Anda di halaman 1dari 20

ANALISIS JURNAL KEPERAWATAN

“POST OPERASI LAPARATOMI”

DISUSUN OLEH:

LAILATUL ULYA

21220032

Dosen Pembimbing:

Marwan Riki Ginanjar, S.Kep.,Ns.,M.Kep

INSTITUTE KESEHATAN DAN TEKNOLOGI

MUHAMMADIYAH PALEMBANG

PROGRAM PROFESI NERS

TAHUN 2020-2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. DEFINISI
Kanker kolorektal merupakan suatu tumor malignan yang terdiri dari
jaringan epitel dari kolon atau rektum. Kanker kolorektal adalah keganasan
yang berasal dari jaringan usus besar, terdiri dari kolon (bagian terpanjang
dari usus besar) dan/atau rektum (bagian kecil terakhir dari usus besar
sebelum anus) (Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2014).
Kanker rektum adalah salah satu dari keganasan rektum yang khusus
menyerang bagian rektum yang terjadi akibat gangguan poliferasi sel epitel
yang tidak terkendali. Karsinoma rektum merupakan salah satu dari
keganasan pada kolon dan rektum yang khusus menyerang bagian rektum
yang terjadi akibat timbulnya mukosa/epitel dimana lama kelamaan timbul
nekrosis dan ulkus (Nugroho, 2011).

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Rektum merupakan bagian dari usus besar, yang berawal dari perbatasan
rekstosigmoid sampai ke cincin puborektum, dengan panjang sekitae 12-15
cm. Secara umum, rektum dibagi lagi menjadi tiga bagian dan masing-masing
sepanjang 5 cm. Bagian yang pertama yaitu rektum sepertiga atas yang
dibungkus oleh peritoneum dibagian anterior dan kedua sisinya. Sepertiga
tengah rektum yang terletak lebih menjorok kedalam pelvis, hanya bagian
anteriornya yang terbungkus peritoneum, membentuk batas posterioir dari
rongga rektovesikal atau kantung rektouteri. Sementara, sepertiga bawah
rektum tidak dilapisi oleh peritoneum dan terletak sangat dekat dengan
struktur-struktur di sekitarnya, terutama tulang pelvis. Tumor yang terletak
dibagian distal ini tidak memiliki barrier/ penghalang serosa yang dapat
menghambat invasi ke jaringan sekitarnya, sehingga reseksi sulit untuk
dilakukan (Indarti, 2015).
Pendarahan rektum disuplai dari arteri rektal superior, media di inferior
yang saling beranastomosis. Drainase limfatik regional dari tumor di rektum
meliputi perirektum, presakral dan iliaka interna (Indarti, 2015).

