Anda di halaman 1dari 52

Moh. Asfar Septiadi, M.

Pd
INFORMASI UMUM

NAMA SEKOLAH : SMK NEGERI 7 PALU

TEMA : TEMA 2 KEARIFAN LOKAL

ALOKASI WAKTU : 62 JP

FASE : E

Tahun pelajaran : 2021/2022

TUJUAN, ALUR DAN TARGET PENCAPAIAN PROJEK


Membangun rasa ingin tahu dan kemampuan inkuiri melalui eksplorasi tentang budaya dan kearifan lokal
masyarakat sekitar atau daerah tersebut, serta perkembangannya.
1. Peserta didik mempelajari bagaimana dan mengapa masyarakat lokal/ daerah berkembang
seperti yang ada, bagaimana perkembangan tersebut dipengaruhi oleh situasi/konteks yang
lebih besar (nasional dan internasional), serta memahami apa yang berubah dari waktu ke
waktu apa yang tetap sama.

2. Peserta didik juga mempelajari konsep dan nilai-nilai dibalik kesenian dan tradisi lokal, serta
merefleksikan nilai-nilai apa yang dapat diambil dan diterapkan dalam kehidupan mereka.

3. Peserta didik juga belajar untuk mempromosikan salah satu hal yang menarik tentang budaya
dan nilai-nilai luhur yang dipelajarinya

Beberapa bentuk kearifan lokal seperti sastra lisan (pantun, cerita rakyat, peribahasa), tradisi, artefak
budaya, produk kesenian dan kerajinan merupakan warisan leluhur yang sangat bernilai. Kearifan lokal ini
sudah ada sejak ribuan tahun dan diciptakan untuk beragam tujuan, di antaranya untuk menjaga sumber
daya alam dan sumber daya lokal. Namun, generasi yang hidup di masa sekarang umumnya kurang
memahami makna kearifan lokal ini sehingga tantangan yang terjadi di masa sekarang terkait sumber daya
alam dan sumber daya lokal seolah datang begitu saja tanpa ancang-ancang. Padahal beberapa nilai
kearifan lokal sendiri memiliki potensi untuk mencegah masalah yang ada terjadi (preventif).

Projek ini dimulai dengan tahap temukan, peserta didik diajak untuk mengenali bentuk dan fungsi
kearifan lokal yang ada di beberapa daerah di Indonesia. Setelah itu, kegiatan dilanjutkan dengan
menemukan hubungan antara identitas diri, identitas budayanya, dan belajar untuk memahami bahwa
identitas adalah sebuah konsepsi yang dinamis dan selalu berubah. Berangkat dari pemahaman tentang
identitas ini, peserta didik membongkar asumsinya terhadap identitas budaya yang ada di wilayahnya
maupun budaya orang lain. Dengan demikian, diharapkan peserta didik dapat menumbuhkan apresiasi
terhadap budaya dan kearifan lokal sebuah kelompok masyarakat. Tahap ini ditutup dengan menemukan
masalah atau tantangan yang terjadi di sekitarnya yang memiliki kait dengan sumber daya alam atau
sumber daya lokal.
Setelah itu projek dilanjutkan dengan tahap bayangkan, dimana pada tahap ini peserta didik diajak
untuk melihat langsung bagaimana bentuk kearifan lokal yang ada di wilayahnya. Dari sini peserta didik
diminta untuk mengkritisi hubungan antara bentuk kearifan lokal yang ditemukan danfungsinya bagi
masyarakat. Tahap ini diakhiri dengan membayangkan kondisi impian yang peserta didik harapkan terjadi
pada lingkungannya dan kearifan lokal yang ada di wilayahnya.

Moh. Asfar Septiadi, M.Pd


Projek dilanjutkan dengan tahap lakukan yang bertujuan mempersiapkan peserta didik untuk
menggaungkan kearifan lokal yang ditemui dan bermakna bagi peserta didik sesuai dengan kemampuan
dan keterampilan yang ia miliki. Lalu, projek diakhiri dengan tahap bagikan, di mana seluruh peserta
didik membagikan pengetahuannya akan kearifan lokal kepada warga sekolah, guru, dan perwakilan
masyarakat.
Melalui projek ini, peserta didik diharapkan telah mengembangkan tiga dimensi Profil Pelajar
Pancasila, yaitu Bernalar Kritis, Berkebinekaan Global, dan Kreatif yang akan dijabarkan pada halaman
berikutnya

ALUR KEGIATAN PROJEK


TAHAPAN MATERI PENCAPAIAN PROYEK
TEMUKAN (Mengenali dan Pengantar Materi Kearifan Lokal Peserta didik diajak untuk
membangun kesadaran peserta mengenali bentuk dan fungsi
didik terhadap pengetahuan kearifan lokal yang ada di beberapa
lokal) Bentuk dan Fungsi Kearifan daerah di Indonesia
Lokal

BAYANGKAN (Menggali Menelusur Warisan Masa Peserta didik diajak untuk melihat
bentuk- bentuk kearifan lokal Lampau langsung bagaimana bentuk
yang ada di wilayah masing- kearifan lokal yang ada di
masing) wilayahnya.

TAHAP LAKUKAN Identifikasi Potensi Diri dan Peserta didik menggaungkan


(Mewujudkan pelajaran yang Kelompok kearifan lokal yang ditemui dan
mereka dapat melalui bentuk bermakna bagi peserta didik sesuai
aksi pelestarian budaya lokal dengan kemampuan dan
yang paling mungkin dilakukan) keterampilan yang ia miliki

Peserta didik dan kelompok


mengidentifikasi potensi diri dan
kelompok untuk menggaungkan
kearifan lokal yang ditemui dan
bermakna bagi peserta didik sesuai
dengan kemampuan dan
keterampilan yang ia miliki

LESTARIKAN BUDAYA Menentukan Bentuk Aksi Peserta didik dan kelompok


LOKALKU menentukan bentuk aksi untuk
menggaungkan kearifan lokal yang
ditemui dan bermakna bagi peserta
didik sesuai dengan kemampuan
dan keterampilan yang ia miliki

Moh. Asfar Septiadi, M.Pd


Persiapan Aksi Peserta didik dan kelompok
mempersiapkan aksi untuk
menggaungkan kearifan lokal yang
ditemui dan bermakna bagi peserta
didik sesuai dengan kemampuan
dan keterampilan yang ia miliki

Simulasi Aksi Peserta didik dan kelompok


melakukan aksi untuk
menggaungkan kearifan lokal yang
ditemui dan bermakna bagi peserta
didik sesuai dengan kemampuan
dan keterampilan yang ia miliki

TAHAP BAGIKAN Evaluasi Aksi Peserta didik mengevaluasi hasil


(Menggenapi/ melengkapi simulasi yang sudah dilakukan pada
proses dengan aksi pelestarian tahap sebelumnya tentang kearifan
budaya lokal serta melakukan lokal daerahnya
evaluasi dan refleksi)
Refleksi Peserta didik dan fasilitator
merefleksi hasil simulasi yang
sudah dilakukan pada tahap
sebelumnya tentang kearifan lokal
daerahnya

Cerita Perjalanan Aksiku Peserta didik membagikan


pengetahuannya akan kearifan lokal
kepada warga sekolah, guru, dan
perwakilan masyarakat

Moh. Asfar Septiadi, M.Pd


TARGET PENCAPAIAN PROJEK P5BK

Melalui projek ini, peserta didik diharapkan telah mengembangkan tiga dimensi Profil Pelajar Pancasila,
yaitu Bernalar Kritis, Berkebinekaan Global, dan Kreatif yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari
hari

RELEVANSI PROJEK BAGI GURU DAN SEKOLAH

Statistik kebudayaan tahun 2017 mencatat bahwa jumlah kesenian yang akan punah mencapai angka 143,
terdiri atas seni rupa, seni musik, seni teater, seni tari, sastra dan kesenian lainnya. Di sisi lain, statistik
kebudayaan tahun 2018 juga mencatat ada 34 bahasa daerah yang akan punah. Hal ini penting untuk jadi
perhatian kita bersama karena beberapa ragam seni dan bahasa daerah merupakan hasil akumulasi
pengetahuan lokal masyarakat Indonesia dalam jangka waktu yang panjang. Belum lagi ditambah beberapa
budaya lokal tersebut mengandung makna mendalam untuk menjaga keberlanjutan sumber daya alam dan
sumber daya lokal dengan mencerminkan relasi antar manusia, relasi manusia dengan Tuhan, dan relasi
manusia dengan semesta. Nilai-nilai pengetahuan lokal yang terwujud dalam berbagai bentuk budaya lokal
ini penting untuk terus digaungkan dan diwariskan pada generasi selanjutnya agar tetap lestari.

Pendidikan merupakan sarana untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki karakter positif terkait
dengan Projek Penguat Profil Pelajar Panncasila dan Budaya Kerja pada SMK Pusat Keunggulan. Sehingga
Kearifan lokal yang merupakan produk budaya masa lalu patut secara terus-menerus dijadikan pegangan
hidup. Suku Kaili, yang penduduki wilayah Sulawesi tengah, lebih khusu daerah Palu, Sigi Dan donggala
memiliki sistem nilai yang diwariskan melalui beberapa sub bagian seperti arsitektur rumah dan kesenian.
Tata cara hidup masyarakat kaili terkait dengan pola pemukiman dan pola pertanian. Nilai-nilai yang muncul
dalam kearifan lokal suku Kaili adalah religius, mencintai lingkungan, gotong royong, kebersamaan,
kesetaraan, kreatif, dan tanggung jawab. Nilai-nilai tersebut cocok dengan tema yang ada pada P5BK

Selain itu, sekolah juga dapat memberikan pengalaman akan keberagaman budaya yang dibutuhkan oleh
peserta didik untuk dapat merawat atau memelihara budaya lokal agar tidak punak, kemudian diikuti dengan
refleksi pada tahapannya akan membentuk masukan dan pengalaman positif dari keberagaman itu sendiri. Di
mana hal ini akan menghasilkan peserta didik yang mampu mengelola perbedaan secara konstruktif,
beradaptasi dengan baik, membangun sinergi atas perbedaan sehingga sekolah dapat mendorong peserta
didik lebih mudah dan siap menjadi bagian dari masyarakat global.

Bagaimanapun, sebagai kompas kehidupan, budaya dapat mengarahkan kita untuk berpikir, merasa,
bertindak, dan berkarya ke arah benar salah, baik buruk, pantas tidak pantas.

Moh. Asfar Septiadi, M.Pd


KEGIATAN 1 P5BK
PENGANTAR MATERI KEARIFAN LOKAL

Pakaian Adat Tradisional Suku Kaili Alat Musik Tradisional Suku Kaili Upacara Adat Suku Kaili

Permainan Tradisional Suku Kaili Tarian Tradisional Suku Kaili Makanan Khas Suku Kaili

PENGANTAR MATERI TUJUAN


Peserta didik diajak untuk mengenali bentuk dan fungsi kearifan lokal
KEARIFAN LOKAL yang ada di beberapa daerah di Indonesia khususnya di daerah
Sulawesi Tengah

DURASI: 2 JP PERSIAPAN
1. Guru membekali diri dengan pengetahuan akan definisi dan
berbagai bentuk kearifan lokal yang memiliki hubungan dengan
keberlanjutan sumber daya alam.
BAHAN 2. Guru menyiapkan lembar kerja K-W-L chart.
K – W – L Chart
Materi Video tentang K: What do you know about the topic?
kearifan lokal kota palu, W: What do you want to know about the topic?
L: What did you learn?
sigi,donggala
3. Guru menyiapkan artikel tentang ‘Kearifan Lokal yang ada di
Banyuwangi’ terkait dengan nilai nilai nasehat dari nenek
moyang atau leluhur
https://www.youtube.com/wa PELAKSANAAN
tch?v=UgQIgpfmpvI 1. Guru mengawali projek dengan meminta peserta didik untuk
menuliskan pepatah / peribahasa / nasihat-nasihat orang tua atau
orang dewasa yang masih diingat sampai saat ini.
2. Setelah peserta didik selesai menulis, guru bersama dengan
https://www.youtube.com/wa peserta didik membahas hasil tulisan peserta didik dan
menanyakan jika ada peserta didik lain yang menuliskan hal

Moh. Asfar Septiadi, M.Pd


tch?v=1L3YzvWgooE serupa.
3. Guru menggali lebih dalam apakah peserta didik tahu arti dari
pepatah / peribahasa / nasihat-nasihat tersebut. Kemudian guru
Proyektor, Laptop memberi pengantar bahwa pepatah / peribahasa / nasihat-nasihat
merupakan salah satu bentuk kearifan lokal.
4. Setelah itu, guru bertanya kepada peserta didik tentang pengertian
PERAN GURU Narasumber, dan bentuk kearifan lokal yang diketahui. Beberapa pertanyaan
Fasilitator. pemantik yang bisa dipakai:
a. Apa yang terlintas di pikiranmu ketika mendengar kata
kearifan lokal?
b. Menurutmu, apa itu kearifan lokal?
DIMENSI PROFIL
c. Seperti apa bentuknya?
PELAJAR PANCASILA d. Kearifan lokal apa yang kamu ketahui?
e. Berasal dari daerah mana kearifan lokal tersebut?
Kebhinekaan Global
f. Bagaimana kamu bisa mengetahui bentuk kearifan lokal
tersebut?
g. Apakah kamu tahu atau pernah mencari tahu makna
dibalik kearifan lokal tersebut?
5. Dengan topik “Menelusur Warisan Masa Lampau” dari Kearifan
Lokal Banyuwangi yang dibuat dalam bentuk gambar/ foto

Pelaksanaan
6. Guru mengawali projek dengan meminta peserta didik untuk
menuliskan pepatah / peribahasa / nasihat-nasihat orang tua atau
orang dewasa yang masih diingat sampai saat ini.
7. Setelah peserta didik selesai menulis, guru bersama dengan
peserta didik membahas hasil tulisan peserta didik dan
menanyakan jika ada peserta didik lain yang menuliskan hal
serupa.
8. Guru menggali lebih dalam apakah peserta didik tahu arti dari
pepatah / peribahasa / nasihat-nasihat tersebut. Kemudian guru
memberi pengantar bahwa pepatah / peribahasa / nasihat-nasihat
merupakan salah satu bentuk kearifan lokal.
9. Setelah itu, guru bertanya kepada peserta didik tentang pengertian
dan bentuk kearifan lokal yang diketahui. Beberapa pertanyaan
pemantik yang bisa dipakai:
a. Apa yang terlintas di pikiranmu ketika mendengar kata
kearifan lokal?
b. Menurutmu, apa itu kearifan lokal?
c. Seperti apa bentuknya?
d. Kearifan lokal apa yang kamu ketahui?
e. Berasal dari daerah mana kearifan lokal tersebut?
f. Bagaimana kamu bisa mengetahui bentuk kearifan lokal
tersebut?
g. Apakah kamu tahu atau pernah mencari tahu makna
dibalik kearifan lokal tersebut?
10. Dengan topik “Menelusur Warisan Masa Lampau” dari Kearifan
Lokal kota palu yang dibuat dalam bentuk gambar/ foto
Penutup

1. Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini dari presentasi yang


dilakukan oleh masing-masing kelompok.

