Anda di halaman 1dari 28

PRODUKSI BIODIESEL DARI MIKROALGA Chlorella

MAKALAH BIOENERGI
(disusun guna melengkapi tugas mata kuliah Bioenergi)

Oleh:
Ratna Wahyu N.

121810301029

Dewi Adriana P.

121810301053

Diah Ayu Nor Sholeha

131810301008

Shelly Trissa Ramadhan

131810301028

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
2016

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Energi merupakan salah satu kebutuhan penting bagi kehidupan manusia.
Sumber energi saat ini yang banyak digunakan adalah sumber energi yang berasal
dari fosil. Sumber energi dari fosil tersebut memiliki sifat yang tidak dapat
diperbaharui sehingga jumlahnya terus berkurang. Sumber energi fosil yang
semakin berkurang membuat adanya pengembangan dan penggunaan bahan bakar
alternatif dari sumber daya alam. Bahan bakar alternatif tersebut menjadi salah
satu pilihan yang diharapkan sehingga dapat memenuhi permintaan kebutuhan
bahan bakar yang semakin meningkat.
Biodiesel merupakan salah satu bahan bakar alternatif mesin diesel yang
saat ini banyak dikembangkan. Biodisel memiliki karakteristik yang serupa
dengan bahan bakar mesin diesel yang berasal dari fosil. Biodiesel dapat
dihasilkan dari minyak tumbuhan, lemak binatang, dan ganggang (alga). Minyak
nabati dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel karena memiliki
beberapa kelebihan yaitu mudah diperoleh, proses pembuatan biodiesel dari
minyak nabati mudah dan cepat dan tingkat konversi minyak nabati menjadi
biodiesel tinggi. Indonesia berpeluang besar untuk mengembangkan penggunaan
bioenergi dari minyak tumbuhan, karena Indonesia memiliki banyak tumbuhan
yang berpotensi sebagai bahan baku pembuatan biodiesel. Jarak, kelapa, dan
kelapa sawit merupakan beberapa tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai
bahan baku biodiesel karena memiliki kandungan minyak yang tinggi dan tersedia
dalam jumlah cukup melimpah. (Hambali, 2007).
Mikroalga

sebagai

alternatif

pengembangan

energi

berkelanjutan

merupakan salah satu dari sekian banyak alternatif sumber bahan baku lipid
menjanjikan karena efisiensi fotosintesi tinggi dalam memproduksi biomassa.
Mikroalga memiliki laju produktifitas dan pertumbuhan yang cepat bila
dibandingkan dengan tanaman penghasil lipid lainnya. Kultivasi mikroalga tidak
memerlukan lahan yang luas dan subur sehingga tidak akan berkompetisi dengan

produksi tanaman pangan. Mikroalga juga memiliki kemampuan memperbaiki


CO2 di atmosfir. Mikroalga merupakan Fluegases atau karbon yang terlarut di
dalam selnya selama masa pertumbuhan. Mikroalga dapat menangkap energi
matahari dengan efisiensi 10-50 kali lebih besar dibandingkan dengan tanaman
terestrial lain sehingga dapat mengurangi unsur karbon (Ferrell & Reed, 2010 dan
Brennan & Owende, 2010).
Jenis mikroalga yang mudah diperoleh yaitu Chlorella Sp. Alga jenis ini
mudah dikembangbiakan. Chlorella Sp mempunyai kandungan minyak sebesar
28-32% sehingga sangat cocok untuk dikembangkan sebagai salah satu bahan
baku pembuatan biodiesel. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses
pembuatan biodiesel dari mikroalga Chlorella sp, menentukan kondisi operasi
optimal pembuatan biodiesel dari mikroalga Chlorella sp, menentukan jumlah
katalis dalam pembuatan biodiesel dari mikroalga Chlorella sp, dan menentukan
pengadukan optimum pembuatan biodiesel dari mikroalga Chlorella sp.
Mikroalga dapat menghasilkan 30 kali lebih banyak minyak dibandingkan
tanaman darat. Hasil penelitian terakhir menyimpulkan, rata-rata produktivitas
mikroalga mencapai 15-23 gram per m2 per hari, sehingga dalam satu hektar (ha)
lahan budidaya menghasilkan minyak 15,8-37,5 ton per ha per tahun. Asumsinya,
rendemen minyak mikroalga antara 30-50% dan masa hidup efektif sekitar 300
hari.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses pembuatan biodiesel dari mikroalga Chlorella sp?
2. Bagaimana menentukan kondisi operasi optimal pembuatan biodiesel dari
mikroalga Chlorella sp?
3. Bagaimana menentukan jumlah katalis dalam pembuatan biodiesel dari
mikroalga Chlorella sp?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui proses pembuatan biodiesel dari mikroalga Chlorella sp?

