Anda di halaman 1dari 9

Nama : Hanny Halidjah Deranti

Kelas : 6ID
Nim : 062030801796
Mata Kuliah : Etika Profesi
ORGANISASI PROFESI
Jurnal 1

IMPLEMENTASI KODE ETIK PUSTAKAWAN BERDASARKAN STANDAR IPI BAGI


PROFESI PUSTAKAWAN DI PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
IMAM BONJOL PADANG

Kode etik pustakawan adalah normaatau aturan yang harus dipatuhi pustakawan untuk
menjaga kehormatan, martabat, citra dan profesionalisme. Kode etik pustakawan adalah
normaatau aturan yang harus dipatuhi pustakawan untuk menjaga kehormatan, martabat, citra
dan profesionalisme. Di Perpustakaan UIN Imam Bonjol apabila dalam melayani
pemustaka akan dihadapkan langsung ke bagian sirkulasi yang merupakan pelayanan utama bagi
perpustakaan karena disana pemustaka pertama kali bertemu dengan pustakawan.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pertama, masih ada beberapa kode etik yang
belum terlaksana dengan baik, Kedua, apabila pemustaka berkunjung keperpustakaan,
pustakawan tidak sama sekali menanyakan ke pemustaka tujuannya datang ke perpustakaan.
Ketiga, total koleksi buku teks yang ada di perpustakaan UIN Imam bonjol yaitu 58.724
eksemplar yang terdiri dari 19.795 judul. Keempat, masih ditemukan perbedaan status buku
dalam database dengan di rak buku dimana pustakawan tidak memantau kondisi di rak atau
tidak melakukan selving (penataan buku di rak).

Hasil dan Pembahasan

1. Implementasi Kode Etik Pustakawan berdasarkan Standar IPI bagi Profesi


Pustakawan di Perpustakaan UIN Imam Bonjol Padang
• Sikap dasar pustakawan
• Hubungan pustakawan dengan pemustaka
• Hubungan pustakawan antar pustakawan
• Hubungan pustakawan dengan perpustakaan
• Hubungan pustakawan dengan masyarakat

Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan tersebut maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut: Pertama,sikap dasar pustakawan sudah dilakukan dengan baik
dimana dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan pustakawan telah memberikan kebutuhan
pemustaka dan bertanggung jawab dengan pekerjaan yang dikerjakan dimana pustakawan
telah bekerja sesuai dengan aturan yang berlaku di perpustakaan tersebut. Kedua, pustakawan
telah memenuhi hubungan pustakawan dengan pemustaka dengan baik berdasarkan kode
etik berdasarkan standar IPI dimana pustakawan melindungi hak privasi pemustaka dan juga
memberikan kebutuhan informasi kepada pemustaka dengan baik. Ketiga, pustakawan telah
melaksanakan hubungan pustakawan antar pustakawan dengan baik dimana pustakawan
melakukan kegiatan sharing dengan pustakawan lain untuk meningkatkan kompetensi
dan kinerja dalam perpustakaan. Keempat, hubungan pustakawan dengan perpustakaanbelum
terlaksana dengan baik dimana pustakawan masih jarang ikut aktif dalam rumusan kebijakan di
perpustakaan tersebut. Kelima, hubungan pustakawan dengan organisasi profesi pustakawan telah
mengikuti organisasi profesi pustakawan seperti IPI namun belum sepenuhnya memberikan
kontribusi. Keenam,hubungan pustakawan dengan masyarakat belum dilakukan secara optimal
dimana pustakawan jarang melakukan kerja sama dengan masyarakat.

Sumber : View of IMPLEMENTASI KODE ETIK PUSTAKAWAN BERDASARKAN STANDAR IPI BAGI PROFESI
PUSTAKAWAN DI PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG
(adisampublisher.org)

Jurnal 2

Organisasi Profesi Jurnalis dan Kode Etik Jurnalistik

Jurnalis menghimpun diri dalam suatu organisasi profesi. Organisasi profesi jurnalis
merupakan organisasi pers. Hal ini dicantumkan dalam pasal 5 ayat 1 UU No. 40/1999,
“Organisasi pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers”. Salah satu
alasan jurnalis membentuk organisasi profesi seperti yang diungkapkan David Hill
(Hendratmoko, 1999:14) adalah organisasi wartawan/jurnalis digunakan untuk
memperjuangkan hak serta menyuarakan kepentingan wartawan baik dalam proses
negosiasi dengan pemerintah maupun pemilik modal.

