Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

MENGINTEGRASI ISLAM,IMAN DAN IHSAN DALAM MEMBENTUK INSAN KAMIL

Disusun Oleh:
Niken Adellia Pratiwi (142012218049)
Martri Srikandi (142912218036)
Silvia (142012218064)

STIK SITI KHADIJAH PALEMBANG

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

TAHUN AJAR 2023/2024


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah atas segala limpahan rahmat, hidayah, dan inayah-nya. Tanpa
kuasa- nya tidak akan pernah tersusun materi Agama islam Mengintegrasikan Islam, Iman, dan
Ihsan ini. Tak lupa sholawat serta salam untuk Rasul-ku Muhammad SAW yang selalau
menuntun umat nya dari jalan kegelapan menuju jalan terang benderang dan sebagai sosok
teladan serta semoga kita tidak pernah lupa akan menjadikan syafa’at kita kelak. Materi
Mengintegrasi Islam,Iman, Dan ihsan ini memuat tentang Menelusuri konsep dan urgensi islam,
iman dan ihsan dalam membentuk ihsan kamil, Menanyakan alasan mengapa Islam dan Ihsan
menjadi persyaratan dalam membentuk insan kamil, menggali sumber teologi, histori, dan
filosofi tentang iman, Islam dan ihsan sebagai pilar agama islam dalam membentuk insan kamil.

Penyusunan materi ini bertujuan untuk menginformsikan kepada mahasiswa dan pendidik
tentang materi Mengintegrasi Islam,Iman, dan Ihsan dalam membentuk Ihsan Kamil yang dapat
dijadikan acuan dalam memberikan bahan ajar materi ini tentunya banyak kekurangan. Oleh
sebab itu diharapkan dapat di lakukan pengembangan ilmu tentang materi ini. Kami selaku
penulis mengucapkan terimakasih.
DAFTAR ISI

Judul.............................................................................................................................................i

Kata Pengantar.........................................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang............................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................2

1.3 Tujuan.........................................................................................................................3

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Menelusuri konsep dan urgensi....................................................................................4

2.2 Alasan Islam, Iman, dan Ihsan dalam membentuk Ihsan Kamil...........................5

2.3 Sumber Teologis, Histori, dan Filosofi........................................................6

BAB 3 PENUTUP

3.1 Simpulan.................................................................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada dunia pendidikan Islam, materi dalam suatu pembelajaran menjadi salah satu unsur penting
dalam proses pembelajaran. Di Indonesia, materi ilmu agama yang dimaksudkan adalah Akidah. alQuran,
Hadis, Fikih, Akhlaq, Sejarah Islam, dan Bahasa Arab. Namun, tetap yang menjadi pondasi ilmu agama
Islam adalah pendidikah akidah. Menurut Zakiah Darajat (2011: 75), secara umum,ruang lingkup
pengajaran agama Islam itu meliputi rukun Iman yang enam, yaitu Iman kepada Allah, Iman kepada
Rasul- Nya, Iman kepada malaikat-Nya, Iman kepada kitab-kitab suci yang diturunkan kepada Rasul
Allah dan Iman kepada qadha dan qadar. Tentu saja termasuk segala sesuatu yang berkaitan dengan iman
tersebut seperti masalah kematian, syaithan, jin, iblis, azab kubur, alam barzakh dan sebagainya.

Dalam pelaksanaan pengajaran ini tentu disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta
didik.Pendidikan akidah menuntut setiap insan muslim agar mereka dapat mempertahankan iman dan
agama Islam serta keistiqomahannya dalam beribadah. Penulis memfokuskan kepada Islam, Iman, dan
Ihsan dalam membentuk Ihsan Kamil. Dimana Insan Kamil adalah Insan kamil ialah manusia yang
sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya. Kesempurnaan dari segi wujudnya ialah karena dia
merupakan manifestasi sempurna dari citra Tuhan, yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat
Tuhan secara utuh.

Dasar agama Islam memiliki tiga tingkatan yaitu Islam, Iman, dan Ihsan. Tiap-tiap tingkatan
memiliki rukun-rukun yang membangunnya. Jika Islam dan Iman disebut secara bersamaan, maka yang
dimaksud Islam adalah amalan-amalan yang tampak (lahir) dan mempunyai lima rukun. Sedangkan yang
dimaksud Iman adalah amal-amal batin yang memiliki enam rukun. Dan jika keduanya berdiri sendiri-
sendiri, maka masing-masing menyandang makna dan hukumnya tersendiri. Ketiga konsep di atas, yaitu
islam, iman dan ihsan telah menjadi pokok ajaran agama Islam sendiri yang juga sangat berperang
penting dalam proses pendidikan Islam. Sesunguhnya, materi-materi yang diuraikan dalam al-Qur’an dan
hadis menjadi bahan-bahan pokok pelajaran yang disajikan dalam proses pendidikan Islam, baik formal
maupun non-formal. Oleh karena itu, materi pendidikan Islam harus dipahami, dihayati, diyakini, dan
diamalkan dalam kehidupan umat islam.
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa Konsep dan urgensi islam, iman, dan ihsan dalam membentuk insan kamil?

2. Mengapa iman, islam dan ihsan menjadi persyaratan dala membentuk ihsan kamil?

3. Apa sumber teologi, histori, dan filosofi iman, islam, dan ihsan dalam membentuk

insan Kamil?

1.3 Tujuan
Adapun Tujuan dari makalah ini ialan sebagai berikut:

1. Mengetahui konsep dan Urgensi Islam, Iman dan Ihsan dalam membentuk Insan

Kamil (Manusia Sempurna).

