Anda di halaman 1dari 46

PENGARUH PENGGUNAAN FILLER ER-7016 DAN ER-4043

PADA PENGELASAN DISSIMILAR TUNGSTEN INERT GAS


(TIG) ANTARA ALUMUNIUM 6061 DAN BAJA SS400
TERHADAP SIFAT FISIS

SKRIPSI

Oleh
Wahyu Arif Rochman
NIM H42171702

PROGRAM STUDI MESIN OTOMOTIF


JURUSAN TEKNIK
POLITEKNIK NEGERI JEMBER
2021
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada era modern saat ini, banyak sekali dijumpai kontruksi, alat kerja, dan
kendaraan berbahan material logam misal kontruksi bangunan, pembuatan
peralatan konvensional, kontruksi mesin serta rangka kendaraan, dll. Logam
tersebut tidak akan bisa terbentuk apabila tidak disambung sedemikian rupa
menggunakan metode pengelasan, dan logam tersebut memiliki sifat yang
berbeda-beda sesuai tingkatan fisik, mekanik, thermal dan korosif. Sebelum
melakukan pengelasan sebaiknya memperhatikan sifat logam yang akan dilas dan
metode pengelasan yang cocok dengan logam tersebut. Seiring perkembangan
teknologi dan kebutuhan pengelasan, metode pengelasan saat ini lebih sederhana
dan juga memiliki kualitas las yang lebih rapi dan kuat. Saat ini penggunan logam
sangat dibutuhkan terutama pada bidang otomotif seperti kontruksi kendaraan
baik kendaraan ringan maupun berat. Solusi untuk meningkatkan kualitas logam
dalam penggunaan bahan baku kontruksi kendaraan yaitu perlu adanya komposisi
logam yang paling baik dengan menambahkan logam pengisi (filler) sebagai
penambah logam utama. Selain itu senyawa logam dapat disambung dengan
senyawa tidak sejenis lainnya (dissimilar) seperti alumunium dan baja yang
memiliki keunggulan masing-masing sehingga memiliki dua sifat yang berbeda
dalam satu lingkup. Hal tersebut seringkali dijumpai pada pengembangan bidang
kontruksi seperti kontruksi lambung kapal yang membutukan logam yang kuat
seperti baja dan alumunium untuk bagian tahan terhadap korosi karena
bersentuhan langsung dengan air laut.
Salah satu metode pengelasan yang memiliki hasil kualitas yang baik
untuk menunjang konstruksi yang kuat, aman dan tahan lama yaitu Tungsten Inert
Gas (TIG) atau disebut juga Gas Tungsten Arc Welding (GTAW) adalah proses
pengelasan menggunakan panas dari busur listrik yang terbentuk antara elektroda
tungsten yang tidak terumpan dengan menggunakan gas mulia sebagai pelindung
terhadap pengaruh udara luar, sehingga tidak menghasilkan terak (kotoran las) dan
bebas dari terbentuknya percikan las (spatter). Elektroda menggunakan batang
wolfram yang dapat menghasilkan busur listrik tanpa ikut mencair, kecepatan
pengumpanan logam pengisi dapat diatur terlepas dari besarnya arus listrik
sehingga penetrasi (penembusan) pengelasan akan dapat dikendalikan dengan
baik.
Ada beberapa material yang bisa di lakukan pengelasan yaitu produk
berbahan logam seperti baja karbon rendah dan baja karbon tinggi. Saat ini teknik
pengelasan logam yang dikembangkan yaitu adalah teknik penyambungan dua
jenis logam tidak sejenis atau dissimilar metal. Sambungan logam tidak sejenis
merupakan penyambungan dua jenis logam yang berbeda sifatnya dengan
cara dilas. (Romdhoni et al, 2019)
Metode Liquid Penetrant Test (dye penetrant) merupakan metode NDT
(Non destructive Test) yang paling sederhana namun mempunyai keunggulan
berupa kecepatan dan keakuratan dalam mendeteksi defect yang ada di
permukaan. Metode ini digunakan untuk menemukan cacat di permukaan terbuka
dari komponen solid, baik logam maupun non logam, seperti keramik dan plastik
fiber. Melalui metode ini, cacat pada material akan terlihat lebih jelas dengan
melihat indikasi pada permukaan benda uji setelah disemprotkan cairan developer
yang kemudian di sket untuk dijadikan pelaporan kerja yang nantinya akan
diterjemahkan untuk acceptance criteria. (Tito dkk, 2017)
Struktur mikro pada logam las terbentuk pada saat transformasi fase dari
austenit ke ferit dan dipengaruhi banyak faktor seperti komposisi kimia, logam
pengisi (filler), logam induk, inklusi, masukan panas, dan laju pendinginan.
Struktur mikro yang terbentuk dari patahan uji tarik akan menentukan
karakteristik suatu benda hasil lasan. Struktur logam pada sambungan akan
berubah secara berangsur dari struktur logam induk menuju ke daerah HAZ
kemudian menuju ke struktur logam las. Pada daerah HAZ yang dekat dengan
garis lebur, kristalnya akan mengalami pertumbuhan dengan cepat pada proses
pengelasan berlangsung sehingga membentu butir-butir kasar. Butiran kasar yang
terjadi pada daerah HAZ akan menyebabkan material menjadi sangat getas.
Sehubungan dengan hal tersebut maka pengurangan penggetasan pada batas las
dapat menjamin ketangguhan las. (Aji Raditya, 2016)
Wayan Pradnya Prastita, dkk (2017), meneliti tentang pengelasan SMAW
pada baja paduan rendah SS 400 4 spesimen Fakultas Teknik Unjani dengan
ukuran 200 x 100 x 10 mm. Proses pengelasan dengan posisi bawah tangan (1G),
menggunakan kampuh V. Jenis Elektroda yang digunakan adalah Elektroda
E7016 dan E7018 berdiameter 3,2 mm dengan variasi arus 80 A, 100 A, dan 120
A. Kajian penelitian ini dititk beratkan pada analisa hasil cacat las yang terjadi
pada proses pengelasan SMAW dengan menggunakan pengujian Ultrasonik
Phased Array. Penelitian ini menggunakan dua metode, yaitu metode eksperimen
seperti pengumpulan data langsung dan metode literatur, yaitu pengumpulan data
yang diperoleh secara tidak langsung seperti pada buku, bahan bacaan, modul,
atau media cetak yang berhubungan dengan obyek yang diteliti dan dapat
dipertanggung jawabkan kebenarannya. Hasil pada pengelasan E7016 dan E7018
arus 80 ampere dan 100 ampere banyak ditemukan cacat las jenis slag inclusion
dan lack of fusion dengan volume cacat slag terbesar yaitu 155 dan volume cacat
lack of fusion terbesar yaitu 140. Sedangkan pada arus 120 ampere tidak
ditemukan cacat didalam area logam las. Namun semua benda kerja hasil las telah
terindikasi cacat las jenis incomplete penetration dan undercut pada daerah root
dan permukaan las. Sesuai data tersebut dapat diketahui hasil las dengan
menggunakan elektroda E7016 dan E7018 diameter 3.2 mm pada arus 120 ampere
adalah parameter las dengan hasil lasan terbaik.
Atas dasar tersebut penelitian kali ini menggunakan material baja karbon
rendah SS400 disambung menggunakan material alumunium 6061 untuk
dijadikan bahan pengelasan TIG. Aluminium 6061 tergolong aluminium seri 6xxx
dengan elemen pemadu magnesium dan silicon, paduan jenis ini termasuk dalam
jenis yang mempunyai sifat mampu potong dan daya tahan korosi yang cukup
baik. Kelemahan aluminium dan paduannya ditinjau dari proses
penyambungannya yaitu sulit dilakukan dengan pengelasan cair, hal ini
disebabkan karena aluminium mempunyai lapisan aluminium oksida pada
permukaannya, alumunium 6061 mempuyai lapisan oksida Al2O3 memiliki titik
cair sekitar 2.050ºC yang lebih tinggi dari logam induknya aluminium hanya
sekitar 660ºC. Apabila paduan aluminium ini menerima panas selama operasi
pengelasan maka mungkin saja terjadi logam induk telah mencair sementara
lapisan oksidanya belum atau tidak mencair sama sekali. Masalah ini dapat
mengakibatkan sulitnya terjadi pencampuran apabila dalam pengelasannya
melibatkan logam pengisi (Sonawan dan Suratman, 2004: 131-132).
Penggunaan baja SS400 sebagai sambungan alumunium dikarenakan
banyak material yang digunakan pada bidang industri kontruksi mengalami
kondisi patah. Baja SS400 tergolong baja karbon rendah dengan kadar karbon
<0,30% dan titik cair 1495-1525ºC yang memiliki keuletan yang tinggi namun
tidak tahan terhadap korosi tetapi dan biasanya digunakan dalam kontruksi umum,
pelat kapal, oil tank, dll. Sedangkan alumunium 6061 memiliki ketahanan korosi
dan penghantar listrik yang baik namun tidak sekuat baja. Oleh karena itu
penelitian kali ini menganalisa bagaimana sifat fisis sambungan las antara
alumunium 6061 dengan baja SS400 dengan menggunakan logam pengisi yang
berbeda yaitu ER7016 dan ER4043 serta parameter lain seperti besar arus,
kecepatan pengelasan, besar aliran gas pada saat pengelasan, dll. Metode
pengujian yang digunakan yaitu pengujian NDT (Non Destructive Test) dye
penetrant test dan uji struktur mikro yang diharapkan mampu menghasilkan
komposisi material sambungan dengan sifat fisis yang baik.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang dapat diuraikan berdasarkan latar belakang
tersebut adalah:
1. Bagaimana pengaruh penggunaan filler ER7016 dan ER4043 terhadap
struktur mikro.
2. Bagaimana pengaruh penggunaan filler ER7016 dan ER4043 terhadap
cacat pengelasan yang terjadi.
3. Bagaimana variasi parameter pengelasan dengan hasil yang paling baik.

