DOSEN PENGAMPU :
DOSEN ABD. ADIM, SE., M.AG
NAMA KELOMPOK :
1. NADA ERMAYA SOFIE (2200312320069)
2. MEYLANI PAQUITA SAFIRA PUTRI (2200312320057)
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah
memberikan nikmat serta hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan
kesehatan sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Mengintegrasikan Iman, Islam dan Ihsan Dalam Membentuk Insan Kamil.
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Abd. Adim, SE., M.Ag selaku
dosen mata kuliah Agama yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
ii
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan masalah
1.3 Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Konsep,urgensi dan esensi iman,islam, dan ihsan membentuk insan kamil
2.2 Iman, islam dan ihsan menjadi persyaratan dalam membentuk insan kamil
2.3 Sumber teologis, historis,dan filosofis tentang iman, islam dan ihsan
membentuk insan kamil
2.4 Karakteristik insan kamil dan metode pencapaiannya
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
3.3 Daftar Pustaka
BAB I PENDAHULUAN
Agama Islam memiliki tiga pokok ajaran agama yang terdiri dari tiga
komponen, ketiganya saling berkaitan satu sama lain dan harus diamalkan
oleh setiap pemeluknya, yakni Iman, Islam dan Ihsan. Tiga pokok ajaran
tersebut juga terkadang diistilahkan dengan: akidah, syariah dan akhlak, serta
dengan istilah: akidah, ibadah dan Mu‟amalah.1 Dalam artikel yang ditulis
ii
3
oleh Nurcholish Madjid ketiga istilah ini di anggap sebagai trilogi ajaran
Ilahi.2
Iman adalah kepercayaan diri kepada Allah Swt, melalui ikrar dan kesaksian
terhadap dua persaksian yaitu kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
Nabi Muhammad adalah utusan-Nya. Kesaksian ini merupakan pintu awal
untuk memasuki Islam. Adapun formulasi rukun Islam yang telah baku dan
berlaku hingga sekarang, sebagai berikut: kesaksian bahwa tiada Tuhan selain
Allah, dan Muhammad adalah utusannya; mendirikan sholat; menunaikan
zakat; menjalankan puasa Ramadhan; dan berhaji jika mampu.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Konsep,urgensi dan esensi iman,islam, dan ihsan membentuk insan kamil
Menurut Ibn Araby, ada dua tingkatan manusia dalam mengimani Tuhan.
Pertama, tingkat insan kamil. Mereka mengimani Tuhan dengan cara penyaksian,
artinya, mereka “menyaksikan” Tuhan mereka menyembah Tuhan yang
disaksikannya. Kedua, manusia beragama pada umumnya. Mereka mengimani
Tuhan dengan cara pendefinisian, artinya, mereka tidak menyaksikan Tuhan,
tetapi mereka mendefinisikan Tuhan. Mereka mendefinisikan Tuhan berdasarkan
sifat-sifat dan nama-nama Tuhan (Asmā`ul Husna).
4
Insan Kamil adalah manusia dengan sifat-sifat yang lebih mulia dibandingkan
dengan manusia kebanyakan, yang keimanannya sudah mencapai tingkat “yakin”
dan menyerahkan semuanya kepada Allah swt. Untuk konsep Islam, Iman, dan
Ihsan yang harus kita miliki agar kita dapat menjadi seorang Insan Kamil dan
sudah mencakup semua perbuatan baik yang dapat dilakukan oleh seorang
manusia.
Insan kamil merupakan tipe manusia ideal yang dikehendaki oleh tuhan. Hal ini
disebabkan, jika tidak menjadi insan kamil maka manusia itu hanyalah monster
bertubuh manusia. Dalam perspektif islam manusia memiliki 4 unsur yaitu :
jasad, hati, roh dan rasa. Yang berfungsi untuk menjalankan kehendak ilahi.
Untuk mengkokohkan keimanan akan menjadi manusia yang insan kamil maka
kaimanan kita harus mencapai tingkat yakin. Maka kita harus mengidentifikasi
yang mengacu pada rukun iman. Sedangkan untuk dapat beribadah secara
bersungguh-sungguh dan ikhlas, maka segala ibadah yang kita lakukan mengacu
pada rukun islam.
Abdulkarim Al-Jillī membagi insan kamil atas tiga tingkatan.
a) Tingkat permulaan (al-bidāyah). Pada tingkat ini insan kamil mulai dapat
merealisasikan asma dan sifat-sifat Ilahi pada dirinya.
b) Tingkat menengah (at-tawasuth). Pada tingkat ini insan kamil sebagai orbit
kehalusan sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan (al-haqāiq
ar-raḫmāniyyah). Pengetahuan yang dimiliki oleh insan kamil pada tingkat ini
telah meningkat dari pengetahuan biasa, karena sebagian dari hal-hal yang gaib
telah dibukakan Tuhan kepadanya.
c) Tingkat terakhir (al-khitām). Pada tingkat ini insan kamil telah dapat
merealisasikan citra Tuhan secara utuh. Ia pun telah dapat mengetahui rincian dari
rahasia penciptaan takdir.
Nabi Muhammad Saw disebut sebagai teladan insan kamil atau istilah populernya
di dalam Q.S. Al-Ahdzab/33:21:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan Dia banyak menyebut Allah”.
5
Allah SWT tidak membiarkan kita untuk menginterpretasikan tata nilai tersebut
semaunya, berstandard seenaknya, tapi juga memberikan kepada kita, Rasulullah
SAW yang menjadi uswah hasanah. Rasulullah SAW merupakan insan kamil,
manusia paripurna, yang tidak ada satupun sisi-sisi kemanusiaan yang tidak
disentuhnya selama hidupnya. Ia adalah ciptaan terbaik yang kepadanya kita
merujuk akan akhlaq yang mulia. Sebagaimana firman Allah SWT:
“ Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlaq yang
mulia.” (QS. AL – Qolam:4)
2.2 Iman, islam dan ihsan menjadi persyaratan dalam membentuk insan
kamil
Seseorang dapat disebut beriman jika orang itu percaya akan adanya Allah,
percaya akan adanya malaikat-malaikat-Nya, percaya akan adanya kitab-kitab-
Nya, percaya akan adanya rasul-rasul-Nya, percaya akan adanya hari akhir, dan
percaya kepada takdir baik dan buruk. Mungkin di antara beberapa agama ada
yang berbeda menamai Tuhan dan Malaikat. Orang Indonesia menyebutnya
Tuhan, orang Arab menyebutnya Rabb, orang inggris menyebutnya God, orang
Jawa dan orang Sunda menyebutnya Pangeran atau Gusti Allah, orang Hindu Bali
menyebutnya Sang Hyang Widi Wasa (Yang Maha Esa), dan orang Yunani Kuno
menyebutnya Hermeus. Untuk menyebut Malaikat pun berbeda-beda, orang
Islam, Kristen, dan Yahudi menyebutnya malaikat (Angel). Akan tetapi, orang
Hindu, Buddha, dan Konghucu menyebutnya Dewa-Dewi.
Jika makna iman itu sekedar “percaya” berarti semua manusia di dunia ini
beriman, karena semua manusia percaya akan adanya Tuhan, semua manusia
percaya akan adanya malaikat, dan seterusnya. Jadi, tidak ada seorang manusia
pun yang kafir. Orang-orang ateis (tidak bertuhan) itulah yang kafir. Kemudian
orang-orang Islam beragumentasi bahwa makna beriman itu harus lengkap,
mencakup beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagai Rasulullah. Jika
batasannya ini, maka hanya orang-orang islam-lah yang beriman, karena orang-
orang di luar islam tidak mengimani Nabi Muhammad SAW.
Setiap mukmin pasti muslim karena orang yang telah beriman secara benar
pasti akan merealisasikan iman dengan melaksanakan amal-amal Islam secara
benar pula, sebagaimana Allah SWT. telah berfirman, “Orang-orang Arab Badui
6
Allah sekali-kali tidak mengajarkan manusia tentang semua perihal wujud diri-
Nya yang gaib. Akan tetapi, Allah memilih para Rasul-Nya yang dikehendaki
oleh-Nya untuk menyampaikan Wujud Allah. Perlu diketahui bahwa hal ini
dilakukan Allah karena Dia sama sekali tidak akan pernah menampakkan Diri-
Nya di muka bumi milik-Nya. Supaya keimanan kita mencapai ma’rifat billāh,
maka satu-satunya cara menurut Al-Quran adalah bertanya kepada ahli zikir,
sebagaimana firman-Nya, “Fas`alū ahladz-dzikri in kuntum lā ta’lamūn (QS An-
Nahl/16: 43, dan QS Al-Anbiya/21:7).
Makna ihsan, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis, “Kamu menyembah
Allah seolah-olah (mata kepala) kamu melihat Allah. Jika (mata kepala) kamu
tidak bisa melihat Allah (dan pasti tidak bisa melihat-Nya), tetapi Allah melihat
kamu.
Istilah insan kamil (manusia sempurna) pertama kali diperkenalkan oleh Syekh
Ibn Araby (abad ke-14). Ia menyebutkan ada dua jenis manusia, yakni insan kamil
dan monster setengah manusia. Jadi, kata Ibn Araby, jika tidak menjadi insan
7
kamil, maka 106 manusia menjadi monster setengah manusia. Insan kamil adalah
manusia yang telah menanggalkan ke-monster-annya. Konsekuensinya, di luar
kedua jenis manusia ini ada manusia yang sedang berproses menanggalkan ke-
monsterannya dalam membentuk isan kamil.
beragama, ingin mendapat pujian, atau ada niat-niat mencari dunia) dan tidak pula
ada pamrih akhirat; (3) selalu menjalankan salat dan keadaan hati hanya
mengingat Allah; dan (4) salat yang telah didirikannya itu dapat mencegah
perbuatan keji dan mungkar.
3.2 Saran
Menyadari bahwa kami masih jauh dari kata sempurna, kedepannya kami akan
lebih focus dan detail dalam menjelaskan dalam makalah di atas dengan sumber-
sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan. Untuk
saran berisi kritik atau saran kepada kami dapat bisa untuk menanggapi terhadap
kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan. Untuk bagian akhir dari
makalah adalah daftar pustaka. Pada kesempatan lain akan saya jelaskan tentang
daftar pustaka makalah.
3.3 Daftar Pustaka
Afandi, KH Muhammad Munawwar. 2002. Risalah Ilmu Syaththariyah: Jalan
Menuju Tuhan. Bandung: Pustaka Pondok Sufi.
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad (1333 H), . Iḫyā` ’Ulῡm ad-Dīn. Jilid III,
Kairo: Mustafa Babul Halabi.
-------. 2005. Mi’rāj al-Sālikīn. (Penerjemah Fathur Rahman dengan judul:
Tangga Pendakian bagi para Hamba yang Hendak Merambah Jalan Allah.
Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Al-Qasimi, Muhammad Jamaluddîn. 1986. Bimbingan untuk Mencapai
Tingkat Mu`min: Ringkasan Ihya `Ulumiddîn Al-Ghazali. (Terjemahan).
Bandung: CV Diponegoro.
Amstrong, Amatullah. 2000. Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia
Tasawuf. (Terjemahan). Bandung: Mizan.
Chodkiewicz, Michel. 1999. Konsep Ibn `Arabi tentang Kenabian dan Aulia.
(Penerjemah Dwi Surya Atmaja). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ghazali, Imam dalam al-Qosimi, Muhammad Jamaluddîn (1986),
Bimbingan untuk Mencapai Tingkat Mu`min, Ringkasan Ihya `Ulumiddîn Al-
Ghazali, terjemahan, Bandung: CV Diponegoro.
Jailani, Syekh Abdul Qadir. 1996. Sirrul Asrār, (Penerjemah KH Zezen Zaenal
Abidin Zayadi Bazul Asyhab. Suryalaya Tasikmalaya: Pondok Pesantren
Suryalaya.
10