Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

KANKER RECTUM PADA TN. AB DI RUANG CEMPAKA BAWAH


RUMAH SAKIT UMUM PERSAHABATAN

STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

Disusun Oleh :

Vivi Indah Safitri 3720220046

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH
2023
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi Kanker Rectum
Kanker merupakan suatu kondisi dimana sel telah kehilangan pengendalian
dan mekanisme normalnya, sehingga mengalami pertumbuhan yang tidak normal,
cepat, dan tidak terkendali. Kanker terjadi karena adanya perubahan genetik atau
mutasi Deoxyribonucleic Acid (DNA) yang bertanggung jawab terhadap
pertumbuhan dan pemulihan sel (LeMone, 2008).
Kanker rektal adalah suatu tumor malignan yang muncul dari jaringan epitel
dari rectum (Smeltzer, 2002).
Kanker rectum merupakan salah satu dari keganasan pada kolon dan rektum
yang khusus menyerang bagian rekti yang terjadi akibat gangguan proliferasi sel
epitel yang tidak terkendali (Black & Hawks, 2014).

2. Anatomi Rectum
Secara anatomi rektum terbentang dari vertebre sakrum ke-3 sampai
garis anorektal. Secara fungsional dan endoskopik, rektum dibagi menjadi bagian
ampula dan sfingter. Bagian sfingter disebut juga annulus hemoroidalis, dikelilingi
oleh muskulus levator ani dan fasia coli dari fasia supra-ani. Bagian ampula
terbentang dari sakrum ke-3 ke difragma pelvis pada insersi muskulus levator ani.
Panjang rektum berkisar 10-15 cm, dengan keliling 15 cm pada rectosigmoid
junction dan 35 cm pada bagian ampula yang terluas. Pada orang dewasa dinding
rektum mempunyai 4 lapisan mukosa, submukosa, muskularis (sirkuler dan
longitudinal), dan lapisan serosa.

Gambar 1. Anatomi Rektum


Perdarahan arteri daerah anorektum berasal dari arteri hemoroidalis superior,
media, dan inferior. Arteri hemoroidalis superior yang merupakan kelanjutan dari a.
mesenterika inferior, arteri ini bercabang 2 kiri dan kanan. Arteri hemoroidalis
merupakan cabang a. iliaka interna, arteri hemoroidalis inferior cabang dari a.
pudenda interna. Vena hemoroidalis superior berasal dari 2 plexus hemoroidalis
internus dan berjalan ke arah kranial ke dalam v. Mesenterika inferior dan
seterusnya melalui v. lienalis menuju v. porta.Vena ini tidak berkatup sehingga
tekanan alam rongga perut menentukan tekanan di dalamnya. Karsinoma rektum
dapat menyebar sebagai embolus vena ke dalam hati. Vena hemoroidalis inferior
mengalirkan darah ke v. pudenda interna, v. iliaka interna dan sistem vena kava.

Gambar 2. Pembuluh Darah Arteri dan Vena pada Rektum

Pembuluh limfe daerah anorektum membentuk pleksus halus yang


mengalirkan isinya menuju kelenjar limfe inguinal yang selanjutnya mengalir ke
kelenjar limfe iliaka. Infeksi dan tumor ganas pada daerah anorektal dapat
mengakibatkan limfadenopati inguinal. Pembuluh rekrum di atas garis anorektum
berjalan seiring dengan v. Hemoroidalis seuperior dan melanjut ke kelenjar limfe
mesenterika inferior dan aorta.

Persarafan rektum terdiri atas sistem simpatik dan parasimpatik. Serabut


simpatik berasal dari pleksus mesenterikus inferior yang berasal dari lumbal 2, 3,
dan 4, serabut ini mengatur fungsi emisi air mani dan ejakulasi. Serabut parasimpatis
berasal dari sakral 2, 3, dan 4, serabut ini mengatur fungsi ereksi penis, klitoris
dengan mengatur aliran darah ke dalam jaringan.

3. Fisiologi Sistem Pernapasan


Rektum merupakan sebuah saluran yang berawal dari ujung usus besar dan
berakhir di anus. Rektum berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses.
Biasanya rektum akan kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi,
yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam
rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (defekasi). Mengembangnya
dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem
syaraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak
terjadi, seringkali material akan dikembalikan ke usus besar, dimana penyerapan air
akan kembali dilakukan (Tortora dan Derrickson, 2009).
Seorang yang mempunyai kebiasaan teratur akan merasa kebutuhan
membuang air besar pada kira-kira waktu yang sama setiap hari. Hal ini disebabkan
oleh reflex gastrokolika yang biasanya bekerja sesudah makan pagi. Setelah
makanan mencapai lambug dan setelah pencernaan dimulai, maka peristaltik di
dalam usus akibat rangsangan isi usus, gerakan peristaltik merambat ke kolon dan
sisa makanan akhirnya terdorong, dan makanan yang mencapai sekum mulai
bergerak. Isi kolon pelvis masuk kedalam sekum disertai gerakan peristaltik keras
terjadi di dalam kolon. Tekanan di intra abdominal bertambah dengan penutupan
glottis dan diafragma dan otot abdominal, sfingter anus akan mendorong dan
kerjanya berakhir (Judha dkk, 2012).