2. Menentukan kondisi operasi optimal pembuatan biodiesel dari


mikroalga Chlorella sp?
3. Menentukan jumlah katalis dalam pembuatan biodiesel dari mikroalga
Chlorella sp?
1.4 Manfaat
Dari penulisan makalah ini dapat diketahui informasi konversi terhadap
minyak mikroalga Chlorella sp bermanfaat untuk mendapatkan biodiesel
sebagai bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan sebagai pengganti
bahan bakar fosil.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Mikroalga
Mikroalga merupakan tumbuhan renik berukuran mikroskopik (diameter
antara 3-30 m) yang termasuk kelas alga dan hidup sebagai koloni maupun sel
tunggal di seluruh perairan tawar maupun laut. Mikroalga termasuk eukariotik,
umumnya bersifat fotosintetik dengan pigmen fotosintetik hijau (klorofil), coklat
(fitosantin), biru kehijauan (fikobilin), dan merah (fikoeritrin). Morfologi
mikroalga berbentuk uniseluler atau multiseluler tetapi belum ada pembagian
fungsi organ yang jelas pada sel-sel komponennya. Hal itulah yang membedakan
mikroalga dengan tumbuhan tingkat tinggi lainnya (Romimohtarto, 2004).
Mikroalga di klasifikasikan menjadi empat kelompok antara lain: diatom
(Bacillariophyceae), alga hijau (Chlorophyceae), alga emas (Chrysophyceae) dan
alga biru (Cyanophyceae). Penyebaran habitat mikroalga biasanya di air tawar
(limpoplankton) dan air laut (haloplankton). Berdasarkan distribusi vertikal di
perairan, mikroalga dikelompokkan menjadi tiga yaitu hidup di zona euphotik
(ephiplankton), hidup di zona disphotik (mesoplankton), hidup di zona aphotik
(bathyplankton) dan

yang

hidup

di dasar perairan/ bentik (hypoplankton)

(Isnansetyo & Kurniastuty, 1995).


Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroalga diantaranya
faktor abiotik (cahaya matahari, temperatur, nutrisi, O2, CO2, pH, salinitas), faktor
biotik (bakteri, jamur, virus, dan kompetisi dengan mikroalga lain), serta faktor
teknik (cara pemanenan, dll). Mikroalga dapat tumbuh dengan sangat cepat pada
kondisi iklim yang tepat. Umumnya, mikroalga menduplikasikan diri dalam
jangka waktu 24 jam atau bahkan 3,5 jam selama fasa pertumbuhan eksponensial
(Chisti, 2007).
Mikroalga merupakan kelompok organisme yang sangat beragam dan
memiliki berbagai potensi salah satunya sebagai sumber biomasa yang
mengandung komponen-komponen bermanfaat tinggi seperti protein, karbohidrat,
asam lemak, dll. Jenis produk yang dihasilkan dari produksi biomasa mikroalga
bervariasi, mulai dari produk pangan, pakan, hingga fine chemical, termasuk

trigliserida yang dapat dikonversi menjadi biodiesel. Proses produksi dari


konversi biomasa mikroalga menjadi produk-produk diatas sebagian besar
terjangkau secara ekonomi dan memiliki pangsa pasar produk yang terus
berkembang. Selain itu, mikroalga merupakan sumber daya alam terbaharukan
yang tergolong biomasa dengan biodiversitas tinggi. Berdasarkan pada
perkembangan bioteknologi saat ini dan biodiversitas mikroalga yang tinggi,
mikroalga dapat dikembangkan menjadi bahan baku berbagai produk baru yang
dapat diaplikasikan di berbagai bidang termasuk industri pangan, energi dan
farmasi (Handayani & Arianty, 2012).
2.2 Biodiesel
Biodiesel (Fatty Acid Methyl Ester/FAME) adalah bahan bakar bersifat non
toksik dan biodegradable diperoleh dari sumber daya alam terbarui. Biodiesel
merupakan salah satu bahan bakar alternatif karena penggunaan biodiesel dapat
menurunkan emisi CO2, Sox, dan hidrokarbon tidak terbakar dibanding dengan
penggunaan bahan bakar fosil (Abreu et al., 2003).
2.2 Biodiesel dari mikroalga
Biodiesel merupakan salah satu jenis biofuel yang menjanjikan dan dapat
diperoleh dari minyak nabati, lemak hewani atau minyak bekas melalui proses
transesterifikasi. Transesterifikasi adalah penggantian gugus alkohol dari ester
dengan alkohol lain dalam suatu prosesyang menyerupai hidrolisis, namun
berbeda dengan hidrolisis dimana pada proses transesterifikasi bahan yang
digunakan bukan air melainkan alkohol (Ozgul & Turkay, 1993).
Biodiesel terbuat dari minyak nabati dan lemak hewani yang mengandung
trigliserida. Trigliserida terdiri dari tiga rantai asam lemak yang digabungkan oleh
molekul gliserol. Proses pembuatan biodiesel atau transesterifikasi merupakan
proses penggantian molekul gliserol dengan methanol yang kemudian membentuk
fatty acid methyl ester (FAME) yang disebut biodiesel (John et al., 2011). Proses
transesterifikasi secara kimiawi dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Proses transesterifikasi biodiesel (Zhang et al., 2003)


Proses pembuatan biodiesel harus memenuhi beberapa parameter seperti:
kontinuitas bahan baku harus terjaga; ongkos produksi harus lebih rendah dari
produksi minyak bumi; produk yang dihasilkan harus memenuhi standar bahan
bakar. Berdasarkan parameter tersebut, mikroalga merupakan biomasa yang
potensial untuk digunakan sebagai bahan baku produksi biodiesel karena tingkat
pertumbuhannya sangat tinggi serta memiliki fraksi lipid yang dapat digunakan
sebagai bahan baku biodiesel. Lemak dalam mikroalga terdiri dari gliserol, asam
lemak jenuh atau asam lemak tak jenuh. Komposisi lemak pada masing-masing
mikroalga dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti perbedaan nutrisi, lingkungan
dan fasa pertumbuhan. Beberapa jenis mikroalga berpotensi sebagai sumber
minyak. Kandungan minyak mikroalga bervariasi tergantung jenis mikroalganya.
Tabel 1. Komposisi kandungan minyak pada beberapa spesies mikroalga

