Anda di halaman 1dari 24

HUBUNGAN ANTARA IMAN DAN ILMU DALAM TAFSIR AL-

QURAN DAN HADIST TARBAWI

Diajukan untuk memenuhi tugas Ujian Semester pada mata kuliah


Tafsir Al-Qur’an dan Hadist Tarbawi

Dosen Pengampu : Dr. Abdul Adib, M.Pd.

Disusun Oleh :

Ade Yusuf Kurnia : 232721020156

Aden Yusup : 232721020223

Ahmad Jalaludin :232721020083

Akmal Yadi : 232721020060

Al-Amin Laode Manika : 232721020107

Ali Akbar : 232721020006

Alviansyah : 232721020181

Andi Nurpati : 232721020119

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS ISLAM ANNUR LAMPUNG
Jalan Pesantren No.01 Sidoharjo ,Kec.Jati Agung ,Kab.Lampung Selatan,Kota
Bandar Lampung
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufik
hidayahnya serta nikmat sehat sehingga penyusunan makalah Kurikulum Pendidikan
guna memenuhi tugas sesuai dengan yang di harapkan. Saya mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan berguna bagi khalayak
umum, dan tidak lupa saya memohon maaf apabila dalam penyususnan makalah ini
terdapat kesalahan baik dalam kosa kata ataupun isi dari keseluruhan makalah ini.
Saya sebagai penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.

Lampung, 1 Oktober 2023

Penyusun
ABSTRAK

Sebagai orang yang percaya dengan Tuhan. Seringkali saya menanyakan apakah
Iman terhadap Tuhan selaras dengan Ilmu? Banyak perdebatan tentang dari mana
datangnya Ilmu, apakah murni dari manusia? Sebagai seorang muslim kita
mempercayai bahwa ilmu datang dari karunia Allah SWT, banyak juga orang
berpendapat bahwa ilmu datang murni dari perkembangan manusia. Pada zaman
modern ini hubungan iman dan ilmu menjadi tantangan bagi umat islam. Bisakah kita
mempertanggungjawabkan iman kita dengan ilmu yang modern? Apakah ajaran
Islam sebagai salah satu agama tertua mulai tidak relevan dengan perkembangan ilmu
masa kini? Tulisan ini akan memaparkan konsep Iman secara umum, Konsep Iman
dalam Islam, konsep Ilmu secara umum, konsep Ilmu dalam Islam, dan Integrasi Ilmu
dan Iman.

Kata Kunci: Iman, Ilmu, Teologi, Islam, Al-Qur’an


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Karakteristik yang diperlukan dari sebuah agama besar adalah bahwa itu harus
memuaskan secara intelektual dan tidak hanya memuaskan secara emosional dan
spiritual. Namun, itu tidak berarti bahwa agama harus direduksi menjadi suatu makna
filosofis, karena itu bukan agama. Secara harfiah sendiri, agama diartikan sebagai
kepercayaan kepada tuhan atau dewa-dewa dan kegiatan dan peraturan yang
berhubungan dengan kepercayaan ini, seperti berdoa atau beribadah di sebuah
bangunan seperti gereja, masjid, atau kuil dengan sumber aturan yang berasal dari
kitab, tulisan, dan lain-lain.1

Perlu fondasi yang kuat dalam keimanan untuk orang beragama, karena iman
merupakan dasar dari sebuah agama.2 Tanpa iman agama itu hampa, beragama tanpa
iman yang kuat merupakan hal yang percuma. Tanpa ilmu agama hanyalah jalan
menuju kesesatan.

Iman saja memang cukup untuk membuat orang untuk lebih terarah kepada
kebaikan, dan mempunyai apa yang disebut “itikad baik”. Tapi iman yang tidak
dilengkapi dengan ilmu seperti bagaimana melaksanakan praktik keagamaan, makna
dari ajaran itu sendiri, pertanggungjawaban terhadap kehidupan sehari-hari, juga
tidak menjamin kesuksesan untuk berbuat nyata. Namun tanpa ajaran dan pengertian
lebih tentang Iman, ilmu saja dapat menghasilkan celaka, dapat dikatakan lebih
celaka dari orang lain yang tidak berilmu.

Dimana iman merupakan tahap pertama secara hirarki dan tahapan di dalam
agama, ilmu datang untuk melengkapi yang dari awalnya kepercayaan dogmatis agar
berkembang menjadi praksis. Dalam islam sendiri, Al-Qur’an menjadi sumber utama
dalam pendidikan islam. Dengan begitu, ilmu dalam islam sudah memiliki dasar
secara tertulis diatas Al-Qur’an. 3 3

Kepentingan mempelajari Ilmu dan Iman datang dari kebutuhan. Pada era
modern ini, di Indonesia sendiri masih banyak orang yang menganggap bahwa agama
hanya untuk dipercayai saja. Namun sebagai cendekiawan, kita harus mengerti bahwa
1
Faisal Ismail. 1997. Paradigma Kebudayaan Islam : Studi Kritis dan Refleksi Historis. Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, hlm. 28
2
Jalaluddin. 2005. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm. 24.

3
Amin Ahsan Islahi. 2019. Mabadi Tadabbur-i-Hadith. Delhi: Al-Balagh Publications.
agama merupakan suatu yang dapat dimanfaatkan—untuk kebaikan—dan dapat
dilandaskan sebagai ilmu untuk kehidupan kita. Dengan begitu hubungan timbal balik
antara ilmu dan iman akan demakin signifikan, dimana keduanya saling menguatkan,
dan orang yang memahaminya akan merasakan manfaatnya agama Islam itu sendiri,
baik dunia maupun akhirat.4

