Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH TOKSIKOLOGY

(HUBUNGAN TINGKAT PEMAPARAN PERSISIDA ORGANOFOSFAT) TERHADAP


AKTIFITAS KHOLINESTERASE






DOSEN PENGAMPU:
Drs.Soebianto,M.Or

DISUSUN OLEH:
1. WASIS PAMBUDI 29112567 J
2. IRIN TRININGSIH 29112568 J
3. M FAHMI S 29112569 J
4. MARDANIK 29112570 J
5. SARKARIAS NARDUS 29112571 J
6. ROCHMAD DWI SAGORO 29112572 J
7. HERMANSIS T.S 29112573 J
8. FARIDHA EKY PRASETYOWATI 29112574 J




PROGRAM STUDI D-III ANALIS KESEHATAN
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
A PENDAHULUAN
Organofosfat adalah nama umum ester dari asam fosfat. Pada tahun 1930an
organofosfat digunakan sebagai insektisida, namun pihak militer Jerman
mengembangkan senyawa ini sebagai neurotoksin selama perang dunia kedua.

Struktur umum organofosfat
Gugus X pada struktur di atas disebut leaving group yang tergantikan saat
organofosfat menfosforilasi asetilkholin serta gugus ini paling sensitif terhidrolisis.
Sedangkan gugus R1 dan R2 umumnya adalah golongan alkoksi, misalnya OCH
3
atau
OC
2
H
5
. Organofosfat dapat digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain,
fosfat, fosforothioat, fosforamidat, fosfonat, dan sebagainya.Pada tahun 1983
dilaporkan angka mortalitas keracunan pestisida yang tidak disengaja mencapai 7 per
10 juta laki-laki dan 0,5 per 10 juta wanita. Biasanya, sekitar 20.000 kasus intoksikasi
organofosfat dilaporkan setiap tahunnya. Pada tahun 1998, American Association of
Poison Control Centers melaporkan sebanyak 16.392 jiwa terpapar organofosfat dan
11 jiwa diantaranya mengalami kematian. Anak-anak yang terpapar senyawa ini
sepertinya lebih besar di negara berkembang karena anak-anak banyak yang bekerja
di ladang pertanian atau disewa sebagai buruh pertanian. Penggunaan organofosfat
sebagai agen bunuh diri ternyata di negara berkembang lebih besar. Bunuh diri dan
keracunan organofosfat menyebabkan 200.000 kematian setiap tahunnya di negara
berkembang.
Penelitian tentang keracunan pestisida selama satu tahun (1999-2000) di tujuh rumah
sakit di Jawa melaporkan 126 kasus, 100 kasus terjadi pada pria dan 26 kasus terjadi
pada wanita. Sebanyak 11% dari kasus terjadi pada orang dewasa berusia 22-55 tahun.
Penyebab keracunan antara lain karena kesengajaan (43%), pekerjaan (37%) dan
kecelakaan (16%). Keracunan tersebut paling banyak disebabkan oleh pestisida
golongan organofosfat.
B. Mekanisme Aksi
Organofosfat mempunyai aksi sebagai inhibitor enzim kholinesterase. Kholinesterase
adalah enzim yang berfungsi agar asetilkholin terhidrolisis menjadi asetat dan kholin.
Organofosfat mampu berikatan dengan sisi aktif dari enzim ini sehingga kerja enzim
ini terhambat.Akibatnya jumlah asetilkholin dalam sipnasis meningkat sehingga
menimbulkan stimulasi reseptor possinap yang persisten.
Asetilkholin terdapat di seluruh sistem saraf, terutama sekali asetilkholin berperan
penting pada sistem saraf autonom. Senyawa ini berperan sebagai neurotransmiter
pada ganglia sistem saraf simpatik dan parasimpatik, yang mana senyawa ini berikatan
dengan reseptor nikotinik. Inhibisi kholinesterase pada ganglia sistem saraf simpatik
dapat menimbulkan midriasis, takikardi, dan hipertensi. Sedangkan, penghambatan
kholinesterase pada ganglia sistem saraf parasimpatik menimbulkan efek miosis,
bradikardi, dan salivasi.
Asetilkholin juga merupakan neurotransmitter posganglionik pada saraf parasimpatik
yang secara langsung mempengaruhi jantung, bermacam-macam kelenjar, otot polos
bronchial.Tidak seperti reseptor pada ganglia, reseptor pada organ ini adalah reseptor
muskarinink.
C. Biotransformasi
Bioaktivasi senyawa ini terdiri dari desulfurisasi oksidasi yang sebagian besar terjadi di
hati tetapi tidak secara eksklusif. Metabolisme dilakukan oleh enzim Sitokrom P450
yang mendorong terbentuknya oxon atau oksigen yang analog dengan induk pestisida.
Berbagai macam enzim Sitokrom P450 terlibat dalam
aktivasiorganofosforotioat menjadi oxon-oxonnya dengan spesifitas substrat yang
berbeda. Sebagai contoh, diazinon diaktivasi oleh CYP2C19, sementara parathion
diaktivasi oleh CYP3A4/5 dan CYP2C8, dan Klorpyrifos diaktivasi oleh CYP2B6. Aktivasi
organofosfat tidak hanya melalui desulfurisasi oksidasi tetapi reaksi lain juga dapat
mengaktivasi senyawa ini. Sejalan dengan hal tersebut, insektisida organofosfat
mengalami oksidasi tioeter (pembentukan sulfoksida S=O, diikuti pembentukan sulfon
O=S=O) yang terjadi pada sebagian leaving group yang juga dikatalis oleh Sitokrom
P450. Sebagai contoh, pada kasus organofosfat disulfoton, sulfoksida dan sulfon lebih
poten sebagai inhibitor kolinesterase dibandung senyawa induknya. Pada
biotransformasi pestisida senyawa diubah menjadi metabolit yang lebih poten. Hal
tersebut berbeda dengan metabolisme senyawa lain yang bertujuan untuk deaktivasi
atau mengubah senyawa menjadi tidak toksik.
D. Penatalaksanaan Keracunan
Untuk mengatasi keracunan karena toksikan, tindakan yang perlu dilakukan adalah
stabilisasi pasien, dekontaminasi, dan pemberian antidotum.
1. Stabilisasi Pasien
Pemeriksaan saluran nafas, pernafasan, dan sirkulasi merupakan evaluasi
primer yang harus dilakukan serta diikuti evaluasi terhadap tanda dan symptom
toksisitas kolinergik yang dialami pasien. Dukungan terhadap saluran
pernafasan dan intubasi endotrakeal harus dipertimbangkan bagi pasien yang
mengalami perubahan status mental dan kelemahan neuromuskular sejak
antidotum tidak memberikan efek. Pasien harus menerima pengobatan secara
intravena dan monitoring jantung. Hipotensi yang terjadi harus diberikan
normal salin secara intravena dan oksigen harus diberikan untuk mengatasi
hipoksia. Terapi suportif ini harus diberikan secara paralel dengan pemberian
antidotum.



