Anda di halaman 1dari 19

FAKTOR PENYEBAB PERBEDAAN DAN HAMBATAN DALAM PENUNTUTAN

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEMBUNUHAN ORANG


DENGAN GANGGUAN JIWA (ODGJ) DI WILAYAH KEPOLISIAN RESOR ENDE

CONCHINTA VIKTORIA IRENE DA

Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang

E-mail: viktoriairene814@gmail.com

ABSTRAK

Conchinta Viktoria Irene Da : Faktor Penyebab Perbedaan dan Hambatan Dalam


Penuntutan Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Pembunuhan Orang Dengan
Gangguan Jiwa (ODGJ) di Wilayah Kepolisian Resor Ende. Dibimbing oleh Rudepel Petrus
Leo dan Heryanto Amalo.
Pelaku pembunuhan Dengan Gangguang Jiwa (ODGJ) Yeremias W. Dika Alias yemi
Melakukan Tindak Pidana Pada Tahun 2018 dan 2020. Dan pada kasus tersebeut pelaku tidak
dijatuhi hukuman pidana pada 2018 sedangkan pada kasus yang dilakukan oleh pelaku pada
tahun 2020 dijatuhi hukuman pidana.Masalah pokok dalam penelitian ini ialah: (1) Apakah
faktor penyebab pelaku pembunuhan dengan gangguan jiwa dituntut pertanggungjawaban
pidana dalam satu kasus pembunuhan dan tidak dituntut pada kasus pembunuhan lainnya di
Kepolisan resor ende? Dan (2) Apakah Hambatan dalam penuntutan pertanggungjawaban pidana
terhadap pelaku pembunuhan dengan gangguan jiwa?.
Penelitian ini bertujuan untuk Untuk mengetahui faktor penyebab pelaku pembunuhan
dengan gangguan jiwa dituntut pertanggungjawaban pidana dalam satu kasus pembunuhan dan
tidak dituntut pada kasus pembunuhan lainnya di Kepolisian Resort Ende dan untuk mengetahui
hambatan dalam penuntutan pertanggungjawaban pidanaterhadap pelaku pembunuhan dengan
gangguan jiwa.
Penelitian ini merupakan penelitihan hukum empiris, yakni mengkaji dan menganalisis
data yang diperoleh dari lokasi penelitian.Penelitian ini dilakukan dilakukan di Kepolisian Resor
Ende dan Pengadilan Negri Ende.Pengolahan data dilakukan dengan data yang diperoleh baik
data primer dan data skunder dan dianalisis berdasarkan rumusan masalah yang telah diterapkan.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pada kasus 2018 pelaku dinyatakan gangguan
jiwa namun karena keterbatasan biaya dan kurang dukungan dari dinas sosial maka pelaku

1
dilepas bebaskan begitu saja sehingga pada 2020 pelaku kembali melakukan tindak pidana
pembunuhan dan kasus tersebut diproses secara hukum karena pada saat proses penyidikan dan
proses persidangan pelaku bersikap kooperatif dan tidak ada tanda- tanda kegilaan. Tetapi dalam
keseharian pelaku di Rumah Tahanan pelaku seringkali terlihat bersikap tidak seperti orang
normal biasanya. Maka disini penulis penyimpulkan bahwa pelaku mengalami gangguan jiwa
periodik.
Dalam Kasus ini penulis menyarankan bahwa dalam pasal 44 KUHP hendaknya dibuat
peraturan yang lebih jelas dan tegas dalam hal pertanggungjawaban pidana.

Kata kunci : pembunuhan, Orang dalam gangguan jiwa dan penyidikan

ABSTRACT

Conchinta Viktoria Irene Da : Causative Factors of Differences and Obstacles in The


Prosecution of Criminal Liability Against Perpetrators of Murder of Persons With Mental
Disorders (ODGJ) in the Ende Resort Police Area. Guided By Rudepel Petrus Leo and
Heryanto Amalo.
Perpetrator of the murder with mental disorders (ODGJ) Jeremias W. Dika Alias yemi
committed criminal acts in 2018 and 2020. And in the case of the perpetrator was not sentenced
to a criminal sentence in 2018 while in the case committed by the perpetrator in 2020 was
sentenced to a criminal sentence. The main problems in this study are: (1) Are the causal factors
for perpetrators of murder with mental disorders to be held criminally responsible in one murder
case and not prosecuted in another murder case in the Police Department? And (2) What are the
Barriers to the prosecution of criminal liability for perpetrators of murder with mental disorders?.
This study aims to find out the factors that cause perpetrators of murders with mental
disorders to be held criminally responsible in one murder case and not to be prosecuted in other
murder cases in the Ende Resort Police and to find out the obstacles in the prosecution of
criminal liability for perpetrators of murder with mental disorders. This research is an empirical
legal research, which is to study and analyze data obtained from the research site. This research
was conducted at the Ende Resort Police and the Ende State Court.Data processing was carried
out with data obtained both primary data and skunder data and analyzed based on the
formulation of the problem that has been applied.
The results of this study showed that in the 2018 case the perpetrator was declared
mentally ill but due to limited costs and lack of support from the social service, the perpetrator
was released so that in 2020 the perpetrator again committed a criminal act of murder and the
case was processed legally because during the investigation process and the trial process the

