Anda di halaman 1dari 27

I.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kendala yang dihadapi dalam mengembangkan produksi bioetanol di Indonesia
yakni bahan baku yang terbatas, persoalan ketersediaan lahan dan efisiensi biaya
produksi (Murdiyatmo, 2006). Salah satu sumber bahan baku potensial untuk
dijadikan bahan baku bioetanol yakni mikroalga. Dibandingkan dengan biomassa lain
seperti jagung dan tebu, produktivitas mikroalga sendiri lebih besar 5 kali lipat.
Untuk menggantikan 60 miliar galon bahan bakar fosil, hanya dibutuhkan mikroalga
sekitar kurang dari 3% perairan di pesisir dunia (Adini dkk., 2014). Sumber bioetanol
(jagung, tebu, dan gandum) masih berkompetisi dengan sektor pangan dan pakan.
Selain itu, memerlukan area tanah yang cukup luas (Jalilnejad dan Ghasemzadeh,
2019). 70% permukaan bumi ditutupi yang hidup dan terdapat berbagai mikroalga
yang dapat dikonversi menjadi bioethanol (Wayan dan Agustini, 2019).
Telah diketahui bahwa mikroalga mengandung karbohidrat berupa
heteropolisakarida jenis glukosa, arabinosa, ramnosa dan xilosa yang sangat
berlimpah (Yu-Qing dkk., 2016). Mikroalga dengan kandungan karbohidrat dan lipid
dianggap menjadi sumber energi terbarukan generasi ke-3 yang dipatok akan menjadi
industri besar beberapa jenis mikroalga dengan kandungan karbohidrat yang cukup
tinggi yaitu porphyridium cruentum dengan kandungan karbohidrat 40-57 %,
Prymnesium parvum dengan kandungan 25-33%, spirogyra sp. dengan kandungan
karbohidrat 33-64% juga dunaliella salina jenis mikroalga dengan kandungan 32%
karbohidrat (Wayan dan Agustini, 2019).
Tentu hal ini sangat mendukung program pemerintah Indonesia untuk
mewujudkan pemanfaatan energi terbarukan sekurang-kurangnya 23% pada tahun
2025 (Rochman, 2015). Selain itu, mikroalga sendiri banyak tersebar di Nusa
Tenggara Timur. Namun, mikroalga sendiri belum dimanfaatkan oleh masyarakat di
Pulau Timor sehingga menjadi sampah yang mengurangi estetika pantai. Di sisi lain,
mikroalga ini bukan merupakan bahan makanan. Sehingga, tidak berkompetisi
5

dengan pangan saat menjadi bioetanol. Sintesis bioetanol dari mikroalga dapat
dilakukan melalui proses hidrolisis kemudian, dilanjutkan dengan proses fermentasi
(Hadiyanto dan Azim, 2012).
Hidrolisis adalah dekomposisi kimia menggunakan bantuan air untuk
memisahkan ikatan kimia dari substansinya. Hidrolisis asam dilakukan untuk
menghasilkan konsentrasi gula lebih tinggi. Konsentrasi asam, suhu dan waktu yang
tinggi dalam proses hidrolisis akan menghasilkan konsentrasi gula sederhana yang
tinggi. Semakin banyak gula yang terbentuk maka dapat digunakan sebagai substrat
fermentasi bioetanol, sehingga produksi etanol semakin meningkat (Monika, 2021).
Proses hidrolisis menggunakan asam memberikan rendemen bioetanol yang lebih
tinggi dibandingkan menggunakan enzim (Adini dkk., 2014). Proses menggunakan
microwave irradiation sebagai salah satu alternatif dalam meningkatkan efisiensi
dalam reaksi kimia dan memiliki banyak keuntungan, yaitu waktu yang dibutuhkan
relatif lebih singkat dibandingkan dengan metode konvensional, laju reaksi hidrolisis
pati menjadi glukosa meningkat 50 - 100 kali menggunakan microwave irradiation,
waktu produksinya lebih pendek, menghemat biaya dan juga lebih ramah lingkungan
karena konsentrasi asam yang digunakan lebih rendah. Menurut (Alfonsín dkk.,
2019) Hidrolisis mikroalga dengan asam pada konsentrasi 9% berat selama 70 menit
dapat memaksimalkan gula pereduksi (Kolo, 2018).
Fermentasi merupakan suatu proses perubahan kimia pada suatu substrat organik
melalui aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Mikroba yang
umumnya terlibat dalam fermentasi pangan adalah bakteri, khamir dan kapang.
Adapun prinsip dasar dari fermentasi yaitu mengaktifkan aktivitas mikroba tertentu
sehingga dapat merubah sifat bahan agar dapat menghasilkan produk fermentasi yang
bermanfaat. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi fermentasi antara lain yaitu
mikroorganisme, substrat (medium), pH (keasaman), suhu, oksigen dan juga aktivitas
air (Kusuma, Nocianitri dan Pratiwi, 2020).
Fermentasi menggunakan saccharomyces cerevisiae pada kondisi konsentrasi
inokulum 17,5 mg/mL (59%) selama 4 jam dapat memberikan rendemen bioetanol
sebesar 55,9% (Tan dan Lee, 2014). (Yu dkk., 2020) melaporkan bahwa Mikroalga
chlorella vulgaris dapat dihidrolisis dengan asam menggunakan microwave
irradiation yang menghasilkan gula pereduksi sebesar 98,11 g/L dan etanol sebesar
7,61% (Hidayat, 2019).
Pada penelitian ini, mikroalga dikonversi menjadi bioetanol melalui tahapan
hidrolisis dengan metode microwave menggunakan asam. Proses hidrolisis
menggunakan microwave sangat efisien untuk digunakan karena dapat membantu
proses hidrolisis mikroalga secara fisik yang kemudian dilanjutkan dengan tahapan
fermentasi. Fermentasi berfungsi untuk mengkonversikan pati menjadi protein untuk
pemurnian bioetanol. Penelitian ini menggunakan variabel daya dari microwave pada
proses hidrolisis dan juga waktu fermentasi dengan saccharomyces cerevisae dua
metode yang berbeda yakni hidrolisis yang berguna untuk mencari keadaan optimum
bagi kedua tahapan tersebut serta tekstur karbohidrat sebelum dan sesudah hidrolisis
dengan menggunakan alat microwave. Keberhasilan hidrolisis pada penelitian ini
diselidiki dengan analisis gula pereduksi (Puspawati dan Ciawi, 2015).

