Pilkada Era Pandemi
Pilkada Era Pandemi
ERA PANDEMI
Catatan Kritis Demokratisasi Daerah Tahun 2020
i
ii
PILKADA
ERA PANDEMI
Catatan Kritis Demokratisasi Daerah Tahun 2020
Editor:
Ridho Al-Hamdi
Muchamad Zaenuri
iii
Ucapan Terima Kasih
v
daerah melalui twitter. Dan yang terakhir Bab empat membahas tentang
isu pemilih difabel, isu perempuan dalam pemasaran politik, dan
partisipasi pemilih pada Pilkada se-Jawa Timur.
Terwujudnya buku ini tidak lepas dari dukungan Prodi Ilmu
Pemerintahan UMY, oleh karena itu tim editor mengucapkan terima kasih
kepada pengelola Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta (IP UMY) yang telah bersedia menerbitkan naskah ini
bekerjasama dengan Penerbit Pustaka Pelajar. Tentu ucapan terima kasih
juga disampaikan kepada semua kontributor naskah, yaitu Ridho Al-
Hamdi, Muchamad Zaenuri, Fajar Rahmanto, Rahmawati Husein, David
Efendi, Herdin Arie Saputra, Sanny Nofrima, Mia Sarmiasih, M. Lukman
Hakim, Tunjung Sulaksono, Muhammad Eko Atmojo, Muhammad Yusuf,
Eki Darmawan, Suswanta, M. Rafi, Awang Darumurti, Bambang Eka
Cahya Widodo, Moch Edward Trias Pahlevi, Muhammad Eko Atmojo,
Vindhi Putri Pratiwi, Helen Dian Fridayani, Azka Abdi Amrurobbi, Titin
Purwaningsih, Dian Eka Rahmawati, dan Pita Anjarsari.
Semoga naskah ini memperkaya khazanah kajian tata kelola pemilu
dan studi demokrasi serta menjadi bahan evaluasi bagi penyelenggara
Pemilu dan pengambil kebijakan untuk mengelola Pilkada dan Pemilu
berikutnya secara lebih baik.
Tim Editor,
Ridho Al-Hamdi
Muchamad Zaenuri
vi
SAMBUTAN
Kaprodi Ilmu Pemerintahan UMY
vii
ini terlaksana secara rutin dan memberi manfaat bagi mahasiswa Ilmu
Pemerintahan dan khalayak lain yang berminat.
Tentu saja bahwa penulisan artikel yang diwujudkan dalam bentuk
book chapter ini masih dijumpai beberapa kekurangan, sehingga kritik dan
saran dari berbagai pihak sangat diharapkan. Semoga bermanfaat.
viii
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Pilkada Era Pandemi 2020: Catatan Kritis Agenda Demokratisasi
Daerah di Indonesia ~ 1
Ridho Al-Hamdi
ix
Netralitas Birokrasi dalam Pilkada 2020 Era Pandemi Covid-19: Studi
Kasus Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Jambi, dan Provinsi
Kepulauan Riau ~ 125
Muhammad Eko Atmojo, Muhammad Yusuf, Eki Darmawan
x
Partisipasi Masyarakat dalam Pilkada Serentak 2020 di
Jawa Timur ~ 262
Pita Anjarsari
xi
DAFTAR SINGKATAN
xii
Pileg : Pemilihan Legislatif
Pilkada : Pemilihan Kepala Daerah
Pilpres : Pemilihan Presiden
PNS : Pegawai Negeri Sipil
PP : Pimpinan Pusat
PPK : Panitia Pemilihan Kecamatan
PPS : Panitia Pemungutan Suara
Prokes : Protokol Kesehatan
SARA : Suku, Ras, Agama, dan antar-Golongan
SDM : Sumber Daya Manusia
SIDALIH : Sistem Pendaftaran Pemilih
SILON : Sistem Informasi Pencalonan
SIREKAP : Sistem Informasi Rekapitulasi
SITUNG : Sistem Informasi Penghitungan Suara
TIK : Teknologi Informasi dan Komunikasi
TNI : Tentara Nasional Indonesia
TPS : Tempat Pemungutan Suara
UUD : Undang Undang Dasar
WFH : Work from Home
WHO : World Health Organization
xiii
Pilkada Serentak 2020 dan Ancamannya
bagi Demokrasi Indonesia
Abstrak
Kajian ini bertujuan menjelaskan bagaimana pandemi dan demokrasi
saling berinteraksi dan bagaimana proses tersebut dialihkan atau dibajak
oleh aktor-aktor demokrasi untuk melancarkan beragam agenda yang
dapat bertabrakan dengan demokrasi dan keselamatan rakyat. Politisasi
bencana dan pandemi atau krisis bukan hal baru dalam dunia politik
di Indonesia atau di negara-negara lain. Studi ini mendayagunakan
beragam pemberitaan media dan analisis data skunder mengenai wacana
demokrasi, stabilitas politik, dan pilkada maka beberapa kesimpulan
dapat disampaikan. Pertama, bahwa pandemi merupakan dua mata
pisau yang dapat bergunana untuk proses demokratisasi politik dan
ekonomi tetapi dapat juga sebaliknya menjadi alat untuk berbuat
melawan demokrasi dan meneguhkan dominasi oligarki di dalam proses
pengambilan kebijakan dan pembangunan pasar kapitalistik. Kedua,
stabilitas ekonomi dan politik sangatlah rentan di tengah pandemi
sehingga penyelenggaraan Pilkada harusnya juga memperhitungkan
aspek kecukupan ekonomi dan pelayananan kesehatan di tengah beragam
75
hentakkan akibat krisis covid-19 ini. Terakhir, kekuatan masyarakat sipil
yang kurang mendapat posisi di dalam pengambilan kebijakan ke depan
mutlak harusnya mendapat apresiasi yang lebih luas dan proporsional
sehingga agensi penyangga demokrasi ini dapat secara optimal menjaga
kelestarian nalar dan praktik demokratik—dengan segala kelemahannya
menhadapi situasi demokrasi oligarkis yang hadir di setiap perhelatan
suksesi kekuasaan di level nasional maupun lokal.
A. PENDAHULUAN
Pasca reformasi Indonesia kembali mengalami krisis multidimensi
yang disebabkan oleh serangan pandemi global berupa Covid-19.
