Anda di halaman 1dari 19

MENGINTEGRASIKAN IMAN IHSAN DAN ISLAM DALAM MEMBENTUK INSAN

KAMIL

Disusun Oleh :

1. Anandya Fatin Nabila (I0522008)

2. M Asyraf Huwaidi Candra (I0522061)

3. Nabila Rizky Angelina (I0522079)

Program Studi S-1 Teknik Kimia Fakultas Teknik

Universitas Sebelas Maret

Surakarta

2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah Swt, karena atas limpahan rahmatnya
penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa ada halangan yang berarti dan
sesuai dengan harapan.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada bapak Arifuddin sebagai dosen
pengampu mata kuliah Agama Islam yang telah membantu memberikan arahan dan
pemahaman dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan
karena keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran
untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua
pihak yang membutuhkan.
DAFTAR ISI
MENGINTEGRASIKAN IMAN IHSAN DAN ISLAM DALAM MEMBENTUK INSAN
KAMIL

ABSTRAK

Materi pendidikan Islam menjadi salah satu faktor penting demi tercapainya tujuan utama
pendidikan Islam, yaitu mampu menjelaskan esensi dan urgensi integrasi iman, Islam, dan
ihsan dalam pembentukan insan kamil, serta mengkreasi pemetaan konsistensi dan koherensi
pokok-pokok ajaran Islam sebagai implementasi iman, Islam, dan ihsan. Sesungguhnya,
pokok dari materi Pendidikan Islam terdapat pada konsep Islam, iman dan ihsan. Maka dalam
tulisan ini penulis akan membahas Islam, iman dan ihsan dalam membentuk insan kamil dan
materi pembelajaran pendidikan Islam yang berbasis Islam, iman dan ihsan. Ihsan dan insan
kamil mungkin merupakan dua istilah yang asing (kurang diketahui) oleh kebanyakan kaum
muslimin. Ketika ditanyakan kepada mahasiswa apa itu ihsan, mereka memberikan jawaban
bahwa ihsan adalah menjalankan ibadah seolah-olah orang yang menjalankan ibadah itu
melihat Allah; kalau pun ia tidak dapat melihat Allah, maka Allah pasti melihatnya.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan pada dasarnya adalah sebuah proses transformasi pengetahuan menuju kearah
perbaikan, penguatan, dan penyempurnaan semua potensi manusia.Oleh karena itu,
pendidikan tidak mengenal ruang dan waktu, ia tidak dibatasi oleh tebalnya tembok sekolah
dan juga sempitnya waktu belajar di kelas.Pendidikan berlangsung sepanjang hayat dan bisa
dilakukan dimana saja dan kapan saja manusia mau dan mampu melakukan proses
kependidikan.

Dalam agama Islam memiliki tiga tingkatan yaitu Islam, Iman, Ihsan. Tiap-tiap tingkatan
memiliki rukun-rukun yang membangunnya.

Jika Islam dan Iman disebut secara bersamaan, maka yang dimaksud Islam adalah amalan-
amalan yang tampak dan mempunyai lima rukun. Sedangkan yang dimaksud Iman adalah
amal-amal batin yang memiliki enam rukun. Dan jika keduanya berdiri sendiri-sendiri, maka
masing-masing menyandang makna dan hukumnya tersendiri.

Ihsan berarti berbuat baik. Orang yang berbuat Ihsan disebut muhsin berarti orang yang
berbuat baik.setiap perbuatan yang baik yang nampak pada sikap jiwa dan prilaku yang
sesuai atau dilandaskan pada aqidah da syariat Islam disebut Ihsan. Dengan demikian akhlak
dan Ihsan adalah dua pranata yang berada pada suatu sistem yang lebih besar yang disebut
akhlaqul karimah.

Dalam Islam, tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan adalah membentuk “Insan Kamil”,
yakni manusia paripurna yang memiliki kecerdasan intelektual dan spiritual sekaligus.
Tujuan seperti ini tidak mungkin bisa terwujud tanpa adanya sistem dan proses pendidikan
yang baik. Oleh karena itu, para pakar pendidikan Islam kemudian mencoba merumuskan dan
merancang bangunan pemikiran kependidikan Islam yang diharapkan mampu menciptakan
manusiamanusia paripurna, yang akan mengemban tugas mensejahterakan dan
memakmurkan kehidupan dimuka bumi ini.