Organisasi profesi jurnalis masih dibutuhkan karena organisasi profesilah yang memiliki
peranan mengeluarkan kode etik jurnalistik, berarti pembinaan etis personel jurnalis
diletakkan sebagian pada organisasi ini. Organisasi profesi ini akan menyediakan
kemungkinan-kemungkinan untuk mengembangkan kapasitas teknis profesional
anggotanya dan memantau peaksanaan kode etik jurnalistik anggotanya.

PERANAN ORGANISASI PROFESI JURNALIS DALAM PENEGAKAN KODE ETIK


JURNALISTIK

1. Membentuk majelis kode etik yang independen dan senantiasa mengawasi peksanaan kode
etik jurnalistik.
2. Secara rutin menyelenggarakan pelatihan teknis dan etis jurnalistik kepada anggotanya.
3. Ikut memperjuangkan hak-hak anggota dalam perusahaan tempat anggota tersebut
bekerja.
4. Organisasi profesi jurnalist perlu melakukan sosialisasi kegiatan sebagai upaya mereka
dalam menegakkan kode etik jurnalistik seperti kampanye wartawan anti amplop.

Sumber : https://ojs.uajy.ac.id/index.php/jik/article/view/234/323

Jurnal 3

STUDI DESKRIPTIF TENTANG SINERGITAS KEWENANGAN ANTARA BPJS


KESEHATAN DENGAN ORGANISASI PROFESI DALAM PENYEDIAAN LAYANAN
KESEHATAN DI KOTA SURABAYA

Pelayanan medis di Negara Indonesia sudah cukup berkembang dan masih dikembangkan
agar dapat lebih bermanfaat bagi seluruh masyarakat. Sebagai bagian yang penting dalam seluruh
sistem pelayanan kesehatan, pelayanan medis khususnya menjadi bidang kerja para dokter dibantu
para tenaga kerja paramedis. Seluruh perangkat pelayanan medis berkisar pada tugas dan peran
dokter dan sangat berhubungan dengan bagian lain dalam sistem pelayanan kesehatan, bahkan
dengan semua sektor pembangunan lain. Selain masalah pemerataan pelayanan medis bagi seluruh
rakyat yang menjadi perhatian utama pemerintah, Di banyak negara maju masalah pelayanan
medis ini telah menyebabkan berbagai dilema yang merugikan pasien dan masyarakat. Sektor
kesehatan bukanlah sistem atau perangkat yang berdiri sendiri. Ia sangat erat berkaitan dengan
kehidupan sosial, dan ekonomi suatu masyarakat.(Benyamin, 1989).
Dari berbagai aspek layanan kesehatan di Indonesia, saat ini telah kita ketahui usaha
pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat salah satunya dengan memberikan
program pelayanan kesehatan yaitu diterapkannya Sistem Jaminan Kesehatan Nasional oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang telah resmi beroperasi per 1 Januari 2014.
BPJS tidak diberlakukan untuk seluruh masyarakat Indonesia melainkan hanya untuk mereka yang
terdaftar sebagai peserta. Namun ternyata setelah adanya propgram BPJS banyak masalah yang
ditimbulkan, salah satu contohnya permasalahan tidak meratanya layanan BPJS Kesehatan di Kota
Surabaya. Seharusnya sasaran penerimaannya diutamakan untuk masyarakat yang kurang mampu.
Dari data kesejahteraan penduduk menyatakan masih terdapat masyarakat Surabaya yang kurang
mampu tidak terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan sekitar 1 juta jiwa dari jumlah keseluruhan
2,8juta jiwa, banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi salah satunya masalah akurasi data.
Banyaknya sekelompok orang yang memanfaatkan keadaan tersebut, seperti keadaan dulu dan
sekarang yang mereka alami sudah berbeda, awalnya dalam data tercatat sebagai orang yang
kurang mampu setelah beberapa tahun kemudian orang tersebut meningkat taraf hidupnyamenjadi
pengusaha ataupun orang yang dikatakan mampu dalam mencukupi kebutuhannya tetapi didalam
data tidak terjadi pembaharuan, dikarenakan lemahnya kerja tim pengawas atau petugas yang
bertanggung jawab sehingga masyarakat yang hidupnya benar-benar belum mencapai
kesejahteraan dalam memperoleh haknya masih belum terpenuhi.
Berdasarkan paparan latar belakang masalah, peneliti merumuskan permasalahan
penelitian yaitu: “Bagaimanakah Sinergitas Kewenangan antara BPJS Kesehatan dengan
Organisasai Profesi dalam Penyediaan layanan Kesehatan Masyarakat?”.

