Anda di halaman 1dari 13

ENZIM CHOLINESTRASE

Pestisida secara umum diartikan sebagai bahan kimia beracun yang


digunakan untuk mengendalikan jasad pengganggu yang merugikan manusia.
Pestisida telah digunakan secara luas untuk meningkatkan produksi pertanian,
perkebunan dan pemberantasan vektor penyakit. Sebagian besar cara
penggunaan pestisida oleh petani adalah dengan cara penyemprotan. Saat
penyemprotan merupakan keadaan dimana petani sangat mungkin terpapar
bahan kimia yang terdapat dalam pestisida yang digunakan.

Menurut Undang-Undang Nomor : 12 tahun 1992 tentang sistem budidaya


tanaman

(Pasal 1), disebutkan bahwa pestisida adalah zat atau senyawa kimia, atau zat
perangsang tumbuh, bahan lain serta organisme renik, atau virus yang
digunakan untuk melakukan perlindungan bagi tanaman. Pestisida dapat
diartikan juga sebagai zat kimia jasad renik, virus atau bahan lain yang
digunakan untuk berbagai kebutuhan pertanian, antara lain mengendalikan
serta mencegah hama, memberantas atau membunuh rumput-rumputan,
mengatur pertumbuhan tanaman yang bertujuan agar tanaman mencapai
produktivitas maksimal.

Menurut data WHO ( dalam Priyanto, 2010), paling tidak ditemukan 20.000
orang meninggal karena keracunan pestisida dan sekitar 5.000 – 10.000
mengalami dampak yang sangat berbahaya seperti kanker, cacat, mandul dan
hepatitis dalam setiap tahunnya Salah satu cara untuk mengetahui keracunan
pestisida pada petani adalah dengan melakukan pemeriksaan kadar
cholinesterase dalam darah.
Gejala - gejala yang timbul yang berkaitan dengan keracunan pestisisda
sebagai berikut, kelelahan, lemah berlebihan, kulit terasa terbakar keringatan
berlebihan, perubahan warna pada kulit, penglihatan menjadi kabur biji mata
mengecil dan membesar, mual, muntah, diare, perut kejang atau sakit perut,
kesulitan bernafas, dada terasa sakit dan lain-lainnya.

Enzim kolinesterase adalah suatu enzim yang terdapat pada cairan seluluer
yang fungsinya untuk menghentikan aksi dari pada acetylcholine dengan jalan
menghidrolisis menjadi colin dan asam asetat. Acetylcholine adalah pengantar
saraf atau impuls yang berada pada seluruh sistem saraf pusat (SSP), saraf
otonom (simpetik dan parasimatik) dan sistem saraf somatik (Marisa dan
Pratuna, 2018).

Asetilkolin merupakan bahan penghantar rangsang saraf (neurotransmitter)


yang pertama kali ditemukan, Asetilkolin disintesis di dalam ujung serabut saraf
motorik melalui proses asetilasi kolin ekstrasel dan asetil koenzim A yang
memerlukan enzim kolinasetil transferase di ujung terminal saraf. Setelah
pelepasannya ke celah sinap, asetilkolin dengan cepat dihidrolisis oleh enzim
asetilkolinesterase endogen menjadi asetat dan kolin.

Asetilkolin disimpan dalam kantung yang disebut vesikel. Ada tiga bentuk
asetilkolin, yaitu bentuk bebas, bentuk cadangan belum siap pakai, dan bentuk
siap pakai. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses sintesis dan/atau
pelepasan asetilkolin antara lain kalsium, magnesium, nutrisi, oksigenisasi,
suhu, analgetik lokal, dan antibiotik golongan aminoglikosida.
Terminologi kolinergik merujuk kepada efek neurotransmiter asetilkolin yang
berlawanan dengan efek adrenergik noradrenalin (norepinefrin). Asetilkolin
merupakan neurotransmitter untuk semua sistem saraf parasimpatis (ganglion
parasimpatis dan sel efektor), sebagian sistem saraf simpatis (ganglion
simpatis, medula adrenal, dan kelenjar keringat), beberapa neuron susunan
saraf pusat (SSP) dan saraf somatik yang menyarafi otot skelet.