2. Mengetahui alasan mengapa iman, Islam, dan ihsan menjadi persyaratan dalam membentuk insan kamil.

3. Menggali sumber teologis, historis, dan filosofis tentang iman, Islam, dan ihsan sebagai pilar

agama Islam dala membentuk insan kamil.


BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Konsep dan Urgensi Islam, Iman, Ihsan dalam membentuk Ihsan Kamil
2.1.1 Konsep Islam, Iman, Ihsan dalam membentuk Ihsan Kamil
2.1.1.1 Iman
Iman secara etimologis berarti percaya perkataan iman di ambil dari kata kerja
‘aamaanah’-yukminun yang berarti percaya atau membenarkan. Perkataan Iman yang berarti
‗Membenarkan itu disebutkan dalam Al-Qur‘an, di antaranya dalam Surah At-Taubah ayat 62
yang artinya:“Merekabersumpah kepadamu dengan (nama) Allah untuk menyenangkan kamu,
padahal Allah dan Rasul-Nya lebih pantas mereka cari keridaan-Nya jikamereka orang mukmin.”
Menurut istilah, pengertian iman adalah membenarkan dengan hati,diucapkan dengan
lisan, dan diamalkan dengan tindakan (perbuatan).Dengan demikian, pengertian iman kepada
Allah adalah membenarkandengan hati bahwa Allah itu benar-benar ada dengan segala sifat
keagungandan kesempurnaanNya, kemudian pengakuan itu diikrarkan dengan lisan,serta
dibuktikan dengan amal perbuatan secara nyata.
Jadi, seseorang dapat dikatakan sebagai mukmin (orang yang beriman)sempurna apabila
memenuhi ketiga unsur keimanan di atas. Apabila seseorang mengakui dalam hatinya tentang
keberadaan Allah, tetapi tidak diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan,
maka orangtersebut tidak dapat dikatakan sebagai mukmin yang sempurna. Sebab, ketiga unsur
keimanan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan. Beriman
kepada Allah adalah kebutuhan yang sangat mendasar bagi seseorang. Allah memerintahkan agar
ummat manusia beriman kepada-Nya,sebagaimana firman Allah yang artinya: Wahai orang-
orang yang beriman. Tetaplah beriman kepada Allahdan RasulNya (Muhammad) dan kepada
Kitab (Al Qur‘an) yang diturunkan kepada RasulNya, serta kitab yang diturunkan sebelumnya.
Barangsiapaingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasulNya, dan
hari kemudian, maka sungguh orang itu telah tersesat sangat jauh.‖ (Q.S. An Nisa : 136)
Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa Bila kita ingkar kepadaAllah, maka akan
mengalami kesesatan yang nyata. Orang yang sesat tidakakan merasakan kebahagiaan dalam
hidup. Oleh karena itu, beriman kepada Allah sesungguhnya adalah untuk kebaikan manusia.
A. Tingkatan Iman
Dalam Islam dikenal beberapa tigkatan seseorang dalam keyakinan beragama, diantaranya adalah:
1. Muslim: orang mengaku islam, kadar keimanannya termasuk yangterendah, sebatas
pengakuan Allahsebagai tuhanyang esa, belum ada bedanya dengan iblis yang juga meyakini
bahwa Allah adalah maha esa,

2. Mu'min: orang beriman, yang mengkaji syariat Islam sehingga meningkatwawasan


keislamannya,
3.Muhsin: orang yang memperbaiki segala perbuatannya agar menjadi lebih baik,
4.Mukhlis: orang yang ikhlas dalam beribadah, hidupnya hanya untukmengabdikan kepada
Allah, 5.Muttaqin: orang yang bertakwa, tingkatan ini adalah yang tertinggi diantara tingkatan
lainnya.

2.1.1.2 Islam
Islam dalam bahasa (Arab: al-islām) : "berserah diri kepada Tuhan")adalah agamayang
mengimani satu Tuhan, yaitu Allah. Dengan lebih darisatu seperempat miliar orang pengikut di
seluruh dunia, menjadikan Islam sebagai agama terbesar kedua di dunia setelah agama Kristen.
Islam memiliki arti "penyerahan", atau penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan(Arab: Allāh).
Pengikut ajaran Islam dikenal dengan sebutan Muslimyang berarti"seorang yang tunduk kepada
Tuhan"atau lebih lengkapnya adalah Muslimin bagi laki-laki dan Muslimat bagi perempuan.
Islam mengajarkan bahwa Allah menurunkan firman- Nya kepada manusia melalui para nabidan
rasulutusan-Nya, dan meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa Muhammadadalah nabi dan
rasul terakhir yang diutus ke dunia oleh Allah.
Islam adalah agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Sawsebagai nabi dan
rasul terakhir untuk menjadi pedoman hidup seluruh manusiahingga akhir zaman.Pengertian
Islam secara harfiyah artinya damai, selamat, tunduk, dan bersih. Kata Islam terbentuk dari tiga
huruf, yaitu S (sin), L (lam), M (mim) yang bermakna dasar “selamat” (Salama)Pengertian Islam
Menurut Bahasa, Islam berasal dari kata aslama yang berakar dari kata salama. Kata Islam
merupakan bentukmashdar (infinitif)dari kata aslama ini.
A. Poin-poin Islam Poin-poin Islam yang didasari oleh ayat-ayat AL-Qur‘an, sebagai berikut:
1. Islam sebagai wahyu ilahi
Mengenai hal ini, Allah berfirman QS. 53 : 3-4 :

