Anda di halaman 1dari 4

5 NILAI BUDAYA KERJA KEMENTERIAN AGAMA UNTUK PAI YANG TOLERAN

Sekretaris Ditjen Pendidikan Islam, Ishom Yusqi menegaskan bahwa 5 nilai budaya kerja
Kementerian Agama harus diterapkan oleh guru dan pengawas PAI dalam rangka
mewujudkan pendidikan agama Islam yang toleran. Hal tersebut disampaikan Ishom pada
kegiatan pengembangan pembelajaran dan penilaian PAI di Bogor.

Menurutnya, integritas, profesionalitas, inovasi, tanggung jawab, dan keteladanan adalah


modal keberhasilan pendidikan nasional untuk menciptakan peserta didik yang beriman,
bertakwa, dan berakhlak mulia.

“keberhasilan pendidikan nasional sangat bergantung pada guru agama, khususnya agama
Islam, karena mayoritas siswa beragama Islam”, ungkap Ishom.

Ishom menjelaskan bahwa integritas guru PAI bukan hanya wujud kesungguhan terhadap
profesinya, tetapi bagaimana menciptakan keberagamaan siswanya. Ia juga menambahkan
bahwa profesionalisme guru PAI sangat menentukan kesuksesan pendidikan toleransi.
Sebagai contoh, ada banyak ragam bacaan qiraat. jika guru agama memiliki pemahaman
yang dangkal maka akan mudah menyalahkan perbedaan dan menjadi tidak profesional.

“jadi jangan cepat mengambil kesimpulan dan melakukan judgment, karena akan
menimbulkan intoleransi”, ungkap ishom

Ishom juga menegaskan bahwa inovasi pembelajaran adalah salah satu alat menciptakan
pembelajaran yang tidak doktriner, namun dapat terinternalisasi dengan baik menggunakan
metode yang menarik. seperti dalam menjelaskan perbedan simbol-simbol agama seperti
berjanggut atau celana di atas mata kaki. Inovasi PAI harus bisa menjelaskan dengan baik
bahwa persoalan tersebut merupakan ranah ijtihadiyah.

“Inovasi metode pembelajaran harus memberikan ruang diskusi bahwa agama tidak hanya
soal halal-haram”

Ishom juga mengingatkan bahwa pegiat PAI bertanggung jawab kepada Allah karena
menyampaikan pesan ilahiyyah. Perbedaan agama pun adalah kehendak sang pencipta.

“Jika PAI tidak menanamkan nilai-nilai toleransi, maka ada tanggung jawab yang
disalahgunakan”, jelasnya.

Ishom menegaskan bahwa tujuan pendidikan bukan untuk meningkatkan IPTEK, tapi untuk
membentuk akhlak yang baik. Jadi, core pendidikan adalah akhlak. Akan sia-sia jika
pendidikan agama Islam tidak terefleksi dalam akhlak peserta didik. “keteladanan bapak-ibu
akan terefleksi kepada peserta didik, karena mereka mencontoh teladannya”, tutup ishom.

Kegiatan tersebut dihadiri oleh guru, pengawas, Dosen PAI pada PTU, dan kasi di lingkungan
direktorat pendidikan Agama Islam, kementerian Agama RI
Pembelajaran PAI Moderat dan Toleran ala KH. Masdar Farid

Tokoh muslim, Masdar F. Mas’udi menegaskan bahwa pendidikan agama Islam harus
memunculkan wajah moderat dan Toleran. Hal tersebut diungkapkan pada kegiatan
pengembangan pembelajaran dan Penilaian pendidikan Agama Islam di Bogor.

Menurut Masdar, salah satu wajah moderat pendidikan Islam adalah ketika terjadi polarisasi
antara tasawuf dan syariat. Adapun toleran adalah meliputi internal dan eksternal.

Sebagaimana qaul Imam Malik yang dikuti masdar, “ Barang siapa bertasawuf tanpa berfikih
maka dia zindiq, Barang siapa berfikih tanpa bertasawuf maka dia fasik”.

Menurut masdar, jika pendidikan agama hanya bersandar pada tasawuf yang berorientasi
pada figur, maka akan menciptakan kelenturan beragama. Jika hanya bersandar pada
syariat, maka akan membuat sikap beragama yang kaku karena hanya berdasarkan teks.

“Pendidikan Agama harus mampu menggabungkan keduanya untuk menghasilkan generasi


moderat”, jelasnya.

Menurut masdar, agama Islam sebagai agama yang datang terakhir, harus mampu
melakukan toleransi internal dan eksternal.

Pendidikan Agama Islam harus mampu

Kementerian Agama melalui Direktorat Pendidikan Agama Islam melakukan pengembangan


pembelajaran dan penilaian PAI di sekolah. Pengembangan tersebut meliputi internalisasi
Gerakan Nasional Revolusi Mental, penanaman nilai Islam Rahmatan lil ‘Alamin, dan metode
pembelajaran dan penilaian Higher Order Thinking Skills (HOTS).