Pendidikan merupakan salah satu bidang studi Islam yang mendapat banyak perhatiaan dari
para ilmuan. Hal ini karena disamping perannya yang amat strategi dalam rangka
meningkatkan sumber daya manusia, juga karena didalam pendidikan Islam terdapat berbagai
masalah yang kompleks dan memerlukan penanganan segera. Bagi mereka yang akan terjun
kedalam bidang pendidikan Islam harus memiliki wawasan yang cukup tetang pendidikan
Islam dan memiliki kemampuaan untuk mengembangkannya sesuai dengan tuntunan zaman.

Bekenaan dengan itu, pada bab ini pembaca akan diajak memahami apa yang dimaksud
dengan pendidikan Islam serta berbagai masalah yang terkait dengannya, dan mengetahui
berbagai model yang dilakukan dalam penelitian kependidikan Islam sebagai bahan
perbandingan untuk melakukan pengembangan konsep-konsep pendidikan Islam sesuai
tuntutan zaman. Setiap proses yang dilakukan dalam pendidikan harus dilakukan secara sadar
dan Memiliki tujuan.

Dalam agama Islam,kita mengenal konsep Iman dan Ihsan.Kedudukan Ihsan dalam
kehidupan merupakanhal yang penting. Kadangkala kita sebagai seorang muslim yang sudah
diberikan tuntunan masih saja melakukan hal-hal yang tidak baik. Ini diakibatkan karena
tingkat keimanan yang tidak stabil.Kita tahu bahwa Ihsan merupakan realisasi dari Iman.

Oleh karena itu,kita harus mengetahui bagaimana kaitanya antara Islam, Iman, dan
Ihsan.Karena dari ketiga konsep diatas merupakan kunci untuk mencapai suatu kehidupan
yang bahagia.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka perumusan masalah yang diajukan adalah
sebagai berikut:

1. Bagaimana koherensi antara sholat, zikir (hablum minallah) dan iktikaf (hablum
minannas) dalam konsep empirik?
2. Bagaimana konsep konstektual mengenai iman, islam, dan ihsan dan hubungan
ketiganya dengan konsep insan kamil?
3. Bagaimana istilah insan kamil menurut para sufi dan filsuf muslim?

1.3 Tujuan Makalah

1. Untuk mengetahui arti iman, islam, dan ihsan


2. Untuk mengetahui bagaimana konsep dan urgensi islam, iman, dan ihsan dalam
membentuk insan kamil (manusia sempurna)
3. Untuk mengetahui sumber teologis, historis, filosofis tentang iman, ihsan, dan islam
sebagai pilar agama islam dalam membentuk insan kamil
BAB II

KAJIAN TEORI

2.1. Hakikat Iman

Iman adalah keyakinan yang menghujam dalam hati, kokoh penuh keyakinan tanpa
dicampuri keraguan sedikitpun.  Sedangkan keimanan dalam Islam itu sendiri adalah percaya
kepada Alloh, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, Rosul-rosulNya, hari akhir dan
berIman kepada takdir baik dan buruk. Iman mencakup perbuatan, ucapan hati dan lisan,
amal hati dan amal lisan serta amal anggota tubuh. Iman bertambah dengan ketaatan dan
berkurang karena kemaksiatan.

Kedudukan Iman lebih tinggi dari pada Islam, Iman memiliki cakupan yang lebih umum dari
pada cakupan Islam, karena ia mencakup Islam, maka seorang hamba tidaklah mencapai
keImanan kecuali jika seorang hamba telah mamapu mewujudka keislamannya. Iman juga
lebih khusus dipandang dari segi pelakunya, karena pelaku keimanan adalah kelompok dari
pelaku keIslaman dan tidak semua pelaku keIslaman menjadi pelaku keImanan, jelaslah
setiap mukmin adalah muslim dan tidak setiap muslim adalah mukmin

Keimanan tidak terpisah dari amal, karena amal merupakan buah keImanan dan salah satu
indikasi yang terlihat oleh manusia. Karena itu Alloh menyebut Iman dan amal soleh secara
beriringan dalam Qur’an surat Al Anfal ayat 2-4 yang artinya:

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu


adalah mereka yang jika disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan
kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah
mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan
sebagian dari rizki yang kami berikan kepada me-reka. Itulah orang-orang yang beriman
dengan sebenar-benar-nya.” (Al-Anfal: 2-4)
Keimanan memiliki satu ciri yang sangat khas, yaitu dinamis. Yang mayoritas ulama
memandang keImanan beriringan dengan amal soleh, sehinga mereka menganggap keImanan
akan bertambah dengan bertambahnya amal soleh. Akan tetapi ada sebagaian ulama yang
melihat Iman berdasarkan sudut pandang bahwa ia merupakan aqidah yang tidak menerima
pemilahan (dikotomi). Maka seseorang hanya memiliki dua kemungkinan saja: mukmin atau
kafir, tidak ada kedudukan lain diantara keduanya. Karena itu mereka berpendapat Iman tidak
bertambah dan tidak berkurang.