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur‟an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya
itu tiada lain hanyalah wahyu yangdiwahyukan (kepadanya).”
2.Diturunkan kepada nabi dan rasul (khususnya Rasulullah SAW)
Membenarkan hal ini, firman Allah SWT (QS. 3 : 84)
“Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan
yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma`il,

3.Sebagai pedoman hidup


Allah berfirman (QS. 45 : 20):

“Al Qur‟an ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagikaum yang
meyakini.” 4.Mencakup hukum-hukum Allah dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW
Allah berfirman (QS. 5 : 49-50)
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurutapa yang diturunkan Allah,
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsumereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka,
supaya mereka tidakmemalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan
Allahkepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akanmenimpakan musibah kepada mereka
disebabkan sebahagian dosa-dosamereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-
orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang
lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”
5. Membimbing manusia ke jalan yang lurus.
Allah berfirman (QS. 6 : 153)

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jala--Ku yang lurus,maka ikutilah dia; dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain),karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu
dari jalan-Nya. Yangdemikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.”
6.Menuju kebahagiaan dunia dan
akhirat. Allah berfirman (QS. 16 : 97)

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kamiberikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kamiberi balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yangtelah mereka kerjakan.
2.1.1.3 Ihsan
Ihsan adalah seseorangyang menyembah Allahseolah-olah ia melihat-Nya, dan jika ia
tidak mampu membayangkan, maka orang tersebut membayangkan bahwa sesungguhnya Allah
melihat perbuatannya.
Ihsan adalah lawan dari isa'ah (berbuat kejelekan), yaitu seorangmanusia mencurahkan
kebaikan dan menahan diri untuk tidak menggangguorang lain. Mencurahkan kebaikan kepada
hamba-hamba Allah dengan harta,ilmu, kedudukan dan badannya.

Ihsan itu ialah bahawa kamu menyembah Allah seolah-olah kamumelihat-Nya,tetapi jika kamu
tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Diamelihat kamu.‖

Ihsan juga adalah melakukan ibadah dengan khusyuk,ikhlas dan yakin bahwa Allah senantiasa
mengawasi apa yang dilakukannya. Hadist riwayat muslim dari Umar bin Khatab ia berkata
bahwa mengabdikan diri kepadaAllah hendaklah dengan perasaan seolah-olah anga melihat-
Nya,maka hendaklah anda merasa bahwa Allah melihatmu.
A. Aspek Pokok Dalam Ihsan
Ihsan meliputi tiga aspek yang fundamental. Ketiga hal tersebutadalah ibadah, muamalah, dan
akhlak. Ketiga hal inilah yang menjadi pokok bahasan dalam ihsan.
1. Ibadah

Kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu denganmenunaikan semua jenis ibadah, seperti
shalat, puasa, haji, dansebagainya dengan cara yang benar, yaitu menyempurnakansyarat, rukun,
sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini tidak akanmungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba,
kecuali jika saat pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan cita rasayang sangat
kuat (menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa memantaunya
hingga ia merasa bahwa iasedang dilihat dan diperhatikan oleh-Nya. Minimal seorang
hambamerasakan bahwa Allah senantiasa memantaunya, karena denganinilah ia dapat
menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan baik dansempurna, sehingga hasil dari ibadah
tersebut akan seperti yangdiharapkan. Inilah maksud dari perkataan Rasulullah saw yang
berbunyi:
“Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akangkau melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat
melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah luas. Maka,
selain jenis ibadah yang kita sebutkan tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah juga jenis ibadah
lainnya seperti jihad, hormat terhadap mukmin, mendidik anak, menyenangkan isteri,
meniatkan setiap
yangmubah untuk mendapat ridha Allah, dan masih banyak lagi. Oleh karena itulah,Rasulullah
saw. menghendaki umatnya senantiasa dalam keadaanseperti itu, yaitu senantiasa sadar jika ia
ingin mewujudkan ihsan dalam ibadahnya.

2.Muamalah

Muamalah Dalam bab muamalah, ihsan dijelaskan Allah swt. pada surahAn-Nisaa‘ ayat 36, yang
berbunyi sebagai berikut, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak,karib kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, tetangga yangdekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba
sahaya. Kita sebelumnya telah membahas bahwa ihsan adalah beribadah kepada Allah dengan
sikap seakan-akan kita melihat- Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka Allah
melihatkita. Kini, kita akan membahas ihsan dari muamalah dan siapa sajayang masuk dalam
bahasannya. Berikut ini adalah mereka yang berhak mendapatkan ihsan tersebut:
a. Ihsan kepada kedua orang tua

b. Ihsan kepada karib kerabat

c. Ihsan kepada anak yatim dan fakir miskin

d. Ihsan kepada tetangga dekat, tetangga jauh, serta temansejawat

e. Ihsan kepada ibnu sabil dan hamba sahaya

f. Ihsan dengan Tingkatan Ihsan Syaikh Shalih Alu Syaikh hafidzahullah

Memberikan penjelasan bahwa inti yang dimaksud dengan ihsan adalah membaguskan
amal.Batasan minimal seseorang dapat dikatakan telah melakukan ihsan didalam beribadah
kepada Allah yaitu apabila di dalam memperbagusamalannya niatnya ikhlas yaitu semata-mata
mengharap pahala-Nyadan melaksanakan amalannya sesuai dengan sunnah Nabi shalallahualaihi
wa sallam Inilah kadar ihsan yang wajib yang harus ditunaikan oleh setiap muslim.