WHO menetapkan covid-19 sebagai pandemi global sejak 11 Maret
2020, sedangkan pemerintah Indonesia menetapkan covid-19 sebagai
bencana nasional sejak 13 April 2020 melalui keputusan Presiden Nomor
12 tahun 2020 (kompas.com). Masuknya pandemi covid sebagai virus
ganas menyebar dan mematikan telah menelan jutaan ribu manusia sejak
awal tahun 2020. Selain itu, kondisi ini juga berdampak melemahkan
banyak sektor mulai dari ekonomi, pendidikan, budaya, sosial, dan
politik serta pemerintahan (Ristyawati, 2020). Langkah kebijakan sebagai
upaya memutus rantai penyebaran dilakukan dimulai dari Pembatasan
Sosial berskala besar (PSBB), sosial distancing (menjaga jarak) sampai
menghimbau untuk tidak melakukan kerumunan. Ironisnya kebijakan
tidak memberikan dampak siginifikan, bahkan grafik penularan dan
kematian cenderung terus mengalami lompatan setiap harinya.
Melihat situasi pandemik yang semakin kompleks penuh ketidak-
pastian yang merubah sistem tata kelola, serta adanya tekanan resesi
nasional pemerintah dengan otoritasnya mengambil langkah politik
sebagai upaya menempuh jalan strategis melalui penyelenggaraan Pilkada
di tengah situasi pandemik. Pilkada adalah pesta demokrasi rakyat
ditingkat lokal yang memberi kesempatan rakyat untuk memilih ulang
calon pemimpin daerahnya. Keberhasilan dalam penyelenggaraan pilkada
diharapkan mampu melahirkan pemimpin-pemimpin transformatif
76
yang mampu melahirkan inovasi kebijakan yang humanis ditengah
kondisi krisis global. Dalam catatan sejarah, pilkada Indonesia tahun
2020 merupakan pilkada serentak keempat kalinya, setelah sebelumnya
pernah diselenggarakan pertama pada tahun 2015, kedua tahun 2017 dan
ketiga tahun 2018 (Supriyadi, 2020). Adapun penyelenggaraan pilkada
tahun 2020 telah dilaksanakan di 270 daerah yang terdiri dari 9 provinsi,
224 Kabupaten, dan 37 kota di Indonesia (tempo.co).
Di tengah beragam narasi dan kritik terhadap rencana Pilkada
terutama terkait mitigasi pandemik Covid-19, pemerintah menetapkan
penyelenggaraan pilkada jatuh pada 9 Desember 2020 melalui
Perpu Nomor 2 tahun 2020 yang kemudian saat ini telah ditetapkan
menjadi Undang-undang Nomor 6 tahun 2020. Seketika gelombang
penolakan datang dari berbagai kalangan termasuk pegiat militan
pemilu dan demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menegaskan bahwa
penyelenggaraan pilkada 2020 tidak perlu, dan harus menunggu
sampai pandemik covid berakhir (kompas.com). Kuatnya penolakan
dari berbagai kalangan karena penyelanggaraan pilkada dikhawatirkan
menjadi celah baru mata rantai penyebaran covid-19. Melihat faktanya
sampai menjelang pelaksanaan pilkada jumlah penularan semakin
meningkat secara nasional, sebagaimana misalnya data update kompas.
com per 7 Desember penambahan 5.754 dan mengantarkan Indonesia
dengan jumlah kasus 581.550 kasus. Sebenarnya bercermin pada beberapa
negara ada 55 negara yang menunda pemilu nasional ataupun lokal dan
ada 21 negara yang tidak menunda pemilu, adapun 9 diantaranya telah
menyelenggarakan (Kennedy & Suhendarto, 2020). Indonesia merupakan
contoh negara yang berani melakukan pilkada di tengah pandemik.
Terlepas dari adanya pro dan kontra, satu kenyataan pahit yang
memang harus ditempuh Indonesia adalah menyelenggarakan pandemik
ditengah ketidakpastian berakhirnya wabah. Hal ini jelas berbeda
dengan tahun-tahun sebelumnya yang dilakukan secara normal,
sementara tahun ini (new normal) harus dilakukan dengan sistem protokol
yang ketat. Kondisi ini menjadi ciri khas penting penyelenggaraan
Pilkada 2020, yakni semua pihak yang terlibat dalam pemilu harus taat
protokol kesehatan baik pemilih (konstituen), dan penyelenggara pemilu
77
(KPU, Bawaslu, DKPP) serta tim pengamanan yakni Kopolisian maupun
TNI. Selain itu, menjadi ciri penting bahwa penyelenggaraan pilkada
di tengah pandemik menjadikan pilkada semakin termahal, senada
dengan ungkapan Menteri Keuangan RI Sri Mulyani menyebutkan
total pelaksanaan pilkada 2020 naik seiring dengan adanya pandemik
Covid-19. Sebelumnya alokasi anggaran pilkada sejumlah Rp. 15,23
triliun yang didanai oleh APBD, saat ini dengan adanya protokol
membengkak menjadi Rp.20,46 triliun (tempo.co).
Mahalnya anggaran pembiayaan pemilu semakin menuntut kinerja
optimal dari penyelenggara pemilu. Dalam hal ini semakin penting pula
untuk mengawal proses pilkada sebagai bagian dari pilar demokrasi di
Indonesia, selain dari parpol dan media masa yang independen. Pilkada
juga menjadi harapan untuk semakin meningkatnya demokratisasi yang
dibuktikan dengan adanya partisipasi aktif masyarakat yang meningkat.
Demokrasi menurut Heywood (2013) merupakan kekuasaan oleh rakyat.
Artinya rakyatlah yang diberikan kedaulatan tertinggi. Oleh karena
itu, penyelenggaraan pilkada harus memastikan tidak mencederai
nilai demokrasi sejak dimulai proses pilkada yakni dari pencalonan,
pemutakhiran data pemilih, kampanye, pemungutan suara di TPS,
sampai penghitungan suara mengingat tantangan keras yang harus
mampu berdekatan dengan protokol kesehatan. Pada proses inipun
penyelenggara harus mampu menjaga keadilan pelaksanaan pilkada
ditengah pandemik.