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan yang dapat diambil dari hasil penilitian yang dilakukan
antara lain:
1. Mengetahui struktur mikro hasil lasan antara alumunium 6061 dan baja
SS400 akibat variasi filler.
2. Mengetahui tingkat dan bentuk cacat pengelasan yang terjadi akibat variasi
filler.
3. Mengetahui komposisi parameter pengelasan paling baik akibat variasi
filler.

1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang dilakukan:
1. Setelah mengetahui struktur mikro pada benda hasil lasan, maka penelitian
ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang perubahan struktur
mikro akibat proses pengelasan TIG dengan variasi jenis filler.
2. Setelah mengetahui tingkat dan bentuk cacat pengelasan pada sambungan
alumunium 6061 dan baja SS400 akibat variasi jenis filler, maka dari hasil
tersebut dapat digunakan sebagai acuan menentukan filler dan parameter
lain yang tepat untuk mendapatkan hasil sambungan dengan sifat fisis
yang sesuai tuntutan.
3. Dapat menambah ilmu cara mengidentfikasi cacat pengelasan
menggunakan metode NDT (Non Destructive Test).
4. Dapat dijadikan sebagai acuan peneliti selanjutnya tentang variasi filler
pada dissimilar material pengelasan GTAW terhadap cacat pengelasan.

1.5 Batasan Masalah


Berikut batasan masalah yang ada penilitian yang dilakukan:
1. Jarak dan sudut pengelasan pada penelitian dianggap sama.
2. Bahan material yang digunakan tidak sejenis yang memiliki titik cair yang
berbeda.
3. Model sambungan dalam pengelasan ini yaitu tipe sambungan single V
butt joint sudut 60°.
4. Sistem pendinginan hanya melalui udara dan suhu lingkungan.
5. Metode NDT (Non Destructive Test) yang dilakukan hanya dye penetrant
test dan visual inspection.
6. Hanya mengidentifikasi cacat secara fisik dan tidak diuji secara mekanik.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu


Sanuri dkk, 2016. Melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Kuat
Arus Listrik dan Laju Alir Gas Pelindung Terhadap Struktur Mikro dan Kekuatan
Tarik-Geser Sambungan Las TIG Logam Tak Sejenis Alumunium Paduan 5052-
Baja Galvanis dengan Filler Al-Si 4043”. Variasi arus yang digunakan yaitu 70A,
80 A, 90 A dan laju alir gas pelindung 10 L/menit, 12 L/menit, 14 L/menit dengan
kecepatan pengelasan konstan 60 mm/menit. Spesimen yang digunakan yaitu Plat
alumunium paduan A5052 dan baja galvanis berdimensi 200 x 80 x 1.2 mm dan
panjang overlap sambungan las 25 mm dengan tipe sambungan lap joint standart
AWS. Pengujian struktur makro dan mikro menggunakan mikroskop optik dengan
perbesaran 20x untuk struktur makro, 100X dan 200X untuk struktur mikro .
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui bentuk, susunan, dan ukuran butir.
Prosedur pengetsaan untuk pengamatan mikroskop menggunakan Modified
Poulton Reagent pada alumunium dengan komposisi campuran 6 gram CrO3 ,15
ml HCl, 20 ml HNO3 dan 1,25 ml HF dilarutkan dengan 21,25 ml aquades.
Hasil dari penelitian ini yaitu. Semakin meningkatnya kuat arus listrik
maka penetrasi filler semakin bertambah. Semakin meningkatnya laju alir gas
pelindung maka bisa memperhalus hasil lasan dan memperkecil jumlah porositas.
Semua variasi memiliki struktur mikro yang terdiri dari Al-Si dan α-Al pada
bagian lasan. Semakin tinggi kuat arus listrik dan laju alir gas pelindung maka
ukuran butir pada area lasan, HAZ (Heat Affected Zone) alumunium, dan HAZ
baja galvanis semakin mengecil. Kekuatan tarik-geser meningkat dari variasi kuat
arus 70 A sampai 80 A kemudian turun pada variasi kuat arus listrik 90 A.
Meningkatnya kekuatan tarik-geser sebanding dengan bertambahnya laju alir gas
pelindung. Kekuatan tarik-geser sambungan las tertinggi terjadi pada kuat arus
listrik 80 A dan laju alir gas pelindung 14 liter/menit sebesar 95,3 MPa dan ikatan
paling kuat terjadi pada daerah fusi alumunium paduan dengan filler.
Abdul dkk, 2019. Melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Arus
Pengelasan GTAW Terhadap Kekuatan Tarik dan Cacat Pengelasan pada
Alumunium 5083. Variasi arus yang digunakan pada penelitian ini yaitu 80A,
95A, 125A, dan 150A. Spesimen yang digunakan material alumunium seri 5083
standart uji tarik ASTM E-8 dengan dimensi 100mm × 100mm dengan variasi
ketebalan 4mm dan 6mm. Dalam penelitiannya menggunakan sambungan single
V butt joint dengan sudut 60°, pengujian untuk melihat cacat pengelasan
menggunakan metode NDT (Non Destructive Test) yaitu dye penetrant test dan
posisi pengelasan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah 1G Down
Hand, kemudian diuji menggunakan Magnetic Test atau kaca pembesar.
Hasil dari penelitian ini yaitu pada ketebalan 6 mm dengan arus 80 ampere
dan 95 ampere terjadi cacat undercut dan tungsten inclusion, namun pada arus 120
ampere dan 150 ampere hanya cacat undercut akibat ampere yang tinggi.
Sedangkan pada ketebalan 4 mm cacat yang terjadi yaitu undercut pada semua
arus ditambah hanya 120 ampere cacat tungsten inclusion.
Yusup dkk, 2018. Melakukan penelitian dengan judul “Analisa Variasi
Arus Las GTAW Menggunakan Filler ER308l pada Material Stainless Steel
JIS410JL”. Variasi Arus yang digunakan yaitu 150A, 200A, dan 250A dengan
dimensi spesimen 200mm × 100mm dan tebal 6mm. Spesimen yang diuji
sebanyak 6 sampel diamana 3 sampel variasi arus menggunakan uji dye penetrant
test untuk melihat cacat pengelasan dan 3 lagi menggunakan uji tarik standart
ASTM E-8 kemudian dilihat menggunakan uji struktrur mikro untuk melihat
struktur material setelah diuji tarik. Pada pengujian dye penetran test standar
ASME IX dapat dilihat sampel pertama 150A terdapat cacat pada las (Stop Start)
L: 3,8 dan P: 7,0. Sampel kedua 200A terdapat cacat pada las (Stop Start) L: 6,0
dan P: 11,0. Sampel ketiga 250A terdapat cacat pada las (Stop Start) L: 8,7 P:
12,7. Dari data diatas menunjukan bahwa semua sampel diterima karena telah
direparasi sesuai standar ASME IX.
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu nilai tegangan luluh terhadap variasi
arus ditinjau dari grafik tegangan luluh diperoleh nilai tertinggi pada arus 250
ampere dengan nilai 384,105 MPa. Tegangan maksimal terhadap variasi Arus
diperoleh kekuatan tertinggi pada arus 150 ampere dengan kuat tarik sebesar
812,871 MPa. Perpanjangan yang terjadi pada material dasar sebesar 50,06 mm,
setelah dilakukan pengelasan dengan variasi arus mengalami penurunan, nilai
tertinggi setelah dilakukan pengelasan adalah pada arus 150 Amper dengan
perpanjangan 45,74 mm. Nilai regangan antara material dasar dengan variasi
parameter pengelasan cenderung menurun. Nilai regangan pada material dasar
adalah 47,67 %. Nilai regangan tertingi setelah dilakukan pengelasan adalah 150
Amper dengan nilai 43,56 %. Struktur mikro pada pengelasan dengan parameter
arus menghasilkan struktur yang sama, yaitu terdapatnya fasa martensite,
austenite, ferrite, unsur crom, nikel dan karbida crom.