Iman adakalanya bertambah dan adakalanya berkurang, maka perlu diketahui kriteria
bertambahnya Iman hingga sempurnanya Iman, yaitu:

1)   Diyakini dalam hati

2)   Diucapkan dengan lisan          

3)   Diamalkan dengan anggota tubuh.

Sedangkan dalam Islam sendiri jika membahas mengenai Iman tidak akan terlepas dari
adanya rukun Iman yang enam, yaitu:

1)   Iman kepada Alloh

2)   Iman kepada malaikatNya

3)   Iman kepada kitabNya

4)   Iman kepada rosulNya

5)   Iman kepada Qodho dan Qodar

6)   Iman kepada hari akhir

Demikianlah kriteria amalan hati dari pribadi yang berIman, yang jika telah tertanam dalam
hati seorang mukmin enam keImanan itu maka akan secara otomatis tercermin dalam
prilakunya sehari-hari yang sinergi dengan kriteria keImanan terhadap enam poin di atas.

Jika Iman adalah suatu keadaan yang bersifat dinamis, maka sesekali didapati kelemahan
Iman, maka yang harus kita lakukan adalah memperkuat segala lini dari hal-hal yang dapat
memperkuat Iman kembali. Hal-hal yang dapat dilakukan bisa kita mulai dengan memperkuat
aqidah, serta ibadah kita karena Iman bertambah karena taat dan berkurang karena maksiat.

Ketika Iman telah mencapai taraf yang diinginkan maka akan dirasakan oleh pemiliknya
suatu manisnya Iman, sebagaImana hadits Nabi Muhammad saw. yang artinya:

“Tiga perkara yang apabila terdapat dalam diri seseorang, maka ia akan merasakan
manisnya Iman: Menjadikan Alloh dan RosulNya lebih dicintainya melebihi dari selain
keduanya, mencintai seseorang yang tidak dicintainya melainkan karena Alloh, membenci
dirinya kembali kepada kekufuran sebagaImana bencinya ia kembali dilemparkan ke dalam
api neraka.” (HR.Bukhori Muslim). (Busyra, 2010 : 145)

2.2 Hakikat Islam

Islam bersal dari kata, as-salamu, as-salmu, danas-silmu yang berarti: menyerahkan diri,


pasrah, tunduk, dan patuh. Berasal dari kata as-silmu atau as-salmu yang berarti damai dan
aman. Berasal dari kata as-salmu, as-salamu, dan as-salamatu yang berarti bersih dan selamat
dari kecacatan-kecacatan lahir dan batin.

Pengertian Islam menurut istilah yaitu, sikap penyerahan diri (kepasrahan, ketundukan,
kepatuhan) seorang hamba kepada Tuhannya dengan senantiasa melaksanakan perintahNya
dan menjauhi laranganNya, demi mencapai kedamaian dan keselamatan hidup, di dunia
maupun di akhirat.

Siapa saja yang menyerahkan diri sepenuhnya hanya kepada Alloh, maka ia seorang muslim,
dan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Alloh dan selain Alloh maka ia seorang
musyrik, sedangkan seorang yang tidak menyerahkan diri kepada Alloh maka ia seorang kafir
yang sombong.

Dalam pengertian kebahasan ini, kata Islam dekat dengan arti kata agama. Senada dengan hal
itu Nurkholis Madjid berpendapat bahwa sikap pasrah kepada Tuhan adalah merupakan
hakikat dari pengertian Islam. Dari pengertian itu, seolah Nurkholis Madjid ingin mengajak
kita memahami Islam dari sisi manusia sebagai yang sejak dalam kandungan sudah
menyatakan kepatuhan dan ketundukan kepada Tuhan, sebagaImana yang telah diisyaratkan
dalam surat al-A’rof ayat 172 yang artinya:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
“Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami
menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap
Ini (keesaan Tuhan)”

Berkaitan dengan Islam sebagai agama, maka tidak dapat terlepas dari adanya unsur-unsur
pembentuknya yaitu berupa rukun Islam, yaitu:

1)      Membaca dua kalimat Syahadat

2)      Mendirikan sholat lima waktu

3)      Menunaikan zakat

4)      Puasa Romadhon

5)      Haji ke Baitulloh jika mampu.

2.3 Hakikat Ihsan

Ihsan berarti berbuat baik. Orang yang berbuat Ihsan disebut muhsin berarti orang yang
berbuat baik.setiap perbuatan yang baik yang nampak pada sikap jiwa dan prilaku yang
sesuai atau dilandaskan pada aqidah dan syariat Islam disebit Ihsan. Dengan demikian akhlak
dan Ihsan adalah dua pranata yang berada pada suatu sistem yang lebih besar yang disebut
akhlaqul karimah.

Adapun dalil mengenai Ihsan dari hadits adalah potongan hadits Jibril yang sangat terkenal
(dan panjang), seperti yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, ketika nabi ditanya
mengenai Ihsan oleh malaikat Jibril dan nabi menjawab:

ْ َ‫…َأ ْن تَ ْعبُ َ_د هّللا َ َكَأنَّكَ تَ َراهُ ف‬


… َ‫إن لَ ْم تَ ُك ْن تَ َراهُ فَإنَّهُ يَ َراك‬

“…Hendaklah engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihatNya. Tapi jika
engkau tidak melihatNya, maka sesungguhnya Alloh melihatmu…..
Hadits tersebut menunjukan bahwa untuk melakukan Ihsan, sebagai rumusnya adalah
memposisikan diri saat beribadah kepada Alloh seakan-akan kita bisa melihatNya, atau jika
belum bisa memposisikan seperti itu maka posisikanlah bahwa kita selalu dilihat olehNya
sehingga akan muncul kesadaran dalam diri untuk tidak melakukan tindakan selain berbuat
Ihsan atau berbuat baik.

Korelasi Iman, Islam, dan Ihsan

Diatas telah dibahas tentang ketiga hal tersebut, disini, akan dibahas hubungan timbal balik 
antara ketiganya. Iman yang merupakan landasan awal,  bila diumpamakan sebagai pondasi
dalam keberadaan suatu rumah, sedangkan islam merupakan entitas yang berdiri diatasnya.
Maka, apabila iman seseorang lemah, maka islamnya pun akan condong, lebih lebih akan
rubuh. Dalam realitanya mungkin pelaksanaan sholat akan tersendat-sendat, sehingga tidak
dilakukan pada waktunya, atau malah mungkin tidak terdirikan. Zakat tidak tersalurkan,
puasa tak terlaksana, dan lain sebagainya. Sebaliknya, iman akan kokoh bila islam seseorang
ditegakkan. Karena iman terkadang bisa menjadi tebal, kadang pula menjadi tipis, karena
amal perbuatan yang akan mempengaruhi hati. Sedang hati sendiri merupakan wadah bagi
iman itu. Jadi, bila seseorang tekun beribadah, rajin taqorrub, maka akan semakin tebal
imannya, sebaliknya bila seseorang berlarut-larut dalam kemaksiatan, kebal akan dosa, maka
akan berdampak juga pada tipisnya iman.

Dalam hal ini, sayyidina Ali pernah berkata :

‫قال علي كرم هللا وجهه إن اإليمان ليبدو لمعة بيضاء فإذا عم__ل العب__د الص__الحات نمت ف__زادت ح__تى ي__بيض القلب كل__ه وإن‬
‫النفاق ليبدو نكتة سوداء فإذا انتهك الحرمات نمت وزادت حتى يسود القلب كله‬

Artinya : Sahabat Ali kw. Berkata : sesungguhnya iman itu terlihat seperti sinar yang  putih,
apabila seorang hamba melakukan kebaikan, maka sinar tersebut  akan tumbuh dan
bertambah sehingga hati (berwarna) putih. Sedangkan kemunafikan terlihat seperti titik
hitam, maka bila seorang melakukan perkara yang diharamkan, maka titik hitam itu akan
tumbuh dan bertambah hingga hitamlah (warna) hati. 

Adapun ihsan, bisa diumpamakan sebagai hiasan rumah, bagaimana rumah tersebut bisa
terlihat mewah, terlihat indah, dan megah. Sehingga padat menarik perhatian dari banyak
pihak. Sama halnya dalam ibadah, bagaimana ibadah ini bisa mendapatkan perhatian dari
sang kholiq, sehingga dapat diterima olehnya. Tidak hanya asal menjalankan perintah dan
menjauhi larangannya saja, melainkan berusaha bagaimana amal perbuatan itu bisa bernilai
plus dihadapan-Nya. Sebagaimana yang telah disebutkan diatas kedudukan kita hanyalah
sebagai hamba, budak dari tuhan, sebisa mungkin kita bekerja, menjalankan perintah-Nya
untuk mendapatkan perhatian dan ridlonya. Disinilah hakikat dari ihsan.