2.1.1.4 Insan Kamil


Insan kamil ialah manusia yang sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya. Disebut
kesempurnaan dari segi wujudnya karena seseorang tersebut merupakan manifestasi sempurna
dari citra Tuhan, yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat Tuhan secara utuh. Adapun
kesempurnaan dari segi pengetahuan, maksudnya ialah telah mencapai tingkat kesadaran
tertinggi, yakni menyadari kesatuan esensinya dengan Tuhan, yang disebut ma’rifat(Mahmud,
2014)
A. Menurut Ibn Araby, ada dua tingkatan menusia dalam mengimani Tuhan.
1. Tingkat insan kamil. Mereka mengimani Tuhan dengan cara penyaksianArtinya, mereka
menyaksikan‖ Tuhan; mereka menyembah Tuhan yang disaksikannya.
2. Manusia beragama pada umumnya. Mereka mengimami Tuhan dengancara mendefinisikan.
Artinya, mereka tidak menyaksikan Tuhan. Tetapimereka mendefinisikan Tuhan. Mereka
mendefinisikan Tuhan berdasarkan sifat dan nam-nama Tuhan. ( Asma‘ul Husna)

B. Abdulkarim Al – Jilli membagi insan kamil atas tiga tingkatan.


a) Tingkat Pemula ( al – bidayah ). Pada tingkat ini insan kamil mulai dapat merealisasikan
asma. dan sifat – sifat ilahi pada dirinya
b) Tingkat menengah ( at – tawasuth ). Pada tingkat ini insan kamil sebagai orbit kehalusan sifat
kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan ( al – haqaiq ar – ramaniyyah).
Pengetahuan yang dimiliki oleh insan kamil pada tingkat ini telah meningkat dari
pengetahuan biasa, karena sebagian dari hal-hal yang gaib telah dibukakan Tuhan kepadanya.
c) Tingkat terakhir ( al – khitam ). Pada tinhgkat ini insan kamil telah dapat merealisasikan
citra Tuhan secara utuh. Iapun telah dapat mengetahui rincian dari rahasia penciptaan takdir.

Konsep Insan Kamil menurut Al-Qur‘an dan Hadist Nabi Muhammad Saw disebut
sebagai teladan insan kamil atau istilah populernya di dalam Q.S.al-
Ahdzab/33:21:“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah”. Perwujudan insan kamil dibahas secara khusus di dalam kitab-kitabtasawuf,
namun konsep insan kamil ini juga dapat diartikulasikan dalamkehidupan kontemporer. Allah
SWT tidak membiarkan kita untuk menginterpretasikan tatanilai tersebut semaunya,
berstandard seenaknya, tapi juga memberikan kepadakita, Rasulullah SAW yang menjadi uswah
hasanah. Rasulullah SAWmerupakan insan kamil, manusia paripurna, yang tidak ada satupun
sisi-sisikemanusiaan yang tidak disentuhnya selama hidupnya. Ia adalah ciptaanterbaik yang
kepadanya kita merujuk akan akhlaq yang mulia. Allah SWT berfirman: “Dan sesungguhnya
engkau (Muhammad) benar -benar memiliki akhlaq yangmulia.” (QS. Al -Qolam:4)
“Sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullaah suri teladan yang baik bagi kalian, yaitu
orang-orang mengharapkan (keridhoan) Allah dan (kebahagiaan) hari akhirat, serta banyak
mengingat Allah.” (QS. Al - Ahzab:21)“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari
Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itu Allah menunjuki orang-orang yang
mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan
orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan
menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al Maidah 15-16)
C. Ciri-ciri Insan Kamil
Untuk mengetahui ciri-ciri Insan Kamil dapat ditelusuri pada berbagai pendapat yang
dikemukakan para ulama yang keilmuannyasudah diakui, termasuk di dalamnya aliran-aliran.
Ciri- ciri tersebut adalah sebagai berikut:
1. Berfungsi Akalnya Secara Optimal
Fungsi akal secara optimal dapat dijumpai pada pendapat kaum Mu‘tajzilah. Menurutnya
manusia yang akalnya berfunsi secaraoptimal dapat mengetahui bahwa segala perbuatan baik
sepertiadil, jujur, berakhlak sesuai dengan esensinya dan merasa wajibmelakukan hal semua itu
walaupun tidak diperintahkan olehwahyu. Manusia yang berfungsi akalnya sudah merasa wajib
melakukan perbuatan yang baik. Dan manusia yang demikianlah yang dapat mendekati tingkat
insan kamil. Dengan demikian insan kamil akalnya dapat mengenali perbuatan yang baik dan
perbuatan buruk karena hal itu telah terkandung pada esensi perbuatan tersebut.
2. Berfungsi Intuisinya

Insan Kamil dapat juga dicirikan dengan berfungsinya intuisiyang ada dalam dirinya. Intuisi ini
dalam pandangan Ibn Sinadisebut jiwa manusia (rasional soul ). Menurutnya jika yang
berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa manusianya, makaorang itu hampir menyerupai
malaikat dan mendekatikesempurnaan.
3. Mampu Menciptakan Budaya
Sebagai bentuk pengamalan dari berbagai potensi yangterdapat pada dirinya sebagai insan,
manusia yang sempurnaadalah manusia yang mampu mendayagunakan seluruh
potensirohaniahnya secara optimal. Menurut Ibn Khaldun manusiaadalah makhluk berfikir.
Sifat- sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat kemampuan berfikirnya
itu,manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian terhadap
berbagai cara guna memperoleh makna hidup.Proses-proses semacam ini melahirkan peradaban.
4. Menghiasi Diri Dengan Sifat-Sifat Ketuhanan