B. Rumusan Masalah.

1. Bagaimana Konsep iman secara umum?

2. Bagaimana konsep iman dalam islam?

3. Bagaimana konsep ilmu secara umum?

4. Bagaimana konsep ilmu dalam islam?

5. Bagaimana integrasi iman dan ilmu?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui Konsep iman secara umum.

2. Mengetahui konsep iman dalam islam?

3. Mengetahui konsep ilmu secara umum?

4. Mengetahui konsep ilmu dalam islam?

5. Mengetahui integrasi iman dan ilmu?

BAB II

4
Murata & Chittick. 1994. The Vision of Islam. Sleman: Suluh Press.
PEMBAHASAN

A. Konsep Iman Secara Umum

Secara sederhana, Iman adalah keyakinan yang kuat pada Tuhan atau
doktrin agama, berdasarkan pemahaman spiritual daripada bukti. Dalam KBBI
sendiri, Iman didefinisikan sebagai keyakinan yang berkaitan dengan agama,
keyakinan dan keteguhan hati, serta keteguhan batin.
Iman itu subjektif dan mutlak untuk seorang individu. Iman pada dasarnya
tidak dapat dipahami, memberikan suatu arti untuk segala sesuatu yang dapat
dibuktikan. Iman dalam artian yang benar adalah proses spiritual dari akal kreatif diri
manusia.5 Iman adalah api spiritual, yang menyala sendiri dalam proses pengenalan
diri dari sifat manusia. Fenomena ini yang dipahami sebagai tindakan atau proses
spiritual dan harus dimaknai sebagai suatu bentuk refleksi yang bersifat filosofis.
Iman adalah fenomena universal baik dari sisi budaya, sudut pandang studi
dan kehadirannya pada kesadaran manusia. Oleh karena itu, Fyodor Dostoyevsky,
Mircea Eliade, dan Erich Fromm berpendapat bahwa semua orang adalah orang
percaya menjadi berbeda hanya dalam “obyek” iman mereka.6 Maka dari itu, karena
pengetahuan selalu terbatas dalam menjelaskan fenomena dunia sekitar, sehingga
dilengkapi dengan iman.
Tanpa Iman, Weltanschauung (Pandangan hidup) tidak lengkap, diisi dengan
segala macam takhayul yang begitu tersebar luas di kalangan modern orang-orang
yang "tercerahkan".7 Dalam pengertian ini, ateisme itu tidak mungkin ada, karena
objek keyakinan seseorang adalah mutlak, Apapun yang dianggap sebagai Tuhan
akan disebut Tuhan (karena hal tersebut sama dengan Tuhan dalam definisi agama,
yaitu menghasilkan dan mendefinisikan segalanya). Bisa saja Tuhan dianggap sebagai
pemimpin pada sistem masyarakat tertentu, uang dan keinginan egois juga dapat
diidolakan, hal ini menunjukkan bahwa setiap individu dapat memilih Tuhan-nya
sendiri untuk disembah. Namun, keyakinan pada asal-usul makhluk/ruh
superior/transenden meleburkan semua bentuk penyembahan berhala idola karena
tidak ada sesuatu yang fana itu layak dipuja. Iman adalah dasar dari semua agama
dunia dan filsafat yang berhubungan.8

5
Nizhnikov, S. 2018. Concept of Faith: Its Ontological and Gnoseological Aspects. Advances in
Social Science. Education and Humanities Research, hlm. 12.
6
Ibid.
7
Ibid, hlm. 13.
8
Ibid
B. Konsep Iman dalam Islam

Iman atau kepercayaan adalah sesuatu yang menghubungkan manusia dengan


Tuhan atau keselamatan tertinggi. Dalam pendidikan keagamaan yang menekankan
anugrah ilahi, yang artinya adalah sebuah kepastian batin atau sikap cinta yang
diberikan oleh Tuhan.9 Definisi yang paling sederhana adalah keyakinan terhadap
enam rukun iman, atau yang dikenal sebagai Arkan-Al-Iman. Istilah iman telah
digambarkan baik dalam Al-Qur’an dan hadis.10
Bahkan jika dikaitkan dengan Islam, Al-Asy’ari (1397 H: menyatakan: “Islam
itu lebih luas dari Iman, dan tidak semua yang masuk dalam kategori Islam juga
termasuk dalam kategori Iman”).11 Artinya secara padu diperlukan amalan-amalan
yang melibatkan aktivitas hati seperti keikhlasan, kesabaran, kerendahan hati dan lain-
lain dalam menjalankan rukun Islam, misalnya meskipun dasarnya adalah iman. Akan
tetapi, jika dipilah hal tersebut merupakan aktivitas di luar iman. Jika dilihat dari
rukun masing-masing, iman merupakan keyakinan di hati, sedangkan Islam dapat
berupa aktivitas hati dan di luar hati.
Asy-Syahrastani menjelaskan prinsip-prinsip memahami aliran ini yang
berkaitan dengan iman seperti berikut:
“ adalah membenarkan dalam hati. Adapun perkataan dengan lisan dan amalan
dengan perbuatan anggota badan termasuk di dalamnya. Cabang-cabang iman.
Orang yang membenarkan (mengakui dan beriman) dengan hatinya, yaitu mengakui
keesaan Allah Ta ‘ala, mengakui para rasul dengan membenarkan apa yang mereka
sampaikan dari-Nya dengan hatinya, maka imannya sah. Mati sebagai mukmin yang
diselamatkan, dan tidak dianggap keluar dari iman kecuali mereka menyangkal hal-
hal yang harus diyakini dan diakui sebagai Jika pelaku dosa besar meninggal tanpa
taubat, maka hukumnya dikembalikan kepada Allah SWT, dapat diampuni oleh Allah
karena rahmat-Nya, juga dapat disyafaatkan oleh Nabi SAW, sesuai dengan
sabdanya: Syafaatku adalah bagi para pelaku dosa besar umatku, dia juga akan
disiksa oleh-Nya sesuai dengan dosa-dosa mereka, kemudian mereka akan
dimasukkan ke dalam surga karena rahmat-Nya dan tidak mungkin bagi mereka
untuk kekal di neraka bersama orang-orang kafir… ”(Asy- Syahrastani, 1992: 88)12