Hasil dan Pembahasan


Sinergitas yang diharapkan disini akan tercipta sebuah keadaan yang saling sinergi dalam
penyediaan layanan kesehatan di Kota Surabaya, termasuk diaplikasikan dalam sistem penyediaan
layanan kesehatan di kota Surabaya, maka diharapkan mampu memperbaiki manajemen kualitas
lembaga dalam penyediaan layanan kesehatan. Dalam pelaksanaan tersebut, terdapat faktor-faktor
yang harus dapat bersinergi dengan baik dan dioptimalkan fungsinya guna mencapai peningkatan
pengembangan penyediaan layanan kesehatan di Surabaya.
sistem Pelayanan Kesehatan Terpadu pada umumnya sudah menuju ke arah tersebut
setelah adanya lembaga asuransi pemerintahan yaitu BPJS Kesehatan untuk memadukan beberapa
unsur pelayanan kesehatan dan juga untuk mengcover biaya kesehatan yang semakin mahal, sistem
tersebut seharusnya bisa membantu masyarakat yang kurang mampu untuk sebuah pembiayaan
layanan kesehatan dengan asuransi kesehatan dan juga di harapkan bisa berjalan secara efisien dan
efektif dalam pengelolaan sebuah pelayanan kesehatan efisien dan efektif disini juga harus
memikirkan kepentingan bersama, agar tidak ada beberapa pihak yang merasa terbebani oleh
sebuah peraturan atau sistem yang tujuannya untuk memadukan pelayanan kesehatan khususnya
di Kota Surabaya.
Tentang sistem rujukan dokter, ada perbedaan sistem rujukan saat ini mempunyai pola
berjenjang berbeda dengan sistem dahulu, jika sakit, bisa bebas datang ke semua rumah sakit,
semua klinik atau semua dokter. Dengan adanya sistem rujukan saat ini untuk menekan biaya
layanan kesehatan agar berjalan dengan efisien dan efektif maka pola rujukan dibuat tiga
pengelompokan atau tingkatan yaitu fasket tingkat 1 atau faskes primer, yang kedua faskes tingkat
spesialistik dan yang ketiga faskes tingkat lanjutan.
Sinergitas Kewenangan antara BPJS Kesehatan dengan Organisasi Profesi dalam
penyediaan layanan kesehatan di Kota Surabaya masih kurang. Hal ini terletak pada belum
optimalnya koordinasi antar lembaga penyediaan layanan kesehatan, bentuk kerja sama dalam
pelaksanaan penyediaan layanan kesehatan dasar masih perlu adanya pembenahan dari segi
pemenuhan kebutuhan fasilitas kesehatan dalam memperbaiki Mutuuntuk memperbaiki Layanan
Kesehatan dan tentang pengembangan jejaring kerja sama antara BPJS Kesehatan dengan
Organisasi Profesi dan dari pihak organisasi profesi hanya sebatas pendamping bila dibutuhkan
untuk memberikan masukan (Feedback) kepada BPJS Kesehatan, sehingga berdampak juga pada
belum optimalnya komunikasi untuk merespon sebuah informasi karena masing-masing pihak
memiliki berbagai kepentingan dari sudut pandang yang berbeda-beda, Kewenangan mengatur
dalam penyediaan layanan kesehatan untuk saat ini hanyalah sebatas memberikan rekomendasi
atau catatan saja karena didalam penegakan hukum masih sebatas sosialisasi belum sampai
dilakukannya pemberian sanksi administratif. Kondisi demikian tentunya tidak efektif dalam
mewujudkan tujuan kesejahteraan sosial dalam Penyediaan Layanan Kesehatan di Kota Surabaya.