2.2 Klasifikasi Alumunium


Alumunium merupakan logam ringan dengan unsur yang sangat reaktif
dan mudah teroksidasi. Oleh sebab itu penggunaan alumunium dalam kehidupan
sehari-hari terbanyak ke dua setelah baja. Material alumunium banyak dijumpai
pada alat-alat rumah tangga maupun kontruksi kendaraan dan bangunan
diakarenakan sifat alumunium ringan, mudah didapat, dan tahan korosi. Akan
tetapi alumunium memliki kekurangan yaitu kurang kuat untuk menopang benda
yang berat karena berat alumunium satu pertiga dari baja. Alumunium termasuk
unsur yang banyak ditemukan di kerak bumi yaitu sebesar 8,3% dan terbanyak
setelah oksigen (45,5%) dan silicon (25,7%).

2.2.1 Sifat Alumunium


1. Ringan
Berat jenis alumunium hanya 2,7 gr/cm3, sedangkan besi 8,1 gr/cm3
2. Tahan korosi
Sifat tahan korosi dikarenakan adanya lapisan alumunium oksida(Al2O3)
pada permukaan alumunium akibat reaksi alumunium dengan komponen
udara. Lapisan ini membuat tahan terhadap korosi sekaligus tahan
terhadap goresan.
3. Penghantar panas dan listrik yang baik
Memiliki kemampuan penghatar panas dan listrik yang baik dibawah
tembaga namun sebanding dengan massanya yang ringan dibandingkan
dengan tembaga yang memiliki massa yang lebih berat.
4. Mudah ditempa
Alumunium memiliki sifat yang mudah dibentuk dengan bentuk sesulit
apapun dan mudah dalam sistem pengecoran apapun.
5. Mudah dipadukan dengan unsur lainnya
Kelamahan dari alumunium adalah tidak mampu menahan beban berat
karena ringan. Kelemahan tersebut dapat ditingkatkan dengan paduan
unsur lain sepert Cu, Mg, Si, Mn, Zn, dan Ni.
6. Elastisitas rendah
Alumunium memiliki tingkat elastisitas yang sangat rendah yang artinya
tidak dapat diperbaiki dengan paduan unsur lain maupun heat treatable.

2.2.2 Jenis paduan alumunium


a) Alumunium murni(Li)
Memiliki kandungan 99% alumunium tanpa tambahan unsur lain. Hanya
memiliki kekuatan tensil 90 Mpa dan bersifat lunak. Untuk penggunaan
secara luas perlu dilakukan paduan unsur lain.
b) Alumunium – Silikon
Paduan alumunium dan silicon(Si) dengan konsentrasi 15% dapat
meningkatkan kekuatan tensil yang cukup tinggi hingga 525 Mpa dengan
perlakuan heat treatment. Namun apabila konsentrasi lebih dari 15%
tingkat kerapuhan akan meningkat secara drastis dikarenakan terbentuknya
kristal granula silica.
c) Alumunium – Magnesium
Paduan alumunium dan magnesium(Mg) akan mengakibatkan titik lebur
turun dari 660° C menjadi 450° C. Paduan ini perlu perhatian karena titik
lebur yang rendah, namun paduan ini dapat bekerja baik pada temperature
rendah.

d) Alumunium - Tembaga
Pada paduan alumunium dan tembaga(Cu) menghasilkan material yang
lebih kuat dan keras namun rapuh jika konsentrasi paduan tembaga lebih
dari 5,6%.
e) Alumunium – Mangan
Paduan alumunium dan mangan(Mn) dapat meningkatkan tensil yang
tinggi sehingga material lebih keras dan tidak terlalu rapuh. Dan juga
meningkatkan titik lebur pada paduan ini.
f) Alumunium – Seng
Paduan alumunium dan seng(Zn) merupakan paduan dengan kekuatan dan
kekerasan terbaik dibandingkan dengan paduan lainnya. Kandungan 5,5%
seng pada alumunium memiliki kekuatan tensil sebesar 580 Mpa.
g) Alumunium – Lithium
Paduan alumunium dan lithium(Li) dapat mengakibatkan pengurangan
massa jenis dan peningkatan modulus elastisitas material. Alumunum ini
tidak lagi diproduksi dikarenakan reaktivitas lithium yang tinggi
mengakibatkan biaya keselamatan kerja juga tinggi.
h) Alumunium – Skandium
Penambahan scandium(Sc) ke aluminium membatasi pemuaian yang
terjadi pada paduan, baik ketika pengelasan maupun ketika paduan berada
di lingkungan yang panas. Paduan ini semakin jarang diproduksi, karena
terdapat paduan lain yang lebih murah dan lebih mudah diproduksi dengan
karakteristik yang sama, yaitu paduan titanium. Paduan Al-Sc pernah
digunakan sebagai bahan pembuat pesawat tempur Rusia, MIG, dengan
konsentrasi Sc antara 0,1-0,5% (Zaki, 2003, dan Schwarz, 2004).
i) Alumunium – Besi
Paduan alumunium dan besi(Fe) dapat mengakbatkan tensil menurun
secara drastis namun tingkat kekerasan meningkat hanya sedikit. Oleh
karena itu persentase paduan besi diperlukan hanya sedikit saja dan juga
bisa ditambah dengan unsur lain yang lebih baik
2.2.3 Seri Alumunium
Al murni (seri 1000)
Paduan tidak dapat diperlakukan Paduan Al-Mn (seri 3000)
panas (Non Heat Treatable) Paduan Al-Si (seri 4000)
Paduan Al-Mg (seri 5000)
Al Paduan
Paduan Al-Cu (seri 2000)
Paduan dapat diperlakukan
Paduan Al-Mg-Si (seri 6000)
panas (Heat Treatable)
Paduan Al-Zn (seri 7000)
Paduan Al-Si (Silumin)
Non-heat-treatable alloy
Paduan Al-Mg
Al Paduan coran
(Hydronarium)
Paduan Al-Cu (Lautal)
Heat-treatable alloy Paduan Al-Si-Mg (Silumin,
Lo-ex)

Pada paduan Al-Mg seri 5000 terbagi menjadi beberapa macam seri secara
umum yaitu seri 5005, 5050, 5052, 5056, dan 5083.
Jenis Al-Mg (seri 5000) Kandungan Mg Kegunaan
Seri 5005 0,8% Sebagai batang profil extrusi
Pipa saluran minyak dan gas pada
Seri 5050 1,2%
kendaraan
Seri 5052 2,5% Cocok pada lingkungan air laut dan
bahan arstektur.
Seri 5056 5% Bahan kawat dan pin engsel
Seri 5083 4,5% Bahan untuk tangki

Alumunium 5052 merupakan salah satu paduan non-heat treatable dengan


kekuatan lebih tinggi (lebih kuat dari 1100 dan 3003). Paduan 5052 memiliki
karakteristik yang sangat baik dengan kekuatan titik lebur tinggi digunakan untuk
struktur yang kuat terhadap getaran. Alumunium 5052 juga memiliki ketahanan
terhadap korosi yang sangat baik, terutama di atmosfer laut dan oleh karena itu
umumnya digunakan pada kapal, komponen laut, bahan bakar dan tabung minyak.
Adapun klasifikasi lengkap kandungan dan sifat fisik yang ada pada alumunium
5052:
Kandungan kimia (% berat) Sifat fisik
Massa Konduktivita Titik
Si Fe Cu Mn Mg Zn Cr Al
Jenis s Lebur
Thermal
607° C –
0,25 0,40 0,10 0,10 2,5 0,10 0,2 Sisa 2,7 g/cm3 138 W/mK
649° C
5
Tabel 1 Klasifikasi alumunium 5052
(Sumber: Yuda Surya, 2013)

Paduan Aluminium 5052 merupakan paduan aluminium, dengan


magnesium sebagai elemen paduan utama sedangkan elemen lain hanya
pelengkap dengan konsentrasi yang relatif kecil. Material ini digunakan dalam
aplikasi yang memerlukan kekuatan tinggi dan rasio berat, serta ketahanan lelah
yang baik. Oleh karena itu pengelasan aluminium seri ini hanya melalui
pengelasan gesekan, dan memiliki machinability rata-rata. Alumunium 5052
memiliki sifat mekanis yang cukup tinggi yaitu tegangan tarik maksimum 228
MPa dan tegangan luluh 193 MPa. Material jenis ini banyak sekali digunakan
untuk aplikasi pada temperatur rendah (kapal), pesawat terbang, peralatan rumah
tangga dan struktur otomotif.