Banyak teknologi yang diteliti untuk mengekstraksi minyak (lipid) dari


mikroalga, namun hanya beberapa teknologi yang umum digunakan. Teknologi

tersebut antara lain: expeller/ pengepresan minyak, ekstraksi cair-cair dengan


menggunakan solven, supercritical fluid extraction (SFE), dan teknik ultrasound.
2.3 Chlorella sp
Chlorella sp adalah genus ganggang hijau bersel tunggal yang hidup di air
tawar, laut, dan tempat basah. Ganggang ini memiliki tubuh seperti bola. Di dalam
tubuhnya terdapat kloroplas berbentuk mangkuk. Perkembangbiakannya terjadi
secara vegetatif dengan membelah diri. Setiap selnya mampu membelah diri dan
menghasilkan empat sel baru yang tidak mempunyai flagel. Ganggang ini sering
digunakan di laboratorium untuk penyelidikan fotosintesis. Chlorella merupakan
salah satu jenis fitoplankton yang banyak digunakan untuk berbagai keperluan,
seperti digunakan sebagai makanan rotifera, bahan baku biodiesel atau sebagai
media budidaya larva ikan
Dua hal penting berkaitan dengan jenis alga yang mempunyai fatty acid
tinggi yaitu keuntungan produksi dan karakteristik dari minyak alga. Mikroalgae
yang berpotensi untuk dibudidayakan baik sebagai pakan alami di bidang
perikanan maupun sebagai sumber energi alternatif baru terdapat beberapa jenis,
diantaranya yaitu Chlorella , Skeletonema costatum, Tetraselmis, Dunaliella,
Chaetoceros, dan Spirulina (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).

Mikroalga paling ekonomis menghasilkan bioetanol dibandingkan sember


nabati lainnya karena memiliki kandungan karbohidrat, lemak, dan protein yang
tinggi selain itu waktu panennya relatif cepat, perawatan lebih mudah, tidak
memerlukan lahan yang terlalu luas, dan pertumbuhannya pun jauh lebih cepat
10-20 kali lipat. Chlorella sp memiliki keuntungan lain yaitu mampu menyerap
karbondioksida dan mengkonversikannya menjadi oksigen. Sebanyak 90% dari
bobot kering alga mikro menyerap karbondioksida sehingga mampu mengurangi
gas itu sampai 1.000 ton/ha/tahun (Laves & Sorgeloos, 1996).
Chlorella sp. memiliki berbagai jenis asam lemak bebas termasuk rantai
sedang asam lemak (C10-C14), rantai panjang asam lemak (C 16-C18), dan rantai
asam lemak yang lebih panjang (>C20). Kondisi tertentu mikroalga akan
mengubah jalur biosintetik lipidnya menjadi netral (20-50%) dan TGs apabila
dalam kondisi stres. Mikroalga jenis glikolipid tersimpan di dalam membran
sedangkan TGs tersimpan didalam sitoplasma. Terdapat beberapa jenis alga yang
menyimpan lemak-lemaknya di dalam ruang-ruang tilakoid dalam kloroplastnya.
Umumnya komposisi asam lemak dari mikroalga merupakan campuran dari asam
lemak tak jenuh (unsaturated fatty acids) seperti asam palmitoleat (C16:1), asam
oleat (C18:1), asam linoleat (C18:2) and asam linolenat (C18:3). Asam lemak-asam
lemak jenuh seperti asam palmitat (C16:0) dan asam stearat (C18:0) juga ditemukan
dalam jumlah kecil (Rachmaniah, dkk., 2010).

BAB 3. METODOLOGI PERCOBAAN


3.1
3.1.1
-

Alat dan Bahan


Alat
Pendingin balik
Kompor listrik
Klem
Statif
Magnetic stirer
Corong pisah
Batang pengaduk
Beaker gelas 250 ml
Ppipet 25 ml
Termostat
Labu takar
Corong
Oven
Buret
Penyangga
GC-MS

3.1.2
-

Bahan
Mikroalga chlorella kering
Metanol
KOH
Akuades

3.2
3.2.1

Rancangan Penelitian
Diagram Alir Penelitian
Mikroalga

Transesterifikasi in-situ

Ekstraksi Minyak

Analisis GC-MS

Hasil

3.2.2

Prosedur Penelitian
Biodiesel dibuat dengan proses reaksi dua tahap in-situ dimana proses

esterifikasi dengan mereaksikan 40 gram Chlorella sp dengan larutan methanol


dalam labu leher dua yang dilengkapi termostat pada suhu 50 0C dengan
pengadukan konstan menggunakan magnetic stirer selama 30 menit. Kemudian
proses dilanjutkan dengan transesterifikasi in-situ. Campuran hasil reaksi
didinginkan selama 10 menit untuk menghentikan reaksi. Kemudian hasil reaksi
dipisahkan untuk memisahkan antara endapan (chlorella Sp) dan FAME. FAME
kemudian diekstraksi menggunakan 50 mL n-hexane. Akan terbentuk gliserol
(lapisan bawah) dan FAME (lapisan atas). Fase FAME ini dicuci dengan air (T=50
C) sebanyak 3x50 mL untuk mengambil gliserol yang masih terikut dalam
FAME. Mengambil FAME (lapisan atas) sebagai hasil, lalu mendestilasi FAME
tersebut untuk memisahkan FAME dari solvent (heksan) . Memasukkan dalam
oven pada suhu 80C untuk menghilangkan sisa solvent dan air . Kemudian
biodiesel yang diperoleh dianalisis

