Anda di halaman 1dari 10

PERANG JAMAL

Sabtu, 20 mei NAZIRAQUR’ANI


2023

K E L A S X M I A
MA AL-FALAH PANCORDAO
PENGERTIAN
Pertempuran Jamal adalah pertempuran yang terjadi antara pasukan khalifah ke-4, Ali bin abi
thalib (berkuasa 656–661 M) melawan pasukan yang dipimpin oleh Aisyah, Thalhah, dan Zubair
pada bulan Desember 656 M. Ali adalah sepupu dan menantu dari Nabi Islam, Muhammad,
sedangkan Aisyah adalah istri nabi Muhammad, yang menjadi janda dan dilarang untuk menikah lagi
setelah kematian nabi Muhammad, sedangkan Thalhah dan Zubair, keduanya adalah sahabat
Muhammad yang terkemuka.

Permusuhan antara Ali dan Aisyah diperkirakan sudah terjadi semenjak masa Muhammad masih
hidup, salah satunya terlihat ketika peristiwa beredarnya rumor bahwa aisyah telah berzina dengan
pria lain. Hukuman bagi perempuan yang bersuami bila berzina dalam Islam adalah di-rajam hingga
mati. Muhammad yang curiga dan tidak kunjung mendapatkan wahyu dari Allah selama sebulan
lebih mengenai benar atau tidaknya rumor itu pun meminta pendapat sahabat-sahabatnya, salah
satunya Ali. Di saat sahabat lainnya menjawab dengan prasangka baik, Ali berkata, "Allah tidak
membatasi anda, masih banyak perempuan lain." Setelah bertanya ke sana kemari, Muhammad
mengunjungi Aisyah di rumah orang tuanya, dan berkata kepada Aisyah, bahwa bila dia melakukan
hal tersebut maka segeralah mengaku dan bertaubat supaya dosanya diampuni oleh Allah. Aisyah
pun menjawab bahwa apapun yang ia katakan tidak akan dapat merubah apa yang diyakini
Muhammad, sehingga apa yang ia dapat lakukan hanyalah bersabar sebagaimana ayahnya nabi
Yusuf dulu, dan meminta pertolongan kepada Allah. Segera pada saat itu juga, Muhammad pun
mendapatkan ayat-ayat dari Allah yang menyatakan ketidak bersalahan Aisyah

Kebencian Aisyah terhadap Ali kemudian salah satunya tersirat pada suatu hadis mengenai saat-saat
terakhir Muhammad. Setelah meminta supaya dirawat di rumah Aisyah kepada istri-istrinya yang lain,
Muhammad pun diantarkan ke sana dengan dipandu oleh Ali dan Al-Abbas Namun pada riwayat
tersebut Aisyah hanya menyebut nama Al-Abbas, sedangkan untuk Ali, Aisyah hanya menyebutnya
sebagai satu orang lagi. 'Satu orang lagi' tersebut baru kemudian diketahui bahwa dia adalah Ali
setelah perihal tersebut ditanyakan kepada Ibnu Abbas.

Segera setelah mendengar kabar bahwa gelar khalifah ke-4 jatuh ke tangan Ali, Aisyah pun
mengumpulkan orang-orang untuk memberontak dengan dalih demi membalas kematian Khalifah ke-
3, Utsman.