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh variasi konsentrasi asam H2sO4 dalam proses hidrolisis


mikroalga.
2. Bagaimana pengaruh variasi daya dan waktu microwave dalam tahap hidrolisis
mikroalga menggunakan metode microwave.
3. Bagaimana pengaruh variasi penambahan ragi saccharomyces cerevisie dalam
proses fermentasi yang menghasilkan bioethanol dari mikroalga.
4. Bagaimana pengaruh variasi lama waktu fermentasi pada pembentukan bioetanol
dari mikroalga.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui pengaruh variasi konsentrasi H2sO4 pada hasil dari tahap hidrolisis
mikroalga dengan metode microwave.
2. Mengetahui pengaruh variasi daya microwave pada tahap hidrolisis asam
menggunakan microwave pada hidrolisis mikroalga.
3. Mengetahui pengaruh variasi penambahan ragi saccharomyces cerevisie pada
proses fermentasi yang menghasilkan bioethanol dari mikroalga.
4. Mengetahui pengaruh variasi lama waktu fermentasi pada pembentukan
bioetanol dari mikroalga.

1.4 Batasan Masalah


Batasan masalah dalam penelitian ini dibatasi pada:
1. Penelitian ini dibatasi terhadap keadaan optimum dari mikroalga setelah variasi
daya hidrolisis dengan microwave tercapai.
2. Penelitian ini dibatasi keadaan optimum setelah variasi konsentrasi penambahan

H2sO4 pada mikroalga tercapai.

3. Penelitian ini dibatasi tercapainya suhu dan waktu optimum dari tahap fermentasi
dengan saccharomyces cerevisae pada pembentukan bioethanol dan tercapainya
hasil optimum proses pemurnian atau distilasi.

1.5 Luaran Penelitian


1. Laporan hasil penelitian (Skripsi).
2. Jurnal Ilmiah yang akan dipublikasikan di Journal of Chemical and Process
Enggineering (JCPE) terkakreditasi SINTA 3.
3. Research Gate. Web publikasi journal sains dan telah digunakan oleh lebih dari
1.400.000 ilmuwan dari 196 negara.
4. Produk bioethanol.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mikroalga
Beberapa dekade belakangan ini dunia dilanda krisis energi, pangan dan air.
Kenaikan BBM karena semakin langkanya sumber minyak bumi, kekurangan pangan
karena populasi manusia yang tak terkendali dan krisis air yang bersumber dari
masalah pencemaran lingkungan akibat pembuangan yang tidak terkontrol. Ketiga
krisis ini mendorong banyak peneliti untuk melakukan langkah tepat bagaimana
memecahkan persoalan tersebut (Hadiyanto dan Azim, 2012).
Salah satu solusi tepat yang diajukan untuk mengurai benang permasalahannya
adalah dengan memanfaatkan teknologi mikroalga. Mikroalga digadang-gadang
mampu menyediakan stok pangan dan energi dalam waktu yang singkat,
membutuhkan lahan yang tidak terlalu luas, dapat ditumbuhkan pada lahan non
produktif dan mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, mikroalga
dapat digunakan untuk mengolah limbah cair organik sehingga dihasilkan buangan
limbah yang lebih aman dan dapat dengan mudah dinetralkan kembali oleh alam.
Dalam penerapan yang lebih modern, mikroalga dapat diterapkan sekaligus untuk
memecahkan ketiga batu permasalahan besar tersebut.
Mikroalga adalah sejenis makhluk hidup unisel berukuran antara 1 mikrometer
sampai ratusan mikrometer yang memiliki klorofil, hidup di air tawar atau laut,
membutuhkan karbon dioksida, beberapa nutrien dan juga cahaya agar dapat
berfotosintesis. Mikroalga memiliki kinerja yang hampir sama dengan tumbuhan
bersel banyak, akan tetapi mikroalga sendiri tidak memiliki akar, daun dan batang
untuk berfotosintesis (Hadiyanto dan Azim, 2012).
Menurut beberapa peneliti, mikroalga diibaratkan sebagai pabrik kecil dalam
ukuran sel mikro yang dapat mengubah karbon dioksida. Akan tetapi, seiring dengan
perkembangan jaman, hal ini menjadi kendala karena krisis pangan di dunia. Oleh
sebab itu, diperlukan sumber lain yang dapat menghasilkan bioethanol.
Adapun beberapa contoh mikroalga yang mengandung karbohidrat dan protein
tinggi terdapat pada Tabel 1.1
9

Tabel 2.1 mikroalga dan kandungan karbohidrat serta protein.