2
perpetrator was cooperative and there was no sign of madness. But in the daily life of the
perpetrator in the detention center, the perpetrator is often seen behaving unlike normal people.
So here the author concludes that the perpetrator has a periodic mental disorder. In this
case the author suggests that in article 44 of the Criminal Code a clearer and firmer regulation
should be made in terms of criminal liability.
Keywords : murder, Mentally ill person and investigation

Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara hukum, untuk itu penyelenggaraan pemerintah Indonesia


didasari oleh hukum konstitusional yang berlaku, semua yang berada di Indonesia, tidak
terkecuali, tunduk di bawah perangkat hukum yang sama. Seperti yang tercantum pada Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi bahwa
Negara Indonesia adalah Negara hukum1. Disebut sebagai Negara hukum tidaklah lepas dari
suatu tindak pidana yang bisa melawan hukum itu sendiri. Tindak Pidana adalah tindakan yang
tidak hanya dirumuskan dalam undang-undang pidana sebagai kejahatan, deviasi (penyimpangan
dari peraturan Undang-Undang Dasar 1945) dan kualitas kejahatan yang berubah-ubah2. Dan
tindak pidana yang penulis sedang bahas adalah tindak pidana pembunuhan.

Pembunuhan biasanya dilatarbelakangi oleh bermacam-macam motif, misalnya politik,


kecemburuan, dendam, membela diri, dan sebagainya. Namun, apakah orang yang kurang
akalnya dan sakit jiwanya ketika melakukan kejahatan melawan hukum dapat diproses?. Di
Indonesia pasal yang berhubungan yaitu Pasal 44 Ayat (1) KUHP berbunyi:“Tiada dapat
dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya,sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal”. 3

Penulis mengambil contoh kasus pembunuhan dilakukan terdakwa Yeremias W. Dika


alias Yemi melakukan pembunuhan terhadap tetangganya Petronela Bunga dengan cara
memukul menggunakan kayu yang selama ini dia jadikan tongkat sebanyak dua kali di
kepala.Akibat tindakannya itu korban meninggal dunia. Sebelumnya di tahun 2018 terdakwa

1
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
2
Arif Gosita, 1983 Hukum dan Hak-hak ana, Rajawali, Bandung. Hlm. 46
3Pasal 44 ayat (1) kitab Undang-Undang Republik Indonesia

3
Yeremias W.Dika alias yemi diketahui membunuh anak kandungnya sendiri dan divonis
mengalami gangguan jiwa dan pada saat terdakwa melakukan tindak pidana pembunuhan
kembali pada tahun 2020 terdakwa dikenakan melanggar Pasal 351 Ayat (3) KUHP dan 338
KUHP dengan ancaman maksimal 12 tahun penjara.Dan majelis Hakim menyatakan dalam
Putusan Nomor 41/Pid/B/2020/PN ENDE Terdakwa dinyatakan bersalah telah melakukan tindak
pidana pembunuhan akan tetapi, pelaku dengan kondisi dalam keadaan gangguan jiwa tersebut
apakah dapat dihukum ?.

Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai faktor
penyebab perbedaan dan hambatan dalam pidana terhadap pelaku yang mengalamai
gangguanmkejiwaan.Dikarenakan pada kasus pertama yang dilakukan oleh pelaku tidak
dijatuhkan hukum pidana sedangkan pada kasus kedua yang dilakukan oleh pelaku dijatuhkan
hukuman pidana.

Rumusan Masalah

1. Apakah faktor penyebab pelaku pembunuhan dengan gangguan jiwa dituntut


pertanggungjawaban pidana dalam satu kasus pembunuhan dan tidak dituntut pada
kasus pembunuhan lainnya di Kepolisian Resort Ende ?
2. Apakah hambatan dalam penuntutan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku
pembunuhan dengan gangguan jiwa ?

Keaslian Penelitian

Penelitian ini memiliki kekhususan sesuai tujuan penelitian dengan menggali pokok
permasalahan yang berbeda.Berdasarkan penelusuran dan pengkajian yang telah ada yang
dilakukan oleh calon peneliti,belum ada peniliti yang membahas tentang Faktor Penyebab
Perbedaan Dan Hambatan Dalam Penuntutan Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang
Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) Sebagai Pelaku Pembunuhan Di Wilayah Hukum Kepolisian
Resort Ende. Hal ini membuktikan bahwa judul yang diambil oleh calon peneliti bukanlah suatu
bentuk duplikasi atau plaigiat dari hasil peneliti lain. Dapat dibuktikan dengan membandingkan

4
penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Berikut hasil penelusuran yang
berkaitan dengan judul penelitian ini, Monica Ade Wulandari, Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Nusa Cenda Tahun 2021. Judul penelitian Tinjauan Yuridis Tindak Pidana
Pembunuhan yang Dilakukan Oleh Pengidap Gangguan Jiwa Secara Periodik, dengan Rumusan
Masalah yang diteliti: (1). Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak
pidana yang mengalami gangguan jiwa secara periodik ?, (2). Bagaimanakah proses penyidika
terhadap tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh pengidap gangguan jiawa secara
periodik?, (3). Apakah hambatan-hambatan yang dialami dalam proses penyidikan terhadap
tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh pengidap gangguan jiwa periodik?.