9
Farāhī, Majmū‘ah Tafāsīr. 1998. Faran Foundation, hlm. 347.
10
Denny, F. M. 2005. An Introduction to Islam. New York: Taylor & Francis. hlm. 405.
11
Nurul Huda. 2013. The Concept of Iman According to al-Baidawi's Anwar at Tanzil wa Asrar at-
Ta'wil. Jurnal "Analisa", hlm. 68.
12
Nurul Huda. 2013. The Concept of Iman According to al-Baidawi's Anwar at Tanzil wa Asrar at-
Ta'wil. Jurnal "Analisa", hlm. 69.
Dengan beberapa definisi tentang keimanan tersebut, kita dapat mengetahui
betapa pentingnya iman dalam beragama.
Syarat seseorang untuk memiliki iman yang sempurna adalah jika orang
tersebut dapat memenuhi 3 unsur keimanan, yaitu menjustifikasi atau dapat
meyakinkannya dengan hati, diikrarkan dengan lisan, dan dipertanggungjawabkan
dengan tindakan atau perbuatan.13 Dimensi aqidah keimanan dalam agama menurut
Al-Munawar ada empat poinnya, yaitu: Keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan
dan entitas kekal yang gaib; Menjalankan hubungan sesempurna mungkin dengan
Tuhan sepanjang hidup; Mematuhi serta menghormati segala macam perintah Tuhan;
Mengimani hal-hal suci ataupun yang dianggap sakral.14
Dalam islam sendiri penguatan fondasi tersebut tertera dalam lima pilar dalam islam
Pengakuan Iman (syahadat). Keyakinan bahwa “Tiada Tuhan selain Allah,
dan Muhammad adalah Utusan Allah” adalah inti dari Islam. Seseorang menjadi
seorang Muslim dengan mengucapkan kalimat ini dengan keyakinan.
Sholat (salat). Muslim berdoa menghadap Mekah lima kali sehari: saat fajar, siang,
sore, matahari terbenam, dan setelah gelap.15
Sedekah (zakat). Sesuai dengan hukum Islam, umat Islam menyumbangkan
sebagian dari pendapatan mereka kepada anggota masyarakat yang membutuhkan.
Banyak penguasa dan Muslim kaya membangun masjid, air mancur, rumah sakit,
sekolah, dan lembaga lainnya baik sebagai kewajiban agama dan untuk
mengamankan berkah yang terkait dengan amal.16
Puasa (saum). Selama Ramadhan, bulan kesembilan dalam kalender Islam,
semua Muslim dewasa yang sehat diwajibkan untuk berpantang dari makanan dan
minuman. Melalui ini, mereka akan menumbuhkan rasa kesadaran dan rasa syukur
mereka atas semua yang telah Tuhan berikan dalam hidup mereka, termasuk Al-
Qur’an, yang dimana pertama kali diturunkan pada bulan ini. Selama Ramadhan
mereka berbagi rasa lapar dan haus yang membutuhkan sebagai pengingat kewajiban
agama untuk membantu mereka yang kurang beruntung.17
Haji (haji). Setiap Muslim yang kesehatan dan keuangannya memungkinkan
harus melakukan setidaknya satu kunjungan ke kota suci Mekah, untuk melaksanakan
13
Taufik. 2019. Integrasi Nilai Pendidikan Iman dan Ilmu Pengetahuan Dalam Tafsir Al-Misbah.
Jurnal Pendidikan Islam, hlm. 31.
14
Said Agil Husin Al-Munawar. 2003. Aktualisasi Nilai-NIlai Qur‟ani dalam Sistem Pendidikan Islam.
Jakarta: Ciputat Press. hlm. 29.
15
Nurjannah. 2014. Lima Pilar Rukun Islam Sebagai Pembentuk Kepribadian Muslim. Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga, hlm. 44.
16
Ibid, hlm. 46.
17
Nurjannah. 2014. Lima Pilar Rukun Islam Sebagai Pembentuk Kepribadian Muslim. Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga, hlm. 48.
rangkaian ibadah haji. Sejak zaman Nabi Muhammad, orang-orang percaya dari
seluruh dunia telah berkumpul di sekitar Ka’bah di Mekah pada hari kedelapan dan
kedua belas bulan terakhir dalam kalender Islam.18
Iman dipecah menjadi enam rukun:
Keyakinan akan keberadaan dan keesaan Tuhan (Allah). Kepercayaan akan
adanya malaikat. Keyakinan akan keberadaan kitab-kitab yang penulisnya adalah
Allah: Al-Qur’an (diwahyukan kepada Muhammad), Injil (diwahyukan kepada
Yesus), Taurat (diwahyukan kepada Musa), dan Zabur (diwahyukan kepada Daud).
Keyakinan akan keberadaan semua Nabi: Muhammad adalah yang terakhir dari
mereka, Yesus yang mendahului Muhammad, dan yang lainnya diutus sebelum
mereka (seperti Musa, Ibrahim, Daud, Yusuf, Yakub).
Keyakinan akan adanya Hari Pembalasan: pada hari itu, umat manusia akan
dibagi menjadi dua kelompok: surga dan neraka.
Keyakinan akan adanya takdir Allah, baik itu menyangkut baik atau buruk.
(Qada’ dan Qadar).

C. Konsep Ilmu Secara Umum

Ilmu terdiri dari derivasi yang dapat dipahami dari pemahaman abstrak dan
kognitif tentang alam semesta di sekitar kita. Ada berbagai istilah substantif yang
digunakan dalam definisi Ilmu ini. Istilah-istilah tersebut adalah kecerdasan,
abstraksi, kognisi, pemahaman dan semesta. Kaitan Iman dan Ilmu integrasi Iman
dan Ilmu.19
Cara mengetahui relevansi akal dengan ilmu ini adalah dengan mengetahui
kegunaannya bagi dunia yang nyata maupun yang gaib. Kita mengetahui bahwa
manusia sejak lama telah mencari cara untuk mengendalikan dan memanfaatkan
lingkungan secara lebih baik. Tindakan tersebut berasal atas dari pemahaman yang
lebih baik tentang hubungan antara kita sebagai manusia dengan lingkungannya.20
Lingkungan seperti itu bisa berdasarkan tatanan alam, tatanan ekologi, tatanan sosial-
ekonomi dan tatanan moral. Konsep lingkungan yang dimaksud merupakan tatanan
universal. Hal tersebut kemudian dihubungkan dengan interaksi antara manusia dan
manusia, dan antara manusia dan keseluruhan alam semesta dengan melalui
18
Ibid, hlm. 49.
19
Moussalli. 1990. Syed Qutb's View of Knowledge. The American Journal of Islamic Social Sciences,
hlm. 72.
20
Cutler Cleveland (ed). 2007. Evolution of The Human-Environment Relationship. Boston: Boston
University, hlm. 3-4. 21 Samidi. 2016. Tuhan, Manusia, dan Alam: Analisis Kitab Primbon
Atassadhur Adammakna. Semarang: Balai Litbang Agama, hlm. 14.
hubungan dengan Tuhan.21
Harus diketahui bahwa konsep/prinsip keteraturan dan harmoni di alam
semesta adalah bentuk kepatuhan manusia, kecerdasan atau naluri hewan, terhadap
lingkungannya. Jika hubungan seperti itu tidak ada, ketertiban dan interaksi dengan
alam semesta tidak ada untuk dunia hewan, tidak akan ada keseimbangan pada
tatanan ekologi dan tatanan sosial ekonomi. Hal tersebut akan berakibat buruk pada
tatanan semesta, dimana tatanan ekologi dan sosial- ekonomi itu ada di dalamnya.
Jadi, harus ada asumsi bahwa ada sebuah hukum alam yang mengatur segala interaksi
yang telah disebutkan di atas tersebut.22
Hal selanjutnya yang perlu diperhatikan dalam ajaran ilmu ini adalah evolusi.
Kita mengetahui secara fakta bahwa Ilmu adalah diperoleh di dunia manusia adalah
melalui proses perkembangan dan evolusi, pertanyaan yang muncul adalah, apakah
prinsip evolusi tersebut bisa dikatakan sama untuk dunia binatang? Sementara kita
tahu bahwa prototipe berbeda yang dimiliki antara manusia dan hewan akan selalu
tetap sama, mungkinkah dunia hewan dapat mengalami perubahan kecerdasan,
meskipun tergolong kategori kecerdasan yang sama saja? Kecerdasan kognitif
diketahui dapat berubah di dunia hewan, tetapi bukan berarti hewan tersebut
dapat bertransformasi menjadi sesuatu yang bukan hewan itu sendiri. Hal tersebut
juga berlaku untuk manusia, yang kecerdasannya telah berubah tetapi tidak
mengubahnya menjadi sesuatu yang lain. Seperi observasi yang dilakukan oleh Jack
London. Anjing yang dilatih di dalam lingkungan yang sipil/penuh dengan manusia,
bila dikembalikan ke lingkungan yang dimana awalnya anjing itu seharusnya berada,
anjing terlatih tersebut akan dengan mudah asimilasi dengan lingkungannya itu
sendiri, karena secara primordial sudah seperti itu.23
Terlepas dari ajaran tentang evolusi kognitif antara dunia manusia dan juga
dunia hewan, dengan observasi yang telah dilakukan Jack London,24 anjing atau
hewan secara umum, menyerahkan dirinya atas kehendak ketertiban yang sifatnya
primordial bukan karena tindakan yang berdasarkan akal atau penalaran. Sebaliknya,
pelatihan yang diberikan kepada anjing tersebut tidak akan mungkin terjadi apabila
hewan itu tidak menyadari secara naluri tentang adanya sebuah keteraturan dalam
bentuk kecerdasan yang lebih tinggi—dalam hal ini adalah manusia—. Hal tersebut
juga terjadi pada dunia hewan yang lain—selain anjing— seperti pada pelatihan
21
Ibid
22
Nancy Cartwright. 2016. Contingency and The Order of Nature. San Diego: University of
California, hlm. 58.
23
Choudhury, M. A. 1992. A Critical Examination of the Concept of Islamization of Knowledge.
Humanomics, hlm. 62.
24
London, J. 1903. The Call of the Wild. San Francisco: Macmillan.
lumba-lumba dan burung beo, yang dimana hewan tersebut dapat dilatih untuk
mengucapkan kata-kata manusia. Peraihan kecerdasan seperti itu, meskipun tidak
melalui akal atau nalar, harus ada sebuah pengenalan secara naluri dari adanya rasa
atas sebuah ketertiban di alam semesta. Pemahaman keteraturan seperti itu adalah
hasil dari harmoni interaksi antara dunia kognitif dan dunia adaptasi ke tingkat
kecerdasan atau insting yang lebih tinggi.
Ada sifat umum yang sama dari konsep ilmu adalah sebagai sebuah proses
evolusi yang interaktif dari tingkat kognisi yang lebih rendah ke tingkat yang lebih
tinggi dan kecerdasan lingkungan di sekitar kita, konsep ini dapat dibuktikan ke dunia
nyata. Dunia nyata ini terdiri dari dunia alami dan semua didalamnya. Dunia alami
terlihat di sini memiliki sebuah bentuk koherensi dan memiliki rasa hormat terhadap
hukum alam semesta yang inheren. Namun, koherensi seperti itu antara tatanan alam
dan tatanan universal bukanlah suatu kebetulan atau tidak bertujuan. Sebaliknya, hal
itu sangat evolusioner dan dapat dipahami bahkan secara level religius.
Jadi, di dalam seluruh bentuk eksistensi kehidupan, konsep Ilmu itu
didasarkan pada premis tentang tingkat kecerdasan primordial yang lebih tinggi, yang
dengan menghadirkan alam semesta di ranah tatanan yang mendalam, membuat
semua penghuni di dalamnya berinteraksi dan belajar dari pengalaman mereka yang
berkembang dalam sistem ini.25
Esensi interaksi tidak hanya ada dalam sub-kategori yang dikategorikan
sistem, tetapi juga di antara mereka:
Istilah, 'kecerdasan' digunakan sehubungan dengan premis primordial hukum,
kecerdasan evolusioner manusia, dan kemampuan naluri hewan. Ide kecerdasan yang
digunakan di sini adalah, salah satu bentuk adaptasi dari evolusi tanpa perlu adanya
rasa kesadaran terhadap hal tersebut. 26
Istilah, 'kognisi', mengacu pada elemen fisik perubahan mempengaruhi media
27
kecerdasan.
Istilah 'abstraksi', berlaku untuk penyortiran gambaran realitas yang diperoleh
oleh entitas dikategorikan sub-sistem. Dalam hal ini, manusia mengambil jalan lain
untuk analitis pemikiran; hewan untuk persepsi fisik; benda mati untuk diberikan
kepatuhan, semua sesuai dengan hukum yang ditentukan sebelumnya. Ide abstraksi
yang disampaikan tidak selalu membutuhkan kesadaran latihan intelijen untuk
mengakui hukum-hukum primordial, yang dasarnya merupakan real 28
25
Choudhury, M. A. 1992. A Critical Examination of the Concept of Islamization of Knowledge.
26
Humanomics, hlm. 63.
27
Ibid, hlm. 65.
28
Ibid.
Istilah, 'pemahaman' dalam definisi ilmu yang disebutkan di atas, berarti kepatuhan
terhadap hukum primordial sebagai esensi realitas dalam semua kategori sub-sistem -
manusia, bernyawa dan tidak bernyawa. 29
Istilah 'alam semesta', menunjukkan interaksi secara totalitas di antara semua kategori
sub- sistem sesuai dengan pemahaman dan respon terhadap realitas diturunkan atas
dasar persepsi evolusioner dan primordial hukum.30

Penting bagi kita untuk mendefinisikan Ilmu sedemikian rupa secara esensi
sistemik, untuk kemudian dapat diperlakukan dalam arti ranah interaktif dan
evolusioner dari perolehannya. Atas dasar interaksi semacam itu, pengalaman
terhadap suatu fenomena dapat dijelaskan. Jika tidak, dengan tidak adanya sistem
sistemik seperti itu, kita tidak mungkin bisa mempelajari yang bernyawa dan dunia
mati dalam kaitannya dengan Tuhan. Maka dari itu, kita harus menyadari pentingnya
mempelajari konsep dasar Ilmu itu sendiri