Cholinesterase adalah suatu bentuk dari katalis bilogik di dalam jaringan tubuh
yang berperan untuk menjaga agar otot-otot, kelenjar-kelenjadan sel-sel syaraf
bekerja secara terorganisir dan harmonis. Apabila terjadi penurunan aktivitas
enzim cholinesterase secara cepat sampai pada tingkat yang rendah, maka
berdampak pada bergeraknya serat-serat otot secara sadar dengan gerakan
halus maupun kasar. Sehingga petani dapat mengeluarkan air mata akibat
mata yang teriritasi serta mengalami gerakan otot yang lebih lambat dan lemah
(Saputra dkk,2020)

Salah satu indikator untuk memonitor dampak keracunan pestisida terhadap


petani adalah pemeriksaan cholinesterase darah. Semakin rendah kadar
cholinesterase maka semakin terdeteksi bahwa petani tersebut mengalami
keracunan akibat penggunaan pestisida.

Kadar enzim kolinesterase dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, faktor


tersebut antara lain faktor internal yang terdiri dari usia, status gizi, jenis
kelamin, dan pengetahuan, sedangkan faktor eksternal akibat paparan
pestisida antara lain dosis, lama penyemprotan, tindakan penyemprotan
terhadap arah angin, waktu penyemprotan, frekuensi penyemprotan, jumlah
jenis pestisida yang digunakan,dan penggunaan alat pelindung diri
(Rahmawati. dan Martiana, 2014).

Gambar enzim cholinesterase

Cholinesterase adalah suatu bentuk dari katalis bilogik di dalam


jaringan tubuh yang berperan untuk menjaga agar otot-otot, kelenjar-
kelenjadan sel-sel syaraf bekerja secara terorganisir dan harmonis. Apabila
terjadi penurunan aktivitas enzim cholinesterase secara cepat sampai pada
tingkat yang rendah, maka berdampak pada bergeraknya serat-serat otot
secara sadar dengan gerakan halus maupun kasar. Sehingga petani dapat
mengeluarkan air mata akibat mata yang teriritasi serta mengalami
gerakan otot yang lebih lambat dan lemah (Saputra dkk,2020).

Cholinesterase disintesis di hati di dalam sinaps, dalam plasma darah


merah, dimana berfungsi untuk menghentikan implus syaraf, dengan
memecah neurohormon acetylcholinesterase pada sinaps menjadi acetil dan
choline (Zuraida,2012).

kadar enzim Cholinesterase untuk laki-laki 4620 u/l dan perempuan 3990 u/l.
Untuk perempuan, bila kadarnya dibawah angka tersebut hal itu menunjukkan
bahwa petani tersebut menderita keracunan pestisida. Penurunan aktivitas
enzim ini dapat menyebabkan gangguan sistem saraf, keracunan dan dapat
berakibat fatal.

Semakin rendah kadar enzim kolinesterase dalam darah, maka semakin


terdeteksi bahwa petani tersebut mengalami keracunan akibat penggunaan
pestisida. Penurunan aktivitas enzim tersebut dapat mengakibatkan
terganggunya sistem saraf, keracunan, hingga kematian. Salah satu pestisida
yang terkenal menghambat enzim kolinesterase adalah pestisida golongan
organofosfat dan golongan karbamat.

Selain menghambat enzim asetilkolinesterase, pestisida juga bersifat sebagai


senyawa Endocrine Disrupting Chemical (EDC) yang dapat mengganggu
sistem endokrin dalam tubuh. EDC dapat mengganggu keseimbangan
hormon-hormon endokrin sehingga dapat mengganggu sistem metabolisme
tubuh, termasuk metabolisme karbohidrat yang melibatkan pembentukan dan
pemecahan glukosa.

Organofosfat adalah jenis bahan aktif pestisida yang bekerja dalam


menghambat enzim kolinesterase. Organofosfat banyak digunakan untuk
indoor residual spraying, space spraying maupun untuk pengendalian vektor
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016).
Keracunan organofosfat dapat terjadi melalui kulit, mata, mulut jika tertelan,
dan hidung jika terhirup dengan dosis berlebih. Keracunan organofosfat
melalui kulit terjadi jika zat ini berbentuk cairan dan tumpah di kulit, atau melalui
pakaian yang terpapar organofosfat. Gas dan partikel semprotan yang sangat
halus (<10 mikron) dapat masuk ke paru, sedangkan partikel yang lebih besar
(>50 mikron) akan menempel di selaput lendir atau kerongkongan. Keracunan
melalui saluran pencernaan dapat terjadi karena makanan terpapar
organofosfat atau jika zat ini terbawa angin masuk ke mulut.