BAB III

PEMBAHASAN

3.2

Iman, islam dah ihsan hubungannya sendiri sangat erat. Sebagaimana dalam hadits
nabi SAW yang diriwayatkan oleh HR muslim. Hadis HR muslim mengetengahkan 4 (empat)
masalah pokok yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu iman, Islam, ihsan, dan hari
kiamat. Pernyataan Nabi saw. di penghujung hadis di atas bahwa “itu adalah Malaikat Jibril
datang mengajarkan agama kepada manusia” mengisyaratkan bahwa keempat masalah yang
disampaikan oleh malaikat Jibril dalam hadis di atas terangkum dalam istilah ad-din (baca:
agama Islam). Hal ini menunjukkan bahwa keberagamaan seseorang baru dikatakan benar
jika dibangun di atas pondasi Islam dengan segala kriterianya, disemangati oleh iman, segala
aktifitas dijalankan atas dasar ihsan, dan orientasi akhir segala aktifitas adalah ukhrawi.
Atas dasar tersebut di atas, maka seseorang yang hanya menganut Islam sebagai agama
belumlah cukup tanpa dibarengi dengan iman. Sebaliknya, iman tidaklah berarti apa-apa jika
tidak didasari dengan Islam. Selanjutnya, kebermaknaan Islam dan iman akan mencapai
kesempurnaan jika dibarengi dengan ihsan, sebab ihsan mengandung konsep keikhlasan
tanpa pamrih dalam ibadah.  Keterkaitan antara ketiga konsep di atas (Islam,
iman,  dan ihsan) dengan hari kiamat karena karena hari kiamat (baca: akhirat) merupakan
terminal tujuan dari segala perjalanan manusia tempat menerima ganjaran dari segala aktifitas
manusia yang kepastaian kedatangannya menjadi rahasia Allah swt.

Menurut Ibn Araby, ada dua tingkatan menusia dalam mengimani Tuhan. Pertama, tingkat
insan kamil. Mereka mengimani Tuhan dengan cara penyaksian. Artinya, mereka “
menyaksikan” Tuhan; mereka menyembah Tuhan yang disaksikannya. Kedua, manusia
beragama pada umumnya. Mereka mengimami Tuhan dengan cara mendefinisikan. Artinya,
mereka tidak menyaksikan Tuhan. Tetapi mereka mendefinisikan Tuhan. Mereka
mendefinisikan Tuhan berdasarkan sifat – sifat dan nama – nama Tuhan. ( Asma’ul Husna )
            Abdulkarim Al – Jilli membagi insan kamil atas tiga tingkatan.
a)      Tingkat Pemula ( al – bidayah ). Pada tingkat ini insan kamil mulai dapat
merealisasikan asma dan sifat – sifat ilahi pada dirinya.
b)      Tingkat menengah ( at – tawasuth ). Pada tingkat ini insan kamil sebagai orbit
kehalusan sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan ( al – haqaiq ar –
ramaniyyah ). Pengetahuan yang dimiliki oleh insan kamil pada tingkat ini telah meningkat
dari pengetahuan biasa, karena sebagian dari hal – hal yang gaib telah dibukakan Tuhan
kepadanya.
c)      Tingkat terakhir ( al – khitam ). Pada tingkat ini insan kamil telah dapat merealisasikan
citra Tuhan secara utuh. Iapun telah dapat mengetahui rincian dari rahasia penciptaan takdir.

1. Berkaitan dengan itu, mengutip dari salah satu hadits yang diriwayatkan oleh At –
Thoyalis dari Ubadah Ibn Shomith : “Apabila ada seseorang berupaya memperbaiki
sholatnya, menyempurnakan ruku’nya dan menyempurnakan sujudnya, maka sholat itu akan
mendo’akan kepada orang tersebut : “Semoga Allah menjaganya sebagaimana ia menjaga
sholatnya”. Dan apabila ada seseorang yang tidak mau memperbaiki sholatnya, tidak
menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, maka sholat itu akan mendo’akan “Semoga Allah
senantiasa membiarkanmu/mengabaikanmu”.