Rektum adalah bagian ujung dari sistem pencernaan dimana kotoran


menumpul tepat sebelum dibuang. Rektum menyambung dengan kolon
sigmoid dan memanjang sekitar 13 – 15 cm (5 sampai 6 inci) ke anus.
Selembar otot yang disebut diafragma panggul berjalan tegak lurus ke
persimpangan rektum dan anus dan mempertahankan penyempitan antara dua
segmen dari usus besar. Rongga internal rektum dibagi menjadi tiga atau
empat kamar, setiap ruang sebagian tersegmentasi dari lainnya dengan lipatan
melintang permanen (katup dari Houston) yang membantu untuk mendukung
isi rektum. Sebuah selubung otot memanjang mengelilingi dinding luar
rektum, sehingga memungkinkan bagi rektum untuk memanjang dan
memperpendek (Suratun, 2014).
Sampah makanan tetap dalam kolon sigmoid sampai mereka siap untuk
dikeluarkan dari tubuh. Saat feces memasuki rektum, dinding menggembung
untuk mengakomodasi materi. Ketika tekanan yang cukup menumpuk dalam
rongga dubur membesar, dorongan untuk menghilangkan limbah terjadi.
Ketika reseptor sistem saraf dalam dinding rektum dirangsang oleh
peregangan yang terletak di dinding, mereka mengirimkan impuls ke lubang
anus, dada dan otot perut-dinding, dan medulla oblongata otak, yang
membuat orang tersebut sadar akan kebutuhan untuk buang air besar (Suratun
& Lusianah, 2014).
Fungsi utama rektum adalah penyimpanan sementara tinja/limbah
pencernaan. Sehingga kita mungkin memiliki beberapa waktu untuk
mencapai tempat dimana kita bisa buang air besar. Ketika limbah dan bahan
makanan yang dicerna masuk ke dalamnya, kanal menjadi melebar, sehingga
otot-otot yang melapisi daerah dubur meregang/melebar. Reseptor
peregangan yang terletak di dinding rektum yang merasakan pelebaran usus
dan mengirim sinyal ke sistem saraf (otak) di mana ini diproses dan respon
yang dihasilkan menginduksi kebutuhan untuk membuang limbah melewati
lubang anus dan keluar melalui ambang anal (Suratun & Lusianah, 2014).
Namun, jika kita tidak pergi untuk buang air besar untuk durasi yang lama,
tinja akan kembali ke dalam usus untuk penyerapan lebih lanjut dari cairan
yang juga dapat mengakibatkan pengerasan tinja dan sembelit. Berdasarkan
struktur dan fungsi ujung distal dari usus besar, kita bisa membagi bagian
rektum ke berikut komponen yang dapat dibedakan menjadi (Suratun &
Lusianah, 2014):
a. Rektosigmoid Junction
Menandai pembagian antara kolon sigmoid dan kanal dubur yang
hampir sejajar dengan ascending dan descending kolon.
b. Ampula Dubur
Pada titik dimulainya, perkiraan diameter dari rektum adalah hampir
sama dengan yang dari kolon sigmoid, tapi semakin jauh, diameternya
melebarkan. Titik di mana kanal dubur mencapai dilatasi maksimum
menandai awal dari struktur khusus ini yang berfungsi sebagai
reservoir jangka pendek untuk kotoran sebelum buang air besar.
c. Cincin Anorektal
Pada titik terminasi dari rektum intestinum, ada struktur berbentuk
cincin seperti otot yang kuat yang memisahkannya dari lubang anus.
Seiring dengan otot puborectalis, bagian atas sfingter eksternal dan
internal juga berkontribusi terhadap fungsi struktur, pencegahan yaitu
dan pengendalian tinja sampai sengaja dihapus.
C. ETIOLOGI

Penyebab kanker rektum masih belum diketahui pasti, namun telah


dikenali beberapa faktor predisposisi. Faktor predisposisi lain mungkin
berkaitan dengan kebiasaan makan. Hal ini karena karsinoma rektum terjadi
serkitar sepuluh kali lebih banyak pada penduduk wilayah barat yang
mengkonsumsi lebih banyak makanan mengandung karbohidrat murni dan
rendah serat, dibandingkan produk primitif (Misalnya,di Afrika)
yang mengkonsumsi makanan tinggi serat.
Menurut (Brunner & Suddarth, 2012) Penyebab Karsinoma Rektum,
adalah:
a. Polip di Usus (colorectal polyps)
Polip adalah pertumbuhan pada dinding dalam kolon atau rektum, dan
sering terjadi pada orang berusia 50 tahun keatas. Sebagian besar polips
bersifat jinak (bukan kanker), tapi beberapa polip (adenoma) dapat
menjadi kanker.
b. Colitis ulcerativa atau penyakit crohn
Orang dengan kondisi yang menyebabkan peradangan pada kolon
(misalnya Colitis ulcerativa atau penyakit crohn) selama bertahun tahun
memiliki resiko yang lebih besar.
c. Riwayat kanker pribadi
Orang sudah pernah terkena kanker kolorektal dapat terkena kanker
kolorektal untuk kedua kalinya. Selain itu, wanita dengan riwayat kanker
di indung telur, uterus (endometrium) atau payudara mempunyai tingkat
resiko yang lebih tinggi untuk terkena kanker kolorektal.
d. Riwayat kanker colorektal pada keluarga
Jika anda mempunyai riwayat kanker kolorektal pada keluarga, maka
kemungkinan anda terkena penyakit ini lebih besar, khususnya jika
saudara anda terkena kanker pada usia muda.
e. Faktor gaya hidup
Orang yang merokok, atau menjalani pola makan yang tinggi lemak dan
sedikit buah-buahan dan sayuran memiliki tingkat resiko yang lebih besar
terkena kanker kolorektal pada mereka yang berusia lebih tua. Lebih dari
90% orang yang menderita penyakit ini di diagnosis setelah usia 50 tahun

