Anda di halaman 1dari 49

BI

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hak dan kewajiban setiap warga negara adalah sama. Hal ini

secara tegas diungkapkan dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang

Dasar 1945 bahwa :

“Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam

hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung tinggi hukum

dan pemerintahan itu tanpa kecuali”.

Dengan demikian pasal ini sekaligus menjustifikasi bahwa antara

laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama di hadapan

hukum. Perempuan adalah mitra sejajar bagi laki-laki, yang mempunyai

hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam

setiap lapangan kehidupan termasuk dalam rumah tangga.

Rumah tangga seharusnya adalah tempat yang aman bagi para

anggotanya, karena keluarga dibangun oleh suami-istri atas dasar

ikatan lahir batin diantara keduanya. Menurut Pasal 33 Undang-Undang

No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan ( UU Perkawinan ) bahwa :

”Antara suami-istri mempunyai kewajiban untuk saling cinta-mencintai,

hormat-menghormati, dan memberi bantuan lahir batin yang satu

kepada yang lain”. Akan tetapi, pada kenyataannya justru banyak

1
rumah tangga menjadi tempat penderitaan dan penyiksaan karena

terjadi tindak kekerasan.

Dalam Undang-Undang Perkawinan ditentukan bahwa suami

dan istri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam

kehidupan rumah tangga, pergaulan hidup di dalam masyarakat serta

berhak untuk melakukan perbuatan hukum (Pasal 31 Undang-undang

Perkawinan). Adapun tujuan dari Undang-undang Perkawinan

mengatur hal tersebut adalah agar rumah tangga terhindar dari

perselisihan dan tindakan kekerasan. Namun, dalam kenyataannya

kehidupan keluarga sering terjadi pertentangan dan perbedaan

pendapat yang sering berujung pada tindak kekerasan fisik yang

dilakukan oleh suami terhadap istri. Suami yang mestinya berfungsi

sebagai pengayom, justru berbuat yang jauh dari harapan anggota

keluarganya.

Kekerasan terhadap istri dalam suatu rumah tangga, sering

dianggap sebagai hidden crime oleh para ahli kriminologi. Meskipun

telah memakan cukup banyak korban dari berbagai kalangan

masyarakat, kekerasan dalam rumah tangga (selanjutnya disingkat

KDRT), masih merupakan masalah sosial serius yang kurang

mendapat perhatian masyarakat, karena:

2
1. KDRT memiliki ruang lingkup yang relatif tertutup (pribadi) dan

terjaga privasinya karena persoalannya terjadi dalam rumah tangga

(keluarga).

2. KDRT sering dianggap wajar karena adanya keyakinan bahwa

memperlakukan istri sekehendak suami adalah hak suami sebagai

pemimpin dan kepala dalam rumah tangga.

3. KDRT terjadi dalam lembaga yang legal yaitu perkawinan.

Namun, pada kenyataannya Komisi Nasional Perempuan

(Komnas perempuan) mencatat, kekerasan terhadap istri terus

mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sebesar 3.160 kasus di

tahun 2002 naik menjadi 5.163 di tahun 2003, lalu naik menjadi 7.787

kasus di tahun 2004, terdapat 14.020 kasus di tahun 2005, sedangkan

tahun 2006 hanya 1.348 terjadi penurunan dari tahun sebelumnya.

Namun pada tahun 2007 tercatat 17.772 kasus. Dari 14.020 kasus di

tahun 2005 tersebut sebesar 4.310 kasus (31%) merupakan kasus

kekerasan dalam rumah tangga. Data yang diperoleh dari Rifka Anissa

Women’s Crisis Centre menunjukkan bahwa pada tahun 1994 s/d tahun

2003 kasus KDRT berjumlah 1511 kasus. Tiap tahun selalu mengalami

peningkatan, mulai 18 kasus (1994), 82 kasus (1995), 134 kasus

(1996), 188 kasus (1997), 208 kasus (1998) dan terakhir 282 kasus

(1999). Dari 706 kasus, pengaduan terbanyak merupakan korban

kekerasan suami (70%), bahkan ada korban yang sampai buta. Namun

ironisnya dari keseluruhan jumlah kasus yang ada, kurang dari 2%

3
yang bersedia melaporkan kasusnya ke polisi maupun membawanya

ke pengadilan (Rika Saraswati 2009 : 2-3).

Mencermati kondisi di atas tampak bahwa upaya penanganan

kekerasan dalam rumah tangga banyak mendapatkan berbagai macam

kendala.

Sejumlah kendala yang umumnya dihadapi adalah: Pertama,

kuatnya kultur budaya gender dan patriarki; Kedua, relasi dan kuasa

yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan; Ketiga, perilaku hasil

meniru; Keempat, kurangnya kesadaran dan pemahaman korban untuk

melapor ke aparat. Selain itu menurut penulis, aspek penegakan hukum

dan minimnya lembaga yang menangani, merupakan kendala dalam

penanganan kasus-kasus KDRT.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “Tinjauan Kriminologis Terhadap Tindak

Pidana KDRT Yang Dilakukan Oleh Suami Terhadap Istri Di

Wilayah Hukum Polres Barru.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas dan untuk lebih

memfokuskan penulisan skripsi ini, maka rumusan masalah dalam

skripsi ini adalah sebagai berikut :

4
1. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana

KDRT yang dilakukan oleh suami terhadap istri di Wilayah Hukum

Kepolisian Resort (Polres) Barru?

2. Bagaimanakah upaya-upaya yang dilakukan untuk

mengurangi/menanggulangi tindak pidana KDRT yang dilakukan

oleh suami terhadap istri di Wilayah Hukum Kepolisian Resort

(Polres) Barru?

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya tindak

pidana KDRT yang dilakukan oleh suami terhadap istri di

Wilayah Hukum Polres Barru.

2. Untuk mengetahui upaya - upaya yang telah dilakukan untuk

mengurangi/menanggulangi tindak pidana KDRT yang

dilakukan oleh suami terhadap istri di Wilayah Hukum Polres

Barru.

Adapun kegunaan dari penulisan ini adalah :

1. Agar hasil penulisan skripsi ini memberikan sumbangan teoritis

bagi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan, dalam

hal ini perkembangan dan kemajuan ilmu hukum pidana pada

khususnya dan ilmu hukum pidana materiil pada umumnya.

5
2. Agar hasil penulisan skripsi ini dapat dijadikan referensi

tambahan bagi para akademisi, penulis dan kalangan yang

berminat dalam bidang kajian yang sama.

3. Agar hasil penulisan skripsi ini menjadi sumbangsih dalam

rangka pembinaan hukum nasional, terutama pembinaan

hukum pidana di Indonesia pada umumnya.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kriminologi

1. Pengertian Kriminologi.

Kriminologi termasuk cabang ilmu pengetahuan yang

berkembang pada tahun 1850 bersama-sama dengan ilmu sosiologi,

antropologi, dan psikologi. Nama kriminologi pertama kali ditemukan

oleh P.Topinard (1830-1911), seorang ahli antropologi Prancis (A.S.

Alam 2010:1).

