Pd
INFORMASI UMUM
ALOKASI WAKTU : 62 JP
FASE : E
2. Peserta didik juga mempelajari konsep dan nilai-nilai dibalik kesenian dan tradisi lokal, serta
merefleksikan nilai-nilai apa yang dapat diambil dan diterapkan dalam kehidupan mereka.
3. Peserta didik juga belajar untuk mempromosikan salah satu hal yang menarik tentang budaya
dan nilai-nilai luhur yang dipelajarinya
Beberapa bentuk kearifan lokal seperti sastra lisan (pantun, cerita rakyat, peribahasa), tradisi, artefak
budaya, produk kesenian dan kerajinan merupakan warisan leluhur yang sangat bernilai. Kearifan lokal ini
sudah ada sejak ribuan tahun dan diciptakan untuk beragam tujuan, di antaranya untuk menjaga sumber
daya alam dan sumber daya lokal. Namun, generasi yang hidup di masa sekarang umumnya kurang
memahami makna kearifan lokal ini sehingga tantangan yang terjadi di masa sekarang terkait sumber daya
alam dan sumber daya lokal seolah datang begitu saja tanpa ancang-ancang. Padahal beberapa nilai
kearifan lokal sendiri memiliki potensi untuk mencegah masalah yang ada terjadi (preventif).
Projek ini dimulai dengan tahap temukan, peserta didik diajak untuk mengenali bentuk dan fungsi
kearifan lokal yang ada di beberapa daerah di Indonesia. Setelah itu, kegiatan dilanjutkan dengan
menemukan hubungan antara identitas diri, identitas budayanya, dan belajar untuk memahami bahwa
identitas adalah sebuah konsepsi yang dinamis dan selalu berubah. Berangkat dari pemahaman tentang
identitas ini, peserta didik membongkar asumsinya terhadap identitas budaya yang ada di wilayahnya
maupun budaya orang lain. Dengan demikian, diharapkan peserta didik dapat menumbuhkan apresiasi
terhadap budaya dan kearifan lokal sebuah kelompok masyarakat. Tahap ini ditutup dengan menemukan
masalah atau tantangan yang terjadi di sekitarnya yang memiliki kait dengan sumber daya alam atau
sumber daya lokal.
Setelah itu projek dilanjutkan dengan tahap bayangkan, dimana pada tahap ini peserta didik diajak
untuk melihat langsung bagaimana bentuk kearifan lokal yang ada di wilayahnya. Dari sini peserta didik
diminta untuk mengkritisi hubungan antara bentuk kearifan lokal yang ditemukan danfungsinya bagi
masyarakat. Tahap ini diakhiri dengan membayangkan kondisi impian yang peserta didik harapkan terjadi
pada lingkungannya dan kearifan lokal yang ada di wilayahnya.
BAYANGKAN (Menggali Menelusur Warisan Masa Peserta didik diajak untuk melihat
bentuk- bentuk kearifan lokal Lampau langsung bagaimana bentuk
yang ada di wilayah masing- kearifan lokal yang ada di
masing) wilayahnya.
Melalui projek ini, peserta didik diharapkan telah mengembangkan tiga dimensi Profil Pelajar Pancasila,
yaitu Bernalar Kritis, Berkebinekaan Global, dan Kreatif yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari
hari
Statistik kebudayaan tahun 2017 mencatat bahwa jumlah kesenian yang akan punah mencapai angka 143,
terdiri atas seni rupa, seni musik, seni teater, seni tari, sastra dan kesenian lainnya. Di sisi lain, statistik
kebudayaan tahun 2018 juga mencatat ada 34 bahasa daerah yang akan punah. Hal ini penting untuk jadi
perhatian kita bersama karena beberapa ragam seni dan bahasa daerah merupakan hasil akumulasi
pengetahuan lokal masyarakat Indonesia dalam jangka waktu yang panjang. Belum lagi ditambah beberapa
budaya lokal tersebut mengandung makna mendalam untuk menjaga keberlanjutan sumber daya alam dan
sumber daya lokal dengan mencerminkan relasi antar manusia, relasi manusia dengan Tuhan, dan relasi
manusia dengan semesta. Nilai-nilai pengetahuan lokal yang terwujud dalam berbagai bentuk budaya lokal
ini penting untuk terus digaungkan dan diwariskan pada generasi selanjutnya agar tetap lestari.
Pendidikan merupakan sarana untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki karakter positif terkait
dengan Projek Penguat Profil Pelajar Panncasila dan Budaya Kerja pada SMK Pusat Keunggulan. Sehingga
Kearifan lokal yang merupakan produk budaya masa lalu patut secara terus-menerus dijadikan pegangan
hidup. Suku Kaili, yang penduduki wilayah Sulawesi tengah, lebih khusu daerah Palu, Sigi Dan donggala
memiliki sistem nilai yang diwariskan melalui beberapa sub bagian seperti arsitektur rumah dan kesenian.
Tata cara hidup masyarakat kaili terkait dengan pola pemukiman dan pola pertanian. Nilai-nilai yang muncul
dalam kearifan lokal suku Kaili adalah religius, mencintai lingkungan, gotong royong, kebersamaan,
kesetaraan, kreatif, dan tanggung jawab. Nilai-nilai tersebut cocok dengan tema yang ada pada P5BK
Selain itu, sekolah juga dapat memberikan pengalaman akan keberagaman budaya yang dibutuhkan oleh
peserta didik untuk dapat merawat atau memelihara budaya lokal agar tidak punak, kemudian diikuti dengan
refleksi pada tahapannya akan membentuk masukan dan pengalaman positif dari keberagaman itu sendiri. Di
mana hal ini akan menghasilkan peserta didik yang mampu mengelola perbedaan secara konstruktif,
beradaptasi dengan baik, membangun sinergi atas perbedaan sehingga sekolah dapat mendorong peserta
didik lebih mudah dan siap menjadi bagian dari masyarakat global.
Bagaimanapun, sebagai kompas kehidupan, budaya dapat mengarahkan kita untuk berpikir, merasa,
bertindak, dan berkarya ke arah benar salah, baik buruk, pantas tidak pantas.
Pakaian Adat Tradisional Suku Kaili Alat Musik Tradisional Suku Kaili Upacara Adat Suku Kaili
Permainan Tradisional Suku Kaili Tarian Tradisional Suku Kaili Makanan Khas Suku Kaili
DURASI: 2 JP PERSIAPAN
1. Guru membekali diri dengan pengetahuan akan definisi dan
berbagai bentuk kearifan lokal yang memiliki hubungan dengan
keberlanjutan sumber daya alam.
BAHAN 2. Guru menyiapkan lembar kerja K-W-L chart.
K – W – L Chart
Materi Video tentang K: What do you know about the topic?
kearifan lokal kota palu, W: What do you want to know about the topic?
L: What did you learn?
sigi,donggala
3. Guru menyiapkan artikel tentang ‘Kearifan Lokal yang ada di
Banyuwangi’ terkait dengan nilai nilai nasehat dari nenek
moyang atau leluhur
https://www.youtube.com/wa PELAKSANAAN
tch?v=UgQIgpfmpvI 1. Guru mengawali projek dengan meminta peserta didik untuk
menuliskan pepatah / peribahasa / nasihat-nasihat orang tua atau
orang dewasa yang masih diingat sampai saat ini.
2. Setelah peserta didik selesai menulis, guru bersama dengan
https://www.youtube.com/wa peserta didik membahas hasil tulisan peserta didik dan
menanyakan jika ada peserta didik lain yang menuliskan hal
Pelaksanaan
6. Guru mengawali projek dengan meminta peserta didik untuk
menuliskan pepatah / peribahasa / nasihat-nasihat orang tua atau
orang dewasa yang masih diingat sampai saat ini.
7. Setelah peserta didik selesai menulis, guru bersama dengan
peserta didik membahas hasil tulisan peserta didik dan
menanyakan jika ada peserta didik lain yang menuliskan hal
serupa.
8. Guru menggali lebih dalam apakah peserta didik tahu arti dari
pepatah / peribahasa / nasihat-nasihat tersebut. Kemudian guru
memberi pengantar bahwa pepatah / peribahasa / nasihat-nasihat
merupakan salah satu bentuk kearifan lokal.
9. Setelah itu, guru bertanya kepada peserta didik tentang pengertian
dan bentuk kearifan lokal yang diketahui. Beberapa pertanyaan
pemantik yang bisa dipakai:
a. Apa yang terlintas di pikiranmu ketika mendengar kata
kearifan lokal?
b. Menurutmu, apa itu kearifan lokal?
c. Seperti apa bentuknya?
d. Kearifan lokal apa yang kamu ketahui?
e. Berasal dari daerah mana kearifan lokal tersebut?
f. Bagaimana kamu bisa mengetahui bentuk kearifan lokal
tersebut?
g. Apakah kamu tahu atau pernah mencari tahu makna
dibalik kearifan lokal tersebut?
10. Dengan topik “Menelusur Warisan Masa Lampau” dari Kearifan
Lokal kota palu yang dibuat dalam bentuk gambar/ foto
Penutup
KEGIATAN 14 P5BK
SUB-TEMA PELAKSANAAN
MENELUSURI WARISAN MASA LAMPAU 1. Di dalam kelas, guru mengajak peserta
didik untuk mengingat kembali seluruh
TOPIK materi kearifan lokal yang telah dipelajari.
Unjuk Projek Kearifan Lokal 2. Guru membagi siswa kedalam bebrapa
kelompok.
Waktu: 90 menit / 2 JP 3. Guru membagi materi (Pakaian adat
Bahan: Alat tulis, Gawai tradisional, alat musik tradisional upacara
adat, permainan tradisional, tarian
tradisional, makanan khas)
Peran Guru: Pendamping dan Fasilitator 4. Guru memilih materi projek bagi tiap
kelompok
Catatan 5. Siswa diminta untuk mendemonstrasikan
Ketika melakukan pengamatan di luar sekolah materi kearifan lokal baik dalam bentuk
ajak peserta didik untuk fokus pada inderanya, video ataupun artikel pamflet.
misalnya: saat ingin fokus pada indera Tugas:
pendengaran, tutuplah mata dan fokus pada apa Guru meminta peserta didik untuk melakukan
yang terdengar. Minta teman kelompok untuk refleksi
menemani proses ini agar tidak membahayakan
diri di jalan sekitar sekolah
TUJUAN
Peserta didik merasakan atau mengalami
langsung tantangan / masalah yang terjadi di
sekitarnya
Pakaian adat Sulawesi Tengah khususnya suku Kaili adalah pakaian adat yang populer. Baju adat Koje
adalah baju adat asal Kaili yang digunakan khusus untuk pria. Sedangkan baju adat untuk wanita adalah
baju adat Nggembe. Baju adat unik dan menarik ini dapat digunakan bagi semua kalangan.
Baju adat untuk wanita umumnya memiliki pilihan warna. Pilihan warnanya yaitu warna merah atau
warna kuning yang di kombinasikan dengan corak berwarna hitam atau berwarna coklat.
Baju ini berupa baju terusan yang longgar dan lengannya pendek. Ada hiasan berupa manik-manik yang
mempercantik baju ini. Dimana baju nggembe ini berbentuk segi empat dan berbentuk bulat di kerah
baju.
Bawahan untuk pakaian adat ini yaitu Buya Sabe Kumbaja. Berupa rok panjang dan mekar. Dimana
bawahan ini terbuat dari sarung yang ditenun dan berasal dari Donggala. Sarung tenun ini diikatkan pada
pinggang wanita. Dimana sisa ikatan tersebut dibiarkan terjuntai sebagai hiasan.
Pada pakaian adat pria, dibuat dengan motif yang indah dan mengagumkan. Pada sarung yang digunakan
pada pria ini adalah sebuah sarung tenun yang khas dibuat tanpa proses pembuatan dengan pabrik. Selain
itu, beberapa hiasan-hiasan yang ada tersebut dibuat dengan emas dan daun kelapa atau daun pandan.
Tugas 1:
Cobalah menggunakan pakaian/atribut pakaian adat sulawesi tengah, lalu dokumentasikan hal tersebut
Tugas 2 :
Diskusikan bersama
1. Baju adat suku kaili yang telah dimodifikasi boleh tidak?
2. Pemilihan warna baju adat yang di sesuaikan keinginan hati
pengguna.
Rubrik penilaian
Banyaknya etnis dan suku di Sulawesi Tengah membuat kebudayaan dari Provinsi tersebut
sangat kaya dan beragam, namun tetap harmonis dalam kerukunan masyarakat.
Di bidang seni musik, ada banyak sekali jenis alat musik yang muncul dan bekembang dari
berbagai etnis di Sulawesi Tengah ini.
A. Ganda
semuatentangprovinsi.blogspot.com
Ganda merupakan alat musik tradisional berasal dari
Sulawesi Tengah yang dimainkan dengan cara ditabuh
seperti gendang. Bentuk alat musik Ganda lebih mirip
dengan alat musik Tifa, namun dengan ukuran yang lebih
kecil dan ramping. Alat musik ini dilapisi dengan kulit
binatang di bagian kedua sisinya.
2. Geso Geso
Geso Geso merupakan salah satu alat
musik tradisional Sulawesi Tengah
yang memang khas dengan
kebudayaan yang ada di sana.
Sebenarnya nama aslinya pa’ geso-
geso, namun orang-orang lebih
mudah menyebutnya dengan Geso-
Geso. Alat musik ini cukup terkenal
di daerah Saluputti.
Alat musik tersebut umumnya terbuat dari kayu khusus yang sifatnya kuat dan keras, ditambah
dengan tempurung yang dilapisi dengan kulit binatang yang berfungsi sebagai pengeras bunyi.
Cara memainkannya dengan digesek menggunakan alat penggesek yang terbuat dari serat kayu,
atau bisa juga dengan ijuk. Berbeda dengan biola, Geso Geso hanya memiliki satu dawai saja.
3. Gimba
Gimba biasa difungsikan sebagai media untuk mengumumkan berbagai kegiatan atau kejadian
tertentu, seperti berita duka, bencana alam, dan lain sebagainya. Dengan begitu, masyarakat
dapat dengan segera mengetahui kabar-kabar darurat. Dengan menggunakan simbol suara yang
dibedakan dengan banyak sedikitnya jumlah pukulan yang memiliki arti yang berbeda-beda.
Selain fungsi komunikasi, Gimba juga biasa digunakan sebagai alat musik pengiring tari-tarian,
terutama saat Upacara Balia. Apalagi ketika digelar suatu pertandingan seperti pencak silat,
Gimba seringkali hadir sebagai pembuka bersama dengan alat musik tradisional lainnya, seperti
Lalove.
4. Lalove
Lalove /bukareview
Lalove adalah alat musik tradisional Sulawesi yang
biasa digunakan untuk mengiringi kesenian tari
daerah atau adat lokal. Alat musik ini berupa suling
panjang yang biasanya juga dipadukan dengan alat
musik lain, seperti Kadode, Yori, Mbasi-Mbasi atau
kentongan. Selain sebagai pengiring kegiatan seni
daerah, Lalove juga berperan dalam upacara adat lokal, seperti Upacara Balia. Meskipun upacara
ini sudah jarang dilakukan, namun ada beberapa daerah di pesisir Palu yang masih
melangsungkan upacara ini dengan menggunakan alat musik Lalove.
5. Pare’e
Pare’e adalah semacam alat musik pukul yang terbuat
dari bambu yang dibelah, dan salah satu ujungnya
dibuat runcing seperti bentuk paruh burung. Cara
memainkannya dengan dipukul menggunakan tangan.
Biasanya, Pare’e dimainkan oleh para petani untuk merayakan panen mereka, sebagai ekspresi
rasa gembira mereka. Ada juga pemuda yang masih memainkan alat musik ini sekadar sebagai
hiburan. Di daerah tertentu seperti Suku Kulawi, Pare’e diyakini memiliki kekuatan magis ketika
dimainkan pada saat acara tertentu.
6. Santu
Satu adalah alat musik tradisional khas
Sulawesi yang masih tergolong dalam
kelompok instrumen idio-kordofon.
Alat musik petik ini terbuat dari bambu
yang di bagian tengahnya dilubangi
sebagai resonatornya agar dapat
menghasilkan suara yang lebih keras.
Alat musik Santu biasanya dimainkan untuk mengisi waktu senggang di sawah sembari melihat
awan. Selain itu, anak-anak muda juga sering menggunakannya sebagai alat permainan yang
kreatif. Kadang ketika mereka dengan bermain, alat musik ini digunakan sebagai alat komunikasi
kelompok yang menambah keseruan dalam permainan tradisional itu sendiri.
6. Kakula
Kakula adalah alat musik tradisional suku Kaili di
Sulawesi Tengah, yang terdiri dari tujuh buah ‘gong
kecil’ mirip bonang, terbuat dari besi atau kuningan,
tersusun rapi di atas sebuah kotak. Kakula dimainkan
dengan cara dipukul menggunakan alat pemukul kayu
yang ujungnya diberi pelapis. Kakula mempunya dua
pengertian, pertama sebagai sebuah ansambel (kumpulan
alat musik) yang terdiri dari kakula, gong (tawa-tawa),
dan gendang (gimba), serta kedua sebagai instrumen musik. Bentuk kakula awalnya berupa
bilah-bilah kayu yang disusun berderet sebanyak 7 bilah kayu, dan ditempatkan di dalam wadah
berbentuk persegi panjang. Cikal bakal kakula ini bernama gamba-gamba. Tahun 1618 Islam
mulai masuk ke Sulawesi Tengah dengan membawa budaya gong. Gamba-gamba kemudian
mengalami perubahan, yang semula terbuat dari kayu kemudian beralih bentuk menjadi seperti
gong kecil, terbuat dari kuningan sebagaimana adanya sekarang. Kehadiran kakula yang mirip
bonang menginspirasi kreativitas masyarakat Sulawesi Tengah. Kakula kemudian dibuat dari
besi roda pedati (besi plat), dibentuk pipih dengan tonjolan di tengah sebagaimana yang ada pada
kakula kuningan.
Dalam penyajiannya musik kakula dibedakan menjadi dua, tradisi dan kreasi.
1. Kakula Tradisi disebut juga Kakula Nuada. Kakula jenis ini adalah warisan tradisi masyarakat
Kaili yang berlangsung turun temurun dan menjadi milik masyarakat secara komunal. Ansambel
kakula tradisi menyebar melalui tradisi lisan dan diajarkan turun temurun. Sampai saat ini pola
permainan ansambel kakula tradisi tidak berubah, tetap dimainkan tanpa penyanyi. Ansambel
Kakula Nuada selalu memainkan 8 pukulan (repertoar lagu) dalam setiap acara-acara adat.
Instrumen pendukungnya juga masih sama, yaitu kakula bernada pentatonis yang terdiri dari
susunan tujuh buah gong kecil, tawa-tawa (gong), dan dua buah gendang (gimba manuru yang
berukuran kecil, dan gimba tampilangi yang ukurannya lebih besar). Formasi pemain gimba
(gendang) bisa satu atau dua orang. Para pemain ansambel musik kakula nuada adalah
perempuan, dalam posisi duduk, dan memainkannya dengan cara dipukul menggunakan alat
dalam nada dan irama lagu yang khusus.
2. Kakula Kreasi adalah pengembangan dari Kakula Tradisi, yang menjadi simbol tradisi sekaligus
modernitas. Tangga nada yang digunakan dalam kakula kreasi adalah diatonis dengan deret 5-6-
7-1-2-3-4-5-6-7-1. Ansambel kreasi diciptakan oleh seniman besar Sulawesi Tengah, Hasan M.
Bahasyuan, yang merasa tertantang dengan alat musik pengiring tari yang masih sederhana
dibandingkan alat musik Jawa. Tahun 1969 ansambel kakula diberi warna lain dengan
penggunaan tangga nada yang lebih universal, dan penambahan instrumen musiknya. Ansambel
Kakula Kreasi terdiri dari Kakula diatonis, Tawa-Tawa (gong), Gendang Sunda, Jimbe, Floor
Tom (snare drum), dan Repe-repe (simbal), dilengkapi dengan Topodade atau penyanyi.
Komposisi instrumen dalam ansambel kakula kreasi tidak bersifat mutlak, tergantung kebutuhan
lagu yang akan dimainkan. Ansambel kakula kreasi tidak memiliki pukulan tertentu dalam
penyajiannya. Penggunaan nada diatonis memungkinkan ansambel kakula kreasi mengiringi
berbagai genre lagu, tari-tarian kreasi, dan sebagainya.
Musik kakula selalu hadir dalam berbagai upacara seperti pesta perkawinan adat Kaili, dan
nosuna atau khitanan. Dalam upacara perkawinan adat Kaili, iring-iringan ansambel kakula
menjadi syarat berlangsungnya sebuah pernikahan. Lima atau tiga hari sebelum pelaksanaan,
ansambel kakula nuada dibunyikan terus-menerus sebagai pengumuman bahwa salah satu rumah
di desa tersebut sedang mengadakan pernikahan adat. Prosesi ini disebut Dulompote yang dahulu
hanya berlaku untuk golongan raja dan bangsawan suku Kaili. Ansambel kakula yang
dikombinasikan dengan rebana, juga berfungsi untuk mengiringi perjalanan pengantin laki-laki
menuju tempat pengantin perempuan. Saat turun dari rumah, tabuhan kakula berhenti dan rebana
dimainkan. Jika bunyi rebana sudah terdengar di rumah pengantin perempuan, maka ansambel
kakula yang ada di rumah pengantin perempuan dibunyikan sebagai penyambutan. Dalam
upacara nosuna, ansambel kakula menjadi isyarat atau pertanda bagi toniasa (orang yang akan
disunat) untuk makan, penjemputan dari sungai tempatnya mobonggo (berendam dalam air
selama setengah hari), dan perjalanan kembali ke rumah.
Musik Kakula juga berfungsi sebagai sarana hiburan dan media komunikasi, karena saat bunyi
kakula terdengar masyarakat akan datang berbondong-bondong, dan memanfaatkan keramaian
tersebut sebagai ajang pertemuan antar warga. Bagi seniman musik sendiri, kakula bisa menjadi
media ekspresi, baik dalam bentuk vokal, instrumental, maupun keduanya. Musik Kakula juga
digunakan sebagai pengiring tarian sejak masih menggunakan tangga nada pentatonis. Hasan M.
Bahasyuan yang memperkenalkannya berkeliling Jawa, bahkan tahun 1963 musik kakula juga
mengiringi tari-tarian dari Sulawesi Utara dan Tengah pada perhelatan Asian Games di Jakarta.