D. KOMPLIKASI

Gejala sangat ditentukan oleh lokasi kanker, tahap penyakit, dan fungsi
segmen usus tempat kanker berlokasi. Gejala paling menonjol adalah
perubahan kebiasaan defekasi. Pasase darah dalam feses adalah gejala paling
umum. Gejala dapat juga mencakup anemia yang tidak diketahui
penyebabnya, anoreksia, penurunan berat badan, dan keletihan (Suratun &
Lusianah, 2014).
Gejala yang sering dihubungkan dengan lesi sebelah kanan adalah nyeri
dangkal abdomen dan melena (feses berwarna hitam). Gejala yang sering
dihubungkan dengan lesi sebelah kiri adalah yang berhubungan dengan
obstruksi (nyeri abdomen dan kram, penipisan feses, konstipasi dan distensi)
serta adanya darah merah segar dalam feses. Gejala yang dihubungkan
dengan lesi rektum adalah evakuasi feses yang tidak lengkap setelah defekasi,
konstipasi, diare bergantian, tenesmus, feses berdarah, serta nyeri hebat pada
lipat paha, labia, skrotum, tungkai atau penis (Lusianah & Suratun, 2014).

E. PATOFISIOLOGI
Kanker rektum terutama (95%) adenokarisinoma (muncul dari lapisan
epitel usus). Dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan
menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas kedalam struktur
sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas, sehis dari tumor primer dan
menyebar kebagian tubuh yang lain (paling sering ke hati) (Brunner &
Suddarth, 2013).
Dari faktor predisposisi pada ca rektum dapat menyebabkan BAB
mengeras sehingga terjadi pengendapan feses di usus besar yang terlalu
lama, lama kelamaan akan terjadi pertumbuhan sel yang tidak normal
(adenoma) yang dapat bermetastatis ke organ lain sehingga terjadi
kesalahan replika DNA dan mutasi genetik. Penyebaran tumor dapat
terjadi ke organ lain.
F. Pathway

Pathway

Riwayat Penyakit Riwayat Penyakit Gaya Hidup Polip di Kolon Kolitis Ulceratif
Terdahulu Keluarga

Respon Peradangan Inflamasi Kronis pada ColoRectal

Nyeri pada Abdomen bagian Bawah Polimerasi Karsinogen

Pertumbuhan Sel Kanker


Nyeri Akut
Kurang
Perubahan Status Kesehatan
Stress Psikologis CaPembedahan
Post Rektum Pre Pembedahan
Perdarahan Preanus Pengetahuan
Cemas
Anoreksia Terputusnya kontinuitas Suplai O2
jaringan Menurun Ansietas
Penurunan Berat Badan
Nyeri Akut Intoleransi Aktivitas
Ketidakseimbangan Nutrisi:
Kurang dari Kebutuhan Tubuh
G. PENATALAKSANAAN