4. Etiologi
Etiologi kanker kolorektal hingga saat ini masih belum diketahui. Penelitian
saat ini menunjukkan bahwa faktor genetik memiliki korelasi terbesar untuk kanker
kolorektal. Mutasi dari gen APC adalah penyebab familial adenomatosa poliposis
(FAP), yang mempengaruhi individu membawa resiko hampir 100%
mengembangkan kanker usus besar pada usia 40 tahun (Tomislav Dragovich, 2014).
Banyak faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker kolorektal.
Dibawah ini merupakan faktor risiko terjadinya kanker kolorektal menurut
Smeltzer, Burke, Hinkle, dan Cheever (2010) sebagai berikut:
a) Diet rendah serat
Kebiasaan diet rendah serat adalah faktor penyebab utama, Bukitt (1971)
dalam Price & Wilson (2012) mengemukakan bahwa diet rendah serat dan kaya
karbohidrat refined mengakibatkan perubahan pada flora feses dan perubahan
degradasi garam-garam empedu atau hasil pemecahan protein dan lemak, dimana
sebagian dari zat-zat ini bersifat karsinogenik. Diet rendah serat juga
menyebabkan pemekatan zat yang berpotensi karsinogenik dalam feses yang
bervolume lebih kecil. Selain itu masa transisi feses meningkat, akibat kontak zat
yang berpotensi karsinogenik dengan mukosa usus bertambah lama.
b) Lemak
Kelebihan lemak diyakini mengubah flora bakteri dan mengubah steroid
menjadi senyawa yang mempunyai sifat karsinogen.
c) Polip diusus (colorectal polyps)
Polip adalah pertumbuhan sel pada dinding dalam kolon atau rektum, dan
sering terjadi pada orang berusia 50 tahun ke atas.Sebagian besar polip bersifat
jinak (bukan kanker), tapi beberapa polip (adenoma) dapat menjadi kanker.
d) Inflamatory Bowel Disease
Orang dengan kondisi yang menyebabkan peradangan pada kolon
(misalnya colitis ulcerativa atau penyakit Crohn) selama bertahun-tahun memiliki
risiko yang lebih besar.
e) Riwayat kanker pribadi
Orang yang sudah pernah terkena kanker colorectal dapat terkena kanker
colorectal untuk kedua kalinya. Selain itu, wanita dengan riwayat kanker di
indung telur, uterus (endometrium), atau payudara mempunyai tingkat risiko
yang lebih tinggi untuk terkena kanker rectal.
f) Riwayat kanker rektal pada keluarga
Jika mempunyai riwayat kanker rekti pada keluarga, maka kemungkinan
terkena penyakit ini lebih besar, khususnya jika terkena kanker pada usia muda.
g) Faktor gaya hidup
Orang yang merokok, atau menjalani pola makan yang tinggi lemak dan
sedikit buah-buahan dan sayuran memiliki tingkat risiko yang lebih besar terkena
kanker colorectal serta kebiasaan sering menahan tinja/defekasi yang sering.
h) Usia di atas 50
Kanker rekti biasa terjadi pada mereka yang berusia lebih tua. Lebih dari 90
persen orang yang menderita penyakit ini didiagnosis setelah usia 50 tahun ke
atas.

5. Patofisiologi
Karsinogenesis dan onkogenesis merupakan nama lain dari perkembangan
kanker. Proses perubahan sel normal menjadi sel kanker disebut transformasi
maligna (Ignatavicius et al, 2006). Karsinogen adalah substansi yang mengakibatkan
perubahan pada struktur dan fungsi sel menjadi sel yang bersifat otonom dan
maligna.Trasformasi maligna diduga mempunyai sedikitnya tiga tahapan proses
selular yaitu inisiasi, promosi, dan progresi (Basavanthappa, 2007; Smeltzer & Bare,
2002), yaitu :