Secara etimologis, kriminologi terdiri dari dua suku kata yakni

crime yang berarti kejahatan dan logos berarti ilmu pengetahuan,

sehingga kriminologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang kejahatan

(A.S. Alam 2010:1)

Untuk lebih jelasnya mengenai pengertian kriminologi, berikut

penulis kemukakan pandangan beberapa sarjana hukum terkemuka,

antara lain:

Edwin H. Sutherland (A.S. Alam 2010:1-2) menyatakan bahwa

Criminology is the body of knowledge regarding delinquency and

crimes as social phenomena (Kriminologi adalah kumpulan

pengetahuan yang membahas kenakalan remaja dan kejahatan

sebagai gejala sosial)

7
W.A. Bonger (A.S. Alam 2010:2) menjelaskan bahwa

kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki

gejala kejahatan yang seluas-luasnya.

J. Constant (A.S. Alam 2010:2) mendefinisikan kriminologi

sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menentukan faktor-faktor

yang menjadi sebab-musabab terjadinya kejahatan dan penjahat.

WME. Noach (A.S. Alam 2010:2) menjelaskan bahwa

kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki gejala-gejala

kejahatan dan tingkah laku yang tidak senonoh, sebab-musabab

serta akibat-akibatnya.

Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan di atas

maka dapat disimpulkan bahwa kriminologi pada dasarnya

merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan,

serta faktor-faktor yang mempengaruhi kejahatan dan upaya-upaya

penanggulangannya.

2. Ruang Lingkup Kriminologi.

Menurut A.S. Alam (2010:2-3) ruang lingkup pembahasan

kriminologi meliputi tiga hal pokok, yaitu :

1. Proses pembuatan hukum pidana dan acara pidana (making

laws). Pembahasan dalam proses pembuatan hukum pidana

(process of making laws) meliputi :

8
1. Definisi kejahatan;

2. Unsur-unsur kejahatan;

3. Relativitas pengertian kejahatan;

4. Penggolongan kejahatan;

5. Statistik kejahatan.

2. Etiologi kriminal, yang membahas yang membahas teori-teori

yang menyebabkan terjadinya kejahatan (breaking of laws).

Sementara yang dibahas dalam etiologi kriminal (breaking of

laws) meliputi :

1. Aliran-aliran (mazhab-mazhab) kriminologi;

2. Teori-teori kriminologi;

3. Berbagai perspektif kriminologi.

3. Reaksi terhadap pelanggaran hukum, (reacting toward the

breaking of laws). Reaksi dalam hal ini bukan hanya ditujukan

kepada pelanggar hukum berupa tindakan represif tetapi juga

reaksi terhadap calon pelanggar hukum berupa upaya-upaya

pencegahan kejahatan (criminal prevention). Selanjutnya yang

dibahas dalam bagian ketiga adalah perlakuan terhadap

pelanggar-pelanggar hukum (Reacting Toward the Breaking

laws) meliputi :

9
1. Teori-teori penghukuman;

2. Upaya-upaya penanggulangan/pencegahan kejahatan baik

berupa tindakan pre-emtif, preventif, represif, dan

rehabilitatif.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa kriminologi

mempelajari tentang kejahatan yaitu norma-norma yang ada dalam

peraturan pidana, yang kedua yaitu mempelajari pelakunya yang

sering disebut penjahat, dan yang ketiga bagaimana tanggapan atau

reaksi masyarakat terhadap gejala-gejala timbul dalam masyarakat.

3. Pembagian Kriminologi.

Menurut A.S. Alam (2010:4-7) kriminologi dapat dibagi dalam

dua golongan besar, yaitu :

a. Kriminologi Teoritis.

Secara teoritis kriminologi ini dapat dipisahkan kedalam

lima cabang pengetahuan. Tiap-tiap bagiannya memperdalam

pengetahuannya mengenai sebab-sebab kejahatan secara

teoritis. Kelima cabang pengetahuan tersebut, terdiri atas :

 Antropologi Kriminal :

Antropologi kriminal merupakan ilmu pengetahuan yang

mempelajari tanda-tanda fisik yang menjadi ciri khas dari

seorang penjahat. Misalnya: menurut C. Lambroso, ciri

seorang penjahat diantaranya : tengkoraknya panjang,

10
rambutnya lebat, tulang pelipisnya menonjol keluar, dahinya

mencong, dan seterusnya.

 Sosiologi Kriminal :

Sosiologi kriminal merupakan ilmu pengetahuan yang

mempelajari kejahatan sebagai gejala sosial. Yang termasuk

di dalam kategori sosiologi kriminal adalah :

- Etiologi Sosial :

Yaitu ilmu yang mempelajari tentang sebab-sebab

timbulnya suatu kejahatan.

- Geografis :

Yaitu ilmu yang mempelajari pengaruh timbal balik

antara letak suatu daerah dengan kejahatan.

- Klimatologis :

Yaitu ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik

antara cuaca dan kejahatan.

 Psikologi Kriminal :

Yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan dari

sudut ilmu jiwa. Yang termasuk dalam golongan ini adalah :

- Tipologi :

Yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari golongan-

golongan penjahat.

- Psikologi Sosial Kriminal :

11
Yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan dari

segi ilmu jiwa sosial.

 Psikologi dan Neuro Phatology Kriminal :

Yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang penjahat

yang sakit jiwa/ gila. Misalnya mempelajari penjahat-penjahat

yang masih dirawat di rumah sakit jiwa, seperti : Rumah Sakit

Jiwa Dadi Makassar.

 Penologi :

Yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang sejarah,

arti dan faedah hukum.

b. Kriminologi Praktis.

Yaitu ilmu pengetahuan yang berguna untuk memberantas

kejahatan yang timbul di dalam masyarakat. Dapat pula

disebutkan bahwa kriminologi praktis adalah merupakan ilmu

pengetahuan yang diamalkan (applied criminology). Cabang-

cabang dari kriminologi praktis ini adalah :

- Hygiene Kriminal :

Yaitu cabang kriminologi yang berusaha untuk memberantas

faktor penyebab timbulnya kejahatan. Misalnya, meningkatkan

perekonomian rakyat, penyuluhan (guidance and counceling)

penyediaan sarana olah raga, dan lainnya.

12
- Politik Kriminal :

Yaitu ilmu yang mempelajari tentang bagaimanakah caranya

menetapkan hukum yang sebaik-baiknya kepada terpidana

agar ia dapat menyadari kesalahannya serta berniat untuk

tidak melakukan kejahatan lagi. Untuk dapat menjatuhkan

hukuman yang seadil-adilnya, maka diperlukan keyakinan

serta pembuktian, sedangkan untuk dapat memperoleh

semuanya itu diperlukan penyelidikan tentang bagaimanakah

teknik si penjahat melakukan kejahatan.

- Kriminalistik (police scientific):

Ilmu tentang penyelidikan teknik kejahatan dan penangkapan

pelaku kejahatan.

4. Aliran Pemikiran Dalam Kriminologi.

Dalam kriminologi, dikenal beberapa macam aliran pemikiran.

Aliran pemikiran dari kriminologi itu sendiri menurut I.S.Susanto

1991:5 :

Adalah cara pandang ( kerangka acuan, perspektif, paradigma)


yang digunakan oleh para kriminolog dalam melihat,
menafsirkan, menanggapi dan menjelaskan fenomena
kejahatan.
Dalam kriminologi dikenal tiga aliran pemikiran untuk

menjelaskan fenomena kejahatan yaitu kriminologi klasik, positivis

dan kritis, yaitu :

13
1. Kriminologi Klasik.