Latar Belakang
Semenjak awal kematian Muhammad, Ali yang merupakan anak dari pamannya Muhammad, Abu
Thalib sudah merasa dirinya sebagai yang paling berhak menjadi penerus Muhammad dan Khalifah.
Namun hal tersebut batal terjadi karena orang-orang justru berbai'at ke Abu Bakar Sehari setelah
wafatnya Muhammad, Fatimah yang merupakan putri dari Muhammad dan istri dari Ali pun
meminta kepada sang Khalifah, Abu Bakar sejumlah harta peninggalan Muhammad sebagai warisan
untuknya. Harta yang dimaksud adalah Fa'i (harta yang diperoleh umat Muslim dari orang-
orang kafir tanpa melalui perperangan) di Fadak dan Madinah, dan sisa dari Khumus (jatah
seperlima dari total harta yang dijarah oleh umat muslim dari orang-orang kafir yang diperuntukan
khusus untuk Muhammad) yang diperoleh dari Khaibar. Di saat masih hidup, Muhammad, beberapa
saat setelah berhasil menaklukkan Khaibar, berniat untuk mengusir orang-orang kafir yang tersisa di
sana, namun orang-orang Khaibar pun memohon agar mereka diperbolehkan untuk tetap tinggal dan
mengurus kebun-kebun mereka dengan ganti separuh hasil panen nya akan diberikan untuk
Muhammad. Muhammad pun setuju dan mereka dibiarkan tinggal. Mendengar adanya pertumpahan
darah yang terjadi di Khaibar, orang-orang kafir di Fadak pun ketakutan dan bersegera mendatangi
Muhammad, mengajukan bahwa mereka akan memberikannya juga separuh dari hasil panen mereka
sebagai ganti mereka tidak diserang dan diusir dari kampung halaman mereka. Muhammad pun
sepakat dan pemasukan tersebut eksklusif hanya untuk Muhammad seorang. [

Permintaan Fatimah akan harta-harta yang didapat oleh Muhammad tersebut akan tetapi ditolak oleh
Abu Bakar, karena dirinya mengaku mendengar Muhammad berkata bahwa beliau tidak menurunkan
harta warisan kepada keluarganya melainkan harta peninggalannya hanya untuk ummat, yang berarti
dikelola oleh Abu Bakar, sang Khalifah. Tidak percaya, Fatimah pun marah dan tidak lagi berbicara
kepada Abu Bakar sampai Fatimah wafat di usia mudanya beberapa bulan ke depan. Peristiwa di atas
diakui sebagai shahih (benar/asli) di kalangan sunnie. Dalam riwayat yang terkenal di
kalangan Syi’ah; Fatimah, setelah mendapatkan penolakan dari Abu Bakar tersebut lalu memberikan
pidato di Masjid Nabawi mengklaim bahwa Abu Bakar telah melanggar Al-Qur’an dan sunnah
karena tidak mau memberikan dirinya harta warisan dari Muhammad, pidato ini kemudian terkenal
sebagai Khotbah dan Fadak, Dalam pidato itu Fatimah juga menganggap kekhalifahan Abu Bakar
tidaklah sah, menyatakan bahwa suaminya, Ali lah yang seharusnya memegang jabatan tersebut
dengan mengklaim kalau Muhammad sendiri lah yang menunjuknya. Rumor bahwa Muhammad
menunjuk Ali sebagai khalifah juga terdapat pada hadits kalangan Sunni, namun rumor tersebut
dibantah oleh Aisyah, istri favorit Muhammad, yang mengatakan bahwa dirinya lah yang mengasuh
Muhammad di saat hari-hari terakhirnya, dan tidak pernah sekalipun dia mendengar hal tersebut
keluar dari mulut Muhammad. Ali, Thalhah, Zubair dan sejumlah orang yang menolak kekhalifahan
Abu Bakar pun berkumpul di rumah Fatimah. Namun ketika berita ini sampai ke telinga Abu Bakar
dan Umar, Umar pun bersegera ke sana untuk menangkap Ali dan memaksanya berbai'at, yang dalam
prosesnya ditenggarai telah menyebabkan Fatimah keguguran dan wafat pada usia muda beberapa
bulan setelahnya. Ali yang tidak memiliki pilihan lain pun terpaksa berbai'at kepada Abu Bakar. Ia
juga terpaksa memberikan putrinya, Ummu Khultsum binti Ali, untuk dinikahi oleh Umar. Umar
terkenal akan sifat kerasnya, sebelumnya ia pernah melamar Fatimah, namun ditolak Muhammad
dengan alasan kalau Fatimah masih terlalu muda. Umar juga pernah melamar adik dari Aisyah,
Ummu Khultsum binti Abi Bakr, yang mana juga ditolak oleh Aisyah, karena takut adiknya akan
dianiaya. Pasca Abu Bakar wafat, dan Umar tewas dibunuh, Utsman pun menjabat sebagai Khalifah
ke-3. Namun karena ketidak puasan terhadap pemerintahannya sejumlah pemberontakan oleh umat
Muslim dari berbagai tempat pun bermunculan, yang berujung pada pembunuhan terhadap dirinya di
tangan kelompok yang dipimpin Muhammad bin Abu Bakar yang merupakan putra dari Abu
Bakar dan saudara seayahnya Aisyah. Setelah Utsman tewas, kubu pemberontak pun sebagian
besarnya beralih ke Ali untuk menjadikannya Khalifah, dan Ali pun menerimanya. Ali lalu
mengumpulkan sahabat-sahabat yang terkemuka dari almarhum Muhammad untuk berbai'at
kepadanya. Namun beberapanya menunda, termasuk Thalhah dan Zubair yang padahal sebelumnya
mendukung Ali ketika Abu Bakar masih menjabat. Seorang kaki tangan Ali, Malik Al
menghunuskan pedangnya dan mengancam akan memenggal mereka, sehingga mereka terpaksa
berbai'at. Di saat Ali akan pulang ke rumahnya, Thalhah, Zubair dan sejumlah umat muslim lainnya
meminta kepada Ali supaya para pemberontak dan pembunuh Utsman agar dihukum. Namun Ali
berdalih bahwa para pemberontak itu lah yang lebih berkuasa pada saat itu, sehingga orang-orang
mesti mengikuti apa kata mereka, termasuk menjadikan Ali sebagai Khalifah. Orang-orang mulai
curiga bahwa Ali berkomplot atau mengayomi para pembunuh Utsman. Thalhah dan Zubair pun
meninggalkan Madinah menuju Makkah, di mana mereka menemukan sekutu yang kuat,
yakni Aisyah, yang permusuhannya terhadap Ali terdokumentasi dengan baik.