a) Inisiasi (Carcinogen)
Pada tahap ini terjadi perubahan dalam bahan genetik sel yang
memancing sel menjadi ganas.Perubahan ini disebabkan oleh status
karsinogen berupa bahan kimia, virus, radiasi atau sinar matahari yang
berperan sebagai inisiator dan bereaksi dengan DNA yang menyebabkan DNA
pecah dan mengalami hambatan perbaikan DNA.Perubahan ini mungkin
dipulihkan melalui mekanisme perbaikan DNA atau dapat mengakibatkan
mutasi selular permanen.Mutasi ini biasanya tidak signifikan bagi sel-sel
sampai terjadi karsinogenesis tahap kedua.
b) Promosi (Co-carcinogen)
Pemajanan berulang terhadap agen menyebabkan ekspresi informasi
abnormal. Pada tahap ini suatu sel yang telah mengalami inisiasi akan berubah
menjadi ganas. Tahap promosi merupakan hasil interaksi antara faktor kedua
dengan sel yang terinisiasi pada tahap sebelumnya. Faktor kedua sebagai agen
penyebabnya disebut complete carcinogen karena melengkapi tahap inisiasi
dengan tahap promosi. Agen promosi bekerja dengan mengubah informasi
genetik dalam sel, meningkatkan sintesis DNA, meningkatkan salinan
pasangan gen dan merubah pola komunikasi antarsel. Pada masa antara
inisiasi dan promosi merupakan kunci konsep dalam pencegahan kanker,
karena bila pada tahap ini dilakukan pencegahan pemaparan karsinogen ulang
seperti makanan berlemak, obesitas, rokok, dan alkohol akan dapat
menurunkan risiko terbentuknya formasi neoplastik.
c) Progresi (Complete Carcinogen )
Pada tahapan ini merupakan tahap akhir dari terbentuknya sel kanker
atau karsinogenesis.Sel-sel yang mengalami perubahan bentuk selama inisiasi
dan promosi kini melakukan perilaku maligna.Sel-sel ini sekarang
menampakkan suatu kecenderungan untuk menginvasi jaringan yang
berdekatan (bermetastasis).
Penyebab kanker pada saluran cerna bagian bawah tidak diketahui
secara pasti.Polip dan ulserasi colitis kronis dapat berubah menjadi ganas
tetapi dianggap bukan sebagai penyebab langsung.Asam empedu dapat
berperan sebagai karsinogen yang mungkin berada di kolon. Hipotesa
penyebab yang lain adalah meningkatnya penggunaan lemak yang bisa
menyebabkan kanker kolorektal. Diet rendah serat dan kaya karbohidrat
refined mengakibatkan perubahan pada flora feses dan perubahan degradasi
garam-garam empedu atau hasil pemecahan protein dan lemak, dimana
sebagian dari zat-zat ini bersifat karsinogenik. Diet rendah serat juga
menyebabkan pemekatan zat yang berpotensi karsinogenik dalam feses yang
bervolume lebih kecil. Selain itu masa transisi feses meningkat, akibat kontak
zat yang berpotensi karsinogenik dengan mukosa usus bertambah lama.
Kelebihan lemak diyakini mengubah flora bakteri dan mengubah
steroid menjadi senyawa yang mempunyai sifat karsinogen. Menurut
Physicians Committee for Responsible Medicine, bakteri juga memiliki
peranan dalam timbulnya kanker usus. Bakteri dapat mengubah asam empedu,
yang dikeluarkan oleh tubuh untuk membantu pencernaan lemak, menjadi
suatu senyawa-senyawa yang dapat memicu kanker. Senyawa-senyawa
tersebut disebut sebagai asam empedu sekunder. Asam empedu secara normal
dikeluarkan oleh tubuh untuk mencerna lemak. Semakin banyak lemak yang
dikonsumsi, maka asam empedu yang dikeluarkan oleh tubuh akan semakin
banyak pula. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika beberapa bahan
makanan yang banyak mengandung lemak seperti daging merah, serta daging
dan makanan olahan lain yang berkadar lemak tinggi seperti keju, dapat
meningkatkan risiko kanker usus. Konsumsi alkohol juga dapat meningkatkan
risiko terjadinya kanker usus seperti halnya makanan yang kaya akan gula,
menurut World Cancer Research Fund.
Patologi Kebanyakan kanker usus besar berawal dari pertumbuhan sel
yang tidak ganas atau disebut adenoma, yang dalam stadium awal membentuk
polip (sel yang tumbuh sangat cepat).Pada stadium awal, polip dapat diangkat
dengan mudah. Tetapi, seringkali pada stadium awal adenoma tidak
menampakkan gejala apapun sehingga tidak terdeteksi dalam waktu yang
relatif lama dan pada kondisi tertentu berpotensi menjadi kanker yang dapat
terjadi pada semua bagian dari usus besar (Davey, 2006).
Dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup
serta merusak jaringan normal serta meluas ke dalam struktur sekitarnya. Sel
kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar ke bagian tubuh yang
lain (paling sering ke hati). Kanker kolorektal dapat menyebar melalui
beberapa cara yaitu: secara infiltratif langsung ke struktur yang berdekatan,
seperti ke dalam kandung kemih; melalui pembuluh limfe ke kelenjar limfe
perikolon dan mesokolon; melalui aliran darah, biasanya ke hati karena kolon
mengalirakan darah ke sistem portal; penyebaran secara transperitoneal;
penyebaran ke luka jahitan, insisi abdomen atau lokasi drain. Pertumbuhan
kanker menghasilkan efek sekunder, meliputi penyumbatan lumen usus
dengan obstruksi dan ulserasi pada dinding usus serta perdarahan. Penetrasi
kanker dapat menyebabkan perforasi dan abses, serta timbulnya metastase
pada jaringan lain (Gale, 2000).
Pada keluarga tertentu yang memiliki kecenderungan terhadap kanker,
diduga bahwa satu atau lebih gen kanker sudah bermutasidalam genom yang
diwarisi. Pertumbuhan kanker akan meningkat pada usia lebih dari 55 tahun.
Banyak kanker terjadi diusia tua seperti kanker prostat, kanker kolon, dan
leukemia. Peningkatan masa hidup memungkinkan memanjangnya paparan
terhadap karsinogen dan terakumulasinya berbagai perubahan genetik serta
penurunan berbagai fungsi tubuh (Basavanthappa, 2007). Menurut P. Deyle
(2005), perkembangan karsinoma kolorektal dibagi atas 3 fase. Fase pertama
ialah fase karsinogen yang bersifat rangsangan, proses ini berjalan lama
sampai puluhan tahun.Fase kedua adalah fase pertumbuhan tumor tetapi belum
menimbulkan keluhan (asimptomatis) yang berlangsung bertahun-tahun juga.
Kemudian fase ketiga dengan timbulnya keluhan dan gejala yang nyata.
6. Klasifikasi
a) Smeltzer, Burke, Hinkle, & Cheever (2010) mengenalkan metode penahapan
kanker dengan klasifikasi duke sebagai berikut:
1) Stadium 0 (carcinoma in situ)
Kanker belum menembus membran basal dari mukosa kolon atau rektum.
2) Stadium I
Kanker telah menembus membran basal hingga lapisan kedua atau ketiga
(submukosa/ muskularis propria) dari lapisan dinding kolon/ rektum tetapi
belum menyebar keluar dari dinding kolon/rektum (Duke A).
3) Stadium II
Kanker telah menembus jaringan serosa dan menyebar keluar dari dinding
usus kolon/rektum dan ke jaringan sekitar tetapi belum menyebar pada
kelenjar getah bening (Duke B).
4) Stadium III
Kanker telah menyebar pada kelenjar getah bening terdekat tetapi belum pada
organ tubuh lainnya (Duke C).
5) Stadium IV
Kanker telah menyebar pada organ tubuh lainnya (Duke D).