Dalam tatalaksana kanker rektum, radioterapi memiliki peran yang penting


di berbagai tahapan. Pemberian radiasi baik sebelum atau sesudah
pembedahan pada tumor yang resektabel, diharapkan dapat meningkatkan
kontrol lokal dan kesintasan dengan cara mengeradikasi sel-sel tumor
subklinis yang tidak dapat disingkirkan pada pembedahan. Sementara, radiasi
preoperatif pada tumor yang non-resektabel, yang diberikan sendiri atau
konkuren dengan kemoterapi, bertujuan untuk meningkatkan resektabilitas
tumor. Peran radiasi pada tumor letak rendah dapat meningkatkan preservasi
sfingter.
Pilihan dan rekomendasi terapi tergantung pada beberapa faktor, terapi
bedah merupakan modalitas utama untuk kanker stadium dini dengan tujuan
kuratif. Kemoterapi adalah pilihan pertama pada kanker stadium lanjut
dengan tujuan paliatif. Radioterapi merupakan salah satu modalitas utama
terapi kanker rektum. Saat ini, terapi biologis (targeted therapy) dengan
antibodi monoklonal telah berkembang pesat dan dapat diberikan dalam
berbagai situasi klinis, baik sebagai obat tunggal maupun kombinasi dengan
modalitas terapi lainnya. (Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2014).
a. Pembedahan
Pembedahan merupakan modalitas utama dalam manajemen
kanker rektum. Pemilihan teknik pembedahan tergantung pada stadium
dan lokasi tumor pada rektum. Prinsip utama dari pembedahan pada
kanker rektum adalah pengangkatan seluruh tumor gross dan tumor
yang mikroskopik, dengan margin negatif pada bagian proksimal,
distal dan sirkumferensial. Bila dari pemeriksaan rectal touché/colok
dubur ahli bedah memutuskan bahwa sulit untuk mendapatkan margin
negatif karena fiksasi atau ekstensi tumor yang luas, maka tumor
dikatakan tidak resektabel. Untuk meningkatkan resektabilitas, dapat
dilakukan radiasi atau kemoterapi neoadjuvan sebelum reseksi.
Secara umum, dikenal beberapa teknik reseksi pada kanker rektum
yang lazim digunakan, yaitu eksisi transanal untuk kanker rektum
stadium dini, yaitu tumor yang berukuran kecil (<3 cm), dalam jarak 8
cm dari anal verge, berdiferensiasi baik dan kurang dari 30%
sirkumferen lumen rektum. Teknik lain adalah Low Anterior Resection
(LAR) untuk tumor letak tinggi yang masih memungkinkan preservasi
sfingter, dan Abdominoperineal Resection (APR) untuk tumor letak
rendah dan sudah melibatkan sfingter atau muskulus levator. Satu hal
yang juga penting adalah untuk preservasi syaraf otonom daerah pelvis
agar meminimalisasi terjadinya disfungsi seksual dan kandung kemih.
Sejak Abel memperkenalkan teknik Total Mesorectal Excision
(TME) pada 1931 dan disebarluaskan oleh Heald pada tahun 1979,
teknik ini diadopsi secara internasional menjadi standar pembedahan
dalam tatalaksana kanker rektum. Prinsip dari tindakan Total
Mesorectal Excision (TME) meliputi pengangkatan tumor secara en
bloc dan jaringan mesorektum di sekitarnya, yaitu jaringan yang
melingkari rektum di dalam fascia dan berisi struktur limfatik
perirektum. Dengan teknik ini, angka rekurensi lokal dilaporkan
menurun secara signifikan dari 40% sampai kurang dari 10%,
meskipun tanpa terapi neoadjuvan atau adjuvan.
b. Kolostomi
Kolostomi adalah pembuatan lubang sementara atau permanen dari
usus besar melalui dinding perut dengan tindakan bedah bila jalan ke
anus tidak bisa berfungsi, dengan cara pengalihan aliran feses dari
kolon karena gangguan fungsi anus. Tujuan kolostomi adalah untuk
mengatasi proses patologis pada kolon dista dan untuk proses
dekompresi karena sumbatan usus besar distal dan selalu dibuat pada
dinding depan abdomen. Indikasi kolostomi pada klien Ca rektum
meliputi sumbatan di lumen rektum, anus karena infeksi berat lama,
fibrosis pasca infeksi, sumbatan diluar lumen (proses infeksi pada
pelvis), trauma anus-rektum. Kolostomi dibuat berdasarkan indikasi
dan tujuan tertentu, sehingga jenisnya ada beberapa macam tergantung
dari kebutuhan klien. Kolostomi dapat dibuat secara permanen maupun
sementara (Suratun & Lusianah, 2014). Berikut jenis-jenis kolostomi
(Suratun & Lusianah, 2014):
1) Kolostomi Permanen
Pembuatan kolostomi permanen biasanya dilakukan apabila klien
sudah tidak memungkinkan untuk defekasi secara normal karena
adanya keganasan, perlengketan (adhesi), atau pengangkatan kolon
sigmoid atau rektum sehingga tidak memungkinkan feses melalui
anus. Kolostomi permanen biasanya berupa kolostomi single barrel
(dengan satu ujung lubang).
2) Kolostomi Temporer/ Sementara
Pembuatan kolostomi temporer biasanya untuk tujuan dekompresi
kolon atau untuk mengalirkan feses sementara dan kemudian kolon
akan dikembalikan seperti semula dan abdomen ditutup kembali.
Kolostomi temporer ini mempunyai dua ujung lubang yang
dikeluarkan melalui abdomen yang disebut kolostomi double barel.
c. Radioterapi
Modalitas radioterapi hanya berlaku untuk kanker rektum. Secara
umum, radiasi pada karsinoma rektum dapat diberikan baik pada tumor
yang resectable maupun yang non-resectable, dengan tujuan:
1) Mengurangi risiko kekambuhan lokal, terutama pada pasiendengan
histopatologi yang berprognosis buruk.
2) Meningkatkan kemungkinan prosedur preservasi sfingter
3) Meningkatkan tingkat resektabilitas pada tumor yang lokal jauh
atau tidak resektabel
4) Mengurangi jumlah sel tumor yang viable sehingga mengurangi
kemungkinan terjadinya kontaminasi sel tumor dan penyebaran
melalui aliran darah pada saat operasi.
d. Kemoterapi
Peran kemoterapi dalam tatalaksana kanker rektum adalah sebagai
terapi neoadjuvan pre-operatif, konkuren sebagai radiosensitizer dan
adjuvan pasca operatif. Pada tahap paliatif, kemoterapi merupakan
pilihan utama terapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan secara
bersamaan/konkuren dengan radioterapi merupakan rekomendasi
pilihan terapi bagi kanker rektum stadium lanjut lokal.
Pasien dengan kanker rektum stadium II-III berisiko tinggi untuk
mengalami kekambuhan lokal dan sistemik. Terapi adjuvan harus
bertujuan menanggulangi kedua masalah tersebut. Sebagian besar
penelitian tentang pemberian radioterapi pra- dan pasca bedah saja
dapat menurunkan angka kekambuhan lokal tetapi tidak bermakna
dalam angka kesintasan. Pemberian 5-FU bersama radioterapi adalah
efektif dan dapat dianggap sebagai terapi standar, dimana pengobatan
neoajuvan kombinasi radiasi dan kemoterapi sebelum pembedahan
juga menghasilkan angka kegagalan lokal (local failure rates) yang
lebih rendah, disamping sasaran pengobatan lain seperti masa bebas
penyakit dan kesintasan secara keseluruhan.