Moh. Asfar Septiadi, M.Pd


KEGIATAN 2 & 3 P5BK
PENGANTAR MATERI KEARIFAN LOKAL (Pakaian Adat)

MODUL PROJEK FASE E PERSIAPAN


1. Guru membekali diri dengan pengetahuan
TEMA: akan salah satu bentuk kearifan lokal :
KEARIFAN LOKAL “mengenal alat musik tradisional” dan
bagaimana dampaknya terhadap
TOPIK Pembelajaran Projek Penguat Profil Pelajar
MENELUSURI WARISAN MASA LAMPAU Pencasila dan Budaya Kerja di SMKN 7
Palu .
MATERI
BENTUK DAN FUNGSI KEARIFAN LOKAL PELAKSANAAN
ALAT MUSIK TRADISIONAL 1. Guru meminta peserta didik untuk
menceritakan hasil temuan mereka dari
Durasi: 2 JP tugas aktivitas 1 tentang “penggunan siga
ikat dan sampolu”.
Bahan: Materi Video tentang 2. Guru memutar video “pakaian adat suku
kearifan lokal kaili” untuk penguatan dan berjaga-jaga jika
https://www.youtube.com/watch?v=5udyscLHHvs ada peserta didik yang tidak mengerjakan
tugas.
Artikel tentang kearifan lokal, 3. Guru menggali lebih dalam pengetahuan
peserta didik akan alat music tradisonal suku
Proyektor, Laptop kaili.

Beberapa pertanyaan pemantik yang


Peran guru: narasumber, fasilitator
dapat dipakai adalah sebagai berikut:
4. Apasaja aksesoris pakaian adat suku kaili?
Dimensi Profil Pelajar Pancasila:
Kebhinekaan Global 5. Guru lalu menceritakan bentuk kearifan
lokal yang beragam, mulai dari cerita
rakyat, legenda, lagu daerah, mocoan
lontar, nasihat, tarian, makanan atau
jajanan khas Banyuwangi yang memiliki
fungsi beragam pula.

Moh. Asfar Septiadi, M.Pd


KEGIATAN 4 & 5 P5BK
BENTUK DAN FUNGSI KEARIFAN LOKAL PAKAIAN ADAT KAILI

MODUL PROJEK FASE E PERSIAPAN


1. Guru membekali diri dengan
TEMA: pengetahuan akan salah satu bentuk
KEARIFAN LOKAL kearifan lokal : “mengenal alat musik
tradisional” dan bagaimana dampaknya
TOPIK terhadap Pembelajaran Projek Penguat
MENELUSURI WARISAN MASA LAMPAU Profil Pelajar Pencasila dan Budaya
Kerja di SMKN 7 Palu .
MATERI
BENTUK DAN FUNGSI KEARIFAN LOKAL PELAKSANAAN
ALAT MUSIK TRADISIONAL 2. Guru meminta peserta didik untuk
menceritakan hasil temuan mereka dari
Durasi: 2 JP tugas aktivitas 1 tentang “musik
tradisional”.
Bahan: Materi Video tentang 3. Guru memutar video “musik tradisional
kearifan lokal suku kaili” untuk penguatan dan berjaga-
https://www.youtube.com/watch?v=YL_B-_KeKxI jaga jika ada peserta didik yang tidak
https://www.youtube.com/watch?v=KuhQerb2v6o mengerjakan tugas.
https://www.youtube.com/watch?v=9JhCbbDxK8Q 4. Guru menggali lebih dalam pengetahuan
https://www.youtube.com/watch?v=Yde9A99h42E peserta didik akan alat music tradisonal
suku kaili.
Artikel tentang kearifan lokal,
Beberapa pertanyaan pemantik yang
Proyektor, Laptop dapat dipakai adalah sebagai berikut:
5. Perbedaan lalove dan suling itu apa sih?
Peran guru: narasumber, fasilitator 6. Guru lalu menceritakan bentuk kearifan
lokal yang beragam, mulai dari cerita
rakyat, legenda, lagu daerah, mocoan
Dimensi Profil Pelajar Pancasila:
lontar, nasihat, tarian, makanan atau
Kebhinekaan Global

Moh. Asfar Septiadi, M.Pd


jajanan khas Banyuwangi yang memiliki
fungsi beragam pula.
KEGIATAN 6 & 7 P5BK
BENTUK DAN FUNGSI KEARIFAN LOKAL (UPACARA ADAT)

MODUL PROJEK FASE E PERSIAPAN


1. Guru membekali diri dengan
TEMA: pengetahuan akan salah satu bentuk
KEARIFAN LOKAL kearifan lokal : “upacara adat suku
kaili” dan bagaimana dampaknya
TOPIK terhadap Pembelajaran Projek Penguat
MENELUSURI WARISAN MASA LAMPAU Profil Pelajar Pencasila dan Budaya
Kerja di SMKN 7 Palu
MATERI
BENTUK DAN FUNGSI KEARIFAN LOKAL PELAKSANAAN
UPACARA ADAT SUKU KAILI 1. Guru meminta peserta didik untuk
menceritakan hasil temuan mereka dari
Durasi: 2 JP tugas aktivitas 1 tentang “Kearifan
Lokal suku kaili”
Bahan: Materi Video tentang 2. Guru memutar video “Upacara adat suku
kearifan lokal kaili” untuk penguatan dan berjaga-jaga
https://www.youtube.com/watch?v=VDzZvksGHl0 jika ada peserta didik yang tidak
https://www.youtube.com/watch?v=keOVNBRj-fU mengerjakan tugas
3. Guru menggali lebih dalam pengetahuan
Artikel tentang kearifan local. peserta didik akan upacara adat suku kaili

Proyektor, Laptop Beberapa pertanyaan pemantik yang


dapat dipakai adalah sebagai
berikut:
Peran guru: narasumber, fasilitator 4. Bagaimana pandangan anda tentang
upacara adat balia?
Dimensi Profil Pelajar Pancasila: 5. Dalam upacara adat penikahan, apa yeng
Kebhinekaan Global membuat suku kaili berbeda dengan
suku lainnya?
6. Guru lalu menceritakan bentuk kearifan
lokal yang beragam, mulai dari cerita
rakyat, legenda, lagu daerah, mocoan
lontar, nasihat, tarian, makanan atau
jajanan khas Banyuwangi yang

Moh. Asfar Septiadi, M.Pd


memiliki fungsi beragam pula.

KEGIATAN 8 & 9 P5BK


BENTUK DAN FUNGSI KEARIFAN LOKAL (PERMAINAN TRADISIONAL)

MODUL PROJEK FASE E PERSIAPAN


1. Guru membekali diri dengan
TEMA: pengetahuan akan salah satu bentuk
KEARIFAN LOKAL kearifan lokal : “upacara adat suku
kaili” dan bagaimana dampaknya
TOPIK terhadap Pembelajaran Projek Penguat
MENELUSURI WARISAN MASA LAMPAU Profil Pelajar Pencasila dan Budaya
Kerja di SMKN 7 Palu
MATERI
BENTUK DAN FUNGSI KEARIFAN LOKAL PELAKSANAAN
PERMAINAN TRADISIONAL 2. Guru meminta peserta didik untuk
menceritakan hasil temuan mereka dari
Durasi: 2 JP tugas aktivitas sebelumnya tentang
“Kearifan Lokal suku kaili”
Bahan: Materi Video tentang 3. Guru memutar video “permainan
kearifan lokal tradisional” untuk penguatan dan berjaga-
https://www.youtube.com/watch?v=NrLwYmM3pII jaga jika ada peserta didik yang tidak
https://www.youtube.com/watch?v=900txZn_Ls8 mengerjakan tugas
4. Guru menggali lebih dalam pengetahuan
Artikel tentang kearifan lokal, peserta didik akan permainan tradisional
suku kaili
Proyektor, Laptop
Beberapa pertanyaan pemantik yang
dapat dipakai adalah sebagai
Peran guru: narasumber, fasilitator berikut:
5. Permainan tradisional apasaja yang
Dimensi Profil Pelajar Pancasila: pernah kalian mainkan?
Kebhinekaan Global 6. Guru lalu menceritakan bentuk kearifan
lokal yang beragam, mulai dari cerita
rakyat, legenda, lagu daerah, mocoan
lontar, nasihat, tarian, makanan atau
jajanan khas Banyuwangi yang
memiliki fungsi beragam pula.

Moh. Asfar Septiadi, M.Pd


KEGIATAN 10 &11 P5BK
BENTUK DAN FUNGSI KEARIFAN LOKAL (Tarian Tradisonal)

MODUL PROJEK FASE E PERSIAPAN


1. Guru membekali diri dengan
TEMA: pengetahuan akan salah satu bentuk
KEARIFAN LOKAL kearifan lokal : “tarian tradisional” dan
bagaimana dampaknya terhadap
TOPIK Pembelajaran Projek Penguat Profil
MENELUSURI WARISAN MASA LAMPAU Pelajar Pencasila dan Budaya Kerja di
SMKN 7 Palu
MATERI
BENTUK DAN FUNGSI KEARIFAN LOKAL PELAKSANAAN
PERMAINAN TRADISIONAL 2. Guru meminta peserta didik untuk
menceritakan hasil temuan mereka dari
Durasi: 2 JP tugas aktivitas sebelumnya tentang
“Kearifan Lokal suku kaili”
Bahan: Materi Video tentang 3. Guru memutar video “tarian tradisional”
kearifan lokal untuk penguatan dan berjaga-jaga jika ada
https://www.youtube.com/watch?v=SDGwKOX8s-w peserta didik yang tidak mengerjakan
https://www.youtube.com/watch?v=SVOrO1Y3emM tugas
4. Guru menggali lebih dalam pengetahuan
Artikel tentang kearifan lokal, peserta didik akan permainan tradisional
suku kaili
Proyektor, Laptop
Beberapa pertanyaan pemantik yang
dapat dipakai adalah sebagai
Peran guru: narasumber, fasilitator berikut:
5. Pernakah anda melihat pertunjukan seni
Dimensi Profil Pelajar Pancasila: tari tradisional suku kaili?
Kebhinekaan Global 6. Guru lalu menceritakan bentuk kearifan
lokal yang beragam, mulai dari cerita
rakyat, legenda, lagu daerah, mocoan
lontar, nasihat, tarian, makanan atau
jajanan khas Banyuwangi yang

Moh. Asfar Septiadi, M.Pd


memiliki fungsi beragam pula.

KEGIATAN 12 &13 P5BK


BENTUK DAN FUNGSI KEARIFAN LOKAL (Tarian Tradisonal)

MODUL PROJEK FASE E PERSIAPAN


1. Guru membekali diri dengan
TEMA: pengetahuan akan salah satu bentuk
KEARIFAN LOKAL kearifan lokal : “makanan tradisional”
dan bagaimana dampaknya terhadap
TOPIK Pembelajaran Projek Penguat Profil
MENELUSURI WARISAN MASA LAMPAU Pelajar Pencasila dan Budaya Kerja di
SMKN 7 Palu
MATERI
BENTUK DAN FUNGSI KEARIFAN LOKAL PELAKSANAAN
MAKANAN TRADISIONAL 2. Guru meminta peserta didik untuk
menceritakan hasil temuan mereka dari
Durasi: 2 JP tugas aktivitas sebelumnya tentang
“Kearifan Lokal suku kaili”
Bahan: Materi Video tentang 3. Guru memutar video “makanan
kearifan lokal tradisional” untuk penguatan dan berjaga-
https://www.youtube.com/watch?v=ND8B93Nj1QQ jaga jika ada peserta didik yang tidak
mengerjakan tugas
Artikel tentang kearifan lokal, 4. Guru menggali lebih dalam pengetahuan
peserta didik akan permainan tradisional
Proyektor, Laptop suku kaili

Beberapa pertanyaan pemantik yang


Peran guru: narasumber, fasilitator dapat dipakai adalah sebagai
berikut:
Dimensi Profil Pelajar Pancasila: 5. Pernakah anda mencoba masakan kaili,
Kebhinekaan Global bagaimana menurut anda dengan
rasanya?
6. Guru lalu menceritakan bentuk kearifan
lokal yang beragam, mulai dari cerita
rakyat, legenda, lagu daerah, mocoan
lontar, nasihat, tarian, makanan atau

Moh. Asfar Septiadi, M.Pd


jajanan khas Banyuwangi yang
memiliki fungsi beragam pula.

KEGIATAN 14 P5BK

PROJEK KEARIFAN LOKAL

MODUL PROJEK FASE E PERSIAPAN


Guru wajib mempunya pengetahuan tentang
TEMA: bagaimana melakukan observasi
KEARIFAN LOKAL Guru mempersiapkan lembar observasi pengamatan

SUB-TEMA PELAKSANAAN
MENELUSURI WARISAN MASA LAMPAU 1. Di dalam kelas, guru mengajak peserta
didik untuk mengingat kembali seluruh
TOPIK materi kearifan lokal yang telah dipelajari.
Unjuk Projek Kearifan Lokal 2. Guru membagi siswa kedalam bebrapa
kelompok.
Waktu: 90 menit / 2 JP 3. Guru membagi materi (Pakaian adat
Bahan: Alat tulis, Gawai tradisional, alat musik tradisional upacara
adat, permainan tradisional, tarian
tradisional, makanan khas)
Peran Guru: Pendamping dan Fasilitator 4. Guru memilih materi projek bagi tiap
kelompok
Catatan 5. Siswa diminta untuk mendemonstrasikan
Ketika melakukan pengamatan di luar sekolah materi kearifan lokal baik dalam bentuk
ajak peserta didik untuk fokus pada inderanya, video ataupun artikel pamflet.
misalnya: saat ingin fokus pada indera Tugas:
pendengaran, tutuplah mata dan fokus pada apa Guru meminta peserta didik untuk melakukan
yang terdengar. Minta teman kelompok untuk refleksi
menemani proses ini agar tidak membahayakan
diri di jalan sekitar sekolah

TUJUAN
Peserta didik merasakan atau mengalami
langsung tantangan / masalah yang terjadi di
sekitarnya

Moh. Asfar Septiadi, M.Pd


Lampiran
1
PAKAIAN ADAT SUKU KAILI

Sulawesi dikenal dengan kekayaan budaya, tradisi dan


baju adat yang dimilikinya. Beberapa baju adat
Sulawesi Tengah ini terkenal sampai ke beberapa
daerah. Selain itu baju adat ini juga merupakan pakaian
turun temurun yang digunakan oleh masyarakat di
Sulawesi Tengah. Selain masyarakat dari Sulawesi
Tengah pakaian adat Kaili ini sering digunakan tokoh
masyarakat. Suku Kaili dengan penduduk terbesar ini
memiliki pakaian adat yang unik dan menarik. Kaili
memiliki arti yaitu sebuah pohon yang tumbuh di tepi sungai.

