Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Akhlak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan. Dalam
kaitan ini, peranan pendidikan agama Islam di kalangan umat (masyarakat)
merupakan manifestasi dari cita-cita hidup Islami dalam melestarikan dan
mentransfor- masikan nilai-nilai religi terhadap pribadi generasi penerusnya.
Moral yang terbimbing dalam naungan ilahiyah akan melahirkan Akhlak terpuji
dan terarah. Untuk itu nilai-ilai Islam yang diformulasikan dalam cultural
religious tetap berfungsi dan berkembang di masyarakat dari masa ke
masa.1Untuk itu pendidikan yang mengarah kepada pembinaan akhlak sangat
perlu diberikan dalam pengajaran dan pendidikan baik yang formal, nonformal
maupun informal.
Akhlak Islami didasarkan pada nilai-nilai Al-Qur’an dan Hadis Nabawi.
Kitab suci Al-Qur’an diturunkan penuh dengan keberkahan supaya umat
manusia memperlihatkan ayat-ayatnya dan mendapatkan pelajaran bagi orang-

orang yang mempunyai pikiran.2 Dalam pemahaman ini memberi tekanan untuk
menyimak dan menganalisa ayat-ayat Al- Qur’an dan Hadis Nabawi.
Pendidikan akhlak karimah perlu diberdayakan melalui proses
pembelajaran. Dalam hal proses belajar-mengajar tentunya berlandaskan dua
asas, yaitu: 1) Dengan menjaga (memperlihatkan) terhadap tingkat kemampuan
atau pemikiran yang diajar - dididik, 2) Pengembangan potensi akal, jiwa, dan
jasmaninya dengan apa-apa yang mengarahkannya kepada kebaikan dan

petunjuk/kebenaran.3

1
Encep Safrudin Muhyi, dalam Dinamika Umat, edisi 52/VI/Maret 2007, hlm. 16
2
QS. Shad (38): 29.
3
Manna’ al-Qattho, Mabahits fi ’Ulum al-Qur’an, (tth. : Mansyurot al-’Ashril Hadits,
tt.), cet. III, hlm. 116.
2

Demikian pula menurut al-Qatthon4 bahwa sistem belajar- mengajar yang


tidak memperlihatkan tingkat pemikiran yang diajar/dididik (thullab> )
dalam tahapan-tahapan pengajaran, bentuk-bentuk bagian yang bersifat
menyeluruh dan perpindahan dari yang umum menuju yang khusus atau tidak
memperhatikan pertumbuhan aspek-aspek kepribadian yang bersifat intelektual,
rohani dan jasmani, maka ia adalah sistem pendidikan yang gagal yang tidak
member hasil ilmu pengetahuan kepada umat, selain hanya menambah kebekuan
dan kemunduran.
Akhlak yang mulia merupakan unsur yang sangat utama di dalam risalah

Islamiyah. Dalam syari’at Islam akhlak yang baik adalah manifestasi ibadah. 5
Demikian halnya dalam sholat terkandung nilai-nilai akhlak. Pokok-pokok
akhlak Islami itu mencakup berlaku benar, jujur menunaikan amanah, menepati
janji, tawadhu’ (merendahkan diri), berbakti kepada orang tua, menyambung
silaturrahmi, berlaku baik kepada tetangga, memuliakan tamu, pemurah, dan
dermawan, penyantun dan sabar, mendamaikan manusia, sifat malu berbuat

ma’siat, kasih sayang, berlaku adil, dan menjaga kesucian diri.6 Itulah diantara
akhlak karimah yang perlu kita miliki sifat-sifat yang mulya tersebut.

4
Ibid., hlm. 117.
5
Fathi Yakan, Sifat dan Sikap Seorang Muslim (terj), (Surabaya : Bina Ilmu, 1982), cet. I, hlm.
22.
6
Perhatikan dalam Hadza Huwa al-Isla>m oleh Ahmad B. Utsman & Adil Asyiddy, hlm. 6-15.
3

B. Rumusan Masalah
1. Mengapa kajian pendidikan akhlak Qur’ani itu sangat urgen dipelajari ?
2. Apa saja ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung isyarat tentang pendidikan
akhlak dalam menuntut ilmu ?
3. Bagaimana konsep-konsep penafsiran (interpretasi) Syaikh Nawawi al-
Bantani tentang pendidikan Akhlak tersebut ?