Seperti halnya dengan pemikiran klasik pada umumnya

yang menyatakan bahwa intelegensi dan rasionalitas merupakan

ciri-ciri yang fundamental manusia dan menjadi dasar untuk

memberikan penjelasan perilaku manusia, baik yang bersifat

perorangan maupun kelompok, maka masyarakat dibentuk

sebagaimana adanya sesuai dengan pola yang dikehendakinya.

Ini berarti bahwa manusia mengontrol nasibnya sendiri, baik

sebagai individu maupun masyarakat.

Begitu pula kejahatan dan penjahat pada umumnya

dipandang dari sudut hukum, artinya kejahatan adalah perbuatan

yang dilarang oleh undang-undang pidana, sedangkan penjahat

adalah orang yang melakukan kejahatan. Kejahatan dipandang

sebagai hasil pilihan bebas dari individu yang menilai untung

ruginya melakukan kejahatan. Tanggapan rasional yang diberikan

oleh masyarakat adalah agar individu tidak melakukan pilihan

dengan berbuat kejahatan yaitu dengan cara meningkatkan

kerugian yang harus dibayar dan sebaliknya dengan menurunkan

keuntungan yang dapat diperoleh dari melakukan kejahatan.

Dalam hubungan ini, maka tugas kriminologi adalah

membuat pola dan menguji sistem hukuman yang akan

meminimalkan tindak kejahatan.

14
2. Kriminologi Positivis.

Aliran pemikiran ini bertolak pada pandangan bahwa

perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor di luar kontrolnya,

baik yang berupa faktor biologis maupun kultural. Ini berarti bahwa

manusia bukan makhluk yang bebas untuk berbuat menuruti

dorongan kehendaknya dan intelegensinya, akan tetapi makhluk

yang dibatasi atau ditentukan oleh situasi biologis atau

kulturalnya.

Aliran positivis dalam kriminologi mengarahkan pada

usaha untuk menganalisis sebab-sebab perilaku kejahatan melalui

studi ilmiah ciri-ciri penjahat dari aspek fisik, sosial dan kultural.

Oleh karena kriminologi positivis dalam hal-hal tertentu

menghadapi kesulitan untuk menggunakan batasan undang-

undang, akibatnya mereka cenderung untuk memberikan batasan

kejahatan secara alamiah, yaitu lebih mengarahkan pada batasan

terhadap ciri-ciri perilaku itu sendiri daripada perilaku yang

didefinisikan oleh undang-undang.

3. Kriminologi Kritis.

Aliran pemikiran ini tidak berusaha untuk menjawab

persoalan-persoalan apakah perilaku manusia itu bebas ataukah

ditentukan, akan tetapi lebih mengarahkan pada proses-proses

yang dilakukan oleh manusia dalam membangun dunianya di

mana dia hidup. Dengan demikian akan mempelajari proses-

15
proses dan kondisi-kondisi yang mempengaruhi pemberian

batasan kejahatan kepada orang-orang dan tindakan-tindakan

tertentu pada waktu dan tempat tertentu.

B. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana.

Istilah tindak pidana dipakai sebagai terjemahan dari istilah

strafbaar feit. Akan tetapi didalam berbagai perundang-undangan

yang berlaku di Indonesia dikenal istilah-istilah yang tidak seragam

dalam menterjemahkan strafbaar feit.

Adapun beberapa istilah-istilah yang dipergunakan didalam

bahasa Indonesia antara lain :

1. Peristiwa pidana;

2. Perbuatan pidana;

3. Tindak pidana;

4. Pelanggaran pidana

Dari beberapa istilah diatas yang paling popular dipakai

adalah istilah tindak pidana. Hal ini dapat dilihat pada beberapa buku

hukum pidana, serta peraturan perundang-undangan hukum pidana

yang pada umumnya mempergunakan istilah tindak pidana.

Namun ada beberapa sarjana yang mempergunakan istilah

lain. Moeljatno ( 1963:60 ) misalnya, menganggap lebih tepat

16
menggunakan istilah perbuatan pidana dengan alasan-alasan

sebagai berikut :

1. Perkataan peristiwa tidak menunjukkan bahwa yang


menimbulkan handeling atau gedraging seseorang, mungkin
juga hewan atau kekuatan alam.
2. Perkataan tindak berarti langkah dan baru dalam bentuk tindak
tanduk atau tingkah laku.
3. Perkataan perbuatan sudah lazim dipergunakan dalam
percakapan sehari-hari, seperti perbuatan tidak senonoh,
perbuatan jahat, dan sebagainya. Dan juga istilah seperti
perbuatan melawan hukum (onrecht matigedaad).
Mengenai apa yang dimaksud atau apa yang diartikan dengan

perbuatan pidana atau tindak pidana, berikut penulis kemukakan

beberapa pandangan pakar hukum pidana antara lain :

Simons (Tolib Setiady 2010:9), mengartikan Strafbaar feit

sebagai kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang

bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan, dan

yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

Moeljatno (Tolib Setiady 2010:9), menjelaskan Strafbaar feit

atau perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh

suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang

berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan

tersebut.

Van Hamel (Tolib Setiady 2010:9), menjelaskan bahwa

Strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang

17
dirumuskan didalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut

dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.

R. Tresna (Tolib Setiady 2010:10), menjelaskan bahwa

Strafbaar feit atau peristiwa pidana adalah suatu perbuatan atau

rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-

undang atau peraturan perundangan lainnya terhadap perbuatan

mana diadakan tindakan penghukuman.

J.E. Jonkers (Tolib Setiady 2010:10), menyebutkan bahwa :

a) Strafbaar feit adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam

pidana oleh undang-undang.

b) Strafbaar feit adalah suatu kelakuan yang melawan hukum

berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang

dapat dipertanggungjawabkan.

Wirjono Prodjodikoro (Tolib Setiady 2010:10), menjelaskan

bahwa Strafbaar feit atau tindak pidana adalah suatu perbuatan yang

pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.

Walaupun istilah tindak pidana diterjemahkan bermacam-

macam sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, dapat

disimpulkan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan melawan

hukum, dimana pelakunya dapat dipidana jika melakukan perbuatan

tersebut.

18
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana.

Setelah mengetahui pengertian tindak pidana, maka perlu

dikemukakan di unsur-unsurnya secara umum. Menurut Moeljatno

(1993:63), unsur-unsur tindak pidana terdiri atas :

1) Kelakuan dan akibat (perbuatan);


2) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;
3) Keadaan tambahan yang memberatkan;
4) Unsur-unsur melawan hukum yang objektif;
5) Unsur melawan hukum yang subjektif;
Pendapat Moeljatno tersebut menekankan bahwa unsur-unsur

terjadinya delik yaitu jika adanya perbuatan yang menimbulkan suatu

akibat dan perbuatan tersebut memenuhi unsur melawan hukum

yang subjektif dan objektif. Adapun unsur melawan hukum subjektif

yang dimaksud adalah kesengajaan dari pembuat delik untuk

melakukan suatu perbuatan melawan hukum sedangkan unsur

melawan hukum objektif penilaiannya bukan dari pembuat, tapi dari

masyarakat.