Betapa pentingnya sholat bagi kita, sehingga ketika kita menyempurnakan sholat kita,
maka kebaikan-lah yang akan selalu kita dapatkan, namun ketika kita meninggalkan sholat,
maka keburukan dan adzab Allah akan menanti kita baik itu di dunia maupun di akhirat
kelak. Hadits di atas menunjukkan kepada kita betapa pentingnya hubungan kita sebagai
manusia dengan Sang Pencipta Allah Azza Wajalla (Hablumminallah), karena apa yang kita
lakukan dan apa yang kita kerjakan di dunia ini tidak lain dan tidak bukan melainkan untuk
bekal kembali menghadap kepada-Nya. Disamping kita harus menjaga hubungan kita kepada
Allah SWT, kita perlu juga menjaga hubungan kita terhadap sesama manusia
(Hablumminannas), sesuai dengan hadits yang diriwayatkan Ibnu Asa’akir dari Zaid Ibn
Arqom : “Ketika keluar salah satu dari kalian untuk bepergian, maka hendaklah ia berpamitan
dan meminta do’a kepada saudaranya, karena Allah SWT menjadikan do’a (dari saudaranya
tersebut) itu menjadi sebuah berkah”. Berkaitan dengan hadits ini, sebagai manusia kita perlu
menjaga hubungan antara sesama manusia dan tidak memutus tali silaturrahmi antar sesama
umat manusia.

Ini berkaitan pula dengan pekerjaan kita sebagai abdi negara, sesuai dengan peraturan
yang ada, bahwasannya sebagai pegawai yang baik hedaknya meminta izin kepada atasan
kita ketika kita akan melakukan kegiatan di luar kantor, karena dengan ini lah keberkahan
yang dikatakan dalam hadits diatas akan menaungi kita kemanapun dan dimanapun kita
berada. Hal ini serupa dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ad- Dailany dari Ibn Abbas
yang berbunyi : “Ada 4 do’a yang akan senantiasa di ijabah oleh Allah SWT : 1. Do’a orang
yang pergi haji, 2. Do’a orang yang berperang (Jihad Fi Sabilillah) sampai mereka kembali,
3. Do’a orang sakit sampai ia sembuh (orang teraniaya) dan 4. Do’a seseorang kepada
saudaranya ketika saudaranya tidak ada/bepergian.”

Dari hadits di atas, kita dapat menarik kesimpulan betapa berharganya hubungan
antara sesama manusia, karena hanya dengan mendo’akan keselamatan saudara kita dalam
keadaan apapun maka keberkahan dan keselamatan akan bersama kita baik di dunia dan
kelak di akhirat nanti (Insya Allah). Dalam pembinaan oleh Ketua Pengadilan Agama Jepara
Drs. H. Abd. Malik, S.H., M.S.I menyampaikan pesan yang intinya adalah kita harus
senantiasa menjalankan apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT baik itu ibadah
mahdzoh maupun ghoir Mahdzoh dan tidak lupa selalu menjaga hubungan baik antara
sesama manusia, karena sebagai abdi Negara hubungan antar sesama manusia sangatlah
penting, dimana kita berkaitan langsung dengan para pencari keadilan, jadi sebisa mungkin
apa yang telah diuraikan dari kultum yang di bawakan oleh Bapak Drs. Sobirin, MH. bisa kita
jalankan dan kita amalkan untuk kedepan lebih baik dan lebih bermakna.
2. Iman, islam dah ihsan hubungannya sendiri sangat erat. Sebagaimana dalam hadits
nabi SAW yang diriwayatkan oleh HR muslim. Hadis HR muslim mengetengahkan 4 (empat)
masalah pokok yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu iman, Islam, ihsan, dan hari
kiamat. Pernyataan Nabi saw. di penghujung hadis di atas bahwa “itu adalah Malaikat Jibril
datang mengajarkan agama kepada manusia” mengisyaratkan bahwa keempat masalah yang
disampaikan oleh malaikat Jibril dalam hadis di atas terangkum dalam istilah ad-din (baca:
agama Islam). Hal ini menunjukkan bahwa keberagamaan seseorang baru dikatakan benar
jika dibangun di atas pondasi Islam dengan segala kriterianya, disemangati oleh iman, segala
aktifitas dijalankan atas dasar ihsan, dan orientasi akhir segala aktifitas adalah ukhrawi.

Atas dasar tersebut di atas, maka seseorang yang hanya menganut Islam sebagai agama
belumlah cukup tanpa dibarengi dengan iman. Sebaliknya, iman tidaklah berarti apa-apa jika
tidak didasari dengan Islam. Selanjutnya, kebermaknaan Islam dan iman akan mencapai
kesempurnaan jika dibarengi dengan ihsan, sebab ihsan mengandung konsep keikhlasan
tanpa pamrih dalam ibadah. Keterkaitan antara ketiga konsep di atas (Islam, iman, dan ihsan)
dengan hari kiamat karena karena hari kiamat (baca: akhirat) merupakan terminal tujuan dari
segala perjalanan manusia tempat menerima ganjaran dari segala aktifitas manusia yang
kepastaian kedatangannya menjadi rahasia Allah swt.