Manusia merupakan makhluk yang mempunyai naluriketuhanan (fitrah). Ia cenderung kepada


hal- hal yang berasal dariTuhan, dan mengimaninya. Sifat-sifat tersebut membuat iamenjadi
wakil Tuhan di muka bumi. Manusia seabagai khalifahyang demikian itu merupakan gambaran
ideal. Yaitu manusia yang berusaha menentukan nasibnya sendiri, baik sebagai
kelompokmasyarakat
maupun sebagai individu. Yaitu manusia yangmemiliki tanggung jawab yang besar, karena
memiliki dayakehendak yang bebas.
5.Berakhlak Mulia

Insan kamil juga adalah manusia yang berakhlak mulia. Hal ini sejalan dengan pendapat Ali
Syari‘ati yang mengatakan bahwamanusia yang sempurna memiliki tiga aspek, yakni
aspekkebenaran, kebajikan dan keindahan. Dengan kata lain ia memiliki pengetahuan, etika dan
seni. Semua ini dapat dicapai dengankesadaran, kemerdekaan dan kreativitas. Manusia yang
ideal (sempurna) adalah manusia yang memiliki otak yang briliyansekaligus memiliki
kelembutan hati. Insan Kamil dengan kemampuan otaknya mampu menciptakan peradaban yang
tinggi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga memiliki perasaan terhadap segala
sesuatu yang menyebabkan penderitaan, kemiskinan, kebodohan, dan kelemahan.
6. Berjiwa Seimbang

Menurut Nashr, bahwa manusia modern sekarang ini tidak jauhmeleset dari siratan Darwin.
Bahwa hakikat manusia terletak padaaspek kedalamannya, yang bersifat permanen, immortal
yang kini tengah bereksistensi sebagai bagian dari perjalanan hidupnya yangteramat panjang.
Tetapi disayangkan, kebanyakan dari merekanlupa akan immortalitas yang hakiki tadi. Manusia
modern mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar, yang bersifat ruhiyah, sehingga
mereka tidak akan mendapatkan ketentraman batin, yang berarti tidak hanya keseimbangan diri,
terlebih lagi bila tekanannya pada kebutuhan materi kian meningkat, makakeseimbangan akan
semakin rusak. Kutipan tersebut mengisyaratkan tentang perlunya sikapseimbang dalam
kehidupan, yaitu seimbang antara pemenuhan kebutuhan material dengan spiritual atau ruhiyah.
Ini berarti perlunya ditanamkan jiwa sufistik yang dibarengi dengan pengamalan syari‘at Islam,
terutama ibadah, zikir, tafakkur, muhasabbag dan seterusnya.

2.1.2 Urgensi Islam, Iman dan Ihsan dalam Membentuk Insan Kamil

Agama Islam dalam hal ini mempunyai peran panting dalam rangka mencapai tujuan
pendidikan yakni menjadikan manusia menjadi manusia yang sempuma (insan kamil). Islam
mengajarkan prinsip-prinsip integrasi antara kepentingan dunia dan akhirat, jasad dan roh,
kesholehan individu dan kesholehan sosial, peran ibadullah dan peran khalifatullah, iman, Islam
dan ihsan, dimensi esoteric (batin) dengan lahir, alam arwah/kandungan, dunia dan akhirat,
antara hubungan vertikal (habluminAllah} dan hubunganhorizontal (habluminannas), serta kalau
memungkinkan antara takhalli, tahalli, dan tajalli atau antara syariat, tharikat dan hakikat.
Keterpaduan ini perlu menjadi jiwa dalam mengelola insan kamil. Dengan demikian diharapkan
konsep insan kamil akan tercermin dan menjadi suatu keharusan dalam kesimbangan segala
aspek dalam diri dan kehidupan.

Percaya atau iman pada adanya hari akhir dan adanya kehidupan setelah mati adalah
bagian dari rukun iman. Rukun iman yang kelima adalah iman pada hari akhir karena merupakan
kesatuan dari unsur rukun iman yang lainnya. Menurut Abul A'la Maududi {Al;taf gauhar, 1983:
13), manusia tidak dilepaskan begitu saja ke dunia ini sebagai binatang yang tidak bertanggung
jawab. Ia bertanggung jawab atas segala perbuatannya kepada Allah kelak. Saat memberikan
pertanggungan jawaban itu telah ditentukan oleh Allah, yakni setelah hari kiamat, sesudah
kehidupan manusia tersebut bumi berakhir dan berganti dengan kehidupan lain oleh karna itu
penerapan insan kail dalam kehidupan sangat penting untuk bekal di akhirat kelak. Hakikat
diciptakannya manusia bukanlah tanpa sebab. Sebagaimana makhluk lainnya manusia
mengemban kewajiban. Sebagai makhluk Tuhan manusia diwajibkan untuk menyembah
(ta'abbud) pada Sang Khalik, karena pada hakikatnya manusia diciptakan untuk mengabdi
kepada-Nya.

Dengan komitmen beragama berarti manusia mempunyai ikatan keimanan(aqidah).


Aqidah dan keimanan tersebut mengandung konsekwensi bagi segala amalannya meliputi
amalan hati (qo/b), ucapan (/isan) dan dan perbuatan (arkan).Aqidah secara etimologis berarti,
"ikatan" sedangkan secara terminologi , "credo"creed" dan keyakinan hidup. Iman dalam arti
yang khusus yakni "pengikraran yang bertolak dari hati", obyeknya adalah Allah, malaikat-Nya,
kitab-Nya, utusan-Nya, hari akhir, dan kepada kepastian (takdir) baik dan buruknya dari Allah.
Atau bisa juga diartikan sikap jiwa yang tertanam dalam hati yang dilahirkan dalam perkataan
dan perbuatan. Dalam hal ini keimanan tidak hanya cukup dalam hati saja namun diwujudkan
dalam perkataan dan perbuatan. Keislaman dan keimanan menjadi sempurna dengan adanya
lhsan. lhsan terwujud dalam tasawuf. lhsan merupakan salah satu dari tiga pilar agama Islam
setelah Islam dan Iman. Menurut sabda Rasulullah:"/hsan adalah beribadah kepada Allah SWT,
seakan -akan kamu melihat-Nya, dan apabila tidak bisa, maka kamu harus menyadari bahwa
allah SWT selalu melihatmu."(HR. Muslim).