Pakaian adat Sulawesi Tengah khususnya suku Kaili adalah pakaian adat yang populer. Baju adat Koje
adalah baju adat asal Kaili yang digunakan khusus untuk pria. Sedangkan baju adat untuk wanita adalah
baju adat Nggembe. Baju adat unik dan menarik ini dapat digunakan bagi semua kalangan.

Fakta Menarik Pakaian Adat Kaili

1. Digunakan Sebagai Busana Menari


Pakaian adat suku Kaili digunakan untuk melaksanakan beberapa acara adat dan upacara kebudayaan.
Selain itu, pakaian adat ini juga digunakan untuk menampilkan Tari Seni Pontanu. Tari yang
dipersembahkan dengan menggunakan busana adat Kaili ini umumnya dipertunjukkan bagi beberapa
tamu terhormat dan tamu kenegaraan yang datang ke Sulawesi Tengah. Jadi tidak heran jika busana ini
hanya digunakan saat acara-acara penting saja.

2. Digunakan Saat Acara Besar


Beberapa fakta menyebutkan bahwa saat menjelang hari-hari besar seperti perayaan 17 Agustus, hari
kartini dan hari Nasional lainnya. Untuk mendapatkan pakaian adat Kaili akan sangat sulit di beberapa
tempat. Karena pakaian adat suku Kaili menjadi pakaian adat favorit yang digunakan saat hari-hari
Nasional.

3. Show Baju Adat


Dalam beberapa acara pertunjukan baju adat Nasional. Baju adat Kaili ini sering mewakili untuk tampil
dan memamerkan kemewahannya. Karena keunikan dan kecantikannya pakai adat suku Kaili ini memiliki
banyak peminat dan pengagum.

Keunikan yang Dimiliki Baju Adat Kaili

1. Bentuk Baju Adat untuk Pria


Baju adat koje atau umumnya disebut dengan baju ceki ini memiliki bentuk yang unik. Atasan dari baju
ini adalah lengan panjang. Baju ini dipasangkan dengan celana yang disebut celana Puruka Pajana. Celana
ini adalah celana panjang yang berbentuk ketat sampai ke lutut.
Baju adat Koje ini memiliki beberapa warna yaitu putih, coklat gelap dan coklat cerah. Pakaian adat ini
umumnya dibuat dengan warna senada dengan pakaian wanita.

2. Bentuk Baju Adat untuk Wanita


Suku Kaili ini memiliki bentuk baju adat pria dan wanita yang berbeda. Selain berbeda. Pemberian
namanya juga berbeda. Dimana pakaian adat suku Kaili untuk wanita ini disebut dengan nama Nggembe.
Pakaian adat wanita ini memiliki bentuk yang unik dan menarik.

Baju adat untuk wanita umumnya memiliki pilihan warna. Pilihan warnanya yaitu warna merah atau
warna kuning yang di kombinasikan dengan corak berwarna hitam atau berwarna coklat.

Baju ini berupa baju terusan yang longgar dan lengannya pendek. Ada hiasan berupa manik-manik yang
mempercantik baju ini. Dimana baju nggembe ini berbentuk segi empat dan berbentuk bulat di kerah
baju.

Bawahan untuk pakaian adat ini yaitu Buya Sabe Kumbaja. Berupa rok panjang dan mekar. Dimana
bawahan ini terbuat dari sarung yang ditenun dan berasal dari Donggala. Sarung tenun ini diikatkan pada
pinggang wanita. Dimana sisa ikatan tersebut dibiarkan terjuntai sebagai hiasan.

3. Aksesoris yang Menghiasi


Pakaian adat ini dihiasi denga beberapa aksesoris. Aksesoris ini digunakan untuk menyempurnakan
pakaian ini. Aksesorisnya berupa sarung yang
dipakai pada pria di pinggang. Ada juga keris
yang diselipkan di pinggang pria. Ada topi yang
disebut dengan siga, topi ini adalah penutup
kepala untuk pria.

Pakaian adat ini dilengkapi dengan aksesoris


seperti pakaian pria. Aksesoris yang ada pada
pakaian wanita ini adalah berupa anting panjang
atau disebut dali taroe, gelang yang disebut ponto
date, gemo atau kalung berunyai. Selain itu, ada penutup dada yang disebut sampo dada. Ada ikat
pinggang yang terbuat dari emas dan disebut pende.

Filosofi yang Dimiliki Pakaian Adat Kaili

1. Fiosofi Nama Tempat


Kaili adalah berasal dari nama pohon dan buah dari pohon Kaili. Pohon ini menurut beberapa cerita
tumbuh di tepi sungai dan menjulang tinggi. Pohon ini tumbuh banyak juga di sekitar pantai.
Pohon ini menjadi penanda bagi beberapa nelayan dan pelaut yang berada di tengah laut. Sehingga suku
ini pun akhirnya disebut dengan nama suku Kaili.
2. Filosofi Penutup Kepala Pria
Selain cerita unik dari pemberian nama suku ini. Penggunaan pakaian adat suku ini memiliki aksesoris di
bagian kepala. Aksesoris ini berupa siga. Siga atau dester yang digunakan sebagai penutup kepala ini
memiliki beberapa pilihan warna.
Menurut beberapa cerita pilihan warna dari siga ini menentukan status sosial bagi pemakainya. Namun
tradisi ini sudah lama tidak diterapkan lagi. Sehingga banyak masyarakat memilih menggunakan penutup
kepala ini sesuka hatinya.

Proses Pembuatan Baju Adat Kaili


Pakaian adat Kaili memiliki pakaian adat yang nyaman dan aman saat digunakan. Dimana pembuatan
pakaian adat ini menggunakan bahan pilihan dan berkualitas
terbaik. Seperti bawahan yang digunakan oleh wanita yaitu
sebuah sarung yang ditenun dengan baik oleh masyarakat
Donggala sendiri.

Pembuatan baju wanita ini diberikan corak hitam berbentuk


lingkaran di bagian leher. Baju ini dibuat dengan membentuk
persegi empat yang unik.

Pada pakaian adat pria, dibuat dengan motif yang indah dan mengagumkan. Pada sarung yang digunakan
pada pria ini adalah sebuah sarung tenun yang khas dibuat tanpa proses pembuatan dengan pabrik. Selain
itu, beberapa hiasan-hiasan yang ada tersebut dibuat dengan emas dan daun kelapa atau daun pandan.

Tugas 1:
Cobalah menggunakan pakaian/atribut pakaian adat sulawesi tengah, lalu dokumentasikan hal tersebut

Nama Nama Nama

Nama Nama Nama

Nama Nama Nama


Nama Nama Nama

Tugas 2 :
Diskusikan bersama
1. Baju adat suku kaili yang telah dimodifikasi boleh tidak?
2. Pemilihan warna baju adat yang di sesuaikan keinginan hati
pengguna.

Rubrik penilaian

Penyampaian, bahasa, dan etika


Penguasaan materi Strategi dan kerjasama tim
NO NAMA SISWA serta ketepatan waktu (manner)
(40%) (20%)
(40%)
2
MUSIC TRADISIONAL SUKU KAILI

Banyaknya etnis dan suku di Sulawesi Tengah membuat kebudayaan dari Provinsi tersebut
sangat kaya dan beragam, namun tetap harmonis dalam kerukunan masyarakat.

Di bidang seni musik, ada banyak sekali jenis alat musik yang muncul dan bekembang dari
berbagai etnis di Sulawesi Tengah ini.

A. Ganda
semuatentangprovinsi.blogspot.com
Ganda merupakan alat musik tradisional berasal dari
Sulawesi Tengah yang dimainkan dengan cara ditabuh
seperti gendang. Bentuk alat musik Ganda lebih mirip
dengan alat musik Tifa, namun dengan ukuran yang lebih
kecil dan ramping. Alat musik ini dilapisi dengan kulit
binatang di bagian kedua sisinya.

Ganda, atau juga biasan dikenal dengan Kanda, dapat


dipelajari dengan mudah oleh hampir semua orang, baik
pemula ataupun yang sudah ahli. Suara yang dihasilkan
sangat tergantung dengan bagaimana teknik pukulan dan
kelihaian sang pemain dalam memainkan alat musik Ganda.

2. Geso Geso
Geso Geso merupakan salah satu alat
musik tradisional Sulawesi Tengah
yang memang khas dengan
kebudayaan yang ada di sana.
Sebenarnya nama aslinya pa’ geso-
geso, namun orang-orang lebih
mudah menyebutnya dengan Geso-
Geso. Alat musik ini cukup terkenal
di daerah Saluputti.
Alat musik tersebut umumnya terbuat dari kayu khusus yang sifatnya kuat dan keras, ditambah
dengan tempurung yang dilapisi dengan kulit binatang yang berfungsi sebagai pengeras bunyi.
Cara memainkannya dengan digesek menggunakan alat penggesek yang terbuat dari serat kayu,
atau bisa juga dengan ijuk. Berbeda dengan biola, Geso Geso hanya memiliki satu dawai saja.

3. Gimba

Sebenarnya, tidak ada yang tahu pasti dengan asal dari


alat musik Gimba ini. Karena di beberapa daerah,
seperti di daerah Donggala ada yang menyebutnya
‘ganda-ganda’ dengan bentuk yang lebih kecil.
Namun, kita lebih mengenalnya dengan alat musik
‘gimba’.

Gimba biasa difungsikan sebagai media untuk mengumumkan berbagai kegiatan atau kejadian
tertentu, seperti berita duka, bencana alam, dan lain sebagainya. Dengan begitu, masyarakat
dapat dengan segera mengetahui kabar-kabar darurat. Dengan menggunakan simbol suara yang
dibedakan dengan banyak sedikitnya jumlah pukulan yang memiliki arti yang berbeda-beda.
Selain fungsi komunikasi, Gimba juga biasa digunakan sebagai alat musik pengiring tari-tarian,
terutama saat Upacara Balia. Apalagi ketika digelar suatu pertandingan seperti pencak silat,
Gimba seringkali hadir sebagai pembuka bersama dengan alat musik tradisional lainnya, seperti
Lalove.

4. Lalove
Lalove /bukareview
Lalove adalah alat musik tradisional Sulawesi yang
biasa digunakan untuk mengiringi kesenian tari
daerah atau adat lokal. Alat musik ini berupa suling
panjang yang biasanya juga dipadukan dengan alat
musik lain, seperti Kadode, Yori, Mbasi-Mbasi atau
kentongan. Selain sebagai pengiring kegiatan seni
daerah, Lalove juga berperan dalam upacara adat lokal, seperti Upacara Balia. Meskipun upacara
ini sudah jarang dilakukan, namun ada beberapa daerah di pesisir Palu yang masih
melangsungkan upacara ini dengan menggunakan alat musik Lalove.

5. Pare’e
Pare’e adalah semacam alat musik pukul yang terbuat
dari bambu yang dibelah, dan salah satu ujungnya
dibuat runcing seperti bentuk paruh burung. Cara
memainkannya dengan dipukul menggunakan tangan.
Biasanya, Pare’e dimainkan oleh para petani untuk merayakan panen mereka, sebagai ekspresi
rasa gembira mereka. Ada juga pemuda yang masih memainkan alat musik ini sekadar sebagai
hiburan. Di daerah tertentu seperti Suku Kulawi, Pare’e diyakini memiliki kekuatan magis ketika
dimainkan pada saat acara tertentu.

6. Santu
Satu adalah alat musik tradisional khas
Sulawesi yang masih tergolong dalam
kelompok instrumen idio-kordofon.
Alat musik petik ini terbuat dari bambu
yang di bagian tengahnya dilubangi
sebagai resonatornya agar dapat
menghasilkan suara yang lebih keras.

Alat musik Santu biasanya dimainkan untuk mengisi waktu senggang di sawah sembari melihat
awan. Selain itu, anak-anak muda juga sering menggunakannya sebagai alat permainan yang
kreatif. Kadang ketika mereka dengan bermain, alat musik ini digunakan sebagai alat komunikasi
kelompok yang menambah keseruan dalam permainan tradisional itu sendiri.

6. Kakula
Kakula adalah alat musik tradisional suku Kaili di
Sulawesi Tengah, yang terdiri dari tujuh buah ‘gong
kecil’ mirip bonang, terbuat dari besi atau kuningan,
tersusun rapi di atas sebuah kotak. Kakula dimainkan
dengan cara dipukul menggunakan alat pemukul kayu
yang ujungnya diberi pelapis. Kakula mempunya dua
pengertian, pertama sebagai sebuah ansambel (kumpulan
alat musik) yang terdiri dari kakula, gong (tawa-tawa),
dan gendang (gimba), serta kedua sebagai instrumen musik. Bentuk kakula awalnya berupa
bilah-bilah kayu yang disusun berderet sebanyak 7 bilah kayu, dan ditempatkan di dalam wadah
berbentuk persegi panjang. Cikal bakal kakula ini bernama gamba-gamba. Tahun 1618 Islam
mulai masuk ke Sulawesi Tengah dengan membawa budaya gong. Gamba-gamba kemudian
mengalami perubahan, yang semula terbuat dari kayu kemudian beralih bentuk menjadi seperti
gong kecil, terbuat dari kuningan sebagaimana adanya sekarang. Kehadiran kakula yang mirip
bonang menginspirasi kreativitas masyarakat Sulawesi Tengah. Kakula kemudian dibuat dari
besi roda pedati (besi plat), dibentuk pipih dengan tonjolan di tengah sebagaimana yang ada pada
kakula kuningan.

Dalam penyajiannya musik kakula dibedakan menjadi dua, tradisi dan kreasi.
1. Kakula Tradisi disebut juga Kakula Nuada. Kakula jenis ini adalah warisan tradisi masyarakat
Kaili yang berlangsung turun temurun dan menjadi milik masyarakat secara komunal. Ansambel
kakula tradisi menyebar melalui tradisi lisan dan diajarkan turun temurun. Sampai saat ini pola
permainan ansambel kakula tradisi tidak berubah, tetap dimainkan tanpa penyanyi. Ansambel
Kakula Nuada selalu memainkan 8 pukulan (repertoar lagu) dalam setiap acara-acara adat.
Instrumen pendukungnya juga masih sama, yaitu kakula bernada pentatonis yang terdiri dari
susunan tujuh buah gong kecil, tawa-tawa (gong), dan dua buah gendang (gimba manuru yang
berukuran kecil, dan gimba tampilangi yang ukurannya lebih besar). Formasi pemain gimba
(gendang) bisa satu atau dua orang. Para pemain ansambel musik kakula nuada adalah
perempuan, dalam posisi duduk, dan memainkannya dengan cara dipukul menggunakan alat
dalam nada dan irama lagu yang khusus.