Sumber : http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmp339d9e032a2full.pdf
Jurnal 4

PENGETAHUAN DAN SIKAP PERAWAT TENTANG ORGANISASI PROFESI PPNIDI


RS JASA KARTINI KOTA TASIKMALAYA

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) lahir pada tanggal 17 Maret 1974.
Kebulatan tekad spirit yang sama dicetuskan oleh perintis perawat bahwa tenaga keperawatan
harus berada pada wadah /organisasi profesi perawat Indonesia. Organisasi-organisasi perawat
saat itu mengadakan pertemuan yang diantranya dihadiri oleh IPI, PPI dam PDKI dan
diantaranya yang hadir adalah Ojo Radiat, HB. Barnas dan Drs. Maskoed
Soerjasumantrisebagai pimpinan siding dan sepakat untuk melakukan fusi organisasi dan
menyatukan diri dalam satu wadah organisasi yang saat itu masih bernama Persatuan
Perawat Nasional. PPNI berkomitmen untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat dan
profesi keperawatan dengan menjalankan UU keperawatan yang telah di sahkan oleh DPR-RI.
Pada organisasi profesi selain perawat peran dan fungsi organisasi profesinya sudah
berjalan dan dapat manfaatkan oleh anggotanya, sebagai contoh organisasi profesi kedokteran.
Sedangkan organisasi profesi perawat sendiri masih banyak anggota PPNI yang belum
mengetahui peran, fungsi dan memanfaatkan organisasi PPNI itu sendiri untuk mendapatkan
legalisasi untuk praktek keperawatan, sehingga banyak anggota PPNI belum mendukung
organisasi PPNI itu sendiri, karena menganggap bahwa organisasi belum dapat
berbuat banyak bagi anggota.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran mengenai pengetahuan dan sikap
perawat tentang organisasi profesi PPNI di RS Jasa Kartini Kota Tasikmalaya.Tujuan
Khususa.Diidentifikasi pengetahuan perawat tentang organisasi profesi PPNI di RS Jasa
Kartini Kota Tasikmalaya.b.Diidentifikasi sikap perawat tentang organisasi profesi PPNI di RS
Jasa Kartini Kota Tasikmalaya.

Kesimpulan
Pengetahuan perawat tentang organisasi profesi PPNI di RS Jasa Kartini, pada
penelitian ini yang mempunyai pengtahuan baik terhadap organisasi profesi PPNI sebanyak
16 orang (22.9%), kemudian yang mempunyai pengtahuan cukup 27 orang (38.6%)
dan yang mempunyai pengetahuan kurang 27 orang (38.6%).Sikap perawat tentang
organisasi profesi PPNI di Rs Jasa Kartini, dalam penelitian yang telah dilakukan
di dapat yang mempunyai sikap positif terhadap organisasi profesi PPNI sebanyak 38
orang (54.3%), sedangkan yang mempunyai sikap negatif sebanyak 32 orang (45.75).Bagi
institusi pendidikan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muahammadiyah Tasikmalaya dengan
dilakukan penelitian ini di harapkan dapat menjadi masukan dan menambah informasi bagi
organisasi mahasiswa agar lebih aplikastif terhadap organisasi profesi perawat dan
menambah wawasan dalam Mata Ajar Keperawata Profesional. Penelitian ini diharapkan
dapat menjadikan bahan infromasi dan masukan bagi tenaga kesehatan khususnya
perawat untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap bagi organisasi profesi, kemudian untuk
kedepannya semua anggota profesi PPNI berperan aktif untuk mencari infromasi mengenai
organisasi profesi PPNI, guna untuk mendukung program kerja yang terdapat di organisasi
PPNI untuk meningkatkan dan memaksimalkan kinerja organisasi profesi PPNI untuk semua
anggota profesi perawatMemberikan infromasi dan masukan bagi kepengurusan organisasi
profesi khususnya yang ada di RS Jasa Kartini untuk evaluasi program-program kerja
dan sosialisasi organisasi, untuk memberikan pengetahuan dan meningkatkan partisipasi
perawat yang khususnya terdapat di RS Jasa Kartini Kota Tasikmalaya terhadap program
kerja organisasi profesi PPNI.Memberikan infromasi dan masukan bagi kepengurusan
organisasi untuk evaluasi program-program kerja organisasi yang menyeluruh untuk
meningkatkan pengetahuan dan sikap untuk pemanfaatan peran dan fungsi organisasi profesi
perawat.Dengan dilakukan penelitian ini biasa membantu peneliti selanjutnya untuk menjadikan
data dasar dalam penelitian selanjutnya, yang khususnya untuk penelitian yang berhubungan
dengan organisasi profesi PPNI.
Sumber : http://www.journal.umtas.ac.id/index.php/healtcare/article/view/378/232
Jurnal 5