Gambar 3. Stadium Ca Rektum

b) The American Joint Committee on Cancer (AJCC), (2006). Mengenalkan metode


penahapan kanker dengan klasifikasi duke
1) Stadium Deskripsi Kanker
Stadium Deskripsi
T1 Massa polypoid Intraluminal; tidak ada penebalan pada dinding rectum
T2 Penebalan dinding rectum >6 mm; tidak ada perluasan ke perirectal
T3a Penebalan dinding rectum dan invasi ke otot dan organ yang
berdekatan
T3b Penebalan dinding rectum dan invasi ke pelvic atau dinding abdominal
T4 Metastasis jauh, biasanya ke liver atau adrenal

2) Stadium Modified Dukes (Stadium Deskripsi)


TNM Modifed
Deskripsi
Stadium Dukes
Stadium
T1 N0 A Tumor terbatas pada submucosa
M0
T2 N0 B1 Tumor terbatas pada muscularis propria
M0
T3 N0 B2 Penyebaran transmural
M0
T2 N1 C1 T2, pembesaran kelenjar mesenteric
M0
T3 N1 C2 T3, pembesaran kelenjar mesenteric
M0
T4 C2 Penyebaran ke organ yang berdekatan
Any T M1 D Metastasis jauh

7. Manifestasi Klinik
Kebanyakan orang asimtomatis dalam jangka waktu lama dan mencari
bantuan kesehatan hanya bila mereka menemukan perubahan pada kebiasaan
defekasi atau perdarahan rectal (Smeltzer, Burke, Hinkle, & Cheever, 2010).

Gejala sangat ditentukan oleh lokasi kanker, tahap penyakit, dan fungsi segmen
usus tempat kanker berlokasi. Gejala yang paling menonjol adalah (Smeltzer, Burke,
Hinkle, & Cheever, 2010):

a) Perubahan kebiasaan defekasi


b) Pasase darah dalam feses adalah gejala paling umum kedua
c) Gejala anemi tanpa diketahui penyebabnya
d) Anoreksia
e) Penurunan berat badan tanpa alasan
f) Keletihan
g) Mual dan muntah-muntah
h) Usus besar terasa tidak kososng seluruhnya setelah BAB
i) Feses menjadi lebih sempit (seperti pita)
j) Perut sering terasa kembung atau keram perut
k) Gejala yang dihubungkan dengan lesi rectal adalah: evakuasi feses yang tidak
lengkap setelah defekasi, konstipasi dan diare bergantian (umumnya konstipasi),
serta feses berdarah.
Pertumbuhan pada sigmoid atau rectum dapat mengenai radiks saraf, pembuluh
limfe, atau vena menimbulkan gejala gejala pada tungkai atau perineum, hemoroid,
nyeri pinggang bagian bawah, keinginan defekasi, atau sering berkemih dapat timbul
sebagai akibat tekanan pada alat-alat tersebut.

Semua karsinoma kolorektal dapat menyebabkan ulserasi, perdarahan, obstruksi


bila membesar atau invasi menembus dinding usus dan kelenjar-kelenjar
regional.Kadang-kadang bisa terjadi perforasi dan menimbulkan abses dalam
peritoneum.Keluhan dan gejala sangat tergantung dari besarnya tumor.

Tumor pada Recti dan kolon asendens dapat tumbuh sampai besar sebelum
menimbulkan tanda-tanda obstruksi karena lumennya lebih besar daripada kolon
desendens dan juga karena dindingnya lebih mudah melebar.Perdarahan biasanya
sedikit atau tersamar. Bila karsinoma Recti menembus ke daerah ileum akan terjadi
obstruksi usus halus dengan pelebaran bagian proksimal dan timbul nausea atau
vomitus. Harus dibedakan dengan karsinoma pada kolon desendens yang lebih cepat
menimbulkan obstruksi sehingga terjadi obstipasi.

Pertimbangan gerontologi, insiden karsinoma kolon dan rectum meningkat


sesuai usia. Kanker ini biasanya ganas pada lansia, gejala sering tersembunyi yaitu:
keletihan hampir selalu ada akibat anemia defisiensi besi primer, nyeri abdomen,
obstruksi, tenesmus, dan perdarahan rectal.

8. Pemeriksaan Penunjang
Ada beberapa tes pada daerah rektum dan kolon untuk mendeteksi kanker
rektal, diantaranya ialah :
a) Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan CEA (Carcinoma Embrionik
Antigen) dan Uji faecal occult blood test (FOBT) untuk melihat perdarahan di
jaringan
b) Digital rectal examination (DRE) dapat digunakan sebagai pemeriksaan
skrining awal. Kurang lebih 75 % karsinoma rektum dapat dipalpasi pada
pemeriksaan rektal, pemeriksaan digital akan mengenali tumor yang terletak
sekitar 10 cm dari rektum, tumor akan teraba keras dan menggaung.