2. Kakula Kreasi adalah pengembangan dari Kakula Tradisi, yang menjadi simbol tradisi sekaligus
modernitas. Tangga nada yang digunakan dalam kakula kreasi adalah diatonis dengan deret 5-6-
7-1-2-3-4-5-6-7-1. Ansambel kreasi diciptakan oleh seniman besar Sulawesi Tengah, Hasan M.
Bahasyuan, yang merasa tertantang dengan alat musik pengiring tari yang masih sederhana
dibandingkan alat musik Jawa. Tahun 1969 ansambel kakula diberi warna lain dengan
penggunaan tangga nada yang lebih universal, dan penambahan instrumen musiknya. Ansambel
Kakula Kreasi terdiri dari Kakula diatonis, Tawa-Tawa (gong), Gendang Sunda, Jimbe, Floor
Tom (snare drum), dan Repe-repe (simbal), dilengkapi dengan Topodade atau penyanyi.
Komposisi instrumen dalam ansambel kakula kreasi tidak bersifat mutlak, tergantung kebutuhan
lagu yang akan dimainkan. Ansambel kakula kreasi tidak memiliki pukulan tertentu dalam
penyajiannya. Penggunaan nada diatonis memungkinkan ansambel kakula kreasi mengiringi
berbagai genre lagu, tari-tarian kreasi, dan sebagainya.

Musik kakula selalu hadir dalam berbagai upacara seperti pesta perkawinan adat Kaili, dan
nosuna atau khitanan. Dalam upacara perkawinan adat Kaili, iring-iringan ansambel kakula
menjadi syarat berlangsungnya sebuah pernikahan. Lima atau tiga hari sebelum pelaksanaan,
ansambel kakula nuada dibunyikan terus-menerus sebagai pengumuman bahwa salah satu rumah
di desa tersebut sedang mengadakan pernikahan adat. Prosesi ini disebut Dulompote yang dahulu
hanya berlaku untuk golongan raja dan bangsawan suku Kaili. Ansambel kakula yang
dikombinasikan dengan rebana, juga berfungsi untuk mengiringi perjalanan pengantin laki-laki
menuju tempat pengantin perempuan. Saat turun dari rumah, tabuhan kakula berhenti dan rebana
dimainkan. Jika bunyi rebana sudah terdengar di rumah pengantin perempuan, maka ansambel
kakula yang ada di rumah pengantin perempuan dibunyikan sebagai penyambutan. Dalam
upacara nosuna, ansambel kakula menjadi isyarat atau pertanda bagi toniasa (orang yang akan
disunat) untuk makan, penjemputan dari sungai tempatnya mobonggo (berendam dalam air
selama setengah hari), dan perjalanan kembali ke rumah.

Musik Kakula juga berfungsi sebagai sarana hiburan dan media komunikasi, karena saat bunyi
kakula terdengar masyarakat akan datang berbondong-bondong, dan memanfaatkan keramaian
tersebut sebagai ajang pertemuan antar warga. Bagi seniman musik sendiri, kakula bisa menjadi
media ekspresi, baik dalam bentuk vokal, instrumental, maupun keduanya. Musik Kakula juga
digunakan sebagai pengiring tarian sejak masih menggunakan tangga nada pentatonis. Hasan M.
Bahasyuan yang memperkenalkannya berkeliling Jawa, bahkan tahun 1963 musik kakula juga
mengiringi tari-tarian dari Sulawesi Utara dan Tengah pada perhelatan Asian Games di Jakarta.
Musik kakula juga menjadi iringan manca atau pencak silat. Fungsinya adalah untuk memberi
rangsangan kepada para pemain, karena semakin cepat permainan musiknya maka makin cepat
pula para pemain manca melepaskan serangan.

Harmonisasi musik kakula turut meramaikan perayaan hari kemerdekaan yang ke-70 Republik
Indonesia tahun 2015 di Istana Negara. Presiden Joko Widodo memberikan apresiasi dengan
menyaksikannya sebelum memimpin upacara Penurunan Bendera. Tahun 2018 dalam Konser
Karawitan Anak Indonesia, kontingen Sulawesi Tengah yang diwakili Sanggar Seni Teku-Teku
berhasil meraih penghargaan Penyaji Terpilih. Mereka menampilkan pertunjukan Lebong-
Lebong dengan iringan perpaduan kakula, gimba (gendang), dan rebana. Di tahun enam puluhan,
kakula juga pernah ditampilkan di Istana Bogor dan Istana Negara.

https://tambahpinter.com/alat-musik-sulawesi-tengah/
http://encyclopedia.jakarta-tourism.go.id/post/kakula--seni-musik?lang=id

TUGAS 1
Diskusi Kelas mengenai musik tradisional sulawesi tengah.

Format Lembar Penilaian Diskusi (Individu Peserta Didik)

Nama
Nilai
No Sikap/Aspek yang dinilai kelompok/ Nilai Kualitatif
Kuantitatif
peserta didik
Penilaian Individu Peserta didik
1. Berani mengemukakan pendapat
2. Berani menjawab pertanyaan
3. Inisiatif
4. Ketelitian
5. Jiwa kepemimpinan
6. Bermain peran
Jumlah Nilai Individu

Kriteria Penilaian

Kriteria Nilai
Nilai Kualitatif
Indikator Kuantitatif
80-100 Memuaskan 4
70-79 Baik 3
60-69 Cukup 2
45-59 Kurang cukup 1

Tugas 2
Cobalah untuk belajar memainkan salah satu alat musik tradisional sulawesi tengah.

Nama Tanggung Kerja Peduli


No Disiplin Teliti Kreatif Keterangan
Siswa Jawab sama Lingkungan
1
2
,,,,
Kolom Aspek perilaku diisi dengan angka yang sesuai dengan kriteria berikut.
4 = sangat baik
3 = baik
2 = cukup
1 = kurang
3
UPACARA ADAT SUKU KAILI
A. BALIA
Balia adalah salah satu tari ritual dalam kepercayaan lama masyarakat
suku Kaili, Sulawesi Tengah. Kepercayaan ini merupakan pemujaan
kepada dewa-dewa dan roh nenek moyang. Kepercayaan kepada
kekuatan gaib, roh leluhur dan nenek moyang sangat kental meskipun
sampai agama Islam sudah masuk dalam kehidupan mereka. Mitos
menjadi hal yang turun temurun. Ini merupakan upaya pengakuan
terhadap kekuatan yang mereka anggap suci, yang dianggap bisa
mendatangkan berkah dan musibah. Karena kepercayaan ini, tradisi pengobatan Balia terus ada dan
menjadi ritual turun temurun, sebagai salah satu bentuk hubungan dengan kekuatan yang dianggap suci
tersebut. Menyembuhkan penyakit karena kemarahan kekuatan tersebut.

Orang Kaili percaya keharusan menjaga hubungan baik dengan


kekuatan yang menguasai alam. Dimana penguasa alam ini
dipersonifikasikan ke dalam bentuk leluhur dan dewa-dewa.
Ketika manusia tidak mampu menjaga hubungan baik tersebut,
maka sang penguasa marah sehingga mendatangkan musibah
sakit. Sehingga mesti disembuhkan dengan memuja-muja lagi
dewa yang memberi sakit.

Tradisi Balia ini bisa diadakan secara individu ataupun kelompok. Ritual Tari Balia diadakan di rumah
pemujaan yang disebut Lobo. Dan dilakukan setelah upaya medis tak berhasil menyembuhkan penyakit.
Prosesi ini dimulai dengan menyiapkan bahan-bahan seperti dupa, keranda, buah-buahan hingga hewan
yang akan dikorbankan, seperti; ayam, kambing atau kerbau, tergantung latar belakang dan kasta yang
mengadakan ritual. Tuan rumah ritual Balia juga mesti membayar jasa lelah sang peritual.

Jika semua persiapan sudah matang, peritual akan memulai prosesi


dengan membaca mantra-mantra. Ia akan memanggil roh leluhur sambil
menari diiringi musik dari gendang dan suling. Sesajen yang sudah
disiapkan, diletakkan dekat dupa di setiap prosesinya. Tarian akan terus
berlangsung sampai si orang yang sakit ini diusung ke prosesi puncak,
yaitu penyembelihan hewan. Darah dari hewan itu dianggap simbol
harapan atas kesembuhan. Prosesi Balia ini bisa berlangsung hingga
tujuh hari tujuh malam. Terdapat sepuluh jenis ritual adat balia, yaitu ritual Pompoura dari Kelurahan
Balaroa, Enje Da’a dari Kelurahan Donggala Kodi, Tampilangi Ulujadi dari Kelurahan Kabonena,
Pompoura Vunja dari Kelurahan Petobo, Manuru Viata dari Kelurahan Tipo, Jinja dari Kelurahan
Lasoani, Balia Topoledo dari Kelurahan Taipa, Vunja Ntana dari Kelurahan Tanamodindi, Tampilangi
Api dari Kelurahan Kayumalue Pajeko, dan Nora Binangga dari Kelurahan Kawatuna. [1]

https://id.wikipedia.org/wiki/Balia

B. ADAT PERNIKAHAN SUKU KAILI

Sulawesi Tengah terkenal dengan keberagaman budaya dan


keunikan adat istiadatnya. Hal ini dapat kita lihat melalui prosesi
adat pernikahan suku Kaili, Sulawesi Tengah. Proses adat
pernikahan suku Kaili memiliki 3 tahapan yaitu, proses sebelum
pernikahan, upacara pernikahan, dan sesudah pernikahan. dalam
setiap tahap terdapat prosesi adat yang berbeda-beda. Maka dari
itu dalam artikel ini kita akan membahas mengenai adat
pernikahan suku kaili dalam proses sebelum pernikahan.
Tahapan dari rangkaian proses upacara adat perkawinan
masyarakat suku Kaili dari awal sampai sekarang tidak terlalu
mengalami perubahan yang berarti kecuali masalah busana,
walaupun tidak dapat dipungkiri adanya perubahan lain setelah
masyarakat sudah memeluk agama, terutama setelah
kedatangan Datuk Karama sekitar abad 17 M, dan juga pengaruh
dari daerah lain sebagai akulturasi dan difusi dengan budaya lokal.
Di dalam proses upacara perkawinan, ada beberapa tahapan yang harus dilalui, yakni:

Adat Sebelum Perkawinan


Pelaksanaan adat sebelum perkawinan merupakan rangkaian proses untuk mengawali pelaksanaan suatu
upacara adat yang pelaksanaannya meliputi:

1.1. Notate Dala (Mencari Informasi)


Proses ini merupakan rangkaian dari pemilihan jodoh, karena bila sudah ditentukan pilihan dan mendapat
persetujuan dari kedua orang tua, maka diadakanlah musyawarah untuk mencari informasi keberadaan si
wanita yang dimaksud menyangkut masalah status keterikatannya. Bila si wanita tersebut tidak terikat
dengan pria lain, maka diutuslah seorang yang dipercaya (pemuka adat) untuk mengadakan pendekatan
informal kepada keluarga wanita tersebut. Karena pertemuan itu sangat rahasia, maka maksud kedatangan
utusan laki-laki itu hanya diucapkan lewat kiasan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kekecewaan
bila maksud kedatangannya itu tidak mendapat respon dari pihak perempuan. Bila prosesing ini mendapat
tanggapan positif dari pihak perempuan, maka pihak laki-laki akan melakukan persiapan untuk langkah
selanjutnya.

1.2. Neduta atau Nebolai (Meminang)


Dalam konsep pemahaman masyarakat suku Kaili, meminang mempunyai dua makna yang sama, namun
dalam penggunaannya yang berbeda sesuai dengan tingkat strata social masyarakat
bersangkutan. Neduta adalah istilah meminang yang diperuntukkan bagi golongan biasa,
sedangkan nebolai adalah istilah meminang digunakan untuk golongan bangsawan. Dari kedua konsep
tersebut mempunyai konteks yang sama yakni melakukan lamaran kepada seorang gadis untuk
dijodohkan atau dikawinkan kepada laki-laki yang melakukan lamaran.
Proses pelaksanaan ini, diawali dengan pemberitahuan kepada pihak perempuan atas rencana kedatangan
delegasi laki-laki. Kedatangan delegasi laki-laki biasanya dipimpin seorang tokoh adat atau agama,
karena dianggap mempunyai kedudukan dan status di dalam masyarakat, sekaligus dianggap bahwa
pimpinan delegasi tersebut mampu berbicara, karena di dalam menyampaikan maksud peminangan hanya
mempergunakan bahasa tinggi atau kiasan yang sarat dengan makna simbolis, sambil menyerahkan
bawaannya berupa sambulu pombeka nganga (seperangkat alat yang berisi pinang, sirih, kapur, tembakau
dan gambir) serta taiganja sebagai jantung pombeka nganga atau mas adat untuk pembuka bicara,
sekaligus sebagai simbol status sosial.

Ungkapan yang dipergunakan di dalam melakukan peminangan diawali dengan pihak laki-laki yang
mengatakan nikakava kami hi mopeinta ana kami ri sihi (kedatangan kami ini untuk melihat anak kita di
sini), kemudian disambut pihak perempuan dan mengatakan naria ana miu ri sihi ante kami (anak kita
ada di sini bersama kami), kemudian pihak perempuan melanjutkan pertanyaannya dan
mengatakan mbamo ana’ kami langgai itu (mana anak kami yang laki-laki itu), lalu dilanjutkan pihak
laki-laki naria ri banua, kama aga nanggeni pakatuna (ada di rumah kami hanya mengantar kirimannya),
dan pihak perempuan mengatakan ane naria pakatuna mbana lenjena rapeintata pasanggani (bila ada
kirimannya mari kita lihat bersama), pihak laki-laki menyambungnya lalu menyerahkan sambulu itu
kemudian ia berkata himo pakatuna rapeintata kita pasanggani (ini kirimannya kita lihat bersama), lalu
pihak perempuan menerima sambulu dan berkata kubuka pakatu bagindali kainuru patima (saya buka
kiriman pihak laki-laki untuk pihak perempuan).

Bila isi sambulu itu diambil lalu dimakan maka suatu isyarat bahwa lamaran diterima. Kemudian pihak
perempuan lagi bertanya ante kaputinurarana mbana kupeinta ntoto lenjena (kalau begitu saya ingin
melihat bukti kesucian hatinya) lalu pihak laki-laki mengatakan itumo riambe nusambulu (itu sudah ada
di sambulu).

Selain itu juga terdapat sambulu yang berfungsi


sebagai pengikat (paosoa pua) yang merupakan
pokok adat perkawinan yang dikenal dengan
nama balengga nuada, selain sebagai penghargaan,
juga sebagai adat mpoberei, adat kawin sebagai tanda
seseorang akan masuk jenjang perkawinan.
Sambulu sebagai pokok adat perkawinan yang berisi
pinang, gambir, sirih dan kapur sirih merupakan
symbol manusia yang lengkap sebagai manifestasi
dari konsep asal kejadian manusia, karena menurut
konsep suku Kaili asal kejadian nenek moyang
mereka dari kayangan atau to manuru, sekaligus merupakan symbol penghargaan kepada leluhur mereka
karena dianggap bahwa nenek moyang mereka pemakan sirih.

