Anda di halaman 1dari 10

A.

Mikroalga

Mikroalga merupakan organisme tertua di bumi. Salah satu contoh mikroalga adalah
thallofita (Brennan, 2010). Mikroalga merupakan organisme prokaryotik
(Cyanobacteria, Cyanophyceae), eukariotik (alga hijau), dan diatom
(Bacillariophyta) yang dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang
bermacam-macam dan berubah-ubah (Xia, 2015). Penggunaan mikroalga untuk
menghasilkan biodiesel sangat diperhitungkan dikarenakan kelebihan yang
dimiliki oleh mikroalga yaitu kandungan minyak yang tingi di dalam sel dan
kemampuan bereproduksi yang sangat cepat (Lam, 2012). Terdapat lebih dari
40.000 jenis mikroalga yang mengandung minyak dari biomassanya, yang
merupakan karakteristik yang bagus untuk produksi biodisel (Zhu, 2015).

Mikroalga dalam pertumbuhannya memerlukan cahaya, CO2, suhu yang optimal, pH


yang sesuai dan nutrisi yang cukup untuk melakukan fotosintesis (Tan et al,
2017). Pada intensitas cahaya yang rendah, mikroalga tidak dapat bereproduksi
karena tidak dapat melakukan fotosintesis, namun pada intensitas cahaya yang
berlebihan, pertumbuhan mikroalga akan terhambat disebabkan oleh efek
fotoinhibisi (Ren, 2014) Keunggulan lain dari mikroalga adalah kemampuannya
dalam mengikat karbon dioksida untuk fotosintesis. Mikroalga memerlukan
suplai karbon dioksida dalam proses fotosintesisnya, untuk menghasilkan 1 kg
biomassa mikroalga, memerlukan 1,8 kg CO2. (Tan, et al. 2017). Suplai karbon
dioksida dapat diperolah dari gas buangan industri yang mengandung CO2,
sehingga mikroalga tidak hanya dapat dimanfaatkan dalam produksi biodiesel,
namun juga dapat berfungsi untuk pengendalian CO2 yang dihasilkan dari gas
buangan limbah industri (xia, 2015).

Dalam pertumbuhannya, mikroalga memerlukan suhu optimal antara 20 oC -30oC.


Pertumbuhan mikroalga akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu, namun
pertumbuhan akan terhenti bila telah mencapai suhu optimal dan akan berkurang
bila terjadi penambahan suhu. (Chisti, 2007). Selain suhu, nutrisi juga sangat
penting untuk pertumbuhan mikroalga. Media tumbuh harus menyediakan elemen
anorganik yang dapat menyokong sel alga seperti Nitrogen (N) dan fosfor (P)
(Chisti, 2007). Nutrisi tersebut prnting untuk memperoleh laju pertumbuhan
mikroalga dan menghasilkan kuantitas biomassa yang besar (Lam, 2012). Nutrisi
tersebut dapat diperoleh dari air limbah (Lam, 2012) Penggunaan air limbah
direkomendasikan sebagai pasokan nutrisi untuk mikroalga karena limbah
tersebut kaya akan nitrogen dan fosfor (Tan et al, 2017). Disamping itu,
penggunaan limbah sebagai sumber nutrisi juga menguntungkan dari segi
ekonomis karena murah, serta mikroalga dapat menjadikan limbah lebih ramah
lingkungan dengan menghilangkan kandungan logam pada limbah. Jenis
mikroalga yang biasa ditumbuhkan pada limbah adalah Chlorella dan Dunaliella.
pH optimal yang diperlukan mikroalga untuk tumbuh adalah 6-8 tergantung dari
jenis mikroalga (Tan et al. 2017).
B. Sistem kultivasi mikroalga

Secara umum, terdapat 2 tipe sistem kultivasi untuk menumbuhkan mikroalga,


yaitu open raceway pond dan closed photobioreactor.

1. Open raceway pond

Sistem open raceway pond terbuat dari saluran air yang memiliki aliran air
tersiklus dengan kedalaman 0,3 m (Chisti, 2007). Keunggulan sistem ini adalah
kemudahan dalam pengoperasiannya dan lebih hemat baya dibandingkan sistem
closed biophotoreactor (Rajvanshi & Sharma, 2012). Sistem ini menggunakan
kincir air untuk mengalirkan air dan membuat air tetap tersirkulasi dan
menghindari sedimentasi (Chisti, 2007). Raceway pond terbuat dari semen dan
disekat dengan plastik (Tan et al, 2017).

Pada sistem open raceway, pengaturan suhu sepenuhnya tergantung pada


penguapan air dari alam. Suhu bersifat berubah-ubah tergantung cuaca dan
musim (Chisti, 2007). Selain itu, sistem ini rentan terkontaminasi dengan bakteri
lain sehingga mempengaruhi produktifitas mikroalga (Rajvanshi & Sharma,
2012).

Gambar 1. Sistem open raceway pond

2. Closed photobioreactor (PBR)

PBR merupakan sistem dimana konversi biologis dapat terjadi (Mata, 2010).
Konverto tersebut terjadi pada reaktor dimana fototrop (mikroba, alga, atau sel
tanaman) ditumbuhkan atau digunakan untuk melakukan reaksi biologis (Mata,
2010). Salah satu tipe photobioreactor adalah tubular photobioreactor. Sistem ini
menggunakan tabung besar berisi media dan air yang diberi aerator, dan terdapat
tabung transparan berukuran sekitar 0,1 m yang terbuat dari kaca atau plastik
untuk menangkap sinar matahari. Mikroalga disalurkan dari tabung kontainer
menuju tabung transparan dan kembali lagi menuju tabung kontainer secara terus
menerus (Chisti, 2007) Sistem ini memiliki kelebihan pada kuantitas dan kualitas
mikroalga yang dihasilkan lebih baik daripada sistem open pond (Rajvanshi
&Sharma, 2012) dikarenakan kondisi yang lebih terkontrol daripada open pond
(Chisti, 2007). Sistem ini dapat menggunakan cahaya matahari atau cahaya
buatan sebagai sumber energi bagi mikroalga (Rajvanshi & Sharma, 2012). Dari
segi biaya, sisem biophotoreactor memakan biaya yang lebih besar dibandingkan
dengan open pond system. Namun disisi lain sistem ini tidak memerlukan
lahanyang besar untuk proses kultivasi mikroalga (Tan et al, 2012). Karakteristik
lain dari biophotoreactor system adalah hanya menggunakan satu spesies kultur
mikroalga yang digunakan secara longitudinal (Mata, 2010). Sistem
photobioreactor dapat dilihat pada gambar 2.

Dari kedua sistem tersebut, masing-masing memiliki keunggulan dan kekurangan


masing-masing. Open raceway system memiliki keunggulan pada efektifitas
biaya dan pengoperasian yang mudah, namun memiliki produktivitas mikroalga
yang lebih sediit dibandingkan dengan sistem biophotoreaktor. (Chisti, 2007).

Gambar 2. Sistem photobioreactor

C. Proses panen mikrooeganisme

Pada proses panen mikroalga terdapat beberapa metode. metode yang paling
sering digunakan adalah chemical coagulation, electrical coagulation,
flocculation, flotation, sedimentation, filtration, centrifugation.

1. Koagulasi kimiawi dan elektrokoagulasi

Metode ini menggunakan campuran bahan kimia untuk memisahkan mikroalga


dengan air. Bahan kimia yang digunakan adalah larutan garam logam seperti besi
klorida. Penggunaan larutan ini akan menyebabkan mikroalga menggumpal dan
terpisah dengan air (pittman, 2011). Gumpalan yang terbentuk terbagi menjadi
dua tipe yaitu inoeganik dan organik. Gumpalan inorganik seperti endapan besi
dan aluminium biasanya digunakan untuk memanen mikroalga Scendesmus dan
Chlorella. Gumpalan organik seperti citosan merupakan biopolimer yang dapat
mengikat mikroalga (Tan et al, 2017). Pada elektrokoagulasi tidakm
menggunakan ion besi dan ion aluminium, namun menggunakan anoda
aluminium dan anoda besi dengan penghantaran listrik untuk memisahkan
mikroalga dengan air dengan cara menarik mikroalga menuju anoda (Fayad
2017).
2. Flotation