Aisyah adalah istri favorit Muhammad dan bergelar ibu dari orang-orang yang beriman. Setelah
mengetahui kalau Ali menjadi Khalifah, Aisyah, yang sebelumnya diketahui ikut menghasut
pemberontakan terhadap Utsman pun memanfaatkan fakta bahwa Ali ditunjuk menjadi Khalifah oleh
para pemberontak dan pembunuh Utsman untuk membangkitkan amarah orang-orang Makkah untuk
membalaskan kematian Utsman, saudara sekota mereka. Aisyah, Thalhah dan Zubair menuntut agar
Ali digulingkan dan membentuk sebuah dewan untuk menunjuk penggantinya, yang kemungkinan
adalah Thalhah atau Zubair. Ketiganya bergabung dengan rekan-rekan Utsman, termasuk Marwan,
dan mantan pejabat lainnya yang tidak puas akan pemerintahan Ali. Makkah pun dengan cepat
menjadi sarang pemberontakan melawan Ali.

Persiapan
Ibnu Abbas yang merupakan sepupu dari Ali, memperingatkannya bahwa Umayyah (klan-nya U
akan mencari Ali dan meminta pertanggung jawaban atas pembunuhan Utsman. Muawiyah (sepupu
Utsman) sudah dipercayakan untuk menjadi Gubernur Suriah emenjak masa pemerintahan Umar Ali
pun menyuruh Ibnu Abbas ke Suriah, karena Ali telah berkeputusan menjadikannya sebagai gubernur
di sana. Namun, Ibnu Abbas menganggap itu bukanlah langkah yang cerdas, karena dirinya pasti akan
dibunuh atau paling tidak dijebloskan ke penjara oleh Muawiyah karena selain merebut jabatannya
juga karena memiliki asosiasi dengan si pembunuh Utsman. Ali pun diberi nasihat oleh ibnu Abbas
dan Mughirah untuk mempertahankan terlebih dahulu Muawiyah karena Muawiyah adalah orang
yang berani dan rakyatnya mendengar apa katanya, namun Ali menolak dan berkata bahwa dirinya
tidak akan memberikan Muawiyah apapun selain pedangnya.

Ketika Ali sedang sibuk meyakinkan orang-orang Madinah untuk berperang bersamanya untuk
melawan Muawiyah, datanglah berita bahwa Aisyah, Thalhah dan Zubair bersama orang-orang
Makkah sedang mengumpulkan pasukan untuk menghadapinya. Upaya perang mereka didanai oleh
orang-orang kaya Makkah, seperti Umayyah Yala bin Munya, mantan gubernur Utsman yang tidak
puas Terdapat suatu riwayat bahwa ketika dalam perjalanannya, Aisyah mengaku mendengar
gonggongan anjing, ia pun menanyakan pada mata air apa saat itu mereka berada. Salah satu orang
menjawab al-Hawab. Aisyah pun berbalik dan berkata kalau dirinya pernah mendengar Muhammad
bersabda, "Akan datang hari di mana anjing-anjing Hawab akan menggonggong salah seorang di
antara kalian, dan pada hari itu dia sedang berada dalam kesesatan yang nyata.” Namun demikian,
Zubair pun berkata, kalau, "Siapapun yang berkata kalau tempat ini bernama Hawab dia telah
berbohong.” Riwayat ini cukup kontradiktif dengan riwayat-riwayat dalam Shahih Muslim di mana
Muhammad pernah memerintahkan pembantaian terhadap anjing karena Malaikat Jibril berkata
kepadanya bahwa malaikat tidak masuk rumah yang ada anjingnya, dan tidak pula menemani para
pejalan yang bersamanya terdapat anjing. Telah tercatat pula adanya perselisihan internal antara
Thalhah dan Zubair yang berebut dominasi, misalnya, dalam memimpin shalat.

Setibanya di Basra, para pemberontak menemukan bahwa orang-orang Basra, meskipun terpecah
belah, secara general mereka loyal kepada Ali, yang sebelumnya telah memecat gubernur korupnya
Utsman. Setelah pertarungan sengit yang menimbulkan banyak korban jiwa, kedua belah pihak
menyetujui gencatan senjata hingga Ali datang, dan pasukan pemberontak pun berkemah di luar
Basra. Menunggu Ali jelas tidak menguntungkan bagi para pemberontak yang kemudian menyerbu
kota itu pada malam hari, menewaskan puluhan orang dan akhirnya menguasai Basra. Gubernur Basra
pun disiksa dan kemudian dipenjara. Setelah berita tersebut sampai kepada Ali, ia pun bersegera
meninggalkan Madinah menuju Basra bersama pasukan kecil. Ali juga mengirim anaknya,
yakni Hasan, untuk mengumpulkan dukungan dari orang-orang Kufah, yang bertemu dengannya di
luar Basra. Kedua pasukan, masing-masing dengan sekitar puluhan ribu pasukan, berkemah di depan
satu sama lain. Sebuah tenda ditegakkan di tengahnya untuk Ali, Thalhah dan Zubair bernegosiasi
selama tiga hari. Meskipun detailnya tidak pasti, namun beberapa sumber mengklaim bahwa Ali
mengingatkan Zubair tentang insiden ketika mereka masih kecil di mana Muhammad memprediksi
bahwa Zubair pada suatu saat akan secara tidak adil memerangi Ali.

Menurut Madelung, di saat negosiasi tersebut, kubu Aisyah meminta Ali turun dari jabatannya dan
agar dibentuknya sebuah dewan syura untuk memilih penerusnya, kemungkinannya antara Thalhah
atau Zubair. Sebagai respons atas tuduhan mengenai Utsman, Ali mengingatkan Thalhah dan Zubair
akan usahanya dulu dalam menyelematkan Utsman dan bagaimana Thalhah dan Aisyah yang pada
awalnya justru menghasut kekerasan terhadap Utsman upaya Ali yang meminta supaya orang-orang
agar menahan diri dan peran utama Thalhah dan Aisyah dalam menentang Utsman tercatat dengan
baik.

Negosiasi yang dilakukan gagal setelah tiga hari dan kedua belah pihak bersiap untuk berperang.
Menurut Madelung, cerita populer tentang suksesnya negosiasi tersebut adalah murni hanyalah fiksi.
Cerita ini mengklaim bahwa pembunuh Utsman mensabostasi negosiasi tersebut dan memprovokasi
timbulnya perang.

Pertempuran
Setelah tiga hari perundingan yang sia-sia, pertempuran dimulai pada siang hari di bulan Desember
tahun 656 Masehi. Dalam upaya terakhir untuk menghindari perang, Ali memerintahkan salah satu
anak buahnya untuk mengangkat salinan Al-Qur’an di antara garis pertempuran dan menyerukan
isinya. Ketika ia ditembak dan dibunuh oleh tentara pemberontak, Ali memberi perintah untuk
maju. Aisyah dipandu ke medan pertempuran, mengendarai unta merah, yang menjadi nama perang
tersebut, dengan kanopi lapis baja. Aisyah kemungkinan besar adalah penggalang kekuatan tentara
pemberontak, mendorong mereka untuk bertempur dengan teriakan tempur untuk membalaskan
dendam Utsman

Pertempuran berlangsung sengit namun singkat. Baik Thalhah dan Zubair terbunuh tak lama


kemudian. Thalhah dibunuh oleh Marwan dari Bani umayyah seorang pemberontak terkenal
lainnya, yang kemudian mengatakan kepada putranya Utsman bahwa dia telah membereskan salah
satu pembunuh Utsman untuknya. Meskipun Thalhah memang pernah memimpin perlawanan
terhadap Utsman, namun ada dugaan bahwa motif Marwan dalam membunuh Thalhah adalah untuk
membebaskan Muawiyah dari penantang serius untuk kekhalifahan. Setelah pertempuran, Marwan
bergabung dengan pemerintahan Muawiyyah di Damaskus sebagai penasihat tertua.

Zubair, seorang prajurit yang berpengalaman, hengkang tak lama setelah pertempuran dimulai.
Madelung dan Veccia Vaglieri berpendapat bahwa sepertinya ada kebimbangan yang serius di dalam
hati Zubair tentang keadilan perjuangan Aisyah yang menyebabkan Zubair membelot. Al-Ahnaf bin
Qays, seorang pemimpin Bani Sa'd yang tetap berada di pinggir pertempuran, mengetahui tentang
membelotnya Zubair. Bin Qays kemudian mengirim anak buahnya untuk memburu dan membunuh
Zubair, kemungkinan besar karena tindakan tidak terhormat Zubair yang meninggalkan rekan-
rekannya sesama Muslim di belakang dalam perang saudara di mana dia ikut bertanggung jawab.

Ketika berita kematian Zubair sampai kepada Ali, dia berkomentar bahwa Zubair telah acapkali
bertempur dengan gagah berani di depan Muhammad tetapi kini dia jatuh ke dalam kebinasaan.
Menurut Madelung, kisah populer tentang Ali yang mengutuk para pembunuh Zubair adalah fiksi.

Dengan kematian Thalhah dan Zubair, nasib pertempuran telah tersegel meskipun Aisyah menolak
untuk meninggalkan medan perang. Satu per satu, prajurit Aisyah melangkah untuk memimpin
pasukan unta, dan satu per satu, mereka terbunuh. Dengan tidak adanya pertempuran lagi yang dapat
dipertarungkan, pihak Ali dilaporkan memohon kepada pihak Aisyah untuk menyerah. Pembantaian
terhadap anak buah Aisyah berhenti hanya ketika pasukan Ali berhasil membunuh untanya Aisyah
dan menangkap Aisyah, yang oleh Muhammad diberi gelar Ummul Mukminin (Ibu dari orang-
orang beriman). Puisi-puisi yang selamat tentang pertempuran tersebut menggambarkan tragedi itu:

Wahai Ibu kami, ibu yang paling tidak berperasaan yang kami kenal. Tidakkah Engkau melihat betapa
banyak orang yang gagah berani tewas terbunuh, tangan dan pergelangan tangan mereka dibuat
kesepian?

Ibu kami menuntun kami untuk minum di kolam kematian. Kami tidak beranjak pergi sampai rasa
haus kami padam. Ketika kami menurutinya, kami kehilangan akal sehat kami. Ketika kami
membelanya, kami tidak mendapatkan apa-apa selain rasa sakit.

Akibat
Pemaafan atas Aisyah
Dengan mempertimbangkan bahwa Aisyah adalah istri favorit Nabi, dan menzaliminya akan
mendatangkan kemurkaan Allah dan rasulnya, Aisyah pun diperlakukan dengan hormat dan untuk
sementara ditempatkan di Basra. Namun demikian, baik Ali dan perwakilannya, Ibnu Abbas,
menegur keras Aisyah atas kerusakan yang telah dia sebabkan. Ali memerintahkan saudara seayahnya
Aisyah, yakni Muhammad bin Abu Bakar yang menjadi salah satu pemeran utama dalam
pembunuhan Utsman untuk mengawal Aisyah kembali ke Mekkah Berbagai sumber menyatakan
bahwa Aisyah berduka cita akan kematian orang-orang dekatnya karena peristiwa tersebut.

Perlakuan terhadap Aisyah dipandang oleh sarjana Syi’ah, Shah-Kazemi sebagai contoh kemurahan
hati Ali. John Cappucci menulis bahwa setelah kekalahannya, Aisyah pun mengakui kekhalifahan
Ali. Pandangannya tentang Ali mungkin tidak berubah, kata Madelung. Aisyah hanya terlibat dalam
beberapa peristiwa politik kecil untuk selanjutnya. Kekalahannya mungkin dikutip untuk mencegah
wanita Muslim abad pertengahan terlibat dalam politik.
Pengampunan Umum
Dengan menyatakan bahwa mereka yang dikalahkan adalah orang-orang muslim yang taat dan
bukanlah murtadin, Ali mengumumkan pengampunan publik setelah peperangan tersebut. Dia
dikatakan melarang anak buahnya untuk menyakiti umat muslim yang menjadi tawanan, yang terluka,
yang membelot dan yang kabur dari perperangan tersebut. Para tawanan dibebaskan, perempuan-
perempuan dan anak-anak dari kaum mereka tidak diperbudak dan hanya persenjataan dan binatang
lah yang menjadi harta rampasan. Ali pun memberikan uang dari pembendaharaan Basra sejumlah
500 dirham kepada tiap pasukannya sebagai gantinya. Namun hal ini menimbulkan kekecewaan di
sebagian pasukan Ali, karena menurut mereka Ali telah merampas hak-hak mereka untuk memperoleh
harta rampasan dan memperbudak perempuan-perempuan dan anak-anak dari pihak muslim yang
dikalahkan yang mana hal itu merupakan norma dalam Islam ketika mengalahkan suatu kaum. Ali
juga disebut pernah mengatakan bahwa bila mereka ngotot agar Aisyah diperbudak, maka mereka
harus melakukan pengundian untuk menentukan siapa yang akan mendapatkannya.

Pengampunan ini juga diperluas kepada para pemberontak kelas kakap seperti Marwan dan putra-
putra Utsman, Thalhah, dan Zubair. Menurut Madelung, Ali bertanya kepada mereka apakah
dirinya bukan orang yang paling dekat dengan Muhammad dan yang paling berhak atas
kepemimpinan setelah kematian Muhammad. Dia kemudian membiarkan mereka pergi setelah
mereka memohon pengampunan dan berbai'at kepada Ali. Sebuah laporan yang berbeda menyatakan
bahwa Marwan yang tetap membangkang tetap dilepaskan tanpa berbai'at kepada Ali. [ Marwan segera
bergabung dengan musuh Ali, Muawiyah, setelah pertempuran.

Kufah dan Ibukota de facto


Sebelum meninggalkan Basra, Ali menegur warganya karena melanggar sumpah setia dan memecah
belah masyarakat. Dia kemudian menunjuk Ibnu Abbas sebagai gubernur Basra setelah menerima
janji baru mereka. M.A. Shaban menambahkan bahwa Ali membagi dana perbendaharaan secara
merata di Basra, yang tetap menjadi surga selama bertahun-tahun bagi sentimen pro-Utsman. Ali
segera berangkat ke Kufah, dan tiba di sana pada bulan Desember 656 atau Januari 657. Ia menolak
tinggal di kastil gubernur, menyebutnya qasr al-khabal (terj. har. ''kastil korupsi''), dan malah tinggal
bersama keponakannya Ja'da bin Hubairah. Kufah dengan demikian menjadi basis aktivitas utama Ali
selama kekhalifahannya. Dengan langkah ini, elit Madinah secara permanen kehilangan otoritas
mereka atas komunitas Muslim, kata Maria M. Dakake. Kennedy juga menyoroti kerugian strategis
Madinah, mengatakan bahwa Madinah jauh dari pusat populasi Irak dan Suriah, dan sangat
bergantung pada pengiriman biji-bijian dari Mesir. Kufah tetap menjadi pusat utama Islam Syiah
sampai pertengahan abad kedua Hijriyah (pertengahan abad kedelapan), ketika Baghdad didirikan.
Tewasnya Ali
Ali tewas tidak lama berselang selama berlangsungnya konflik dengan Muawiyah. Namun bukan
pihak Muawiyah lah yang membunuhnya, melainkan adalah orang-orang yang awalnya menjadi
pasukannya sendiri, yakni muslim-muslim yang dilabeli Khawarij karena kemudian keluar dari
kalangannya, diakibatkan kebijakan Ali yang mereka anggap telah melenceng dari Islam yang lurus.
Salah satu pembunuh Ali, yakni Ibnu Muljam diketahui ingin menikahi perempuan yang meminta
kepadanya agar membalaskan dendam orang tua perempuan tersebut yang dibunuh pasukan Ali
ketika pertempuran Naharawan, meski sebelum mendengar permintaan tersebut, Ibnu Muljam telah
punya niatan ingin membunuh Ali. Perempuan itu pun menyuruh orang dari sukunya, yang bernama
Waddan untuk membantu Ibnu Muljam dalam membunuh Ali.

Ketika mendengar kabar terbunuhnya Ali, Aisyah dilaporkan melemparkan tongkatnya dan bersantai
di tempat duduknya seperti seorang pengembara yang bahagia ketika pulang ke rumahnya. Sewaktu
diberi tahu kalau yang membunuh Ali adalah orang dari Murad, Aisyah berkata: "Meskipun dia jauh,
telah mengumumkan kematiannya seorang pemuda [ghulam] yang mulutnya tiada berdebu (memiliki
perkataan yang benar)." Ketika ditanya oleh Zainab binti Abu Salamah, apakah Aisyah sedang
berbicara tentang Ali, Aisyah berkata, "Aku pelupa, dan jika aku lupa ingatkan aku.

Anda mungkin juga menyukai