Demikian dapat disimpulkan bahwa proses yang baik, akan mampu
menentukan kualitas. Oleh karena itu, penting menegakkan keadilan
pemilu, partisipasi politik dari rakyat, dan menjaga ketertiban pemilu
sebagaimana telah diatur dalam beberapa regulasi di atas. Dengan
melihat korelasi pemilu dan demokrasi yang saling terkait, tulisan artikel
ini berupaya menelisik lebih jauh bagaimana kelangsungan demokrasi
Indonesia pada saat penyelenggaraan pilkada di era pageblug Covid-19
dengan didukung oleh fakta-fakta di lapangan saat proses pilkada
berlangsung. Persoalan serius yang secara subtansi seperti menegasikan
proses asprirasi publik dalam tatakala penyelenggaraan pilkada ini. Banyak
elemen merekomendasikan pemunduran jadwal pelaksanaan namun
78
seruan itu tertolak—artinya pandemik ini bisa menjadi alat “muazin”
bagi pentingnya demokrasi subtansial tetapi juga dalam kenyataannya
terancam oleh ambisi demokrasi prosedural (sesuai jadwal). Karenanya,
paper ini hendak mendiskusikan bagaimana kompleksitas demokrasi,
pembangunan politik elektoral yang terhubung dengan situasi pandemik
Covid-19.
B. LITERATURE REVIEW
Pemilu merupakan pesta demokrasi sebagai landasan politik bangsa
dan negara untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Pilar
demokrasi ini mengantarkan negara dan bangsa dalam meraih demokrasi
dan membangun peradabannya yang berkemajuan. Pemilu ini juga
sebagai momentum yang sangat penting bagi sebuah rezim kekuasaan
dalam mewujudkan cita-cita negara. Melaksanakan demokrasi tidak bisa
dipisahkan dari proses penyelenggaraan Pemilu. Nilai demokrasi yang
harus selalu dikembangkan seperti; kebebasan, otonomi, persamaan,
perwakilan, serta majority rule citizenship (Chaniago, 2016). Hakikatnya
dalam suatu ide kedaulatan rakyat harus dijamin jika rakyatlah yang
pemilik negara dengan segala kewenangannya dalam menjalankan semua
fungsi kekuasaan negara (Hilman, 2020).
Sistem politik akan berjalan jika input dan ouput dilakukan secara
berkelanjutan, sehingga ketidaksiapan masyarakat dalam menghadapi
pilkada 2020 harus ada regulasi yang tepat untuk mengedepankan aspirasi
masyarakat dengan menggunakan hak pilihnya yang terbebas dari
ancaman Covid-19 (Meyliana & Erowati, 2020). Selain itu, faktor dalam
pemilihan serentak yaitu melalui keluarga yang dapat mensosialisasikan
politik, dari teman juga menjadi bagian faktor pendukung sosialisasi
politik memberi pengaruh yang positif dalam Pilkada serentak dan
melalui media massa yang bias memberikan informasi tentang Pemilu
yang akan diadakan kepada masyarakat (Laila, 2020).
1. Politik Demokrasi
Demokrasi telah menempati peringkat teratas sebagai sistem
pemerintahan yang paling banyak diterima oleh banyak negara karena
dianggap mampu menyelesaikan berbagai persoalan sosial politik negara
79
yang melibatkan hubungan antar individu dalam masyarakat, hubungan
antar masyarakat, masyarakat dan negara maupun antar negara di
dunia. Keruntuhan Uni Soviet sebagai pertanda munculnya momentum
kebangkitan demokrasi sebagai pilihan sistem politik yang menjanji-
kan (Nugroho, 2015). Demokrasi menjadi metode politik untuk memilih
pemimpin dengan keterlibatan masyarakat dihargai sangat tinggi dalam
menentukan kepemimpinan (Cammack, 1991). Konsep demokrasi men-
jadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini
menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator
perkembangan politik suatu Negara. Demokrasi menempati posisi vital
dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya
berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara
yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat (Kusmanto, 2014). Demokrasi memiliki beberapa
unsur-unsur meliputi: 1. Ketertiban warga negara dalam pembuatan
keputusan politik; 2. Tingkat persamaan tertentu diantara warga
negaranya; 3. Tingkat kebebasan atau kemerdekaan tertentu yang diakui
dan dipakai oleh para warga negara; 4. Suatu sistem perwakilan; 5. Suatu
sistem kekuatan mayoritas (Husin, 2005).
Sistem bernegara mampu menentukan bagaimana keseharan
masyarakat di tengah krisis yang akan berlangsung, apakah tingkat
kematian akibat krisis cukup besar atau sangat kecil bergantung pada
respon negara dan kebijakanya. Kebijakan yang akan diambil ditentukan
oleh bagaimana sistem bernegara itu sendiri. Contoh nyata bagaimana
sistem negara mempengaruhi Kesehatan publik dapat dilihat dari
bagaimana kondisi di Cina pada tahun 1958 dan 1961 dimana kelaparan
menjadi ancaman negara sehingga membunuh 30 juta masyarakat cina.
Otoritarianiseme dan sistem yang tidak demokratis dianggap menjadi
penyebab utama pemerintah kurang mampu merespon kebutuhan
publik sehingga terjadi krisis besar. Ketidak hadiran oposisi dan pers
yang tidak mampu mengawal keadilan dan kebebasan juga menjadi
faktor pendukung penting dalam kegagalan yang pada ahirnya mencipta-
kan publik yang kekurangan informasi. Ketidak tersediaan informasi
merupakan ancaman bagi sebauh negara, dimana informasi berperan
80
penting sebagai instrument pengontrol pemerintah dan masyarakat
dapat melakukan ecaluasi kebijakan publik berdasarkan informasi yang
di dapatnya (Ravallion, 1992).
81
Covid-19 memiliki efek korosif pada lembaga demokrasi yang
sudah terancam musnah. Covid-19 telah mengungkap alternatif
politik demokrasi dalam situasi darurat. Covid-19 telah memperburuk
ketimpangan dan ketidakadilan dalam sistem demokrasi. Covid-19
telah berlangsung dalam jangka panjang Sejak itu terlihat kebutuhan
akan infrastruktur kelembagaan. Persatuan dan Covid-19 menunjukkan
dominasi negara-bangsa dan batasannya (Afsahi, Beausoleil, Dean,
Ercan, & Gagnon, 2020) we turned to 32 leading scholars working on
different aspects of democracy and asked them what they think about
how the COVID-19 pandemic has impacted democracy. In this article, we
synthesize the reflections of these scholars and present five key insights
about the prospects and challenges of enacting democracy both during
and after the pandemic: (1.