2.2 Mengapa Iman Islam dan Ihsan Menjadi Persyaratan dalam Membentuk Insan Kamil
Alasan mengapa Iman, Islam, dan Ihsan menjadi syarat dalam membentuk ihsan kamil
Kaum muslimin menetapkan adanya tiga unsur penting dalam agama islam yakni, iman, Islam,
dan ihsan sebagai kesatuan yang utuh. Para ulama mengembangkan ilmu-ilmu Islam guna
memahami ketiga unsur tersebut. (Hadiyanto, Andy. dkk, 2016:98) Kaum muslimin di Indonesia
lebih mengenal istilah akidah, syariat, dan akhlak sebagai tiga unsur pokok ajaran islam. Akidah
merupakan cabang ilmu agama untuk memahami pilar iman; syariat merupakan cabang ilmu
agama untuk memahami pilar Islam dan akhlak merupakan cabang ilmu agama untuk memahami
pilar ihsan. (Hadiyanto, Andy. dkk, 2016:98) Jika manusia sudah mahami arti iman dan juga
beriman dengan benar, juga menjalani Islam dan rukun-rukunnya dengan istiqamah. Maka akan
lebih mudah bagi mereka untuk memahami makna ihsan, manusia akan mencapai derajat ihsan
dengan meningkatkan terus kualitas iman dan Islam dalam dirinya, dengan begitu menjadi insan
kamil bukanlah hal yang mustahil baginya.
Sebagai contohnya di dalam pada pekuliahan Pendidikan Agama Islam rata rata
mahasiswa yang berpendapat akan adanya iman atau percaya pada Allah SWT. Jadi orang yang
beriman jika mereka percaya akan keberadaan Allah SWT, percaya adanya malaikat-malaikat-
Nya, percaya pada kitab-kitab Allah SWT, percaya adanya rasul rasul, percaya akan adanya hari
akhir, percaya pada takdir, seperti rukun iman yang telah diajarkan sejak dini.
Ketika mahasiswa-mahasiswa yang ada ditanyakan, “ Apakah anda percaya akan adanya
Allah?” Mereka semua menjawab sama yaitu percaya. Dan kemudian pertanyaan yang sesuai
dengan rukun iman pasti menjawab percaya. Kemudian adanya pertanyaan, “ Apakah di
adaorang yang tidak percaya tuhan?”. Rata rata mereka menjawab pasti orang orang pasti
percaya adanya tuhan, tetapi adapun mahasiswa yang berpendapat berbeda seperti, “ Adakan
orang orang yang tidak percaya adanya tuhan atau yang kita sebut atheis”. Maka kita dapat
simpulkan bahwa orang- orang yang tidak percaya adanya itu kita sebut Kafir. Kemudian adanya
pendapat bahwa iman itu harus lengkap tidak hanya percaya tuhan tetapi percaya pada Nabi
Muhammad SAW. Maka dari itu kita dapat simpulkan bahwa orang-orang yang beriman adalam
orang islam saja.
Setiap mukmin pasti muslim karena orang yang telah beriman secara benar pasti akan
merealisasikan iman dengan melaksanakan amal-amal Islam secara benar pula, sebagaimana
Allah SWT telah berfirman, “Kalian belumlah beriman, tetapi hendaklah kalian mengatakan,
Kami telah berislam”. (QS Al-Hujuraat/49:14)
Ketika mahasiswa-mahasiswa yang ada ditanyakan, “ Apakah anda percaya akan adanya
Allah?” Mereka semua menjawab sama yaitu percaya. Dan kemudian pertanyaan yang sesuai
dengan rukun iman pasti menjawab percaya. Kemudian adanya pertanyaan, “ Apakah di
adaorang yang tidak percaya tuhan?”. Rata rata mereka menjawab pasti orang orang pasti
percaya adanya tuhan, tetapi adapun mahasiswa yang berpendapat berbeda seperti, “ Adakan
orang orang yang tidak percaya adanya tuhan atau yang kita sebut atheis”. Maka kita dapat
simpulkan bahwa orang- orang yang tidak percaya adanya itu kita sebut Kafir. Kemudian adanya
pendapat bahwa iman itu
harus lengkap tidak hanya percaya tuhan tetapi percaya pada Nabi Muhammad SAW. Maka dari
itu kita dapat simpulkan bahwa orang-orang yang beriman adalam orang islam saja.
Setiap mukmin pasti muslim karena orang yang telah beriman secara benar pasti akan
merealisasikan iman dengan melaksanakan amal-amal Islam secara benar pula, sebagaimana
Allah SWT telah berfirman, “Kalian belumlah beriman, tetapi hendaklah kalian mengatakan,
Kami telah berislam”. (QS Al-Hujuraat/49:14)

2.2.1 Adapun syarat-syarat menjadi insan kamil ada beberapa maqam(tingkatan) yang
harus dilalui seorang muslim yaitu, sebagai berikut:
a. Pertama Islam, yang didasarkan atas lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi,
yang tidak hanya dilakukan dengan cara ritual saja akan tetapi harus dipahami dan dirasakan
lebih mendalam.
b. Kedua iman, yaitu membenarkan dengan penuh keyakinan tentan rukun iman, serta
melaksanakan dasar-dasar Islam. Iman merupakan tangga pertama dalam mengungkap tabir alam
gaib, dan alat yang dapat membantu seseorang mencapai tingkat yang akan lebih tinggi. Iman
dapat menunjukkan sampai mana hati mengetahui sesuatu yang jauh dari jangkauan akal.
Karena, sesuatu yang dietahui akal tidak melulu membawa keimanan.
c. Ketiga ash-shalat, yaitu pada maqam ini seorang sufi mencapai tingkat meyaksikan atsar (efek)
dari nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya ia merasa seakan berada dihadapan Tuhan.
Persyaratan yang harus ditempuh dalam maqam ini adalah sikap istiqomah (teguh pendirian)dan
tobat, inabah (pemulihan diri dari hal yang menyesatkan), zuhud (orang yang mencintai akherat),
tawakal (berserah diri), tafwidh (pasrah secara total), ridho (rela), dan ikhlas (tulus atau bersih).
d. Keempat ihsan (kesempurnaan atau yang terbaik), persyaratan yang harus ditempuh dalam
maqam ini adalah memiliki sikap istiqomah (teguh pendirian), tobat, zuhud (orang yang
mencintai akherat), inabah(pemulihan diri dari hal yang menyesatkan), tafwidh (pasrah secara
total), tawakal (berserah diri), ikhlas (tulus atau bersih) dan ridho (rela).
e. Kelima syahadah (telah menyaksikan), seorang sufi pada maqam ini telah mencapai iradah
(berkehendak) yang memiliki ciri; mahabah (kecenderungan hati terhadap Tuhan) kepada Tuhan
tanpa pamrih

f. Keenam shiddiqiyah (kebenaran), tingkat pencapaian hakikat yang ma‟rifat yang diperoleh
secara bertahap dari ilmu al-yaqin (sesuatu yang adanya disertai bukti atau pemilik akal), amal-
yaqin (pemilik ilmu), dan haqq al-yaqin (pengetahuan dan pengenalan terhadap allah). Ketiga
tingkat ma‟rifat itu dialami oleh para sufi secara bertahap.
g. Ketujuh qurbah (suatu bentuk kebaikan yang bisa mendekatkan seseorang kepada allah swt),
maqam ini yang dapat memungkinkan seorang sufi dapat menampakkan diri dalam sifat dan
nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.

Itulah beberapa tahapan-tahapan yang harus dilalui seorang muslim dalam usaha
mendekatkan diri kepada Tuhan.Dengan berkomitmen memilih agama berarti manusia itu harus
memiliki keimanan, keislaman dan keimanan menjadi sempurna dengan adanya ihsan. Ihsan
terwujud dalam tasawuf. Hubungan atau keterkaitan antara Iman, Islam dan Ihsan adalah suatu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Iman adalah keyakinan yang kokoh yang menjadi dasar
akidah. Sedangkan pelaksanaan rukun Islam dilakukan dengan cara Ihsan, sebagai upaya
pendekatan diri kepada Allah SWT itulah mengapa Iman, Islam dan Ihsan menjadi syarat
seseorang menjadi insan kamil.

2.3 Menggali Sumber Teologis, Historis dan Filosofis Tentang Iman Islam danIhsan
Sebagai Pilar Agama Islam dalam Membentuk Insan Kamil1.
Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Umar bin Khattab r.a. di atas kaum muslimin
menetapkan adanya tiga unsur penting dalam agama Islam, yakni iman, Islam, dan ihsan sebagai
satu kesatuan yang utuh. Pada periode berikutnya, para ulama mengembangkan imu-ilmu Islam
untuk memahami ketiga unsur tersebut. Kaum muslimin Indonesia lebih familier dengan istilah
akidah, syariat, dan akhlak sebagai tiga unsur atau komponen pokok ajaran Islam. Akidah
merupakan cabang ilmu agama untuk memahami pilar iman; syariat merupakan cabang ilmu
agama untuk memahami pilar Islam; dan akhlak merupakan cabang ilmu agama untuk
memahami pilar ihsan. Masalah keimanan adalah masalah fundamental dalam Islam. Jangan
sampai manusia merasa sudah beriman, padahal imannya keliru karena tidak sejalan dengan
kehendak AllahIstilah insan kamil (manusia sempurna) pertama kali diperkenalkan oleh Syekh
Ibn Araby (abad ke-14). Ia menyebutkan ada dua jenis manusia, yakni insan kamil dan monster
setengah manusia.

2.3.1 Konsep Manusia dalam Al-Quran


Berbicara tentang konsep ”manusia” begitu kompleks dan rumit, sekompleks dan serumit
dimensi- dimensi dan misterimisteri yang ada pada manusia itu sendiri. Kalau seorang filsuf,
ilmuwan, bahkan sufi sekalipun melontarkan konsepnya tentang manusia, pada saat yang hampir
bersamaan muncul kritik tajam dari para filsuf, ilmuwan, dan sufi lainnya. Ringkasnya, secara
umum, pembicaraan tentang konsep manusia selalu berkisar dalam dua dimensi, yakni dimensi
jasmani dan rohani, atau dimensi lahir dan batin. Tentang konsep dimensi jasmani, atau dimensi
lahir, atau dengan sebutan-sebutan lainnya (tubuh, badan) mungkin tidak terdapat perbedaan
karena dimensi ini paling tampak di depan mata dan mudah diobservasi. Namun, dimensi
rohani (atau dengan
sebutan lainnya: dimensi jiwa, batin, atau hati) merupakan yang paling rumit sehingga dalam
pandangan filsuf dan sufi muslim pun terdapat perbedaan-perbedaan yang kadang-kadang
kontradiktif

2.3.2 Unsur-unsur Manusia Pembentuk Insan Kamil


Al-Ghazali menyebutkan adanya unsur luar (tubuh) dan unsur dalam (batin). Unsur tubuh
menyangkut anggota tubuh dan pancaindra; sedangkan unsur batin berupa hati, akal, nafsu, dan
hasrat. Al-Ghazali menyebut juga roh sebagai unsur batin, tetapi dipandang sinonim dengan hati.
Unsur-unsur manusia yang tersebut diungkap oleh Al-Ghazali (Takeshita, 2005: 112-113). Al-
Ghazali menekankan pentingnya hati (qalb), yang diibaratkan sebagai ”raja”, setelah itu akal
(’aql), yang diibaratkan sebagai ”perdana menteri”; sementara unsur-unsur lainnya hanya sebagai
pelayan dan pengikut. Namun, ada juga unsur yang sangat rawan, yaitu nafsu dan hasrat. Kedua
unsur ini seharusnya tunduk dikendalikan oleh akal, atas perintah hati. Akan tetapi, jika kedua
unsur (nafsu dan hasrat) malah mengendalikan akal, maka yang terjadi adalah kudeta terhadap
”raja

Secara ringkas, Al-Ghazali (dalam Othman, 1987: 31-33) menyebut beberapa instrumen untuk
mencari ”pengetahuan yang benar” serta kapasitasnya untuk mencapainya.
Pertama, pancaindra. Pancaindra memiliki keterbatasan, dan tidak bisa mencapai ”pengetahuan
yang benar”, setelah dinilai oleh akal. Pancaindra menyaksikan tongkat yang lurus terlihat
bengkok ketika dimasukkan ke dalam kolam; padahal –menurut penilaian akal – tongkat itu
benar- benar lurus dan tidak bengkok. Matahari terlihat kecil, hanya sebesar bola voli, padahal
menurut perhitungan (akal) justru jauh lebih besar dibanding bumi yang dihuni manusia.
Bintang-bintang terlihat lebih kecil dibanding matahari, hanya sebesar bola pingpong dan
kelereng, padahal. menurut perhitungan (akal), bintang-bintang itu sangat besar dan jauh
melebihi matahari.

Kedua, akal. Dengan metode ini, dengan cara yang sama, seharusnya orang pun menilai tingkat
kebenaran akal. Orang seharusnya menggunakan cara yang sama dengan cara yang digunakan
oleh akal ketika menilai kekeliruan pancaindra. Ketika dalam mimpi serasa peristiwa benar-
benar terjadi, tetapi ketika terbangun, sadarlah bahwa itu hanya kebenaran dalam mimpi, yang
disalahkan oleh pemikiran ketika sedang terjaga. Oleh karena itu, perlu instrumen ketiga,
superintelektual (kebenaran sufistik). Ternyata kebenaran akal disalahkan oleh kebenaran sufi.
Setelah bersemedi, sufi melepas akal pikirannya; dan ternyata mereka menyaksikan suasana yang
tidak dapat direkam oleh prinsip-prinsip intelektual. Itulah yang disebutkan Al-Ghazali dengan
sabda Nya
BAB 3
PENUTUP
3.1 SIMPULAN

Insan kamil (manusia sempurna) merupakan tipe manusia ideal yang dikehendaki oleh
Tuhan. Sebabnya, jika tidak menjadi insan kamil, maka manusia itu – meminjam istilah Ibn
Araby
– hanyalah monster bertubuh manusia. Insan kamil adalah manusia yang telah menanggalkan
kemanusiaannya yang rendah, lalu berjalan menapaki tangga demi tangga menuju Tuhan
sehingga mencapai tangga nafsu tertinggi, nafsu kāmilah (insan kamil). Tangga-tangga yang
dimaksud adalah tujuh tangga (sekaligus tujuh macam nafsu manusia), yakni: ammārah,
lawwāmah, mulhimah, muthma`innah, rādhiyah, mardhiyyah, dan kāmilah. Untuk menapaki
jalan insan kamil, terlebih dahulu kita perlu mengingat kembali tentang empat unsur manusia,
yakni: jasad / raga, hati, roh, dan sirr (rasa). Keempat unsur manusia harus difungsikan untuk
menjalankan kehendak Allah. Hati nurani harus dijadikan rajanya(dengan cara selalu mengingat-
ingat Tuhan). Karena hati nurani menjadi rajanya, maka secara otomatis raganya menjalankan
syariat, hatinya menjalankan tarekat, rohnya menjalani hakikat, dan sirr(rasa)nya mencapai
makrifat. Adapun hati sanubari ditundukkannya sehingga sama sekali tidak berfungsi.
DAFTAR PUSTAKA

Mudatsir, Arief. 1987. ”Makhluk Pencari Kebenaran: Pandangan Al-

Ghazali tentang Manusia”, dalam M. Dawam Rahardjo.

(Penyunting). Insan Kamil: Konsepsi Manusia menurut Islam.

Jakarta: PT Pustaka Grafitipers.

-------. 2005. Mi’rāj al-Sālikīn. (Penerjemah Fathur Rahman dengan judul:

Tangga Pendakian bagi para Hamba yang Hendak Merambah

Jalan Allah. Yogyakarta: Mitra Pustaka.

Othman, Ali Issa. 1982. Manusia Menurut Al-Ghazali. (Penerjemah Johan

Smith & Anas Mahyudin Yusuf). Bandung: Pustaka

Anda mungkin juga menyukai