Mikroalga Karbohidrat Protein (%)
(%)
Porphyridium 40-57 28-39
cruentum
Prymnesium parvum 25-33 28-45
Spirogyra sp. 33-64 49
Dunaliella salina 32 57
Chlorella vulgaris 12-17 51-58

Mikroalga yang mengandung karbohidrat dan protein yang tinggi dapat


dimanfaatkan sebagai produksi bioethanol dengan menggunakan metode fermentasi.
Namun, berdasarkan laporan para peneliti, produk bioethanol dari mikroalga masih
dalam tahap pengembangan. Karena, secara komersial masih belum dapat
memungkinkan serta teknologi yang digunakan juga masih komplek. Keragaman
mikroalga di dunia diperkirakan berada dalam kisaran jutaan spesies. Sebagian besar
mikroalga belum dikenali dan juga belum bisa dikultivasi atau dibiakkan sendiri.
Diperkirakan 200.000-800.000 spesies hidup di alam, 35.000 spesies dapat dikenali
dan 15.000 komponen kimia penyusun biomas-nya telah diketahui. Sebagian besar
mikroalga sendiri dapat menghasilkan produk-produk tertentu seperti karotenoid,
antioksidan, enzim, polimer, peptida, asam lemak dan juga racun yang dapat
mematikan (Hadiyanto dan Azim, 2012).
9

Gambar 2.1 Spirulina Platensis Gambar 2.2 Dunaliella Salina


10

Gambar 2.3 Chlorella Vulgaris


Gambar Bentuk sel mikroalga (Hadiyanto Azim, Maulana, 2012).
Bioethanol merupakan produk bioenergy yang umum digunakan di masyarakat.
Selama ini bioethanol diproduksi dari fermentasi alkohol dengan bahan baku jagung,
shorgum, singkong dan gula tebu. Pati yang terekstrak kemudian dicampurkan
dengan aquades kemudian dipanaskan secara bertahap. Selanjutnya, pati dihidrolisis
dengan yeast sacharomyces ceriviseae atau zymomonas mobilis. S. cerevisiae yang
merupakan organisme yang paling umum digunakan sebagai yeast produksi etanol
dari glukosa (Hadiyanto Azim, Maulana, 2012).
Mikroalga juga berpotensi sebagai penghasil bioethanol karena beberapa jenis
spesiesnya memiliki kandungan pati. Mikroalga ini dapat diproduksi melalui dua
proses, fermentasi gelap maupun menggunakan yeast. Fermentasi gelap (dark
fermentation) dilakukan dengan cara anaerobik di mana mikroalga sendiri yang
mengkonsumsi pati yang terkandung dalam medium pertumbuhannya. Sedangkan
fermentasi yeast adalah fermentasi yang umum dilakukan di industri besar dan dapat
menghasilkan yield yang lebih tinggi (Hadiyanto dan Azim, 2012).
Beberapa mikroalga berpotensi sebagai bahan baku bioethanol. Diperkirakan
e tanol
bahwa mikroalga menghasilkan 46.760-140.290 liter . Hasil ini lebih tinggi
ha
dibandingkan beberapa sumber tumbuhan lain. melaporkan bahwa lebih dari 76 jenis
mikroalga air laut memiliki kandungan karbohidrat 40-53%. Penggunaan mikroalga
jenis chlorella vulgaris dengan kandungan pati sebesar 37% menjadi bioethanol
dengan proses fermentasi dan menghasilkan konversi sebesar 65%. Ueda dkk., (2010)
11

juga melaporkan bahwa beberapa jenis mikroalga seperti Chlorella sp, Dunailella,
Chlamydomonas, Scenefesmus dan Spirulina memiliki kandungan pati lebih dari 50%
dan berpotensi sebagai bahan baku pembuatan bioetanol mempelajari mikroalga jenis
Chlorocum sp. sebagai feedstock pembuatan ethanol (Hadiyanto dan Azim, 2012).
Pada penelitian tersebut dilaporkan bahwa cell disruption mempengaruhi yield.
Produktivitas maksimum adalah 38% (w/w). Harun juga menyatakan bahwa “ biomas
harus diolah menjadi gula sederhana sebelum dilakukan fermentasi.” Hasil 7.2gr/l
bioethanol tertinggi didapatkan dengan memfermentasikan 15gr/l mikroalga pada
suhu 140oC menggunakan asam sulfat 1% (v/v) selama 30 menit.
Sementara hasil lain diperoleh 52% berat (gr etanol/gr mikroalga) didapatkan
dari 10gr/l mikroalga dan 3% (v/v) asam sulfat pada suhu 160 oC selama 15 menit
hasil yang ditemukan setelah memfermentasikan mikroalga sudah memenuhi
ekspektasi dari peneliti yang diinginkan (Hadiyanto dan Azim, 2012).
Tabel.2.2 Potensi Produksi Bioethanol dari Mikroalga dan Tanaman lain.
Sumber Potensi Produksi
Ethanol (L/ha)
Singkong 3.310
Shorgum
3.050-4.070
manis
Jagung 3.460-4.020
Tebu 6.190-7.500
Mikroalga 46.760-140.290

Sumber : (Hadiyanto Azim, Maulana, 2012)


Tabel 2.3 Kandungan Karbohidrat beberapa Mikroalga.
Mikroalga Karbohidrat (% berat
kering)
Dunaliella salina 32
Tetraselimis maculate 15
12

Spirogyra Sp. 33-64


Chlorella vulgaris 12-17
Scenedesmus obliquus 10-17
Chlamydomonas 17
reinhardii
Anabaena cylindrical 25-30

Sumber : (Hadiyanto Azim, Maulana, 2012)


Faktor yang mempengaruhi produksi bioethanol dari mikroalga sendiri adalah
temperatur, pre-treatment dengan menggunakan asam dan volume mikroalga yang
direaksikan. Peneliti terdahulu melaporkan bahwa pre-treatment biomas
menggunakan asam itu penting sebelum dilakukan fermentasi. Sedangkan, peneliti
terdahulu lainnya menyatakan bahwa dengan penambahan zat-zat besi ke dalam
medium pertumbuhan mikroalga dapat meningkatkan kandungan karbohidrat pada
mikroalga. Dan dikatakan juga dengan pengurangan kandungan phosphor, nitrogen
dan sulfur dapat meningkatkan kandungan pati biomas 83%, 50% dan 33%
(Hadiyanto dan Azim, 2012).
Keunggulan penggunaan mikroalga sebagai bioenergi berbasis bioethanol di
banding berbasis lipid adalah mikroalga tidak perlu dilakukan pengeringan sehingga
tidak membutuhkan banyak biaya dan lebih mudah untuk dilakukan karena
fermentasi bioethanol di lakukan dalam medium yang membutuhkan air (Assadad
dkk., 2010). Selain itu, untuk scale up-nya, mikroalga bioethanol lebih mudah
dilakukan (Hadiyanto dan Azim, 2012).