2.3 Pengelasan
Pengelasan adalah suatu proses menyatukan 2 buah logam atau lebih
menjadi suatu bentuk sambungan dengan menggunakan proses panas. Panas
tersebut diperlukan untuk mencairkan bagian logam yang akan disambung dengan
elektroda sebagai bahan tambah atau filler. (Suwahyo 2011).

2.3.1 Las GTAW (Gas Tungsten Arc Welding)


Las busur listrik merupakan suatu proses penyambungan logam dengan
menggunakan tenaga listrik sebagai sumber panas. Menurut Bernados (1885)
bahwa busur yang terjadi di antara katoda karbon dan anoda logam dapat
meleburkan logam sehingga dapat bisa dipakai untuk penyambungan 2 buah
logam. Proses pengelasan dibagi menjadi beberapa jenis, dan las GTAW
merupakan salah satu jenis pengelasan yang sering digunakan dalam proses
produksi, kontruksi, perbaikan, dll. Las busur listrik dapat dibagi antara lain:
1) Las Elektroda Karbon Las Busur Rendam
2) Las Elektroda Terbungkus dan Las Busur CO2
3) Las TIG dan MIG
4) Las Busur dengan Elektroda berisi Fluks
Las GTAW (Gas Tungsten Arc Welding) merupakan jenis las listrik yang
menggunakan bahan tungsten sebagai elektroda tidak terkonsumsi. Elektroda ini
hanya berfungsi untuk menghantarkan arus listrik dari sumber daya ke logam
induk sehingga menghasilkan busur nyala listrik yang mempunyai energi panas
yang tinggi, kemudian bahan penambah berupa batang logam pengisi (filler rod)
yang dicairkan oleh nyala busur mengisi daerah lasan. Penambahan gas argon
digunakan sebagai gas pelindung untuk mencegah terjadinya oksidasi udara luar
terhadap cairan logam yang dilas.

2.3.2 Prinsip Las GTAW (Gas Tungsten Arc Welding)


Prinsip pengelasan GTAW menggunakan gas pelindung untuk mencegah
terjadinya oksidasi pada bahan las yang panas. Untuk menghasilkan busur nyala,
digunakan elektroda yang tidak terkonsumsi terbuat dari logam tungsten atau
paduannya yang mempunyai titik lebur sangat tinggi (Sriwidharto, 2006).
Gambar 1 Proses Pengelasan Gas Tungsten Arc Welding (GTAW)
(Sumber: Aljufri, 2008)
Busur nyala dihasilkan dari arus listrik melalui konduktor dan
mengionisasi gas pelindung. Busur terjadi antara ujung elektroda tungsten dengan
logam induk. Panas yang dihasilkan busur langsung mencairkan logam induk dan
juga logam las berupa kawat las (rod). Penggunaan kawat las tidak selalu
dilaksanakan (hanya jika dirasa perlu sebagai logam penambah). Pencairan kawat
las dilaksanakan di ujung kolam las yang sambil proses pengelasan berjalan.
Terdapat 4 (empat) komponen dasar atau komponen utama dari las GTAW, yaitu
(Sriwidharto, 2006):
1) Obor (torch)
2) Elektroda tidak terkonsumsi (tungsten)
3) Sumber arus las
4) Gas pelindung

Gambar 2 Skema Las TIG


Sumber: (Sriwidharto, 2006)

1. Stang Las/Obor (torch welding)


Stang las atau obor GTAW berfungsi sebagai pemegang elektroda tidak
terkonsumsi (tungsten) yang menyalakan arus pengelasan ke busur listrik, serta
menjadi sarana penyalur gas pelindung ke zona busur (arc zone). Obor dipilih
sesuai dengan kemampuan menampung arus las maksimum ke busur nyala tanpa
mengalami over heating. Sebagian besar obor didesain untuk mengakomodasi
segala ukuran elektoda serta berbagai tipe ukuran nozzle. Pada umumnya obor
untuk pengelasan manual memiliki sudut kepala (heat angle), yakni antara sudut
elektroda dan pegangan (handle) 120° dan jenis-jenis obor lainnya seperti obor
dengan sudut kepala yang dapat diatur, sudut kepala siku (90°), dan kepala bentuk
pensil. Obor GTAW manual memiliki switch dan katub tambahan yang dipasang
pada peganganya yang digunakan untuk mengendalikan arus dan aliran gas
pelindung, sedangkan obor untuk mesin GTAW otomatis hanya dapat diatur pada
permukaan sambungan, sepanjang sambungan, dan jarak antara obor dan bahan
yang akan dilas (Sriwidharto, 2006).

Gambar 3 Stang las/obor (torch welding)


Sumber: (Sriwidharto, 2006)

2. Mesin las AC/DC


Mesin las AC/DC merupakan mesin las pembangkit arus AC/DC yang
digunakan di dalam pengelasan las gas tungsten. Pemilihan arus AC atau DC
biasanya tergantung pada jenis dan sifat logam yang akan dilas (Tim Fakultas
Teknik UNY, 2004).
Gambar 4 Mesin Las AC/DC
Sumber: (Tim Fakultas Teknik UNY, 2004)

3. Tabung Gas Lindung, Regulator Gas Lindung dan flowmeter


Tabung gas lindung adalah tabung tempat penyimpanan gas lindung
seperti argon dan helium yang digunakan di dalam mengelas gas tungsten.
Regulator gas lindung adalah pengatur tekanan gas yang akan digunakan di dalam
pengelasan gas tungsten. Pada regulator ini biasanya ditunjukkan tekanan kerja
dan tekanan gas di dalam tabung. Sedangkan Flowmeter dipakai untuk
menunjukkan besarnya aliran gas lindung yang dipakai di dalam pengelasan gas
tungsten (Tim Fakultas Teknik UNY, 2004).

Gambar 5 Tabung Gas Lindung, Regulator Gas Lindung dan Flowmeter


Sumber: (Tim Fakultas Teknik UNY, 2004).

4. Kabel Elektroda Selang Gas dan Perlengkapannya


Kabel elektoda dan selang gas berfungsi menghantarkan arus dari mesin
las menuju stang las, begitu juga aliran gas dari mesin las menuju stang las.
Selang gas dan perlengkapannya berfungsi sebagai penghubung gas dari tabung
menuju pembakar las. Sedangkan perangkat pengikat berfungsi mengikat selang
dari tabung menuju mesin las dan dari mesin las menuju pembakar las (Tim
Fakultas Teknik UNY, 2004).

5. Collet
Segala ukuran diameter elektroda dapat dipegang oleh piranti pemegang
elektroda (electrode holder) yang disebut Collet atau Chuck. Piranti ini terbuat
dari paduan tembaga. Collet ini akan menggenggam erat elektroda saat penutup
obor diikat erat. Hubungan baik antar elektroda dengan bagian dalam diameter
collet penting untuk penyaluran arus las dan pendingin elektroda.

Gambar 7. Pemegang elektroda (electrode holder)/collet


Sumber: (Sriwidharto, 2006).

6. Nozzle
Nozzle berfungsi untuk mengarahkan gas pelindung pada pengelasan.
Nozzle antar cup ini dapat dipasang pada kepala obor, dan juga terpasang pada
kepala obor piranti pengatur aliran gas (diffuser) atau piranti jet yang terpatent.
Fungsi diffuser adalah untuk meluruskan arah aliran gas. Bahan nozzle adalah
bahan tahan panas (heat resisting material) dalam berbagai ukuran dan bentuk.
Pemasangannya pada kepala obor menggunakan ulir atau genggaman friksi (tight
fit). Nozzle terbuat dari keramik, metal, keramik berlapis metal, quartz yang dicor
atau bahan lain. Bahan keramik adalah bahan yang paling umum digunakan
karena murah namun sangat mudah pecah, oleh karenanya harus sering diganti
(Sriwidharto, 2006).
Gambar 8. Moncong (Nozzle)
Sumber: (Sriwidharto, 2006)

7. Elektroda (tungsten)
Elektroda tungsten adalah elektroda tidak terumpan (non-consumable
electode) yang berfungsi sebagai pencipta busur nyala saja yang digunakan untuk
mencairkan kawat las yang ditambahkan dari luar dan benda yang akan
disambung menjadi satu kesatuan sambungan. Elektroda ini tidak berfungsi
sebagai logam pengisi sambungan sebagaimana yang biasa dipakai pada elektroda
batang las busur metal maupun elektroda gulungan pada las MIG (Tim Fakultas
Teknik UNY, 2004). Ada beberapa tipe elektroda tungsten yang biasa dipakai di
dalam pengelasan sebagaimana dijelaskan pada tabel 2 berikut:

Tabel 2 Tipe elektroda tunsten


Sumber: (Cary, 1993)
Tabel di atas disusun berdasarkan klasifikasi AWS dimana kodekodenya
dapat dijelaskan sebagai berikut: E: elektroda W: wolfram atau tungsten P:
tungsten murni (pure tungsten) G: umum (general) dimana komposisi tambahan
biasa tidak disebut. Sedangkan untuk kode Ce-2, La-1, Th-1, Th-2, dan Zr-1
masing-masing adalah komposisi tambahan sebagaimana yang dapat dilihat pada
tabel 2.