Menurut Ibn Araby, ada dua tingkatan menusia dalam mengimani Tuhan. Pertama, tingkat
insan kamil. Mereka mengimani Tuhan dengan cara penyaksian. Artinya, mereka “
menyaksikan” Tuhan; mereka menyembah Tuhan yang disaksikannya. Kedua, manusia
beragama pada umumnya. Mereka mengimami Tuhan dengan cara mendefinisikan. Artinya,
mereka tidak menyaksikan Tuhan. Tetapi mereka mendefinisikan Tuhan. Mereka
mendefinisikan Tuhan berdasarkan sifat – sifat dan nama – nama Tuhan. ( Asma’ul Husna )

Abdulkarim Al – Jilli membagi insan kamil atas tiga tingkatan.

a) Tingkat Pemula ( al – bidayah ). Pada tingkat ini insan kamil mulai dapat
merealisasikan asma dan sifat – sifat ilahi pada dirinya.

b) Tingkat menengah ( at – tawasuth ). Pada tingkat ini insan kamil sebagai orbit
kehalusan sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan ( al – haqaiq ar –
ramaniyyah ). Pengetahuan yang dimiliki oleh insan kamil pada tingkat ini telah meningkat
dari pengetahuan biasa, karena sebagian dari hal – hal yang gaib telah dibukakan Tuhan
kepadanya.

c) Tingkat terakhir ( al – khitam ). Pada tingkat ini insan kamil telah dapat merealisasikan
citra Tuhan secara utuh. Iapun telah dapat mengetahui rincian dari rahasia penciptaan takdir.

3. Insan kamil atau manusia paripurna dibahas secara khusus oleh para sufi, khususnya
Ibnu Arabi dan Abdul Karim Al-Jili. Pengertian insan kamil tidak sesederhana seperti yang
selama ini dipahami kalangan ulama, yaitu manusia teladan dengan menunjuk pada figur
Nabi Muhammad SAW. Bagi para sufi, insan kamil adalah lokus penampakan (madzhar) diri
Tuhan paling sempurna, meliputi nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Allah SWT memilih
manusia sebagai makhluk yang memiliki keunggulan (tafadhul) atau ahsani taqwim (ciptaan
paling sempurna) menurut istilah Alquran.

Disebut demikian karena di antara seluruh makhluk Tuhan manusialah yang paling
siap menerima nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Makhluk lainnya hanya bisa menampakkan
bagian-bagian tertentu. Bandingkan dengan mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang, bahkan
malaikat tidak mampu mewadahi semua nama dan sifat-Nya. Itulah sebabnya mengapa
manusia oleh Seyyed Hossein Nasr disebut sebagai satu-satunya makhluk teomorfis dan
eksistensialis, seperti dijelaskan pada artikel yang lalu. Lagi pula, unsur semua makhluk
makrokosmos dan makhluk spiritual tersimpul dalam diri manusia. Ada unsur mineral,
tumbuh-tumbuhan, dan binatang sebagai makhluk fisik. Ada juga unsur spiritualnya yang
non-fisik, yakni roh. Tegasnya, manusia sempurna secara kosmik-universal dan sempurna
pula pada tingkat lokal-individual. Itu pula sebabnya manusia sering disebut miniatur
makhluk makrokosmos (mukhtasar al-‘alam) atau mikrokosmos (al-insan al-kabir).