Lebih lanjut, Moeljatno (1993:64) yang menganut pandangan

dualistik terhadap delik, menyatakan bahwa :

Melalui syarat-syarat pemidanaan terdiri atas syarat perbuatan


melawan hukum dan pertanggungjawaban pembuat :
a. Unsur perbuatan (handlung)
1) Perbuatan yang mencocoki rumusan delik;
2) Melawan hukum;
3) Tidak ada dasar pembenar.

b. Unsur pembuat (handelende)


1) Kemampuan bertanggung jawab;
2) Ada kesalahan dalam arti luas, meliputi dolus (sengaja
atau opzet) dan culpa lata (kelalaian);
3) Tidak ada alasan pemaaf.

19
Andi Zainal Abidin Farid (1981:171) kemudian menguraikan

bahwa :

Aliran dualistik tentang delik memandang, bahwa untuk


memidana seseorang yang melakukan harus ada syarat-
syarat pemidanaan yang terbagi atas perbuatan (feit) dan
pembuat (dealer), karena masing-masing mempunyai unsur
tersendiri.

Selanjutnya Andi Zainal Abidin Farid (1981:171-179)

menuliskan unsur delik menurut pandangan monoisme dan

pandangan dualisme sebagai berikut :

Unsur delik menurut aliran monoisme hanya mengenal unsur


perbuatan dan pembuat sedangkan unsur delik menurut aliran
dualisme yaitu:
a. Perbuatan aktif serta akibat (khusus untuk delik materiil);
b. Yang melawan hukum yang subjektif dan objektif;
c. Hal ikhwal yang menyertai perbuatan;
d. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;
e. Tak ada alasan pembenar.

Lebih lanjut Andi Zainal Abidin Farid (1981:180) berpendapat

bahwa unsur-unsur delik pada umumnya adalah sebagai berikut :

1. Perbuatan aktif atau pasif;


2. Melawan hukum formil (bertalian dengan asas legalitas);
Melawan hukum materiil (berkaitan dengan Pasal 27 UU No.14
Tahun 1970 jo. UU No. 35 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman);
3. Akibat yang hanya disyaratkan untuk delik materiil;
4. Keadaan yang menyertai perbuatan yang disyaratkan untuk
delik tertentu (misalnya delik menurut Pasal 164 dan 165
KUHPidana dan semua delik jabatan yang pembuatnya harus
pegawai negeri);
5. Tidak adanya dasar pembenar (merupakan unsur yang diterima
secara diam-diam)

20
C. Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

1. Pengertian Kekerasan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti :

1. Perihal yang bersifat, berciri keras:


2. Perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang
menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau
menyebabkan kerusakan atau barang orang lain:
3. Paksaan.

Elizabeth K. Englander sebagaimana dikutip oleh Rika Saraswati

(2009:12) mengartikan kekerasan sebagai suatu serangan atau

invasi, baik fisik maupun integritas mental psikologis seseorang.

Pengertian kekerasan secara yuridis dapat dilihat pada pasal

89 Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHPidana ), yaitu “Yang

disamakan melakukan kekerasan itu, membuat orang jadi pingsan

atau tidak berdaya lagi (lemah)”.

Pingsan diartikan hilang ingatan atau tidak sadar akan dirinya.

Kemudian, tidak berdaya dapat diartikan tidak mempunyai kekuatan

atau tenaga sama sekali sehingga tidak mampu mengadakan

perlawanan sama sekali, tetapi seseorang tiada berdaya masih

dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya. Pengertian

kekerasan tersebut di atas dapat dikatakan penganiayaan.

21
Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga menurut Pasal 1

Undang-Undang No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga ( UU PKDRT )adalah :

Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang


berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa undang-undang

tersebut bukan hanya semata-mata diberlakukan untuk kepentingan

perempuan saja, melainkan semua orang dan mereka yang

mengalami subordinasi khusus dalam lingkup rumah tangga.

2. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Dari beberapa definisi diatas dan menurut UU No 23 tahun

2004, kekerasan dalam rumah tangga dapat dibagi menjadi empat,

yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan

kekerasan penelantaran rumah tangga.

1. Kekerasan rumah tangga yang berbentuk kekerasan fisik,

kekerasan ini memiliki arti perbuatan yang mengakibatkan rasa

sakit, jatuh sakit, atau luka berat, seperti : memukul, menampar,

mencekik dan sebagainya.

2. Kekerasan rumah tangga yang berbentuk kekerasan psikis

adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya

rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa

22
tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada

seseorang. Kekerasan ini mencakup penyiksaan secara

emosional dan verbal terhadap korban, sehingga melukai

kesehatan mental dan konsep diri perempuan. Kekerasan ini

dapat berupa hinaan kepada istri, celaan, makian, ancaman

akan melukai atau membunuh istri dan anak-anak, melarang istri

mengunjungi keluarga atau teman, rasa cemburu atau rasa

memiliki yang berlebihan, merusak barang-barang milik pribadi,

mengancam untuk bunuh diri, melakukan pengawasan dan

manipulasi, mengisolasi perempuan dari kebutuhan dasarnya

(nafkah lahir dan batin) dan menanamkan rasa takut sedemikian

rupa terhadap istri.

3. Kekerasan rumah tangga yang berbentuk kekerasan seksual,

meliputi:

a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap

orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;

b) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang

dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk

tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu, sebagai contoh

melakukan tindakan yang mengarah ke ajakan/desakan

seksual seperti menyentuh, mencium, memaksa

berhubungan seks tanpa persetujuan korban dan lain

sebagainya.

23
4. Kekerasan rumah tangga yang berbentuk kekerasan finansial

atau penelantaran-penelantaran. Setiap orang dilarang

menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal

menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan

atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau

pemeliharaan kepada orang tersebut. Pengertian tersebut juga

berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan

ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk

bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah.

Selanjutnya menurut Dedy Fauzi Elhakim (Moerti Hadiati

Soeroso 2010:82), KDRT dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu

sebagai berikut :

1. Kekerasan dalam rumah tangga sebagai perwujudan ekspresi

ledakan emosional bertahap. Kekerasan jenis ini pertama

berawal dari kekerasan nonfisik, mulai dari sikap dan perilaku

yang tidak dikehendaki, maupun lontaran-lontaran ucapan yang

menyakitkan dan ditujukan pada anggota keluarga terhadap

anggota keluarga yang lain.

Proses yang terjadi berlanjut dari waktu ke waktu, sehingga

terjadi penimbunan kekecewaan, kekesalan dan kemarahan yang

pada akhirnya menjurus pada kekerasan fisik. Hal ini dapat terjadi

sebagai akibat ledakan timbunan emosional yang sudah tidak

dapat dikendalikan lagi. Perwujudan tindakan kekerasan tersebut

24
bisa berupa penganiayaan ringan, penganiayaan berat dan

pembunuhan. Tindakan lain yang mengiringi terkadang terjadi

pengrusakan bahkan bunuh diri. Puncak perbuatan tersebut

dilakukan sebagai jalan pintas untuk mengatasi persoalannya,

karena cara lain dianggap tidak mampu menyelesaikannya.

Perbuatan bunuh diri dapat dikategorikan tindakan kekerasan

terhadap diri sendiri, karena dirinya tidak mampu untuk

mengatasi persoalan.