“ini adalah upaya PAI dalam rangka percepatan perubahan sikap mental dan perilaku
menuju yang lebih baik, karena sejatinya pembangunan karakter merupakan never ending
process dalam pendidikan”, ungkap Imam Safe’i selaku Direktur Pendidikan Agama Islam.

Pengembangan pendidikan agama Islam di sekolah merupakan instrumen penting


untuk mencapai pembentukan karakter peserta didik yang efektif dan kontekstual. Dalam
konteks bangsa yang majemuk serta bahaya pemahaman keagamaan yang menyimpang,
perlu dipastikan bahwa pesan Islam Rahmatan lil ‘Alamin (ISRA) dapat terimplementasikan
melalui Pembelajaran PAI.
“Direktorat Pendidikan Agama Islam bertanggung jawab dalam memantapkan
keberagamaan dan merawat keberagaman generasi bangsa”
Lebih jauh, Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) merupakan amanat
pemerintah yang perlu didiseminasikan secara strategis guna mendukung tercapainya tujuan
pendidikan karakter dalam Pendidikan Agama Islam. Dengan demikian, Pembelajaran PAI
dan nilai-nilai dalam gerakan revolusi mental harus membentuk pola integratif sehingga
pendidikan Agama Islam dan visi nasional dapat berjalan harmonis.
Selain itu, perkembangan zaman yang meniscayakan perubahan kehidupan sosial menuntut
peserta didik memiliki kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan inovatif. Sejalan dengan
semangat Kurikulum 2013 yang mensyaratkan keterampilan metakognitif, maka
pembelajaran PAI berbasis Higher Order Thinking Skills (HOTS) penting untuk dikembangkan
guna membentuk karakter peserta didik dengan kemampuan analisis, evaluasi, dan
memunculkan gagasan.

Doktor di Bidang Penelitian dan Evaluasi Pendidikan tersebut

Asisten Deputi Pembinaan Umat Beragama, Pendidikan Agama Dan Keagamaan, Kemenko
PMK RI, Sahlan Masduki mengapresiasi gagasan Kementerian Agama untuk
mengimplementasikan Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) dalam PAI di Sekolah.

“revolusi mental sejalan dengan Pendidikan karakter yang ada dalam PAI, jadi integrasinya
akan berjalan efektif” ungkap Sahlan dalam kegiatan pengembangan pembelajaran dan
penilaian PAI di Bogor.

Dirketur Pendidikan Agama Islam, Imam Safe’i menyampaikan bahwa PAI di sekolah
merupakan

“ini adalah upaya PAI dalam rangka percepatan perubahan sikap mental dan perilaku
menuju yang lebih baik, karena sejatinya pembangunan karakter merupakan never ending
process dalam pendidikan”, ungkap Doktor di Bidang Penelitian dan Evaluasi Pendidikan
tersebut.

Kasubag Direktorat PAI, Nasri, juga menyampaikan bahwa output kegiatan ini adalah
lahirnya pedoman Pelatihan implementasi pembelajaran PAI yang terintegrasi dengan
Revolusi Mental dan nilai Islam Rahmatan lil ‘Alamin.

“Kedua substansi itu nantinya akan akan didukung dengan metode pembelajaran Higher
Order Thinking Skills (HOTS) dalam PAI agar terimplementasi dengan baik”, jelasnya.
Tarikat sangat bergantung pada figur, dan tidak banyak bertumpu pada teks. Adapun
beragama yang sangat bergantung pada teks sangat keras, sedangkan orang tasawuf sangat
lembut.

Orang tasawuf jika menginjak semut akan sangat merasa berdosa. Jika dulu ada kelompok
khawarij dan wahabi akan men

Terorisme adalah bentuk beragama yang berlandaskan tesks semata.

Secara makro, 3 agama samawi Yahudi (tekstualis), pada sisi kiri ada Nasrani yang sangat
lembut. Seperti ada pada romo-romo.

Orang yang memahami agama secara harfiah akan sangat mudah menyalahkan dan
mengkafirkan. Namun jika berorientasi pada figur akan lembut.

Islam ada bentuk Keberagamaan yang menyatukan orientasi figur dan teks. Sebagaimana
dalam syahadat yang tidak cukup hanya meyakini Allah, tetapi juga ada figur Muhammad.

Polarisasi antara Islam yang Toleran dan Islam yang sangat kaku. Islam yang terlalu toleran
dan Islam yang sedikit-sedikit Haram, sangat kaku.

Tantangan umat Islam Indonesia sangat besar, jika Indonesia hancur makan akan berbahaya
bagi dunia. Penetrasi wahabi dari banyaknya pelajar Islam Indonesaia yang studi di Timur
Tengah karena gratis. Meskipun materi yang diajarkan dapat merusak. Hal itu terjadi
bertahun-tahun. JIka dibiarkan maka akan berbahaya bagi negeri ini.

Anda mungkin juga menyukai