D. Konsep Ilmu dalam Islam

Setelah membahas konsep Ilmu secara umum, selanjutnya saya akan


membahas bagaimana Ilmu menurut Al-Qur’an. Ada banyak ayat yang menjelaskan
tentang Iman dan Ilmu, Beberapa akan dicantumkan disini:

Surat Asy-Syura: “Dan demikianlah Kami turunkan kepadamu (Muhammad) ruh (Al-
Qur'an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidak mengetahui apa itu Kitab
(Al-Qur'an) dan apa iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur'an itu cahaya, yang
dengannya Kami memberi petunjuk kepada siapa yang Kami kehendaki di antara
hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya Engkau telah memberi petunjuk (manusia)
ke jalan yang lurus,” (42:52)[1]

29
Ibid.
30
Ibid.
Surat Al-Jumuah “Apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi selalu bertasbih
kepada Allah. Raja, Yang Maha Suci, Yang Perkasa, Yang Bijaksana.” (62:1)[2]

Surat Fussilat: “Kemudian Dia naik ke langit dan (langit) masih dalam bentuk asap,
lalu Dia berkata kepadanya dan ke bumi, “Datanglah kamu berdua menurut
perintah-Ku dengan ketaatan atau paksaan.”(41:11)[3]

Surat Fussilat: “Kemudian Dia menciptakan tujuh langit dalam dua musim dan di
setiap surga Dia menyatakan urusan mereka. Kemudian syurga yang dekat (ke
bumi), Kami menghiasi bintang-bintang, dan (Kami menciptakan) untuk menjaga.
Demikianlah ketetapan (Allah), Yang Mahakuasa, yang Maha Mengetahui.” (41:12)
[3]

Surat Fussilat: “Kami akan menunjukkan kepada mereka tanda-tanda Kami ke semua
arah dan dalam diri mereka, sehingga akan jelas bagi mereka bahwa Al-Quran
adalah kebenaran.. Tidak cukupkah Tuhanmu menjadi Saksi atas semua
perkara?”(41:53)[4]

Konsep umum yang disebutkan di atas tentang Ilmu dan evolusi interaktif,
dapat dikatakan hal tersebut kompatibel dengan Al-Qur'an.

 Dalam beberapa ayat, Al-Qur'an menjelaskan dengan jelas tentang Hukum Ilahi (Al-
Qur’an itu sendiri) sebagai dasar Ilmu. [1]
 Kesadaran dan kepatuhan oleh dunia nyata dan dunia gaib terhadap kuasa Allah
SWT. [2]

 Tentang proses evolusi yang terarah dan harmonis diikuti oleh semua subsistem
alam semesta tersebut.[3]
 Proses timbal balik alam semesta yang bekerja di antara kategori-kategori sub-
sistem menuju realisasi keluasan kuasa Allah SWT.[4]

Ini karakteristik konsep Al-Qur'an tentang Ilmu dan perolehannya,


menyajikan poin- poin kunci di mana kita akan mengembangkan model Islamisasi
Ilmu, atas dasar itu, pemeriksaan kritis objektif karya kontemporer tentang Islamisasi
pemikiran dan alternatifnya, dapat dikejar.31

Poin-poin kunci tentang Al-Qur'an dengan ilmu adalah,

1. Konsep Ilmu mutlak, yaitu Tuhan Dirinya sendiri, dan yang tidak sepenuhnya
terwujud ke alam semesta dalam kehidupan sementara, tapi akan begitu nyata di
Akhirat.32
2. Konsep fungsional Ilmu, Ilmu yang berbeda dari realitas Tuhan yang sebenarnya
dalam urutan hal-hal dan untuk kepenuhan Ilmu-Nya, adalah proses evolusi yang
merangkul kecerdasan interaktif dan pengalaman yang diperoleh di semua sub-
sistem dari semesta.33

E. Integrasi Iman dan Ilmu

Ada ayat seluruh Al-Qur'an yang merupakan petunjuk yang jelas tentang sifat
hubungan antara iman dan Ilmu yang ditegaskan Al-Qur'an.Referensi ke beberapa
ayat akan cukup untuk menjelaskan maksudnya.

Surah al-An'am: "Dan Dialah yang menurunkan air dari langit, kemudian
Kami mengeluarkannya dengan segala jenis tumbuh-tumbuhan, kemudian Kami
mengeluarkan daripadanya tumbuh-tumbuhan hijau, Kami mengeluarkan dari
tumbuh- tumbuhan itu banyak biji-bijian; dan dari daun singkong, mengurai batang-
batang yang menjorok, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami juga mengeluarkan)
31
Choudhury, M. A. 1992. A Critical Examination of the Concept of Islamization of Knowledge.
Humanomics, 8(3/4), hlm. 69.
32
Ibid, hlm. 68.
33
Ibid.
zaitun dan delima yang yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya
pada waktu berbuah, dan menjadi masak. Sungguh, pada yang demikian itu ada
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.” (6:99)

Surah Yunus: “Katakanlah, "Perhatikan apa yang ada di langit dan di bumi!"
Tanda-tanda (kebesaran Allah) dan rasul-rasul itu tidak berguna bagi orang-orang
yang tidak beriman.” (10:101).

Surah Al-Ankabut " Apakah pantas bagimu untuk pergi ke laki-laki, mencuri dan
melakukan kejahatan di tempat pertemuanmu?” Maka jawaban kaumnya tidak lain
adalah mengatakan, “Maka jawaban umatnya tidak lain adalah mengatakan,
“Bawalah kami azab Allah, jika kamu orang-orang yang saleh." (29:24).

Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa tanpa iman kepada Allah tanda-tanda


Allah tidak dapat dipahami. Sesungguhnya tanpa iman kepada Allah tanda-tandanya
tidak akan menjadi tanda-tanda Allah sama sekali. Maka dari itu, iman kepada Allah
adalah syarat yang wajib bagi kita untuk memahami tanda-tanda sebagai tanda-tanda-
Nya dan dikarenakan ilmu menurut Al- Qur'an terdiri dari memahami tanda-tanda
Allah maka dalil-dalil di atas dapat dikatakan demikian: Iman adalah syarat mutlak
untuk menuntut ilmu dalam Islam. Ada beberapa ayat yang mendekatkan ilmu
sebagai pemahaman. Dengan ayat-ayat tersebut dapat dirumuskan sebagai: “Iman
membawa seseorang kepada Ilmu, dan Ilmu pada kembalinya, dapat menguatkan
Iman seseorang itu”34

Kita harus memahami bahwa iman adalah syarat terbentuknya Ilmu. Jelas
sekali Iman dibutuhkan untuk melihat tanda-tanda Allah. Dengan Ilmu tersebut
seseorang akan secara bawah sadar, tergiring untuk lebih beriman kepada Allah
SWT. Lama kelamaan, secara bawah sadar, disertai dengan pikiran dan wawasan
yang luas, kita dapat memahami kuasa Allah SWT beserta dengan kebenaran-

34
Kazmi, Y. 1999. Faith and Knowledge in Islam: An Essay in Philosophy of Religion. Islamic Studies,
38(4), hlm. 505.
kebenaran Nya. Secara singkat, terkait hal ini kita akan memiliki keyakinan pada
kemampuan intelektual kita sendiri terhadap pemahaman terhadap batasan- batasan
sendiri dan karena itu kita harus tetap bergantung kepada Allah SWT.