Tujuan dan Kegunaan Penelitian


1. Untuk mengetahui faktor penyebab pelaku pembunuhan dengan gangguan jiwa dituntut
pertanggungjawaban pidana dalam satu kasus pembunuhan dan tidak dituntut pada kasus
pembunuhan lainnya di Kepolisian Resort Ende
2. Untuk mengetahui hambatan dalam penuntutan pertanggungjawaban pidana terhadap
pelaku pembunuhan dengan gangguan jiwa

Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoretis:
1. Memberikan manfaat dalam perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum
pidana
2. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi maupun literatur
bagi mahasiswa hukum pidana
b. Manfaat Praktis:
1. Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penulis khususnya dan masyarakat pada
umumnya
2. Hasil penelitian ini diharapkan agar para pembaca dapat memahami mengenai pelaku
tindak pidana yang mengalami gangguan jiwa

5
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian empiris, yakni mengkaji dan
menganalisis data yang diperoleh dari lokasi penelitian.

Lokasi Penelitian
Penelitian dalam rangka menjawab rumusan masalah yang dalam penelitian ini
dilakukan di Kepolisian Resort Ende dan Pengadilan Negeri Ende.

Aspek-aspek Yang Diteliti


a. Faktor penyebab pelaku pembunuhan dengan gangguan jiwa dituntut
pertanggungjawaban pidana dalam satu kasus pembunuhan dan tidak dituntut pada kasus
pembunuhan lainnya: Pasal 44 KUHP, dan faktor lain
b. Hambatan dalam penuntutan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku pembunuhan
dengan gangguang jiwa: faktor penegak hukum, faktor petugas, faktor sarana dan
prasarana, faktor masyarakat, faktor kebudayaan.

Latar Belakang
A. Pengertian Tindak Pidana, Tujuan Pidana, dan Pertanggungjawaban Pidana
1) Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana banyak sekali pengertiannya menurut beberapa ahli hukum pidana,
sebab mereka memandang dari sisi yang berbeda-beda sehingga menimbulkan banyak
pendapat.Salah satu buku yang mengemukakan pendapat ahli hukum tentang tindak
pidana adalah buku karangan Agus Rusianto yang berjudul Tindak Pidana dan
pertanggungjawaban tindak pidana.Ia mengutip beberapa pendapat ahli
hukum.Diantaranya pendapat ahli hukum tersebut adalah menurut Ultrecht, tidak
pidana adalah adanya kelakuan yang melawan hukum, ada seseorang pembuat yang
bertanggung jawaban atas kelakuannya. Kemudian menurut Simon bahwa tindak
pidana mempunyai unsur-unsur : diancam oleh pidana dengan hukum, bertentangan

6
dengan hukum, dilakukan oleh orang yang bersalah, dan orang itu dipandang
bertanggungjawab atas perbuatannya. 4
Dapat diambil kesimpulan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang oleh
aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuata di
sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarya dilarang
oleh hukum). 5
2) Tujuan Pidana
Menurut Remmelink hukum pidana bukan tujuan pada diri sendiri tetapi
ditunjukan untuk menegakan tertib hukum, melindungi masyarakat hukum. Penjaan
tertib sosial untuk sebagian besar sangat tergantung pada paksaan. 6
Dalam literature berbahasa inggris tujuan pidana biasa disingkat dengan tiga R
dan satu D, tiga R itu ialah Reformation, Restraint, dan Retrubution, sedangkan satu
D ialah Deterrence yang terdiri atas individual derrence dan general deterrence
(pencegahan khusus dan pencegahan umum).
Reformation berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik
dan berguna bagi masyarakat. Restraint maksudnya mengasingkan pelanggar dari
masyarakat. Dengan tersingkirnya pelanggar hukum dari masyarakat berarti
masyarakat itu akan menjadi lebih aman. Restribution ialah pembahasan terhadap
pelanggar karena telah melakukan kejahatan. Deterrence berarti menjera dan
mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang
potensial menjadi penjahat akan jera atau takut melakukan kejahatan, melihat pidana
yang dijatuhkan kepada terdakwa.
3) Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan
teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus pada pemidanaan

4Agus Rusianto, Tindak pidana & Pertanggungjawaban Pidana,Cet.Kesatu ( Jakarta : Kencana 2016),hlm.3
5Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2015)
6
J.Remmilk,Hukum Pidana,hlm.14

7
pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka
dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak.7
Berbicara mengenai kemampuan bertanggung jawab selalu dikaitkan dengan keadaan
jiwa si pelaku tindak pidana, artinya keadaan jiwa itu harus sedemikian rupa sehingga
ia dapat diminta pertanggugjawaban pidana. Sebagian unsure yang bersifat subjektif
ini, di dalam KUHP tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan kemampuan
bertanggung jawab. Akan tetapi, KUHP hanya memberikan syarat-syarat bilamana
keadaan jiwa seseorang dianggap mempunyai kemampuan bertanggung jawab,
sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 44 KUHP yang berbunyi:
1. Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan
kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena
penyakit, tidak pidana.
2. Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya
karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim
dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukan ke rumah sakit jiwa, paling
lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
3. Ketentuan dalam Ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan
Tinggi, dan Pengadilan Negeri.
B. Faktor Penyebab Tidak Konsisten Reaksi Terhadap Pembunuhan Oleh
Pelaku/Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)
1. Alasan Penghapus Pidana (Pasal 44 KUHP)
Dalam hukum pidana tidak semua perbuatan yang memeuhi semua unsur tindak
pidana pelakunya dapat dijatuhi pidana.Hakim dapat mejatuhkan putusan bebas atau
putusan lepas dari segala tuntutan hukum.Kemungkinan hakim menjatuhkan putusan
bebas terhadap pelaku atas tindak pidana yang telah dilakukan merupakan prinsip
dalam sistem pemidanaan yang berlaku di Indonesia.

7
http : // saifudiendjsh.blogspot.com/2009/08/pertanggungjawaban-pidana hlm.14

8
Alasan Penghapusan Pidana (APP) adalah alasan-alasan tidak dapat
dipertanggungjawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidannya
seseorang.Dalam KUHP diatur dalam Bab III Buku I, tentang pidana.
Menurut doktrin alasan penghapus pidana sebagaimana disebutkan di atas dibedakan
antara:
1 Alasan penghapus Pidana Umum : Pasal 44, 48 s.d 51 KUHP ;
2 Alasan penghapus Pidana Khusus, yaitu untuk delik-delik tertentu, seperti pasal
164, 165 KUHP dan Pasal 221 Ayat (2) KUHP.
Selain itu, doktrin juga mengadakan pembedaan, sejalan dengan pembedaan antara
dapat dipidananya perbuatan dengan dapat dipidananya pembuat. Pembedaan tersebut
meliputi:
1 Alasan Pembenar, yaitu menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. Pasal
49 Ayat (1), Pasal 50, dan Pasal 51 Ayat (1) KUHP.
2 Alasan pemaaf/alasan penghapus kesalahan. Orangnya tidak dapat dicelakan
(menurut hukum) menghapus kesalahannya. Pasal 44, Pasal 49 (1) Ayat (2), Pasal
51 Ayat (2) KUHP. Menyangkut Pasal 48 KUHP ada dua kemungkinan
merupakan alasan pembenar dan dapat pula merupakan alasan pemaaf.
C. Kesehatan Jiwa dan Gangguan Jiwa
1) Kesehatan Jiwa
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 Tentang
Kesehatan Jiwa yang dimaksud dengan kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang
individu dapat berkembang secara fisik, mental, spritual, dan sosial sehingga individu
tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja
secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.
2) Gangguan Jiwa
Gangguan jiwa dimaknai sebagai suatu kondisi medis terdapat suatu gejala atau
terjadinya gangguang patofisiologis yang menganggu kehidupan sosial, akademis dan
pekerjaan. Gangguan tersebut bisa berbentuk apa saja yang beresiko terhadap pribadi
seseorang dan lingkungan sekitarnya.

9
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa pada Bab 1 Pasal
1 menjelaskan pengertian mengenai penyakit kejiwaan terbagi menjadi dua
sebagaimana tercantum pada Ayat (2):
“Orang Dengan Masalah Kejiwaan yang selanjutnya disingkat OMDK adalah orang
yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan, dan perkembangan,
dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki resiko mengalami gangguan jiwa”.
Selanjutnya pada Ayat (3):
“Orang Dengan Gangguan Jiwa yang selanjutnya disingkat ODGJ adalah orang yang
mengalami gangguan dalam pikirian, periaku, dan perasaan yang termanifestasi
dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta
dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang
sebagai manusia”.
Penyebab ODGJ yaitu faktor somatik (psikis kelahiran dan proses persalinan,
psikologik, sosio-budaya, keterununan, cacat kongenital/cacat lahir), deprivasi dini,
pola keluarga yang patogenik ( pola asuh tidak sehat), penyalahgunaan obat-obatan,
psikodinamik (hakikat,dan gejala, yaitu gangguan kognitif, perhatian, ingatan,
asosiasi, pikiran, kesadaran, kemauan, emosi, dan psikomotr. ODGJ terdapat berbagia
jenis, diantaranya gangguan mental organik (delirium, demensia, dan amnesia),
gangguan psikotik, retardasi mental, dan gangguan neurotik (ansietas fobik, panik,
cemas menyeluruh, neurosi depresi, obsesi kompulsif, disosiatif dan somatoform).
Tidak semua OMDK akan berkembang menjadi ODGJ. Banyak faktor yang
berkontribsi umum timbulnya gangguan kejiwaan pada seseorang diantaranya faktor
genetik, neurobiologik, psikologik, budaya dan spiritualitas. Gangguan jiwa
dibedakan sebagai berikut:
(a) depresi
(b) Kecemasan (anxiety disorder)
(c) Skizofrenia
(d) Gangguan Kepribadian
(e) Gangguan Mental Organik

10
(f) Gangguan Psikosomatik
(g) Retardasi Mental
3) Tidak Terpenuhi Kelengkapan Formal dan Kelengkapan Materil Sesuai KUHAP
Harapan agar polisi selalu memenuhi tugas dan tanggung jawabnya dengan
sebaik-baiknya kadang-kadang tidak selalu dapat terpenuhi. Penegak hukum dalam
ini Polri dewasa ini kurang profesional karena tidak ditunjang oleh kemampuan
(keahlian dan keterampilan) yang memadai dan memiliki citra yang tidak sesuai
dengan tuntutan tugasnya. Kaitan kepercayaan masyarakat aparat hukum dalam
rangka penegakan hukum dikatakan pula oleh Teba bahwa kemerosotan wibawa
hukum yang dirasakan selama ini sebagian disebabkan oleh aparat penegak hukum
bermental lemah, kurang teliti dalam menangani suatu perkara sehingga banyak
warga masyarakat yang dirugikan. Akibat dari kurang teliti (keliru, salah, lupa) polisi,
cukup luas, antara lain:
Pertama, tidak terpenuhi persyaratan untuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
maupun surat dakwaan yaitu kelengkapan formal dan kelengkapan material.
a. Kelengkapan Formal
Kelengkapan formal untuk berkas perkara hasil penyelidikan antara lain:
1. Identitas tersangka seperti tersebut dalam Pasal 143 Ayat (2) Huruf a KUHP
yakni:“nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka,”
2. Surat ijin ketua pengadilan negri setempat, apabila penggeledahan dan
penyitaan dilakukan (Pasal 33 dan 88 KUHP)
3. Penyidik atau penyidik pembantu harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 2 dan 3 PP Nomor 27 Tahun 1983 juncto Peraturan
Mentri Kehakiman Nomor M. 05. PW. 07. 04 Tahun 1984:
(1) Adanya pengaduan dari orang yang berhak dalam hal ini delik aduan;
(2) Surat Ijin Khusus Ketua Pengadilan Negri setempat apabila dilakukan
pemeriksaan surat (Pasal 47 KUHP);

11
(3) Pembuatan berita acara seperti dimaksud dalam Pasal 75 KUHP apabila
dilakukan pemeriksaan tersangka, penangkapan dan sebagaiannya, dan
ditanda-tangani oleh yang yang berhak menandatanganinya.
b. Kelengkapan Materil
Kelengkapan Materil yang dimaksud ialah apabila berkas perkara sudah
memenuhi persyaratan untuk dapat melimpahkan perkara ke pengadilan, antara
lain seperti adanya alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 183, 184 KUHAP,
dan urairan secara cermat, jelas, lengkap mengenai pidana yang dilakukan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 Ayat (2) b KUHP.
Setelah mempelajari dan meniliti peristiwa yang terjadi karena mengetahui terjadinya
suatu peristiwa menerima laporan atau pengaduan (Pasal 106 KUHP) atau menerima
penyerahakan tersangka yang tertangkap tangan (Pasal 111 KUHAP) berdasarkan
bukti-bukti yang ada, maka penyidik menentukan sikap, apakah tindakan
penyidikkan dilanjutkan ataukah dihentikan.
4) Petugas Kurang Teliti (keliru, salah, lupa) dalam Melaksanakan Tugas
Dikaitkan dengan masa penahanan, pelaksanaan tugas yang bertele-tele ini akan
memakan waktu yang melibihi masa tahanan. Walaupun pemeriksaan belum selesai
dan tersangka ditahan, setelah lewat masa penahanan yang ditentukan undang-undang
maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum mengenai penahanan,
lihat Pasal 20 sampai 31 KUHP.
5) Faktor Penghambat dalam Penuntutan Pertanggungjawaban
Ada beberapa factor yang mempengaruhi penegakan hokum menurut Soekanto
sebagai berikut:
a. Faktor hukum itu sendiri
b. Faktor penegak hukum
c. Faktor masyarakat
d. Faktor sarana atau fasilitas pendukung
e. Faktor kebudayaan

12
Hasil Penelitian dan Pembahasan
A. Deskripsi Kasus
Pada hari selasa tanggal 18 Februari 2020 sekittar pukul 09.30 Wita bertempat di
Dusun Wawosumba, RT 001, RW 001, Desa Wolotopo Timur, Kecamatan Ndona,
Kabupaten Ende. Bahwa pada hari dan tempat sebagaimana tersebut di atas terdakwa
Yeremias W. Dika Alias Yemi mendatangi rumah korban Petronela Buga dengan
membwa 1 batang kayu gamal mentah yang berbentuk bulat dengan panjang 90 cm dan
berat 1,5 Kg. Sesampainya di halaman rumah korban, Terdakwa melihat korban sedang
duduk sambil membenahi benang tenunan. Terdakwa lalu menghampiri korban dan
kemudian terdakwa dari jarak 1.5 meter dari tenunan melakukan pemukulan terhadap
korban dengan cara mengayunkan kayu gamal yang terdakwa pegang dengan kedua
tangannya kearah belakang kepala korban sebanyak 2 kali hingga menyebabkan korban
terjatuh lalu terguling kearah bawah rumah di kebun jagung dengan posisi terduduk dan
kepala korban mengeluarkan banyak darah. Setelah Terdakwa yang berjarak kurang lebih
100 meter dari rumah korban.Setelah sampai di rumah, Terdakwa lalu melarikan diri ke
kebun Wawodetu dengan menggunakan sepeda motor.8 Setelah terjadi peristiwa
pemukulan dengan sarana kayu oleh terdakwa terhadap Korban, kemudian Korban
dibawa ke RSUD Ende untuk memperoleh tindakan medis. Berdasrkan hasil pemeriksaan
sebagaiamana termuat dalam Visum Et Repertum Nomor 25/TU.01/UM/II/2020
tertanggal 25 februari 2020 ditandatangani oleh dr. Marinus Tanjung Fanggidae diperoleh
kesimpulan terdapat 2 buah luka robek pada kepala bagian belakang, berukuran masing-
masing tujuh kali dua sentimeter dan lima kali penurunan kesadaran dan membutuhkan
perawatan intensif di ruang ICU. Bahwa Korban kemudian meeninggal dunia di RSUD
Ende pada tanggal 18 Februari 2020 pukul 18.16 WITA sebagaimana termuat dalam
surat keterangan kematian Nomor : 17/TU.01/UM/I/2020 tertanggal 24 Februari 2020
ditandatangani oleh dr. Melati Cinta.Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 338 KUHP dan Pasal 351 Ayat ( 3) KUHP.9

8
Berkas perkara Nomor 41/Pid.B/2020/pn End
9
Berkas Perkara No. 41/Pid.B/2020/PN End

13
Sebelumnya Terdakwa juga pernah melakukan Kasus yang sama yaitu membunuh
anak kandungnya sendiri pada tahun 2018 bertempat di Dusun Wawosumba, RT 001,
RW 001, Desa Wolotopo Timur, Kecamatan Ndona, Kabupaten Endenamun tidak
diproses secara hukum karena berdasarkan hasil pemeriksaan dokter ahli kejiwaan bahwa
yang bersangkutan mengalami gangguan Kejiwaan.
B. Faktor Penyebab Pelaku Pembunuhan dengan Gangguan Jiwa Dituntut
Pertanggungjawaban Pidana dalam Satu Kasus Pembunuhan dan Tidak Dituntut pada
Kasus Pembunuhan Lainnya di Kepolisian Resor Ende
Pada tahun 2018 telah terjadi kasus pembunuhan yang di lakuakan oleh Yeremias
wedika dalam kasus tersebut pelaku di kalaim mengalami gangguan kejiwaan yang
membuat pelaku tidak di pidana namun pada tahun 2020 pelaku mengulangi perbuatan
yang sama yakni membunuh tetangganya sendiri sehinnga pelaku di tangkap dan di
proses lebih lanjut.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, terdapat beberapa
faktor yang menyebabkan kenapa tidak dituntutnya pelaku pada kasus pembunuhan di
tahun 2018 dan dituntutnya pelaku pada kasus pembunuhan di tahun 2020. Faktor
tersebut antara lain sebagai berikut:
 Faktor internal
Salah satu faktor dari dalam diri yang berkaitan dengan kepribadian (tempramen dari
pelaku pembunuhan yang menyebabkan pelaku mudah sekali melakukan kejahatan
apabila menghadapi situasi yang menimbulkan kemarahan yang tidak
terkendali/terkontrol.Faktor internal adalah segala sesuatu yang diantaranya faktor
jasmaniah (fisik) dan psikologi (mental).
Faktor psikologi antara kasus pembunuhan pada tahun 2018 dan kasus pembunuhan
pada tahun 2020 di Kepolisian Resor Ende
a) Kasus pembunuhan pada tahun 2018
Pada tahun 2018 terjadi peristiwa kelam yang menghebohkan masyarakat
Kabupaten Ende khusunya di desa Wolotopo yaitu terjadinya kasus pembunuhan
yang dilakukan oleh Yeremias W. Dika yang membunuh anak kandungnya

14
sendiribertempat di Dusun Wawosumba, RT 001, RW 001, Desa Wolotopo
Timur, Kecamatan Ndona, Kabupaten Ende namun tidak diproses secara hukum
karena mengalami gangguan kejiwaan. Hal tersebut dapat diketahui berdasarkan
hasil pemeriksaan dokter ahli kejiwaan bahwa yang bersangkutan mengalami
gangguan Kejiwaan. Oleh karena maka pelaku tidak dituntut Karena sesuai
dengan Pasal 44 ayat (1) KUHP yaitu : “ Barangsiapa yang melakukan perbuatan
yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam
pertumbuhan atau terganggu karena penyakit tidak dipidana.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Kasat Reskrim Polres Ende
Bpk Efra Efrata pada tanggal 20 Juli 2022, Bahwa memang Benar pada tahun
2018 pelaku atas Nama Yeremias W. Dika alias yemi melakukan tindakan
criminal yaitu membunuh anak kandungannya sendiri.
Pelaku langsung dibawah oleh pihak kepolisian ke Polresta Ende untuk
diamankan.Keesokan harinya pelaku langsung dimintai keterengan oleh pihak
penyidik tetapi pelaku tidak menjawab satu pertanyaanpun yang diberikan oleh
pihak penyidik dan proses penyidikan hari itu tdk dilanjutkan karena melihat
dengan kondisi pelaku yang masih belum stabil.Pada Hari kedua ada sedikit
perubahan dalam proses penyidika. ketika dimintai keterengan oleh penyidik
pelaku menjawab apa yang di tanyakan oleh penyidik namun jawaban yang
dikatakan pelaku tidak masuk akal atau tidak nyambung dengan apa yang
ditanyakan oleh pihak penyidik. Hal ini membuat proses penyidikan menjadi
terhambat karena keterangan yang diberikan oleh pelaku tidak jelas dan berubah-
ubah sehingga menyulitkan pihak kepolisian dalam menentukan bisa atau
tidaknya orang tersebut diproses secara hukum. Maka pada saat itu pelaku
dibantu oleh istri dan keluarganya untuk memberikan keterangan kepada
penyidik.Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa kejiwaan pelaku sedikit terganggu.
Selain itu, ada hal lain yang mengakibatkan tidak dilanjutkannya proses
penyidikan oleh pihak kepolisian resort ende yaitu, dimana pihak keluarga sendiri
mencabut tuntutan terhadap pelaku bersama para tokoh adat, pihak pemerintah

15
desa setempat mengambil tindakan untuk membuat surat pernyataan bahwa
pelaku akan diasingkan dari kampung adat wolotopo dan dipindahkan ke
kampung istrinya di boawaedengan harapan bahwa pelaku dapat merubah
perilakunya.10
Dari hasil wawancara yang dipaparkan di atas menunjukan bahwa kasus
pembunuhan yang dilakukan oleh pelaku pada tahun 2018 termasuk tindak
pidana tetapi dikarenakan pelaku mengalami gangguan jiwa maka pelaku tidak
dapat di pidana melainkan pelaku sebenarnya harus mendapatkan perlindungan
hukumberdasarkan peraturan mentri kesehatan nomor 54 tahun 2017 tentang
penanggulangan pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa,peraturan mentri
kesehatan nomor 77 tahun 2015 tentang pedoman pemeriksaan kesehatan jiwa
untuk kepentingan penegakan hukum, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014
tentang kesehatan jiwa, Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang rumah
sakit, Undang-Undang Nomor 36Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Namun karena kasus ini tidak dibawah sampai di pengadilan dan juga
keterbatasan biaya dan kurangnya respon dari pihak pemerintah dalam hal ini
Dinas Sosial, maka pelaku tidak direhabilitasi dan dilepas bebaskan begitu saja.
Persoalan tersebut dapat dilihat dalam ketentuan khusus yang dirumuskan
oleh pembentuk undang-undang yang memungkinkan pelaku tindak pidana tidak
dapat dijatuhi pidana apapun.Artinya udang-undang menerima keadaan-keadaan
tertentu yang memungkinkan seorang pelaku tindak pidana tidak dapat
dipertanggungjawabkan atau tidak dapat dijatuhi pidana apapun.Dengan
demikian, perbuatan-perbuatan seseorang yang telah memenuhi keadaan-keadaan
tertentu memungkinkan ketentuan hukum pidana tidak dapat diberlakukan, baik
ketentuan yang terdapat dalam KUHP maupun peraturan perundang-udangan di
luar KUHP.
b) Kasus pembunuhan pada tahun 2020

10
Wawancara bersama Kasat Reksrim Polres Ende ( Bpk. Efra Efrata)

16
Berdasarkan wawancara peneliti dengan Kasat Reskrim Polres Ende Bpk
Efra Efrata, S.H Pada Tanggal 20 Juli 2022, Bahwa pada tanggal 18 februari
2020 pelaku atas Nama Yeremias W. Dika alias yemi telah melakukan kembali
tindakan criminal yaitu melakukan penganiayaan hingga menyebabkan kematian
terhadap tetangganya atas nama Petronela Buga. Akibat dari perbuatannya
tersebut pelaku dijerat pasal 351 ayat (3) dan 338 KUHP dengan masa kurungan
12 tahun penjara. Kasat reskrim polres ende mengatakan bahwa pada kasus kedua
ini ketika melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa, terdakwa menjawab semua
pertanyaan dengan kooperatif dan tidak ada tanda-tanda gangguan jiwa dan
sampai di persidangan pun ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diberikan oleh hakim, terdakwa menjawabnya dengan baik. Maka dari itu tidak
ada pemeriksaan gangguan kejiwaan kepada terdakwa. 11
Peneliti juga melakukan wawancara dengan Bapak Bernadus Nai yakni
tetangga korban paa tanggal 21 Juli 2022, yang mengatakan bahwa seharusnya
perlu ada penyidikan ulang mengenai gangguan kejiwaan yang dialami oleh
pelaku tetapi dilihat dari latar belakang pelaku yang pernah melakukan tindakan
criminal dan berdasarkan aktifivas keseharian dari pelaku maka perlu dilakukan
pemeriksaan kejiwaan walaupun disaat proses penyidikan pelaku menjawab
semua pertanyaan secara kooperatif. Karena sama saja kalau orang dengan
gangguan jiwa ditahan atau dipenjara dan pada saat dia bebas dari masa tahanan
akan membuat kasus yang sama. Seharusnya pelaku dengan gangguan kejiwaan
harus dibuatkan tempat khusus seperti tempat rehabilitasi. 12
Peneliti juga melakukan wawancara dengan Bapak Silvester Seran Klau
Pada tanggl 21 Juli 2022,selaku pengawas yang mengawasi terdakwa Yeremias
W.Dika di Lapas Kelas II Ende. Dalam wawancara peniliti bersama Bapak
Silvester mengatakan aktifitas yang dilakukan Terdakwa Selama berada di Lapas
Kelas II menunjukan bahwa terdakwa mengikuti segala kegiatan yang dilakukan

11
Wawancara Bersama Kasat Reskrim Polres Ende ( Bpk. Efra Efrata)
12
Wawancara Bersama Tetangga Pelaku ( Bpk. Bernadus Nai)

17
di rumah binaan tersebut, seperti olahraga, kegiatan kerohanian dan sebagiannya.
Namun kadang kala terdakwa bersikap tidak seperti orang normal, ketika di ajak
berbicara terdakwa hanya terdiam saja dan tidak menjawab apa yang dibicarakan
oleh lawan bicara. Kejadian tersebut tidak berlangsung setiap harinya tetapi ada
waktu-waktu tertentu yang membuat terdakwa susah diajak untuk berinteraksi
dan tidak seperti tahanan lainnya.13
Berdasarkan data wawancara yang dipaparkan di atas maka menurut
peneliti pelaku mengalami gangguan jiwa Periodik sehingga pada saat
memberikan pernyataan pelaku melakukannya secara sadar sehingga proses
peradilan dilanjutkan. Pemberian hukuman atau sanksi dan proses hukum yang
berlangsung dalam kasus pelanggaran hukum oleh odgj memang sedikit berbeda,
karena dasar pemikiran pemberian hukuman oleh negara adalah bahwa setiap
warga negaranya adalah mahkluk yang bertanggung jawab dan mampu
mempertanggungjawabkan segala perbuatan.

Penutup
A. Kesimpulan
1. Faktor yang paling mendasar pada kasus pertama yaitu faktor Psikologi. Bahwa
Yeremias W.Dika diketahui mengalami gangguan kejiwaan yang mengakibatkan
pelaku tidak dapat memberikan keterangan ketika dimintai keterangan oleh penyidik
dan tingkah laku pelaku pada saat proses penyidikan yang menunjukan ciri-ciri tidak
seperti orang normal biasanya. Dan pelaku sempat dibawa ke Kupang untuk
melakukan pemeriksaan kejiwaan di salah satu rumah sakit d Kota Kupang.
2. Hambatan-hambatan dalam proses penyidikan dan penuntutan berupa:
a. Tidak adanya Dokter ahli jiwa di KabupatenEnde sehingga harus diperiksa di
Rumah Sakit di Kupang.
b. Tidak ada tempat Khusus yang disiapkan Negara untuk menampung Sementara
pelaku yang mengidap gangguan jiwa.

13
Wawancara Bersama Bpk. Slivester Seran ( Tanggal 21, Juli 2022)

18
c. Pembuktian terkait keterangan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku
yang mengidap gangguan jiwa.
d. Keterangan yang diberikan oleh orang yang mengalami gangguan kejiwaan tidak
jelas dan berubah-ubah sehingga menyulitkan pihak kepolisian dalam menentukan
bisa atau tidaknya orang tersebut diproses secara hukum.
e. Kurangnya kerjasama dari dinas sosial dalam hal pembiayaan pada saat
melakukan proses penyidikan yang mengharuskan adanya Pemeriksaan.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka peneliti menyarankan beberapa hal berikut ini:
1. Dalam Pasal 44 KUHP hendaknya dibuat aturan yang lebih jelas dan tegas dalam hal
pertanggungjawaban pidana. Jika dalam pasal tersebut status kejiwaan seseorang
tidak diatur tegas dan jelas dalam hukum maka akan menimbulkan kekeliruan hukum
di kemudian hari. Sehingga memberi pandangan agar ada pembedaan antara sakit dan
kelainan jiwa, hingga muncul suatu kejelasan untuk status kejiwaan tersebut dan
terciptanya suatu pengaturan hukum yang jelas.
2. Mengingat bahayanya seseorang yang mempunyai penyakit jiwa melakukan suatu
tindak pidana berkeliaran tanpa ada penanganan dari pihak yang berwenang, maka
sangatlah diperlukan sarana dan prasarana seperti sebuah Rumah Sakit Jiwa.
Gangguan jiwa ada banyak jenisnya. Pengobatan untuk kondisi ini pun berbeda-beda,
tergantung pada jenis gangguan yang menyerang dan tingkat keparahan dari gejala
yang muncul. Diperlukan kerja sama dari masyarakat, yaitu jika mengetahui dan
melihat seseorang yang mengalami atau memiliki gejala dari gangguan kejiwaan
hendaknya melakukan. Semakin cepat kondisi ini ditangani, maka semakin besar pula
peluang untuk sembuh.

19

Anda mungkin juga menyukai