C. Tujuan Makalah
1. Mengetahui alasan tentang urgensi pendidikan akhlak Qur’ani.
2. Dapat menyebutkan isyarat-isyarat Al-Qur’an yang ada hubungannya
dengan pendidikan akhlak Islami (akhlak karimah dalam menuntut ilmu).
3. Mengungkapkan tentang pandangan-pandangan Syaikh Nawawi al-Bantani
mengenai pendidikan akhlak karimah dalam thalabul ilmi
4

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendidikan Akhlak


Pendidikan akhlak dalam Islam adalah pendidikan yang mengakui
bahwa dalam kehidupan manusia menghadapi hal baik dan hal buruk,
kebenaran dan kebatilan keadilan dan kedhaliman, serta perdamaian dan
peperangan. Untuk menghadapi hal-hal yang serba kontra tersebut, islam telah
menetapkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang membuat manusia mampu
hidup di dunia.7
Pendidikan akhlak terdiri dari kata yaitu pendidikan dan akhlak.
Pendidikan di artikan sebagai usaha sadar yang di lakukan manusia untuk
mengembangkan potensi manusia lain atau memindahkan nilai dan norma yang
di milikinya kepada orang lain dalam masyarakat. Di lihat dari pendekatan
etimologi, perkataan “akhlak” berasal dari bahasa Arab jama’ dari
bentuknya mufradnya “khuluqun (‫ ”)قلخ‬yang menurut logatnya diartikan : budi
pekerti perangai, tingkah laku atau tabiat. Akhlak juga bisa di artikan kebiasaan
kehendak. Akhlak juga memiliki kesamaan dengan istilah “etika” karena
keduanya membahas masalah baik dan buruk mengenai tingkah laku manusia. 8
Menurut pemahaman etimologi, kata akhlak berasal dari bahasa Arab,
yaitu bentuk jamak dari kata khulq, yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah

laku, atau tabiat.9 Sedangkan Ahmad Amin mengatakan, bahwa akhlak adalah
kebiasaan kehendak. Ini berarti bahwa kehendak itu bila dibiasakan dalam ujud
tingkah laku, maka kebiasaan itu akan disebut akhlak. Contohnya; bila kehendak

7
Khaidir dkk, Op.Cit., hlm. 6.
8
Ahmad Hafidz Habiburrahman,“Pendidikan Akhlak Menurut Syekh Muhammad
Nawawi Al-Bantani Dalam Kitab Bahjatul Wasaail Bi Syahri Masaail” Hikmah:Jurnal Pendidikan
Islam, no.2. (2016): 297-298.
9
Luis Ma’luf, Kamus Al-Munjid, (Beirut: Al-Maktabah Al- Katulikiyah, tth.),
hlm. 194.
5

itu dibiasakan memberi, maka kebiasaan itu disebut akhlak dermawan.10


Di dalam Ensiklopedi Pendidikan dikatakan, bahwa akhlak ialah budi

pekerti, watak, kesusilaan (kesadaran etik dan moral), yaitu kelakuan baik yang
merupakan akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap Khaliknya, dan terhadap

sesama manusia.11
Dalam kaitan pengertian akhlak ini, Ulil Amri Syafri mengutip pendapat
Nashiruddin Abdullah, yang menyatakan bahwa, secara garis besar dikenal
dua jenis akhlak; yaitu akhlaq al-karimah (akhlak terpuji), akhlak yang baik
dan benar menurut syari’at Islam, dan akhlaq al-madzmumah
(akhlak tercela), akhlak yang tidak baik dan tidak benar menurut syari’at Islam.
Akhlak yang baik dilahirkan oleh sifat-sifat yang baik pula, demikian
sebaliknya akhlak yang buruk terlahir dari sifat yang buruk. Sedangkan
yang dimaksud dengan akhlaq al-madzmumah adalah perbuatan atau
perkataan yang mungkar, serta sikap dan perbuatan yang tidak sesuai dengan
syari’at Allah, baik itu perintah maupun larangan Nya, dan tidak sesuai dengan
akal dan fitrah yang sehat.12

B. Urgensi Pendidikan Akhlak


Menurut Syed Muhammad Al-Naquib al-Attas yang dikutip oleh H.
Mahmud bahwa pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu upaya dalam
menanamkan sesuatu ke dalam diri manusia. Sesuatu yang dimaksudkan di sini
mengacu pada ilmu sebagai isi atau materi pendidikan. Dengan demikian,
pandangannya menyebutkan bahwa pendidikan adalah suatu proses penanaman