2.2 Hidrolisis meggunakan microwave


Microwave adalah sebuah peralatan yang menggunakan radiasi gelombang mikro
untuk memasak atau memanaskan makanan. Hal ini dilakukan dengan menggunakan
radiasi gelombang mikro untuk memanaskan molekulter polarisasi dalam makanan.
Microwave merupakan alat yang dapat mempercepat laju penguapan sehingga, dapat
mengurangi waktu pengeringan secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa
14

memasak menggunakan microwave dapat menghilangan kelembaban yang lebih


tinggi dan mengakibatkan penyerapan minyak akan lebih tinggi dibandingkan cara
konvensional. Hasil dari iradiasi gelombang mikro mampu menyebabkan vibrasi
antara molekul polar dan menciptakan titik panas yang dapat merusak dari lignin
dan juga dapat menyebabkan hemiselulosa hilang. Sehingga, perlakuan panas
menggunakan gelombang mikro ini sendiri (microwave) merupakan salah satu
perlakuan pada serat guna untuk memperoleh karakteristik yang mampu
meningkatkan kualitas dari penggunaan serat alam yang akan di ambil seratnya
(Bintarto dkk., 2021).
Microwave assisted extraction merupakan salah satu metode yang
dikembangkan untuk proses ekstraksi. Metode ini memiliki keunggulan
diantaranya jumlah pelarut yang digunakan tidak banyak, waktu yang diperlukan
untuk proses ini juga relatif singkat jika dibandingkan dengan metode lain. Pada
penelitian Metode ekstraksi ini dapat menghasilkan rendemen ekstrak yang lebih
tinggi bila dibandingkan dengan metode kovensional (Kusuma, 2012). Salah satu
faktor yang mempengaruhi hasil ekstraksi adalah perbandingan antara bahan
terhadap pelarut yang digunakan (Microalgae, 2015).
Pada proses hidrolisis menggunakan microwave metode ini sangat efisien
untuk digunakan karena dapat membantu proses hidrolisis mikroalga secara fisik,
Mikroalga memiliki kandungan polisakarida misalnya selulosa dan monosakarida
yaitu glukosa, galaktosa. Microwave ini sendiri selain digunakan untuk proses
pre-treatment, juga dapat digunakan dalam proses hidrolisis selulosa dan
hemiselulosa. Selulosa dan hemiselulosa dihidrolisis dengan asam dan akan
dipanaskan menggunakan metode microwave. Dibandingkan dengan pemanasan
biasa (refluks), konversi selulosa atau pati menggunakan microwave berlangsung
dalam waktu singkat, laju reaksi hidrolisis pati menjadi glukosa meningkat 50-
1000 kali. Peneliti terdahulu menyatakan bahwa penggunaan pelarut dengan
konsentrasi yang rendah saat reaksi pada microwave lebih efektif karena waktu
produksi lebih cepat, lebih ramah lingkungan serta menghemat biaya.
Terdapat banyak hasil penelitian yang menggunakan microwave pada proses
hidrolisis karbohidrat dan memperoleh kadar gula pereduksi yang tinggi antara
12

lain pada rumput gajah sebesar 26,63g/L, pada Euchema denticulatum sebesar
51,47 g/L, pada Chorella vulgaris sebesar 98,11g/L. Penelitian mengenai
produksi bioetanol dari ulva reticulata ini pertama kali dilakukan dan
menghasilkan kadar bioetanol sebanyak 5,02% melalui proses delignifikasi dan
hidrolisis menggunakan pelarut H2SO4. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian lanjutan mengenai proses hidrolisis mikroalga dengan menggunakan
microwave tanpa perlakuan delignifikasi (Chlorella, 2018).
Mikroalga ini dikonversi menjadi bahan baku bioetanol melalui tahap
pretreatment, hidrolisis menggunakan asam dan dilanjutkan dengan tahap
fementasi yang dapat menggunakan saccaromyces cerevisiae dan distilasi atau
proses pemurnian produk yang telah dihasilkan (Kolo, 2018).
Pada umumnya proses hidrolisis untuk produksi bioetanol memerlukan
katalis atau senyawa yang mampu mempercepat laju reaksi untuk mencapai titik
kesetimbangan dalam reaksi kimia dan tidak mempengaruhi hasil reaksi. Menurut
penelitian terdahulu, katalis yang digunakan meliputi asam klorida (HCl),
amonium hidroksida (NH4OH) dan asam sulfat (H2SO4) pekat Katalis
berpengaruh pada proses hidrolisis dalam pembentukan monosakarida melalui
penguraian selulosa dan hemiselulosa (Concentration, 2021).
Asam sulfat berbentuk cairan yang mudah menguap dan tidak berwarna.
Salah satu katalis yang dapat digunakan adalah asam kuat dengan konsentrasi
encer. penggunaan katalis asam kuat dengan konsentrasi pekat akan diperoleh
glukosa tinggi dan mencapai kadar yang optimal. Adapun hidolisis menggunakan
enzim, enzim berperan untuk menghidrolisis substrat yang berbeda. Enzim
selulase akan menghidrolisis selulosa, enzim xilanase akan menghidrolisis
hemiselulosa. Karena sifat enzim yang sangat spesifik, maka proses yang
menggunakan enzim selulase hanya menghidrolisis selulosa saja dan xilanase
hanya menghidrolisis hemiselulosa. Hasil ini juga menunjukkan bahwa
penggunaan enzim selulase dan xilanase secara simultan cukup efektif untuk
menghidrolisis selulosa yang merupakan bahan penyusun dinding sel mikroalga
15

sekaligus menghidrolisis hemiselulosa yang juga terdapat pada dinding sel


mikroalga (Padil et al., 2017).

2.3 Fermentasi
Fermentasi berfungsi sebagai cara untuk mengurangi atau menghilangkan zat
racun yang dikandung suatu bahan serta untuk mengkonversikan pati menjadi
protein. Pada proses ini glukosa dapat difermentasikan dengan enzim zimase
invertase yang dihasilkan oleh Saccharomyces cereviseae. Fungsi enzim zimase
adalah untuk memecah polisakarida (pati) yang masih terdapat dalam proses
hidrolisis untuk diubah menjadi monosakarida (glukosa). Secara singkat
prosesfermentasi menjadi alkohol (etanol) oleh Saccharomyces cereviseae dapat
ditulis sebagai berikut: Invertase
2 (C6H12O5) + H2O 2 C6H12O6
Disakarida Glukosa

Zimase
C6H12O6 2 C2H5OH + 2 CO2
Glukosa Etanol + Karbon dioksida
Menurut Winarno dkk., 1984, proses fermentasi alkoholik dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain :
1) Jenis Bahan atau Substrat
Subtrat merupakan sumber energi bagi mikroba. Substrat inilah yang
nantinya akan dipecah menjadi senyawa-senyawa sederhana dalam proses
fermentasi (Kolo, 2018).
2) Oksigen
Setiap mikroba membutuhkan jumlah oksigen yang berbeda untuk
pertumbuhan atau membentuk sel-sel baru untuk proses fermentasi. Pada
umunya proses fermentasi alkoholik berlangsung pada kondisi anaerob atau
tanpa oksigen. Namun, terdapat mikroba tertentu yang dapat berkembang
dalam kondisi aerob aupun anaerob seperti khamir Saccaromyces cerevisiae
3) Waktu Fermentasi
Umumnya waktu yang digunakan untuk proses fermentasi adalah sekitar
1 sampai 6 hari. Tergantung jumlah mikroba digunakan, operasi dan
16

konsentrasi substrat. Adanya gangguan pada kondisi operasi seperti pH dan


kandungan oksigen menghambat proses fermentasi (Assadad dkk., 2010).
4) Konsentrasi Starter
Menurut Susanto dan Saneto (1994), jumlah ragi yang dipakai adalah
0,5% dari volume substrat yang akan difermentasikan. Pemberian ragi tidak
boleh terlalu banyak namun juga tidak boleh terlalu sedikit karena bila
jumlah ragi yang dipakai terlalu sedikit maka proses fermentasi akan
berlangsung lama. Sedangkan, jika ragi yang dipakai terlalu banyak maka
keaktifan khamir akan berkurang karena pada awal proses alkohol yang
terbentuk sangat banyak sehingga fermentasinya lebih lama dan banyak
glukosa yang belum terkonversi (Hidayat, 2013).
5) Temperatur
Umumnya ragi dapat berkembang baik pada suhu ruangan yaitu sekitar
25-30°C dalam proses fermentasi.
6) pH (Keasaman)
Untuk proses fermentasi alkohol ragi, pH optimum adalah 4 – 5. Jika pH
terlalu asam atau terlalu basa mikroba tidak dapat tumbuh optimal atau
bahkan mati proses fermentasi akan terganggu. (Puspawati dan Ciawi, 2015).

2.4 Bioetanol
Bioetanol merupakan hasil dari proses fermentasi biomassa dengan bantuan
mikroorganisme. Pada umumnya jenis mikroorganisme yang digunakan dalam
produksi bioetanol adalah saccharomyces cerevisiae. Hal tersebut dikarenakan
saccharomyces cerevisiae banyak ditemukan dialam, memiliki ketahanan hidup
yang tinggi serta mampu menghasilkan alkohol dalam jumlah yang cukup tinggi
(Jeffries dan Jin, 2000). Upaya optimasi lingkungan tumbuh mikroba selama
fermentasi dapat dilakukan dengan cara mengkondisikan kultur pada kondisi
optimum pertumbuhan mikroba dengan menggunaan bioreaktor selama proses
fermentasi. Faktor yang mempengaruhi fermentasi bioetanol fermentasi.
menggunakan bioreactor,agitasi dan aerasi (Jayus, Noorvita dan Nurhayati, 2016).
Indonesia memiliki 60 jenis tanaman yang berpotensi menjadi sumber energi
BBN. Bioetanol dapat dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung gula seperti
17

(molasses, aren dan nira), bahan yang mengandung pati (singkong, jagung, sagu
dan jenis umbi lainnya) serta bahan berserat (lignoselulosa) (Mailool dkk., 2013).
Produksi bioetanol dari mikroalga ini mendapat perhatian luar biasa karena
memiliki laju fotosintesis yang tinggi, keanekaragaman hayati yang besar dan
juga variabilitas komposisi biokimianya serta produksi biomassa yang cepat yang
ditunjukkan oleh mikroorganisme ini. Selain itu, bioetanol yang berasal dari
biomassa mikroalga merupakan pilihan yang menunjukkan potensi terbesar.
(Yohanes dkk., 2015) menilai bahwa biomassa mikroalga sebagai bahan mentah
untuk produksi bioetanol dan berpendapat bahwa itu adalah alternatif yang
berkelanjutan untuk produksi biofuel terbarukan. Contoh dari genera mikroalga
yang sesuai dengan parameter produksi bioetanol yaitu: Chlorella vulgaris,
Dunaliella salina, Chlamydomonas reinhardii, Scenedesmus obliquus,
Arthrospira dan Spirulina sp (Mailool dkk., 2013).
Mikroorganisme ini cocok karena mengandung sejumlah besar pati dan
glikogen yang merupakan faktor penting untuk produksi bioetanol. Komposisi
karbohidrat dari genera ini bisa mencapai 70% dari biomassa. Secara tradisional,
bioetanol diproduksi melalui fermentasi gula dan pati yang dihasilkan dari
berbagai sumber, seperti tebu, jagung atau sejumlah biji-bijian lainnya. Setelah
ekstraksi minyak, sisa biomassa yang mengandung karbohidrat dapat digunakan
untuk produksi bioetanol. Dalam produksi bioetanol, proses bervariasi tergantung
pada jenis biomassa dan melibatkan pretreatment biomassa, sakarifikasi,
fermentasi dan pemulihan produk. Pretreatment biomassa merupakan sebuah
proses kritis. Karena, sangat penting untuk pembentukan gula yang digunakan
dalam proses fermentasi. Sebelum proses fermentasi tradisional, hidrolisis asam
banyak digunakan untuk mengubah karbohidrat dari dinding sel menjadi gula
sederhana. Pretreatment asam efisien dan melibatkan konsumsi energi yang
rendah (Schneider dkk., 2013).
Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi bioetanol meliputi suhu,
konsentrasi gula, pH, waktu fermentasi, kecepatan pengadukan dan ukuran
inokulum. Suhu yang tinggi dapat mendenaturasi enzim dan dapat mengurangi
aktivitasnya. Suhu yang ideal untuk fermentasi biomassa adalah 20–35oC. Hasil
18

optimum produksi bioetanol dapat dicapai dengan menggunakan konsentrasi 150


g/L. pH juga dapat mempengaruhi produksi bioetanol karena, berdampak pada
kontaminasi bakteri, pertumbuhan ragi, laju fermentasi dan juga pembentukan
produk sampingan.
Kisaran pH yang optimum untuk fermentasi biomassa menggunakan
Saccharomyces cerevisiae adalah 4,0–5,0. Ketika pH kurang dari 4,0 maka masa
inkubasi yang lebih lama diperlukan dan pada pH di atas 5,0. Konsentrasi etanol
berkurang secara signifikan. Untuk mengoptimalkan rendemen bioetanol, faktor
lain yang perlu diperhatikan adalah laju agitasi. Dimana, semakin tinggi laju
agitasi maka, akan semakin tinggi kuantitas etanol yang dihasilkan. Untuk
fermentasi menggunakan sel ragi, laju agitasi yang umum digunakan adalah
150–200rpm. Tingkat agitasi yang berlebihan akan dapat membatasi aktivitas
metabolisme sel (Edeh, 2021).
2.5 Khamir Saccaromyces cereviseae
Saccharomyces cereviseae merupakan salah satu ragi yang paling sering
digunakan dalam proses fermentasi. Khamir ini bersifat kuat dan dapat hidup dalam
kondisi aerob maupun anaerob (anaerob fakultatif), memiliki sifat yang stabil dan
seragam, memiliki pertumbuhan yang cepat dalam proses fermentasi sehingga proses
fermentasi dapat berlangsung dengan cepat serta mampu memproduksi alkohol dalam
jumlah banyak. Saccharomyces sp melakukan fermentasi terhadap gula jauh lebih
cepat pada keadaan anaerobik. Namun, mengalami pertumbuhan lebih baik pada
keadaan aerobik sehingga jumlahnya bertambah (Assadad dkk., 2010).
Berikut taksonomi dari khamir Saccharomyces cereviseae (Kolo, 2018).
Domain : Eukaryota
Kingdom : Fungi
Subkingdom : Dikarya
Phylum : Ascomycota
Subphylum : Saccharomycotina
Class : Saccharomycetes
Order : Saccharomycetales
Family : Saccharomycetaceae
Genus : Saccharomyces Specific descriptor : cerevisiae
20

2.6 Peneliti Terdahulu


Peneliti terdahulu terkait penelitian pembuatan biofuel dengan metode
perengkahan katalitik (catalytic cracking) disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 6. Peneliti Terdahulu
Hasil Penelitian dan varriabel
No. Peneliti, Tahun Judul Penelitian
penelitian
Hasil Di sini, kami
melaporkan produksi pertama
selulosa defibrilasi dari
mikroalga menggunakan
gelombang mikro dan air saja
Mikroalga semprot-kering asli
(juga disebut sebagai "standar"
atau "metode standar")
Microwave- menjadi sasaran hidrotermal
(Zitzmann dkk., assisted gelombang mikro pengolahan
2.
2021) defibrillation of pada kisaran variabel suhu
microalgae yang berbeda (160-220◦C)
Selanjutnya, sangat linier
susunan unraian serat selulosa,
yang dapat dilihat dengan
sangat baik di 180◦C sampel,
terlihat rusak pada suhu
gelombang mikro tertinggi
(220◦C). Paling tinggi suhu
(220◦C).
3. (Kolo dkk., 2022) Pengaruh
Hasil Analisis SEM Ulva
Pretreatment
reticulate terjadi Kadar gula
Makroalga Ulva
pereduksi tertinggi pada variasi
Reticulata
waktu adalah 27,97 g/L dengan
Menggunakan
12

efisiensi hidrolisis mencapai


69,93% dan waktu hidrolisis
optimum 50 menit dilakukan
dengan variasi suhu hidrolisis
Microwave
yang berkisar antara
Irradiation Untuk 75,100,125,150,1750C. Proses
Produksi Bioetanol hidrolisis dilakukan dengan
menggunakan konsentrasi H2SO4
2% (v/v) selama 50 menit dengan
proses pemanasan menggunakan
microwave irradiasi.
Hasil penelitian Kondisi untuk
optimasi hidrolisis II dilakukan
dengan cara melakukan variasi
konsentrasi H2SO4 yaitu 0,1 N, 0,3
N, 0,5 N (v/v). Pemanasan
dilakukan pada temperatur 200C,
Hidrolisis Ampas Biji
dengan selama 40 menit. ini
Sorgum dengan
(Kolo dan menyimpulkan bahwa kondisi
Microwave untuk Produksi
4. Edi, 2018) optimum hidrolisis dengan
Gula Pereduksi sebagai
microwave dicapai pada konsentrasi
Bahan Baku Bioetanol
H2SO4 0,5 N temperatur 200oC
dan waktu hidrolisis 40 menit.
Kadar gula pereduksi sebesar 42,71
mg/L. Kadar gula naik sebesar
19,95% dibanding waktu hidrolisis
20 menit.
Penelitian makroalga untuk dihidrolisis pada pembuatan bioethanol ini. dari hasil
penelitian sebelumnya akan dilakukan pembaruan dengan variabel terbaru yaitu
dilakukan hidrolisis asam mikroalga dengan metode variasi daya microwave yang
optimum.
III. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian akan dilakukan di Laboratorium Proses, Jurusan Teknik Kimia
Fakultas Teknologi Industri, pada bulan januari 2023 yang terlampir dilampiran
jadwal kegiatan penelitian.

3.2 Alat dan Bahan


A. Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu:
a. Seperangkat alat microwave sebagai alat utama.

Gambar 3.1. Rangkaian alat microwave


Keterangan :
1. Pengatur daya 9. Statif
2. Pengatur waktu 10. Motor pengaduk
3. Piring putar
4. Penyangga piring
5. Gelas kimia
6. Termokopel
7. Thermostat
8. Batang pengaduk
b. Alat Fermentasi

Gambar 3.2. Fermentor


Peralatan pendukung: gelas piala, batang pengaduk, magnetic stirrer,
dan, ,Gelas beker, autoclave.
c. Alat Distilasi

Gambar 3.3. Serangkaian alat distilasi


Keterangan gambar seperangkat alat distilasi :
1. Labu leher tiga 6. Heater
2. Kolom adsrobsi 7. Kompor listrik
3. Pendingin leibig 8. Statif dan klem
4. Erlenmeyer 9. Waterbath
5. Thermometer

B. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini:
1. Mikroalga, sebagai bahan utama
2. H2SO4,,NaOH
3. Ragi saccharomyces cerevisiae
4. Larutan starter
5. Media inokolum.
6. aquades
7 .Kertas saring
3.3 Variabel Penelitian
1. Variabel Tetap
a. Jenis bahan baku mikroalga 25g
b. gizi Starter fermentasi
2. Variabel Berubah Hidrolisis
a. Konsentrasi pelarut Asam H2SO4,%: 1,3
b. Daya watt : 100, 200.
c. Waktu, menit: 25, 35.
3. Variabel Berubah Fermentasi
a. Ragi saccharomyces cerevisie,gram: 1; 1,25; 1,50; 1,75; 2.
b. Waktu,hari: 1,2,3,4,5

3.4 Prosedur Penelitian


A. Preparasi Pelarut
1. H2SO4 ,%: 1,3
Hidrolisis asam dilakukan dengan cara 25g tepung Mikroalga dan 100 ml
H2SO4 ,%: 1,3 dimasukkan ke dalam masing” erlenmeyer 250 mL.
Kemudian, dipanaskan menggunakan microwave. Hasil hidrolisis
tersebut selanjutnya didinginkan pada suhu ruang dan disaring
Selanjutnya dilakukan penetralan menggunakan NaOH hingga pH 6.
Hasil hidrolisis diukur kadar gula reduksi tertingginya untuk proses
selanjutnya.
2. Fermentasi
Starter fermentasi disiapkan sesuai dengan substrat pertumbuhan
terdiri dari 900 ml aquadest yang ditambahkan dengan 100 gram gula
pasir (konsentrasi gula 10%) yang disiapkan dalam gelas beker. Setelah
semua bahan dimasukkan, dihomogenkan terlebih dahulu dengan
magnetic stirrer kemudian disterilisasi dengan autoclave pada suhu
121°C selama 15 menit. Substrat didinginkan hingga mencapai suhu
ruang. Setelah dingin, ragi roti dimasukkan ke dalam substrat.
Selanjutnya diinkubasi pada suhu 30°C selama 8 jam.
Larutan hasil hidrolisis dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang
sudah disterilkan menggunakan autoclave. Larutan starter sebanyak 10%
dari volume larutan hasil hidrolisis. Metode fermentasi dilakukan dengan
menggunakan ragi saccharomyces cerevisiae. Volume kerja fermentasi
untuk medium hidrolisat sebanyak 200 ml. Hidrolisat terlebih dahulu
dinetralkan untuk analisa gula pereduksi,lalu dimasukkan media
fermentasi dan di autoklaf pada temperature 121 oC selama 15 menit.
Fermentasi dilakukan secara anaerobik selama 1,2,3,4 dan 5 hari.
Medium fermentasi menggunakan aquades sebagai pelarut. Fermentasi
diatur pada pH 4,5 dan temperatur 30oC menggunakan NaOH atau HCl
2M.
4. Distilasi
Rangkaian alat distilasi disiapkan dan dinyalakan. Larutan
fermentasi didistilasi pada suhu 78°C. Proses distilasi dilakukan selama
1-1,5 jam sampai bioetanol tidak menetes lagi. Distilat bioetanol yang
dihasilkan disimpan di dalam botol yang tertutup rapat. Bioetanol diukur
densitasnya dengan menggunakan piknometer.
3.5 Analisa hasil
1. Analisa kandungan kadar gula pereduksi dengan DNS pada mikroalga hasil
hidrolisis dengan metode microwave, DNS merupakan senyawa somatis
yang akan bereaksi dengan gula reduksi maupun komponen pereduksi
lainnya untuk membentuk 3-amino-5- nitrosalicylic acid. Bila terdapat gula
reduksi pada sampel, maka larutan DNS yang awalnya berwarna kuning akan
bereaksi dengan gula reduksi sehingga menimbulkan warna jingga
kemerahan yang dapat diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV
pada panjang gelombang 540 nm. Penentuan kadar gula reduksi dihitung
berdasarkan hasil persamaan regresi linier kurva baku glukosa y = 0,0037x +
0,0877 dengan nilai r2= 0,98701 hasil tertinggi selanjutnya di fermentasi.
2. Analisa hasil yield bioethanol dari fermentasi.
3. Distilasi akan dianalisa persen bioethanol murni yang dihasilkan. Analisa
kandungan produk bioethanol dilakukan dengan menggunakan analisa Gas
Cromatoghraphy mass spectrometry.
3.6 Diagram Alir