Ada 2 gambaran khas dari pemeriksaan colok dubur, yaitu indurasi dan adanya
suatu penonjolan tepi, dapat berupa :
1) Suatu pertumbuhan awal yang teraba sebagai indurasi seperti cakram yaitu
suatu plateau kecil dengan permukaan yang licin dan berbatas tegas.
2) Suatu pertumbuhan tonjolan yang rapuh, biasanya lebih lunak, tetapi
umumnya mempunyai beberapa daerah indurasi dan ulserasi
3) Suatu bentuk khas dari ulkus maligna dengan tepi noduler yang menonjol
dengan suatu kubah yang dalam (bentuk ini paling sering)
4) Suatu bentuk karsinoma anular yang teraba sebagai pertumbuhan bentuk
cincin
c) Barium Enema, yaitu Cairan yang mengandung barium dimasukkan melalui
rektum kemudian dilakukan seri foto x-rays pada traktus gastrointestinal
bawah.
d) Sigmoidoscopy, yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan
sigmoid apakah terdapat polip kakner atau kelainan lainnya. Alat
sigmoidoscope dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau
sampel jaringan dapat diambil untuk biopsi.
e) Colonoscopy, yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan
sigmoid apakah terdapat polip kanker atau kelainan lainnya. Alat colonoscope
dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau sampel jaringan
dapat diambil untuk biopsi.
f) Biopsi, jika ditemukan tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsi harus
dilakukan. Secara patologi anatomi, adenocarcinoma merupakan jenis yang
paling sering yaitu sekitar 90 sampai 95% dari kanker usus besar. Jenis lainnya
ialah karsinoma sel skuamosa, carcinoid tumors, adenosquamous carcinomas,
dan undifferentiated tumors
g) Foto sinar X Pemeriksaan radiologis dengan barium enema dianjurkan sebagai
pemeriksaan rutin sebelum dilakukan pemeriksaan lain. Pada pemeriksaan ini
akan tampak filling defect biasanya sepanjang 5 – 6 cm berbentuk anular atau
apple core. Dinding usus tampak rigid dan gambaran mukosa rusak.

9. Penatalaksanaan
Berbagai jenis terapi tersedia untuk pasien kanker rektal.Beberapa adalah
terapi standar dan beberapa lagi masih diuji dalam penelitian klinis. Tiga terapi
standar untuk kanker rektal yang sering digunakan antara lain:
a) Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama
untuk stadium I dan II kanker rektal, bahkan pada pasien suspek dalam
stadium III juga dilakukan pembedahan.Meskipun begitu, karena kemajuan
ilmu dalam metode penentuan stadium kanker, banyak pasien kanker rektal
dilakukan pre-surgical treatment dengan radiasi dan kemoterapi.Penggunaan
kemoterapi sebelum pembedahan dikenal sebagai neoadjuvant chemotherapy,
dan pada kanker rektal, neoadjuvant chemotherapy digunakan terutama pada
stadium II dan III.Pada pasien lainnya yang hanya dilakukan pembedahan,
meskipun sebagian besar jaringan kanker sudah diangkat saat operasi,
beberapa pasien masih membutuhkan kemoterapi atau radiasi setelah
pembedahan untuk membunuh sel kanker yang tertinggal (Anderson, 2006).
Tipe pembedahan tergantung pada lokasi dan ukuran tumor. Prosedur
pembedahan pilihan adalah sebagai berikut (Doughty & Jackson, 1993 dalam
Brunner & Suddarth, 2002):
1) Reseksi segmental dengan anastomosis (pengangkatan tumor dan porsi usus
pada sisi pertumbuhan pembuluh darah, dan nodus limfatik)
2) Reseksi abdominoperineal dengan kolostomi sigmoid permanen
(pengangkatan tumor dan prosi sigmoid dan semua rectum serta sfingkter
anal)
3) Kolostomi sementara diikuti reanastomosis reseksi segmental dan
anastomisis serta reanastomosis lanjut dari kolostomi (memungkinkan
dekompresi usus awal dan persiapan usus sebelum reseksi)
4) Kolostomi permanen atau ileostomi (untuk menyembuhkan lesi obstruksi
yang tidak dapat direseksi)
Berkenaan dengan teknik perbaikan melalui pembedahan, kolostomi
dilakukan pada kurang dari sepertiga pasien kanker kolorektal.Kolostomi adalah
pembuatan lubang (stoma) pada kolon secara bedah.Stoma ini dapat berfungsi
sebagai diversi sementara atau permanen.Ini memungkinkan drainase atau
evakuasi ini kolon keluar tubuh.Konsistensi drainase dihubungkan dengan
penempatan kolostomi, yang ditentukan oleh lokasi tumor dan luasnya invasi
jaringan sekitar (Brunner & Suddarth, 2002).
a) Prosedur pelaksanaan reseksi dan kolostomi (Brunner & Suddarth, 2002):

1. sebelum pembedahan 2. Selama pembedahan, sigmoid diangkat dan dibuatkan


kolostomi. Usus distal telah didiseksi bebas pada titik
dibawah peritoneum pelvis bawah, yang djahit diatas
ujung tertututp dari sigmoid distal dan rektum
3. Reseksi perineal mencakup 4. Hasil akhir setelah penyembuhan
pengangkatan rectum dan porsi dengan kolostomi permanen.
bebas dari sigmoid bawah, drein
perineal diinsersi.