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Biodiesel dari Mikroalga Chlorella sp
Pada penelitian ini, digunakan mikroalga Chlorella Sp sebagai bahan baku
pembuatan biodiesel. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji sifat fisik dan kimia
biodiesel yang diperoleh dari mikroalga Chlorella Sp dan membandingkannya
dengan minyak solar dari minyak bumi dengan standart SNI. Sifat fisik dan kimia
dari uji kualitas biodiesel Chlorella Sp dibandingkan dengan biodiesel standar SNI
dan minyak solar dari minyak bumi disajikan pada tabel 4.1 di bawah ini.
Tabel 4.1 Perbandingan Karakteristik Biodiesel Hasil Percobaan dan Literatur
Standar SNI

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa karakteristik fisik densitas, viskositas dan angka
setana biodiesel pada hasil percobaan telah memenuhi karakteristik yang
ditetapkan standart mutu biodiesel SNI dan minyak solar hasil minyak bumi.
Untuk karakteristik kimia bilangan penyabunan dan angka asam juga telah
memenuhi standart.
4.2 Analisa Biodiesel dari Mikroalga Chlorella sp
4.2.1 Analisa Angka Setana
Angka setana (cetane number) adalah prosentase volume setana dalam
campurannya dengan alphamethyl napthalen (C10H7CH3) yakni suatu senyawa
hidrokarbon aromatis yang memiliki kelambatan penyalaan besar dan mempunyai
kualitas sama dengan bahan bakar diesel (Hardjono, 1987:74). Angka setana
menunjukkan kemampuan bahan bakar menyala dengan sendirinya dalam ruang
bakar motor diesel. Semakin tinggi angka setana, semakin cepat pembakaran
semakin baik efisiensi termodinamisnya. Untuk mengetahui nilai dari cetane
number digunakan pendekatan dengan CCI (Calculate Cetane Index) dimana
nilainya bergantung pada besarnya API gravity atau density. Parameter angka
setana biodiesel dari chlorella sp dapat dilihat pada gambar 4.1

Gambar 4.1. Angka setana Biodiesel Chlorella sp dengan Variasi Konsentrasi


Katalis KOH dan suhu
Gambar 4.1 menunjukkan bahwa karakteristik angka setana biodiesel hasil
percobaan telah memenuhi karakteristik yang ditetapkan standart mutu biodieel
SNI dan minyak solar hasil minyak bumi. Angka setana biodiesel Chlorella sp
adalah 51,17 53,58 lebih tinggi dari persyaratan SNI Biodiesel yaitu minimal
51. Angka setana berkaitan dengan kandungan kalor dalam bahan yang diperlukan
untuk menggerakkan mesin diesel agar dapat bekerja dengan baik (Soerawidjaja
dkk. 2005). Angka setana yang tinggi berpengaruh signifikan terhadap waktu
singkat yang diperlukan antara bahan bakar diinjeksikan dengan inisiasi sehingga
menyebabkan start yang baik dan suara yang halus pada mesin (Mittelbach dan
Remschmidt, 2004). Angka setana yang lebih tinggi akan memastikan start yang
baik dan meminimalkan pembentukan asap putih (Zuhdi, 2002). Angka setana
biodiesel berkaitan dengan komposisi asam lemak yang terkandung dalarn
biodiesel tersebut. Biodiesel yang mengandung asam lemak jenuh dengan rantai
karbon panjang (asam laurat, miristat, palmitat, stearat, arakhidat dan lain-lain)
yang tinggi mempunyai angka setana yang tinggi (Zuhdi, 2002).
4.2.2 Analisa Angka Asam
Penentuan angka asam sampel biodiesel dilakukan dengan metode analisa
standart untuk angka asam. Parameter angka asam biodiesel dari chlorella sp
dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Angka Asam Biodiesel Chlorella sp dengan Variasi Perbandingan
reaktan pada suhu 50 0C

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa karakteristik angka asam biodiesel hasil percobaan
telah memenuhi karakteristik yang ditetapkan literature. Nilai angka asam ini ratarata hampir melebihi batas maksimal angka asam syarat mutubiodiesel menurut
SNI-04-7182-2006, yaitu 0,8 mg KOH/ g minyak. Angka asam yang tinggi dapat
menyebabkan endapan dalam sistem bakar dan juga merupakan indikator bahwa
bahan bakar tersebut dapat berfungsi sebagai pelarut yang dapat mengakibatkan
penurunan kualitas pada sistem bahan bakar (Soerawidjaja dkk. 2005). Makin
tinggi angka asam makin rendah kualitas biodieselnya (Mittelbach dkk, 2004).
Angka asam yang tinggi diasosiasikan terjadi korosi pada media (Mittelbach dkk,
2004) disamping itu juga dapat mengurangi umur dari rompa dan filter
(Soerawidjaja dkk. 2005).
4.2.3 Analisa Angka Penyabunan
Angka penyabunan adalah banyaknya milligram KOH yang dibutuhkan
untuk menyabunkan 1 gram contoh biodiesel (Dogra dkk. 2005). Angka
penyabunan dalam penelitian ini ditentukan dengan proses titrimetri. Pengaruh
konsentrasi katalis KOH terhadap angka penyabunan biodiesel dapat dilihat pada
Tabel 4.3. Tabel 4.3 Angka Penyabunan Biodiesel chlorella sp dengan Variasi
Konsentrasi Katalis KOH

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa karakteristik angka penyabunan biodiesel hasil


percobaan telah memenuhi karakteristik yang ditetapkan literatur. Dari hasil
perhitungan, angka sabun biodiesel dari masing-masing sampel telah sesuai
dengan syarat mutu biodiesel menurut SNI-04-7182-2006 sebesar < 500, yaitu
antara 267,7 354,2 mg KOH/gram. Pada tabel 4.3 terlihat kenaikan angka
penyabunan pada penggunaan katalis basa yang berlebih dan suhu tinggi.
Dalamreaksi transesterifikasi penggunaan katalis basa yang berlebih dan suhu
tinggi akan menyebabkan terjadinya reaksi penyabunan pada pembuatan
biodiesel. Hal ini terjadi karena minyak (trigliserida) telah tersabunkan pada saat
penggunaan konsentrasi katalis konsentrasi katalis dan suhu tinggi, sehingga HCl
yang dibutuhkan untuk mengetahui KOH berlebih juga semakin kecil (angka
penyabunan semakin kecil) (Soerawidjaja dkk. 2005).
4.2.4 Analisa Massa jenis
Massa jenis adalah perbandingan berat dari suatu volume contoh dengan
berat air pada volume dan suhu yang sama (Ketaren, 1986). Pengaruh konsentrasi
katalis dan suhu proses terhadap massa jenis disajikan berturut-turut pada Gambar
4.2., Gambar 4.3., dan Gambar 4.4. Pada Gambar 4.2 terlihat bahwa kenaikkan
konsentrasi katalis dengan metode esterifikasi in-situ , berdampak pada kenaikkan
massa jenis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa massa jenis biodiesel terendah
pada konsentrasi katalis KOH 0,5 %-b. Sedangkan massa jenis biodiesel paling
tinggi pada konsentrasi katalis KOH 2%-b.

Gambar 4.2. Pengaruh kadar katalis pada bergai perbandingan reaktan terhadap
massa jenis biodiesel
Menurut Peterson (2001), penggunaan katalis basa yang berlebih akan
menyebabkan reaksi penyabunan. Hal ini memungkinkan adanya zat pengotor
seperti sabun kalium dan gliserol hasil reksi penyabunan, asam-asam lemak yang
tidak terkonversi menjadi metil ester (biodiesel), air, kalium hidroksida sisa,
kalium metoksida sisa ataupun sisa metanol yang menyebabkan massa jenis
biodiesel menjadi lebih besar begitu sebaliknya jika penggunaan katalis basa kecil
menyebabkan massa jenis biodiesel menjadi rendah.

Gambar 4.3. Pengaruh suhu pada berbagai perbandingan mol reaktan terhadap
massa jenis biodiesel

Gambar 4.4. Pengaruh katalis pada berbagai suhu terhadap massa jenis biodiesel
Pada Gambar 4.3. Terlihat bahwa semakin tinggi suhu proses berdampak pada
kenaikkan massa jenis . Massa jenis biodiesel pada suhu 60 oC lebih tinggi
dibandingkan pada suhu 50oC dan 40oC. Hal ini disebabkan penggunaan suhu
tinggi (60oC) pada reaksi transesterifikasi akan meningkatkan reaksi penyabunan.
Sehingga zat-zat pengotor yang terbentuk menyebabkan massa jenis biodiesel
menjadi lebih besar (Pasang, 2007). Gambar 4.4. menunjukkan semakin tinggi
suhu dan semakin besar konsentrasi katalis massa jenis yang diperoleh semakin
besar. Massa jenis sampel dari keempat konsentrasi katalis dan suhu operasi telah
sesuai dengan syarat mutu biodiesel menurut SNI-04-7182-2006.
4.2.5 Analisa Viskositas
Gambar 4.5., Gambar 4.6., dan Gambar 4.7. berturut-turut menyajikan Pengaruh
konsentrasi katalis dan suhu proses terhadap viskositas.

Gambar 4.5. Pengaruh katalis pada berbagai perbandingan mol reaktan terhadap
viskositas biodiesel
Gambar 4.5 menyajikan pengaruh kenaikkan konsentrasi katalis terhadap
viskositas. Semakin tinggi konsentrasi katalis, viskositasnya cenderung menurun.
Karena semakin banyak persen katalis yang diberikan akan semakin cepat pula
terpecahnya trigliserida menjadi tiga ester asam lemak yang akan menurunkan
viskositas 5-10 persen (Prihandana, 2006:37).

Gambar 4.6. Pengaruh Suhu pada berbagai perbandingan mol reaktan terhadap
viskositas biodiesel
Semakin tinggi suhu proses dan konsentrasi katalis berdampak pada penurunan
viskositas, hal ini disajikan pada gambar 4.7.

Gambar 4.7. Pengaruh Suhu pada berbagai konsentrasi katalis terhadap viskositas
biodiesel
Fenomena yang sama terjadi pada viskositas biodiesel seperti yang tersaji
pada Gambar 4.6. Sama seperti pada penurunan viskositas dengan meningkatnya
suhu. Peristiwa perubahan viskositas dapat dijelaskan dengan teori termodinamika
yang menyatakan bahwa semakin tinggi temperatur suatu fluida, molekul fluida
akan bergerak cepat sehingga secara makro akan meningkatkan tekanan. Jika
tidak terdapat batas pada materi tersebut maka materi akan mengembang dan
memperlebar jarak antar molekulnya. Jarak antar molekul yang lebar akan
mengakibatkan viskositas semakin menurun (Peterson, 2001). Dari gambar 4.7,
viskositas kinematik biodiesel dari masing-masing sampel telah sesuai dengan
syarat mutu biodiesel menurut SNI-04-7182-2006, yaitu antara 2,3-6,0 cst.
Viskositas yang terlalu tinggi dapat memberatkan beban pompa dan menyebabkan
pengkabutan yang kurang baik
(Soerawidjaja,2003). Soerawidjaja dkk. (2005) menjelaskan, viskositas
kinematik adalah ukuran mengenai tekanan aliran fluida karena gravitasi, dimana
tekanan sebanding dengan kerapatan fluida yang dinyatakan dengan centistoke
(cSt). Viskositas yang terlalu tinggi akan membuat bahan bakar teratomisasi
menjadi tetesan yang lebih besar sehingga akan mengakibatkan deposit pada
mesin. Tetapi apabila viskositas terlalu rendah akan memproduksi spray yang
terlalu halus sehingga terbentuk daerah rich zone yang menyebabkan terjadinya
pembentukan jelaga (Prihandana, 2006:64).
4.3 Pengaruh Perbandingan Reaktan terhadap Konversi Reaksi

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan reaktan yang optimum


terhadap konversi yang diperoleh. Pengaruh Perbandingan Metanol terhadap
Konversi Reaksi disajikan pada gambar 4.8. Pada gambar 4.8 terlihat bahwa
kenaikan perbandingan reaktan berdampak pada kenaikan konversi pada
pembuatan biodiesel.

Dari gambar 4.8 menunjukkan bahwa konversi tertinggi didapatkan pada


perbandingan reaktan 1:40. Pada perbandingan reaktan menunjukkan semakin
tinggi perbandingan reaktan akan diperoleh konversi yang semakin besar untuk
suhu yang sama. Hal ini dikarenakan pemakaian salah satu reaktan yang berlebih
akan memperbesar kemungkinan tumbukan antara molekul zat yang bereaksi
sehingga kecepatan reaksinya bertambah besar. Rasio molar metanol 1:40
digunakan untuk proses transesterifikasi oleh (Freedman dkk, 1984) dan
Markopala (2010), Damoko dan Oleryan (2000) . Pada perbandingan reaktan 1:35
adalah perbandingan reaktan yang optimum, untuk perbandingan reaktan 1:40
konversi yang dihasilkan cenderung tetap karena trigliserida kemungkinan telah
habis bereaksi (Freedman dkk, 1984), selain itu metanol yang digunakan adalah
metanol teknis. Metanol tersebut masih mengandung air, di mana keberadaan air
ini akan menyebabkan reaksi bergeser ke arah kiri. Reaksi esterifikasi merupakan
reaksi reversible yang menghasilkan produk samping berupa air.

Selain air yang terkandung di dalam metanol, keberadaan air dari hasil reaksi juga
akan menghambat reaksi, karena air yang berada di dalam reaktor akan
menghidrolisis metil ester yang dihasilkan (Prihandana, 2006:64).
4.4 Pengaruh Katalis terhadap Konversi Reaksi
Jumlah katalis adalah faktor lain yang mempengaruhi konversi produk (Freedman
et al, 1984). Mengingat tingginya kandungan asam lemak dalam minyak chlorella
sp, digunakan variasi jumlah katalis asam: 0.5%, 1%, 1.5%, dan 2% (% berat).
Hasil analisa untuk mengetahui jumlah katalis optimum ditampilkan Gambar 4.9.

Gambar 4.9. Pengaruh konsentrasi katalis pada berbagai suhu terhadap konversi
biodiesel
Pada gambar 4.9 menunjukkan bahwa pada konsentrasi katalis 0,5 % sampai
konsentrasi 1,5%, semakin besar konsentrasi katalis KOH, maka konversi yang
terbentuk juga semakin besar. Sedangkan pada konsentrasi KOH 2% konversi
yang diperoleh cenderung konstan. Masih adanya asam lemak bebas sisa yang
tidak bereaksi cenderung membentuk reaksi penyabunan dengan katalis KOH
dalam jumlah besar yaitu di atas 1,5%. Adanya sabun pada reaksi transesterifikasi
akan menghambat pembentukan produk (metil ester) sehingga hasil yang didapat
tidak menunjukkan kenaikan yang signifikan (Prihandana, 2006:64). Sabun pada

hasil transesterifikasi akan meningkatkan viskositas dari biodiesel dan


mengganggu pemisahan gliserol. Berdasarkan Gambar 4.9 dengan pemakaian
katalis 1,5%, memberikan peningkatan konversi yang lebih besar dibanding
penggunaan katalis 0,5% dan katalis 1%. Dengan demikian pemakaian katalis
1,5% adaIah paling sesuai. Konsentrasi katalis KOH 1,5% juga digunakan oleh
Fredman et at 1984: Markopala (2010); dan Riski (2009) untuk proses
transesterifikasi biodiesel dari minyak dedak.
4.5 Pengaruh Suhu terhadap Konversi Reaksi
Suhu reaksi yang digunakan untuk proses transesterifikasi sebaiknya tepat
karena suhu yang berlebih menyebabkan pemborosan sebaiknya jika suhu yang
digunakan kurang mengakibatkan reaksi transesterifikasi tidak sempurna.
Percobaan untuk mempelajari pengaruh suhu reaksi esterifikasi dilakukan dengan
mengubah-ubah suhu reaksi untuk setiap percobaan (40, 50, 60 C). sedangkan
untuk waktu esterifikasi dan jumlah katalis dibuat tetap yaitu 50 menit dan 1,5%
v/v. Pengaruh suhu terhadap Konversi Reaksi disajikan pada gambar 4.10. Pada
gambar 4.10 terlihat bahwa kenaikan suhu berdampak pada kenaikan konversi
pada pembuatan biodiesel.

Gambar 4.10. Pengaruh suhu pada berbagai perbandingan mol reaktan terhadap
konversi biodiesel
Pada gambar 4.10 menunjukkan fenomena bahwa semakin tinggi suhu reaksi
yang dioperasikan sampai dengan 60 oC, maka konversi metil ester semakin besar.
Hal ini terjadi karena dengan naiknya suhu, maka tumbukan antar partikel
semakin besar, sehingga reaksi berjalan semakin cepat dan konstanta reaksi

semakin besar. Reaksi esterifikasi biodiesel dengan metanol menjadi Fatty Acid
Methyl Ester (FAME). Reaksi pembentukan biodiesel dengan metanol merupakan
reaksi endotermis (Vieville et al, 1993), sehingga apabila suhu reaksi dinaikkan,
maka kesetimbangan akan bergeser ke kanan/ke produk (Dogra, 1990).
Peningkatan laju reaksi ini disebabkan oleh meningkatnya konstanta laju reaksi
yang merupakan fungsi dari temperatur. Semakin tinggi temperaturnya, maka
semakin besar konstanta laju reaksinya. Hal ini sesuai dengan persamaan
Archenius :
k = A exp(-Ea/RT)
k = konstanta laju reaksi
A = frekuensi tumbukan
R = konstanta gas
T = temperatur
Ea = energi aktivasi
Pada gambar 4.10 terlihat kenaikan suhu dari 50C ke suhu 60C pada
perbandingan reaktan 1:40 berimpit dengan perbandingan reaktan 1:35. Suhu
60C juga digunakan untuk transesterifikasi minyak jarak oleh Damoko dan
Oleryan (2000), Riski. (2009) dan Sudradjat, dkk (2005).
4.6 Analisa Hasil Biodiesel Menggunakan GC-MS
Analisa ini dilakukan untuk mengetahui terbentuknya metil ester. Analisa
dengan GC-MS dipakai untuk mengetahui jenis senyawa yang terkandung di
dalam metil ester dari chlorella sp. Analisis ini menghasilkan puncak-puncak
spektra yang masing-masing menunjukkan jenis metil ester yang spesifik. Hasil
analisa GC-MS ditunjukkan pada Gambar 4.11.

Gambar 4.11. Kromatografi Gas Metil Ester dari Biodiesel pada perbandingan
mol reaktan 1:35, suhu 60 oC dan katalis 1,5 % -b
Berdasarkan data GC, maka berbagai jenis metil ester yang ada pada biodiesel
dapat ditentukan. Analisis senyawa biodiesel dilakukan terhadap puncak-puncak
fragmentasi yang dapat diidentifikasikan sebagai senyawa biodiesel berdasarkan
pada kemiripan dengan senyawa standar. Suatu senyawa dikatakan mirip dengan
senyawa standar jika memiliki berat molekul yang sama, pola fragmen yang
mirip, dan harga SI (indeks kemiripan) yang tinggi. Kandungan metil ester pada
biodiesel ditunjukkan pada Tabel 5.

Dari

tabel

5.

diperoleh

beberapa

senyawa

penyusun

dari

biodiesel

Chlorella Sp, dengan komponen penyusun biodiesel methil ester Methil palmitate
dan Methil Palmitoleat. Senyawa utama yang merupakan komponen-komponen
utama dari senyawa yang terkandung dalam biodiesel tersebut dilihat dari
besarnya prosentase senyawa. Senyawa lain yang dihasilkan dari analisa dengan
Kromatografi Gas, kemungkinan merupakan alkil ester turunan dari masing
masing asam lemaknya. Di dalam biodiesel kandungan metil ester paling besar
adalah metil ester palmitate yang ditunjukkan oleh puncak nomor 10 dengan
kandungan senyawa sebesar 30,24%. Selain itu analisa GC dimaksudkan untuk
mengetahui ada tidaknya kandungan FAME yang sama dari Chlorella-biodiesel
dengan minyak diesel dari Pertamina.

BAB 4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Hasil dari analisa GC-MS telah terbentuk biodiesel dengan kandungan
utama berupa metil ester metil palmitat sebesar 30,24%. Biodiesel dari mikroalga
Chlorella Sp dengan proses esterifikasi in-situ telah memenuhi standart mutu
biodiesel SNI dengan konversi yang diperoleh sebesar 36,34 %

DAFTAR PUSTAKA
Abreu, F.R., Lima, D. G., Hamu, E. H., Wolf, C., dan Suarez P. A. Z. 2003.
Utilizations of Metal Complexes as Catalyst in The Transesterification of
Brazilian Vegetables Oils with Different Alcohols. J. Mol Catal. A Chem.
209.
Andrews, R., Kunlei L., Mark C., Czarena C., and Aubrey S. 2008. Feasibility of
capture and utilization of CO2 from kentucky power plants by algae systems.
Technical Review of the

Literature Related to the Cultivation and

Harvesting of Algae for CO2 Fixation and the Co-Production of Fuels and
Chemicals. USA: University of Kentucky. 21 pp.
Banarjee, A., Sharma, R., Chisty, Y., and Banarjee, U.C. 2002. Botryococcus
braunii: A renewable source of hydrocarbons and other chemicals. Critical
Reviews in Biotechnology. (22) 3: 245-279.
Brennan, L., and Owende, P. 2010. Biofuels from microalgae - A review of
technologies for production, processing, and extractions of biofuels and coproducts. Renewable and Sustainable Energy Reviews. 14(2): 557-577.
http://dx.doi.org/10.1080/20013891081692.
Chaiklahana, R., Chirasuwana, N., Loha, V., and Bunnag, B. 2008. Lipid and fatty
acids extraction from the cyanobacterium Spirulina. Science Asia. 34: 299
305.
Chisti, Y. 2007. Biodiesel from microalgae. Biotechnology Advances. 25: 294
306.
Dayananda, C., Sarada, R., Komar, V., and Ravishankar, G.A. 2007. Isolation and
characterization of hydrocarbon producing green alga Botryococcus braunii
from Indian freshwater bodies. Electronic Journal of Biotechnology. 1 (10):
80-91.
Frenz, J., Largeau, C., Casadevall, E., Kollerup, F., and D au g u lis , A .J . 1 9 8
9 . Hydrocarbon recovery and biocompatibility of solvents for extraction
from cultures of Botryococcus braunii. Biotechnology and Bioengineering.
34 (6): 755762.

Gouveia, L. and Oliveira, A.N. 2009. Microalgae as a raw material for biofuels
production. J. Ind Microbiol Biotechnol. 36: 269-274.
Hambali E., 2007. Teknologi Bioenergi. Bogor: PT. Agromedia Pustaka.
Handayani, N.A. dan D. Ariyanti. 2012. Potensi mikroalga sebagai sumber
biomasa dan pengembangan produk turunannya. Jurnal Teknik. 33 (2): 5863.
Hillen, L.W., Pollard, G., Wake, L.V., and W hite, N. 1982. Hydrocracking of the
oils of

Botryococcus braunii to transport fuel.

Biotechnology and

Bioengineering. 24: 193205.


Isnansetyo, A. dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Fitoplankton dan
Zooplankton. Yogyakarta: Kanisius.
John, R.P., Anisha, G.S., Nampoothiri, K.M., and Pandey, A. 2011. Micro and
macroalgal biomass: A renewable source for bioethanol. Bioresource
Technology. 102: 186193.
Kabinawa, I.N.K. 2008. Biodiesel Energi Terbarukan dari Mikroalga. Warna
Pertamina. (9): 31-35.
Kawaroe M., Prartono T., Sunuddin A., Wulan Sari D., Augustine D. 2010.
Mikroalga Potensi dan Pemanfaatannya untuk Produksi Bio Bahan Bakar.
Bogor: IPB Press.
McMichens, R.B. 2009. Algae as a Source for Biodiesel. Paper of University of
Maryland, College Park library (unpublished). 40 pp
Metzger, P., Berkaloff, C., Casadevall, E., and Coute, A. 1985. Alkadeine and
botryococcene producing races of wild strains of Botryococcus braunii.
Phytochemistry. 24: 2305-2312.
Metzger, P. and Largeau, C. 2005. Botryococcus braunii: A rich source for
hydrocarbons and related ether lipids. Application Microbiology
Biotechnology. (66) 5: 486-496.
Ozgul, S. and Turkay, S. 1993. In situ esterification of rice brand oil with
methanol and ethanol. J American Oil and Chemical Society. 70: 145-147
Romimohtarto, K. 2004. Meroplankton Laut: Larva Hewan Laut yang Menjadi
Plankton. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Zhang, Y., Dube, M.A., McLean, D.D., and Kates, M. 2003. Biodiesel production
from waste cooking oil: process dssign and technological assesment.
Biosource Technology. 89: 1-16

Anda mungkin juga menyukai