Oleh karena itu, di dalam prosesi peminangan ini delegasi lak-laki harus menunggu waktu sesuai dengan
kesepakatan untuk mengetahui diterima tidaknya lamaran itu karena pihak perempuan harus
merembukkan dahulu dengan pihak keluarga, terutama kepada yang bersangkutan. Bila waktu yang
ditentukan sudah tiba, maka pertemuan kembali diadakan tanpa suatu ungkapan, melainkan hanya berupa
simbol yakni menyerahkan kembali sambulu yang diberikan. Bila sambulu tersebut terbuka dan sudah
tidak mempunyai isi, berarti lamarannya diterima, tetapi bila sambulu kembali dalam keadaan tertutup
dan isi masih tetap utuh berarti lamaran ditolak, dengan demikian maka posisi sambulu sebagai pokok
adat mempunyai peran yang sangat penting dalam upacara adat perkawinan suku Kaili. Setelah diketahui
bahwa lamaran pihak laki-laki sudah diterima, maka proses selanjutnya segera dilaksanakan.

1.3. Noovo (Penentuan Waktu)


Noovo adalah suatu rangkaian upacara yang dilakukan untuk membicarakan hal-hal yang berhubungan
dengan upacara perkawinan, baik yang berhubungan dengan pelaksanaan pesta (eo mata posusa) maupun
dari pernikahan (eo mponikah). Pelaksanaan upacara noovo ini dimaksudkan untuk mencari kesepakatan
tentang hari pelaksanaannya, sebab biasa terjadi kesalahpahaman hanya karena persoalan waktu sehingga
perlu kesepakatan. Di dalam pertemuan tersebut para pemuka atau tokoh adat akan memilih hari dan
bulan yang sangat baik, sebab pada umumnya masyarakat suku Kaili masih ketat dan percaya adanya hari
dan bulan yang baik berdasarkan perhitungan cara tradisional dengan mempergunakan kutika, namun
tetap mempertimbangkan jangka waktu bagi kesiapan wanita karena pada dasarnya pusat suatu kegiatan
berada di pihak perempuan.

Setelah penentuan hari dan bulan sudah disepakati, maka dalam jangka waktu penantian itu calon
pengantin diberikan petuah atau nasehat oleh orang tua tentang hakikat suatu perkawinan, sekaligus
dimanfaatkan untuk merawat diri serta memelihara kondisi badan agar tetap sehat segar bugar
menyongsong hari bahagianya.

1.4. Nanggeni Balanja (Hantar Belanja)


Mengantar belanja masih merupakan rangkaian dari proses
pelaksanaan suatu upacara perkawinan yang dilakukan pihak
laki-laki untuk mengantar belanja. Di dalam pelaksanaan ini
dipimpin seorang tokoh atau yang dituakan di samping orang-
orang lainnya.

Pada saat pengantaran belanja bukan hanya uang yang dibawa,


tetapi segala sesuatu yang berhubungan dengan keperluan wanita
walaupun itu tidak termasuk di dalam pembicaraan tetapi sudah
merupakan kebiasaan dan merupakan suatu tanda penghargaan
kepada pihak perempuan, dan kadang pemberian semacam itu menjadi ukuran penilaian atas kemampuan
dan tingkat status social laki-laki.
Sambulu yang juga diikutsertakan pada acara ini sebagai simbol, karena ia merupakan pokok dari suatu
adat perkawinan dan juga jauh lebih besar daripada saat melakukan peminangan karena hanya
perantaraan sambulu itulah pihak laki-laki menyerahkan sekaligus mempersilahkannya untuk membuka
segala sesuatu yang dibawanya menandai bahwa secara resmi pihak laki-laki telah diterima di dalam
keluarga perempuan.

1.5. Nopasoa (Pengasapan)


Nopasoa merupakan mandi dengan sistem penguapan dan pengasapan yang dilakukan secara tradisional
yang pada umumnya dilaksanakan di rumah calon pengantin wanita, yang bertujuan untuk
menghilangkan bau badan sekaligus untuk mempercantik dan menyegarkan para calon pengantin, karena
mempergunakan ramuan tradisional sebagai bahan yang digunakan dalam mandi uap tersebut.

Rangkaian dari proses pelaksanaan mandi uap ini mempergunakan berbagai macam daunan serta
kembang-kembang yang wangi dan diramu di dalam sebuah loyang besar, kemudian batu dipanaskan lalu
dimasukkan ke dalam loyang yang sudah berisi air dingin dan ramuan sehingga menghasilkan uap lalu
kedua pengantin dimandikan mempergunakan sarung panjang sebagai pengantin dimandikan
mempergunakan sarung panjang sebagai penutup agar asap yang dihasilkan akibat batu panas yang
dimasukkan ke dalam loyang tidak keluar sehingga aroma dari ramuan tersebut dapat mengena seluruh
badan.

Pelaksanaan mandi uap tidak hanya dilakukan satu kali, tetapi dilakukan beberapa kali. Di samping itu
juga diberikan makanan dan minuman yang bergizi, sebab dalam menyongsong hari pernikahan
memerlukan stamina yang prima lahir batin sehingga perlu penanganan yang baik agar kecantikan dan
kesehatan tetap seimbang karena keseimbangan antara hal tersebut merupakan bagian yang harus
diperhatikan karena ia merupakan satu bagian yang tidak dapat dipisahkan sebab bila salah satu di
antaranya tidak sejalan akan menimbulkan hal yang fatal. Oleh karena itu, untuk menjaganya perlu
seorang yang menanganinya sebagai ibu pengantin sehingga diharapkan pada hari pernikahannya dapat
tampil meyakinkan pada hari pernikahan.

1.6. Nogigi (Membersihkan Bulu Wajah)


Nogigi merupakan salah satu rangkaian dari proses pelaksanaan suatu acara sebelum akad-nikah , yakni
mencukur bulu-bulu yang Nampak, karena ada suatu anggapan yang berkembang dalam masyarakat suku
Kaili bahwa bulu-bulu tersebut sebagai bulu celaka (vulu cilaka). Kerelaan mereka mengeluarkan bulu
bertujuan untuk mempercantik diri dan juga mengandung makna simbolik sebagai manifestasi dari sikap
ketaatan dan keyakinannya untuk meninggalkan semasa perbuatan masa lalunya, dan siap untuk
menghadapi masa depannya penuh dengan ketabahan.

Dalam proses acara ini biasanya dilakukan di rumah pihak perempuan menjelang mata hari terbit yang
dipercayai sebagai waktu yang baik untuk memulai suatu
aktivitas. Pelaksanaan acara ini selain mempergunakan
pisau cukur dan gunting, juga mempergunakan beberapa
kelengkapan berupa gula merah, sebutir telur, kepala yang
sudah bertunas dan secangkir air putih serta benang
pita cina, yang dimaksudkan agar kedua
mempelai di dalam mengarungi hidup barunya dapat
diberkahi suatu kehidupan yang sejuk, mudah rezeki,
berkembang seperti layaknya seekor ayam yang
dapat melindungi anaknya serta panjang umur.

Pelaksanaan acara ini dilakukan oleh seorang perempuan yang lanjut usia yang mempunyai garis
keturunan yang baik-baik serta mempunyai banyak anak dan cucu, hal ini dikaitkan dengan suatu
keyakinan masyarakat suku Kaili bahwa pelaksanaan acara ini akan berimplikasi terhadap si calon
pengantin sehingga harus memilih orang mempunyai garis keturunan yang baik. Dengan selesainya acara
cukur bulu ini maka laki-laki kembali ke rumahnya untuk mempersiapkan prosesi selanjutnya.

1.7. Nokolontigi
Nokolontigi masih merupakan salah satu rangkaian dari
proses acara yang dilakukan di rumah perempuan
sebelum perkawinan (nikah), yang dimaksudkan untuk
mensucikan diri sebelum menikah. Acara yang
dilaksanakan pada malam hari ini dilakukan di rumah
calon pengantin perempuan oleh para orangtua atau
tokoh adat yang dianggap mempunyai garis keturunan
baik-baik karena dengan demikian nantinya diharapkan
calon pengantin juga akan mempunyai garis kehidupan
seperti itu. Proses acara ini dimaksudkan agar kedua
calon pengantin tidak dapat dipengaruhi roh-roh jahat
serta dapat terhindar dari bahaya, mudah rezeki dan
mempunyai umur yang panjang.
Adapun kelengkapan yang dipergunakan di dalam acara ini adalah:
daun pacar (kolontigi) yang dihaluskan dan berwarna merah lalu
diletakkan di telapak tangan calon pengantin sebagai simbol
pengorbanan. Minyak kelapa yang dioleskan di atas kepala agar
mereka mudah rezeki di dalam mengarungi hidup barunya, kapur sirih dan bedak yang dipakaikan sampai
ke leher sebagai manifestasi dari sikap yang nantinya bila berbuat jahat dan dapat mempermalukan
keluarga (ingkar janji) maka batang leher menjadi taruhannya, sedangkan penggunaan kain putih sebagai
lambang kesucian.

Setelah proses acara ini dilakukan pada malam yang sama juga dilakukan khatam al-Qur’an yang
dimaksudkan agar calon pengantin laki-laki agar lebih fasih dalam mengucapkan ikrar (ijab kabul) di
depan penghulu. Dan acara khatam al-Qur’an ini dilakukan sebelum acara nokolontigi, tetapi hal tersebut
bukan merupakan suatu ikatan tergantung dari pengaturan. Bila acara ini sudah selesai maka proses dari
rangkaian acara adat yang dilakukan sebelum akad nikah sudah selesai dan laki-laki kembali ke rumahnya
untuk mempersiapkan acara pernikahannya keesokan harinya.

2. Upacara Perkawinan
Setelah melakukan beberapa rangkaian upacara adat sebelum pernikahan, maka masuklah kita pada acara
puncak, yakni upacara adat perkawinan. Di dalam adat suku Kaili sebelum puncak acara, sekitar lima hari
sebelumnya suasana rumah pengantin wanita sudah ramai karena seluruh keluarga yang bertempat tinggal
jauh sudah berkumpul. Karena saat itu sudah mulai diperdengarkan bunyi-bunyian musik tradisional,
selain itu juga di depan rumah dipasang dua buah bendera (umbul-umbul) berbentuk manusia warna
kuning dan merah oleh masyarakat suku Kaili menyebutnya ula-ula, sebagai lambang kebangsawanan
dan kebesaran.
Di dalam proses pelaksanaan acara ini ada empat tahapan upacara yang akan dilalui, yakni:

2.1. Manggeni Boti (Mengantar Pengantin)


Upacara ini dilaksanakan pada saat akan akan dilakukan akad nikah di rumah pihak perempuan, di mana
pihak pengantin laki-laki diantar ke rumah pihak perempuan. Untuk mengantar pengantin laki-laki ke
rumah calon pengantin perempuan mempergunakan kuda sebagai kendaraannya, tetapi karena kemajuan
alat transportasi, maka kuda sudah dapat diganti dengan mobil sebagai alat transportasinya, dengan
mempergunakan pakaiannya sesuai dengan status sosialnya. Sepanjang perjalanan diiringi bunyi-bunyian
berupa rebana dan tarian meaju (salah satu bentuk tarian tradisional masyarakat Kaili), karena sudah
mempergunakan mobil sebagai alat transportasi maka meaju sudah tidak lazim lagi dilaksanakan.

Setelah rombongan laki-laki tiba di halaman rumah perempuan (ridoyata), maka pengantin laki-laki
disambut calon mertua, lalu laki-laki turun dari kendaraannya menuju tangga rumah, dan di dalam rumah
calon pengantin perempuan sudah hadir sejumlah tokoh adat dan agama menanti kehadiran rombongan
laki-laki. Sebelum rombongan laki-laki masuk atau naik
tangga rumah, terlebih dahulu dilakukan dialog, yang
diawali oleh pihak laki-laki yang mempertanyakan “ri
pura-puramo tupu banua?” (apakah tuan rumah sudah ada
semua), lalu pihak perempuan menjawabnya “ki pura-
puramo” (sudah ada semua dan tidak ada yang kurang)
dilakukan sebanyak tiga kali, kemudian dilanjutkan
dengan netambuli (berpakaian di depan pintu). Ini
dilakukan bila pihak laki-laki sudah berada di depan
tangga dan mengatakan nitambul tangga sambil
menancapkan tombaknya, lalu pihak perempuan
menyambutnya nitambuli. Kalimat ini diucapkan tiga kali
dan juga dijawab tiga kali, kemudian pihak laki-laki mengatakan bija ntona ni tambuli kana
nitambulimo (memang keturunan, yang ditambuli harus ditambuli), sambil mengucapkan assalamu
alaikum ibabu rahim, kemudian disambut pihak perempuan waalaikum salam ibabu rahma, dan
pengantin laki-laki memasuki atau naik rumah yang disambut oleh orangtua perempuan lanjut usia.
Setelah upacara tersebut dilakukan, lalu diantarlah calon pengantin laki-laki itu masuk ke dalam rumah
oleh seorang ibu yang lanjut usia, kemudian dihamburi beras kuning sebagai simbol keselamatan, lalu
disambut dengan bunyi-bunyian (kakula nuada) dan peulu cinde (kain putih yang dililitkan pada gelang)
kemudian disodorkan kepada pengantin laki-laki untuk dipegang sebagai tanda ketaatan untuk selalu
mendengar nasihat orangtua kemudian diantar langsung di depan tempat yang telah disediakan.

Pada saat yang sama pihak laki-laki membawa seperangkat kelengkapan berupa alat sholat dan
kelengakapan lainnya, juga diikutkan beberapa jenis kue tradisional sebagai ungkapan rasa kesatuan yang
diikat dengan tali perkawinan antara anak mereka, kemudian pihak perempuan pun membalasnya (olo
nuroti) dengan memberikan berbagai macam makanan kepada keluarga laki-laki sebagai wujud ungkapan
yang sama atas perkawinan anak-anak mereka. Setelah proses ini dilakukan maka akan dilanjutkan
dengan akad nikah.

2.2. Monikah (Akad Nikah)


Proses upacara pernikahan yang berlangsung di dalam kehidupan suku Kaili pada dasarnya mengacu pada
ajaran atau tuntunan syariat agama Islam, namun tidak dapat dipungkiri hal-hal yang sifatnya acara
tradisional sebagai cikal bakal lahirnya budaya suku Kaili masih mewarnai di dalam proses upacaranya,
namun tetap sejalan dengan konsep ajaran agama Islam sebagai agama yang dianut masyarakat suku
Kaili.
Oleh karena itu, di dalam pelaksanaan akad nikah ini, disaksikan oleh beberapa orang tokoh, baik adat
maupun agama, karena akad nikah dilakukan dengan ajaran agama sesuai dengan agama yang dianutnya.
Di dalam proses pelaksanaan akad nikah dan mengucapkan ikrar (ijab kabul), jumlah dan jenis
mahar yang telah disepakati kedua belah pihak harus disebutkan di depan orangtua dan dua orang saksi
(wali) kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa oleh pegawai syara’ dan nasihat perkawinan dari
wali kedua mempelai. Setelah acara ini sudah dilakukan, maka dilanjutkan dengan acara nogero
jene (membatalkan air wudhu).