2. Kekerasan dalam rumah tangga sebagai perwujudan ekspresi

ledakan emosional spontan adalah bentuk kekerasan yang

dilakukan tanpa ada perencanaan terlebih dahulu, terjadi secara

seketika (spontan) tanpa didukung oleh latar belakang peristiwa

yang lengkap. Namun fakta di depan mata dirasa menyinggung

harga diri dan martabat si pelaku, berupa suatu situasi yang tidak

diinginkan oleh pelaku. Ledakan emosi yang timbul begitu cepat,

sehingga kekuatan akal pikiran untuk mengendalikan diri

dikalahkan oleh nafsu/emosi yang memuncak. Kemudian yang

bersangkutan memberikan reaksi keras dengan melakukan

perbuatan dalam bentuk tindak pidana lain berupa penganiayaan

atau pembunuhan terhadap anggota keluarga lainnya.

25
D. Teori-teori Penyebab Terjadinya kejahatan.

H. Mannheim (I.S. Susanto 1991:44) membedakan teori-teori

sosiologi kriminal yaitu :

a. Teori yang berorientasi pada kelas sosial, yaitu teori-teori yang

mencari sebab-sebab kejahatan dari ciri-ciri kelas sosial,

perbedaan di antara kelas sosial serta konflik diantara kelas-kelas

sosial yang ada. Termasuk dalam teori ini adalah anomie dan teori-

teori sub-budaya delinkuen.

1. Teori anomie.

Menurut Nandang Sambas (2010:121-122), salah

seorang tokoh dari teori anomie adalah ahli sosiologi Perancis

Emile Durkheim yang menekankan teorinya pada “

normlessness, lessens social control “ yang berarti

mengendornya pengawasan dan pengendalian sosial yang

berpengaruh terhadap kemerosotan moral yang menyebabkan

individu sukar menyesuaikan diri dalam perubahan norma,

bahkan kerap kali terjadi konflik norma dalam pergaulan. Tren

sosial dalam masyarakat industri perkotaan modern

mengakibatkan perubahan norma, kebingungan dan

berkurangnya kontrol sosial individu. Individualisme meningkat

dan timbul berbagai gaya hidup baru yang besar kemungkinan

menciptakan kebebasan yang lebih luas di samping

meningkatkan kemungkinan perilaku yang menyimpang.

26
2. Teori sub budaya delinkuen.

Teori ini mencoba mencari sebab-sebab kenakalan

remaja dari perbedaan kelas di antara anak-anak yang

diperolehnya dari keluarganya. Cohen ( A.S. Alam, 2010 :206 ),

menjelaskan analisanya terhadap terjadinya peningkatan

perilaku delinkuen yang dilakukan remaja di daerah kumuh.

Menurut Cohen, perilaku delinkuen di kalangan remaja kelas

bawah merupakan pencerminan atas ketidakpuasaan terhadap

norma-norma dan nilai-nilai kelompok anak-anak kelas

menengah yang mendominasi nilai kultural masyarakat. Oleh

Karena kondisi sosial yang ada dipandang sebagai suatu

kendala untuk mencapai suatu kehidupan yang sesuai dengan

tren yang ada, sehingga mendorong Cohen menjelaskan pelaku-

pelaku delinkuen merupakan bentuk sub budaya terpisah dan

memberlakukan sistem tata nilai masyarakat luas. Ia

menggambarkan sub-budaya sebagai sesuatu yang diambil

norma-norma budaya yang lebih besar, namun dibelokkan

secara terbalik dan berlawanan. Perilaku delinkuen dianggap

sebagai sesuatu yang benar menurut tata nilai budaya mereka

karena perilaku tersebut dianggap keliru oleh norma-norma

budaya yang lebih besar.

b. Teori-teori yang tidak berorientasi pada kelas sosial yaitu teori-teori

yang membahas sebab-sebab kejahatan tidak dari kelas sosial

27
tetapi dari aspek yang lain seperti lingkungan, kependudukan,

kemiskinan dan sebagainya. Termasuk dalam teori ini adalah teori-

teori ekologis, teori konflik kebudayaan, teori faktor ekonomi dan

differential association.

1. Teori Ekologis.

Menurut I.S. Susanto (1991:50), teori-teori ini mencoba

mencari sebab-sebab kejahatan dari aspek-aspek tertentu baik

dari lingkungan manusia maupun sosial seperti :

a. Kepadatan penduduk;

b. Mobilitas penduduk;

c. Hubungan desa dan kota khususnya urbanisasi;

d. Daerah kejahatan dan perumahan kumuh.

2. Teori konflik kebudayaan.

Menurut Sellin (I.S. Susanto:1991:52-53), semua konflik

kebudayaan adalah konflik dalam nilai sosial, kepentingan dan

norma-norma. Selanjutnya dikatakan bahwa konflik yang

demikian kadang-kadang dianggap sebagai hasil sampingan dari

proses perkembangan kebudayaan dan peradaban. Kadang-

kadang sebagai hasil dari perpindahan norma-norma perilaku

daerah atau budaya yang satu ke yang lain dan dipelajari

sebagai konflik mental atau sebagi benturan nilai kultural. Konflik

norma-norma atau tingkah laku dapat timbul dalam berbagai

cara seperti adanya perbedaan-perbedaan dalam cara hidup dan

28
nilai sosial yang berlaku di antara kelompok-kelompok yang ada.

Konflik antara norma-norma dari aturan-aturan kultural yang

berbeda dapat terjadi antara lain :

a. Bertemunya dua budaya besar;

b. Budaya besar menguasai budaya kecil;

c. Apabila anggota dari suatu budaya pindah ke budaya lain.

3. Teori faktor ekonomi.

Menurut I.S Susanto (1991:55-56), mengenai hubungan

antara faktor ekonomi dan kejahatan agaknya perlu

dipertimbangkan beberapa hal :

a. Teknik studi.

Dalam mempelajari pengaruh faktor ekonomi dilakukan

antara lain dengan cara :

1. Menguji keadaan ekonomi dari kelompok pelanggar

dengan membandingkan kedudukan ekonomi dari yang

bukan pelanggar sebagai kontrol,

2. Dengan menyusun indeks ekonomi yang didasarkan

pada kondisi ekonomi di suatu negara atau daerah dan

membandingkan fluktuasinya dengan kejahatan,

3. Melalui studi kasus yaitu dengan menggambarkan

pengaruh kondisi ekonomi dari individu yang

bersangkutan terhadap perilaku kejahatannya.

b. Batasan dan pengaruh dari kemiskinan dan kemakmuran.

29
Dengan munculnya konsep baru yang melihat kemiskinan

sebagai konsep dinamis dan relatif yang menggantikan

konsep lama yakni kemiskinan sebagai konsep absolut dan

statis,yang berarti ukuran kemiskinan berbeda menurut

tempat dan waktu.

4. Teori differential association.

Teori ini berlandaskan pada proses belajar, yaitu bahwa

perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari. Menurut

Edwin H Shuterland (I.S.Susanto:1991:57-58),perilaku kejahatan

adalah perilaku manusia yang sama dengan perilaku manusia

pada umumnya yang bukan kejahatan.

E. Upaya Penanggulangan Kejahatan.

Menurut A.S. Alam (2010:79-80), penanggulangan kejahatan

terdiri atas tiga bagian pokok, yaitu :

1. Pre-Emtif.

Bahwa yang dimaksud dengan upaya Pre-Emtif adalah upaya-

upaya awal yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah

terjadinya tindak pidana. Usaha-usaha yang dilakukan dalam

penanggulangan kejahatan secara pre-emtif adalah menanamkan

nilai-nilai/ norma-norma yang baik sehingga norma-norma tersebut

terinternalisasi dalam diri seseorang. Meskipun ada kesempatan

untuk melakukan pelanggaran / kejahatan tapi tidak ada niatnya

30
untuk melakukan hal tersebut maka tidak akan terjadi kajahatan.

Jadi, dalam usaha pre-emtif faktor niat menjadi hilang meskipun ada

kesempatan.

2. Preventif.

Upaya-upaya preventif ini adalah merupakan tindak lanjut dari

upaya Pre-Emtif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum

terjadinya kejahatan. Dalam upaya preventif yang ditekankan adalah

menghilangkan kesempatan untuk dilakukannya kejahatan. Contoh

ada orang ingin mencuri motor tetapi kesempatan itu dihilangkan

karena motor-motor yang ada ditempatkan di tempat penitipan

motor, dengan demikian kesempatan menjadi hilang dan tidak terjadi

kejahatan.

3. Represif.

Upaya ini dilakukan pada saat telah terjadi tindak pidana /

kejahatan yang tindakannya berupa penegakan hukum (law

enforcement ) dengan menjatuhkan hukuman.

31
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Barru khususnya di Wilayah

Kepolisian Resort Barru. Pemilihan Lokasi ini didasarkan pada objek

penelitian serta dapat dijangkau oleh Penulis.

B. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1) Data primer, adalah data yang diperoleh melalui penelitian

lapangan dengan pihak-pihak yang terkait sehubungan dengan

penelitian ini.

2) Data sekunder, adalah data yang diperoleh melalui studi

kepustakaan, yaitu dengan menelaah literatur, artikel, serta

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sumber data dalam penelitian ini adalah :

a) Penelitian pustaka (library research), yaitu menelaah

berbagai buku kepustakaan, koran dan karya ilmiah yang ada

hubungannya dengan objek penelitian.

b) Penelitian lapangan (field research), yaitu pengumpulan data

dengan mengamati secara sistematis terhadap fenomena-

fenomena yang diselidiki.

32
C.Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah:

1. Wawancara, yaitu tanya-jawab secara langsung yang dianggap

dapat memberikan keterangan yang diperlukan dalam pembahasan

objek penelitian.

2. Dokumen, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mencatat

dokumen-dokumen (arsip) yang berkaitan dengan permasalahan

yang akan dikaji.

D. Analisis Data

Data yang diperoleh dari data primer dan data sekunder akan

diolah dan dianalisis berdasarkan rumusan masalah yang telah

diterapkan sehingga diharapkan dapat diperoleh gambaran yang jelas.

Analisis data yang digunakan adalah analisis data yang berupaya

memberikan gambaran secara jelas dan konkrit terhadap objek yang

dibahas secara kualitatif dan selanjutnya data tersebut disajikan secara

deskriptif yaitu menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai

dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini.

33
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Kabupaten Barru

Kabupaten Barru terdiri atas 7 Kecamatan dengan 40 desa, 14

kelurahan dan 56 lingkungan, serta 168 dusun. Kabupaten Barru

mempunyai luas wilayah 1.174,72 Km2 .

Kabupaten Barru terletak antara koordinat 4 0,5’49’-4 47’35

lintan selatan dan 199 35’ 00’-119 49’16’ dengan batas-batas wilayah

sebagai berikut :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kota Pare-pare.

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Soppeng dan

Kabupaten Bone.

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pangkep.

- Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar.

Jumlah Penduduk menurut data Statistik Kabupaten Barru

dalam kurun waktu tahun 2007 sampai tahun 2011 yang diperinci

menurut jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini :

34
Tabel 1

Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin antara tahun


2007-2011

Jenis Tahun

Kelamin 2007 2008 2009 2010 2011

Laki – Laki 76.578 Jiwa 77.742 Jiwa 78.266 Jiwa 77.539 Jiwa 79.554 Jiwa

Perempuan 82.657 Jiwa 82.686 Jiwa 83.446 Jiwa 85.446 Jiwa 86.393 Jiwa

Jumlah 159.235 Jiwa 160.428 Jiwa 161.712 Jiwa 162.985 Jiwa 165.947 Jiwa

Sumber Data Sekunder: Badan Pusat Statistik Kab. Barru

Tabel 1 : Menunjukkan bahwa hingga tahun 2011 jumlah

penduduk perempuan lebih banyak dibanding jumlah penduduk laki-

laki. Jumlah penduduk keseluruhan juga tidak terlalu besar sehingga

tidak menimbulkan masalah yang serius.

Belum ada data akurat mengenai klasifikasi pekerjaan

penduduk Kabupaten Barru Akan tetapi pada dasarnya pekerjaan

penduduk kabupaten Barru dapat dikelompokkan menjadi pegawai

negeri, pengusaha, pegawai swasta/karyawan perusahaan, nelayan,

petani termasuk didalamnya petani tambak.

Dari kelima sektor pekerjaan tersebut, yang dominan yaitu sektor

pertanian. Namun demikian adapula diantaranya yang melakukan

pekerjaan rangkap, misalnya petani yang juga bekerja sebagai nelayan,

35
sebagai karyawan tetapi juga bekerja sebagai petani, atau adapula

pegawai negeri yang bertani.

B. Faktor–Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Kekerasan

Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Oleh Suami Terhadap Istri

di Kabupaten Barru.

Sebelum penulis kemukakan faktor – faktor penyebab

terjadinya tindak pidana KDRT di Kabupaten Barru, berikut penulis

paparkan hasil penelitian jumlah tindak pidana Kekerasan Dalam

Rumah Tangga yang terjadi di Kabupaten Barru dalam kurun waktu

antara tahun 2007 – 2011 sebagaimana dapat dilihat tabel 2 dibawah

ini :

Tabel 2
Jumlah Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kabupaten Barru antara
tahun 2007-2011

No Tahun Jumlah Kasus


1 2007 1
2 2008 3
3 2009 7
4 2010 9
5 2011 12
Jumlah 32
Sumber Data Sekunder: Kepolisian resort Barru

Pada tabel 2 di atas, nampak bahwa selama kurun waktu antara


tahun 2007-2011 terdapat 32 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga
di Kabupaten Barru.

36
Berdasarkan hasil wawancara dengan Anggota Unit PPA

(Pelayanan Perempuan dan Anak) Bripka Junaidi di Polres Barru,

dijelaskan bahwa kalau ada laporan kasus Kekerasan Dalam Rumah

Tangga maka pihak Kepolisian memanggil kedua belah pihak untuk

mediasi. Dalam hal ini, pihak kepolisian berperan sebagai mediator,

yang menyarankan agar kedua belah pihak menyelesaikan secara

kekeluargaan karena dalam kepolisian ada prosedur yang dikenal

dengan istilah Alternative Dispute Resolution atau biasa disingkat ADR.

Dengan demikian, rata-rata kasus KDRT yang terjadi tidak sampai

diproses pada tingkat Pengadilan.

Untuk mengetahui bentuk-bentuk KDRT yang terjadi di

Kabupaten Barru dari tahun 2007 - 2011, dapat dilihat pada tabel 3

berikut ini :

Tabel 3
Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang Terjadi di
Kabupaten Barru dari Tahun 2007-2011

Kekerasan Kekerasan Kekerasan Penelantaran


No Tahun Fisik Psikis Seksual Rumah Jumlah
Tangga
1. 2007 1 - - - 1
2. 2008 2 - - 1 3
3. 2009 5 - - 2 7
4. 2010 5 - - 4 9
5. 2011 8 2 - 2 12
Jumlah 21 2 - 9 32
Sumber Data Sekunder: Polres Barru

Berdasarkan tabel 3 diatas, Nampak bahwa kekerasan fisik

merupakan bentuk kekerasan yang paling sering dan paling banyak

37
terjadi, yaitu sebanyak 21 kasus. Bentuk kekerasan fisik yang paling

banyak terjadi adalah pemukulan sampai babak belur. Selanjutnya

kekerasan yang paling banyak terjadi setelah kekerasan fisik adalah

penelantaran rumah tangga yaitu sebanyak 9 kasus berupa tidak

memberikan nafkah kepada istrinya dan menyuruh istri untuk bekerja

yang penghasilannya dikuasai oleh suaminya. Kemudian kekerasan

psikis yaitu sebanyak 2 kasus berupa penghinaan terhadap istri,

melarang istri bergaul serta memisahkan istri dengan anaknya, serta

melakukan ancaman berupa ancaman untuk kawin lagi. Bentuk

kekerasan seksual tidak pernah terjadi karena kekerasan seksual

merupakan hal yang sangat privasi dalam kehidupan rumah tangga

antara suami dan istri, sehingga jika hal tersebut terjadi, korban

cenderung untuk tidak melaporkanya sebagai KDRT.

Berdasarkan tabel 3 diatas bahwa tindak pidana Kekerasan

Dalam Rumah Tangga dari tahun ke tahun terus mengalami

peningkatan. Kasus yang terjadi diatas hanyalah sebagian kecil saja,

karena tidak semua kekerasan yang terjadi dilaporkan ke pihak

kepolisian. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya

pemahaman bahwa masalah dalam rumah tangga adalah masalah

pribadi/domestik yang orang lain tidak boleh ikut campur. Pemahaman

inilah yang membuat sebagian besar masyarakat khususnya kaum istri

tidak melaporkan kasusnya sehingga tindak pidana kekerasan dalam

38
rumah tangga bisa berlangsung dengan aman dan terjadi secara

berulang.

Berdasarkan hasil penelitian di Polres Barru, ditemukan 32

kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, diantara 32 kasus

tersebut, penulis melakukan wawancara langsung dengan pelaku

KDRT. Setiap pelaku diberi pertanyaan yang sama yaitu identitas, jenis

KDRT, faktor–faktor yang menyebabkan pelaku melakukan tindak

pidana KDRT. Dari hasil wawancara tersebut pelaku mengemukakan

faktor-faktor penyebab mereka melakukan tindak pidana KDRT sebagai

berikut :

1. Sulaeman, beralamat di Jl. Merdeka Desa Padongko Kec. Barru

Kab. Barru, usia 27 tahun, pekerjaan PNS.

Jenis KDRT : Kekerasan Fisik

Kasus : Pada tanggal 19 September 2010, Sulaeman

memberikan uang kepada istrinya untuk

pembayaran arisan, namun istrinya menolak

dengan alasan suaminya tidak pernah lagi

berkunjung kerumah orang tua korban yang

tak lain adalah mertuanya sendiri. Kemudian

istrinya menolak dan keluar dari rumah

`hendak membawa anaknya berobat di

Puskesmas Barru dan pelaku mengejarnya

dengan maksud ingin memberikan uang

39
tersebut. Namun korban tidak mau

mengambilnya sehingga terdakwa

menyimpanya disaku sebelah kiri korban,

namun korban menjatuhkannya sehingga

pelaku marah dan langsung memukul korban

dengan tangan kanan dari arah belakang

mengenai kepala bagian belakang sehingga

korban langsung terjatuh ke tanah dan tidak

sadarkan diri. Padahal korban tidak tahu kalau

pelaku memasukkan uang disaku korban.

2. La Upe, beralamat di Jl. Tinumbu Kec.Barru Kab.Barru, usia 34

tahun, tidak bekerja

Jenis KDRT : Kekerasan Fisik

Kasus : Korban melaporkan suaminya kepada pihak

kepolisian karena telah melakukan kekerasan

terhadap dirinya berupa pemukulan yang

menyebabkan luka lebam. Suaminya

memukul korban karena merasa jengkel,

setiap kali pulang ke rumah selalu dimintai

uang sama istrinya padahal suaminya tidak

bekerja.

3. Fahruddin, beralamat di Jl. Baronang Kec. Barru Kab. Barru, usia

30 tahun, pekerjaan wiraswasta.

40
Jenis KDRT : Kekerasan Fisik

Kasus :Pelaku melakukan pemukulan terhadap

Rosnia (istrinya). karena pelaku sangat marah

disebabkan istrinya sudah beberapa hari tidak

pulang ke rumah. Pekerjaan istrinya adalah

seorang penyanyi elekton, dimana setiap kali

menyanyi di sebuah acara perkawinan, 2 hari

kemudian baru pulang.

Berdasarkan hasil wawancara diatas, dapat disimpulkan bahwa

faktor-faktor penyebab pelaku melakukan tindak pidana kekerasan

dalam rumah tangga, yaitu :

1. Faktor Ekonomi.

Adanya perbedaan penghasilan antara suami dan istri, dimana

salah satunya berpenghasilan tinggi sering menjadi pemicu

timbulnya perselisihan.

2. Faktor Komunikasi.

Komunikasi yang kurang lancar antara suami istri dalam

menyelesaikan masalah dalam rumah tangga, sehingga sering

terjadi perselisihan antara suami dan istri biasanya disebabkan

kesalahpahaman kedua belah pihak.

41
3. Faktor Cemburu.

Kecemburuan merupakan salah satu faktor yang dapat

menimbulkan perselisihan antara suami dan istri yang biasanya

berakhir dengan kekerasan.

Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan Kasat

Reskrim Polres Barru AKP J.D Hulinggi, S.H. (Senin 16 Januari 2012)

faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana kekerasan

dalam rumah tangga yaitu :

1. Cemburu.

Kecemburuan dapat juga merupakan salah satu faktor yang

dapat menimbulkan kesalahpahaman, perselisihan bahkan

kekerasan. Misalnya kasus yang terjadi pada tahun 2009 seorang

suami melakukan tindak kekerasan terhadap istrinya, karena istri

cemburu.

2. Pemborosan atau Pinjam Uang.

Merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya tindak pidana

KDRT, karena istri sering melakukan pemborosan, misalnya

membeli barang yang tidak ada hubungannya dalam rumah

tangga dan pinjam uang tanpa sepengetahuan suami yang dapat

memicu pertengkaran yang berujung kekerasan.

3. Faktor Orang Tua.

Orang tua dari pihak suami maupun dari istri dapat menjadi

pemicu pertengkaran dan menyebabkan keretakan hubungan di

42
antara suami-istri. Banyak orang tua yang selalu ikut campur

dalam rumah tangga anaknya, misalnya masalah keuangan atau

pekerjaan, sehingga memicu pertengkaran yang berakhir dengan

kekerasan.

4. Faktor Pendidikan.

Pendidikan yang masih rendah di daerah terpencil dapat

menyebabkan terjadinya tindak pidana kekerasan, karena

masyarakat belum mengetahui dampak hukumnya.

5. Budaya siri’ .

Masyarakat Kabupaten Barru masih memegang erat budaya siri’,

dimana apabila terjadi kekerasan maka ada rasa malu dalam diri

keluarga, karena hal tersebut dapat mencemarkan nama baik

keluarga, apalagi kalau hal tersebut dilakukan oleh keluarga yang

berada atau dihormati di daerah tersebut .

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan para pelaku dan

pihak kepolisian, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

menyebabkan terjadinya tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga

di Kabupaten Barru, yaitu :

1. Faktor Internal, menyangkut kepribadian dari pelaku kekerasan

yang menyebabkan ia mudah sekali melakukan tindak kekerasan

bila menghadapi situasi yang menimbulkan kemarahan atau

frustasi, seperti : kurangnya komunikasi, kecemburuan, dan

faktor orang tua

43
2. Faktor eksternal, menyangkut faktor-faktor dari luar diri si pelaku

kekerasan, seperti : faktor ekonomi, faktor budaya siri’, dan faktor

pendidikan.

Apabila dikaitkan dengan sebab timbulnya kejahatan menurut

etiologi kriminil, maka faktor-faktor di atas termasuk ke dalam teori

Mazhab Sosiologis dan Mazhab Biososiologis. Mazhab Sosiologis,

yaitu faktor penyebab utama dari kejahatan adalah tingkatan (niveau-

theorie) penjahat dan lingkungannya (millieu-theorie) yang tidak

menguntungkan.

Sementara menurut Mazhab Biososiologis, timbulnya berbagai

bentuk kejahatan dipengaruhi oleh sederetan faktor-faktor, dimana

watak dan lingkungan seseorang banyak berperan. Faktor-faktor

tersebut antara lain adalah : sifat, bakat, watak, intelek, pendidikan dan

pengajaran, suku bangsa, seks, umur, kebangsaan, agama, ideologi,

pekerjaan, keadaan ekonomi, dan keluarga.

C. Upaya-Upaya yang dilakukan untuk mengurangi/menanggulangi

terjadinya tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang

dilakukan oleh Suami Terhadap Istri di Kabupaten Barru.

Setelah melihat kasus-kasus KDRT yang semakin marak terjadi

di Indonesia khususnya di Kabupaten Barru, maka hal itu

membutuhkan perhatian yang khusus dari semua kalangan, khususnya

Pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Barru. Hal ini

44
disebabkan dampak yang ditimbulkan dari adanya KDRT adalah

keharmonisan rumah tangga seseorang bisa terganggu.

Menurut Bripka Junaidi (Anggota Unit PPA Polres Barru,

wawancara tanggal 11 Januari 2012) mengatakan bahwa upaya-upaya

yang dapat dilakukan untuk mengurangi/menanggulangi terjadinya

tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, diantaranya:

1. Upaya Preventif (Pencegahan).

Upaya preventif (pencegahan) dimaksudkan sebagai

usaha untuk mengadakan perubahan-perubahan yang bersifat

positif terhadap kemungkinan terjadinya gangguan-gangguan

dalam ketertiban dan keamanan (stabilitas hukum). Tindakan

preventif ini merupakan salah satu cara yang paling tepat

dilakukan oleh pihak kepolisian, pemerintah, maupun masyarakat.

Hal ini disebabkan bahwa dengan adanya upaya-upaya

sebelumnya maka hal itu dapat mengurangi kasus-kasus KDRT

diwaktu yang akan datang.

Upaya Preventif dapat dilakukan dengan :

a) Mengadakan penyuluhan hukum bekerjasama dengan

Pemerintah Daerah yang dapat dilakukan dengan berbagai

cara dan bentuk, seperti melalui media, atau secara langsung

mengadakan ceramah kepada masyarakat yang berisikan

tentang akibat hukum yang akan dialami bila seseorang

45
tersangkut dalam suatu kasus pidana dan juga ada sanksi

moral yang akan diberikan kepada pelaku.

b) Lebih mengoptimalkan kinerja aparat Kepolisian Resor Barru

khususnya unit PPA dalam melayani, melindungi dan

mengayomi masyarakat.

2. Upaya Represif (Penindakan)

Upaya ini dilakukan pada saat terjadinya tindak pidana.

Dalam hal ini, maka pihak yang paling berhak dan berwenang

melakukan upaya ini adalah pihak yang berwajib, terutama pihak

kepolisian. Dalam melakukan upaya ini pihak kepolisian harus

serius untuk mengambil tindakan apabila terjadi kasus KDRT.

Namun sebelum mengambil tindakan terhadap pelaku, pihak

kepolisian harus mempertimbangkan berat ringannya KDRT yang

dilakukan pelaku.

Upaya-upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi

terjadinya tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yaitu :

1. Membentuk suatu lembaga baru khusus buat penanganan korban

KDRT misalnya “Rumah aman” dan “Woman Crisis Center”

dimana kedua lembaga ini mempunyai fungsi yang sama yaitu

memberi bantuan serta pelayanan untuk mengatasi kekerasan

yang dialami korban baik bantuan medis, psikis, maupun hukum.

46
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan skripsi diatas, maka dapat ditarik suatu

kesimpulan, yaitu :

1. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana kekerasan

dalam rumah tangga suami terhadap istri di Kabupaten Barru, yaitu :

a. Faktor Internal, menyangkut kepribadian dari pelaku kekerasan

yang menyebabkan ia mudah sekali melakukan tindak

kekerasan bila menghadapi situasi yang menimbulkan

kemarahan atau frustasi, seperti : kurangnya komunikasi,

kecemburuan, dan faktor orang tua.

b. Faktor eksternal, menyangkut faktor-faktor dari luar diri si pelaku

kekerasan, seperti : faktor ekonomi, faktor budaya siri’, dan

faktor pendidikan.

2. Upaya yang dilakukan untuk mengurangi/menanggulangi terjadinya

tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga suami terhadap istri di

Kabupaten Barru, yaitu : upaya preventif dan upaya represif

termasuk didalamnya memberikan perlindungan terhadap korban

kekerasan dalam rumah tangga.

47
B. Saran

1. Semua pihak, baik kepolisian, kejaksaan, pengadilan, maupun

pemerintah daerah lebih mensosialisasikan Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga kepada masyarakat, karena masih banyak masyarakat yang

awam terhadap undang-undang tersebut.

2. Pihak kepolisian diharapkan lebih responsif lagi dalam menerima

laporan dan melakukan upaya penanggulangan sehingga tindak

pidana kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi tidak terulang

lagi sehingga menurunkan jumlah KDRT yang terjadi ditahun

berikutnya.

48
LAMPIRAN

49

Anda mungkin juga menyukai