2.3.3 Variabel Pengelasan GTAW


Variabel utama pada pengelasan TIG adalah tegangan busur tegangan
busur (arc length), arus pengelasan, kecepatan gerak pengelasan (travel speed),
dan gas lindung. Jumlah energi yang dihasilkan oleh busur sebanding dengan arus
dan tegangan, sedangkan jumlah bahan las yang dideposisikan per satuan panjang
berbanding terbalik dengan kecepatan gerak pengelasan. Busur yang dihasilkan
dengan gas pelindung helium lebih dalam dari pada dengan gas argon
(Sriwidharto, 2006).
a) Arus Busur
Pengelasan GTAW dapat menggunakan arus AC (alternating current) atau
DC (direct current). Pemilihan arus tergantung pada jenis bahan yang akan
dilas, arus searah dengan elektroda pada bagian negatif dapat
menghasilkan penetrasi yang cukup dalam dan kecepatan las yang lebih
tinggi. Gas argon merupakan gas pelindung yang paling baik yang dapat
menggunakan arus AC maupun DC. Untuk bahan alumunium arus AC
merupakan arus yang paling cocok pada pengelasan GTAW.
b) Tegangan Busur
Tegangan yang diukur antara elektroda tungsten dengan bahan induk
biasanya disebut tegangan busur. Tegangan busur ini sangat tergantung
pada hal-hal sebagai berikut (Sriwidharto, 2006):
 Arus Busur
 Bentuk ujung elektroda tungsten
 Jarak antara elektroda tungsten dengan bahan induk
 Jenis gas lindung
c) Kecepatan pengelasan
Kecepatan pengelasan mempengaruhi lebar lajur las dan kedalaman
penetrasi TIG dan juga berpengaruh terhadap biaya. Pada beberapa
aplikasi, kecepatan pengelasan dipandang sebagai obyektif bersama
dengan variabel lainnya dipilih untuk mendapatkan konfigurasi las yang
dikehendaki pada kecepatan tertentu (Sriwidharto, 2006).

Gambar 9 Pengaruh kecepatan pengelasan terhadap penetrasi dan lebar lajur las
Sumber: (Sonawan, 2006)

Pada gambar diatas kecepatan pengelasan berpengaruh pada hasil


pengelasan dilihat dari penetrasi dan lebar lajurnya. Semain rendah dan
tinggi kecepatan maka dimensi titik las akan kecil sedangkan semakin
tinggi arus dan rendah kecepatan dimensi titik las semakin membesar.
Hubungan antara kecepatan dan arus pengelasan dengan material yang
digunakan harus seimbang untuk hasil yang baik dan rapi.
d) Pengumpan kawat las (wire feed)
Cara pengumpanan kawat las ke dalam kolam las menentukan jumlah lajur
yang terproduksi dan tampak luarnya. Pada mesin las GTAW/TIG yang
otomatis, kecepatan pengumpanan kawat las menentukan bahan tambahan
las yang terdeposisi persatuan panjang sanbungan las. Mengurangi
kecepatan pengumpanan akan memperdalam penetrasi dan meratakan
bentuk permukaan (contour) lajur las. Pengumpanan kawat las yang terlalu
lambat cenderung akan menghasilkan undercut (luruhnya sisi kampuh),
retak sumbu lajur dan kekurangan pengisian (lack of jouint fill).
Pengumpanan yang cepat akan mendangkalkan penetrasi dan
menyebabkan bentuk lajur cembung (convex) (Sriwidharto, 2006).
e) Gas Argon
Gas lindung (inert gas) adalah gas yang tidak bereaksi dengan logam
maupun gas yang lain. Gas ini dipakai sebagai pelindung busur dan logam
panas ketika dilakukan proses pengelasan. Gas lindung yang biasa dipakai
di dalam las gas tungsten dapat berupa gas argon, helium, dan campuran
argon-hidrogen. Argon lebih sering dipakai di dalam las gas tungsten
berdasar atas beberapa pertimbangan yang antara lain:
 Busur lebih tenang dan halus.
 Busur mudah sekali dinyalakan.
 Membutuhkan tegangan busur yang lebih rendah bila dibandingkan
dengan gas lindung yang lain untuk panjang busur dan arus yang
digunakan.
 Harga lebih murah
 Karena berat atom yang besar, konsumsi gas lindung dibutuhkan
lebih sedikit bila dibandingkan dengan gas lindung yang lain.

2.4 Klasifikasi sambungan pengelasan


Sambungan pengelasan pada dasarnya terbagi dalam sambungan tumpul,
sambungan T, sambungan sudut, dan sambungan tumpang. Sebagai
perkembangan sambungan dasar tersebut diatas terjadi sambungan silang,
sambungan dengan penguat dan sambungan sisi (Wiryosumarto, 2000).
Gambar 11. Jenis-Jenis Sambungan Dasar
Sumber: (Wiryosumarto, 2000)

1. Sambungan bentuk T dan silang (T joint)


Merupakan sambungan dengan posisi material tegak lurus dengan material
lain dengan sudut 90°.
2. Sambungan sudut (corner joint)
Merupakan sambungan dengan posisi siku siku antara dua material dengan
bentuk L.

3. Sambungan tumpang (lap joint)


Merupakan sambungan dengan dua material yang ditumpuk dengan
pergeseran dan sambungan dibuat diatas satu sama lain.
4. Sambungan tumpul (butt joint)
Merupakan jenis sambungan yang paling efisien dengan dua material
berdampingan sejajar pada posisi datar. Sambungan tumpul memiliki tipe
alur diantaranya:
Gambar 12 Alur Sambungan Las Tumpul
Sumber: (Wiryosumarto, 2000)

5. Sambungan sisi (edge joint)


Merupakan sambungan dengan dua material yang ditumpuk sejajar dengan
titik las menggunakan alur maupun tidak pada ujung material.
6. Sambungan dengan plat penguat
Merupakan sambungan yang mirip dengan sambungan tumpang dengan
penambahan material disisi atas maupun bawah ataupun keduanya sebagai
penguat.
2.5 Metalurgi las
Metalurgi atau daerah las dalam pengelasan, dalam arti yang sempit dapat
dibatasi hanya pada logam las dan daerah yang dipengaruhi panas atau HAZ
(Heat Affected Zone). Karena dengan mengetahui metalurgi las, memungkinkan
menegetahui sifat-sifat dari logam las. Aspek-aspek yang timbul selama dan
sesudah pengelasan harus benar-benar diperhitungkan sebelumnya, karena
perencanaan yang kurang tepat dapat mengakibatkan kualitas hasil las yang
kurang baik. Dengan demikian pengetahuan metalurgi las dan ditambah dengan
keahlian dalam operasi pengelasan dapat ditentukan prosedur pengelasan yang
baik untuk menjamin hasil pengelasan yang baik. Pada proses pengelasan terdapat
tiga daerah seperti ditunjukkan pada gambar 13.

Gambar 13 Daerah las


Sumber: (Wiryosumarto, 2000)

a. Logam induk (base metal), merupakan bagian logam dasar dimana panas
dan suhu pengelasan tidak menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan
struktur dan sifat.
b. Daerah las / logam las, merupakan bagian dari logam yang pada waktu
pengelasan mencair dan membeku.
c. Daerah pengaruh panas atau heat effected zone (HAZ), merupakan logam
dasar yang bersebelahan logam las yang selama proses pengelasan
mengalami siklus termal pemanasan dan pendinginan cepat
(Wiryosumarto, 2000).
d. Selain ketiga daerah tersebut, masih ada satu daerah khusus yang
membatasi antara logam las dengan daerah pengaruh panas yang disebut
batas las atau daerah fusi (fusion line).
2.6 Pengujian NDT (Non Destructive Test)
NDT merupakan teknik pengujian suatu benda kerja untuk mengetahui
kecacatan atau pororitas pada permukaan atau dalam benda kerja tersebut tanpa
merusak struktur dan fungsinya. NDT memiliki banyak metode pengujian, dan
pengujian yang paling sering digunakan secara umum yaitu:
1. Radiograpy test
2. Ultrasonic testing
3. Eddy current
4. Magnetic particel
5. Liquid penetrant
6. Visual inspection

2.6.1 Radiograpy Test


Radiograpy adalah salah satu metode NDT yang sangat efektif untuk
mendeteksi cacat pengelasan sampai skala kecil. Pengujian ini memiliki resiko
pada kesehatan dan keselamatan jika tidak dilakukan sesuai prosedur. Radiograpy
terbagi menjadi 2 jenis yaitu menggunakan pengujian X-rays dan Gamma rays.
Pengujian ini sangat efektif mendeteksi cacat pada permukaan luar dan dalam
material uji. (Mgonja, 2017)
Keuntungan radiograpy test yaitu mampu mendeteksi cacat pengelasan
permukaan dan dalam material, dapat dilakukan pada segala material, dan mampu
mendeteksi cacat pada material berlapis. Sedangkan kerugiannya yaitu beresiko
pada kesehatan karena paparan radiasi, biaya yang mahal, dan perlu kemampuan
khusus untuk menggunakan radiograpy test.