b) Radiasi
Sebagai mana telah disebutkan, untuk banyak kasus stadium II dan III
lanjut, radiasi dapat menyusutkan ukuran tumor sebelum dilakukan
pembedahan. Peran lain radioterapi adalah sebagai sebagai terapi tambahan
untuk pembedahan pada kasus tumor lokal yang sudah diangkat melaui
pembedahan, dan untuk penanganan kasus metastasis jauh tertentu. Terutama
ketika digunakan dalam kombinasi dengan kemoterapi, radiasi yang digunakan
setelah pembedahan menunjukkan telah menurunkan risiko kekambuhan lokal
di pelvis sebesar 46% dan angka kematian sebesar 29%. Pada penanganan
metastasis jauh, radiasi telah berguna mengurangi efek lokal dari metastasis
tersebut, misalnya pada otak.Radioterapi umumnya digunakan sebagai terapi
paliatif pada pasien yang memiliki tumor lokal yang unresectable (Mansjoer,
2000).
c) Kemoterapi
Adjuvant chemotherapy (menangani pasien yang tidak terbukti memiliki
penyakit residual tapi beresiko tinggi mengalami kekambuhan),
dipertimbangkan pada pasien dimana tumornya menembus sangat dalam atau
tumor lokal yang bergerombol (Stadium II lanjut dan Stadium III).Terapi
standarnya ialah dengan fluorouracil, (5-FU) dikombinasikan dengan leucovorin
dalam jangka waktu enam sampai dua belas bulan.5-FU merupakan anti
metabolit dan leucovorin memperbaiki respon.Agen lainnya, levamisole
(meningkatkan sistem imun, dapat menjadi substitusi bagi leucovorin).Protokol
ini menurunkan angka kekambuhan kira-kira 15% dan menurunkan angka
kematian kira-kira sebesar 10% (Mansjoer, 2000).

10. Pathway
Kebiasaan Makan

(TInggi Karbohidrat
Kolitis
&
Ulceratif
Polimerase Karsinogen

Membuat DNA baru Polip


Faktor Genetik Colon

Kerusakan DNA

Penggabungan DNA
asing dan DNA induk

Sintesis RNA baru

Mitosis dipercepat

Transportasi Kanker

Pertumbuhan sel liar


ganas

Ca Recti
Gangguan Kurang
Citra Pengetahuan
Tubuh

Perdarahan
Per Anus Ansietas

Hemoroid
Perubahan Kebiasaan
PK : Perdarahan Defikasi :
Komstipasi, Diare
PK : Anemi
Nyeri

Nyeri Kronis Anoreksia : Ketidakseimbangan


Resiko Infeksi
Nutrisi dari kebutuhan tubuh, mual
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a) Identitas klien: selain nama klien, asal kota dan daerah, jumlah keluarga.
b) Keluhan: penyebab klien sampai dibawa ke rumah sakit seperti BAB darah,
keluhan nyeri pada perut, keluhan perubahan pola defekasi (konstipasi), keluhan
mual muntah, nafsu makannya menurun, berat badannya turun tanpa sebab,
keletihan, keluhan seperti sensasi seperti belum selesai BAB (masih ingin tapi
sudah tidak bisa keluar) dan perubahan diameter serta ukuran kotoran (feses
menjadi lebih sempit).
c) Riwayat penyakit sekarang: Tanda dan gejala klinis ca rectum
d) Riwayat penyakit dahulu : penyakit menahun seperti hipertensi, gula darah tinggi,
dll
e) Riwayat kesehatan keluarga : Biasanya pada keluarga pasien ditemukan ada yang
menderita kanker sebelumnya
f) Riwayat Pengobatan Sebelumnya
1) Kapan pasien mendapatkan pengobatan sehubungan dengan sakitnya
2) Jenis, warna, dan dosis obat yang diminum.
3) Berapa lama pasien menjalani pengobatan sehubungan dengan penyakitnya
4) Kapan pasien mendapatkan pengobatan terakhir.
g) Riwayat sosial ekonomi dan lingkungan
1) Riwayat keluarga. Biasanya keluarga ada yang mempunyai penyakit yang
sama.
2) Aspek psikososial. Merasa cemas dan tidak percaya diri
3) Biasanya pada keluarga yang kurang mampu. Masalah berhubungan dengan
kondisi ekonomi, untuk sembuh perlu waktu yang lama dan biaya yang
banyak. Tidak bersemangat dan putus harapan.
4) Lingkungan. Lingkungan kurang sehat (polusi, limbah), pemukiman yang
padat, ventilasi rumah yang kurang sehingga pertukaran udara kurang, daerah
di dalam rumah lembab, tidak cukup sinar matahari, jumlah anggota keluarga
yang banyak.
h) Pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi sehat dan penatalaksanaan kesehatan.
Kurang menerapkan PHBS yang baik, pola makan dan jenis makanan yang
berpengaruh seperti makanan tinggi protein tanpa diimbangi sayur dan
buah, kebiasaan konsumsi junkfood dan minuman bersoda, kurangnya
konsumsi air putih. Lingkungan rumah kumuh, jumlah anggota keluarga
banyak, lingkungan dalam rumah lembab, jendela jarang dibuka sehingga
sinar matahari tidak dapat masuk, ventilasi minim menybabkan pertukaran
udara kurang, sejak kecil anggita keluarga tidak dibiasakan imunisasi.
2) Pola nutrisi – metabolik
 Kaji tipe intake makanan sehari-hari (pada waktu pasien belum masuk rumah
sakit), meliputi jenis makanan yang dikonsumsi, frekuensi, porsi makanan yang
habis dikonsumsi, waktu makan dan snack.
 Nafsu makan saat ini apakah mengalami penurunan atau tidak. Pada beberapa
kasus dapat ditemukan pasien mengalami penurunan nafsu makan.
 Adakah perubahan pada sensasi kecap.
 Intake makanan terakhir yang dikonsumsi sebelum masuk rumah sakit.
 Pembatasan diet atau tipe makanan yang diresepkan di rumah sakit.
 Porsi makanan yang habis dikonsumsi di rumah sakit.
 Kesulitan dalam mengunyah atau menelan makanan.
 Kehilangan BB yang terjadi saat ini.
 Ada atau tidaknya penggunaan alat bantu nutrisi seperti NGT
 Mual atau muntah (berapa kali muntah).