Amerika Latin memaparkan bahwa langkah tanggap darurat melayani
pemimpin petahan sebagai kesempatan untuk memadamkan protes
tetapi juga merupakan asumsi yang valid bagi negara. Para pemimpin
bereaksi bahwa masa pandemik ini bukan dengan mencapi persatuan
nasional tetapi dengan bertujuan rendah untuk keuntungan partisan.
Krisis ekonomi yang membuat semua pemerintah di daerah tidak peduli
dengan tanggap darurat yang mareka diadopsi hingga menghilangkan
kepercayaan pada demokrasi yang mungkin menjadi merata lebih parah
di mana pemerintah gagal memberikan solusi yang memadai untuk
masalah sosial dan ekonomi (Weiffen, 2020).
Sistem ini telah melahirkan kondisi dinamis yang terjadi di masyarakat
yang melahirkan euphoria demokrasi politik dimana-mana dan kemudian
banyak terjadi kekisruhan yang berdampak kepada berbagai polemik di
daerah. Sangat disayangkan bahwa euphoria demokrasi yang seharusnya
melahirkan suasana kondusif karena adanya sistem pemilu yang ber-
dasarkan pada kerakyatan, namun tidak sesuai dengan realitasnya.
Dampak pandemik Covid-19 terhadap kehidupan berdemokrasi yaitu
menunda Pilkada dan berbagai solusi yang muncul diantaranya dalam
pemungutan suara melalui e-voting meskipun pemerintah menunda
Pilkada dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Sutera,
2020). Selain itu Covid-19 juga berdampak signifikan yang memberikan
82
tekanan di berbagai wilayah negara untuk memutuskan Pemilu dapat
berlangsung menuai kontroversi (Hergianasari, 2020).
Di Negara Ghana ditemukan bahwa kemungkinan dampak negatif
virus pada pilkada 2020 termasuk jumlah pemilih yang rendah karena
takut terltular virus karena kontak manusia di pusat pemungutan suara
dan penunda pilkada jika penyebaran tidak terkendali, sehingga partai
politik inovatif dalam mobilisasi pemilu melalui penggunaan berbagai
platform media sosial untuk berkampanye sebagai cara mengurangi
perilaku manusia dan overcrowding pada hari pemungutan suara untuk
mengurangi penyebaran Covid-19 (Ijon & Bingab, 2020). Kurangnya
sosialisasi tentang prosedur pemungutan suara menjadi tantangan besar
bagi KPU, tugas utama mareka untuk mensosialisasikan Pilkada Serentak,
baik melalui online maupun offline dikarenakan rendahnya sinyal untuk
mengakses internet khususnya di Palangkaraya Provinsi Kalimatan
tengah dan masyarakat berharap pemilu dapat diselenggarakan dengan
jujur, adil, transparan (Sandi, Suprayitno, & Jaya, 2020). Negara Korea
Selatan telah berhasil dalam mengontrol pandemik Covid-19 berfokus
pada respon sistematis yaitu: pelacakan, pengujian dan pengobatan.
Bagian yang menjadi konsentrasi hubungan antara persepsi ancaman
pendemi dan hasil pemilu (Kim, 2020).
Efek pandemik Covid-19 terhadap demokrasi yang sudah mengalami
backsliding semakin cepat dan berdampak jangka panjang sehingga
cenderung menyimpang. Kejatuhan ekonomi yang diprediksi dapat
menghambat legitimasi kinerja untuk distribusi manfaat ekonomi yang
popularitas electoral rezim. Diakibatkan bagi rezim otoriter pemilu yang
berdampak jangka panjang Covid-19 (Rapeli & Saikkonen, 2020).
C. PEMBAHASAN
1. Stabilitas Politik, Ekonomi dan Keamanan di Indonesia
Stabilitas Politik, ekonomi, dan Keamanan pemerintahan Jokowi
selama 2019-2020 benar-benar terguncang oleh Covid-19 yang sudah nyaris
satu tahun berada mewabah di republik ini. Banyak kegiatan terhenti
tidak sedikit yang dipaksakan terus dilanjutkan seperti pembangunan
83
infrastruktur, Pilkada, pemilihan kepala desa, aktifitas industry wisata
berangsur dijalankan. Ada upaya normalisasi kedaruratan yang tepat dan
banyak yang salah kaprah. Paradigma penyelematan manusia seringkali
dibayangi oleh ketakutan pada keruntuhan ekonomi yang notabene
juga tidak selalu terbukti. Sebagai contoh pembebasan wisatawan di
Yogyakarta berujung pada pembiayaan lebih tinggi akibat melonjaknya
kasus Covid-19 tersebut. Hari ini banyak orang menjebak dirinya sendiri
pada dilematis: kesehatan atau selesai wabah dulu atau menyelamatkan
ekonomi terlebih dahulu. Barangkali sudah menjadi tugas pemerintah
daerah untuk mengupayakan keduanya berjalan bersamaan dengan
kebijakan yang tegas, pasti dan efektif.
Aspek-aspek ini dibahas dan dianalisis secara terpisah untuk
memberikan gambaran rinci guna memberikan pemahaman yang jelas.
Salah satu bentuk sistem di suatu negara adalah politik. Politik ber-
dampak pada perekonomian karena politik akan memberikan batasan
dan lingkungan pasar sebagai bentuk kontrol terhadap konsumen dan
perusahaan (Harms, 2001). Ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari
tentang perilaku manusia, yang mempelajari hubungan antara ke-
terbatasan dan kelangkaan, serta dapat menggunakan berbagai metode
alternatif. Ekonomi politik adalah studi tentang bagaimana pengambil-
an keputusan mempengaruhi pilihan keputusan dan hasil ekonomi.