ORGANISASI PROFESI GURU


(KAJIAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)

Organisasi profesi merupakan kumpulan masyarakat terpelajar dengan spesifikasi bidang


tertentu,yang secara sadar membentuk komunitas pengabdian sesuai bidang keilmuan (Muradi,
2016: 1-10). Lazimnya, hal ini didasarkan pada kesamaan visi dalam membangun peradaban dan
percepatan kemajuan bangsa melalui bidang keahlian (Hamid, 2017: 274-285).Seperti halnya guru
merupakan satu pekerjaan yang tak dapat dilakukan oleh sembarangan orang, agar seseorang dapat
diangkat menjadi seorang guru, ia harus memiliki kualifikasi ilmu tentang keguruan yang
diperoleh melalui pendidikan keguruan. Guru mempunyai organisasi profesi yang bernama
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). PGRI lahir pada tanggal 25 Nopember 1945,
organisasi ini pada mulanya adalah organisasi serikat kerja, tetapi dengan perkembangannya yang
pesat, maka pada akhirnya kongres XIII dijakarta pada tahun 1973 merubah sifat organisasi ini
dari serikat kerja menjadi organisasi profesi. Fungsi organisasi profesi keguruan ini ialah membina
guru dan martabat guru dengan segala aspeknya dalam kehidupan profesinya yang profesional
sepanjang masa (Habibi, et.al., 2019: 123-132). Pendidikan in-service training dapat memberikan
wawasan yang lebih jauh tentang seluk-beluk pekerjaan yang digeluti.

Organisasi-organisasi Profesi Keguruan :


1. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI)
2. Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)
3. Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI)
4. Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI)
Fungsi Organisasi Profesi Keguruan :
1. Fungsi Pemersatu
Yaitu dorongan yang menggerakkan para profesional untuk membentuk suatu organisasi
keprofesian. Motif tersebut begitu bervariasi, ada yang bersifat sosial, politik ekonomi,
kultural, dan falsafah tentang sistem nilai. Namun umumnya dilatarbelakangi oleh dua
motif, yaitu Motif intrinsic dan ekstrinsik. Secara Intrinsik, para profesional terdorong oleh
keinginannya mendapatkehidupan yang layak, sesuai dengan tugas profesi yang
diembannya. Bahkan mereka terdorong untuk menjalankan tugasnya sebaik mungkin.
Secara Ekstrinsik mereka terdorong oleh tuntutan masyarakat pengguna jasa suatu profesi
yang semakin hari semakin kompleks (Maimuna, 2022).
2. Fungsi Peningkatan Kemampuan Profesional
meningkatkan kemampuan professional pengemban profesi kependidikan ini. Fungsi ini
secara jelas tertuang dalam PP No. 38 tahun 1992, pasal 61 yang berbunyi: “Tenaga
kependidikan dapat membentuk ikatan profesi sebagai wadah untuk meningkatkan dan
mengembangkan karier, kemampuan, kewenangan profesional, martabat, dan
kesejahteraan tenaga kependidikan”. Bahkan dalam UUSPN tahun 1989, pasal 31; ayat 4
dinyatakan bahwa: “Tenaga kependidikan berkewajiban untuk berusaha mengembangkan
kemampuan profesionalnya sesuai dengan perkembangan tuntutan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta pembangunan bangsa” (Amon, et.al., 2021: 1-12).

Sumber : FIX_8. Medan_UMSU_Kurnia Febriani Harahap, dkk_39-44.pdf - Google Drive

Anda mungkin juga menyukai