10
Ahmad Amin, Kitab Al-Akhlak, (Kairo: Da>r Al-Kutub Al- Mishriyah, tth.)
hlm. 15.
11
Soegarda Purbakawaca, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1976),
hlm. 9
12
Ulil Amri Syafri, MA., Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an, (Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2014), cet. II, hlm. 74-75.
6

sesuatu ke dalam diri manusia. Dalam proses ini mengisyaratkan adanya usaha
yang bertahap (berangsur-angsur). Hal ini memang tidak terlepas dalam
pendidikan karena mewujudkan manusia yang sesuai dengan yang dicita-
citakan. Sehingga dalam pendidikan sangat diperlukan tahapan-tahapan dan
tidak bisa sekali jadi.
Misi pendidikan pada dasarnya adalah upaya memenuhi berbagai
tuntutan kualitas generasi bangsa, yakni tuntutan budaya, sosial, dan
perkembangan dari generasi ke generasi berikutnya yang terus berkelanjutan
Allâh Swt telah menurunkan al-Qur’an sebagai petunjuk umat manusia untuk
kebaikan dunia dan akhirat. Manusia yang mengikutinya merupakan jalan
kebahagiaan di dunia dan akhirat.13 Inilah hakekat tujuan pendidikan Islam.
Dalam Islam, pendidikan merupakan bagian inheren dari agama itu sendiri.
Untuk memenuhi tuntutan beribadah kepada Allâh, seorang muslim dituntut
belajar tentang hukum-hukum keagamaan.14 Al-Qur’ân sebagai pedoman hidup
manusia mengatur kehidupan dari berbagai aspek mulai dari aspek sosial,
ekonomi, ibadah, pendidikan dan lain sebagainya.
Menurut M. Athiyah al-Abrasyi,15 urgensi pendidikan Islam adalah untuk
membentuk budi pekerti atau menjadi manusia yang berakhlak mulia. Dalam
syari’at Islam bahwa mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan
sebenarnya dari pendidikan Islam. Urgensi pendidikan Islam secara makna
diisyaratkan al-Qur’an dalam surat al-Hujurat ayat 13 yaitu:
‫ٰٓيَاُّيَها الَّناُس ِاَّنا َخ َلْقٰن ُك ْم ِّم ْن َذ َك ٍر َّو ُاْنٰث ى َو َجَع ْلٰن ُك ْم ُش ُعْو ًبا َّو َقَبۤا ِٕى َل ِلَتَع اَر ُفْو اۚ ِاَّن َاْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد ِهّٰللا‬
١٣ ‫َاْتٰق ىُك ْم ۗ ِاَّن َهّٰللا َع ِلْيٌم َخ ِبْيٌر‬

13
‘Abd al-Hamîd al-Shaid al-Zantaniy, Asas al-Tarbiyah al- Islâmiyyah fi al-Sunnah al-
Nabawiyyah, (Libiya : Al-Dar al-‘Arabiyyah li al-Kitab, 1984), cet. ke-2, hlm. 5.
14
M. Darwis Hude, et.al., Cakrawala Ilmu dalam Al-Qur’ân, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2002), cet. ke-2, hlm. 427.
15
Muhammad ‘Atiyah al-Abrasyi, Educational Theory a Quranic Outlook, terj. Bustami A.
Ghani dan Djohar Bahry, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm.
15.
7

Artinya: "Hai manusia, sesunguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang


laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal dan
menghargai dan sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allâh adalah orang yang paling bertakwa…” (Q.S. al-Hujurat:13)

Menurut pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani tentang akhlak ter- tuang


dalam karyanya yaitu kitab Nashaihul ‘Ibad. Kitab ini berbicara tentang
Pendidikan akhlak secara mendalam yang berisikan nasehat- nasehat orang alim
dan yang luas ilmu pengetahuannya. Karakteristik pemikiran Pendidikan akhlak
Syekh Nawawi al-Bantani dapat digo- longkan dalam corak praktis yang tetap
berpegang teguh pada al-qur’an dan hadits.
1. Pendidikan akhlak yang ada pada kitab Nashaihul ‘Ibad yang dapat penulis
paparkan antara lain sebagai berikut:
a. Iman.
Dalam kitab Nashaihul ‘Ibad dituliskan dalam bab I maqalah ke
1 dua perkara yang paling utama yaitu sebagai berikut:

Artinya:“Ada dua perkara yang tak ada sesuatu pun mampu melebihi
keutamaann- ya, (yakni) iman kepada Allah dan bermanfaat
bagi umat Islam.”16

b. Takwa
Dalam kitab Nashaihul ‘Ibad dituliskan pada bab II maqalah ke
36, tiga pesan Luqman Hakim kepada anaknya yang berbunyi sebagai

16
Syekh Nawawi al-Bantani, kitab Nashaihul ‘Ibad, Jakarta Selatan: PT.Rene Turos
In- donesia, 2020, hlm. 12.
8

berikut:

Dimana dijelaskan sesungguhnya manusia itu terbagi menjadi


tiga bagian yaitu:
a. Sepertiga untuk Allah swt.
Bagian untuk Allah swt adalah ruhnya yang akan Kembali kepada-Nya.
b. Seperti untuk dirinya sendiri.
Bagian untuk diri manusia sendiri adalah amal perbuatannya yang bal-
asanya akan diterima baik maupun buruk.
c. Sepertiga untuk belatung.]

c. Zuhud
Dalam kitab Nashaihul ‘Ibad dituliskan pada bab IV maqalah ke
24 yang berbunyi sebagai berikut:

Zuhud itu mengandung lima perkara inti yang terpuji, yaitu:


a. Keyakinan total kepada Allah.
b. Melepaskan diri dari merasa butuh kepada makhluk.
c. Ikhlas dalam beramal.
d. Tabah terhadap perlakuan zalim.
e. Sifat qona’ah (merasa cukup) denga napa yang dimiliki.17

17
Ibid., hlm. 182-183.
9

Nabi saw bersabda :


“Berlaku zuhud di dunia akan mengistirahatkan (menenangkan) hati
dan badan. Sedangkan rakus akan memperbanyak kesedihan dan
kedudukan. Cinta dunia adalah pangkal dari segala kesalahan,
sementara zuhud adalah pangkal dari segala kebaikan dan ketaatan”.18

d. Sabar
Dalam kitab Nashaihul ‘Ibad dituliskan pada bab II maqalah ke
13 yang berbunyi sebagai berikut:

a. Siapa yang tidak memiliki adab (baik terhadap Allah swt, maupun
sesama mahkluk) berarti dia tidak berilmu.
b. Siapa yang tidak sabar berarti agamanya kurang bagus.
c. Siapa yang tidak mempunyai sifat wara’ (menjauhkan dari dari
hal- hal haram dan syubhat) maka dia adalah orang yang tidak dekat
dengan Allah swt.
Pada dasarnya kesabaran itu berlaku dalam tiga hal yaitu sebagai
berikut:
a. Sabar menghadapi musibah dan kezaliman.
b. Sabar bertahan dari berbuat maksiat.
c. Sabar menjalani perintah-perintah fardhu.19
Barang siapa yang ingin selamat dari siksa Allah swt.
Memperoleh pahala dan anugerah rahmatNya serta masuk ke dalam
surgaNya, maka hendaklah ia menahan nafsu dari kesenangan-
kesenangan dunia dan bersa- bar terhadap penderitaan dan musibah

18
Imam Al-Ghazali, DNA Mata Hati (Mukasyafatul Qulub), Jakarta: Shahih, 2016, hlm.135.
19
Syekh Nawawi al-Bantani Op.Cit., hlm. 52.
10

yang menimpanya.20

e. Wara’
Dalam kitab Nashaihul ‘Ibad dituliskan pada bab IV maqalah ke
23 yang berbunyi sebagai berikut:

Dalam hal ini sifat wara adalah meninggalkan segala hal yang
syubhat. Adapun meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat adalah
dengan meninggalkan hal-hal yang sudah semestinya ditinggalkan.
Rasulullah saw bersabda:
“Jadilah engkau hamba yang wara’ maka engkau akan menjadi orang
yang paling taat beribadah” (H.R.al-Baihaqi).21

f. Ikhlas
Dalam kitab Nashaihul ‘Ibad dituliskan pada bab IV maqalah ke
17 yang berbunyi sebagai berikut:

Keikhlasan terdiri atas tiga tingkatan, yaitu :


a. Menyucikan amal perbuatan dari perhatian makhluk.
b. Melakukan amal saleh karena Allah semata dengan harapan dia

20
Imam Al-Ghazali, Op.Cit., hlm. 15.
21
Syekh Nawawi al-Bantani,Op.Cit., hlm. 181.
11

mem- berikan pahala diakhirat dengan membebaskan diri dari api


neraka serta menjadikan penghuni surga dengan segala
kenikmatan. Inilah tingkatan ikhlasan yang kedua.

g. Tawadhu’
Dalam kitab Nashaihul ‘Ibad dituliskan pada bab IX maqalah ke
16 yang berbunyi sebagai berikut :

Terdapat beberapa perilaku tawadhu yang harus dipelajari yaitu :


a. Ambillah akar pohon kefakiran dan akar tawadhu.
b. Campurkan dengan akar tobat.
c. ketiga unsur tersebut kedalam lesung ridha.
d. Haluskan semua unsur itu dengan tumbuk qona’ah.
e. Masukkan racikan tadi kedalam panci ketaqwaan.
f. Tuangkan air rasa malu kedalamnya.
g. Didihkan air tersebut dengan api mahabbah (kecintaan kepada
Allah).
h. Tuangkan hasil racikan tersebut kedalam cangkir syukur.
i. Diinginkan hasil racikan tersebut dengan kipas raja’ (rasa penuh
harap).
j. Minumlah ramuan tersebut dengan sendok hamd (pujian kepada Al-
lah).
Dalam hal ini kefakiran dan kerendahan hati (tawadhu)
12

diibaratkan pohon karena keduanya memiliki nilai yang sangat tinggi


disisi Allah. Adapun akar merupakan bagian terpenting bagi kehidupan
pohon tersebut.
Maksudnya, ambillah bagian terpenting dari hidup ini rasa ikhlas
pada kefakiran dan tawadhu sebab keduannya sangat tinggi
keududukannya disisi Allah SWT. Bahwasanya tawadhu adalah
menerima sesuatu yang hak dari manapun ia datang.22
Tawadhu’ kepada Sesama Makhluk Terdapat tiga makna, yaitu :
1) Ridha untuk menjadikan seseorang dari kaum Muslimin sebagai
saudaramu, karena Allah telah ridha kepadanya untuk menjadi
hamba-Nya.
2) Tidak menolak kebenaran yang datang dari musuhmu.
3) Menerima maaf dari orang yang meminta maaf.23

h. Perilaku dalam pergaulan


Dalam kitab Nashaihul ‘Ibad dituliskan dalam bab I maqalah ke
2 sebagai berikut :

Artinya: “Kalian harus bergaul dengan para ulama dan mendengarkan


perkataan hukama’ karena Allah swt. Menghidupkan hati yang
mati dengan cahaya hikmah (ilmu yang bermanfaat),
sebagaimana dia menghidupkan tanah yang tandus dengan air
hujan”.

22
Syekh Nawawi al-Bantani, Op.Cit., hlm. 291-292.
23
Syaikh Salim bin 'Ied al,Hilali, Op.Cit., hlm. 29.
13

Dimana menurut Syekh Nawawi al-Bantani bergaul dengan para


ahlullah (orang yang dekat dengan Allah) itu mampu membentuk
keluhuran jiwa. Bahkan terkadang kerlingan mata mereka lebih ber-
manfaat dari ucapan. Jika seorang, yang dengan kerlingannya saja ia
memberi manfaat, ucapannya pasti jauh lebih bermanfaat. 24 Selain itu,
Abdul Aziz bin Muhammad mengatakan bahwa Ibnu Jarir Ath-Thabari
berakhlak sangat terpuji, baik ketika makan, berpakaian dan
berteman. Dan ketika dia harus bercanda dengan teman-temannva, dia
pun bercanda dengan memilih bercanda yang paling baik.25

i. Perilaku orang yang berilmu dan tidak berilmu.


Dalam kitab Nashaihul ‘Ibad dituliskan dalam bab 1 maqalah ke
21 sebagai berikut :

Dimana perilaku orang yang berilmu dan tidak berilmu


dijelaskan dalam kitab ini menjadi dua bagian, yaitu :
a. Orang yang berilmu tidak akan merasa asing dimana pun dia berada.
b. Orang yang tidak berilmu akan merasa asing diamanpun dia berada.

Dimana menurut Syekh Nawawi al-Bantani bahwasanya orang


yang mempunyai ilmu dan mengamalkannya akan mulia dan dihargai
manusia dimanapun dia berada. Dengan demikian, dimanapun dia
merasa berada di negerinya sendiri, sekalipun seorang pendatang.
Sementara itu, orang bodoh akan mengalami hal sebaliknya.26

24
Ibid., hlm. 13-14.
25
Syaikh Ahmad Farid, Op.Cit., hlm. 617.
26
Syekh Nawawi al-Bantani., Op.Cit., hlm. 28-29.
14

j. Perilaku terpuji.
Dalam kitab Nashaihul ‘Ibad dituliskan pada bab IX maqalah ke
2 yang berbunyi sebagai berikut :

Sepuluh perkara terpuji itu adalah sebagai berikut :


a. Ucapan yang selalu jujur disertai hati yang selalu qona’ah
(merasa puas).
b. Kesabaran yang sempurna disertai rasa syukur yang terus-menerus.
c. Kefakiran yang langgeng disertai sikap zuhud.
d. Tafakur yang langgeng disertai perut yang kosong.
e. Kesedihan yang langgeng disertai rasa takut kepada Allah.
f. Keprihatinan yang langgeng disertai tubuh yang tawadhu’.
g. Sikap lemah lembut yang langgeng disertai kasih sayang.
h. Kecintaan yang langgeng disertai rasa malu.
i. Ilmu yang bermanfaat disertai amal saleh.
j. Keimanan yang langgeng disertai akal yang sempurna.27

27
Ibid., hlm. 262.
15

C. Ayat-ayat Al-Qur’an tentang Akhlak Menuntut Ilmu Serta Penafsirannya


a. Q.S. Al-Mujad> alah ayat 11:
‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْٓو ا ِاَذ ا ِقْيَل َلُك ْم َتَفَّس ُحْو ا ِفى اْلَم ٰج ِلِس َفاْفَس ُحْو ا َيْفَس ِح ُهّٰللا َلُك ْۚم‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman apabila dikatakan kepadamu


“berlapang-lapanglah dalam majlis” maka lapangkanlah
niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu”

Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas yang telah mengatakan


bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Tsabit Ibnu Qais Ibnu
Syammas. Hal itu karena dia memasuki masjid, sedangkan kaum telah
menduduki tempatnya masing-masing. Dia bermaksud untuk mengambil
tempat di dekat Rasulullah Saw karena dia ingin mendengarkan
sesuatu dari Nabi Saw. Maka mereka memberikan kelapangan baginya
hingga ia dapat berada di dekat Nabi Saw, kemudian ada sebagian kaum
yang tidak memberinya tempat duduk, lalu terjadilah perang mulut
antara dia dan mereka. Dia mengemukakan alasannya bahwa ia ingin
berada di dekat Rasul untutk mendengarkan sesuatu darinya dan ia
sangat menyukai hal itu. Lalu, disampaikan kepada beliau bahwa si
Fulan tidak memberikan tempat baginya, sehingga Nabi
memerintahkan kepada kaum untuk memberikan tempat, akan tetapi
tiada seorang pun yang mau berdiri memberikan tempat bagi orang lain,
lalu turunlah ayat ini.

Mengenai hubungan ayat ini dengan akhlak menuntut ilmu adalah


bahwa setiap penuntut ilmu harus mempunyai akhlak ketika berada di
majlis ilmu misalkan berlapang-lapang dalam majlis, memberi tempat
duduk kepada penuntut ilmu yang lain atau kepada orang yang
dihormati dan orang-orang lemah. Sesungguhnya orang yang memberi
16

kelapangan kepada orang lain, maka akan diberi kelapangan oleh Allah,
dan orang yang memberi tempat duduk kepada orang lain, maka dia
akan mendapat kebaikan dari Allah Swt, seperti dalam hal belajar
misalnya diberi kemudahan untuk memahami ilmu.

b. Q.S. Al-Kahfi ayat 60:


‫ّٰٓت‬
٦٠ ‫َو ِاْذ َقاَل ُم ْو ٰس ى ِلَفٰت ىُه ٓاَل َاْبَر ُح َح ى َاْبُلَغ َم ْج َم َع اْلَبْح َر ْيِن َاْو َاْمِض َي ُح ُقًبا‬
Artinya: “Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada
muridnya “aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai
ke pertemuan dua buah lautan, atau aku akan berjalan sampai
bertahun-tahun”

Kisahnya bermula ketika dalam hati Musa terbetik suatu perasaan


bahwa tiada seorang pun yang lebih ‘alim daripada dirinya. Maka Allah
berfirman, “Hai Musa, sesungguhnya Aku di bumi ini mempunyai
seorang hamba yang lebih banyak beribadah kepada ku, dan lebih alim
daripada kamu, dia adalah Khidir.” Musa bertanya, “Wahai Tuhanku,
tunjukkanlah tempat tinggalnya kepadaku.” Allah berfirman
kepadanya, “Ambilah ikan yang telah diasin kemudian telusurilah
pantai laut ini hingga engkau menjumpai sebuah batu besar yang di
dekatnya terdapat sebuah mata air yaitu Tirta Kehidupan. Lalu, ikan
asin itu terkena cipratan air dari mata air tersebut, maka dengan serta
merta ikan itu menjadi hidup, dan di tempat itulah kamu akan bersua
dengan Khidir.” Lalu, Musa mengambil ikan asin dan meletakkannya di
sebuah keranjang, dan Musa berkata kepada muridnya, “Apabila ikan
ini hilang, maka beritahukanlah kepadaku,” selanjutnya keduanya pergi
dengan berjalan kaki menelusuri pantai laut itu.
17

Analisis penulis mengenai hubungan ayat ini dengan Akhlak


menuntut ilmu adalah semangat dalam menuntut ilmu yakni seorang
penuntut ilmu harus siap melakukan perjalanan yang jauh untuk
menuntut ilmu dan harus kuat menanggung segala kesulitan yang
berhubungan dengan menuntut ilmu, seperti halnya nabi Musa As yang
rela berjalan dengan jarak yang jauh dalam rangka menemui nabi
Khidir As untuk menuntut ilmu, hal ini menunjukan bahwa antusiasme
nabi Musa As dalam menuntut ilmu itu sangat besar.

c. Q.S. An-Nahl ayat 43


‫َو َم ٓا َاْر َس ْلَنا ِم ْن َقْبِلَك ِااَّل ِر َج ااًل ُّن ْو ِح ْٓي ِاَلْيِهْم َفْس َٔـ ُلْٓو ا َاْه َل الِّذْك ِر ِاْن ُكْنُتْم اَل َتْع َلُم ْو َۙن‬
٤٣
Artinya: “Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang
(laki-laki) yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika
kamu tidak mengetahui”

Hal ini merupakan jawaban terhadap orang-orang Quraisy yang


mengatakan bahwa Allah Mahatinggi dan Mahabesar bila

Dia mengirimkan utusan-Nya seorang manusia, bahkan


seandainya Dia menghendaki untuk mengutus Rasul kepada kami
tentulah Dia mengutus malaikat bukan manusia. (Maka bertanyalah
kepada orang yang mempunyai pengetahuan) yaitu ahlul ‘ilmi tentang
berita orang-orang terdahulu. Jika mereka bertanya kepada ahlul ‘ilmi
maka pastilah jawaban mereka mengatakan bahwa para rasul yang telah
diutus kepada mereka adalah manusia. Apabila ahlul ’ilmi
memberitahukan kepada mereka tentang hal tersebut, pastilah akan
18

lenyap keraguan yang ada dalam hati mereka, (jika kamu tidak
mengetahui) bahwa rasul-rasul itu dari kalangan manusia. 28

mengenai hubungan ayat ini dengan Akhlak menuntut ilmu


adalah bertanya kepada orang yang memahami ilmu ketika tidak
mengetahui, agar dapat mendapat ilmu dan terhindar dari kebodohan.
Namun, dalam bertanya kepada guru harus disertai adab yang mulia
oleh penuntut ilmu diantaranya yaitu mengucapkan salam,
memberitahu nama yang jelas, singkat, padat, dan jangan pernah
menanyakan sesuatu yang sudah diketahui jawabannya serta jangan
bertanya sesuatu dengan niat merendahkan guru.

d. Q.S. Al-‘Ankabut ayat 69


٦٩ ࣖ ‫َو اَّلِذ ْيَن َج اَهُد ْو ا ِفْيَنا َلَنْهِدَيَّنُهْم ُس ُبَلَنۗا َو ِاَّن َهّٰللا َلَم َع اْلُم ْح ِس ِنْيَن‬

Artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhoan)


kami, benar-benar akan kami tunjukan kepada mereka jalan-
jalan kami, dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta
orang-orang yang berbuat baik”

(Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang- orang yang


berbuat baik) yakni akan menolong mereka dalam ucapan dan
perbuatannya dengan memberi taufik dan pemeliharaan. Hal ini
mengisyaratkan tingkatan tertinggi istidlal , seakan-akan Allah
berfirman kepada manusia bahwa barang siapa yang jauh tidak mau
mendekatkan diri, mereka adalah orang-orang kafir. Diantara mereka
ada orang yang mendekatkan dirinya melalui berfikir dan menempuh
jalan yang benar, maka Allah memberi mereka taufik dan menjadikan
28
Muhammad Nawawi Al-Jawi, Penerj. Bahrun Abu Bakar, Tafsir Munir (Marah Labid),
jilid 3, (Bandung : Sinar Baru Algensindo), hlm. 431.
19

mereka dekat dengan Allah dan Allah mengajarinya berbagai hal yang
belum pernah diketahuinya.29

Pada dasarnya hubungan ayat ini dengan Akhlak menuntut ilmu


menunjukkan bahwasanya orang-orang yang berjihad di jalan Allah
maka Dia akan menunjukan kepada mereka jalan menuju kebaikan.
Berjihad bisa melalui berfikir yakni menuntut ilmu dengan bersungguh-
sungguh dan diniatkan untuk mencari keridhaan Allah, maka Allah
akan memudahkannya dalam menuntut ilmu. Seorang penuntut ilmu
harus bersungguh-sungguh dengan niat untuk mencari keridhaan Allah
dalam menuntut ilmu agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat.

e. Q.S. Luqman ayat 18

‫َو اَل ُتَص ِّعْر َخَّد َك ِللَّناِس َو اَل َتْم ِش ِفى اَاْلْر ِض َم َر ًح ۗا ِاَّن َهّٰللا اَل ُيِح ُّب ُك َّل ُم ْخ َتاٍل‬
١٨ ‫َفُخ ْو ٍۚر‬

Artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan wajahmu dari manusia


(karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi
dengan angkuh, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang sombong lagi membanggakan diri”

(Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh)


yakni dengan tingkah yang angkuh dan sombong. (Sungguh Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri) makna
Mukhtâl adalah orang yang angkuh yang memperlihatkan kebesaran
dirinya alias Takabur kepada orang lain, dan Fakhûr adalah orang yang
melihat kebesaran dirinya atau membanggakan diri. 30

29
Muhammad Nawawi Al-Jawi, Penerj. Bahrun Abu Bakar, Tafsir Munir (Marah Labid),
jilid 5, (Bandung: Sinar Baru Algensindo), hlm.17
30
Muhammad Nawawi Al-Jawi, Penerj. Bahrun Abu Bakar, Tafsir Munir (Marah Labid),
jilid 5, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2011), hlm. 64.
20

Analisis penulis mengenai hubungan ayat ini dengan Akhlak


menuntut ilmu adalah seorang penuntut ilmu tidak boleh sombong baik
dengan Mukhtâl atau Fakhûr karena itu akan menyebabkan tidak
manfaatnya ilmu yang didapat. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. Agar
mendapatkan berkah ilmu maka kita harus berbuat baik kepada orang
yang mengajarkan ilmu kepada kita, karena bagaimana mungkin akan
mendapatkan ilmu jika kita tidak mencintai pemilik ilmu tersebut,
karena logikanya kita merasa tidak suka atau benci terhadap seseorang
maka kita akan merasa enggan
21

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pendidikan Akhlak Menurut Syekh Nawawi al-Bantani Dalam Kitab
Nashaihul ‘Ibad maka dapat paparkan terkait tentang konsep pendidikan
akhlak menurut Syekh Nawawi al-Bantani adalah sebagai berikut :
1. Pendidikan akhlak terhadap Allah bahwa hakekat pendidikan akhlak kepada
Allah adalah sebagai berikut pendidikan beriman dan bertakwa.
2. Pendidikan akhlak terhadap diri sendiri menekankan dalam beberapa aspek
antara lain sebagai berikut: (a) pendidikan sabar (b) pendidikan wara’, (c)
pendidikan zuhud, (d) ikhlas, dan yang terakhir (e) pendidikan tawadhu’. 3)
Pendidikan akhlak terhadap sesama makhluk (a) pendidikan dalam pergaulan
dan (b) pendidikan orang yang berilmu dan tidak berilmu (orang awam) dan
(c) perilaku terpuji.
Akhlak menuntut ilmu dalam al-Qur’an terdapat dalam Q.S. al-
Mujadalah ayat 11, Q.S. al-Kahfi ayat 60, Q.S. an-Nahl ayat 43, Q.S.
al-‘Ankabut ayat 69, dan Q.S. Luqman ayat 18, enafsiran ayat- ayat ini dalam
perspektif Syaikh Nawawi dapat dipahami dalam Tafsir Marah Labid. Akhlak
menuntut ilmu berdasarkan perspektif Syaikh Nawawi al-Bantani terdapat juga
dalam kitab Maraqil ‘Ubudiyyah. Hal ini dapat disebutkan diantara akhlak dalam
menuntut ilmu yaitu memberi salam dan meminta izin masuk ke dalam majelis.
Pada intinya konsep penafsiran Syaikh Nawawi dalam kaitan ini
menyebutkan, interaksi antara laki-laki dan perempuan dalam ruang publik
berporos pada lima aktivitas. Pertama, dalam perkara ibadah. Kedua, perkara
mu’amalah. Ketiga, perkara pendidikan. Keempat, perkara kesehatan. Kelima,
perkara peradilan.
22

B. Saran
Makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan, membantu, dan
memudahkan kita dalam memahami dan mempelajari ajaran islam yang
sebenarnya. untuk itu kami menghimbau untuk memahami isi makalah ini
sebaik-baik mungkin sehingga dapat di implementasikan dalam kehidupan
sehari-hari.
Kami mengucapkan terimakasih dan permohonan maaf yang sebesar-
besarnya kepada pembaca dan semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan
makalah ini.

Anda mungkin juga menyukai