Kalau kita sadari, sebenarnya Al-Qur’an menceritakan tentang betapa sulitnya


manusia menerima kebenaran dan keesaan Allah SWT. Walaupun telah diingatkan
berkali-kali oleh para nabi yang telah diutus dan berulang selama ribuan tahun,
banyak manusia masih tidak dapat menerima islam dan kebenaran Allah SWT.
Perkembangan manusia menuju peradaban modern membuat banyak orang menaruh
kepercayaan terhadap ilmu-ilmu, bimbingan hidup, yang dibangun oleh manusia
sendiri secara historis, berakibat kepada pudarnya Iman kepada Allah SWT.

Kita harus memikirkan, apakah Iman menjadi syarat untuk memahami tanda-
tanda Allah SWT? Atau Iman menjadi syarat untuk mendapatkan Ilmu? Masalah ini
telah secara historis dipandang sebagai memahami hubungan antara iman dengan
akal, bukan iman kepada Ilmu. Meskipun istilah yang digunakan bukan Ilmu tetapi
penalaran, tetapi untuk tujuan praktis kedua istilah itu dianggap sama. Tentu saja,
agama telah berusaha untuk memperpendek hubungan ini.

Filsuf Muslim dan Kristen Abad Pertengahan memandang nalar sebagai

karunia ilahi
bagi manusia, karena wahyu dan penalaran berasal dari sumber yang
sama, keduanya harus selaras dan bisa tidak menjadi berlawanan. Namun, bukan
berarti bahwa Ibn'Aqil ini menjadi satu-satunya pandangan, tetapi menjadi pandangan
yang paling menonjol dan diterima secara luas.35

Dengan pandangan Ibn’Aqil ini mencoba untuk mengatakan bahwa asal nalar
dan Iman hanya dari karunia Allah SWT semata menghasilkan solusi sementara saja.
Belum terselesaikan dan belum terjawab, antara lain masalah apa yang harus
dilakukan bila akan ada pertentangan antara akal dan iman. Hasil dari cara
mengkonseptualisasikan hubungan antara akal dan iman ini adalah bahwa ketegangan
antara keduanya tidak bisa dihadapi secara langsung secara filosofis. Namun, Al-
Ghazali berpendapat bahwa masalah tersebut dapat dihadapi secara filosofis terlebih
dahulu. Ia menyadari bahwa dengan filsafat, kita dapat mencapai kebenaran yang
hakiki dengan mengekspos keterbatasan pemikiran manusia itu sendiri.

Al-Ghazali mungkin menjadi filsuf pertama yang menyadari bahwa


memahami agama adalah tindakan filosofis eksistensi dan bukan hanya murni latihan

35
Ibid, hlm. 507.
intelektual. Menurut Al- Ghazali iman hanya sebagai tindakan aksi. Meskipun
masalah yang kita hadapi di sini adalah masalah yang diwariskan dari masa lalu
namun gaya filosofis yang digunakan untuk memperbarui pemikiran tersebut lebih
mengambil contoh dari pemikiran barat yang kontemporer. Gaya filsafat yang
digunakan di sini bagai palu yang menghancurkan sebuah tembok. Filsafat adalah
kegiatan yang sangat pragmatis, yang menggunakan apa pun yang dianggap berguna
dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.36

Arah pandang, wawasan dan konsep yang membantu untuk memahami


hubungan antara iman dan Ilmu merupakan bagian tertentu dari tren filsafat barat
kontemporer, pemikiran dan konsep mempertanyakan dasar dari sebuah ilmu.37
Sebuah tren, baik itu sejarah intelektual atau sosial, adalah suatu peristiwa di dalam
sejarah yang berkesinambungan. Oleh karena itu, hal tersebut tidak dapat dipahami
dengan sendirinya. Ini dapat dipahami dengan baik dengan latar belakang apa yang
sebelumnya dan dari mana ia mewarisi masalahnya. Maka dari itu, membuat sebuah
argumen mengenai masalah Iman dan Ilmu menjadi sebuah keharusan dalam
menghadapi masalah yang akan datang.38

BAB IV

TUJUAN DAN MATERI PENDIDIKAN

36
Kazmi, Y. 1999. Faith and Knowledge in Islam: An Essay in Philosophy of Religion. Islamic Studies,
38(4), hlm. 508
37
Syarifuddin. (2016). Konstruksi Filsafat Barat Kontemporer. Aceh: Fakultas Ushuludin IAIN Ar-
Raniry.Syarifuddin. (2016). Konstruksi Filsafat Barat Kontemporer. Aceh: Fakultas Ushuludin IAIN
Ar-Raniry, hlm 3-4.
38
Kazmi, Y. op. cit, hlm. 509.
1. Tujuan Tafsir Al-Qur’n dan Hadits Dalam Mendidik Generasi Muslim

Islam memiliki padangan khusus mengenai Pendidikan. Farhan mengatakan:


’’Pendidikan dan pembelajaran mempunyai hubungan yang erat dengan Aqidah,
syari’ah, dan system kehidupan. Pendidikan islam juga menumbuh kembangkan
Pendidikan sains dan tekhnologi namun tetap memiliki prisip mengedepankan
ketauhidan. Para ahli merumuskan tujuan Pendidikan Islam, yaitu “membentuk
peserta didik menjadi insan yang shaleh dan bertaqwa kepada Allah SWT.’’
Sebagaimana firmannya;
‫َقْد َخ َلْت ِمْن َقْبِلُك ْم ُس َن ٌۙن َفِس ْيُرْو ا ِفى اَاْلْر ِض َفاْن ُظ ُرْو ا َك ْي َف َك اَن َع اِقَب ُة اْلُم َك ِّذ ِبْي َنٰه َذ ا َبَي اٌن ِّللَّن اِس َو ُه ًد ى َّو َم ْو ِع َظ ٌة‬

‫۝ٰه َذ ا َبَي اٌن ِّللَّن اِس َو ُه ًد ى َّو َم ْو ِع َظٌة ِّلْلُم َّت ِقْي َن‬۱۳۷ ‫ِّلْلُم َّت ِقْي َن‬
Artinya; “Sungguh, telah berlalu sebelum kamu sunah-sunah (Allah). Oleh
karena itu, berjalanlah di (segenap penjuru) bumi dan perhatikanlah bagaimana
kesudahan para pendusta (rasul-rasul). Inilah (Al-Qur’an) suatu keterangan yang
jelas untuk semua manusia, petunjuk, dan pelajaran bagi orang-orang yang
bertakwa.” (QS. Ali-Imkran : 137-138).
Dikemukakan Hasan Langgulung, bahwa Pendidikan dapat ditinjau dari dua segi.

Pertama dari sudut pandang masyarakat, dari sini pendidikan dapat diartikan warisan

kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda yang bertujuan agar hidup

masyarakat tetap berlanjut, atau dengan kata lain agar suatu masyarakat mempunyai

nilai-nilai budaya yang senantiasa tersalurkan dari generasi ke generasi dan

senantiasa terpelihara dan tetap eksis dari zaman ke zaman. Kedua pendidikan dapat

dilihat dari sudut pandang individu, dari sini Pendidikan dapat diartikan

pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi dalam diri setip

individu, sebagai tujuan dalam memnuhi semua kemandirian dan kemampuan dalam

menjalani kehidupan dan agar memenuhi semuakeinginan individu tersebut.

Pandangan tersebut lahir dari tujuan pendidikan yang mana jika tujuan pendidikan
tersebut akan berubah dan akan jauh berbeda jika dibenturkan dalam agama Islam. Di
mana Islam datang secara komprehensif membentuk pendidikan yang berlandasakn
al-Qur’an dan as-Sunnah, di mana Islam mendidik individu menjadi manusia yang
beriman, berakhlak yang mulia dan beradab yang kemudian melahirkan masyarakat
yang bermartabat, teori ini didasarkan pada firman Allah:
۞ ‫َو َم ا َك اَن اْلُمْؤ ِم ُن ْو َن ِلَي ْن ِفُرْو ا َك ۤا َّفًۗة َفَلْو اَل َنَفَر ِمْن ُك ِّل ِفْر َقٍة ِّم ْن ُهْم َط ۤا ِٕىَفٌة ِّلَي َتَفَّقُهْو ا ِفى الِّدْي ِن َو ِلُيْن ِذُرْو ا َق ْو َم ُهْم ِاَذ ا‬
‫ࣖ َر َج ُع ْٓو ا ِاَلْي ِه ْم َلَع َّلُهْم َي ْح َذ ُرْو َن‬
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).
mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122)
Secara mendasar, agama Islam sendiri sangat menjunjung tinggi pendidikan, serta
tidak membeda-bedakan pendidikan kepada laki-laki maupun pendidikan kepada
wanita. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫ٌة‬
‫َط َلُب اْلِع ْل ِم َفِر يَض َع َلى ُك ِّل ُمْس ِلٍم‬
”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah.
Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu
Majah no. 224).

Ketakwaan dan keshalehan itu ditandai dengan kemapanan aqidah dan keadilan yang
mewarnai segala aspek kehidupan sese-orang, yang meliputi pikiran, perkataan,
perbuatan, pergaulan, dan lain sebagainya. Untuk mencapai tujuan ini, terdapat empat
hal yang mesti diperkenalkan kepada peserta didik melalui materi Pelajaran yang
diajarkan dalam setiap bidang ilmu, yaitu sebagai berikut.
a. Memperkenalkan kepada mereka, bahwa manusia secara individu adalah
makhluk Allah yang mempunyai tanggung jawab dalam kehidupan ini.
b. Memperkenalkan kepada mereka, bahwa manusia sebagai makhluk sosial
adalah anggota masyarakat dan mempunyai tanggung jawab dalam sistem
kemasyarakatan di mana a berada.
c. Memperkenalkan kepada mereka, bahwa alam ini ciptaan Tuhan dan
mengajak peserta didik memahami hikmah Tuhan menciptakannya.
Kemudian menjelaskan pula kepada mereka kemestian manusia
melestarikannya.
d. Memperkenalkan Pencipta alam kepada para peserta didik dan mendorong
mereka beribadah kepada-Nya.

2. Aplikasi Tujuan Pendidikan Islam

Setiap mata pelajaran yang diajarkan kepada peserta didik seharus-nya integral
dengan aqidah tauhid, termasuk kajian-kajian sains. Ada dua model integral yang
dapat dijadikan pilihan dalam merumuskan tujuan pembelajaraan. Pentama, integral
materi, yaitu menggabungkan materi pembelajaran, dalam penyajiannya, dengan
pandangan al-Qur'an atau sunnah mengenai isi materi tersebut. Nas-nas syar'i banyak
berbicara tentang fenomena alam, baik yang berkaitan dengan kajian-kajian sosial
maupun eksak.
Perbincangan nas syar' i mengenai persoalan itu, khususnya yang berkaitan dengan
pokok bahasan yang akan disajikan, bisa dirujuk dan dijadikan bahan tambahan
sebagai pengembangan materi oleh guru. Perlu diperkenalkan kepada siswa, bahwa
Islam juga berbicara tentang persoalan ilmu pengetahuan. Dan nuansa perbincangan
al-Qur'an mengenainya berbeda dengan perbincangan sekuler. Perbincangan kitab
suci mengenainya menggunakan pendekatan tauhidi.
Kedua, integral dalam perumusan tujuan, di mana siswa tidak hanya diarahkan
kepada penguasaan pengetahuan dan keterampilan saja tetapi juga penanaman dan
perkembangan iman dalam jiwa mereka melalui materi tersebut. Mengikuti model ini
guru tidak perlu mengutip nas-nas syar'i yang berbicara mengenai pokok bahasan
yang disajikan. Guru cukup mensinergikan pokok bahasan yang di sajikan itu dengan
aqidah tauhid. Di sini guru dituntut mampu memperlihatkan dan membuka jiwa
peserta didik melihat tanda kebesaran Allah SWT dalam fenomena alam yang sedang
diperbincangkan. Maka tujuan yang ingin dicapai dalam suatu pembelajaran tidak
saja penguasaan-materi dan keterampilan, tetapi juga kemampuan siswa memahami
tanda kebesaran Allah SWT pada objek yang dipelajari.
Perbincangan di atas menggambarkan, bahwa secara umum ada dua aspek tujuan
pendidikan Islam yang mesti diaplikasikan dalam Satuan Acara Pembelajaran (SAP),
yaitu pertama, aspek keilmuan sebagai tujuan sementara, di mana para peserta didik
menerima transfer ilmu serta harus menguasainya, dan kedua, aspek pembentukan
ketakwaan dan keshalehan sebagai tujuan utama. Tujuan pertama mesti dilihat
sebagai suatu jalan atau sarana yang dapat mengantarkan peserta didik kepada
pencapaian tujuan kedua.
Adapun yang menjadi persoalan di sini adalah bagaimana merumuskan tujuan
pembelajaran suatu disiplin ilmu sesuai dengan pandangan Islam, terutama ilmu-ilmu
sosial dan eksak? Dan pertanyaan lebih lanjut, bagaimana mensinergikan tujuan
pembelajaran itu dengan aqidah tauhid? Abdul Mabud, seperti yang dikutip oleh
Munzir, secara umum telah merumuskan tujuan pembelajaran Ilmu Pengetahuan
Alam (IPA) menurut sudut pandangan Islam, yaitu sebagai berikut.
a. Pemahaman sebagai makhluk fisik dan biologis sebagai manives-tasi Keesaan
Ciptaan, Kekuasaan, Keadilan, Keagungan, dan Keindahan Allah melalui
karya-Nya (tuhan sebagai Pencipta Agung segala sesuatu dan ciptaan itu
sebagai refleksi dari sifat-sifat-Nya).
b. Pemahaman mengenai martabat dan kedudukan makhluk dalam kerangka
penciptaan semesta (Kesatuan alam).
c. Mampu memahami berbagai prinsip dan implikasi ilmu dalam konteks
pengetahuan yang digali melalui al-Qur'an dan sunnah (Rangkaian antara
pengetahuan saintifik dan pengetahuan transendental atau wahyu).
d. Mampu memahami bahwa implikasi ilmu-ilmu harus terpadu dengan nilai-
nilai etik dan agama (Aplikasi ilmu)"
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Iman dan Ilmu merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam Agama Islam.
Seperti yang sudah dijelaskan, adanya interkoneksi antara Iman dan Ilmu yang
sifatnya saling menguatkan. Dimana Iman merupakan jalan untuk melihat kebenaran
Allah SWT, Ilmu sebaliknya menguatkan Iman tersebut. Jadi, perdebatan tentang
apakah Ilmu dan akal itu membutuhkan Iman, dalam hal ini nalar dan Ilmu itu bukan
yang mendasarkan Iman, tetapi Iman-lah yang menjadi dasar bagi Ilmu dan akal. Akal
dan Ilmu itu bekerja di dalam ruangan Iman, hal tersebut telah dijelaskan berkali- kali
dalam Al-Qur’an. Iman-lah yang membentuk suatu makna dari akal dan Ilmu yang
kita miliki. Sebaliknya, tanpa Ilmu kita tidak dapat mempelajari Al-Qur’an, hanya
dengan akal dan Ilmu yang baik baru kita dapat memahami apa yang Al-Qur’an
sampaikan. Upaya untuk memahami Al-Qur'an-lah justru apa peran filsafat yang
seharusnya dalam Islam. Dari sini dapat terlihat koneksi antara Ilmu dengan Iman
yang tidak dapat terpisahkan, karena Ilmu dan Iman telah menjadi bagian dari hukum
ilahi yang telah diberikan oleh Allah SWT, dzat yang maha kuasa dan maha
mengetahui.

B. Saran
Makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan, membantu, dan
memudahkan kita dalam memahami dan mempelajari ajaran islam yang sebenarnya.
untuk itu kami menghimbau untuk memahami isi makalah ini sebaik-baik mungkin
sehingga dapat di implementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Kami mengucapkan terimakasih dan permohonan maaf yang sebesar-besarnya
kepada pembaca dan semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Munawar, S. A. H. 2003. Aktualisasi Nilai-NIlai Qur‟ani dalam Sistem Pendidikan


Islam.Jakarta: Ciputat Press.

Cartwright, Nancy. 2016. Contingency and The Order of Nature. San Diego: University of
California.

Choudhury, M. A. 1992. A Critical Examination of The Concept of Islamization of


Knowledge.Humanomics.

Cleveland, Cutler (ed). 2007. Evolution of The Human-Environment Relationship. Boston:


Boston University.

Denny, F. M. 2005. An Introduction to Islam. New York: Taylor & Francis.

Huda, Nurul. 2013. The Concept of Iman According to al-Baidawi's Anwar at Tanzil wa
Asrar at- Ta'wil. Jurnal "Analisa".

Islahi, Amin Ahsan. 2019. Mabadi Tadabbur-i-Hadith. Delhi: Al-Balagh Publications.


Jalaluddin. 2005. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm 24.
Kazmi, Y. 1999. Faith and Knowledge in Islam: An Essay in Philosophy of Religion. Islamic
Studies.

London, J. 1903. The Call of the Wild. San Francisco: Macmillan.

Moussalli. 1990. Syed Qutb's View of Knowledge. The American Journal of Islamic
SocialSciences.

Murata & Chittick. 1994. The Vision of Islam. Sleman: Suluh Press.

Nizhnikov, S. 2018. Concept of Faith: Its Ontological and Gnoseological Aspects. Advances
in Social Science, Education and Humanities Research.

Nurjannah. 2014. Lima Pilar Rukun Islam Sebagai Pembentuk Kepribadian Muslim.
Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.

Syarifuddin. 2016. Konstruksi Filsafat Barat Kontemporer. Aceh: Fakultas Ushuludin IAIN
Ar- Raniry.

Samidi. 2016. Tuhan, Manusia, dan Alam: Analisis Kitab Primbon Atassadhur
Adammakna.Semarang: Balai Litbang Agama.

Taufik. 2019. Integrasi Nilai Pendidikan Iman dan Ilmu Pengetahuan Dalam Tafsir Al-
Misbah.Jurnal Pendidikan Islam.
DR. Kadar M. Yusuf, Tafsir tarbawi, pesan-pesan al-qur’an tentang pendidikan
Asas-asas Pendidikan Islam
Hasan Langgulung,

Muhammad Zaim /Tujuan Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987),3.


DR. Kadar M. Yusuf, M.Ag. Tafsir Tarbawi Pesan-Pesan Al-Qur’an Tentang Pendidikan.
(2020)
DR. Kadar M. Yusuf, M.Ag. Hadits Tarbawy Pendidikan dalam Perspektif Hadits, (2020)

Anda mungkin juga menyukai