Gambar 14. X-ray radiograpy test


(Sumber: Alibaba.com)
2.6.2 Ultrasonic testing
Ultrasonic testing (UT) adalah teknik NDT menggunakan media
gelombang ultrasonic (gelombang suara) yang mempunyai frekuensi tinggi yaitu
>20Khz. Ultrasonic testing dapat digunakan untuk mendeteksi dimensi benda
kerja dan kecacatan atau pororitas benda kerja. Komponen yang digunakan dalam
melakukan pengujian ultrasonic yaitu gelombang penerima, tranducer, dan
perangkat layar. Gelombang penerima berfungsi sebagai perangkat yang
menghasilkan frekuensi yang sangat besar yang otomatis menyebabkan frekuensi
aliran dan energi ultrasonic yang sangat besar. (A. Sharma, 2018)
Kelebihan dari ultrasonic testing yaitu mampu mendeteksi cacat dengan
material yang panjang dan tebal, tidak timbul radiasi, memiliki tingkat kecepatan
deteksi yang tinggi. Sedangakan kekurangannya yaitu perlu ketrampilan dan
keahilan khusus, tidak maksimal mendeteksi pada permukaan kasar atau tidak
beraturan, perlu biaya yang mahal.

Gambar 15 Ultrasonic testing


(Sumber: Alibaba.com)

2.6.3 Eddy current


Eddy current testing adalah salah satu teknik NDT menggunakan media
kumparan yang dialiri listrik. Proses pengujian dilakukan dengan menggunakan
koil (kumparan) yang dialiri arus listrik AC dan akan menghasilkan medan listrik.
Eddy current menerapkan hukum Faraday dimana elektromagnetis yang
memprediksi dengan rangkaian listrik untuk menghasilkan gaya gerak listrik
sehingga mampu mendeteksi cacat dengan cepat. Perbedaan coil (probe) akan
mempengaruhi akurasi pembacaan pada cacat material. (Ahmed N AbdAlla,
2019)
Coil

Gambar 16 Eddy current test


(Sumber: Youtube.com)

2.6.4 Magnetic particle


Magnetic particle adalah pengujian NDT dengan metode menaburkan
bubuk ferromagnetic yang dialiri magnet pada permukaan luar material. Prinsip
dari pengujian ini yaitu material dialirkan aliran magnet terlebih dahulu kemudian
ditaburkan serbuk ferromagnetic setelah beberapa saat bubuk tersebut akan
berkumpul pada daerah cacat benda uji dikarenakan adanya kutub baru sehingga
berkumpul. Kelebihan dari pengujian ini yaitu mampu bekerja pada permukaan
basah dan kering. (Abolzafl Zholfaghari, 2018)

Gambar 17 Magnetic particle test


(Sumber: Alibaba.com)

2.6.5 Liquid penetrant (dye penetrant test)


Dey penetrant test adalah salah satu pengujian NDT menggunakan media
cairan penetrasi, pengujian ini merupakan pengujian paling sederhana dan mudah.
Pengujian ini dilakukan penyemprotan pada permukaan benda kerja untuk melihat
cacat pada permukaan luar benda kerja. Prinsip pada metode ini memanfaatkan
daya kapilaritas dan mampu diuji pada bahan material ferro dan non ferro.
Kelebihan dari dye penetrant test yaitu mudah diaplikasikan, biayanya murah,
jangkauan pada permukaan material sangat luas. Sedangkan kekurangannya yaitu
tidak dapat mendeteksi bagian dalam benda kerja dan tidak dapat dilakuakan pada
permukaan yang berpori. Ada 3 macam cairan dalam pengujian dye penetrant test
antara lain: (T. Endramawan, 2017)
a. Cleaner
Digunakan untuk membersihkan kotoran yang ada pada permukaan benda
sebelum dan setelah penyemprotan penetrant.
b. Penetrant
Cairan berwarna merah yang digunakan untuk mendeteksi dengan cara
meresap pada permukaan posisi cacat benda kerja.
c. Developer
Cairan pengembang yang digunakan untuk mengangkat cairan penetrant
yang tertinggal didalam cacat pada permukaan benda kerja (efek
kapilaritas).

Gambar 18 Dye penetrant test


(Sumber: Alibaba.com)

Berdasarkan cara pengamtannya metode dye penetrant dibedakan menjadi


dua yaitu:
a. Visible penetrant
Visible penetrant adalah metode semprot penetrasi menggunakan cairan
merah dan dapat dilihat secara langsung. Metode ini dapat dilakukan
secara umum (dibawah cahaya berwarna putih) tanpa bantuan cahaya
ultraviolet.

Gambar 19 Visible penetrant


(Sumber: IndiaMart.com)

b. Fluorescent penetrant
Fluorescent penetrant adalah metode penetrasi menggunakan bantuan
sinar ultraviolet dan dilakukan pada ruangan yang gelap. Metode ini
dilakukan pada pengujian khusus seperti baling-baling pesawat. (G.
Kedarnath, 2017)

Sinar UV

Gambar 20 Fluorescent penetrant


(Sumber: Wikipedia.com)

2.6.6 Visual Inspection


Inspeksi visual adalah salah satu metode NDT paling sederhana yaitu
dengan cara mengamati langsung dengan mata telanjang atau menggunakan alat
bantu untuk melihat benda uji apakah terdapat kecacatan atau tidak. Kekurangan
inspeksi visual dengan mata telanjang yaitu cacat struktural pada permukaan
benda uji hanya bisa dilihat tergantung batas visual mata manusia, untuk hasil
yang maksimal perlu alat bantu seperti kaca pembesar atau kamera DSLR yang
disebut uji makro dan mikroskop untuk uji mikro dengan pencahayaan yang
terang.

Gambar 21 Visual Inspection


(Sumber: NDTIndonesia.com)

2.7 Jenis cacat pengelasan


Weld Defect atau cacat pengelasan adalah hasil pengelasan yang tidak
memenuhi syarat keberterimaan yang sudah dituliskan di standart (ASME IX,
AWS, API, ASTM). Pengelasan yang baik harus memperhatikan faktor-faktor
pengelasan misalnya arus pengelasan, kecepatan pengelasan, jarak, komposisi las,
penentuan elektroda, pendingin, dll. Hal tersebut dilakukan untuk meminimalisir
adanya cacat pengelasan yang muncul pada permukaan maupun didalam benda
uji. Adapun jenis cacat pengelasan yang umum terjadi antara lain:

2.7.1 Porosity (pororitas)


Cacat porositas adalah sebuah cacat pengelasan yang berupa sebuah
lubang lubang kecil pada weldmetal (logam las), dapat berada pada permukaan
maupun didalam spesimen. Porositas ini mempunyai beberapa tipe yaitu Cluster
Porosity, Blow Hole dan Gas Pore.
Gambar 22 Cacat las pororitas
(Sumber: Achmadi, 2019)

Cacat las pororitas disebabkan karena beberapa faktor, antara lain:


1. Elektroda yang digunakan masih lembab atau terkena air
2. Busur las terlalu panjang.
3. Arus pengelasan terlalu rendah.
4. Travel Speed terlalu tinggi.
5. Adanya zat pengotor pada benda kerja (karat, minyak, air dll).
6. Gas hidrogen yang tercipta karena panas las.

2.7.2 Incomplete penetration


Incomplete Penetration (IP) adalah sebuah cacat pengelasan yang terjadi
pada daerah root atau akar las. Sebuah pengelasan dikatakan IP jika pengelasan
pada daerah root tidak tembus pada akar las berbentuk cekung.

Gambar 23 Cacat las Incomplete penetration


(Sumber: Achmadi, 2019)

Cacat las incomplete penetration disebabkan karena beberapa faktor, antara lain:
1. Travel speed terlalu tinggi.
2. Jarak gap atau root opening terlalu lebar.
3. Jarak elektroda atau busur las terlalu tinggi.
4. Sudut elektroda yang salah.
5. Ampere las terlalu kecil.

2.7.3 Incomplete fusion (lack of fusion)


Incomplete fusion adalah sebuah hasil pengelasan yang tidak dikehendaki
karena ketidaksempurnaan proses penyambungan antara logam las dan logam
induk. Cacat ini biasanya terjadi pada bagian samping lasan.