Musik kakula juga menjadi iringan manca atau pencak silat. Fungsinya adalah untuk memberi
rangsangan kepada para pemain, karena semakin cepat permainan musiknya maka makin cepat
pula para pemain manca melepaskan serangan.
Harmonisasi musik kakula turut meramaikan perayaan hari kemerdekaan yang ke-70 Republik
Indonesia tahun 2015 di Istana Negara. Presiden Joko Widodo memberikan apresiasi dengan
menyaksikannya sebelum memimpin upacara Penurunan Bendera. Tahun 2018 dalam Konser
Karawitan Anak Indonesia, kontingen Sulawesi Tengah yang diwakili Sanggar Seni Teku-Teku
berhasil meraih penghargaan Penyaji Terpilih. Mereka menampilkan pertunjukan Lebong-
Lebong dengan iringan perpaduan kakula, gimba (gendang), dan rebana. Di tahun enam puluhan,
kakula juga pernah ditampilkan di Istana Bogor dan Istana Negara.
https://tambahpinter.com/alat-musik-sulawesi-tengah/
http://encyclopedia.jakarta-tourism.go.id/post/kakula--seni-musik?lang=id
TUGAS 1
Diskusi Kelas mengenai musik tradisional sulawesi tengah.
Nama
Nilai
No Sikap/Aspek yang dinilai kelompok/ Nilai Kualitatif
Kuantitatif
peserta didik
Penilaian Individu Peserta didik
1. Berani mengemukakan pendapat
2. Berani menjawab pertanyaan
3. Inisiatif
4. Ketelitian
5. Jiwa kepemimpinan
6. Bermain peran
Jumlah Nilai Individu
Kriteria Penilaian
Kriteria Nilai
Nilai Kualitatif
Indikator Kuantitatif
80-100 Memuaskan 4
70-79 Baik 3
60-69 Cukup 2
45-59 Kurang cukup 1
Tugas 2
Cobalah untuk belajar memainkan salah satu alat musik tradisional sulawesi tengah.
Tradisi Balia ini bisa diadakan secara individu ataupun kelompok. Ritual Tari Balia diadakan di rumah
pemujaan yang disebut Lobo. Dan dilakukan setelah upaya medis tak berhasil menyembuhkan penyakit.
Prosesi ini dimulai dengan menyiapkan bahan-bahan seperti dupa, keranda, buah-buahan hingga hewan
yang akan dikorbankan, seperti; ayam, kambing atau kerbau, tergantung latar belakang dan kasta yang
mengadakan ritual. Tuan rumah ritual Balia juga mesti membayar jasa lelah sang peritual.
https://id.wikipedia.org/wiki/Balia
Ungkapan yang dipergunakan di dalam melakukan peminangan diawali dengan pihak laki-laki yang
mengatakan nikakava kami hi mopeinta ana kami ri sihi (kedatangan kami ini untuk melihat anak kita di
sini), kemudian disambut pihak perempuan dan mengatakan naria ana miu ri sihi ante kami (anak kita
ada di sini bersama kami), kemudian pihak perempuan melanjutkan pertanyaannya dan
mengatakan mbamo ana’ kami langgai itu (mana anak kami yang laki-laki itu), lalu dilanjutkan pihak
laki-laki naria ri banua, kama aga nanggeni pakatuna (ada di rumah kami hanya mengantar kirimannya),
dan pihak perempuan mengatakan ane naria pakatuna mbana lenjena rapeintata pasanggani (bila ada
kirimannya mari kita lihat bersama), pihak laki-laki menyambungnya lalu menyerahkan sambulu itu
kemudian ia berkata himo pakatuna rapeintata kita pasanggani (ini kirimannya kita lihat bersama), lalu
pihak perempuan menerima sambulu dan berkata kubuka pakatu bagindali kainuru patima (saya buka
kiriman pihak laki-laki untuk pihak perempuan).
Bila isi sambulu itu diambil lalu dimakan maka suatu isyarat bahwa lamaran diterima. Kemudian pihak
perempuan lagi bertanya ante kaputinurarana mbana kupeinta ntoto lenjena (kalau begitu saya ingin
melihat bukti kesucian hatinya) lalu pihak laki-laki mengatakan itumo riambe nusambulu (itu sudah ada
di sambulu).
Oleh karena itu, di dalam prosesi peminangan ini delegasi lak-laki harus menunggu waktu sesuai dengan
kesepakatan untuk mengetahui diterima tidaknya lamaran itu karena pihak perempuan harus
merembukkan dahulu dengan pihak keluarga, terutama kepada yang bersangkutan. Bila waktu yang
ditentukan sudah tiba, maka pertemuan kembali diadakan tanpa suatu ungkapan, melainkan hanya berupa
simbol yakni menyerahkan kembali sambulu yang diberikan. Bila sambulu tersebut terbuka dan sudah
tidak mempunyai isi, berarti lamarannya diterima, tetapi bila sambulu kembali dalam keadaan tertutup
dan isi masih tetap utuh berarti lamaran ditolak, dengan demikian maka posisi sambulu sebagai pokok
adat mempunyai peran yang sangat penting dalam upacara adat perkawinan suku Kaili. Setelah diketahui
bahwa lamaran pihak laki-laki sudah diterima, maka proses selanjutnya segera dilaksanakan.
Setelah penentuan hari dan bulan sudah disepakati, maka dalam jangka waktu penantian itu calon
pengantin diberikan petuah atau nasehat oleh orang tua tentang hakikat suatu perkawinan, sekaligus
dimanfaatkan untuk merawat diri serta memelihara kondisi badan agar tetap sehat segar bugar
menyongsong hari bahagianya.
Rangkaian dari proses pelaksanaan mandi uap ini mempergunakan berbagai macam daunan serta
kembang-kembang yang wangi dan diramu di dalam sebuah loyang besar, kemudian batu dipanaskan lalu
dimasukkan ke dalam loyang yang sudah berisi air dingin dan ramuan sehingga menghasilkan uap lalu
kedua pengantin dimandikan mempergunakan sarung panjang sebagai pengantin dimandikan
mempergunakan sarung panjang sebagai penutup agar asap yang dihasilkan akibat batu panas yang
dimasukkan ke dalam loyang tidak keluar sehingga aroma dari ramuan tersebut dapat mengena seluruh
badan.
Pelaksanaan mandi uap tidak hanya dilakukan satu kali, tetapi dilakukan beberapa kali. Di samping itu
juga diberikan makanan dan minuman yang bergizi, sebab dalam menyongsong hari pernikahan
memerlukan stamina yang prima lahir batin sehingga perlu penanganan yang baik agar kecantikan dan
kesehatan tetap seimbang karena keseimbangan antara hal tersebut merupakan bagian yang harus
diperhatikan karena ia merupakan satu bagian yang tidak dapat dipisahkan sebab bila salah satu di
antaranya tidak sejalan akan menimbulkan hal yang fatal. Oleh karena itu, untuk menjaganya perlu
seorang yang menanganinya sebagai ibu pengantin sehingga diharapkan pada hari pernikahannya dapat
tampil meyakinkan pada hari pernikahan.
Dalam proses acara ini biasanya dilakukan di rumah pihak perempuan menjelang mata hari terbit yang
dipercayai sebagai waktu yang baik untuk memulai suatu
aktivitas. Pelaksanaan acara ini selain mempergunakan
pisau cukur dan gunting, juga mempergunakan beberapa
kelengkapan berupa gula merah, sebutir telur, kepala yang
sudah bertunas dan secangkir air putih serta benang
pita cina, yang dimaksudkan agar kedua
mempelai di dalam mengarungi hidup barunya dapat
diberkahi suatu kehidupan yang sejuk, mudah rezeki,
berkembang seperti layaknya seekor ayam yang
dapat melindungi anaknya serta panjang umur.
Pelaksanaan acara ini dilakukan oleh seorang perempuan yang lanjut usia yang mempunyai garis
keturunan yang baik-baik serta mempunyai banyak anak dan cucu, hal ini dikaitkan dengan suatu
keyakinan masyarakat suku Kaili bahwa pelaksanaan acara ini akan berimplikasi terhadap si calon
pengantin sehingga harus memilih orang mempunyai garis keturunan yang baik. Dengan selesainya acara
cukur bulu ini maka laki-laki kembali ke rumahnya untuk mempersiapkan prosesi selanjutnya.
1.7. Nokolontigi
Nokolontigi masih merupakan salah satu rangkaian dari
proses acara yang dilakukan di rumah perempuan
sebelum perkawinan (nikah), yang dimaksudkan untuk
mensucikan diri sebelum menikah. Acara yang
dilaksanakan pada malam hari ini dilakukan di rumah
calon pengantin perempuan oleh para orangtua atau
tokoh adat yang dianggap mempunyai garis keturunan
baik-baik karena dengan demikian nantinya diharapkan
calon pengantin juga akan mempunyai garis kehidupan
seperti itu. Proses acara ini dimaksudkan agar kedua
calon pengantin tidak dapat dipengaruhi roh-roh jahat
serta dapat terhindar dari bahaya, mudah rezeki dan
mempunyai umur yang panjang.
Adapun kelengkapan yang dipergunakan di dalam acara ini adalah:
daun pacar (kolontigi) yang dihaluskan dan berwarna merah lalu
diletakkan di telapak tangan calon pengantin sebagai simbol
pengorbanan. Minyak kelapa yang dioleskan di atas kepala agar
mereka mudah rezeki di dalam mengarungi hidup barunya, kapur sirih dan bedak yang dipakaikan sampai
ke leher sebagai manifestasi dari sikap yang nantinya bila berbuat jahat dan dapat mempermalukan
keluarga (ingkar janji) maka batang leher menjadi taruhannya, sedangkan penggunaan kain putih sebagai
lambang kesucian.
Setelah proses acara ini dilakukan pada malam yang sama juga dilakukan khatam al-Qur’an yang
dimaksudkan agar calon pengantin laki-laki agar lebih fasih dalam mengucapkan ikrar (ijab kabul) di
depan penghulu. Dan acara khatam al-Qur’an ini dilakukan sebelum acara nokolontigi, tetapi hal tersebut
bukan merupakan suatu ikatan tergantung dari pengaturan. Bila acara ini sudah selesai maka proses dari
rangkaian acara adat yang dilakukan sebelum akad nikah sudah selesai dan laki-laki kembali ke rumahnya
untuk mempersiapkan acara pernikahannya keesokan harinya.
2. Upacara Perkawinan
Setelah melakukan beberapa rangkaian upacara adat sebelum pernikahan, maka masuklah kita pada acara
puncak, yakni upacara adat perkawinan. Di dalam adat suku Kaili sebelum puncak acara, sekitar lima hari
sebelumnya suasana rumah pengantin wanita sudah ramai karena seluruh keluarga yang bertempat tinggal
jauh sudah berkumpul. Karena saat itu sudah mulai diperdengarkan bunyi-bunyian musik tradisional,
selain itu juga di depan rumah dipasang dua buah bendera (umbul-umbul) berbentuk manusia warna
kuning dan merah oleh masyarakat suku Kaili menyebutnya ula-ula, sebagai lambang kebangsawanan
dan kebesaran.
Di dalam proses pelaksanaan acara ini ada empat tahapan upacara yang akan dilalui, yakni:
Setelah rombongan laki-laki tiba di halaman rumah perempuan (ridoyata), maka pengantin laki-laki
disambut calon mertua, lalu laki-laki turun dari kendaraannya menuju tangga rumah, dan di dalam rumah
calon pengantin perempuan sudah hadir sejumlah tokoh adat dan agama menanti kehadiran rombongan
laki-laki. Sebelum rombongan laki-laki masuk atau naik
tangga rumah, terlebih dahulu dilakukan dialog, yang
diawali oleh pihak laki-laki yang mempertanyakan “ri
pura-puramo tupu banua?” (apakah tuan rumah sudah ada
semua), lalu pihak perempuan menjawabnya “ki pura-
puramo” (sudah ada semua dan tidak ada yang kurang)
dilakukan sebanyak tiga kali, kemudian dilanjutkan
dengan netambuli (berpakaian di depan pintu). Ini
dilakukan bila pihak laki-laki sudah berada di depan
tangga dan mengatakan nitambul tangga sambil
menancapkan tombaknya, lalu pihak perempuan
menyambutnya nitambuli. Kalimat ini diucapkan tiga kali
dan juga dijawab tiga kali, kemudian pihak laki-laki mengatakan bija ntona ni tambuli kana
nitambulimo (memang keturunan, yang ditambuli harus ditambuli), sambil mengucapkan assalamu
alaikum ibabu rahim, kemudian disambut pihak perempuan waalaikum salam ibabu rahma, dan
pengantin laki-laki memasuki atau naik rumah yang disambut oleh orangtua perempuan lanjut usia.
Setelah upacara tersebut dilakukan, lalu diantarlah calon pengantin laki-laki itu masuk ke dalam rumah
oleh seorang ibu yang lanjut usia, kemudian dihamburi beras kuning sebagai simbol keselamatan, lalu
disambut dengan bunyi-bunyian (kakula nuada) dan peulu cinde (kain putih yang dililitkan pada gelang)
kemudian disodorkan kepada pengantin laki-laki untuk dipegang sebagai tanda ketaatan untuk selalu
mendengar nasihat orangtua kemudian diantar langsung di depan tempat yang telah disediakan.
Pada saat yang sama pihak laki-laki membawa seperangkat kelengkapan berupa alat sholat dan
kelengakapan lainnya, juga diikutkan beberapa jenis kue tradisional sebagai ungkapan rasa kesatuan yang
diikat dengan tali perkawinan antara anak mereka, kemudian pihak perempuan pun membalasnya (olo
nuroti) dengan memberikan berbagai macam makanan kepada keluarga laki-laki sebagai wujud ungkapan
yang sama atas perkawinan anak-anak mereka. Setelah proses ini dilakukan maka akan dilanjutkan
dengan akad nikah.
Setelah syarat yang ditetapkan tersebut sudah dipenuhi barulah pihak laki-laki diperbolehkan masuk dan
ibu pengantin mengatakan silakan masuk (pesuamo), barulah sang suami bersama pengantarnya
memasuki kamar untuk melakukan sentuhan pertama kepada sang isterinya. Bila kita menyimak
rangkaian dari proses acara ini yang implikasinya dapat dimaknai sebagai tanda betapa susahnya seorang
laki-laki untuk mendapatkan seorang perempuan sehingga ia memerlukan suatu pengorbanan baik fisik
maupun material untuk mendapatkan seorang perempuan, karena apa yang dilakukan tidaklah semudah
apa yang dibayangkan sehingga diperlukan suatu kematangan dan persiapan yang mantap sebelum
memasuki jenjang perkawinan.
Di dalam pelaksanaan acara ini di hari para undangan dan kedua pengantin sudah mempergunakan
pakaian kebesarannya sesuai dengan tingkat status sosialnya karena perkawinan merupakan salah satu
simbol yang paling mudah untuk menandai tingkat status social seseorang, sehingga dengan perkawinan
seseorang mengupayakan untuk dapat tampil semaksimal mungkin dan penuh dengan kehikmatan. Di
dalam acara tersebut pelaminan yang harus ditata seindah mungkin untuk menampakkan tingkat status
sosialnya dan diupayakan agar lebih tinggi dari tempat umum agar setiap orang dapat melihat pengantin.
Sedangkan busana yang digunakan adalah busana patima (baju patima) dan aksesorinya yang merupakan
salah satu aspek budaya Islam yang berkembang di tanah Kaili yang dikembangkan oleh Abdul Raqie
(Dato Karama), yang dapat memberikan warna tersendiri bagi perkembangan budaya di Sulawesi Tengah
pada umumnya dan khususnya Kabupaten Donggala dan Kota Palu.
Rangkaian dari proses acara duduk bersanding ini ibu pengantin sangat berperan untuk menampilkan
kedua mempelai tampil prima, karena selain ia bertugas mengurusi rangkaian dari proses acara yang ada,
ia juga berfungsi untuk merias pengantin sehingga nampak adanya unsur-unsur yang sifatnya tradisional
yang tidak dapat dirasionalkan tapi dapat diperankan dan itulah kedudukan ibu pengantin. Sehingga di
dalam mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan kelengkapan dan prosesi upacara yang dilakukan
sebelum sampai dengan sesudah upacara perkawinan merupakan satu rangkaian yang merupakan
tanggung jawab ibu pengantin (tina noboti) .
Dengan selesainya acara ini maka rangkaian dari proses upacara yang dilalui pada pelaksanaan suatu
perkawinan sudah selesai, dan masih dilanjutkan dengan beberapa rangkaian proses upacara adat yang
harus dilakukan sesudah acara pernikahan.
http://kekunaan.blogspot.com/2012/06/pernikahan-tradisional-suku-kaili.html
Tugas 1
DEBAT BUDAYA
1. Ritual adat itu syirik atau tidak?
2. Gerakan tari balia yang di adopsi dalam seni pertunjukan.
Rubrik penilaian
Nama
Nilai
No Sikap/Aspek yang dinilai kelompok/ Nilai Kualitatif
Kuantitatif
peserta didik
Penilaian Individu Peserta didik
1. Berani mengemukakan pendapat
2. Berani menjawab pertanyaan
3. Inisiatif
4. Ketelitian
5. Jiwa kepemimpinan
6. Bermain peran
Jumlah Nilai Individu
Kriteria Penilaian
Kriteria Nilai
Nilai Kualitatif
Indikator Kuantitatif
80-100 Memuaskan 4
70-79 Baik 3
60-69 Cukup 2
45-59 Kurang cukup 1
4
PERMAINAN TRADISIONAL SUKU KAILI
A. TILAKO
Sulawesi Tengah adalah salah satu provinsi yang ada di Indonesia. Di sana ada satu sukuban gsa
yang bernama Kaili. Di kalangan mereka ada satu jenis permainan yang disebut sebagai tilako,
yaitu sebuah permainan berjalan menggunakan alat yang
terbuat dari bambu dan pelepah sagu atau tempurung
kelapa. Tilako disamping nama sebuah permainan juga
sekaligus nama alat yang digunakan untuk permainan
tersebut. Tilako itu sendiri merupakan gabungan dari dua
kata, yaitu “ti” dan “lako”. “Ti” adalah kata awalan yang
menunjukkan kata kerja dan “lako” secara harafiah berarti
“langkah/jalan”. Dalam permainan ini “tilako” adalah alat
yang dipakai untuk melangkah atau berjalan. Permainan ini
dalam dialek Rai disebut kalempa yang juga merupakan
gabungan dari dua kata, yaitu “ka” dan “lempa”. “Ka” adalah kata awalan yang menunjukkan
kata kerja dan “lempa” berarti “langkah”.
Pemain
Permainan tilako dapat dikategorikan sebagai permainan anak-anak. Pada umumnya permainan
ini dilakukan dilakukan oleh anak laki-laki yang berusia 7--13 tahun. Jumlah pemainnya 2--6
orang.
Aturan Permainan
Aturan permainan tilako dapat dibagi menjadi dua, yaitu perlombaan lari dan pertandingan untuk
saling menjatuhkan dengan cara saling memukulkan kaki-kaki bambu. Perlombaan adu
kecepatan biasanya dilakukan oleh anak-anak yang berusia antara 7-11 tahun dengan jumlah 2--5
orang. Sedangkan, permainan untuk saling menjatuhkan lawan biasanya dilakukan oleh anak-
anak yang berusia antara 11-13 tahun dengan menggunakan sistem kompetisi.
Jalannya Permainan
Apabila permainan hanya berupa adu kecepatan (lomba lari), maka diawali dengan berdirinya 3-
4 pemain di garis start sambil menaiki bambu masing-masing. Bagi anak-anak yang kurang
tinggi atau baru belajar bermain tilako, mereka dapat menaikinya dari tempat yang agak tinggi
atau menggunakan tangga dan baru berjalan ke arah garis start. Apabila telah siap, orang lain
yang tidak ikut bermain akan memberikan aba-aba untuk segera memulai permainan. Mendengar
aba-aba itu, para pemain akan berlari menuju garis finish. Pemain yang lebih dahulu mencapai
garis finish dinyatakan sebagai pemenangnya.
Sedangkan, apabila permainan bertujuan untuk mengadu bambu masing-masing pemain, maka
diawali dengan pemilihan dua orang pemain yang dilakukan secara musyawarah/mufakat.
Setelah itu, mereka akan berdiri berhadapan. Apabila telah siap, peserta lain yang belum
mendapat giliran bermain akan memberikan aba-aba untuk segera memulai permainan.
Mendengar aba-aba itu, kedua pemain akan mulai mengadukan bambu-bambu yang mereka
naiki. Pemain yang dapat menjatuhkan lawan dari bambu yang dinaikinya dinyatakan sebagai
pemenangnya.
Nilai Budaya
Nilai budaya yang terkandung dalam permainan tilako adalah: kerja keras, keuletan, dan
sportivitas. Nilai kerja keras tercermin dari semangat para pemain yang berusaha agar dapat
mengalahkan lawannya. Nilai keuletan tercermin dari proses pembuatan alat yang digunakan
untuk berjalan yang memerlukan keuletan dan ketekunan agar seimbang dan mudah digunakan
untuk berjalan. Dan, nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak
berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan
lapang dada. (gufron)
Sumber:
http://infokom-sulteng.go.id
http://disnakerpalu.com
http://beritapalu.com
B. GARATA/GALASA
Permainan garata/galasa dapat dilakukan oleh anak-anak dan orang dewasa, baik laki-laki
maupun perempuan. Namun, saat ini, secara umum garata/galasa dimainkan oleh kaum
perempuan terutama anak-anak yang berusia 7-12 tahun. Kaum laki-laki sangat jarang
memainkannya. jumlah pemain bergantung dari jumlah papan yang tersedia. untuk satu papan
permainan hanya dapat dimainkan oleh dua orang.
Tempat Permainan
Dahulu galata/galasa hanya dimainkan di teras atau beranda rumah orang yang baru saja
meninggal dunia. Namun, sekarang ini dapat dimainkan di mana saja dan kapan saja karena tidak
memerlukan tempat yang khusus. Jadi, bisa di dalam rumah, di beranda rumah, halaman rumah,
atau di balai-balai rumah adat (bisa pagi, siang, sore, atau malam hari).
Peralatan Permainan
Peralatan yang digunakan dalam permainan adalah sebatang kayu berumur tua berjenis cempaka
atau lepaa (bahasa Kaili) yang tebalnya kurang lebih 10 cm, lebar 30 cm, dan panjang 60-75 cm.
kayu tersebut diberi lubang-lubang (bundar) dengan kedalam kurang lebih 5 cm. Jumlah lubang
seluruhnya adalah 14 buah, dengan rincian 12
lubang dibuat jejer (masing-masing jejer 6
lubang), kemudian dua lubang yang agak besar
di setiap ujungnya. Selain papan, permainan ini
juga menggunakan biji-biji pohon garata atau
galasa, yaitu sejenis tumbuhan berduri yang
memiliki biji berbentuk pipih, bulat lonjong dan
atau bulat seperti kelereng. Biji-biji berbentuk
bulat seperti kelereng inilah yang digunakan
untuk bermain. Jumlahnya antara 50-70 biji
yang nantinya dibagi menjadi dua untuk masing-masing pemain.
Saat ini, dengan semakin langkanya perajin papan garata/galasa, permainan juga dilakukan di
atas tanah dengan membuat lubang yang jumlahnya sama seperti papan garata/galasa, sementara
biji-bijinya diganti dengan kerikil atau batu berukuran kecil yang berwarna agak putih agar dapat
terlihat jelas pada tanah hitam.
Aturan Permainan
Ada empat cara yang dikenal oleh orang Kaili dalam permainan ini. Pertama, jika biji yang
terakhir kena lubang yang kosong di daerahnya sendiri, sementara lubang lawan di depannya
berisi maka bijinya diambil sebagai kemenangan pihak lawan. Kedua, apabila biji persis habis
pada lubang lawan yang berisi tiga biji, maka bijinya diambil sebagai kemenangan lawan.
Ketiga, gabungan dari kedua aturan di atas. Dan keempat, masing-masing lubang tidak diisi
tetapi digunakan sebagai tempat biji kemenangan.
Jalannya Permainan
Jalannya permainan dimulai dengan memasukkan biji-biji ke dalam lubang-lubang yang ada di
dalam papan permainan, kecuali dua buah lubang besar saja yang berada di ujung papan. Kedua
lubang ini tidak boleh diisi. Jumlah biji pada setiap lubang adalah sama. Jika jumlah seluruh biji
yang disepakati adalah 70 biji, maka setiap lubang akan diisi oleh 7 biji. Kemudian salah satu
pemain yang mendapat kesempatan pertama akan mengambil semua biji dari lubang paling
ujung yang ada di daerahnya sendiri. Biji-biji tersebut kemudian akan diedarkan satu persatu
dengan arah yang berlawanan jarum jam ke setiap lubang yang ada di papan permainan, kecuali
satu lubang besar di ujung papan yang menjadi “milik” lawan. Apabila biji masuk ke lubang
yang paling besar (miliknya sendiri), maka biji tersebut merupakan nilai bagi pemain yang
bersangkutan. Namun, jika biji yang terakhir jatuh ke lubang yang masih ada bijinya, maka
pemain mengambil biji-biji tersebut untuk diedarkan kembali. Demikian seterusnya hingga suatu
saat biji terakhir jatuh pada lubang yang kosong. Jika itu terjadi, maka pemain yang lain (lawan
mainnya) akan menggantikannya. Permainan akan berlangsung terus hingga biji-biji yang berada
di lubang-lubang kecil seluruhnya masuk ke dua buah lubang besar di ujung papan permainan
milik kedua pemain. Bagi pemain yang mendapatkan biji terbanyak akan menjadi pemenangnya.
Nilai Budaya
Nilai yang terkandung dalam permainan nogarata/nogalasa adalah kecermatan dan sportivitas.
Nilai kecermatan tercermin dari perlunya perhitungan yang pas agar biji-biji yang akan
dijatuhkan tidak mengenai lubang yang kosong sehingga dapat terus bermain dan
mengumpulkan nilai sebanyak-banyaknya. Nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para
pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima
kekalahan dengan lapang dada. (Gufron)
Sumber:
"Pmo'morea nu'ngana Garata/Galasa (permainan Anak Garata/Galasa)". 2013.
http://vitaandyani8.blogspot.com/2013/01/pomorea-nungana-garatagalasa-permainan.html.
Diakses 8 Februari 2014.
Tugas 1
Cobalah membuat alat permainan tradisional secara berkelompok.
Tugas 2
Cobalah untuk bertanding bersama teman anda dalam memainkan permainan tradisional.
5
TARIAN TRADISIONAL SUKU KAILI
A. POMONTE
Tari Pamonte merupakan tari tradisional Indonesia
khas dari Sulawesi Tengah. Tari Pamonte
menggambarkan sebuah kebiasan para gadis dari Suku
Kaili ketika menyambut musim panen padi tiba.
Tarian ini juga menggambarkan makna kegembiraan
dan ungkapan rasa syukur mereka atas keberhasilan
panen yang sudah mereka peroleh.
Berdasarkan buku yang berjudul “Mengenal Tarian dan Seni Sulawesi” karya dari Wisnu Fajar,
Tari Pamonte ini terlihat jelas yang memperlihatkan bagaimana proses pengolahan padi menjadi
beras. Mulai dari memetik, menumbuk hingga menapis.
Pamonte berasal dari bahasa Kaili Tara yang terdiri dari kata Po berarti pelaksana
dan Monte yang berarti tuai atau menuai. Sehingga dapat disimpulkan bahwa makna dari Tari
Pamonte adalah menuai padi, yakni tarian yang menggambarkan kebiasan para gadis-gadis asal
Suku Kaili di Sulawesi Tengah yang sedang menyambut dan menuai padi ketika waktu panen
tiba dengan rasa penuh suka cita.
Beliau menciptakan tari ini karena terinspirasi dari kegiatan dan kebiasaan para gadis-gadis Suku
Kaili ketika menyambut waktu panen padi tiba. Mengingat bahwa pada zaman dahulu
masyarakat Suku Kaili ini mayoritas berprofesi sebagai petani. Oleh karena itu, biasanya mereka
akan menyambut musim panen itu dengan perasaan yang gembira dan sukacita.
Sehingga diangkatlah kehidupan masyarakat Suku Kaili tersebut menjadi sebuah karya seni yang
indah dan diberi nama dengan Tari Pamonte. Tari ini dijadikan sebagai simbol kegembiraan dan
ungkapan rasa syukur atas panen yang mereka peroleh.
Fungsi Tari Pamonte
Dari penjelasan sebelumnya dapat kita ketahui bahwa Tari Pamonte ini memiliki fungsi sebagai
berikut:
Sebagai simbol penyambutan. Tari Pamonte ini adalah simbol untuk menyambut musim panen
yang akan tiba. Selain itu, Tari Pamonte ini juga terkadang ditarikan saat menyambut tamu.
Sebagai sarana hiburan. Selain sebagai simbol penyambutan, Tari Pamonte juga digunakan
sebagai sarana hiburan di mana dapat dilihat acara-acara hiburan seperti Festival Danau Lindu
yang diadakan setiap tahun.
Sebagai sarana pendidikan. Dengan menarikan Tari Pamonte dapat menjadi sarana pendidikan di
mana masyarakat mulai belajar menghargai kebudayaan Sulawesi Tengah. Bahkan ajang festival
tersebut menjadi wadah untuk berkreasi dan melatih bakat menari.
Kesenian yang dimaksud bermacam-macam. Bisa berupa rumah adat atau tarian tradisional khas
adat.
Untuk bisa memahami tentang tarian adat, misalnya. Kita perlu memahami apa-apa saja gerakan
dari tarian tersebut dan apa saja makna yang tersirat dan makna apa saja yang dapat kita petik
dari tarian tersebut.
Seperti yang kita tahu tarian itu merupakan suatu gerakan yang mencerminkan bagaimana
sejarah dari daerah tersebut.
Dan tentu saja pada dasarnya setiap jenis tarian itu memiliki beberapa bentuk dan juga fungsi
yang berbeda.
Tari Peule Cinde adalah Tarian Khas Sulteng – Foto: YouTube
Salah satu tarian tradisional khas Sulawesi Tengah yaitu tari peule cinde. Tarian ini memiliki
beberapa sejarah yang ada pada masanya sendiri.
Tidak berbeda dengan tarian tradisional khas daerah lainnya, tari peule cinde mempunyai fungsi
khusus untuk penyambutan tamu (terutama tamu tamu yang dianggap agung).
Kategori tamu bisa diluaskan, yaitu tamu Gubernur, tamu walikota dan tamu yang datang dari
wisatawan asing.
Jadi seperti yang kita tahu bahwa tarian ini merupakan tarian penyambutan yang biasa dilakukan
jika ada tamu yang ingin berkunjung ke daerah Sulawesi Tengah.Secara tidak langsung hal ini
berarti bahwa berbagai lapisan masyarakat dapat datang ke sini untuk dapat melihat gerakan-
gerakan dari tarian peule cinde. Maka tentu saja penonton dari tarian ini juga sangat banyak.
Tarian ini sendiri pun biasanya diakhiri dengan menaburkan beras kuning pada para tamu.
Penaburan beras kuning ini sebagai ungkapan rasa terimakasih dan sebagai tanda penghormatan
kepada para tamu yang telah jauh-jauh datang untuk melihat daerah Sulawesi Tengah. Saat ini
tidak tahu apakah tari peule cinde masih sering ditampilkan. Yang menjadi ciri khas pada tari ini
adalah para penari selalu menaburkan beras kuning kepada para tamu yang datang.
Tari peule cinde merupakan Tarian Khas Sulawesi Tengah yang diciptakan oleh Hasan M.
Bahsyuan. Tarian ini biasanya dimainkan oleh para wanita. Tari peule cinde, dimana seperti yang
kita tahu bahwa tarian ini tentu saja memiliki beberapa sejarah yang ada pada masanya sendiri.
Bagi yang memakai hijab, biasanya menggunakan hijab berwarna putih/hitam. Sama sekali tidak
nampak adanya aksesoris khas tari peule cinde yang dipakai oleh penari.
https://www.tribunnewswiki.com/2021/07/19/tari-peule-cinde
C. PONTANU
Tari Pontanu adalah tarian tradisional yang berasal
dari daerah D onggala, Sulawesi Tengah. Tarian ini
biasanya ditarikan oleh para penari wanita dan
gerakan dalam tarian ini menggambarkan aktivitas
para wanita yang sedang menenun Sarung
Donggala, yaitu jenis sarung yang khas dari daerah
Donggala. Tari Pontanu merupakan salah satu tarian
tradisional yang cukup terkenal di Sulawesi Tengah,
khususnya di daerah kabupaten Donggala. Tarian ini sering ditampilkan di berbagai acara seperti
penyambutan tamu penting, festival budaya, bahkan promosi wisata.
Kain sarung ini dulunya masih diproduksi dengan cara tradisional, yaitu dengan cara ditenun dan
proses tenun ini biasanya dilakukan oleh kaum perempuan. Dari sinilah Tari Pontanu dibuat,
tarian ini diciptakan sebagai apresiasi terhadap para penenun sarung dan untuk memperkenalkan
kepada masyarakat luas akan kain sarung khas Donggala ini.
Kata “Pontanu” yang dalam bahasa setempat memiliki arti “Menenun”, sehingga tarian ini juga
bisa diartikan sebagai tarian penenun. Sesuai dengan namanya tersebut, Tari Pontanu ini dapat
dimaknai sebagai wujud apresiasi terhadap para penenun sarung di Donggala. Selain itu tarian ini
juga berfungsi sebagai media untuk memperkenalkan kain sarung khas Donggala kepada
masyarakat luas.
Dalam pertunjukan Tari Pontanu biasanya diawali dengan gerakan tari yang dikreasikan.
Kemudian di tengah-tengah pertunjukan penari menari dengan gerakan seperti menenun. Pada
babak akhir biasanya diakhiri dengan membentangkan sarung khas Donggala yang dibawa
masing-masing penari dan dipertunjukan kepada penonton. Sarung tersebut biasanya juga
dimainkan seperti dikibarkan layaknya bendera.
https://www.budayanusantara.web.id/2018/01/penjelasan-tari-pontanu-tarian.html
Tugas 1
Diskusi Kelas mengenai tarian tradisional suku kaili.
1. Filosofi tarian tradisional suku kaili.
Nama
Nilai
No Sikap/Aspek yang dinilai kelompok/ Nilai Kualitatif
Kuantitatif
peserta didik
Penilaian Individu Peserta didik
1. Berani mengemukakan pendapat
2. Berani menjawab pertanyaan
3. Inisiatif
4. Ketelitian
5. Jiwa kepemimpinan
6. Bermain peran
Jumlah Nilai Individu
Kriteria Penilaian
Kriteria Nilai
Nilai Kualitatif
Indikator Kuantitatif
80-100 Memuaskan 4
70-79 Baik 3
60-69 Cukup 2
45-59 Kurang cukup 1
Tugas 2
Praktek gerak Tari Tradisional
6
MAKANAN TRADISIONAL
Setiap daerah mempunyai makanan khas daerahnya masing-masing, begitu pula dengan
Sulawesi Tengah. Makanan khas daerah Sulawesi Tengah memiliki ciri khasnya masing-masing
yang bisa menarik wisatawan untuk datang berkunjung mencicipi makanan khas daerah tersebut.
Salah satu bahan makanan yang terkenal di daerah Sulawesi Tengah yakni sagu. Sagu dapat
diolah menjadi beragam makanan dan camilan yang lezat.
Pedas dan asam yang menjadi ciri khas makanan Sulawesi Tengah dapat membuat para
pendatang menjadi betah dan selalu ingin mengunjungi daerah tersebut sebagai tujuan liburan.
Makanan khas selalu menjadi sesuatu yang utama untuk dicoba ketika berkunjung ke suatu
daerah, tak terkecuali dengan makanan khas daerah Sulawesi Tengah.
1. Kaledo
kaledo merupakan salah satu makanan
khas daerah Sulawesi Tengah yang bisa
kamu coba. Kaledo atau kaki lembu
Donggala adalah makanan yang mirip
seperti sop buntut, dan disajikan bukan
dengan nasi melainkan dengan ubi.
Namun, menurut beberapa orang lainnya,
kaledo berasal dari bahasa Kaili yang
merupakan bahasa penduduk palu. Ka
artinya keras dan Ledo artinya tidak.
Jadi, kaledo memiliki arti "tidak keras". Kaledo diolah menggunakan rempah-rempah khas
sehingga menyajikan makanan yang dapat menggugah selera pecinta kuliner. Bagi pecinta
makanan sop buntut, kalian bisa mencoba untuk mencicipi makanan khas daerah Sulawesi
Tengah satu ini.
2. Duo Sale
4. Palumara
https://hot.liputan6.com/read/4206346/12-makanan-khas-daerah-sulawesi-tengah-yang-bikin-
ngiler
Tugas
Diskusi Kelas mengenai tarian tradisional suku kaili.
1. Filosofi tarian tradisional suku kaili.
Nama
Nilai
No Sikap/Aspek yang dinilai kelompok/ Nilai Kualitatif
Kuantitatif
peserta didik
Penilaian Individu Peserta didik
1. Berani mengemukakan pendapat
2. Berani menjawab pertanyaan
3. Inisiatif
4. Ketelitian
5. Jiwa kepemimpinan
6. Bermain peran
Jumlah Nilai Individu
Kriteria Penilaian
Kriteria Nilai
Nilai Kualitatif
Indikator Kuantitatif
80-100 Memuaskan 4
70-79 Baik 3
60-69 Cukup 2
45-59 Kurang cukup 1