Gejala keracunan organofosfat akan timbul dalam waktu 6-12 jam setelah
paparan. Gejalanya bervariasi, dari yang ringan hingga kematian. Gejala awal
adalah ruam dan iritasi pada kulit, mual/rasa penuh di perut, muntah, lemas,
sakit kepala, dan gangguan penglihatan. Gejala lanjutan, seperti keluar ludah
berlebihan, keluar lendir dari hidung (terutama pada keracunan melalui
hidung), berkemih berlebihan dan diare, keringat berlebihan, air mata
berlebihan, kelemahan yang disertai sesak napas, dan akhirnya kelumpuhan
otot rangka, sukar berbicara, hilangnya refleks, kejang, dan koma.

Pertolongan pertama keracunan organofosfat yang mengenai kulit adalah


mencuci bagian yang terpapar dengan sabun dan air dingin. Lebih baik lagi jika
mandi, mengganti pakaian, mencuci pakaian yang terpapar dengan
menggunakan sarung tangan. Jika mata yang terkena maka harus dicuci
dengan air mengalir paling tidak selama 15 menit.

Jika organofosfat tertelan, pertolongan awal adalah melegakan saluran napas


dengan membersihkan sisa muntahan dan lendir yang berlebih di dalam
rongga mulut korban. Kemudian miringkan korban. Pastikan korban masih
bernapas. Jika tidak, segera berikan bantuan hidup dasar, tetapi gunakan
masker atau kain untuk menghindari organofosfat meracuni penolong.
Sebaiknya upayakan untuk mengetahui jenis racun penyebabnya.

Pencegahan adalah tindakan relatif sederhana dan mudah dilakukan. Hal


penting yang harus diperhatikan, antara lain bahan rumah tangga yang
mengandung organofosfat harus dijauhkan dari jangkauan anak atau
tempatkan pada wadah yang tidak dapat dibuka oleh anak.

Ada 2 jenis Cholinesterases (ChEs) yang ada dalam tubuh:

1) eritrosit ChE (asetil Cholinesterase) yang terdapat pada eritrosit dan


hidrolisis asetilkolin pada sel darah merah, persimpangan
myoneuronal, cholinergic saraf akhir, dan sistem syarat pusat
2) plasma ChE (PChE) juga diketahui sebagai butiril CH, yang ditemukan
dalam plasma dan berada pada organ tubuh seperti hati dan otot.

Penghambatan asetil Cholinesterase dianggap sebagai adanya toksisitas


dalam tubuh, sedangkan penghambatan PChE sebagai indikator pajanan
pestisida OP. Pengukuran kadar Cholinesterase dalam plasma digunakan
sebagai indikator umum bagi individu yang terpajan OP (Neupane et al.,
2017).

Contoh dari jenis organofosfat yang digunakan adalah diazinon, malation,


klorpirifos, kadusafos dan asefat. Penggunaan organofosfat yang berlebihan
dapat menimbulkan efek patologis dengan estimasi sejumlah tiga juta individu
terpapar organofosfat pada setiap tahunnya (Taksande dkk., 2017). Efek
paparan organofosfat pada petani dapat berupa efek akut dan kronis. Efek akut
berupa timbulnya sindroma muskarinik, nikotinik dan SSP, sementara itu efek
kronis berupa mutagenitas, neurotoksisitas, dan gangguan pada sistem
hormonal (Rahayu dan Solihat, 2018).
Kebanyakan insektisida golongan Organophosfat adalah penghambat
bekerjanya enzim asetilkolinesterase. Dalam sistem syaraf serangga antara
sel syaraf atau neuron dengan sel lain termasuk sel otot terdapat “celah” yang
disebut sinapse. Enzim asetilkolin yang dibentuk oleh sistem syaraf pusat
berfungsi mengantarkan pesan atau impuls dari sel syaraf ke sel otot melalui
sinapse. Setelah impuls diantarkan ke sel otot proses penghantaran impuls
tersebut dihentikan oleh karena bekerjanya enzim yang lain yaitu enzim
asetilkolinesterase. Dengan enzim tersebut asetilkolin dipecah menjadi asam
asetat dan kolin. Adanya asetilkolinesterase menyebabkan sinapse menjadi
kosong lagi sehingga penghantaran impuls berikutnya dapat dilakukan
(Kasumbogo Untung, 2006:240).