Gambar 24 Cacat las Incomplete fusion


(Sumber: Achmadi, 2019)

Cacat las incomplete fuison disebabkan karena beberapa faktor, antara lain:
1. Posisi Sudut kawat las salah.
2. Ampere terlalu rendah.
3. Sudut kampuh terlalu kecil.
4. Permukaan kampuh terdapat kotoran.
5. Travel Speed terlalu tinggi.

2.7.4 Undercut
Undercut adalah sebuah cacat las yang berada di bagian permukaan atau
akar, bentuk cacat ini seperti cerukan yang terjadi pada base metal atau logam
induk. Jenis cacat pengelasan ini dapat terjadi pada semua sambungan las, baik
fillet, butt, lap, corner dan edge joint.
Gambar 24 Cacat las undercut
(Sumber: Achmadi, 2019)
Cacat las undercut disebabkan karena beberapa faktor, antara lain:
1. Arus pengelasan yang digunakan terlalu besar.
2. Travel speed / kecepatan las terlalu tinggi.
3. Panjang busur las terlalu tinggi.
4. Posisi elektroda kurang tepat.
5. Ayunan tangan kurang merata, waktu ayunan pada saat disamping terlalu
cepat.

2.7.5 Tungsten inclusion


Tungsten Inclusion adalah cacat pengelasan yang diakibatkan oleh
mencairnya tungsten pada saat proses pengelasan yang kemudian melebur
menjadi satu dengan weld metal, cacat ini hampir sama dengan slag inclusion
namun saat diuji radiografi tungsten inclusion berwana sangat terang (karena berat
jenisnya lebih besar dibanding logam lasnya). Untuk jenis cacat las ini hanya
terjadi pada proses pengelasan GTAW.
Gambar 25 Cacat las tungsten inclusion
(Sumber: Achmadi, 2019)

Cacat las tungsten inclusion disebabkan karena beberapa faktor, antara lain:
1. Tungsten sudah tumpul saat proses pengelasan
2. Jarak tungsten terlalu dekat
3. Ampere terlalu tinggi

2.7.6 Over spatter


Spatter adalah percikan las, sebenarnya jika spater dapat dibersihkan maka
tidak termasuk cacat. Namun jika jumlahnya berlebih dan tidak dapat dibersihkan
maka dikategorikan dalam cacat visual.

Gambar 26 Cacat las over spatter


(Sumber: Achmadi, 2019)

Cacat las over spatter disebabkan karena beberapa faktor, antara lain:
1. Ampere terlalu tinggi.
2. Jarak elektroda dengan base metal terlalu jauh.
3. Elektroda lembab.
Cara mencegah terjadinya over spatter antara lain:
1. Arus diturunkan sesuai dengan rekomendasi.
2. Panjang busur (1,5 x diameter Elektroda).
3. Elektroda dioven sesuai dengan handbook (khususnya kawat las low
hidrogen)

2.7.7 Crack
Crack adalah retakan akibat suatu kesalahan dalam proses pengelasan.
Crack dibagi menjadi 2 jenis yaitu hot crack dan cold crack. Hot crack (retak
panas) adalah sebuah retak pada pengelasan dimana retak itu terjadi setelah proses
pengelasan selesai atau saat proses pemadatan logam lasan. Sedangkan Cold
Crack (retak dingin) adalah sebuah retak yang terjadi pada daerah lasan setelah
beberapa waktu (memerlukan waktu, bisa 1 menit, 1 jam, atau 1 hari) proses
pengelasan selesai. 

Gambar 27 Cacat las crack


(Sumber: Achmadi, 2019)

Cacat las crack disebabkan karena beberapa faktor, antara lain:


1. Pemilihan elektroda yang salah.
2. Tidak melakukan perlakuan panas.
3. Arus pengelasan terlalu rendah.
4. Travel speed terlalu tinggi.
5. Cooling Rate terlalu cepat

2.7.8 Distorsi
Distorsi adalah sebuah perubahan bentuk material yang diakibatkan panas
yang berlebih saat proses pengelasan berlangsung. Distorsi ini terjadi saat proses
pendinginan, karena adanya panas yang berlebih maka material dapat mengalami
penyusutan atau pengembangan sehingga akan tarik menarik dan membuat
material tersebut melengkung.

Gambar 28 Cacat las distorsi


(Sumber: Achmadi, 2019)

Cacat las distorsi disebabkan karena beberapa faktor, antara lain:


1. Panas yang berlebih
2. Ampere yang terlalu tinggi
3. Take weld (las ikat) kurang kuat
4. Persiapan pengelasan yang salah

2.8 Struktur mikro


Struktur mikro adalah gambaran dari kumpulan fasa-fasa yang dapat
diamati melalui teknik metalografi. Struktur mikro suatu logam dapat dilihat
dengan menggunakan mikroskop. Mikroskop yang dapat digunakan yaitu
mikoroskop optik dan mikroskop elektron. Sebelum dilihat dengan mikroskop,
permukaan logam harus dibersihkan terlebih dahulu, kemudian reaksikan dengan
reagen kimia untuk mempermudah pengamatan. Proses ini dinamakan etching.
(Wiryosumarto, 2000).
Untuk mengetahui sifat dari suatu logam, diperlukan untuk melihat
struktur mikronya. Setiap logam dengan jenis berbeda memiliki struktur mikro
yang berbeda. Dengan melihat bentuk fasa yang muncul pada struktur mikro, kita
dapat mengetahui fasa tersebut yang didapatkan pada komposisi dan temperatur
tertentu. Dari struktur mikro kita dapat melihat:
a. Ukuran dan bentuk butir.
b. Distribusi fasa yang terdapat dalam material khususnya logam.
c. Pengotor yang terdapat dalam material.

Menurut Abson dan Pargeter (1986), struktur mikro yang mungkin terbentuk dari
pengelasan adalah:
1. Proeutectoid Ferrrite, terdiri dari grain boundary Ferrite dan intragranular
polygonal Ferrite pada suhu 1000-650°C.
2. Widmanstatten Ferrrite atau Ferrite with aligned second phase pada suhu
750-650°C.
3. Accicular Ferrite, tumbuh di dalam butir Auste-nite pada suhu 650°C.
4. Bainite, terbentuk pada suhu 400-500°C.
5. Martensite, terjadi jika pendinginan berlangsung sangat cepat.
BAB 3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan tempat


Penelitian ini dilaksanakan di Lab. Otomotif Politeknik Negeri Jember.
Waktu pelaksanaan November - Desember 2021.

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat
Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
a. Mesin las GTAW (Gas Tungsten Arc Welding)
Dengan komposisi satu set alat las GTAW, tabung gas argon, filler dan
elektroda.
b. Mesin gergaji
Digunakan untuk memotong spesimen uji sesuai ukuran yang diinginkan.
c. Mesin skrap
Digunakan untuk membuat kampuh spesimen uji dengan tipe sambungan
butt joint V tunggal.
d. Mistar atau jangka sorong
Digunakan untuk membantu pembuatan ukuran spesimen uji.
e. Mesin amplas
Digunakan untuk menghaluskan permukaan spesimen yang akan diuji
struktur mikro.
f. Stopwatch
Digunakan untuk menghitung kecepatan las millimeter/detik.
g. Kaca pembesar
Digunakan pada metode visual inspection yaitu uji struktur makro pada
daerah pengelasan,
h. Cairan dye penetrant
Digunakan untuk mengidentifikasi lokasi dan jenis cacat pengelasan
spesimen uji.

i. Mikroskop optik
Digunakan pada metode visual inspection yaitu uji struktur mikro pada
daerah pengelasan.
j. Kamera
Digunakan untuk mengambil gambar pada pengujian dye penetrant test
dan mikro.

3.2.2 Bahan
Material yang digunakan pada penelitian ini yaitu alumunium dengan seri
5052 yaitu paduan antara magnesium sebanyak 2,5% dan material lain
dibawah 0,1% dan sisanya alumunium murni. Alumunium 5052 cocok
digunakanpada lingkungan air laut dan bisa juga sebagai bahan tempaan.

3.3 Prosedur penelitian


3.3.1 Persiapan spesimen uji
Persiapan awal pada penelitian ini yaitu mempersiapkan spesimen uji. Ada
dua tahap persiapan yaitu pemilihan material yang akan digunakan dan
pembuatan kampuh sambungan pengelasan.

a. Pemilihan material spesimen uji


Material yang digunakan pada penelitian ini yaitu alumunium 5052
dengan panjang 80 mm, lebar 65 mm, dan ketebalan 5 mm per spesimen.
Pembuatan spesimen menggunakan mesin gergaji sesuai ukuran tersebut.
b. Pemilihan elektroda, kecepatan, dan arus pengelasan
Elektroda yang digunakan pada penelitian ini yaitu Tungsten murni (Pure
Tungsten) dengan diameter 2,6 mm yang tak terkonsumsi ketika proses
pengelasan berlangsung, sedangakan variasi kecepatan pengelasan 1mm/s,
5mm/s, dan 10mm/s. Untuk jenis dan besar arus yang digunakan pada
penelitian ini adalah tipe arus searah DCEN (Direct Current Elektrode
Negative) dengan variasi arus 80A, 110A, dan 140A.

c. Pembuatan kampuh las


Jenis kampuh las yang digunakan dalam penelitian ini adalah sambungan
butt joint (tumpul) alur V tunggal, seperti pada gambar 29 dibawah ini.