2.3. Nogero Jene (Membatalkan Air Wudhu)


Masih rangkaian dari proses upacara pernikahan yang dilakukan setelah mengucapkan ikrar (ijab kabul),
yakni acara nogero jene atau membatalkan air wudhu, yaitu acara penyentuhan pertama oleh sang suami
kepada isterinya dengan menyentuh salah satu bagian kulit muka (dahu sampai ke hidung). Di dalam
proses penyentuhan pertama ini melalui proses karena sang isteri yang baru dinikahi berada di dalam
kamar atau kelambu bersama dengan ibu pengantin (tina noboti), pada saat sang suami tiba di depan pintu
kamar atau kelambu orangtua yang mengantarnya mengetuk pintu sambil mengucapkan assalamu
alaikum ibabu rahim tiga kali, kalau ibu pengantin sudah menjawabnya waalaikum salam ibabu rahma
maka penngantin laki-laki sudah diperbolehkan memasuki kamar atau kelambu. Karena acara ini
merupakan salah satu bagian yang biasa dijadikan sebagai ajang permainan, biasanya pihak perempuan
memperlakukan beberapa syarat untuk dapat membuka pintu, sehingga pihak laki-laki harus siap dan
bersedia mengikuti syarat yang diperlakukan, misalnya harus memasukkan uang atau gula-gula sebanyak
mungkin dan sebagainya agar pintu dapat dibuka.

Setelah syarat yang ditetapkan tersebut sudah dipenuhi barulah pihak laki-laki diperbolehkan masuk dan
ibu pengantin mengatakan silakan masuk (pesuamo), barulah sang suami bersama pengantarnya
memasuki kamar untuk melakukan sentuhan pertama kepada sang isterinya. Bila kita menyimak
rangkaian dari proses acara ini yang implikasinya dapat dimaknai sebagai tanda betapa susahnya seorang
laki-laki untuk mendapatkan seorang perempuan sehingga ia memerlukan suatu pengorbanan baik fisik
maupun material untuk mendapatkan seorang perempuan, karena apa yang dilakukan tidaklah semudah
apa yang dibayangkan sehingga diperlukan suatu kematangan dan persiapan yang mantap sebelum
memasuki jenjang perkawinan.

2.4. Mopatuda (Duduk Bersanding)


Duduk bersanding merupakan akhir dari rangkaian acara pelaksanaan suatu upacara pernikahan, yang
merupakan puncak dari rangkaian acara yang menandai akhir dari perjalanan masa mudanya seorang anak
manusia. Hari itu juga merupakan simbol kebahagiaan dua insane karena saat itu dialah yang digelar
sebagai raja walaupun hanya sehari.

Di dalam pelaksanaan acara ini di hari para undangan dan kedua pengantin sudah mempergunakan
pakaian kebesarannya sesuai dengan tingkat status sosialnya karena perkawinan merupakan salah satu
simbol yang paling mudah untuk menandai tingkat status social seseorang, sehingga dengan perkawinan
seseorang mengupayakan untuk dapat tampil semaksimal mungkin dan penuh dengan kehikmatan. Di
dalam acara tersebut pelaminan yang harus ditata seindah mungkin untuk menampakkan tingkat status
sosialnya dan diupayakan agar lebih tinggi dari tempat umum agar setiap orang dapat melihat pengantin.
Sedangkan busana yang digunakan adalah busana patima (baju patima) dan aksesorinya yang merupakan
salah satu aspek budaya Islam yang berkembang di tanah Kaili yang dikembangkan oleh Abdul Raqie
(Dato Karama), yang dapat memberikan warna tersendiri bagi perkembangan budaya di Sulawesi Tengah
pada umumnya dan khususnya Kabupaten Donggala dan Kota Palu.

Rangkaian dari proses acara duduk bersanding ini ibu pengantin sangat berperan untuk menampilkan
kedua mempelai tampil prima, karena selain ia bertugas mengurusi rangkaian dari proses acara yang ada,
ia juga berfungsi untuk merias pengantin sehingga nampak adanya unsur-unsur yang sifatnya tradisional
yang tidak dapat dirasionalkan tapi dapat diperankan dan itulah kedudukan ibu pengantin. Sehingga di
dalam mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan kelengkapan dan prosesi upacara yang dilakukan
sebelum sampai dengan sesudah upacara perkawinan merupakan satu rangkaian yang merupakan
tanggung jawab ibu pengantin (tina noboti) .
Dengan selesainya acara ini maka rangkaian dari proses upacara yang dilalui pada pelaksanaan suatu
perkawinan sudah selesai, dan masih dilanjutkan dengan beberapa rangkaian proses upacara adat yang
harus dilakukan sesudah acara pernikahan.

3. Adat Sesudah Perkawinan


Dari rangkaian acara yang dilakukan dalam proses uapacara adat yang sudah dilalui, masih ada beberapa
acara adat yang harus dilakukan sesudah upacara perkawinan (akad nikah), yakni:

3.1. Mandiupasili (Mandi Di Depan Pintu)


Mandiupasili merupakan salah satu rangkaian upacara yang dilakukan setelah akad nikah, yakni mandi
bersama di depan pintu (mandiupasili) setelah dua hari selesai akad nikah yang dilakukan ibu pengantin
sebagai penanggungjawab dalam rangkaian upacara karena dialah yang menyiapkan segala sesuatunya
yang berhubungan dengan mandiupasili.
Di dalam pelaksanaan upacara ini biasanya dilakukan pada pagi
atau sore hari dengan mempergunakan berbagai macam
kelengkapan berupa, bunga, daun-daunan, mayang kelapa dan
pinang, belangan tanah, sandaran (bako-bako), uang sen
dan sempe (tempat penampungan air) serta sarung panjang. Dari
kelengkapan tersebut yang diramu secara tradisional untuk
dijadikan bahan dalam mandiupasili. Sedangkan tempat akan
dilangsungkannya prosesi mandiupasili diberi hiasan berupa
kain-kain putih pada bagian atas, dan pada saat yang akan
dimandikan berdiri, ibu pengantin memasukannya ke dalam sarung berulang tiga kali oleh masyarakat
suku Kaili menyebutnya nipolangan, artinya pembebasan, kemudian keduanya memakai pakaian yang
sudah disediakan.
Proses pelaksanaan acara mandiupasili sebagai wujud dari sikap dan kepercayaan masyarakat terhadap
hal-hal yang gaib, sekaligus menandai bahwa pengantin sudah membebaskan diri dari perbuatan yang
ingkar (perselingkuhan), yang dimaksudkan agar kehidupan yang baru itu dapat membawa kehidupan
yang tenteram dan bahagia, serta kuat di dalam mempertahankan kehidupan rumah tangganya walaupun
ditimpa gosip.

3.2. Mematua (Berkunjung Ke Rumah Mertua)


Mematua adalah akhir dari rangkaian upacara yang terdapat di dalam upacara perkawinan suku Kaili,
yakni melakukan kunjungan ke rumah mertua laki-laki, yang dimaksudkan sebagai penghargaan sekaligus
tanda bakti anak kepada orangtua sekaligus menandai bahwa pihak perempuan sudah merupakan bagian
dari keluarga laki-laki.
Di dalam acara ini yang paling mendasar adalah motataka
botiga ri pale, yakni mertua perempuan
memasangkan botiga (gelang) pada menantu sebagai simbol
bahwa menantu itu adalah sama kedudukannya dengan
anaknya sendiri dan sudah diterima di dalam satu keluarga.
Selain itu juga kadang diserahkan pula beberapa benda
seperti perhiasan, sebidang tanah dan sebagai bukti
sayangnya kepada anaknya (menantu) bila keluarga tersebut
memungkinkan, namun bukan suatu syarat mutlak.
Proses pelaksanaan acara ini kadang dihadiri para tokoh adat
dan agama yang menandai bahwa betapa pentingnya dan
sakralnya suatu perkawinan sehingga harus dihadiri para tokoh dan pemuka adat setempat sehingga
perlakuannya perlu dilakukan secara hikmat dan semeriah mungkin.
Dengan selesainya rangkaian acara tersebut, maka diakhiri dengan makan bersama yang didahului dengan
pemabcaan doa syukur agar pengantin (suami isteri) mendapat keselamatan, terhindar dari malapetaka,
mudah rezeki dan dapat memperoleh keturunan yang baik-baik sehingga ia bisa hidup lebih sejahtera dan
diberi Tuhan umur panjang. ***

http://kekunaan.blogspot.com/2012/06/pernikahan-tradisional-suku-kaili.html

Tugas 1
DEBAT BUDAYA
1. Ritual adat itu syirik atau tidak?
2. Gerakan tari balia yang di adopsi dalam seni pertunjukan.

Rubrik penilaian

Penyampaian, bahasa, dan etika


Penguasaan materi Strategi dan kerjasama tim
NO NAMA SISWA serta ketepatan waktu (manner)
(40%) (20%)
(40%)
Tugas 2.
Diskusi Kelas mengenai adat pernikahan suku kaili

Format Lembar Penilaian Diskusi (Individu Peserta Didik)

Nama
Nilai
No Sikap/Aspek yang dinilai kelompok/ Nilai Kualitatif
Kuantitatif
peserta didik
Penilaian Individu Peserta didik
1. Berani mengemukakan pendapat
2. Berani menjawab pertanyaan
3. Inisiatif
4. Ketelitian
5. Jiwa kepemimpinan
6. Bermain peran
Jumlah Nilai Individu

Kriteria Penilaian

Kriteria Nilai
Nilai Kualitatif
Indikator Kuantitatif
80-100 Memuaskan 4
70-79 Baik 3
60-69 Cukup 2
45-59 Kurang cukup 1
4
PERMAINAN TRADISIONAL SUKU KAILI

A. TILAKO
Sulawesi Tengah adalah salah satu provinsi yang ada di Indonesia. Di sana ada satu sukuban gsa
yang bernama Kaili. Di kalangan mereka ada satu jenis permainan yang disebut sebagai tilako,
yaitu sebuah permainan berjalan menggunakan alat yang
terbuat dari bambu dan pelepah sagu atau tempurung
kelapa. Tilako disamping nama sebuah permainan juga
sekaligus nama alat yang digunakan untuk permainan
tersebut. Tilako itu sendiri merupakan gabungan dari dua
kata, yaitu “ti” dan “lako”. “Ti” adalah kata awalan yang
menunjukkan kata kerja dan “lako” secara harafiah berarti
“langkah/jalan”. Dalam permainan ini “tilako” adalah alat
yang dipakai untuk melangkah atau berjalan. Permainan ini
dalam dialek Rai disebut kalempa yang juga merupakan
gabungan dari dua kata, yaitu “ka” dan “lempa”. “Ka” adalah kata awalan yang menunjukkan
kata kerja dan “lempa” berarti “langkah”.

Pemain
Permainan tilako dapat dikategorikan sebagai permainan anak-anak. Pada umumnya permainan
ini dilakukan dilakukan oleh anak laki-laki yang berusia 7--13 tahun. Jumlah pemainnya 2--6
orang.

Tempat dan Peralatan Permainan


Permainan tilako ini tidak membutuhkan tempat (lapangan) yang khusus. Ia dapat dimainkan di
mana saja, asalkan di atas tanah. Jadi, dapat di tepi pantai, di tanah lapang atau di jalan. Luas
arena permainan tilako ini hanya sepanjang 7--15 meter dan lebar sekitar 3-4 meter.
Peralatan yang digunakan adalah dua batang bambu bata (volo vatu) yang relatif lurus dan sudah
tua dengan panjang masing-masing antara 1,5-3 meter. Cara membuatnya adalah sebagai berikut.
Mula-mula bambu dipotong menjadi dua bagian yang panjangnya masing-masing sekitar 2½-3
meter. Setelah itu, dipotong lagi bambu yang lain menjadi dua bagian dengan ukuran masing-
masing sekitar 20-30 cm untuk dijadikan pijakan kaki. Selanjutnya, salah satu ruas bambu yang
berukuran panjang dilubangi untuk memasukkan bambu yang berukuran pendek. Setelah bambu
untuk pijakan kaki terpasang, maka bambu tersebut siap untuk digunakan.

Aturan Permainan
Aturan permainan tilako dapat dibagi menjadi dua, yaitu perlombaan lari dan pertandingan untuk
saling menjatuhkan dengan cara saling memukulkan kaki-kaki bambu. Perlombaan adu
kecepatan biasanya dilakukan oleh anak-anak yang berusia antara 7-11 tahun dengan jumlah 2--5
orang. Sedangkan, permainan untuk saling menjatuhkan lawan biasanya dilakukan oleh anak-
anak yang berusia antara 11-13 tahun dengan menggunakan sistem kompetisi.

Jalannya Permainan
Apabila permainan hanya berupa adu kecepatan (lomba lari), maka diawali dengan berdirinya 3-
4 pemain di garis start sambil menaiki bambu masing-masing. Bagi anak-anak yang kurang
tinggi atau baru belajar bermain tilako, mereka dapat menaikinya dari tempat yang agak tinggi
atau menggunakan tangga dan baru berjalan ke arah garis start. Apabila telah siap, orang lain
yang tidak ikut bermain akan memberikan aba-aba untuk segera memulai permainan. Mendengar
aba-aba itu, para pemain akan berlari menuju garis finish. Pemain yang lebih dahulu mencapai
garis finish dinyatakan sebagai pemenangnya.

Sedangkan, apabila permainan bertujuan untuk mengadu bambu masing-masing pemain, maka
diawali dengan pemilihan dua orang pemain yang dilakukan secara musyawarah/mufakat.
Setelah itu, mereka akan berdiri berhadapan. Apabila telah siap, peserta lain yang belum
mendapat giliran bermain akan memberikan aba-aba untuk segera memulai permainan.
Mendengar aba-aba itu, kedua pemain akan mulai mengadukan bambu-bambu yang mereka
naiki. Pemain yang dapat menjatuhkan lawan dari bambu yang dinaikinya dinyatakan sebagai
pemenangnya.

Nilai Budaya
Nilai budaya yang terkandung dalam permainan tilako adalah: kerja keras, keuletan, dan
sportivitas. Nilai kerja keras tercermin dari semangat para pemain yang berusaha agar dapat
mengalahkan lawannya. Nilai keuletan tercermin dari proses pembuatan alat yang digunakan
untuk berjalan yang memerlukan keuletan dan ketekunan agar seimbang dan mudah digunakan
untuk berjalan. Dan, nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak
berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan
lapang dada. (gufron)

Sumber:
http://infokom-sulteng.go.id
http://disnakerpalu.com
http://beritapalu.com
B. GARATA/GALASA
Permainan garata/galasa dapat dilakukan oleh anak-anak dan orang dewasa, baik laki-laki
maupun perempuan. Namun, saat ini, secara umum garata/galasa dimainkan oleh kaum
perempuan terutama anak-anak yang berusia 7-12 tahun. Kaum laki-laki sangat jarang
memainkannya. jumlah pemain bergantung dari jumlah papan yang tersedia. untuk satu papan
permainan hanya dapat dimainkan oleh dua orang.

Tempat Permainan
Dahulu galata/galasa hanya dimainkan di teras atau beranda rumah orang yang baru saja
meninggal dunia. Namun, sekarang ini dapat dimainkan di mana saja dan kapan saja karena tidak
memerlukan tempat yang khusus. Jadi, bisa di dalam rumah, di beranda rumah, halaman rumah,
atau di balai-balai rumah adat (bisa pagi, siang, sore, atau malam hari).

Peralatan Permainan

Peralatan yang digunakan dalam permainan adalah sebatang kayu berumur tua berjenis cempaka
atau lepaa (bahasa Kaili) yang tebalnya kurang lebih 10 cm, lebar 30 cm, dan panjang 60-75 cm.
kayu tersebut diberi lubang-lubang (bundar) dengan kedalam kurang lebih 5 cm. Jumlah lubang
seluruhnya adalah 14 buah, dengan rincian 12
lubang dibuat jejer (masing-masing jejer 6
lubang), kemudian dua lubang yang agak besar
di setiap ujungnya. Selain papan, permainan ini
juga menggunakan biji-biji pohon garata atau
galasa, yaitu sejenis tumbuhan berduri yang
memiliki biji berbentuk pipih, bulat lonjong dan
atau bulat seperti kelereng. Biji-biji berbentuk
bulat seperti kelereng inilah yang digunakan
untuk bermain. Jumlahnya antara 50-70 biji
yang nantinya dibagi menjadi dua untuk masing-masing pemain.

Saat ini, dengan semakin langkanya perajin papan garata/galasa, permainan juga dilakukan di
atas tanah dengan membuat lubang yang jumlahnya sama seperti papan garata/galasa, sementara
biji-bijinya diganti dengan kerikil atau batu berukuran kecil yang berwarna agak putih agar dapat
terlihat jelas pada tanah hitam.

Aturan Permainan
Ada empat cara yang dikenal oleh orang Kaili dalam permainan ini. Pertama, jika biji yang
terakhir kena lubang yang kosong di daerahnya sendiri, sementara lubang lawan di depannya
berisi maka bijinya diambil sebagai kemenangan pihak lawan. Kedua, apabila biji persis habis
pada lubang lawan yang berisi tiga biji, maka bijinya diambil sebagai kemenangan lawan.
Ketiga, gabungan dari kedua aturan di atas. Dan keempat, masing-masing lubang tidak diisi
tetapi digunakan sebagai tempat biji kemenangan.

Jalannya Permainan
Jalannya permainan dimulai dengan memasukkan biji-biji ke dalam lubang-lubang yang ada di
dalam papan permainan, kecuali dua buah lubang besar saja yang berada di ujung papan. Kedua
lubang ini tidak boleh diisi. Jumlah biji pada setiap lubang adalah sama. Jika jumlah seluruh biji
yang disepakati adalah 70 biji, maka setiap lubang akan diisi oleh 7 biji. Kemudian salah satu
pemain yang mendapat kesempatan pertama akan mengambil semua biji dari lubang paling
ujung yang ada di daerahnya sendiri. Biji-biji tersebut kemudian akan diedarkan satu persatu
dengan arah yang berlawanan jarum jam ke setiap lubang yang ada di papan permainan, kecuali
satu lubang besar di ujung papan yang menjadi “milik” lawan. Apabila biji masuk ke lubang
yang paling besar (miliknya sendiri), maka biji tersebut merupakan nilai bagi pemain yang
bersangkutan. Namun, jika biji yang terakhir jatuh ke lubang yang masih ada bijinya, maka
pemain mengambil biji-biji tersebut untuk diedarkan kembali. Demikian seterusnya hingga suatu
saat biji terakhir jatuh pada lubang yang kosong. Jika itu terjadi, maka pemain yang lain (lawan
mainnya) akan menggantikannya. Permainan akan berlangsung terus hingga biji-biji yang berada
di lubang-lubang kecil seluruhnya masuk ke dua buah lubang besar di ujung papan permainan
milik kedua pemain. Bagi pemain yang mendapatkan biji terbanyak akan menjadi pemenangnya.

Nilai Budaya
Nilai yang terkandung dalam permainan nogarata/nogalasa adalah kecermatan dan sportivitas.
Nilai kecermatan tercermin dari perlunya perhitungan yang pas agar biji-biji yang akan
dijatuhkan tidak mengenai lubang yang kosong sehingga dapat terus bermain dan
mengumpulkan nilai sebanyak-banyaknya. Nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para
pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima
kekalahan dengan lapang dada. (Gufron)

Sumber:
"Pmo'morea nu'ngana Garata/Galasa (permainan Anak Garata/Galasa)". 2013.
http://vitaandyani8.blogspot.com/2013/01/pomorea-nungana-garatagalasa-permainan.html.
Diakses 8 Februari 2014.

"Permaian Tradisional Anak-anak Suku Kaili-Sulawesi Tengah: I. Permainan Garata / Galasa".


2011. http://sosbud.kompasiana.com/2011/06/15/permainan-tradisional-anak-anak-suku-kaili-
sulawesi-tengah-i-permainan-garata-galasa-373292.html. Diakses 9 Februari 2014.

"Garata-galasa". 2007. http://telukpalu.com/2007/12/garata-galasa/. Diakses 9 Februari 2014.


"Permainan Rakyat". 2010. http://archive.kaskus.co.id/thread/3937591/0/index-permainan-
rakyat. DIakses 10 Februari 2014.

Tugas 1
Cobalah membuat alat permainan tradisional secara berkelompok.

Tugas 2
Cobalah untuk bertanding bersama teman anda dalam memainkan permainan tradisional.
5
TARIAN TRADISIONAL SUKU KAILI

A. POMONTE
Tari Pamonte merupakan tari tradisional Indonesia
khas dari Sulawesi Tengah. Tari Pamonte
menggambarkan sebuah kebiasan para gadis dari Suku
Kaili ketika menyambut musim panen padi tiba.
Tarian ini juga menggambarkan makna kegembiraan
dan ungkapan rasa syukur mereka atas keberhasilan
panen yang sudah mereka peroleh.

Rasa bahagia itu mereka lakukan dengan saling


bergontong-royong serta saling bahu-membahu satu sama lain sehingga timbul semangat
kebersamaan yang tinggi dan penuh suka cita. Hal itu di mana mereka akan memetik dan menuai
padi secara bersama-sama.

Berdasarkan buku yang berjudul “Mengenal Tarian dan Seni Sulawesi” karya dari Wisnu Fajar,
Tari Pamonte ini terlihat jelas yang memperlihatkan bagaimana proses pengolahan padi menjadi
beras. Mulai dari memetik, menumbuk hingga menapis.

Pamonte berasal dari bahasa Kaili Tara yang terdiri dari kata Po berarti pelaksana
dan Monte yang berarti tuai atau menuai. Sehingga dapat disimpulkan bahwa makna dari Tari
Pamonte adalah menuai padi, yakni tarian yang menggambarkan kebiasan para gadis-gadis asal
Suku Kaili di Sulawesi Tengah yang sedang menyambut dan menuai padi ketika waktu panen
tiba dengan rasa penuh suka cita.

Sejarah Tari Pamonte


Bukanlah sebuah tari yang baru, Tari Pamonte ini ternyata sudah ada dan telah dikenal oleh
masyarakat Sulawesi Tengah sejak tahun 1957 silam. Saat itu, tari ini diciptakan oleh salah satu
seniman besar dan juga merupakan seorang putra asli Sulawesi Tengah yang bernama Hasan. M.
Bahasyua di Parigi Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.

Beliau menciptakan tari ini karena terinspirasi dari kegiatan dan kebiasaan para gadis-gadis Suku
Kaili ketika menyambut waktu panen padi tiba. Mengingat bahwa pada zaman dahulu
masyarakat Suku Kaili ini mayoritas berprofesi sebagai petani. Oleh karena itu, biasanya mereka
akan menyambut musim panen itu dengan perasaan yang gembira dan sukacita.
Sehingga diangkatlah kehidupan masyarakat Suku Kaili tersebut menjadi sebuah karya seni yang
indah dan diberi nama dengan Tari Pamonte. Tari ini dijadikan sebagai simbol kegembiraan dan
ungkapan rasa syukur atas panen yang mereka peroleh.
Fungsi Tari Pamonte
Dari penjelasan sebelumnya dapat kita ketahui bahwa Tari Pamonte ini memiliki fungsi sebagai
berikut:
 Sebagai simbol penyambutan. Tari Pamonte ini adalah simbol untuk menyambut musim panen
yang akan tiba. Selain itu, Tari Pamonte ini juga terkadang ditarikan saat menyambut tamu.
 Sebagai sarana hiburan. Selain sebagai simbol penyambutan, Tari Pamonte juga digunakan
sebagai sarana hiburan di mana dapat dilihat acara-acara hiburan seperti Festival Danau Lindu
yang diadakan setiap tahun.
 Sebagai sarana pendidikan. Dengan menarikan Tari Pamonte dapat menjadi sarana pendidikan di
mana masyarakat mulai belajar menghargai kebudayaan Sulawesi Tengah. Bahkan ajang festival
tersebut menjadi wadah untuk berkreasi dan melatih bakat menari.

Gerakan Tari Pamonte


Tari Pamonte ini ditarikan oleh para penari wanita dengan jumlah penari sebanyak 10 orang.
sebelum menuai padi, tari ini terlebih dahulu akan dipandu oleh seorang penghulu yang disebut
Tadulako (bahasa Kaili). Tadulako berperan sebagai pengantar rekan-rekannya mulai dan
menuai, membawa padi ke rumah, membawa padi ke lesung, menumbuk padi, menapis hingga
disusul dengan upacara selamatan yang disebut dengan No’rano, Vunja, Meaju dan No’raego.
Upacara selamatan tersebut adalah kebiasan yang dilaksanakan pada upacara panen suku Kaili.
Selain itu, Tadulako juga berperan sebagai pemimpin tari dan akan memberikan aba-aba kepada
para penari dengan memakai busana yang khas seperti petani. Kemudian penari menari dengan
gerakan khasnya dan mengikuti alunan musik pengiring.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah menyebutkan beberapa gerakan
dari Tari Pamonte sebagai berikut:
 Gerakan pertama, netabe yang artinya menghormat.
 Gerakan kedua, momonte yang artinya memetik atau menuai padi.
 Gerakan ketiga, manggeni pae ri sapo yang artinya membawa padi ke rumah.
 Gerakan keempat, manggeni pae ri nonju yang artinya membawa padi pulang ke lesung.
 Gerakan kelima, mombayu pae yang artinya menumbuk padi.
 Gerakan keenam, mosidi yang artinya menapis.
 Gerakan ketujuh, maggeni ose yang artinya membawa beras.
 Gerakan kedelapan, meaju, Rano, Raego Mpae yang artinya ucapan syukus sembari bernyanyi
bersama-sama sebagai tanda kegembiraan kerena telah memperoleh hasil yang memuaskan.

Pola Lantai Tari Pamonte
Tari asal Sulawesi Tengah ini menggunakan pola lantai vertikal. Pola veritkal ini mempunyai
pola lurus memanjang dan membentuk garis lurus dari depan maupun sebaliknya. Hal itu dapat
dilihat ketika penari mulai memasuki panggung dan menarikan tari-tarian. Di mana posisi para
penari membentuk garis vertikal lurus dengan satu pemimpin tari yang disebut dengan Tadulako.

Properti Tari Pamonte


Penari akan membawa alat-alat toru atau tudung (topi), alu yang merupakan alat menumbuk
padi, bakul (bingga) sebagai tempat padi dan padinya (pae). Akan tetapi seiring perkembangan
zaman terdapat perubahan di mana alat yang digunakan hanyalah tudung dan selendang saja.

Musik Iringan Tari Pamonte


Dalam pertunjukan Tari Pamonte biasanya akan diiringi oleh alat musik tradisional seperti
Ngongi, Ganda dan beberapa alat musik tradisional Sulawesi Tengah lainnya seperti suling,
gendang, dan gong. Ganda merupakan alat musik yang dimainkan dengan cara ditabuh.
Bentuknya seperti gendang jawa akan tetapi ukurannya masih lebih kecil dan lebih ramping.
Namun di beberapa pertunjukan Tari Pamonte, terdapat pula beberapa kelompo penari yang
lebih memilih untuk menggunakan iringan musik yang lebih praktis seperti rekaman kaset. Di
samping itu, masih banyak juga yang mempertahankan musik tradisioal sebagai musik pengiring
Tari Pamonte. Hal itu dikarenakan supaya kesan seni tradisional dalam tarian tersebut tetap
terjaga keutuhannya atau tidak hilang.

Busana dan Tata Rias Tari Pamonte


Para penari akan mengenakan busana seperti petani dan dipadukan oleh gaya tradisional dari
Sulawesi Tengah. selain itu, penari juga akan menggunakan baju kebaya pada bagian atasnya
dan kain sarung donggala pada bagian bawahnya. Baju kebaya dan sarung tersebut bermotif dan
warna khas Sulawesi Tengah. sementara untuk bagian kepala biasanya memakai kerudung dan
caping.
Keunikan Tari Pamonte
Sama seperti tari tradisional lainnya, Tari Pamonte ini juga memiliki keunikan tersendiri.
Adapun keunikan-keunikan dari Tari Pamonte yaitu:
 Penari mengenakan tudung dan selendang serta busana pasau atau blus los tangan panjang.
 Penari juga mengenakan buya sambe (sarung tangan) dan rok sebatas lutut bermodel lipat
dengan renda-renda.
 Pertunjukan Tari Pamonte selalu diiringi oleh musik tradisional seperti Ngongi, Ganda, suling,
gendang dan gong.
 Diiringi dengan nyanyian syair adat.
 Gerakan penari mengikuti syair supaya terlihat lebih terpadu.
 Tari Pamonte juga sering ditampilkan pada acara Festival Danau Lindu yang diselenggarakan
setiap tahun di Sulawesi Tengah.
Dari zaman ke zaman, Tari Pamonte ini masih terus dilestarikan dan dikembangkan oleh
masyarakat Sulawesi Tengah. Beragam kreasi dan variansi juga kerap ditambahkan di setiap
pertunjukkannya dengan tujuan agar terlihat lebih menarik, akan tetapi tidak meninggalkan
keasliannya. Tari ini masih sering ditampikan di berbeagai acara seperti penyambutan tamu,
pertunjukan seni, festival budaya dan sebagainya.
https://haloedukasi.com/tari-pamonte
B. Tari Peule Cinde

Di daerah ini sendiri biasanya sama dengan daerah lain


dimana tentu saja mempunyai adat dan juga istiadat
yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Tentu saja hal ini lah yang membuat provinsi ini


terkenal dengan beberapa budaya yang tidak dimiliki
oleh daerah lain.