H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan ca rektum, antara lain:
a. Endoskopi
Endoskopi merupakan prosedur dignostik utama dan dapat dilakukan
dengan sigmoidoskopi (>35% tumor terletak di rektosigmoid) atau
dengan kolonoskopi total.
b. Enema barium dengan kontras ganda
Pemeriksaan enema barium yang dipilih adalah dengan kontras ganda
karena memberikan keuntungan seperti tingkat kberhasilanya sangat
tinggi.
c. CT Colonography (Pneumocolon CT)
Keunggulan CT colonography adalah:memiliki sensifitas tinggi di dalam
mendiagnosis kanker kolorektal dan dapat memberikan informasi keadaan
diluar kolon, termasuk untuk menentukan stadium melalui penilaian
invasi lokal, metastasis hepar, dan kelenjar getah bening.

I. Komplikasi
Karsinoma Rektum dapat bermetastase dengan beberapa cara, yaitu:
a. Langsung perkontinuitatum dinding usus dan organ disekitarnya
b. Hematogen
c. Linefogen
Metastasis sering terjadi ke kelenjar getah benih dan organ lain, misal ke hati,
paru dan otak. Komplikasi lainnya:
a. Pertumbuhan tumor dapat menyebabkan obstruksi usus partial atau
lengkap
b. Pertumbuhan dan ulserasi dapat menyerang pembuluh darah sekitar kolon
yang menyebabkan hemoragik
c. Perforasi dapat terjadi yang menyebabkan pembentukan abses
d. Peritonitis/sepsis yang dapat menimbulkan syok

J. Pengkajian
1. Identitas Klien: meliputi nama, umur, jenis kelamin, Medical Record,
Pekerjaan, dst.
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Terdahulu
Memiliki riwayat merokok, minum alkohol, masalah TD (tekanan
darah),  perdarahan pada rektal, perubahan feses.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya alopesia, lesi, mual-muntah, nyeri ulu hati, perut begah, dan
pusing
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat penyakit keluarga dengan riwayat kanker
3. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala
Inspeksi: Kesimetrisan muka, tengkorak, kulit kepala (lesi, massa)
Palpasi: Dengan cara merotasi dengan lembut ujung jari ke bawah dari
tengah garis kepala ke samping. Untuk mengetahui adanya bentuk
kepala, pembengkakan, massa, dan nyeri tekan, kekuatan akar rambut.
b. Mata
Inspeksi : Hidung eksterna dengan melihat bentuk, kesimetrisan,
adanya deformitas atau lesi, dan cairan yang keluar, adakah cuping
hidung, funsi penciuman
Palpasi : Lembut batang dan jaringan lunak hudung adanya nyeri,
massa dan nyeri, massa dan penyimpangan bentuk, ada
pembengkakan sertapalpasi sinus-sinus hidung.
c. Hidung
d. Telinga
Inspeksi : Kesimetrisan dan letak telinga, ukuran, bentuk, warna,
dan adanya lesi.
Palpasi : Tarik daun teinga secara perlahan ke atas dan ke
belakang, daun telinga ditarik ke bawah, kemudian amati liang
telinga adanya kotoran, serumen, cairan, dan peradangan, fungsi
pendengaran.
e. Mulut
Inspeksi : Warna dan mukosa bibir, adanya karies, kelengkapan gigi,
lesi, dan kelainan, peradangan, tonsil, fungsi pengecapan
f. Leher
Inspeksi : Bentuk leher, kesimetrisan, warna kulit, adanya
pembengkakakn, jaringan parut atau massa, gerakan leher ke kanan
dan ke kiri, kelenjar tiroid
Palpasi : Kelenjar limfe/kelenjar getah bening, kelenjar tiroid
g. Thorax
Paru – paru
Inspeksi : Kesimetrisan paru
Palpasi :Bandingkan paru kanan dan kiri, pengembangan paru dengan
meletakkankedua ibu jari tangan ke prosesus xifoideus dan
minta pasien bernapas panjang.Ukur pergeseran kedua ibu
jari.
Perkusi : Dari puncak paru ke bawah (supraskapularis/3-4 jari dari
pundak sampai dengan torakal 10). Catat suara perkusi:
sonor/hipersonor/redup.
Auskultasi : Bunyi paru saat inspirasi dan akspirasi (vesikuler,
bronhovesikuler, bronchial, tracheal; suara abnormal:
whezzing, ronchi, krekles.
Jantung
Inspeksi : Titik impuls maksimal, denyutan apical.
Palpasi : Area aorta pada interkosta ke-2 kanan, pulmonal pada
interkosta ke-2 kiri, dan pindah jari-jari ke interkosta 3, dan 4
kiri daerah trikuspidalis, dan mitral pada interkosta 5 kiri.
Kemudian pindah jari dari mitral 5-7 cm ke garis
midklavikula kiri (denyut apikal), raba kekuatan denyut nadi
Perkusi : Untuk mengetahui batas jantung (atas-bawah, kanan-kiri).
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II pada 4 titik (tiap katup jantung),
dan adanya bunyi jantung tambahan.
h. Abdomen
Inspeksi : Dari depan dan samping pasien (adanya pembesaran, datar,
cekung, kebersihan umbilicus), pemeriksaan turgor kulit, apakah
terdapat bekas luka post op laparatomy, apakah terdapat colonostomy
Auskultasi : 4 kuadran (peristaltik usus diukur dalam 1 menit,
bising usus)
Palpasi: Epigastrium, lien, hepar, ginjal, dan suprapubik.
Perkusi :4 kuadran timpani, hipertimpani, pekak)
i. Genitalia
Inspeksi: Anus ( kebersihan, lesu, massa, perdarahan, cairan, bau,
varises, hemorrhoid
j. Integumen
Inspeksi: warna kulit, jaringan parut, lesi dan vaskularisasi, turgor
kulit, tekstur kulit, edema, massa, adanya kelainan
k. Ekstemitas
Inspeksi ekstremitas atas dan bawah: kesimetrisan, lesi, massa, tonus
otot, kekuatan otot, pergerakan sendiri, akral dingin/hangat, warna
kulit, capillary refill time, dan edema.
BAB II

PEMBAHASAN

1. PERTANYAAN KLINIS
Apakah Terapi Distraksi Visual Dengan Media Virtual Reality
berpengaruh terhadap Intensitas nyeri pasien post operasi laparatomi?

2. PICO
P: Klien dengan keluhan nyeri pada pasien post operasi laparatomi
I: Terapi Distraksi Visual Dengan Media Virtual Reality
C: -
O: Menurunkan tingkat nyeri

3. SEARCHING LITERATURE (JOURNAL)


Setelah dilakukan Searching literature (journal) di Google scholar,
didapatkan 548 journal yang terkait dan dipilih 1 jurnal dengan judul
“Pengaruh Terapi Distraksi Visual Dengan Media Virtual Reality
Terhadap Intensitas Nyeri Pasien Post Operasi Laparatomi”.
Dengan alasan: jurnal tersebut sesuai dengan kasus, dan terbaru.