A. Proses hidrolisis Asam H2sO4

Menyiapkan mikroalga

Menambahkan H2SO4 %: 1/3

Menetralkan menggunakan NaOH


Hidrolisis menggunakan microwave

Gambar 3.4. Diagram alir Proses hidrolisis Asam

Analisa Kadar Gula Pereduksi


Hidrolisat

B. Pembuatan starter ragi

Gula + aquades

Homogenisasi larutan gula


Sterilisasi

Mendinginkan substrat
Masukkan ragi saccharomyces cerevisiae
kedalam substrat

Inkubasi

Gambar 3.5. Diagram alir pembuatan starter ragi


C. Fermentasi

Hidrolisat

Tambahkan starter ragi

1-1,5 jam

Fermentasi
Hasil fermentasi di distilasi
Analisa GC-MS bioetanol

Bioetanol

Gambar 3.6. Diagram alir fermentasi

DAFTAR PUSTAKA
Assadad, L., Utomo, B. S. B. dan Sari, R. N. (2010) ‘Pemanfaatan Mikroalga
Sebagai Bahan Baku Bioetanol’, Squalen, 5(2), pp. 53–55.
Bintarto, R. dkk. (2021) ‘Pengaruh Daya Pemanasan Microwave Oven Terhadap
Epoxy The Effect Of Microwave Oven Heating Power On Tensile Strength’,
6(2), pp. 182–193.
Chlorella, D. (2018) ‘Penelitian Pendahuluan Pembuatan Biodisel dan Bioetanol’,
18(1), pp. 1–6.
Concentration, C. (2021) ‘Jurnal Teknik Kimia USU Pemanfaatan Limbah Kulit
Buah dan Sayur Sebagai Bahan Bakar Bioetanol’, 10(1), pp. 1–6.
Edeh, I. (2021) ‘We Are Intechopen, The World’s Leading Publisher Of Open
Access Books Built By Scientists, For Scientists’, (December 2020).
Hadiyanto dan Azim, M. (2012) ‘Penerbit & Percetakan UPT UNDIP Press
Semarang’, pp. 1–138.
Hidayat, M. R. (2013) ‘Teknologi Pretreatment Bahan Lignoselulosa’, Biopropal
Industri, 4(1), pp. 33–48.
Jayus, J., Noorvita, I. V. dan Nurhayati, N. (2016) ‘Produksi Bioetanol Oleh
Saccharomyces Cerevisiae Fncc 3210 Pada Media Molases dengan
Kecepatan Agitasi dan Aerasi yang Berbeda’, Jurnal Agroteknologi, 10(02),
pp. 184–192.
Kolo, S. M. D. dan Edi, E. (2018) ‘Hidrolisis Ampas Biji Sorgum dengan
Microwave untuk Produksi Gula Pereduksi sebagai Bahan Baku Bioetanol’,
Jurnal Saintek Lahan Kering, 1(2), pp. 22–23.
Kolo, S. M. D., Obenu, N. M. dan Tuas, M. Y. C. (2022) ‘Pengaruh Pretreatment
Makroalga Ulva Reticulata Menggunakan Microwave Irradiation Untuk
Produksi Bioetanol’, Jurnal Kimia, 16(2), p. 212.
Kolo, S. M. D., Presson, J. dan Amfotis, P. (2021) ‘Produksi Bioetanol sebagai
Energi Terbarukan dari Rumput Laut Ulva reticulata Asal Pulau Timor’,
Alchemy Jurnal Penelitian Kimia, 17(2), p. 159.
Kusuma, G. P. A. W., Nocianitri, K. A. dan Pratiwi, I. D. P. K. (2020) ‘Pengaruh
Lama Fermentasi Terhadap Karakteristik Fermented Rice Drink Sebagai
Minuman Probiotik dengan Isolat Lactobacillus sp. F213’, Jurnal Ilmu dan
Teknologi Pangan (ITEPA), 9(2), p. 181.
Mailool, J. C. dkk. (2013) ‘Produksi Bioetanol dari Singkong (Manihot
Utilissima) dengan Skala Laboratorium’, Teknik Pertanian Fakultas
Pertanian Universitas Sam Ratulangi, 2(1), pp. 1–11.
Microalgae, M. (2015) ‘Analisis Senyawa Bioaktif Ekstrak Mikroalga Laut
Tetraselmis Chuii Sebagai Sumber Antioksidan Alami Berat Bahan’, 9(2),
pp. 1–10.
Monika, A. (2021) ‘Uji Hidrolisis Pati dengan Asam Hydrolysis Test of Starch
with Acid’, Syiah Kuala University, (November), pp. 0–6.
Padil, P. dkk. (2017) ‘Kinerja Enzim Ganda pada Pretreatment Mikroalga untuk
Kinerja Enzim Ganda pada Pretreatment Mikroalga untuk Produksi Bioetanol
Abstrak’, (January).
Puspawati, N. M. dan Ciawi, Y. (2015) ‘Pembuatan Bioetanol dari Alga Codium
Geppiorum dan Pemanfaatan Batu Kapur Nusa Penida Teraktivasi’, 3, pp.
23–31.
Schneider, R. C. S. dkk. (2013) ‘Potential Production of Biofuel from Microalgae
Biomass Produced in Wastewater’, in, pp. 3–24.
Wayan, N. dan Agustini, S. (2019) ‘Hidrolisis Biomassa Mikroalga Porphyridium
Cruentum’, 41(1), pp. 1–10.
Zitzmann, F. L. dkk., (2021) ‘Microwave-Assisted Defibrillation of Microalgae’,
Molecules, 26(16).
Lampiran A. Jadwal Kegiatan

Anda mungkin juga menyukai