Keparipurnaan manusia diungkapkan pula dalam ayat dan hadis. Dalam Alquran
disebutkan, manusia diciptakan paling sempurna (QS. At-Tin: 4) dan satu-satunya makhluk
yang diciptakan dengan “dua tangan” Tuhan (QS. Shad: 75), dan diajari langsung oleh Allah
semua nama-nama (QS. Al-Baqarah: 31). Dalam hadis-hadis tasawuf, banyak dijelaskan
keunggulan manusia, seperti, Innallaha khalaqa ‘Adam ‘ala shuratih (Allah menciptakan
Adam sesuai dengan bentuk-Nya). Oleh kalangan sufi, ayat dan hadis itu dinilai bukan saja
menunjukkan manusia sebagai lokus penjelmaan (tajalli) Tuhan paling sempurna, melainkan
juga seolah menjadi nuskhah atau salinan. Menurut istilah Ibnu Arabi disebut as-shurah al-
kamilah.
Manusialah satu-satunya makhluk yang mampu mengejawantahkan nama dan sifat
Allah baik dalam bentuk keagungan maupun keindahan Allah. Malaikat tidak mungkin
mengejawantahkan sifat Allah Yang Maha Pengampun, Maha Pemaaf, dan Maha Penerima
Taubat karena malaikat tidak pernah berdosa. Tuhan tidak bisa disebut Maha Pengampun,
Maha Pemaaf, dan Maha Penerima Taubat tanpa ada makhluk dan hambanya yang berdosa,
sementara malaikat tidak pernah berdosa. Demikian pula makhluk-makhluk Allah lain yang
hanya mampu mengejawantahkan sebagian nama dan sifat Allah. Dari sinilah sesungguhnya
manusia disebut insan kamil.
Insan kamil (manusia sempurna) merupakan tipe manusia ideal
yang dikehendaki oleh Tuhan. Sebabnya, jika tidak menjadi insan
kamil, maka manusia itu – meminjam istilah Ibn Araby – hanyalah
monster bertubuh manusia. Insan kamil adalah manusia yang telah
menanggalkan kemanusiaannya yang rendah, lalu berjalan menapaki
tangga demi tangga menuju Tuhan sehingga mencapai tangga nafsu
tertinggi, nafsu kāmilah (insan kamil). Tangga-tangga yang dimaksud
adalah tujuh tangga (sekaligus tujuh macam nafsu manusia), yakni:
lawwāma mulhima muthma`inna rādhiya
ammārah,
h, h, h, h,
mardhiyya
h, dan
kāmilah.
kamil nafs kit haru
Start awal untuk menjadi insan
, u a s
diusahakan mencapai tangga nafsu keempat (nafsu muthma`innah).
Setelah mencapai tingkatan nafsu ini, nanti Tuhan sendiri yang akan
menaikkan diri kita ke tangga nafsu yang lebih tinggi sehingga nafsu
kāmilah (insan kamil). Dihubungkan dengan iman, Islam, dan ihsan,
123
maka untuk mencapai martabat insan kamil keimanan kita (dengan
mengimani rukun iman) harus benar dan kokoh; peribadatan kita
(dengan menjalankan rukun Islam) harus dijalankan dengan benar,
ikhlas, dan bersungguh-sungguh; dan semua ibadah dan amal sosial
yang kita lakukan harus mencapai tingkat ihsan. Untuk mengokohkan
keimanan kita, maka keimanan kita tidak sekedar “percaya”, tetapi
harus mencapai tingkat “yakin”.
Untuk menapaki jalan insan kamil, terlebih dahulu kita perlu
mengingat kembali tentang empat unsur manusia, yakni: jasad / raga,
hati, roh, dan sirr (rasa). Keempat unsur manusia harus difungsikan
untuk menjalankan kehendak Allah. Hati nurani harus dijadikan rajanya
(dengan cara selalu mengingat-ingat Tuhan). Karena hati nurani
menjadi rajanya, maka secara otomatis raganya menjalankan syariat,
hatinya menjalankan tarekat, rohnya menjalani hakikat, dan sirr
(rasa)nya mencapai makrifat. Adapun hati sanubari ditundukkannya
sehingga sama sekali tidak berfungsi.
Jika sudah secara benar menjalankan keempat unsur manusia
(sesuai kehendak Allah), lalu mengokohkan keimanan, meningkatkan
peribadatan, dan membaguskan perbuatan (ibadah dan amal sosial,
termasuk berakhlak yang baik), sekaligus mengikis karakter-karakter
yang buruk (sombong, bangga diri, riya`, menghendaki kebaikan
dirinya dibicarakan orang, iri-dengki, marah, dendam, dan karakterkarakter buruk lainnya).
Kunci keberhasilan menapaki jalan menuju
martabat insan kamil adalah menapaki maqām-maqām (karakterkarakter „inti‟) secara
bertahap, mulai tahap pertama, tahap kedua, dan
seterusnya sehingga tahap keenam. Tahap pertama, Anda menyadari
dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan yang selalu dilakukan setiap
saat. Coba Anda tuliskan dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan yang
“selalu” dilakukan oleh manusia sehingga jika tidak bertobat setiap hari
(bahkan setiap saat), maka dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan itu
akan berkarat dan sangat sulit dihilangkan!

Anda mungkin juga menyukai