2.Dekontaminasi

Dekontaminasi harus segera dilakukan pada pasien yang mengalami keracunan.
Baju pasien harus segera dilepas dan badan pasien harrus segera dibersihkan
dengan sabun. Proses pembersihan ini harus dilakukan pada ruangan yang
mempunyai ventilasi yang baik untuk menghindari kontaminasi skunder dari
udara.
Pelepasan pakaian dan dekontaminasi dermal mampu mengurangi toksikan yang
terpapar secara inhalasi atau dermal, namun tidak bisa digunakan untuk
dekontaminasi toksikan yang masuk dalam saluran pencernaan. Dekontaminasi
pada saluran cerna harus dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Dekontaminasi
saluran cerna dapat melalui pengosongan orogastrik atau nasogastrik, jika
toksikan diharapkan masih berada di lambung. Pengosongan lambung kurang
efektif jika organofosfat dalam bentuk cairan karena absorbsinya yang cepat
dan bagi pasien yang mengalami muntah.
Arang aktif 1g/kg BB harus diberikan secara rutin untuk menyerap toksikan
yang masih tersisa di saluran cerna. Arang aktif harus diberikan setelah pasien
mengalami pengosongan lambung. Muntah yang dialami pasien perlu dikontrol
untuk menghindari aspirasi arang aktif karena dapat berhubungan dengan
pneumonitis dan gangguan paru kronik.