Note: pengkajian riwayat makanan yang sering dimakan oleh pasien sangat penting
untuk dikaji terkait dengan kanker rectum yang dialami oleh pasien, pengkajian
ditekankan pada kebiasaan pasien dalam mengonsumsi lemak dan makanan kurang
serat dan riwayat adanya penurunan berat badan yang tanpa alas an.

3) Pola eliminasi
 BAB
- Frekuensi BAB perhari, konsistensi feses, warna feses, ada tidaknya
darah atau lendir.
- BAB pasien yang terakhir.
- Adanya konstipasi atau tidak.
- Adanya penggunaan alat bantu ekskratory seperti kolostomi.
- Adanya penggunaan laksatif atau tidak.
- Adanya perubahan pada defekasi.

 BAK
- Frekuensi BAK, warna, jernih/tidak, ada darah/tidak, jumlah urine
(ml)
- Nyeri saat berkemih
- Penggunaan kateter
- Penggunaan obat diuretic
4) Pola aktifitas – latihan
Pola aktivitas pada pasien ca rektum mengalami penurunan karena nyeri,
sesak nafas, mudah lelah, tachicardia, jika melakukan aktifitas berat
timbul sesak nafas (nafas pendek).
5) Pola tidur dan istirahat
Sulit tidur, frekwensi tidur berkurang dari biasanya, sering berkeringat
pada malam hari.
6) Pola kognitif – perceptual
Kadang terdapat nyeri tekan pada nodul limfa, nyeri tulang umum,
sedangkan dalam hal daya panca indera (perciuman, perabaan, rasa,
penglihatan dan pendengaran) jarang ditemukan adanya gangguan
7) Pola persepsi diri
Pasien tidak percaya diri, pasif, kadang pemarah, selain itu Ketakutan dan
kecemasan akan muncul pada penderita ca rektum dikarenakan kurangnya
pengetahuan tentang pernyakitnya yang akhirnya membuat kondisi penderita
menjadi perasaan tak berbedanya dan tak ada harapan.
8) Pola peran – hubungan
Klien dengan ca rektum akan mengalami gangguan dalam hal
hubungan dan peran yang dikarenakan adanya isolasi untuk menghindari
penularan terhadap anggota keluarga yang lain.
i) Aktivitas/istirahat
Dapat timbul gejala kelemahan dan kelelahan yang ditandai dengan kesulitan
tidur pada malam atau demam malam hari dan berkeringat pada malam
hari
j) Makanan/cairan
Dapat timbul gejala kehilangan nafsu makan yang ditandai dengan penurunan BB
k) Nyeri/kenyamanan
Timbul nyeri area perut meningkat karena gerak, gangguan tidur pada malam
hari. Tanda pasien meringis, tidur tidak nyenyak
l) Pernapasan
Terdapat Sesak nafas, Takipnea

2. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum : biasanya KU sedang atau buruk
TD : Normal ( kadang rendah karena kurang istirahat)
Nadi : Pada umumnya nadi pasien meningkat
Pernafasan : Biasanya nafas pasien meningkat (normal : 16-20x/i)
Suhu :Biasanya kenaikan suhu ringan pada malam hari. Suhu
mungkin tinggi atau tidak teratur. Seiring kali tidak ada demam
b) Kepala
Inspeksi : Biasanya wajah tampak pucat, wajah tampak meringis,
konjungtiva anemis, skelra tidak ikterik, hidung tidak sianosis, mukosa bibir
kerin.
c) Thorak
Inpeksi : Kadang terlihat retraksi interkosta dan tarikan dinding
dada, biasanya pasien kesulitan saat inspirasi
Palpasi : Fremitus paru yang terinfeksi biasanya lemah
Perkusi : Bila mengenai pleura, perkusi memberikan suara pekak
Auskultasi : Tidak terdengar suara napas tambahan dan terdengar redup
terutama pada apeks paru, bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi
memberikan suara hipersonar dan timpani.
d) Abdomen
Inspeksi : biasanya tampak simetris
Palpasi : biasanya tidak ada pembesaran hepar namun teraba keras pada
kuadran bawah
Perkusi : biasanya terdapat suara tympani
Auskultasi : biasanya bising usus pasien terdengar dan meningkat
e) Ekremitas atas
Biasanya CRT<2 detik, akral teraba hangat, tampak pucat, tidak ada edema
f) Ekremitas bawah
Biasanya CRT<2 detik, akral teraba hangat, tampak pucat, tidakada edema
g) Auskultasi
3. Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan CEA (Carcinoma Embrionik Antigen)
dan Uji faecal occult blood test (FOBT) untuk melihat perdarahan di jaringan
b) Digital rectal examination (DRE) dapat digunakan sebagai pemeriksaan skrining
awal. Kurang lebih 75 % karsinoma rektum dapat dipalpasi pada pemeriksaan
rektal, pemeriksaan digital akan mengenali tumor yang terletak sekitar 10 cm dari
rektum, tumor akan teraba keras dan menggaung.
c) Barium Enema, yaitu Cairan yang mengandung barium dimasukkan melalui
rektum kemudian dilakukan seri foto x-rays pada traktus gastrointestinal bawah.
d) Sigmoidoscopy, yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan
sigmoid apakah terdapat polip kakner atau kelainan lainnya. Alat sigmoidoscope
dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau sampel jaringan
dapat diambil untuk biopsi.
e) Colonoscopy, yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan
sigmoid apakah terdapat polip kanker atau kelainan lainnya. Alat colonoscope
dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau sampel jaringan
dapat diambil untuk biopsi.
f) Biopsi, jika ditemukan tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsi harus
dilakukan. Secara patologi anatomi, adenocarcinoma merupakan jenis yang
paling sering yaitu sekitar 90 sampai 95% dari kanker usus besar. Jenis lainnya
ialah karsinoma sel skuamosa, carcinoid tumors, adenosquamous carcinomas,
dan undifferentiated tumors
g) Foto sinar X Pemeriksaan radiologis dengan barium enema dianjurkan sebagai
pemeriksaan rutin sebelum dilakukan pemeriksaan lain. Pada pemeriksaan ini
akan tampak filling defect biasanya sepanjang 5 – 6 cm berbentuk anular atau
apple core. Dinding usus tampak rigid dan gambaran mukosa rusak.

4. Diagnosa Keperawatan
Kemungkinan diagnosa keperawatan yang muncul sesuai Standar Diagnosa
Keperawatan Indonesia tahun 2018 yaitu :
a) Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (D.0003)
b) Diare berhubungan dengan proses infeksi (D.0020)
c) Defisit nutrisi berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolisme
(D.0019)
d) Nyeri kronis berhubungan dengan infiltrasi tumor (D.0078)
e) Konstipasi berhubungan dengan kelemahan otot abdomen (akibat mekanisme
kanker kolon) (D.0149)

5. Intervensi Keperawatan
Kemungkinan intervensi keperawatan yang muncul sesuai Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (2018) dan Standar Luaran Keperawatan Indonesia (2019)
yaitu :
a) DX 1 : Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (D.0003)
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan
status cairan membaik
2) Kriteria Hasil : Status Cairan ( L.03028)
- Kekuatan nadi meningkat
- Output urine meningkat
- Dyspnea menurun
- Frekuensi nadi membaik
- Tekanan darah membaik
- Tekanan nadi membaik
3) Intervensi : Manajemen Hipovolemia (I.03116)
O:
- Observasi tanda dan gejala hipovolemia
- Monitor intake output cairan
T:
- Hitung kebutuhan cairan
- Berikan posisi trendelenburg
- Berikan asupan cairan oral
E:
- Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
- Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak
K:
- Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (RL/NaCl)
- Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (glukosa 2,5% , NaCl
0,4%)
- Kolaborasi pemberian cairan koloid (albumin, plasmantae)

b) DX 2 : Diare berhubungan dengan proses infeksi (D.0020)


1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
eliminasi fekal membaik
2) Kriteria Hasil : Eliminasi Fekal (L.04033)
- Kontrol pengeluaran feses meningkat
- Keluhan defekasi lama dan sulit menurun
- Mengejan saat defekasi menurun
- Nyeri abdomen menurun
- Konsistensi feses membaik
- Frekuensi BAB membaik
- Peristaltik usus membaik
3) Intervensi : Manajemen Diare (I.03101)
O:
- Identifikasi penyebab diare
- Monitor warna, volume, frekuensi dan konsistensi tinja
- Monitor tanda dan gejala hipovolemia
- Monitor jumlah pengeluaran diare
T:
- Berikan asupan cairan oral (cairan gula garam, oralit)
- Pasang jalur intravena
- Berikan cairan intravena
- Ambil sampel darah untuk pemeriksaan untuk pemeriksaan darah
lengkap dan elektrolit
- Ambil sampel feses untuk kultur
E:
- Anjurkan makanan porsi kecil dan sering secara bertahap
- Anjurkan menghindari makanan pembentuk gas, pedas dan
mengandung laktosa
K:
- Kolaborasi pemberian obat antimotilitas (loperamide/difenoksilat)
- Kolaborasi pemberian obat pengeras feses (antalpugit/smektit/kaolin-
pektin)
6. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah perilaku atau aktivitas spesifik yang
dilakukan perawat untuk mengimplementasikan intervensi keperawatan (PPNI,
2018).

7. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah tahap terakhir dari proses keperawatan untuk
mengukur respon klien terhadap tindakan keperawatan dan kemajuan klien ke arah
pencapaian tujuan.
REFERENSI

American Cancer Society. 2006. Cancer Facts and Figures 2006. Atlanta: American Cancer
Society Inc.

Anderson. 2006. A Patient’s Guide to Rectal Cancer. MD Anderson Cancer Center.


University of Texas,

Basavanthappa, B.T. 2003. Medical Surgical Nursing. New Delhi : Jaypee. 111-134.

Black, J. M, & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan medikal bedah edisi 8. Singapore: Elsevier
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah.Vol. 2. Jakarta:EGC

Chandra. B., 2012, Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas, EGC, Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011, Pedoman Penanggulangan Nasional TBC,


Depkes RI, Jakarta.

Dochtermen, J. et al. 2004. Nursing Interventions Classification (NIC). Fourth Edition.


USA:Mosby Elsevier.

Ignatavicius, D.D. et al. 2006, Medical Surgical Nursing, A Nursing Process Approach, 2nd
edition, W.B. Saunders Company, Philadelphia.

LeMone, P. et al. 2008.Medical-Surgical Nursing: Critical Thinking in Client Care. Volume


2

Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Media
Aesculapius.

Otto, S. E. 2003.Buku Saku Keperawatan Oncologi. Jakarta : EGC. 1-123

PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

____. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

____. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Price & Wilson. (2012). Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit volume 1. Edisi
6. Jakarta: EGC
Smeltzer,S.C., Burke,B.G., Hinkle,J.L & Cheever,K.H. (2010). Brunner & Suddarth’s
textbook of medical surgical nursing. (12th Ed). Philadelphia: Lippincott William &
Wilkins.
Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G., 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth Vol. 2, Edisi 8, EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai