PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kendala yang dihadapi dalam mengembangkan produksi bioetanol di Indonesia
yakni bahan baku yang terbatas, persoalan ketersediaan lahan dan efisiensi biaya
produksi (Murdiyatmo, 2006). Salah satu sumber bahan baku potensial untuk
dijadikan bahan baku bioetanol yakni mikroalga. Dibandingkan dengan biomassa lain
seperti jagung dan tebu, produktivitas mikroalga sendiri lebih besar 5 kali lipat.
Untuk menggantikan 60 miliar galon bahan bakar fosil, hanya dibutuhkan mikroalga
sekitar kurang dari 3% perairan di pesisir dunia (Adini dkk., 2014). Sumber bioetanol
(jagung, tebu, dan gandum) masih berkompetisi dengan sektor pangan dan pakan.
Selain itu, memerlukan area tanah yang cukup luas (Jalilnejad dan Ghasemzadeh,
2019). 70% permukaan bumi ditutupi oleh laut yang hidup dan terdapat berbagai
mikroalga yang dapat dikonversi menjadi bioethanol (Wayan dan Agustini, 2019).
Telah diketahui bahwa mikroalga mengandung karbohidrat berupa
heteropolisakarida jenis glukosa, arabinosa, ramnosa dan xilosa yang sangat
berlimpah (Yu-Qing dkk., 2016). Mikroalga dengan kandungan karbohidrat dan lipid
dianggap menjadi sumber energi terbarukan generasi ke-3 yang dipatok akan menjadi
industri besar beberapa jenis mikroalga dengan kandungan karbohidrat yang cukup
tinggi yaitu porphyridium cruentum dengan kandungan karbohidrat 40-57 %,
Prymnesium parvum dengan kandungan 25-33%, spirogyra sp. dengan kandungan
karbohidrat 33-64% juga dunaliella salina jenis mikroalga dengan kandungan 32%
karbohidrat (Wayan dan Agustini, 2019).
Tentu hal ini sangat mendukung program pemerintah Indonesia untuk
mewujudkan pemanfaatan energi terbarukan sekurang-kurangnya 23% pada tahun
2025 (Rochman, 2015). Selain itu, mikroalga sendiri banyak tersebar di Nusa
Tenggara Timur. Namun, mikroalga sendiri belum dimanfaatkan oleh masyarakat di
Pulau Timor sehingga menjadi sampah yang mengurangi estetika pantai. Di sisi lain,
mikroalga ini bukan merupakan bahan makanan. Sehingga, tidak berkompetisi
5
dengan pangan saat menjadi bioetanol. Sintesis bioetanol dari mikroalga dapat
dilakukan melalui proses hidrolisis kemudian, dilanjutkan dengan proses fermentasi
(Hadiyanto dan Azim, 2012).
Hidrolisis adalah dekomposisi kimia menggunakan bantuan air untuk
memisahkan ikatan kimia dari substansinya. Hidrolisis asam dilakukan untuk
menghasilkan konsentrasi gula lebih tinggi. Konsentrasi asam, suhu dan waktu yang
tinggi dalam proses hidrolisis akan menghasilkan konsentrasi gula sederhana yang
tinggi. Semakin banyak gula yang terbentuk maka dapat digunakan sebagai substrat
fermentasi bioetanol, sehingga produksi etanol semakin meningkat (Monika, 2021).
Proses hidrolisis menggunakan asam memberikan rendemen bioetanol yang lebih
tinggi dibandingkan menggunakan enzim (Adini dkk., 2014). Proses menggunakan
microwave irradiation sebagai salah satu alternatif dalam meningkatkan efisiensi
dalam reaksi kimia dan memiliki banyak keuntungan, yaitu waktu yang dibutuhkan
relatif lebih singkat dibandingkan dengan metode konvensional, laju reaksi hidrolisis
pati menjadi glukosa meningkat 50 - 100 kali menggunakan microwave irradiation,
waktu produksinya lebih pendek, menghemat biaya dan juga lebih ramah lingkungan
karena konsentrasi asam yang digunakan lebih rendah. Menurut (Alfonsín dkk.,
2019) Hidrolisis mikroalga dengan asam pada konsentrasi 9% berat selama 70 menit
dapat memaksimalkan gula pereduksi (Kolo, 2018).
Fermentasi merupakan suatu proses perubahan kimia pada suatu substrat organik
melalui aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Mikroba yang
umumnya terlibat dalam fermentasi pangan adalah bakteri, khamir dan kapang.
Adapun prinsip dasar dari fermentasi yaitu mengaktifkan aktivitas mikroba tertentu
sehingga dapat merubah sifat bahan agar dapat menghasilkan produk fermentasi yang
bermanfaat. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi fermentasi antara lain yaitu
mikroorganisme, substrat (medium), pH (keasaman), suhu, oksigen dan juga aktivitas
air (Kusuma, Nocianitri dan Pratiwi, 2020).
Fermentasi menggunakan saccharomyces cerevisiae pada kondisi konsentrasi
inokulum 17,5 mg/mL (59%) selama 4 jam dapat memberikan rendemen bioetanol
6
sebesar 55,9% (Tan dan Lee, 2014). (Yu dkk., 2020) melaporkan bahwa Mikroalga
chlorella vulgaris dapat dihidrolisis dengan asam menggunakan microwave
irradiation yang menghasilkan gula pereduksi sebesar 98,11 g/L dan etanol sebesar
7,61% (Hidayat, 2019).
Pada penelitian ini, mikroalga yang berasal laut ini dikonversi menjadi bioetanol
melalui tahapan hidrolisis dengan asam encer dan kemudian dilanjutkan dengan
tahapan fermentasi. Penelitian ini menggunakan variabel daya dan juga waktu dengan
dua metode yang berbeda yakni hidrolisis yang berguna untuk mencari keadaan
optimum bagi kedua tahapan tersebut serta tekstur karbohidrat sebelum dan sesudah
hidrolisis dengan menggunakan alat microwave. Keberhasilan hidrolisis pada
penelitian ini diselidiki dengan analisis gula pereduksi (Puspawati dan Ciawi, 2015).
Dunaliella salina 32 57
Chlorella vulgaris 12-17 51-58
juga melaporkan bahwa beberapa jenis mikroalga seperti Chlorella sp, Dunailella,
Chlamydomonas, Scenefesmus dan Spirulina memiliki kandungan pati lebih dari 50%
dan berpotensi sebagai bahan baku pembuatan bioetanol mempelajari mikroalga jenis
Chlorocum sp. sebagai feedstock pembuatan ethanol (Hadiyanto dan Azim, 2012).
Pada penelitian tersebut dilaporkan bahwa cell disruption mempengaruhi yield.
Produktivitas maksimum adalah 38% (w/w). Harun juga menyatakan bahwa “ biomas
harus diolah menjadi gula sederhana sebelum dilakukan fermentasi.” Hasil 7.2gr/l
bioethanol tertinggi didapatkan dengan memfermentasikan 15gr/l mikroalga pada
suhu 140oC menggunakan asam sulfat 1% (v/v) selama 30 menit.
Sementara hasil lain diperoleh 52% berat (gr etanol/gr mikroalga) didapatkan
dari 10gr/l mikroalga dan 3% (v/v) asam sulfat pada suhu 160oC selama 15 menit
hasil yang ditemukan setelah memfermentasikan mikroalga sudah memenuhi
ekspektasi dari peneliti yang diinginkan (Hadiyanto dan Azim, 2012).
Tabel.2.2 Potensi Produksi Bioethanol dari Mikroalga dan Tanaman lain.
Sumber Potensi Produksi
Ethanol (L/ha)
Singkong 3.310
Shorgum
3.050-4.070
manis
Jagung 3.460-4.020
Tebu 6.190-7.500
Mikroalga 46.760-140.290
2.3 Fermentasi
Proses fermentasi adalah proses lanjutan dari penelitian hidrolisis ini yang
bertujuan untuk merubah senyawa yang kompleks menjadi sederhana. Pada proses ini
glukosa dapat difermentasikan dengan enzim zimase invertase yang dihasilkan oleh
Saccharomyces cereviseae. Fungsi enzim zimase adalah untuk memecah polisakarida
(pati) yang masih terdapat dalam proses hidrolisis untuk diubah menjadi
monosakarida (glukosa). Secara singkat proses fermentasi menjadi alkohol (etanol)
oleh Saccharomyces cereviseae dapat ditulis sebagai berikut:
Invertase
2 (C6H12O5) + H2O 2 C6H12O6
Disakarida Glukosa
Zimase
C6H12O6 2 C2H5OH + 2 CO2
Glukosa Etanol + Karbon dioksida
15
6) pH (Keasaman)
Untuk proses fermentasi alkohol ragi, pH optimum adalah 4 – 5. Jika pH
terlalu asam atau terlalu basa mikroba tidak dapat tumbuh optimal atau
bahkan mati proses fermentasi akan terganggu. (Puspawati dan Ciawi, 2015).
2.4 Bioetanol
Bioetanol merupakan hasil dari proses fermentasi biomassa dengan bantuan
mikroorganisme. Pada umumnya jenis mikroorganisme yang digunakan dalam
produksi bioetanol adalah saccharomyces cerevisiae. Hal tersebut dikarenakan
saccharomyces cerevisiae banyak ditemukan dialam, memiliki ketahanan hidup
yang tinggi serta mampu menghasilkan alkohol dalam jumlah yang cukup tinggi
(Jeffries dan Jin, 2000). Upaya optimasi lingkungan tumbuh mikroba selama
fermentasi dapat dilakukan dengan cara mengkondisikan kultur pada kondisi
optimum pertumbuhan mikroba dengan menggunaan bioreaktor selama proses
fermentasi. Faktor yang mempengaruhi fermentasi bioetanol menggunakan
bioreaktor yaitu agitasi dan aerasi (Jayus, Noorvita dan Nurhayati, 2016).
Indonesia memiliki 60 jenis tanaman yang berpotensi menjadi sumber energi
BBN. Bioetanol dapat dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung gula seperti
(molasses, aren dan nira), bahan yang mengandung pati (singkong, jagung, sagu
dan jenis umbi lainnya) serta bahan berserat (lignoselulosa) (Mailool dkk., 2013).
Produksi bioetanol dari mikroalga ini mendapat perhatian luar biasa karena
memiliki laju fotosintesis yang tinggi, keanekaragaman hayati yang besar dan
juga variabilitas komposisi biokimianya serta produksi biomassa yang cepat yang
ditunjukkan oleh mikroorganisme ini. Selain itu, bioetanol yang berasal dari
biomassa mikroalga merupakan pilihan yang menunjukkan potensi terbesar.
(Yohanes dkk., 2015) menilai bahwa biomassa mikroalga sebagai bahan mentah
untuk produksi bioetanol dan berpendapat bahwa itu adalah alternatif yang
berkelanjutan untuk produksi biofuel terbarukan. Contoh dari genera mikroalga
yang sesuai dengan parameter produksi bioetanol yaitu: Chlorella vulgaris,
Dunaliella salina, Chlamydomonas reinhardii, Scenedesmus obliquus,
Arthrospira dan Spirulina sp (Mailool dkk., 2013).
17
b. Alat Fermentasi
Gambar 6. Fermentor
c. Alat Distilasi
Menyiapkan mikroalga
+HNO3 /H2SO4
Hidrolisat
Gula + aquades
Larutan gula
Pengadukan
Sterilisasi
26
Mendinginkan substrat
+ Ragi roti
Inkubasi
C. Fermentasi
Hidrolisat
Menetralkan hidrolisat
+ Starter ragi saccharomyces cerevisiae
Fermentasi
Bioetanol
A. Persiapan
Penelusuran Pustaka
Seminar Proposal
Mikroalga
B. Pelaksanaan
Hidrolisis
Fermentasi dan
distilasi
Pengujian
Analisis Hasil
C. Penyelesaian
Olah Data
Penyusunan Laporan
Seminar Hasil 1
Seminar Hasil 2
(Ujian)
Laporan Final
26
(Skripsi)