3. Pemberian Antidotum

a) Agen Antimuskarinik
Agen antimuskarinik seperti atropine, ipratopium, glikopirolat, dan skopolamin
biasa digunakan mengobati efek muskarinik karena keracunan organofosfat.
Salah satu yang sering digunakan adalah Atropin karena memiliki riwayat
penggunaan paling luas. Atropin melawan tiga efek yang ditimbulkan karena
keracunan organofosfat pada reseptor muskarinik, yaitu bradikardi,
bronkospasme, dan bronkorea.
Pada orang dewasa, dosis awalnya 1-2 mg yang digandakan setiap 2-3 menit
sampai teratropinisasi. Untuk anak-anak dosis awalnya 0,02mg yang digandakan
setiap 2-3 menit sampai teratropinisasi. Tidak ada kontraindikasi penanganan
keracunan organofosfat dengan Atropin.
b)Oxime
Oxime adalah salah satu agen farmakologi yang biasa digunakan untuk melawan
efek neuromuskular pada keracunan organofosfat. Terapi ini diperlukan karena
Atropine tidak berpengaruh pada efek nikotinik yang ditimbulkan oleh
organofosfat. Oxime dapat mereaktivasi enzim kholinesterase dengan
membuang fosforil organofosfat dari sisi aktif enzim.
Pralidoxime adalah satu-satunya oxime yang tersedia. Pada regimen dosis tinggi
(2 g iv load diikuti 1g/jam selam 48 jam), Pralidoxime dapat mengurangi
penggunaan Atropine total dan mengurangi jumlah penggunaan ventilator.
Dosis yang direkomendasikan WHO, minimal 30mg/kg iv bolus diikuti
>8mg/kg/jam dengan infus.
Efek samping yang dapat ditimbulkan karena pemakaian Pralidoxime
meliputi dizziness, pandangan kabur, pusing, drowsiness, nausea, takikardi,
peningkatan tekanan darah, hiperventilasi, penurunan fungsi renal, dan nyeri
pada tempat injeksi. Efek samping tersebut jarang terjadi dan tidak ada
kontraindikasi pada penggunaan Pralidoxime sebagai antidotum keracunan
organofosfat.

E. Kesimpulan

Organofosfat dapat menimbulkan keracunan karena dapat menghambat enzim
kholinesterase. Manajemen terapinya meliputi stabilisasi pasien,
dekontaminasi, dan pemberian antidotum. Antidotum yang digunakan adalah
Atropin dan Pralidoxime



D. Gejala keracunan
Gejala keracunan organofosfat sangat bervariasi. Setiap gejala yang timbul
sangat bergantung pada adanya stimulasi asetilkholin persisten atau depresi
Arial Unicode MSyang diikuti oleh stimulasi saraf pusat maupun perifer. Gejala awal
seperti
salivasi, lakrimasi, urinasi dan diare (SLUD) terjadi pada keracunan
organofosfat secara akut karena terjadinya stimulasi reseptor muskarinik
sehingga kandungan asetil kholin dalam darah meningkat pada mata dan otot
polos.
Racun pestisida golongan organofosfat masuk kedalam tubuh melalui
pernafasan, tertelan melalui mulut maupun diserap oleh tubuh. Masuknya
pestisida golongan orgaofosfat segera diikuti oleh gejala-gejala khas yang
tidak terdapat pada gejala keracunan pestisida golongan lain. Gejala
keracunan pestisida yang muncul setelah enam jam dari paparan pestisida yang
terakhir, dipastikan bukan keracunan golongan organofasfat.
Gejala keracunan organofosfat akan berkembang selama pemaparan atau
12 jam kontak. Pestisida yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami
perubahan secara hidrolisa di dalam hati dan jaringan-jaringan lain. Hasil dari
perubahan/pembentukan ini mempunyai toksisitas rendah dan akan keluar
melalui urine.
Adapun gejala keracunan pestisida golongan organofosfat adalah :
1. Gejala awal
Gejala awal akan timbul : mual/rasa penuh di perut, muntah, rasa lemas,
sakit kepala dan gangguan penglihatan.
2. Gejala Lanjutan
Gejala lanjutan yang ditimbulkan adalah keluar ludah yang berlebihan,
pengeluaran lendir dari hidung (terutama pada keracunan melalui
hidung), kejang usus dan diare, keringat berlebihan, air mata yang
berlebihan, kelemahan yang disertai sesak nafas, akhirnya kelumpuhan
otot rangka.
3. Gejala Sentral
Gelaja sentral yan ditimbulkan adalah, sukar bicara, kebingungan,
hilangnya reflek, kejang dan koma.
4. Kematian
Apabila tidak segera di beri pertolongan berakibat kematian dikarenakan
kelumpuhan otot pernafasan.
Gejala-gejala tersebut akan muncul kurang dari 6 jam, bila lebih dari itu
maka dipastikan penyebabnya bukan golongan Organofosfat.

Anda mungkin juga menyukai