Sama halnya dengan daerah lain, daerah Sulawesi


Tengah memiliki beberapa unsur/tradisi/ciri khas
untuk membedakan daerahnya dengan daerah lain. Beberapa unsur tersebut antara lain: upacara
adat, keagaaman, kesenian, dan juga kebudayaan.

Kesenian yang dimaksud bermacam-macam. Bisa berupa rumah adat atau tarian tradisional khas
adat.

Untuk bisa memahami tentang tarian adat, misalnya. Kita perlu memahami apa-apa saja gerakan
dari tarian tersebut dan apa saja makna yang tersirat dan makna apa saja yang dapat kita petik
dari tarian tersebut.

Gerakan Tari Peule Cinde

Seperti yang kita tahu tarian itu merupakan suatu gerakan yang mencerminkan bagaimana
sejarah dari daerah tersebut.

Dan tentu saja pada dasarnya setiap jenis tarian itu memiliki beberapa bentuk dan juga fungsi
yang berbeda.
Tari Peule Cinde adalah Tarian Khas Sulteng – Foto: YouTube

Salah satu tarian tradisional khas Sulawesi Tengah yaitu tari peule cinde. Tarian ini memiliki
beberapa sejarah yang ada pada masanya sendiri.

Tidak berbeda dengan tarian tradisional khas daerah lainnya, tari peule cinde mempunyai fungsi
khusus untuk penyambutan tamu (terutama tamu tamu yang dianggap agung).

Kategori tamu bisa diluaskan, yaitu tamu Gubernur, tamu walikota dan tamu yang datang dari
wisatawan asing.

Jadi seperti yang kita tahu bahwa tarian ini merupakan tarian penyambutan yang biasa dilakukan
jika ada tamu yang ingin berkunjung ke daerah Sulawesi Tengah.Secara tidak langsung hal ini
berarti bahwa berbagai lapisan masyarakat dapat datang ke sini untuk dapat melihat gerakan-
gerakan dari tarian peule cinde. Maka tentu saja penonton dari tarian ini juga sangat banyak.
Tarian ini sendiri pun biasanya diakhiri dengan menaburkan beras kuning pada para tamu.

Penaburan beras kuning ini sebagai ungkapan rasa terimakasih dan sebagai tanda penghormatan
kepada para tamu yang telah jauh-jauh datang untuk melihat daerah Sulawesi Tengah. Saat ini
tidak tahu apakah tari peule cinde masih sering ditampilkan. Yang menjadi ciri khas pada tari ini
adalah para penari selalu menaburkan beras kuning kepada para tamu yang datang.

Tari peule cinde merupakan Tarian Khas Sulawesi Tengah yang diciptakan oleh Hasan M.
Bahsyuan. Tarian ini biasanya dimainkan oleh para wanita. Tari peule cinde, dimana seperti yang
kita tahu bahwa tarian ini tentu saja memiliki beberapa sejarah yang ada pada masanya sendiri.

Kostum Tari Peule Cinde

Untuk properti tari peule cinde adalah selendang berwarna


kuning dan baju adat Sulawesi.

Baju berwarna lengan pendek kuning dan mengenakan rok


panjang berwarna merah/kuning. Selain rok berwarna
merah/kuning ada pula yang mengenakan kain semacam
sarung tenun donggala
Sarung ad yang berwarna ungu dan merah namun beberapa juga berwarna merah dan putih
dengan sedikit motif-motif bunga.

Bagi yang memakai hijab, biasanya menggunakan hijab berwarna putih/hitam. Sama sekali tidak
nampak adanya aksesoris khas tari peule cinde yang dipakai oleh penari.

https://www.tribunnewswiki.com/2021/07/19/tari-peule-cinde

C. PONTANU
Tari Pontanu adalah tarian tradisional yang berasal
dari daerah D onggala, Sulawesi Tengah. Tarian ini
biasanya ditarikan oleh para penari wanita dan
gerakan dalam tarian ini menggambarkan aktivitas
para wanita yang sedang menenun Sarung
Donggala, yaitu jenis sarung yang khas dari daerah
Donggala. Tari Pontanu merupakan salah satu tarian
tradisional yang cukup terkenal di Sulawesi Tengah,
khususnya di daerah kabupaten Donggala. Tarian ini sering ditampilkan di berbagai acara seperti
penyambutan tamu penting, festival budaya, bahkan promosi wisata.

Asal Mula Tari Pontanu


Tari Pontanu ini merupakan tarian yang terinspirasi dari aktivitas para penenun sarung
tradisional di daerah Donggala, Sulawesi Tengah. Daerah Donggala sendiri merupakan daerah
yang sejak dulu terkenal dengan produksi kain sarungnya yang khas serta memiliki motif dan
warna yang indah. Dalam bahasa Kaili sarung Donggala biasa disebut dengan Buya Sabe.

Kain sarung ini dulunya masih diproduksi dengan cara tradisional, yaitu dengan cara ditenun dan
proses tenun ini biasanya dilakukan oleh kaum perempuan. Dari sinilah Tari Pontanu dibuat,
tarian ini diciptakan sebagai apresiasi terhadap para penenun sarung dan untuk memperkenalkan
kepada masyarakat luas akan kain sarung khas Donggala ini.

Kata “Pontanu” yang dalam bahasa setempat memiliki arti “Menenun”, sehingga tarian ini juga
bisa diartikan sebagai tarian penenun. Sesuai dengan namanya tersebut, Tari Pontanu ini dapat
dimaknai sebagai wujud apresiasi terhadap para penenun sarung di Donggala. Selain itu tarian ini
juga berfungsi sebagai media untuk memperkenalkan kain sarung khas Donggala kepada
masyarakat luas.

Pertunjukan Tari Pontanu


Tari Pontanu ini biasanya ditampilkan oleh para penari wanita. Jumlah penari Tari Pontanu ini
biasanya terdiri dari 4 orang penari atau lebih. Dengan dibalut busana khas, penari menari
dengan gerakannya yang khas dan diiringi oleh alunan musik tradisional. Gerakan dalam tarian
ini menggambarkan para penenun yang sedang menenun dan dikombinasikan dengan gerakan
seni tari yang khas. Untuk gerakan dalam Tari Pontanu ini biasanya lebih didominasi dengan
gerakan tangan yang lembut dan gerakan kaki menyilang.

Dalam pertunjukan Tari Pontanu biasanya diawali dengan gerakan tari yang dikreasikan.
Kemudian di tengah-tengah pertunjukan penari menari dengan gerakan seperti menenun. Pada
babak akhir biasanya diakhiri dengan membentangkan sarung khas Donggala yang dibawa
masing-masing penari dan dipertunjukan kepada penonton. Sarung tersebut biasanya juga
dimainkan seperti dikibarkan layaknya bendera.

Pengiring Tari Pontanu


Dalam pertunjukan Tari Pontanu biasanya diiringi oleh alunan musik tradisional Sulawesi
Tengah seperti Ngongi dan Ganda. Ngongi sendiri merupakan jenis alat musik seperti Gong,
sedangkan Ganda merupakan jenis alat musik seperti Gendang. Untuk irama yang dimainkan
biasanya disesuaikan dengan gerakan para penari sehingga terlihat selaras.

Kostum Tari Pontanu


Kostum yang digunakan para penari dalam pertunjukan Tari Pontanu biasanya merupakan
busana adat. Pada busana atasan biasanya menggunakan baju longgar tanpa lengan yang disebut
dengan Baju Nggembe. Sedangkan untuk bawahannya menggunakan sarung khas Donggala yang
disebut dengan Buya Sabe. Untuk aksesoris penari biasanya menggunakan Dali
Taroe (anting), Polosu Unte (tusuk konde), dan Ponto (gelang). Selain itu, penari juga
mengenakan sarung tambahan yang dilipat-lipat dan diselipkan pada bagian pinggang. Sarung ini
nantinya digunakan untuk menari di bagian akhir tarian.

https://www.budayanusantara.web.id/2018/01/penjelasan-tari-pontanu-tarian.html

Tugas 1
Diskusi Kelas mengenai tarian tradisional suku kaili.
1. Filosofi tarian tradisional suku kaili.

Format Lembar Penilaian Diskusi (Individu Peserta Didik)

Nama
Nilai
No Sikap/Aspek yang dinilai kelompok/ Nilai Kualitatif
Kuantitatif
peserta didik
Penilaian Individu Peserta didik
1. Berani mengemukakan pendapat
2. Berani menjawab pertanyaan
3. Inisiatif
4. Ketelitian
5. Jiwa kepemimpinan
6. Bermain peran
Jumlah Nilai Individu

Kriteria Penilaian

Kriteria Nilai
Nilai Kualitatif
Indikator Kuantitatif
80-100 Memuaskan 4
70-79 Baik 3
60-69 Cukup 2
45-59 Kurang cukup 1
Tugas 2
Praktek gerak Tari Tradisional

Nama Tanggung Kerja Peduli


No Disiplin Teliti Kreatif Keterangan
Siswa Jawab sama Lingkungan
1
2
,,,,
Kolom Aspek perilaku diisi dengan angka yang sesuai dengan kriteria berikut.
4 = sangat baik
3 = baik
2 = cukup
1 = kurang

6
MAKANAN TRADISIONAL

Setiap daerah mempunyai makanan khas daerahnya masing-masing, begitu pula dengan
Sulawesi Tengah. Makanan khas daerah Sulawesi Tengah memiliki ciri khasnya masing-masing
yang bisa menarik wisatawan untuk datang berkunjung mencicipi makanan khas daerah tersebut.
Salah satu bahan makanan yang terkenal di daerah Sulawesi Tengah yakni sagu. Sagu dapat
diolah menjadi beragam makanan dan camilan yang lezat.

Pedas dan asam yang menjadi ciri khas makanan Sulawesi Tengah dapat membuat para
pendatang menjadi betah dan selalu ingin mengunjungi daerah tersebut sebagai tujuan liburan.
Makanan khas selalu menjadi sesuatu yang utama untuk dicoba ketika berkunjung ke suatu
daerah, tak terkecuali dengan makanan khas daerah Sulawesi Tengah.

1. Kaledo
kaledo merupakan salah satu makanan
khas daerah Sulawesi Tengah yang bisa
kamu coba. Kaledo atau kaki lembu
Donggala adalah makanan yang mirip
seperti sop buntut, dan disajikan bukan
dengan nasi melainkan dengan ubi.
Namun, menurut beberapa orang lainnya,
kaledo berasal dari bahasa Kaili yang
merupakan bahasa penduduk palu. Ka
artinya keras dan Ledo artinya tidak.
Jadi, kaledo memiliki arti "tidak keras". Kaledo diolah menggunakan rempah-rempah khas
sehingga menyajikan makanan yang dapat menggugah selera pecinta kuliner. Bagi pecinta
makanan sop buntut, kalian bisa mencoba untuk mencicipi makanan khas daerah Sulawesi
Tengah satu ini.

2. Duo Sale

Bagi kalian pecinta sambal, makanan khas


daerah Sulawesi Tengah satu ini bisa kalian
coba ketika berkunjung ke daerah tersebut.
Duo sale merupakan kuliner khas Palu, terbuat
dari ikan teri yang dikeringkan dan kemudian
dimasak dengan bumbu cabai merah, bawang
merah, dan juga tomat. Bagi kalian pecinta
makanan pedas manis, Duo sale yang mirip
dengan makanan sambal goreng, dan menyajikan cita rasa pedas manis ini, menarik untuk dicoba
oleh para pengunjung Sulawesi Tengah.

3. Uta Kelo (Sayur Daun Kelor)

Kelor merupakan sejenis sayuran yang hanya bisa


ditemukan di beberapa daerah di Indonesia. Makanan
berkuah satu ini terbuat dari daun kelor yang
kemudian dimasak dengan santan, potongan ikan, dan
pisang kepok. Makanan khas daerah Sulawesi Tengah
satu ini menyajikan cita rasa yang dapat menggugah
selera para pecinta kuliner.

4. Palumara

Palumara merupakan makanan khas daerah Sulawesi


Tengah yang bisa dicoba untuk kamu pecinta seafood
atau makanan laut. Palumara adalah sejenis sup ikan laut
yang terbuat dari ikan laut khas daerah Sulawesi Tengah
dan dimasak menggunakan rempah-rempah rahasia yang
bisa memikat hati dan menambah nafsu makan para
pecinta kuliner juga pengunjung wisata daerah Sulawesi
Tengah.
5. Lalampa

Makanan khas daerah Sulawesi Tengah satu ini sekilas


mirip dengan lemper. Namun yang membedakan
adalah isiannya. Lemper yang sering dijumpai
menggunakan ayam sebagai isiannya, sedangkan
lalampa isiannya menggunakan ikan cakalang dan
dimasak dengan cara dibakar. Pengolahan dengan cara
dibakar membuat aroma lalampa ini dapat menggugah
selera makan para pengunjung dan pecinta kuliner
untuk mencicipi makanan khas daerah Sulawesi Tengah satu ini.

6. Labia Dange (Sagu Dange)

Makanan khas Sulawesi tengah terkenal dengan bahan


utamanya menggunakan sagu. Salah satu camilan atau
makanan khas daerah Sulawesi tengah yang
menggunakan sagu yakni Labia Dange (Sagu Dange).
Camilan Sulawesi Tengah satu ini dimasak
menggunakan wajan dan tungku tanah liat. Biasa
disantap dengan olahan gula merah atau dengan ikan,
makanan ini memiliki cita rasa gurih dan renyah yang lezat.

https://hot.liputan6.com/read/4206346/12-makanan-khas-daerah-sulawesi-tengah-yang-bikin-
ngiler

Tugas
Diskusi Kelas mengenai tarian tradisional suku kaili.
1. Filosofi tarian tradisional suku kaili.

Format Lembar Penilaian Diskusi (Individu Peserta Didik)

Nama
Nilai
No Sikap/Aspek yang dinilai kelompok/ Nilai Kualitatif
Kuantitatif
peserta didik
Penilaian Individu Peserta didik
1. Berani mengemukakan pendapat
2. Berani menjawab pertanyaan
3. Inisiatif
4. Ketelitian
5. Jiwa kepemimpinan
6. Bermain peran
Jumlah Nilai Individu

Kriteria Penilaian

Kriteria Nilai
Nilai Kualitatif
Indikator Kuantitatif
80-100 Memuaskan 4
70-79 Baik 3
60-69 Cukup 2
45-59 Kurang cukup 1

Anda mungkin juga menyukai