Metode ini menggunakan gelembung udara berukuran kecil untuk membuat


mikroalga naik dan terapung ke permukaan sehingga terpisah dengan air (Wang,
2008). Flotation dapat mengkat sel mikroalga yang berukuran <500um dengan
reaksi adhesi dengan gelembung udara sehingga sering disebut dengan
sedimentasi “terbalik” (Hanotu, 2012). Terdapat dua tipe flotation yaitu dissolved
air flotation dan dispersed air flotation. Yang menbedakan kedua tipe tersebut
adalah ukuran gelembung udara yang digunakan. Dissolved air flotation
menggunakan gelembung dengan kuran yang kecil (10-100um), sedangkan
dispersed air flotation menggunakan gelembung dengan ukuran yang lebih besar.
(hanotu, 2012).

3. Sedimentasi

Cara ini merupakan cara yang umum digunakan untuk memisahkan mikroalga
dengan air. Kepadatan jumlah mikroalga yang dihasilkan merupakan faktor
urama yang mempengaruhi kecepatan sedimentasi mikroalga. Separator lamella
dan tangki sedimentasi dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi
sedimentasi mikroalga (Brennan, 2010)

4. Filrtasi

Proses filtrasi konvensional dapat digunakan untuk memanen mikroalga


berukuran besar seperti Coelastrum dan Spirulina (Mata, 2010). Mikrofiltrasi dan
ultrafiltrasi dapat digunakan untuk memanen ikroalga yang berukuran lebih kecil
dengan menggunakan membran filtrasi yang lebih kecil lagi (Mata, 2010).

5. Sentrifugasi

Sentrifugasi adalah prses yang digunakan untuk memisahkan dampuran air dan
ikroalga dengan menggunakan prinsip gaya sentrifugal. Saat ini. Metode
sentrifugasi telah banyak digunakan dalam memanen mikroalga dengan
efektifitas sebesar 95%. Kekurangan metode ini adalah biaya operasi yang tinggi
dan tidak cocok digunakan dalam skala yang besar (Gouveia, 2011).

Perbandingan biaya metode pemanenan ditampilkan dalam tabel 1.


Tabel1. Berbandingan biaya metode pemanenan mikroalga
No Harvest method cost
1 Chemicalcoagulation/flocculation High
2 Electrocoagulation High
3 Flotation High
4 Sedimentation Low
5 Filtrasi High
6 sentrifugasi Very high

D. Pengeringan

Setelah mikroalga berhasil dipisahkan dengan air, tahap selanjutnya adalah


pengeringan. Tahap ini merupakan tahap yang penting sebelum produksi biodisel.
Bila mikroalga mengandng kadar air yang tinggi, maka dapat mempengaruhi
biodisel yang dihasilkan. (Tan et al, 2017). Salah satu cara konvensional untuk
mengeringkan mikroalga adalah dengan menjemurnya dibawah sinar matahari.
Selain pengeringan menggunakan sinar matahari (sun drying), terdapat cara lain
yaitu spray drying dan freeze drying (Grima et al, 2003). Spray drying digunakan
untuk produk dengan nilai jual yang tinggi (>$1000 per ton), disisi lain cara ini
dapat merusak alga karena dapat menghilangkan pigmen dari mikroalga dan
mengurangi kualitas mikroalga. Proses freeze drying merupakan proses yang
sering digunakan untuk mengeringkan mikroalga di laboratorium, teknik ini
memiliki keunggulan untuk dapat mempermudah eksraksi minyak pada
mikroalga karena pada mikroalga basah sangat sulit untuk melakukan ekstraksi.
Meski begitu, freeze drying tidak cocok dalam penggunaan skala besar
dikarenakan biaya yang sangat mahal. (Grima et al, 2003)

E. Ekstraksi minyak mikroalga

Setelah memanen mikroalga dan mengeringkannya, tahap selanjutnya adalah


ekstraksi minyak dari mikroalga untuk menghasilkan biodisel. Tahapan ekstraksi
harus seefektif mungkin. Sebelum ekstraksi minyak, dinding sel mikroalga dan
membran sel hadus terlebih dulu dihancurkan, hal ini karena dinding sel dalat
menghambat proses ekstraksi minyak (Tam et al, 2017). Pemecahan sel dapat
dilakukan dengan cara sonikasi, homogenesasi atau dibekukan (Brennan, 2010).
Lalu minyak mikroalga dapat diekstrak dengan cara press (Demirbas, 2011),
solvent extraction, dan supercritical fluid extraction. (Lam, 2012)

1. Press
Proses ini merupakan yang paling sederhana untuk mengekstrak minyak dari
mikroalga. Dengan menggunakan tekanan tinggi efektivitas ekstraksi
dapatmencapai 70-75% (Demirbas, 2011) dengan penggunaan katalis pelarut
berupa heksana, eter, dan benzena (Tan et al, 2017).
2. Solvent extraction
Teknik ekstraksi ini merupakan teknik yang umum digunakan untuk mengekstrak
minyak dari mikroalga (Lam, 2012) dengan menggunakan enzim untuk memecah
dinding sel mikroalga (Ranjan et al, 2010). Teknik ini memiliki kekurangan pada
penggunaan bahan kimia sebapai pelarut yang beracun bagi manusia dan
lingkungan. Bahan kimia yang digunakan sebagai pelarut berupa n-heksana,
metanol, etanol, dan campuran metanol-chloroform sangat efektif untuk
mengekstrak minyak dari mikroalga (Lam, 2012).
3. Supercritical extraction
Supercritical extraction merupakan proses ekstraksi sederhana yang dapat
mengekstraksi hampir 100% minyak dari mikroalga (Demirbas, 2011) Proses ini
menggunakan tenakan dan suhu tinggi untuk memecah dinding sel mikroalga.
Dalam prosesnya, CO2 cair digunakan dan dipanaskan sampai mencapai titik
tertinggi (Tan et al, 2017) CO2 cair ini kemudian berperan sebagai pelarut utama
dalam proses eksptraksi minyak (Demirbas, 2011). Keuntungan menggunakan
cara ini adalah waktu ekstraksi yang singkat, penggunaan pelarut yang tidak
beracun dan selektivitas yang tinggi. (Tan et al, 2017).

F. Produksi biodisel

1. Transesterifikasi

Biodesel yang dihasilkan dari trigliserida melalui reaksi transesterifikasi telah


menjadi fokus. Transesterifikasi adalah proses mengbah minyak mikroalga
(trigliserida/asam lemak bebas) menjadi biodisel yang dapat diperbaharui, dapat
didegradasi, dan tidak beracun (Rawat, 2011). Proses ini melibatkan metanol, dan
katalis basa untuk dapat mengonversikan trigliserida menjadi asam lemak metyl
ester (FAME) dengan waktu yang cepat (Tan et al, 2017). Prinsip dari
transesterifikasi adalah pemecahan molekul oleh alkohol/metanol untuk
membentuk ester (Anastopaulos, 2009).

Minyak sayur dan mikroalga tidak bisa langsung begitu saja dipakai untuk mesin
disel karena memiliki kekentalan yang cukup tinggi (Gouveia, 2011). Kekentalan
yang dimiliki minyak mikroalga ini menyebabkan perlu dilakukan konversi
menjadi komponen dengan berat molekul lebih ringan melalui reaksi
transesterifikasi (Rawat, 2011). Proses ini bersifat reversible dan memiliki tiga
tahapan yaitu trigliserida diubah menjadi digliserida, digliserida diubah menjadi
monogliserida, dan monogliserida diubah menjadi ester (Anastopoulos, 2009).
Perbandingan ingkat kekentalan (viscosity) pada minyak mikroalga dengan
sumber yang lain tertera pada tabel 3.
Tabel 3. Perbandingan tingkat kekentalan minyak dari mikroalga dibendingkan
dengan minyak dari sumber lain (Gouveia, 2011).

Penggunaan katalis biasanya bersifat basa seperti NAOH dan KOH. Katalis dapat
digunakan pada suhu dan tekanan yang rendah dengan efektifitas konversi
biodisel mencapai 98% (Taher 2011). Katalis asam jarang digunakan karena
bersifat korosif dan memiliki waktu reaksi yang lama (Taher, 2011). Katalis asam
hanya akan digunakan bila minyak mengandung kadar asam lemak bebas yang
tinggi dalam proses transesterifikasi, penggunaan katalis asam menyebabkan
proses transesterifikasi memerlukan suhu dan tekanan yang tinggiuntuk mencapai
tingkat konversi biodisel maksimal (Tan, et al. 2017).

Katalis lain selain basa dan asam adalah penggunaan enzim sebagai katalisator.
Keunggulan pengunaan enzim ini adalah dapat mengkonversi minyak mikroalga
yang mengandung kadar asam lengak bebas yang tinggi, dan juga lebih hemat
energi karena tidak memerlukan kondisi yang terlalu ekstrim ntuk bereaksi
(Rawat, 2011). Enzim lipase ekstraseluler dan intraseluler merupakan enzim yang
digunakan sebagai biokatalis (Taher, 2011). Lipase ekstraseluler lebih cocok
dalam proses transesterifikasi karena memiliki stabilitas dan dapat digunakan
kembali (Taher, 2011).

2. Pirolisis

Pirolsis adalah proses dekomposisi biomassa tanpa menggunakan oksigen dan


menggunakan tekanan tinggi. (Tan et al 2017). Proses ini dapat menghasikan
arang, cairan organik, asam asetat, aseton, metanol, dan gas (Tan et al, 2017).
Pirolisis pertama digunakan untuk menghasilkan bio-oil dari biomasa
mengandung lignoselulotik. Namun, proses ini lebih optimal untuk mikroalga
karena suhu operasional yang rendah dan kualitas bio-oil yang lebih tinggi
(Huang, 2010). Ditambah lagi, pirolisis mikroalga jauh lebih murah daripada
pirolisis dari biomasa lignoselulosa (tan et al, 2017).

3. Thermochemical liquefaction

Dekmposisi dengan menggunakan panas pada mikroalga dapat menghasilkan


bahan bakar yang berbeda tergantung dari suhu yang digunakan selama proses
dekomposisi. Gasifikasi menghasilkan syngas dengan cara oksidasi sebagian
mikroalga pada suhu tinggi. Mikroalga akan bereaksi dengan oksiden dan air
untukm membentuk uap dan menghasilkan syngas yang mengandung CO2, gas
hidroden, nitrogen, dan metana. Syngas yang dihasilkan dapat langsung dipakai
sebagai bahan bakar (Tan et al, 2017).

Thermo-chemical liquefaction digunakan untuk mengubah biomasa mikroalga


basah mejadi bio-oil pada suhu rendah dan tekanan tinggi dengan menggunakan
katalis (Rawat, 2011). Salah satu prosesnya adalah hydrothermal liquefaction
yang dapat mengubah mikroalga menjadi komponen dengan berat molekul yang
lebih kecil dengan menggunakan air pada kondisi sub-critical. Metode ini
memungkinkan pengubahan langsung dari mikroalga basah menjadi bio-oil tanpa
proses pengeringan terlebih dahulu sehingga dapat menghemat waktu
pemprosesan dan biaya (Tan et al 2017).

Dari ketiga metode pengolahan minyak mikroalga di atas, metode


transesterifikasi secara khusus menghasilkan biodisel, sedangkan pirolisis
menghasilkan bio-oil dan arang, thermo-chemical liquefaction menghasilkan bio-
oil. Jadi untuk membuat biodisel (Wang, 2008). Jadi untuk membuat biodisel,
setelah mendapatkan minyak dari mikroalga mealui proses ekstraksi,selanjutnya
adalah proses transesterifikasi untuk menghasilkan biodisel.
A Xia, C Herrmann, J D. Murphy. 2014. How do we optimize third-generation algal
biofuels?. Biofuels Bioprod Bioref. 9:358–367

Anastopoulos G, Zannikou Y, Stournas, S, Kalligeros S. 2009. Transesterification of


Vegetable Oils with Ethanol and Characterization of the Key Fuel Properties of
Ethyl Esters. Energies. 2. 362-376.

Chisti Y. 2007. Biodiesel from microalgae. Biotecnology Advances. 25 294-306.

Demirbas A, Demirbas MF. 2011. Importance of algae Oil as Source of Biodiesel. Energy
Conversion and Management. 52. 163-170.

Fayad N, Yehya T, Audonnet F, Vial C. 2017. Harvesting of microalgae Chlorella


vulgaris using electro-coagulation-flocculation in the batch mode.
Algal Research. 25. 1-11.
Gouveia L. 2011. Microalgae as a Feedstock for Biofuels. SpringerBriefs in
Microbiology.

Grima EM, Belarbi EH, Fernandez FGA, Medina AR, Chisti Y. 2003. Recovery of
microalgal biomass and metabolites: process options and economics.
Biotechnology Advances. 20. 491-515.

Hanotu J, Bandulasena HCH, Zimmerman WB. 2012. Microflotation Performance for


Algal Separation. Biotechnology and Bioengineering. 1-11.

Huang G, Chen F, Wei D, Zhang X, Chen G. 2010. Biodiesel production by microalgal


biotechnology. Applied Energy. 87. 38-46.

L. Brennan, P. Owende, Biofuels from microalgae—a review of technologies for


production, processing, and extractions of biofuels and co-products. Renewable
Sustainable Energy Rev. 14 (2) (2010) 557-577

L. Zhu, Microalgal culture strategies for biofuel production: A review. Biofuels, Bioprod.
Biorefin. 9 (2015) 801-814

Man Kee Lam, Keat Teong Lee. 2012. Microalgae biofuels: A critical review of issues,
problems and the way forward. Biotechnology Advances. 30 (2012) 673–690

Mata TM, Martins AA, Caetano NS. 2010. Microalgae for biodiesel production and other
applications: A review. Renewable and Sustainable Energy Review. 14. 217-232.
Pittman JK, Dean AP, Osundeko O. 2011. The potential of sustainable algal
biofuel production using wastewater resources. Bioresource
Technology. 102. 17-25.
Rajvanshi S, Sharma MP. 2012. Microalgae: A Potential Source of Biodiesel. Journal of
Sustainable Bioenergy Systems. 2. 49-59.

Rawat I, Kumar RR, Mutanda T, Bux F. 2011. Dual role of microalgae:


Phycoremediation of domestic wastewater and biomass production for sustainable
biofuels production. Applied Energy. 88. 3411-3424.

Ren T. 2014. Primary Factors Affecting Growth of Microalgae Optimal Light Exposure
Duration and Frequency. Graduate Theses and Dissertations. Iowa State
University.

Taher H, Al-Zuhair S, Al-Marzouqi AH, Haik Y, Farid MM. 2011. A Review of


Enzymatic Transesterification of Microalgal Oil-Based Biodiesel Using
Supercritical Technology. Enzyme research.

Tan X, Uemura Y, Lim Jun W, Wong CY, Lee KT. 2017. Cultivation of microalgae for
biodiesel production: A review on upstream and downstream processing. Chinese
Journal of Chemical Enginerring. 22 (7) 1-46.

Wang B, Li Y, Wu N, Chrostopher Q, Lan. 2008. CO2 bio-mitigation using microalgae.


Appl Microbiol Biotechnol. 79. 707-718.

Anda mungkin juga menyukai