Kebijakan ekonomi tidak ditentukan oleh perencana sosial bebas bunga,
tetapi oleh perencana sosial dengan berbagai kepentingan. Kebijakan
ekonomi adalah hasil dari proses penyeimbangan konflik kepentingan
antara subjek yang berbeda (Sugden, 2009).
Berdasarkan data yang diambil dari seratus media online bereputasi
nasional, terdapat indikator dan variabel yang mempunyai relasi dalam
mempengaruhi stabilitas politik dan keamanan selama 2019 hingga 2020.
84
Gambar 1. Stabilitas Politik dan Keamanan
85
produktivitas. Indikator yang digunakan untuk mengukur instabilitas
politik adalah perubahan kabinet, indeks instabilitas rezim, indeks
kekerasan, dan indeks instabilitas politik (Aisen & Veiga, 2011).
Hal tersebut memperlihatkan bahwa terciptanya ketidakstabilitas
politik dan keamanan suatu negara di pengaruhi oleh banyaknya
faktor-faktor yang saling berkaitan dalam roda kehidupan. Faktanya,
Ketidakpastian kebijakan berdampak negatif dan signifikan terhadap
pertumbuhan (Ali, 2001). Ketidakstabilan pertumbuhan ekonomi akan
menyebabkan ketidakstabilan politik (diukur dengan protes sipil,
kekerasan sipil, perang saudara, kudeta, demokrasi dan kehancuran
demokrasi) (Brandt & Ulfelder, 2012).
Berdasarkan aspek ekonomi terdapat enam indikator yang mem-
pengaruhi pertumbuhan ekonomi, serta berdampak pada ketidakstabilan
politik dan keamanan di Indonesia.
86
krisis pandemik Covid-19, dengan pandemik virus yang mewabah di
beberapa negara belahan dunia sangat membuat pertumbuhan ekonomi
menurun. Oleh sebab itu, inflasi juga terjadi di Indonesia. Bukan
hanya pandemik Covid-19, ditahun 2019 terdapat isu permasalahan
perekonomian global yang menurun. Hal tersebut berdampak ke negara
Indonesia, pertumbuhan ekonomi indonesia menurun mengikuti per-
ekonomian global yang menurun. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia
sebesar 5,02%, hal tersebut lebih rendah dibandingkan pada capaian
tahun 2018 yang sebesar 5,17%. Kinerja ekspor di Indonesia juga telah
mengalami penurunan, hal ini dikarenakan lambatnya permintaan
global dan menurunnya harga komoditas global. Ekonomi dunia tahun
2019 diramal hanya akan tumbuh sebesar 3%, level terendah sejak krisis
finansial global pada tahun 2008 dan jauh dibawah proyeksi awalnya
yang sebesar 3,7%. Perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat
dan Cina sangat mempengaruhi perekonomian global. Terlepas dari itu
pengangguran dan PHK juga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Gambar diatas menunjukkan bahwa pengangguran memiliki
nilai 5.26%, dan PHK memiliki nilai sebesar 3.51%. Pandemik Covid-19
membuat bertambahnya pengangguran, dan banyaknya orang yang di
phk.
87
petahana. Tingginya angka golput di Denpasar tahun ini menggerus
tingkat partisipasi pemilih, bahkan pemilih kali ini turun dari gelaran
lima tahun yang lalu. Dari sata sejumlah daerah memperlihatkan jumlah
masyarakat yang enggan menggunakan hak pilihnya ke TPS, angka
tersebut melebihi suara calon kepala daerah yang mendapat suara
tertinggi. Di beberapa wilayah yang mengalami golput tinggi adalah
Medan, Depok, Kediri, Tangerang Selatan, dan Denpasar. Sebelumnya,
peneliti dari Litbang Kompas mengatakan, “berjalannya Pilkada serentak
2020 secara lancar tanpa memunculkan kerumunan karena memang
disebabkan tingkat partisipasi pemilih yang rendah”. Sementara,
partisipasi terendah pada Pilkada 2020 di Jawa Tengah yaitu Kabupaten
Grobogan, dengan angka 63,55%. Untuk Kota Surabaya sendiri, banyak
yang tidak ke TPS dan menggunakan hak pilihnya di Pemilihan Walikota
2020, ada sekitar 40-50 persen warga yang tidak menggunakan hak
pilihnya. Sedangkan di Kota Pasuruan -3,66% (2015 terdapat 79,61%
pemilih, berbanding tahun 2020 sebesar 75,95%). Rendahnya hak politik
yang digunakan dari masyarakat berhubungan dengan rasa ketakutan
yang melanda para pemilih untuk datang ke TPS, ketakutan masyarakat
yaitu karena khawatir tertular Coronavirus (Covid-19). Pada umumnya
pada saat kontestasi pesta demokrasi (Pemilu) tidak di pungkiri lagi
terjadi kerumunan di TPS.
88
Kebebasan berpendapat ini menjadi variable dari kebebasan sipil,
serta menjadi acuan dalam indekas demokrasi di suatu negara. Kebebasan
sipil, kebebasan berpendapat menjadi indikator yang penting dalam
melihat sejauh mana tingkat demokrasi yang di anut oleh suatu negara.
Sepanjang 2020 kebebasan berpendapat menjadi isu topik tersendiri,
dengan banyaknya kekerasan terjadi setelah orang-orang menyuarakan
keresahan mereka di realita maupun maya. Minimnya kebebasan
berpendapat berdasarkan gambar diatas menunjukkan angka 31%, dan
Kekerasan terhadap demonstran dengan angka senilai 20%. Dengan case
yang terjadi seperti intimidasi terhadap akademisi, aktivis mahasiswa,
aktivis HAM, aktivis perempuan hingga jurnalis. Kebebasan berpendapat
juga dirasakan oleh warga Papua, yang dilakukan pemblokiran internet,
dilanjutkan dengan penangkapan terhadap 35 aktivis politik. Minimnya
ruang kebebasan berpendapat terhadap warga sipil mengkonfirmasi
terjadi kemunduran demokrasi di Indonesia. Dalam pengukuran indeks
HAM diketahui, Hak sipil dan Politik memilki skor 2,8. Rinciannya yaitu
hak hidup sebesar 2,4, hak Kebebasan beragama dan berkeyakinan sebesar
2,5, hak memperoleh keadilan 3,2, ha katas rasa aman 3,1. Kemudian
Hak turut serta dalam pemerintahan sebanyak 4. Sedangkan kebebasan
berekspresi dan menyatakan pendapat sebesar 1,7, Hak Ekonomi, Sosial,
Budaya 3,1. Rinciannya Ha katas Kesehatan 3,6, Ha katas pendidikan
4,5, Ha katas pekerjaan 2,8, Ha katas tanah 2,9, dan Ha katas budaya 2,1,
sehingga total indeks sebesar 2,9. Dari keenam indikator yang digunakan
dalam hak sipil dan politik, hanya satu indikator yang mengalami
kenaikan dari 2019 ke 2020, yaitu indikator kebebasan beragama dan
berkeyakinan. Namun, kenaikan tersebut tidak cukup signifikan karena
angka kenaikan hanya sebesar 0,1 poin. Selain itu pembubaran diskusi
yang diselenggarakan Constitutional Law Society Fakultas UGM pada
Mei 2020 telah menunjukkan rendahnya kualitas penghargaan dan
penghormatan kebebasan berpendapat, terkhusus dalam lingkup
akademis (Beritasatu, 2020).
Sedangkan hasil survei yang dilakukan oleh Indikator Politik
Indonesia dengan hasil 21,9% sangat setuju, 47,7% agak setuju, 22,0%
kurang setuju, dan 3,6% tidak setuju dengan pertanyaan ‘Apakah
89
warga makin takut menyatakan pendapat?’(Kompasiana, 2020). Hasil
tersebut menandakan bahwa adanya indikasi kemerosotan dalam ke-
bebasan berpendapat, terlebih lagi di masa pandemik Covid-19 yang
memberlakukan kebijakan-kebijakan pembatasan sosial berskala besar,
dan membatasi kebebasan masyarakat yang mengakselerasi kemunduran
demokrasi. Menurut LBH, tindakan kekerasan fisik dan represifitas
yang dilakukan oleh aparat kepolisian menunjukkan bahwa negara
mengabaikan pemenuhan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi
(Suarajatim, 2020).
Sementara minimnya partisipasi pemilih terjadi bukan hanya di
Indonesia. Negara-negara lainnya yang mengadakan pemilihan selama
pandemik Covid-19 menghadapi banyak tantangan. Salah satu peristiwa
tersulit adalah “Merespon Masyarakat” terhadap perolehan status pemilih
dalam pemilu. Risiko terpapar virus Covid-19 menjadi pertimbangan
utama yang harus dipertimbangkan pemerintah. Negara harus
memastikan keamanan warganya melalui pemerintah untuk mengalihkan
hak memilih seaman dan senyaman mungkin. Jika tidak demikian, maka
dampak yang harus ditimbulkan adalah minimnya partisipasi pemilih
dalam pemilu. Menurut data yang diolah oleh International IDEA, rata-
rata tingkat partisipasi pemilih di negara-negara tempat diadakannya
Pemilu selama pandemik Covid-19 telah menurun dibandingkan dengan
pemilihan sebelumnya.
90
8 Kroasia Parlemen 5 Juli 2020 46,90% 52,59%
9 Singapura Parlemen 10 Juli 2020 95,81% 93,70%
10 Polandia Presiden 12 Juli 2020 68,18% 55,34%
91
mefasilitasi cuci tangan di 1.454 TPS, Sehingga Pilkada Serentak pada
tahun 2020 melanggar protokol kesehatan dan menjadi klaster Covid-19
(Al-Hamdi, 2020).
Gambar 4. Covid-19 Cluster Pilkada
92
kegiatan ilegal dalam Pilkada yang bisa kita gambarkan. Seperti halnya
pragmatisme politik, dengan merosotnya kondisi ekonomi akibat
pandemik Covid-19, ruang pragmatisme untuk berkembang semakin
terbuka. Benih-benih politik uang akan ada dimana-mana dan akan
berkembang biak dalam jiwa manusia yang kotor. Para penyelundup
(penunggang bebas) akan memanfaatkan situasi ini untuk memenang-
kan banyak kompetisi tidak sehat. Secara logika, jika persoalan ekonomi
masyarakat tidak diselesaikan, atau setidaknya dikurangi terlebih
dahulu, maka tidak akan ada demokrasi yang jujur, adil dan bermartabat.
Pasalnya, sistem bebas dan demokrasi yang kita anut saat ini hanya dapat
menjamin hak politik warga negara, tetapi seringkali mengabaikan hak
ekonomi yang seharusnya dijalankan secara paralel.
Transparansi pemerintah terhadap kasus Covid-19 pada klaster
Pilkada masih belum maksimal, atau masih sebatas praduga sementara,
dengan ketidakadanya klaster Pilkada di semua wilayah yang melakukan
Pilkada. Seperti apa yang di sampaikan oleh Mahfud MD bawasannya
“Alhamdulillah belum ada kasus kerumunan Pilkada itu menjadi klaster
baru. Apakah Covid-19 itu masih ada? Masih” (Kompas, 2020). Akan
tetapi, banyak media yang memberikan informasi bahwa terciptanya
klaster Virus corona di beberapa daerah yang melaksanakan Pilkada,
seperti di Banten dan Jawa Tengah. Menurut Ati Pramudji Astuti (2020)
bahwa Kabupaten Serang minggu ini zona merah, hal ini dampak dari
dominasi kasus positif dari klaster Pilkada (Kompas, 2020).
93
Perpu No. 2 yang menjelaskan bahwa apabila sebagian wilayah pemilihan
atau seluruh wilayah pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan,
bencana alam, bencana nonalam, atau gangguan lain yang mengakibatkan
sebagian tahapan pemilihan serentak tidak dapat dilaksanakan, sebagai
gantinya dilakukan setelah penetapan penundaan dengan keputusan
KPU, hingga berakhirnya pandemik Covid-19 dan kondisi psikologis,
sosial dan ekonomi masyarakat membaik.
Tidak ada pertimbangan dari pemerintah terhadap pelaksanaan
Pilkada di wilayah yang sifatnya zona merah terdampak pandemik
Covid-19. Hasil dari lembaga survei juga tidak menjadi bahan per-
timbangan dalam suatu keputusan kebijakan. Adapun hasil penelitian
yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survei terkait dengan pelaksanaan
Pilkada.
94
Selain itu terdapat juga hasil survey big data dari Polgov UGM
yang memberikan kredit pada rekomendasi dua ormas besar yaitu
Muhammadiyah dan NU yang meminta Pilkada diundur. Kedua ormas
ini berhasil membentuk opini publik yang sangat kuat dan mendapatkan
dukungan luas. Namun, pemerintah seolah tidak dapat menerima wacana
tersebut dan memaksakan pilkada dengan protokol kesehatan dan mitigasi
seadanya. Pengabaian sikap masyarakat sipil ini menjadi preseden buruk
dari beragam kebijakan pemerintahan Jokowi sejak periode pertama.
Masyarakat sipil selama ini justru menjadi wahana mendemokratisasikan
warga dan sumber daya yang sangat vital (Rohmaniyati.et al, 2006) dan
kelompok masyarakat sipil ini juga yang cukup kuat praktik politik
advokasi yang beragam (Efendi, 2019). Seharusnya tidak dimentahkan
begitu saja dan pemerintah perlu lebih apresiatif kepada prakarsa
masyarakat sipil yang jika diurai sangat besar dampaknya bagi kehidupan
demokratis. Kita bisa melihat serangkaian proses bagaimana rezim
pilkada serentak ini mempunyai derajat anti sains dengan mengabaikan
beragam peringatan ahli apidimeologi. Seolah, penyelenggara pilkada
itu menolak disiplinkan oleh pandemi danb cenderung mengkooptasi
pandemi untuk terus melanjutkan rencana pelaksanaan pemilu ini (Al-
Akbar & Efendi, 2020).
D. KESIMPULAN
Persoalan serius yang secara subtansi seperti menegasikan proses
asprirasi publik dalam tatakala penyelenggaraan pilkada ini. Banyak
elemen merekomendasikan pemunduran jadwal pelaksanaan namun
seruan itu tertolak—artinya pandemi ini bisa menjadi alat muadzin
bagi pentingnya demokrasi subtansial tetapi juga dalam kenyataannya
terancam oleh ambisi demokrasi procedural (sesuai jadwal). Memberikan
kredit pada masukan masyarakat sipil seperti Muhammadiyah dan NU
tentu saja akan memperkuat demokrasi secara subtansial berkelanjutan
dan sebaliknya mengabaikan suara-suara kekuatan CSO adalah wujud
konservatisme demokratis yang mengarah pada soft-authoritarian yang
justru akan mengancam kabaikan demokrasi itu sendiri. Tidak sedikit
penguasa negara demokrasi memasukkan Covid-19 ini sebagai ancaman
95
bagi demokrasi dengan membangun sebuah kebijakan yang buruk.
Mereka memanfaatkan pandemik ini untuk menopang bekerjanya pasar
kapitalistik, kesewenang-wenangan kekuasaan, informasi asimetris,
dan memperkuat dominasi oligarki. Tentu saja, Pilkada adalah pilar
desentralisasi demokrasi yang perlu mendapat dukungan namun
substansi demokrasi yang seharusnya membuka partisipasi publik seluas-
luasnya harus juga diarusutamakan—sehingga pandemi dan demokrasi
itu bisa diadaptasikan keduanya dalam rangka mendukung kehidupan
dan penghidupan demokrasi. Merawat manusia, merawat kehidupan
berbangsa adalah sangat vital dibandingkan hanya sekedar pelaksanaan
Pilkada tepat waktu. Jika moralitas procedural ini terus dipaksakan tidak
heran jika koruptor, penjahat lingkungan juga dapat menjadi kepala
daerah karena sudah melalui prosedur yang ditetapkan. Demokrasi
yang baik adalah demokrasi yang memanusiakan manusia, menghargai
keselamatan jiwa rakyat. Inilah moral demokrasi yang harus menjadi elan
vital dan nalar berbangsa.
Artikel ini berusaha memberikan kontribusi pada kajian bagaimana
pandemi dan demokrasi saling berinteraksi dan dalam beberapa hal
pandemi dibajak oleh aktor aktor demokrasi untuk melancarkan beragam
agenda yang dapat bertabrakan dengan demokrasi dan keselamatan
rakyat. Politisasi bencana dan pandemi atau krisis bukan hal baru dalam
dunia politik di Indonesia atau di negara-negara lain. Kajian ini mem-
berikan beberapa temuan kunci antara lain; pertama, bahwa pandemi
merupakan dua mata pisau yang dapat bergunana untuk proses
demokratisasi politik dan ekonomi tetapi dapat juga sebaliknya menjadi
alat untuk berbuat melawan demokrasi dan meneguhkan dominasi
oligarki di dalam proses pengambilan kebijakan dan pembangunan
pasar kapitalistik. Kedua, stabilitas ekonomi dan politik sangatlah
rentan di tengah pandemi sehingga penyelenggaraan Pilkada harusnya
juga memperhitungkan aspek kecukupan ekonomi dan pelayananan
kesehatan di tengah beragam hentakkan akibat krisis Covid-19 ini.
Terakhir, kekuatan masyarakat sipil yang kurang mendapat posisi di
dalam pengambilan kebijakan ke depan mutlak harusnya mendapat
96
apresiasi yang lebih luas dan proporsional sehingga agensi oenyangga
demokrasi ini dapat secara optimal menjaga kelestarin nalar dan praktik
demokratik-dengan segala kelemahannya menhadapi situasi demokrasi
oligarkis yang hadir di setiap perhelatan suksesi kekuasaan di level
nasional maupun lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Afsahi, A., Beausoleil, E., Dean, R., Ercan, S. A., & Gagnon, J. P.
(2020). Democracy in a Global Emergency Five Lessons from the
Covid-19 Pandemic. Democratic Theory, 7(2), v–xix. https://doi.
org/10.3167/dt.2020.070201
Aisen, A., & Veiga, F. J. (2011). How Does Political Instability Affect
Economic Growth? IMF Working Papers, 11(12), 1. https://doi.
org/10.5089/9781455211906.001
97
Chaniago, P. S. (2016). Evaluasi Pilkada Pelaksanaan Pilkada Serentak
Tahun 2015. Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review,
1(2), 196. https://doi.org/10.15294/jpi.v1i2.6585
https://www.idea.int/data-tools/world-view/40
Ijon, F. B., & Bingab, B. B. B. (2020). Covid-19 Pandemic and the 2020
Elections in Ghana. Journal of Scientific Research & Reports, 26(9),
94–102. https://doi.org/10.9734/JSRR/2020/v26i930312
98
Kompas. (2020). Soal Klaster Pilkada, Ahli Sebut Kasus Bertambah
karena Penelusuran Kontak Erat Sangat Lemah. diambil dari
Kompas.Com.
https://doaj.org/article/8f84c9b4e5474466a345d1a1ba5270ab
Laila, R. R., Sos, S., Si, M., & Agus, I. H. I. (2020). Analisis Sosialisasi
Politik Masa Pandemi Covid 19 Dalam Menghadapi Pemilu Serentak
Tahun 2020 (Studi Kasus di KPU Kota Sungai Penuh ). 2(4), 32–38.
https://doi.org/10.26593/jihi.v0i0.3859.121-130
https://www.harianbhirawa.co.id/waspada-politik-uang-pilkada-di-
tengah-pandemi/
Rapeli, L., & Saikkonen, I. (2020). How Will the Covid-19 Pandemic
Affect Democracy? Democratic Theory, 7(2), 25–32. https://doi.
org/10.3167/DT.2020.070204
99
Ravallion, M. (1992). On “hunger and public action”: A Review Article
on the Book by Jean Drèze and Amartya Sen. World Bank Research
Observer, 7(1), 1–16.
https://doi.org/10.1093/wbro/7.1.1
https://doi.org/10.14710/crepido.2.2.85-96
100
Taufiq, Muhammad. (2020). Selama 2020, 563 Orang Jadi Korban
Kekerasan Aparat Saat Demo Omnibus Law. Suarajatim.Id.
https://doi.org/10.3167/DT.2020.070208
101
Tentang Editor
287
Mitos Superioritas Barat, Membangun Kesetaraan Peradaban (Samudra Biru,
2019), Teknik Alokasi Suara Menjadi Kursi di Parlemen (Lab IP UMY, 2019),
Paradigma Politik Muhammadiyah: Epistemologi Berpikir dan Bertindak Kaum
Reformis (IRCISOD, 2020), Ambang Batas Pemilu: Pertarungan Partai dan
Pudarnya Ideologi di Indonesia (UMY Press, 2020), Penelitian Kualitatif:
Pegangan Mahasiswa Ilmu Pemerintahan (Pustaka Pelajar, 2020), dan Soliditas
Partai Islam: Pengalaman PKS di Pemilu 2014 (bersama Dyah Mely Anawati;
Samudra Biru, 2021). Pernah menjadi editor di beberapa buku: Pemilu 2019
di Mata Milenial: Catatan dari Bilik Suara 17 April 2019 (Samudra Biru & Lab
IP UMY, 2020) dan Buku Covid-19 dalam Perspektif Governance (Samudra
Biru & Prodi IP UMY, 2020). Aktif juga menulis artikel ilmiah di berbagai
jurnal nasional maupun internasional serta penerima hibah riset berbagai
skema. Untuk berkomunikasi, bisa melalui e-mail: ridhoalhamdi@umy.
ac.id dan bisa dijumpai di https://ridhoalhamdi.id.
288
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Buku yang pernah ditulis antara lain:
Perencanaan Strategis Kepariwisataan Daerah, Manajamen SDM Pemerintahan
dan Tata Kelola Pariwisata-Bencana Berbasis Collaborative Governance.
289
Tentang Penulis
290
Helen Dian Fridayani adalah mahasiswa doktor pada Program Studi
Ekonomi Politik, Universitas Nasional Cheng Kung (NCKU), Taiwan.
Pendidikan sarjana dan magisternya ditamatkan di Program Studi Ilmu
Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Herdin Arie Saputra adalah lulusan Magister Ilmu Pemerintahan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Kini dia menjadi dosen pada
Universitas Muhammadiyah Semarang, Jawa Tengah.
Mia Sarmiasih adalah adalah sarjana lulusan Program Studi
Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta. Kini, dia sedang menyelesaikan studi
Magister Politik Pemerintahan di Universitas Gadjah Mada.
Moch Edward Trias Pahlevi adalah lulusan sarjana Program Studi
Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta. Pendidikan magisternya diselesaikan pada
program yang sama. Kini dia adalah koodinator Komite Independen
Sadar Pemilu.
Muchamad Zaenuri adalah dosen sekaligus Ketua Program Studi
Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta. Pendidikan doktornya diselesaikan di
Univesitas Brawijaya, Malang.
Muhammad Eko Atmojo adalah dosen sekaligus sekretaris Program
Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dia merupakan lulusan sarjana
dan magister Ilmu Pemerintahan di kampus yang sama.
Muhammad Yusuf adalah dosen pada Program Studi Ilmu
Pemerintahan, Universitas Jambi.
M. Lukman Hakim adalah mahasiswa Magister Administrasi Publik
di Universitas Gadjah Mada
M. Rafi adalah mahasiswa pada Program Magister Ilmu
Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Pita Anjarsari merupakan salah satu anggota Komisi Pemilihan
Umum (KPU) Kota Madiun, Jawa Timur.
Rahmawati Husein adalah dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah
291
Yogyakarta. Pendidikan doktornya diselesaikan di A&M Texas University,
Amerika.
Ridho Al-Hamdi adalah dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta. Pendidikan doktornya diselesaikan di Universitas TU
Dortmund, Jerman.
Sanny Nofrima adalah sarjana lulusan Program Studi Ilmu
Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta. Kini dia adalah mahasiswa Magister Ilmu
Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Suswanta adalah dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Kini dia adalah ketua Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan di
kampus yang sama. Pendidikan doktornya diselesaikan di Univesitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Titin Purwaningsih adalah dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta. Kini dia adalah dekan FISIPOL di kampus yang sama.
Pendidikan doktornya diselesaikan di Universitas Indonesia, Jakarta.
Tunjung Sulaksono adalah dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta. Pendidikan doktornya diselesaikan di Univesitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Vindhi Putri Pratiwi adalah sarjana lulusan Program Studi Ilmu
Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta. Kini dia adalah mahasiswa Magister Ilmu
Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
292