Gangguan kesehatan yang ditimbulkan akibat masuknya pestisida ke dalam


tubuh berupa keracunan. Keracunan pestisida dapat diperiksa melalui tekanan
darah yang akan berubah menjadi tidak normal akibat dampak berkelanjutan
dari kandungan zat kimia pestisida yang mempunyai kemampuan
mengganggu kerja enzim asetilkolinesterase di dalam tubuh (Zuflania et al.,
2017).
Jika terjadi keracunan pestisida golongan organfosfat dan kabomat yang akan
menurunkan aktivitas enzim cholinesterase pada tingkat tertentu sesuai
dengan tingkat keracunanya. selain melihat enzim aktivitas cholinesterase,
keracunan pestisida dapat di ketahui dengan melihat gejala-gejala yang
timbulkan atau keluhan subjektif. Ketika seseorang terpapar pestisida
golongan organofosfat cholinesterase akan berkaitan dengan pestisida yang
bersifat ireversibele. Akibatnya tidak terjadi reaksi dengan achethicholin secara
baik. Dalam pemeriksaan akan nampak terjadi penurunan aktivitas
cholinesterase atau peningkatan kadar acetycholine. Penurunan aktivitas
cholinesterase dalam eritrosit dapat berlansung 1 sampai 3 minggu,
sedangkan penurunan aktivitas cholinesterase dalam trombosit dapat
berlansung hingga 12 minggu atau 3 bulan (Siswanto,1991).

Adanya beberapa kandungan zat aktif pestisida yang masuk ke dalam tubuh
dapat mengganggu proses penguraian asetilkolin atau bahkan tidak dapat
berlangsung. Kolinesterase yang seharusnya menguraikan asetilkolin akan
berikatan dengan zat aktif yang terkandung dalam beberapa jenis pestisida
berupa organofosfat. Ketika kolinesterase berikatan dengan organofosfat,
asetilkolin tidak dapat diuraikan sehingga terjadi penumpukan asetilkolin.
Penumpukan asetilkolin dalam peredaran darah manusia dapat menimbulkan
gerakan yang tidak teratur dan tidak harmonis, bisa lebih cepat atau lebih
lambat. Pergerakan ini akan berdampak pada gerakan pembuluh darah yang
dapat menghasilkan tekanan darah menjadi rendah (hipotensi) atau tekanan
darah tinggi (hipertensi) (Anam et al., 2014).

Pengukuran aktivitas enzim Kolinesterase diambil dengan pengambilan darah


Vena Fossa Cubiti kemudian diukur di laboratorium menggunakan alat spectro
fotometri.
Gambar alat spectro fotometri

Cholinesterase (CHE) adalah salah satu jenis enzym yang dihasilkan oleh sel
darah merah, ujung-ujung syaraf, otak, paru, dan limpa. Pemeriksan CHE
bermanfaat untuk mengidentifikasi paparan oleh karena organofosfat atau
insektisida karbamat. Di labortorium prosedur pemeriksaan sampel darah yang
di tambahakan larutan indikator bromtymol blue dan larutan subsrat
acetylcholine perclorate, kemudian diberikan beberapa menit sesuai dengan
waktu pengukuran.

Aktivitas enzim cholinesterase dalam darah dijadikan indikator keberadaan


pestisida dalam darah. Namun penting untuk diperhatikan, bahwa penurunan
aktivitas enzim cholinesterase dapat juga terjadi pada beberapa penyakit,
terutama penyakit yang menyerang hati. Infeksi virus pada hati dikenal
hepatitis baik yang akut maupun kronis dapat menurunkan aktivitas enzim
cholinesterase antara 30% sampai 50%, sedangkan penyakit sarosis hepatitis
yang lanjut tumor hati ataupun tumor lainnya yang berfementasi ke hati dapat
menurunkan aktivitas enzim cholineterase 50%-70%.

Klasifikasi tingkat keracunan berdasarkan persentase cholinesterase dalam


darah menurut Suma’mur (1987), antara lain sebagai berikut :

1. Aktivitas cholinesterase dalam darah antara 75% -100% belum


dianggap suatu keracunan sehingga tenaga kerja masih dapat terus
bekerja dan dilakukan pemeriksaan ulangan di waktu yang dekat.
2. Aktivitas cholinesterase dalam darah antara 50% – 75% kemungkinan
ada keracunan sehingga tenaga kerja perlu melakukan pemeriksaan
kesehatan ulang dan bila telah dipastikan, maka tenaga kerja tersebut
masih boleh bekerja selama dua minggu. Kemudian dilakukan
pemeriksaan kesehatan ulang.

3. Aktivitas cholinesterase dalam darah antara 25% – 50%, dapat diartikan


telah terjadi keracunan yang gawat, jika diyakini tenaga kerja tersebut
tidak boleh bekerja dengan pestisida dari golongan apapun juga.
Tenaga kerja tersebut harus mendapat pemeriksaan dan pengobatan
dari dokter bila terlihat tanda¬tanda ia sakit.