4. VIA
A. Validity
1) Desain: Desain penelitian ini pra eksperimen dengan rancangan
one group pretest-posttest.
2) Sampel: menggunakan teknik purposive sampling dengan jumlah
sampel sebanyak 11 responden
3) Kriteria inklusi dan ekslusi:
Kriteria inklusi: Seluruh pasien post operasi laparatomi yang
mengalami nyeri
Kriteria eksklusi: Tidak di cantumkan
4) Randomisasi: Tidak dilakukan randomisasi
B. Importance dalam Hasil
1) Karakteristik subjek: Seluruh pasien post operasi laparatomi yang
mengalami nyeri
2) Beda proporsi: -
3) Beda mean:
Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa distribusi rata-
rata nyeri post operasi sebelum diberikan terapi distraksi visual
dengan media virtual reality adalah 5,18. Pada pengukuran distribusi
rata-rata nyeri setelah diberikan terapi distraksi visual dengan media
virtual reality didapatkan rata-rata nyeri post operasi adalah 3,55.
Nilai perbedaan mean antara nyeri sebelum dan sesudah diberikan
terapi distraksi visual dengan media virtual reality adalah 1,63. Hasil
ststistik dengan uji wilcoxon didapatkan hasil p value sebesar
(0,002).
Dalam diskusi : Menurut Andre KP, (2010). Virtual Reality adalah
teknologi yang membuat pengguna berinteraksi
dengan suatu lingkungan yang disimulasikan oleh
komputer (computer-simulatedenvironment).
Teknologi virtual reality (VR) tak hanya digunakan
untuk menikmati game. Teknologi ini
dikembangkan untuk mengurangi rasa sakit dan
kecemasan pasien.Peneliti Inggris ingin melihat
apakah virtual reality (VR) mampu meringankan
rasa sakit dan kecemasan pasien.Efek analgesik
nonfarmakologi ini muncul saat pasien
menggunakan virtual reality (VR) dengan simulasi
lingkungan bersalju bersamaan dengan medikasi
luka oleh dokter (Listiyani, 2017).
Fasilitas : Instrumen yang digunakan pada penelitian ini
adalah lembar observasi dan lembar pengukuran
skala nyeri menggunakan Numeric Rating Scale
(NRS). Di tambah dengan alat dan bahan berupa
handphone dan box virtual reality.
Biaya : Tidak dicantumkan biaya yang digunakan

5. DISKUSI (Membandingkan Jurnal dan Kasus)


Berdasarkan jurnal berjudul ““Efektifitas Hand Massage Terhadap
Skala Nyeri Pada Pasien Post Operasi Laparatomi Di Rs. Dr.
Reksodiwiryo Padang” Hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata skala
nyeri responden menurun setalah diberikanterapi distraksi visual dengan
media virtual reality dari skala 5,18 menjadi 3,55. Hasil analisis lebih lanjut
menunjukan adanya perbedaan penurunan rata-rata skala nyeri sebelum
diberikan terapi distraksi visual dengan media virtual realitypada pasien post
operasi laparatomi dengan p value 0,002 (p value < 0,05).
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian menyimpulkan bahwa rata-rata skala nyeri responden
menurun setalah diberikanterapi distraksi visual dengan media virtual reality dari
skala 5,18 menjadi 3,55. Hasil analisis lebih lanjut menunjukan adanya perbedaan
penurunan rata-rata skala nyeri sebelum diberikan terapi distraksi visual dengan
media virtual realitypada pasien post operasi laparatomi dengan p value 0,002 (p
value < 0,05).
Hasil tersebut merekomendasikan kepada rumah sakit agar dapat
memfasilitasi sarana dan prasarana yang diperlukan untuk terapi distraksi visual
sebagai salah satu terapi nonfarmakologi untuk mangatasi masalah nyeri.
Selanjutnya bagi perawat diharapkan mau dan mampu untuk memberikan terapi
distraksi visual dengan media virtual reality pada pasien dengan masalah nyeri
khususnya pada pasien post operasi laparotomi.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner, & Suddarth. (2013). Keperawatan Medikal Bedah edisi 12. Jakarta: EGC

Muttaqin. (2011). Gangguan Gastrointestinal. Jakarta: Salemba Medika

PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria


Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai