawasan pangan periode berikutnya.

Untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi sebagai lembaga pengawasan pangan,
Deputi III menetapkan program-programnya sesuai RPJMN periode 2015-2019, yaitu
program utama (teknis) dan program pendukung (generik), sebagai berikut:

80
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Program Teknis
Program Pengawasan Pangan
Program ini dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas utama Deputi III untuk
menghasilkan standardisasi dalam pemenuhan mutu dan keamanan pangan
melalui serangkaian kegiatan penetapan standar produk pangan, penilaian
keamanan pangan olahan sesuai standar, pengawasan terhadap sarana produksi,
pengawasan terhadap sarana distribusi, sampling dan pengujian pangan yang
beredar, penegakan hukum, serta pembinaan dan bimbingan kepada pemangku
kepentingan, termasuk industri pangan.

Program Generik
1. Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis lainnya
2. Program Peningkatan Sarana dan Prasarana di Kedeputian Bidang
Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya

Selanjutnya, program-program tersebut dijabarkan dalam kegiatan-kegiatan


prioritas Deputi III, sebagai berikut:

a. Kegiatan-kegiatan utama untuk melaksanakan pengawasan pangan :


1) Penyusunan standar pangan berupa Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria
(NSPK) pengawasan pangan (pre dan post-market);
2) Peningkatan efektivitas evaluasi pre-market melalui penilaian pangan olahan
berbasis risiko;
3) Peningkatan cakupan pengawasan mutu pangan beredar melalui penetapan
prioritas sampling berdasarkan risiko termasuk iklan dan penandaan.

81
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
4) Peningkatan pengawasan sarana produksi dan distribusi pangan, sarana
pelayanan kesehatan, serta sarana produksi dan sarana distribusi pangan dan
bahan berbahaya;
5) Peningkatan pembinaan dan bimbingan melalui kemitraan dengan pemangku
kepentingan, serta meningkatkan partisipasi masyarakat.

b. Kegiatan untuk melaksanakan program generik (pendukung):


1) Koordinasi dan Pengembangan Organisasi, Penyusunan Program dan Anggaran,
Keuangan;
2) Pengawasan dan Peningkatan Akuntabilitas Aparatur Kedeputian Bidang
Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya;
3) Pengadaan, Pemeliharaan dan Pembinaan Pengelolaan, serta Peningkatan
Sarana dan Prasarana Penunjang Aparatur Kedeputian Bidang Pengawasan
Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya;
4) Peningkatan dan Pemeliharaan Kompetensi Aparatur Kedeputian Bidang
Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya;
5) Peningkatan kualitas produk hukum, serta Layanan Pengaduan Konsumen dan
Hubungan Masyarakat.

Untuk mewujudkan pencapaian sasaran strategis, maka masing-masing sasaran


strategis dijabarkan kepada sasaran program dan kegiatan berdasarkan logic model
perencanaan. Adapun logic model penjabaran terhadap sasaran program dan kegiatan
Deputi III dapat dilihat pada Gambar 13

82
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Gambar 13. Logframe Kedeputian

Uraian tentang Program, Sasaran Program, Kegiatan, Sasaran Kegiatan, dan Indikator
di Deputi III digambarkan pada Tabel 13 berikut ini.

Sasaran Kegiatan Sasaran


Program Indikator PIC
Program Strategis Kegiatan
Program Menguatnya Penyusunan Tersusunnya Jumlah standar Dit.
Pengawasan sistem Standar standar pangan pangan yang Standardisasi
Makanan pengawasan Pangan dalam rangka disusun Produk
pangan menjamin Pangan
pangan yang
beredar aman
dan bermutu
Penilaian Tersedianya Persentase Dit. Penilaian
Pangan Pangan Keputusan Penilaian Keamanan
Olahan memenuhi Pangan yang Pangan
standar diselesaikan
Inspeksi dan Meningkatnya 1. Persentase hasil Dit. Inspeksi
Sertifikasi mutu sarana inspeksi sarana dan
Pangan produksi dan produksi dan Sertifikasi
distribusi pangan distribusi pangan Pangan
yang memerlukan
pendalaman mutu
dan sertifikasi
2. Persentase
penyelesaian
tindaklanjut

83
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Sasaran Kegiatan Sasaran
Program Indikator PIC
Program Strategis Kegiatan
pengawasan mutu
dan keamanan
produk pangan
3. Persentase berkas
permohonan
sertifikasi pangan
yang mendapatkan
keputusan tepat
waktu
Pengawasan Menurunnya 1. Persentase sarana Dit.
Produk dan bahan berbahaya distribusi yang Pengawasan
BB yang menyalurkan BB Produk dan
disalahgunakan sesuai ketentuan Bahan
dan migran 2. Persentase Berbahaya
berbahaya dalam kemasan pangan
pangan yang memenuhi
syarat keamanan
3. Jumlah pasar yang
diintervensi menjadi
pasar aman dari BB

Surveilan Meningkatnya 1. Jumlah hasil kajian Dit. Surveilan


dan intervensi hasil profil risiko dan
Penyuluhan pengawasan keamanan pangan Penyuluhan
Keamanan keamanan 2. Jumlah Kab/Kota Keamanan
Pangan pangan dan yang sudah Pangan
penguatan rapid menerapkan
alert sysitem Peraturan Kepala
keamanan BPOM tentang IRTP
pangan 3. Jumlah desa
pangan aman yang
menerima
intervensi
pengawasan
keamanan pangan
Meningkat Peningkatan Pelaku usaha 1. Persentase Dit. Inspeksi
nya Kemandirian menjamin mutu industri pangan dan
kemandirian Pelaku produk pangan olahan yang mandiri Sertifikasi
pelaku Usaha olahan dalam rangka Pangan
usaha, pangan menjamin
kemitraan olahan keamanan pangan
dengan
pemangku
kepentingan,

84
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Sasaran Kegiatan Sasaran
Program Indikator PIC
Program Strategis Kegiatan
dan
partisipasi
masyarakat

Tabel 13. Program, Sasaran Program, Kegiatan, Sasaran Kegiatan, dan Indikator di
Deputi III

3.3 KERANGKA REGULASI


Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan keamanan pangan dan bahan
berbahaya untuk mencapai sasaran strategis dan target kinerja Deputi III, dibutuhkan
adanya regulasi yang kuat guna mendukung sistem pengawasan. Sebagai unit Eselon I
yang mempunyai tugas teknis, tidak hanya regulasi yang bersifat teknis saja yang harus
dipenuhi, melainkan perlu adanya regulasi yang bersifat administratif dan strategis.
Pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya merupakan tugas pemerintahan
yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh Deputi III, dan dalam praktiknya dibutuhkan
kerjasama dengan banyak sektor terkait, baik pemerintah maupun swasta. Untuk itu,
regulasi perlu dirancang sedemikian rupa agar sesuai dengan tugas pengawasan pangan.
Selama ini, dalam pelaksanaan pengawasan pangan masih dijumpai kendala yang
berkaitan dengan koordinasi dengan pemangku kepentingan. Seperti di daerah, Balai
Besar/Balai POM dalam melaksanakan pengawasan seringkali harus berkoordinasi
dengan dinas kabupaten/kota setempat yang membawahi bidang kesehatan terkait
dengan kewenangan pangan atau dinas provinsi atau kota yang membawahi bidang
perindustrian dan perdagangan terkait dengan bahan berbahaya. Dalam melaksanakan
tugas dan fungsi instansi pemerintah harus memperhatikan peraturan perundang-
undangan seperti Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Pengawasan pangan merupakan suatu aspek penting yang dilihat dari berbagai segi.
Dari segi kesehatan, pangan secara langsung mempunyai pengaruh terhadap derajat
kesehatan masyarakat, bahkan tidak hanya derajat kesehatan, namun menyangkut

85
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
kehidupan seorang manusia. Pangan tidak dapat dipandang sebelah mata dan dianggap
inferior dibanding faktor-faktor lain yang menentukan derajat kesehatan. Selain di
bidang kesehatan, dari sisi ekonomi, pangan merupakan potensi yang sangat besar bagi
pelaku usaha (produsen dan distributor), sektor industri pangan dapat menyediakan
lapangan pekerjaan yang cukup besar berkontribusi pada pengurangan jumlah
pengangguran.
Untuk dapat menyelenggarakan tugas pengawasan pangan secara optimal, maka
Deputi III perlu ditunjang oleh regulasi atau peraturan perundang-undangan yang kuat
dalam lingkup pengawasan pangan.

Untuk itu, diperlukan beberapa regulasi yang penting dan dibutuhkan oleh
Deputi III dalam rangka memperkuat sistem pengawasan antara lain:

1. Peraturan Perundang-undangan terkait pengawasan pangan


Peraturan ini dapat berupa Peraturan baru atau revisi Peraturan Kepala BPOM atau
Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan yang perlu disusun untuk meningkatkan
efektivitas pengawasan pangan. Beberapa contoh peraturan ini adalah Undang-
undang tentang Pengawasan Bahan Berbahaya (percepatan RUU tentang Bahan
Kimia), Rancangan Peraturan yang terkait dengan Pendaftaran Pangan Olahan,
Rancangan Peraturan Kepala BPOM tentang Pengawasan terhadap Standar
Keamanan dan Mutu Minuman Beralkohol, Rancangan Peraturan Kepala BPOM
tentang Pedoman Teknis Pengawasan Periklanan Pangan Olahan, Pemutakhiran
Peraturan Kepala BPOM tentang Pedoman Penerbitan Sertifikat Produksi Pangan
Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) dan Rancangan Peraturan Kepala Badan POM
tentang Keamanan Kemasan Pangan Daur Ulang dan Active Packaging
2. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Keamanan Mutu dan Gizi Pangan
serta RPP Label dan Iklan Pangan sebagai amanat Undang-Undang No 18 Tahun
2012 tentang Pangan, terutama yang berkaitan dengan pengawasan pangan perlu
dibuat peraturan pemerintah agar dapat dilaksanakan dengan baik. Permasalahan
pangan seharusnya tidak hanya berfokus pada ketahanan pangan saja, namun juga

86
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
pada keamanan dan mutu pangan serta pemenuhan gizi dan penyesuaian terhadap
amanat UU pangan itu sendiri, yaitu pangan tidak boleh bertentangan dengan agama
dan keyakinan masyarakat Indonesia.
3. Norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) terkait pelaksanaan UU No. 23 tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintah
konkuren. Diharapkan NSPK ini juga mencakup pola tindak lanjut hasil pengawasan
Pangan antara BPOM dengan daerah terkait, termasuk penetapan sanksi terhadap
sarana produksi dan distribusi pangan serta penetapan kewenangan instansi
pemberi sanksi sebagai acuan daerah dalam menyelenggarakan pengawasan di
daerah. Diharapkan terbentuknya NSPK ini akan dapat menciptakan sinergi antara
Pemerintah Pusat dan Daerah berdasarkan UU No. 23 tahun 2014 pasal 16 dalam
hal: (1) Pelaksanaan pengawasan Obat dan Makanan dan (2) Sebagai pedoman
Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pengawasan Obat dan Makanan. Untuk
mendukung upaya ini perlu penguatan koordinasi dengan melibatkan kementerian
terkait (contoh. Kemendagri) dalam penyusunan regulasi dan pelaksanaan kegiatan
di daerah, monitoring efektivitas implementasi NSPK. Hal ini bertujuan agar
pengawasan pangan dapat berjalan lebih lancar, dan hasil pengawasan dapat
ditindaklanjuti oleh pemangku kepentingan terkait. Contoh NSPK yang sudah
diterbitkan dan perlu direvisi adalah Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan
Kepala Badan POM No. 43 dan No.2 tahun 2013 tentang Pengawasan Bahan
Berbahaya yang Disalahgunakan dalam Pangan.
4. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Bidang Keamanan Pangan.
Diharapkan dengan dikembangkannya SKKNI Bidang Keamanan Pangan tersebut,
Kedeputian Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya dapat
meningkatkan pengawalan keamanan dan mutu Pangan terhadap isu terkini (AEC,
Post MDGs, MEA, dll.).
5. Memorandum of Understanding (MoU) Penguatan sistem pengawasan pangan di
wilayah Free Trade Zone (FTZ), daerah perbatasan, terpencil dan gugus pulau. Hal

87
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
ini diperlukan karena belum optimalnya quality surveilance/monitoring mutu untuk
daerah perbatasan, daerah terpencil dan gugus pulau.
6. Regulasi yang mendukung optimalisasi pusat kewaspadaan pangan dan Early
Warning System (EWS) yang informatif, antara lain: Peraturan baru terkait KLB dan
Mekanisme pelaksanaan Sistem Outbreak response dan EWS. Upaya ini dapat
membantu mempeaiki Sistem Outbreak response dan EWS yang belum optimal dan
informatif sehingga didapatkan response yang cepat dan efektif pada saat terjadi
outbreak bencana yang berkaitan dengan bahan pangan.
7. Peraturan Kepala BPOM tentang koordinasi dengan pemerintah daerah serta
Peraturan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) untuk meningkatkan
efektivitas pengawasan pangan di daerah. Dalam hal ini BPOM perlu meningkatkan
advokasi tentang peranan pemerintah daerah dalam pengawasan pangan.

3.4 KERANGKA KELEMBAGAAN


Untuk memperkuat peran dan fungsi Deputi III dalam melaksanakan mandat
Renstra 2015-2019, maka dilakukan beberapa inisiatif penataan kelembagaan, baik
penataan dalam lingkup intraorganisasi Deputi III maupun penataan yang bersifat
interorganisasi dalam bentuk koordinasi lintas unit Eselon I, lintas instansi/lembaga,
maupun hubungan dengan para pemangku kepentingan utama.
Beberapa aspek kelembagaan yang harus diintegrasikan dan dikoordinasikan agar
lebih efisien dan efektif adalah :

1. Penyempurnaan Struktur Organisasi dan Tata Kerja Deputi III sesuai dengan
perubahan lingkungan strategis periode 2015-2019
Penataan dalam kerangka kelembagaan bagi organisasi induk dilakukan dengan
memperhatikan Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001, Tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga
Pemerintah Non Departemen, antara lain melalui penguatan unit kerja di Deputi III
dalam fungsi dan peran sebagai policy center (pengkaji, perumus, dan penetapan
kebijakan) dalam bidang pangan.

88
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
National Regulatory Authority (NRA) yang kuat dan mendapat pengakuan dari
internasional akan meningkatkan kepercayaan negara lain terhadap produk pangan
yang beredar dan diawasi oleh NRA tersebut. Dengan demikian, perkuatan lembaga
BPOM khususnya Deputi III sebagai ujung tombak perlindungan masyarakat
terhadap produk pangan yang tidak memenuhi syarat keamanan, mutu dan gizinya,
secara tidak langsung akan mendorong daya saing produk pangan dalam pasar
nasional dan internasional. Oleh sebab itu penjajakan dan peningkatan kerjasama
Deputi III dalam fora internasional baik pada tingkat bilateral, regional dan
multilateral diarahkan pada aspek :

a. Perkuatan Sistem Pengawasan produk pangan sesuai standar internasional.


b. Peningkatan kemampuan SDM dalam mengawasi produk pangan berdasarkan
standar internasional.
c. Harmonisasi standar produk pangan tanpa mengabaikan kemampuan UMKM.
Gambaran tentang penguatan kerangka kelembagaan Deputi III yang dikaitkan
dengan peningkatan daya saing dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Ilustrasi penguatan kerangka kelembagaan Deputi III untuk peningkatan
daya saing pangan

Produk terjamin aman,


bermutu dan berkhasiat
sesuai standar
Daya Saing
NRA yang internasional
Produk
kuat
pangan
Koordinasi yang kuat
meningkat
dengan Lintas Sektor
a. Kualitas SDM yang mampu dalam rangka peningkatan
standar produk UMKM
mengawasi produk pangan
sesuai standar internasional
b. Sistem pengawasan pangan
sesuai standar internasional
c. Harmonisasi standar
produk pangan tanpa
mengabaikan kemampuan
UMKM

89
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
2. Diperlukan koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait yang memiliki tugas sama
dalam rangka mewujudkan pencapaian prioritas pembangunan kesehatan.
3. Pemeliharaan Sistem Manajemen Mutu yang telah diimplementasikan Deputi III
untuk memastikan bisnis proses dan tata laksana baik dalam hal tata kelola
pembuatan keputusan, implementasi keputusan, tata kelola evaluasi, serta
manajemen kinerja dilaksanakan secara efektif, efisien, dan transparan.

90
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
BAB IV

TARGET KINERJA DAN KERANGKA PENDANAAN

4.1 TARGET KINERJA

Mengacu kepada Program Badan Pengawas Obat dan Makanan di Lingkungan


Kedeputian yaitu Pengawasan Obat dan Makanan, Deputi III menetapkan program
pengawasan pangan dengan sasaran strategis :

a. Menguatnya sistem pengawasan pangan, dan

b. Meningkatnya kemandirian pelaku usaha, kemitraan dengan pemangku


kepentingan, dan partisipasi masyarakat.

Uraian tentang Indikator dan Target Kinerja untuk masing-masing sasaran


strategis tersebut diuraikan pada Tabel 14.

Sasaran Target Kinerja


Indikator
Strategis 2015 2016 2017 2018 2019
Menguatnya Persentase Pangan 88,1 88,6 89,1 89,6 90,1
Sistem yang memenuhi syarat
Pengawasan
Obat dan
Makanan
Meningkatnya Persentase industri 3 5 7 9 11
kemandirian pangan olahan yang
pelaku usaha, mandiri dalam rangka
kemitraan menjamin keamanan
dengan pangan
pemangku
kepentingan,
dan partisipasi
masyarakat

Tabel 14. Sasaran Strategis dan Indikator Kinerja

90
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
a. Kegiatan dalam Sasaran Strategis Menguatnya Sistem Pengawasan Pangan
Untuk mencapai Sasaran Strategis Menguatnya Sistem Pengawasan Pangan
dilaksanakan program pengawasan pangan melalui kegiatan-kegiatan:

1. Penyusunan Standar Pangan

Penyusunan standar pangan dibutuhkan sebagai prequisite pelaksanaan tugas


pengawasan pangan. Ketersedian dan pemutakhiran standar perlu dilakukan dalam
rangka menjamin pangan aman, bermanfaat, dan bermutu untuk menjawab tantangan
terkait SDGs, perkembangan teknologi, maupun lingkungan strategis lainnya.

Selain itu, dalam rangka mendukung peningkatan produktivitas rakyat dan daya
saing di pasar internasional, terkait regulasi di bidang pangan, beberapa kegiatan
prioritas yang akan dilakukan diantaranya memberikan dukungan regulasi dan
regulatory assistance kepada pelaku usaha; penyusunan standar di tingkat ASEAN,
Regional, dan Internasional; dan Intensifikasi sosialisasi standar, pedoman, regulasi
produk pangan kepada stakeholder (pelaku usaha, konsumen dan lintas sektor).

Pencapaian kegiatan ini diukur dengan indikator jumlah standar pangan yang
disusun, dengan target 70 standar sampai dengan tahun 2019.

2. Penilaian Pangan Olahan

Program penilaian pangan olahan akan difokuskan pada pemantapan penilaian


pangan berbasis tingkat risiko (risk-based evaluation), penyempurnaan sistem
elektronisasi pendaftaran pangan olahan (e-registration) untuk meningkatkan
kemudahan bagi pengguna (user), peningkatan kemampuan SDM sesuai dengan
kompetensi yang ditetapkan, serta peningkatan kualitas pelayanan publik termasuk
sarana dan prasarana.

Pencapaian kegiatan ini diukur dengan indikator Persentase Keputusan Penilaian


pangan olahan yang diselesaikan, dengan target 89% pada tahun 2019.

91
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
3. Inspeksi dan Sertifikasi Pangan

Untuk mencapai peningkatan sarana produksi dan distribusi pangan, beberapa


program prioritas dalam melaksanakan kegiatan Inspeksi dan Sertifikasi Pangan yaitu
Perkuatan Risk Management Program; Review dan Ujicoba Code of Practice’s (Pedoman
Pemeriksaan Sarana Produksi Pangan berdasarkan pengendalian tahapan kritis proses
produksi per kategori produk); dan Pengembangan database sarana produksi, risk
cluster dan risk ranking.

Pencapaian kegiatan ini diukur dengan indikator:

a) Jumlah inspeksi sarana produksi dan distribusi pangan yang dilakukan dalam
rangka pendalaman mutu dan sertifikasi, dengan target 700 pada tahun 2019.
b) Persentase penyelesaian tindak lanjut pengawasan mutu dan keamanan produk
pangan, dengan target 94% pada tahun 2019.
c) Persentase berkas permohonan sertifikasi pangan yang mendapatkan keputusan
tepat waktu, dengan target 80% pada tahun 2019.

4. Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya

Dalam melaksanakan pengawasan produk dan bahan berbahaya di era MEA saat
ini, BPOM dihadapkan pada tantangan seperti belum optimalnya pengawasan bahan
berbahaya di sektor hulu oleh instansi terkait, dan masih ditemukannya bahan
berbahaya dan migran berbahaya dalam pangan. Untuk mencapai sasaran menurunnya
bahan berbahaya yang disalahgunakan dan migran berbahaya dalam pangan, BPOM
melaksanakan kegiatan berupa Perkuatan sistem pengawasan produk dan bahan
berbahaya melalui advokasi dalam rangka implementasi peraturan bersama;
pengawasan terpadu mengacu kepada peraturan bersama Menteri Dalam Negeri dan
Kepala Badan POM No. 43 Tahun 2013 dan No. 2 Tahun 2013 tentang Pengawasan
Bahan Berbahaya yang Disalahgunakan dalam Pangan, dan Koordinasi lintas sektor
dalam rangka tindak lanjut hasil pengawasan; Perkuatan sistem pengawasan kemasan
pangan melalui Penyusunan RSNI Uji Migrasi Zat Kontak Pangan, Mapping database
industri kemasan pangan dan Penyusunan dan Implementasi Pedoman Inspeksi Sarana
92
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Produksi Kemasan Pangan; serta Pengembangan pasar aman dari bahan berbahaya
melalui TOT Fasilitator Pasar Aman dari Bahan Berbahaya, Bimtek terhadap petugas
pengawas pasar, dan Monitoring dan Evaluasi Implementasi Program Pasar Aman dari
Bahan Berbahaya.

Pencapaian kegiatan ini diukur dengan indikator:

a) Persentase sarana distribusi yang menyalurkan bahan berbahaya sesuai ketentuan,


dengan target 58% pada tahun 2019.
b) Persentase kemasan pangan yang memenuhi syarat keamanan, dengan target 90%
pada tahun 2019.

c) Jumlah pasar yang diintervensi menjadi pasar aman dari bahan berbahaya dengan
target 201 pasar pada tahun 2019.

5. Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan

Sesuai dinamika lingkungan strategis, berbagai intervensi hasil pengawasan


keamanan pangan akan dilakukan. Di antaranya adalah penguatan gerakan keamanan
pangan desa dan peningkatan keamanan pangan di setiap rantai pangan secara terpadu.
Sebagai input intervensi pengawasan, kaitannya dengan implementasi 3 Peraturan
Kepala BPOM terkait IRTP akan dilakukan cost benefit analysis serta regulatory impact
assesment. Selain itu, pada Renstra 2015-2019 akan dilakukan penguatan rapid alert
system keamanan pangan dengan melakukan kajian risiko.

Indikator kegiatan ini adalah sebagai berikut:

a) Jumlah hasil kajian profil risiko keamanan pangan, dengan target 25 profil risiko
hingga tahun 2019.
b) Jumlah Kabupaten/kota yang sudah menerapkan Peraturan Kepala BPOM tentang
IRTP, dengan target 100 kabupaten/kota hingga tahun 2019.
c) Jumlah desa pangan aman yang menerima intervensi pengawasan keamanan
pangan, dengan target 500 hingga tahun 2019.

93
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Selain melalui Program Pengawasan Pangan, Sasaran Strategis ini juga didukung
dengan program dukungan manajemen dan pelaksanaan teknis lainnya. Kegiatan teknis
lain yang perlu berkoordinasi dengan unit kerja dan atau instansi lain terkait antara lain
kegiatan penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan, bantuan hukum,
layanan pengaduan konsumen, dan hubungan masyarakat.

b. Kegiatan Dalam Sasaran Strategis Meningkatnya Kemandirian Pelaku


Usaha, Kemitraan dengan Pemangku Kepentingan, dan Partisipasi
Masyarakat
Untuk mencapai sasaran strategis meningkatnya kemandirian pelaku usaha,
kemitraan dengan pemangku kepentingan, dan partisipasi masyarakat dilaksanakan
Program Pengawasan Obat dan Makanan melalui Kegiatan Inspeksi dan Sertifikasi
Pangan/Peningkatan Kemandirian Pelaku Usaha Pangan Olahan.

Dalam rangka meningkatkan daya saing dan kesiapan menghadapi Masyarakat


Ekonomi Asean (MEA), kemandirian pelaku usaha di bidang pangan merupakan hal
mutlak yang harus disiapkan dan dimiliki oleh pelaku usaha dalam negeri.

Untuk itu, pelaku usaha perlu diberikan pembinaan dan pendampingan dalam
menerapkan program manajemen risiko yang dikembangkan oleh Deputi III.
Kemandirian pelaku usaha dibidang pangan dapat dilihat dari indikator Persentase
industri pangan olahan yang mandiri dalam rangka menjamin keamanan pangan,
dengan target 11% sampai dengan tahun 2019. Dengan meningkatnya kemandirian
pelaku usaha dalam menghasilkan produk yang aman dan bermutu, maka masyarakat
Indonesia akan semakin terlindingi dari peredaran pangan yang tidak memenuhi
ketentuan. Selain itu, peningkatan keamanan dan mutu pangan yang diproduksi di
Indonesia dapat meningkatkan daya saing produk tersebut di peredaran dan pada
akhirnya dapat meningkatkan ekonomi masyarakat dan nasional.

94
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
4.2 KERANGKA PENDANAAN
Sesuai target kinerja untuk masing-masing indikator kinerja yang telah
ditetapkan maka telah ditetapkan kerangka pendanaan untuk mendukung pencapaian
tujuan dan sasaran strategis Deputi III periode tahun 2015-2019, sebagaimana
diuraikan pada Tabel 15 dibawah ini.

Alokasi (Rp Milyar) Penanggung


Sasaran
Indikator jawab
Strategis 2015 2016 2017 2018 2019
Menguatnya Menguatnya 57,9 88,0 95,0 102,0 94,0 Kedeputian
Sistem Sistem III dan
Pengawasan Pengawasan BB/BPOM
Obat dan Makanan
Makanan

Meningkatnya Persentase Kedeputian


kemandirian industri III
pelaku usaha, pangan
kemitraan olahan yang
dengan mandiri
pemangku dalam
kepentingan, rangka
dan partisipasi menjamin
masyarakat keamanan
pangan

Tabel 15. Sasaran Strategis, Indikator Kinerja dan Pendanaan

Matriks kinerja dan pendanaan BPOM per kegiatan sebagaimana diuraikan pada
Lampiran 1.

95
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
BAB V

PENUTUP

Renstra Deputi III tahun 2015-2019 merupakan panduan pelaksanaan tugas pokok
dan fungsi Deputi III untuk 5 (lima) tahun ke depan. Keberhasilan pelaksanaan Renstra
tahun 2015-2019 sangat ditentukan oleh kesiapan kelembagaan, ketatalaksanaan, SDM
dan sumber pendanaannya, serta komitmen semua pimpinan dan staf Deputi III. Renstra
ini merupakan upaya untuk menggambarkan peta permasalahan, titik-titik lemah,
peluang, tantangan, program yang ditetapkan, dan strategi yang akan dijalankan selama
kurun waktu lima tahun, serta output yang ingin dihasilkan dan outcome yang diharapkan.

Untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan Renstra tahun 2015-2019, setiap tahun


akan dilakukan evaluasi. Apabila diperlukan, dapat dilakukan perubahan/revisi muatan
Renstra Deputi III, termasuk indikator-indikator kinerjanya yang dilaksanakan sesuai
dengan mekanisme yang berlaku dan tanpa mengubah tujuan Deputi III.

Renstra Deputi III Tahun 2015-2019 menjadi acuan kerja bagi unit-unit kerja di
lingkungan Deputi III sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing.
Diharapkan semua unit kerja dapat melaksanakannya dengan akuntabel serta senantiasa
berorientasi pada peningkatan kinerja lembaga, unit kerja dan kinerja pegawai.

Evaluasi Renstra Deputi III merupakan bagian yang penting dalam pelaksanaan
perencanaan strategis Deputi III, sehingga hasil pencapaiannya dapat diukur dan
dipergunakan sebagai acuan dalam penyusunan laporan kinerja tahunan Deputi III. Selain
sebagai bahan evaluasi, Renstra juga menjadi pedoman untuk penyusunan Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) sesuai dengan Peraturan Presiden
tentang SAKIP yang dikoordinasikan oleh Kementerian PAN dan RB.

Dokumen Rencana strategis ini diharapkan dapat dikomunikasikan ke seluruh


jajaran organisasi, dan juga stakeholder terkait secara keseluruhan. Diseminasi ini akan
memungkinkan seluruh anggota organisasi memiliki kesamaan pandangan tentang ke

96
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
mana organisasi akan dibawa (tujuan bersama), bagaimana peran serta setiap anggota
organisasi dalam mencapai tujuan bersama, dan bagaimana kemajuan dan tingkat
keberhasilan nantinya akan diukur. Dengan demikian, seluruh kegiatan Deputi III yang
direncanakan akan terlaksana, terkoordinasi dengan baik dan dilakukan secara
terintegrasi untuk tercapainya tujuan-tujuan strategis.

97
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Anak Lampiran 1. Matriks Kinerja dan Pendanaan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Update 2 April 2015
Target Alokasi (dalam Miliar rupiah) K/L-N-
Sasaran Program (Outcome)/Sasaran Unit Organisasi B-NS-
Program/Kegiatan Lokasi
Kegiatan (Output)/Indikator 2015 2016 2017 2018 2019 2015 2016 2017 2018 2019 Pelaksana BS

Program Pengawasan Obat dan Makanan 57.9 88.0 95.0 102.0 94.0 Kedeputian III
1 Menguatnya sistem pengawasan Obat
dan Makanan
1.5. Persentase makanan yang memenuhi 33 Provinsi 88.10 88.60 89.10 89.60 90.10 Kedeputian III dan
syarat 33 BB/BPOM
2 Meningkatnya kemandirian pelaku
usaha, kemitraan dengan pemangku
kepentingan, dan partisipasi
masyarakat

2.4. Persentase industri pangan olahan yang Pusat 3 5 7 9 11 Kedeputian III


mandiri dalam rangka menjamin
keamanan pangan

Penyusunan Standar Pangan 9.1 9.0 9.0 9.0 10.0 Dit. Sandardisasi
Tersusunnya standar pangan yang mampu Produk Pangan
menjamin makanan aman, bermanfaat dan
bermutu
1 Jumlah Standar pangan yang disusun Pusat 14 14 14 14 14

Penilaian Pangan Olahan 10.3 8.0 8.0 8.0 9.0 Dit. PKP
Meningkatnya Jumlah Produk pangan olahan
yang memiliki izin edar (memenuhi
persyaratan kemananan, mutu dan gizi )
Target Alokasi (dalam Miliar rupiah) K/L-N-
Sasaran Program (Outcome)/Sasaran Unit Organisasi B-NS-
Program/Kegiatan Lokasi
Kegiatan (Output)/Indikator 2015 2016 2017 2018 2019 2015 2016 2017 2018 2019 Pelaksana BS

Program Pengawasan Obat


1 dan Makanan
Persentase Keputusan Penilaian pangan Pusat 85 86 87 88 89
olahan yang diselesaikan
Inspeksi dan Sertifikasi Pangan 16.9 18.0 20.0 23.0 25.0 Dit. Insert Pangan
Meningkatnya mutu sarana produksi dan
distribusi Pangan
1 Jumlah inspeksi sarana produksi dan Pusat 500 550 600 650 700
distribusi pangan yang dilakukan dalam
rangka pendalaman mutu dan sertifikasi

2 Persentase penyelesaian tindak lanjut Pusat 90 90 90 92 94


pengawasan mutu dan keamanan
produk pangan
3 Persentase berkas permohonan Pusat 70 72 75 78 80
sertifikasi pangan yang mendapatkan
keputusan tepat waktu
4 Persentase industri pangan olahan yang Pusat 3 5 7 9 11
mandiri dalam rangka menjamin
keamanan pangan
ANAK LAMPIRAN 2. MATRIKS KERANGKA REGULASI
DEPUTI BIDANG PENGAWASAN KEAMANAN PANGAN DAN BAHAN BERBAHAYA 2015-2019

Arah Kerangka Regulasi dan/atau Urgensi Pembentukan Berdasarkan Evaluasi Unit Terkait/
No Unit Penanggungjawab
Kebutuhan regulasi Regulasi Eksisting, Kajian dan Penelitian Institusi
1 Peraturan Perundang-undangan terkait Meningkatkan efektifitas pengawasan pangan 1. Direktorat Standardisasi Produk
pengawasan Pangan Pangan
2. Direktorat Pengawasan Produk dan
Bahan Berbahaya
3. Direktorat Penilaian Keamanan Pangan
4. Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi
Pangan
5. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan
Keamanan Pangan
6. Biro Hukum dan Humas

2 RPP Keamanan Mutu dan Gizi Pangan dan 1. Direktorat Standardisasi Produk
RPP Label dan Iklan Pangan terkait Pangan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 2. Biro Hukum dan Humas
tentang Pangan

3 Norma, standar, prosedur, dan kriteria Terciptanya sinergi antara Pemerintah Pusat dan 1. Biro Hukum dan Humas 1. DPR
(NSPK) terkait pelaksanaan UU No. 23 Daerah berdasarkan UU No. 23 tahun 2014 pasal 2. Direktorat Standardisasi Produk 2. Kemenkumham
tahun 2014 tentang Pemerintahan 16 dalam hal: 1. Pelaksanaan pengawasan pangan Pangan 3. Kementerian
Daerah dalam penyelenggaraan urusan 2. Sebagai pedoman Pemerintah Daerah dalam Kesehatan
pemerintah konkuren penyelenggaraan pengawasan pangan

4 Standar Kompetensi Kerja Nasional Meningkatkan pengawalan keamanan dan mutu 1. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan
Indonesia (SKKNI) Bidang Keamanan Pangan terhadap isu terkini (AEC, Post MDGs, Keamanan Pangan
Pangan MEA, dll.)

5 Memorandum of Understanding (MoU) Belum optimalnya quality surveilance /monitoring 1. Biro Hukum dan Humas
Penguatan sistem pengawasan Obat dan mutu untuk daerah perbatasan, daerah terpencil, 2. Direktorat Insert dan Pengawasan
Makanan di wilayah Free Trade Zone dan gugus pulau Kedeputian 1,2,3
(FTZ), daerah perbatasan, terpencil, dan
gugus pulau

6 Regulasi yang mendukung optimalisasi Sistem Outbreak response dan EWS belum 1. Direktorat Surveilan Penyuluhan
Pusat Kewaspadaan Obat dan Makanan optimal dan informatif. Diperlukan response yang Keamanan Pangan
dan EWS yang informatif, antara lain: cepat dan efektif pada saat terjadi outbreak 2. Biro Hukum dan Humas
- Peraturan baru terkait KLB bencana yang berkaitan dengan pangan
- Mekanisme pelaksanaan Sistem
Outbreak response dan EWS

7 Peraturan Kepala BPOM tentang Pengawasan Obat dan Makanan tidak dapat
koordinasi dengan pemerintah daerah berhasil tanpa adanya kerjasama dan komitmen
serta Peraturan Kepala Daerah dari daerah dalam mendukung BPOM
(Gubernur, Bupati, dan Walikota) untuk
meningkatkan efektivitas pengawasan
Obat dan Makanan di daerah

Anda mungkin juga menyukai