4. Aktivitas cholinesterase dalam darah pada kadar 0 % – 25 %, telah


terjadi keracunan sangat gawat sehingga tenaga kerja tidak boleh
bekerja dan harus menjalani perawatan dan pengobatan dokter.

Di Indonesia, penggunaan pestisida semakin meningkat dari tahun ke tahun.


Sebagian besar pestisida ini digunakan dalam sektor pertanian dan
perkebunan untuk mengendalikan dan membasmi organisme pengganggu
tanaman (OPT) yang dapat menurunkan hasil panen (Sandra, 2019).
Penggunaan pestisida tersebut umumnya memberikan manfaat serta
keberhasilan pembangunan di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, dan
kesehatan masyarakat. Di sisi lain penggunaan pestisida dapat berakibat
burukterhadap manusia dan lingkungan. Pestisida umumnya beracun karena
mengandung zat kimia berbahaya seperi pestisida golongan organofosfat dan
karbamat. Bahaya pestisida sebagian besar menyerang golongan petani
karena sering kontak dengan pestisida. Pestisida dapat masuk ke dalam tubuh
petani melalui penyerapan kulit, inhalasi, memakai baju tidak tertutup dan tidak
menggunakan alat pelindung diri (Anindyka, 2016).
Menurut WHO penggunaan pestisida semakin lama semakin tinggi terutama
di negara berkembang seperti Asia, Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Latin.
Meskipun hanya memakai 25% dari total penggunaan pestisidadi seluruh
dunia, tetapi 99% kematian dialami oleh negara-negara di wilayah tersebut.
Hal ini disebabkan rendahnya tingkat edukasi petani di negara tersebut
sehingga cara penggunaan pestisida tidak aman. Berdasarkan data
dariProgram Lingkungan Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) diperkirakan
sekitar3 juta orang yang bekerja disektor pertanian negara berkembang
terpapar racun pestisida dan sekitar 18.000 orang diantaranya meninggal
dunia setiap tahunnya (Onny et al., 2016).
DAFTAR PUSTAKA

A. M. (2020). ACETYLCHOLINESTERASE DAN


BUTYRYLCHOLINESTERASE SEBAGAI PENANDA KERACUNAN
PESTISIDA. j agromedicine unila , 19-22.

A. u., J. F., Muslim, F. u., & R. S. (2023). Literatur Review: Kadar


Cholinesterase Pada Petani Yang Terpajan Organophosphate. Jurnal
Kesehatan Lentera ‘Aisyiyah , 653- 663.

B. R., & Mayaserly, D. P. (2023). Hubungan Kadar Enzim Cholinestrase


Dengan Hipertensi Pada Petani Cabe Di Kabupaten Tanah Datar. menara
ilmu , 163-172.

Budiawan, A. R. (2014). FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN


CHOLINESTERASE PADA PETANI BAWANG MERAH DI NGURENSITI
PATI. Unnes Journal of Public Health , 1-11.

Marisa, & Pratuna, N. D. (2018). ANALISA KADAR CHOLINESTERASE


DALAM DARAH DAN KELUHAN KESEHATAN. Jurnal Kesehatan Perintis ,
146-152.

Meirana Sari, N. K., N. M., & N. H. (2018). GAMBARAN KADAR ENZIM


KOLINESTERASE DALAM DARAH PADA KELOMPOK TANI MEKAR NADI.
mediatory , 108-115.

S. T., & Souisa, G. V. (2019). Kadar Cholinesterase dalam Darah Petani di


Dusun Taeno, Kecamatan Teluk Ambon, Kota Ambon. Jurnal Kesehatan
Masyarakat dan Lingkungan Hidup , 79-90.

saputra, d. y., Purwati, & T. H. (2020). Penentuan Kadar Enzim Kolinesterase


pada Petani. Journal of Pharmacy , 21-25.

Tutu, C. G., Manampirin, A. E., & A. U. (2020). Faktor-Faktor Yang


Berhubungan Dengan Aktivitas EnzimCholinesterase Darah Pada Petani
Penyemprot Pestisida. Journal of Public Health and Community Medicine ,
40-53.
Yusrizal, & A. P. (2021). Evaluasi Aktivitas Enzim Kolinesterase Pada
Kelompok Tani Kecamatan. Scientific Journal of Occupational Safety &
Health , 45-57.

Anda mungkin juga menyukai