Keterangan
R = Kaki akar = 1 mm
G = Celah akar = 2 mm
α1 = Sudut alur = 60°
R t = Tebal = 5 mm
lGl
Gambar 29 Dimensi sambungan butt joint V tunggal

Pembuatan kampuh dilakukan dengan alumunium dipotong dengan mesin


gergaji dan kemudian dibentuk kampuh las dengan mesin sekrap sesuai
dengan dimensi yang diperlukan.
3.3.2 Proses pengelasan
Dalam penelitian ini jenis las yang digunakan adalah gas tungsten arc welding
(GTAW)/ Tungsten inert gas (TIG). Adapun mesin las yang digunakan yaitu tipe
KW 14-722 dengan kapasitas 200 Ampere. Sebelum proses pengelasan dimulai,
logam induk yang sudah dibuat kampuh las tersebut harus dibersihkan dari
kotoran seperti debu, minyak, oli atau gemuk, karat, air dan lain sebagainya untuk
menghindari terjadinya cacat las. Selanjutnya baja dilas dengan las tungsten inert
gas (TIG) dengan R= Kaki akar = 1 mm, G = Celah akar = 3 mm, α 1 = Sudut alur
= 60°, t = Tebal = 5 mm. Prosedur dan cara pengelasan yang sesuai serta
berdasarkan parameter yang sudah ditentukan yaitu:
1. Pengelasan dengan kecepatan 1 mm/s dengan arus 80 A, 110 A, dan 140A.
2. Pengelasan dengan kecepatan 5 mm/s dengan arus 80 A, 110 A, dan 140A.
3. Pengelasan dengan kecepatan 10 mm/s dengan arus 80 A, 110 A, dan
140A.

Berdasarkan parameter yang ditentukan jumlah spesimen uji berjumlah sembilan


spesimen. Untuk tipe dan diameter filler atau logam pengisi yang digunakan yaitu
tipe ER5356 dengan diameter 3,2 mm.

3.3.3 Jumlah spesimen uji


Jumlah spesimen pada pengujian tugas akhir ini dapat dilihat pada tabel 3
dibawah. Jumlah total spesimen yang diuji sebanyak 16 spesimen, terdiri dari 9
spesimen untuk uji dye penetrant dan 7 spesimen untuk uji struktur mikro.
Sembilan spesimen uji dye penetrant memiliki perbedaan variasi arus dan
kecepatan pengelasan, sedangkan untuk uji struktur mikro dengan 6 spesimen
yang memiliki perbedaan variasi arus dan kecepetan juga ditambah 1 material
dasar. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3 berikut:

Variasi pengelasan Jumlah spesimen uji


Material Kecepatan Uji dye Uji struktur
Arus (Ampere)
las (mm/s) penetrant mikro
Material dasar - - 1
80 1 1
110 1 1 -
140 1 1
Alumunium
80 1 1
5052
110 5 1 -
140 1 1
80 1 1
110 10 1 -
140 1 1
Jumlah spesimen uji 9 7
Tabel 3 Jumlah spesimen uji

3.3.4 Pengujian dye penetrant test


Pengujian yang pertama yaitu dye penetrant test yang dilakukan setelah proses
pengelasan dimana uji yang dilakukan sesuai standart ASME IX dengan panjang
80 mm, lebar 65 mm, dan tebal 5mm. Uji dye penetrant test digunakan untuk
mengetahui posisi dan jenis cacat pengelasan pada permukaan spesimen uji.
Adapun langkah-langkah dalam melakukan pengujian dye penetrant test yaitu:
1. Permukaan benda uji dibersihkan dari kotoran dengan cairan pembersih
cleaner/remover.
2. Spesimen yang sudah dibersihkan disemprot menggunkan cairan
penetrant secara rata. Tunggu selama 5-10 menit sampai cairan penetrant
masuk kedalam retakan pada spesimen.
3. Setelah 5-10 menit, cairan penetrant yang telah dismprotkan harus segera
dibersihkan dengan cairan cleaner kemudian diusap menggunakan kain
lap.
4. Spesimen yang sudah dibersihkan lalu dikeringkan menggunakan udara
bebas.
5. Spesimen yang sudah kering selanjutnya disemprotkan cairan pengembang
(developer) agara struktur retakan atau cacat permukaan las dapat terlihat
dengan jelas dengan mengembangkan cairan penetrant yang masuk
kedalam retakan.
6. Selanjutnya foto seluruh spesimen yang sudah diuji menggunakan kamera
untuk analisa data.

Gambar 30 Langkah-langkah uji dye penetrant


(Sumber: Achmadi, 2019)
3.3.5 Pengujian uji struktur mikro
Pengujian ini menggunakan media mikroskop optic dengan pembesaran sesuai
yang diinginkan. Untuk daerah yang akan di uji yaitu pada dareah las dan daerah
HAZ (Heat Affected Zone). Hal ini bertujuan untuk melihat struktur mikro daerah
lasan dan daerah HAZ. Dalam pengujian struktur mikro ini, tidak ada dimensi
khusus yang ditentukan. Adapun langkah-langkah dalam pengujian sturktur mikro
yaitu:
1. Pemotongan spesimen uji pada bagian sambungan dan daerah HAZ
dengan dimensi 10 mm × 10 mm.
2. Spesimen dimasukkan ke dalam cetakan untuk dicetak dengan campuran
resin dan katalis atau biasa disebut proses mounting.
3. Permukaan spesimen yang akan dilakukan uji foto mikro diamplas dengan
mengunakan Grinder-polisher (mesin amplas).
4. Amplas permukaan spesimen dengan menggunakan amplas tingkat
kekasaran 120, 150, 220, 280, 400, 500, 800, 1000, 1500 dan 2000 sampai
permukaan spesimen halus dan rata.
5. Setelah benda uji cukup halus, maka langkah selanjutnya adalah memoles
dengan autosol dengan kain lembut secara searah.
6. Poles permukaan spesimen sampai mengkilap dan tidak ada goresan
spesifik dikarenakan akan terlihat nyata pada mikroskop.
7. Setelah cukup letakkan spesimen pada jangkauan mikroskop dan amati
struktur spesimen uji.
8. Ambil gambar struktur material yang terdapat cacat pengelasan melalui
komputer.

Gambar 30 Mikroskop optic uji struktur mikro


3.4 Analisis
Dari pengujian dye penetrant diperoleh data-data yang berupa jenis dan jumlah
cacat pengelasan. Data-data tersebut dapat diketahui dengan cara melihat
hubungan antara cacat pengelasan terjadi pada spesimen uji berdasarkan variasi
atau parameter yang digunakan pada saat pengelasan. Data dari tiap-tiap spesimen
dimasukkan ke dalam tabel data hasil uji dye penetrant untuk keperluan analisis.
Sedangkan pada pengujian struktur mikro, diperoleh data-data berupa hasil uji
foto mikro yang kemudian dilakukan analisa untuk mengetahui struktur mikronya.

Variasi pengelasan
Arus Kecepatan Nomor Jenis Jumlah Standart
Material
pengelasan pengelasan spesimen cacat ASME
(Ampere) (mm/s) las IX
80 A1
110 1 A2
140 A3
Alumunium
80 B1
5052 5
110 B2
140 B3
80 C1
110 10 C2
140 C3
Tabel 4 Contoh tabel uji dye penetrant

3.4 Diagram alir penelitian

Mulai

Studi pustaka

Persiapan alat dan bahan

Persiapan spesimen uji

- Pemilihan material spesimen (Alumunium 5052)

- Pemotongan dan pembuatan kampuh las

Proses pengelasan GTAW

- Pengelasan dengan menggunakan elektroda tungsten berdiameter 2,6 mm dan kawat


pengisi berdiameter 3,2 mm dengan tipe arus DCEN.
- Pengelasan dengan kecepatan 1 mm/s dengan arus 80 A, 110 A, dan 140 A.
- Pengelasan dengan kecepatan 5 mm/s dengan arus 80 A, 110 A, dan 140 A.
- Pengelasan dengan kecepatan 10 mm/s dengan arus 80 A, 110 A, dan 140 A.
Pembuatan spesimen uji

- Dimensi pengujian dye penetrant sesuai standart ASME IX.

- Pembuatan spesimen untuk uji struktur mikro.

Pengujian spesimen

- Dye penetrant test

- Uji struktur mikro

Data hasil pengujian

Analisa data dan pembahasan

Kesimpulan dan saran

Selesai

Gambar 30 Diagram alir penelitian

Anda mungkin juga menyukai