Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG


( PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAPOR DAN SAKSI DALAM TPPU)

Mata kuliah : Tindak Pidana Khusus


Dosen Pengampu : Dr. Mahmud Mulyadi SH.,M.Hum

Disusun Oleh :
190200060 Rizki Aulia batubara

200200030 Echa Aqillah

200200038 Fadila Azhara Damanik

200200043 Feriza Shafa Nabila

200200198 Farhan Asyura

200200200 Gabriel Marcellino Saor Radero

200200202 Firman Artin

200200510 Alpin Nicolas Manurunng

200200516 Muhammad Hafiz Efdifa Harahap

200200519 Reyner sembiring

200200525 Anastasya Putri Adelia Nata

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan karunia, rahmat, dan
hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul “TINDAK
PENCUCIAN UANG” untuk memenuhi tugas Tindak Pidana Khusus. Tidak lupa kami
ucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Mahmud Mulyadi SH.,M.Hum selaku dosen
pengampu mata kuliah Tindak Pidana Khusus atas bimbingan yang diberikan.

Makalah ini disusun sebagai tugas kelompok mata kuliah Tindak Pidana Khusus. Kami
berusaha menyusun makalah ini dengan segala kemampuan, namun kami menyadari bahwa
makalah ini masih banyak yang memiliki kekurangan baik dari segi penyusunan maupun isi.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun kami akan terima dengan senang
hati demi perbaikan makalah selanjutnya.

Semoga makalah ini dapat memberikan informasi dan pengetahuan serta bermanfaat bagi para
pembacanya. Atas perhatian dan kesempatan yang diberikan untuk membuat makalah ini
kami ucapkan terima kasih.

1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................... 1
DAFTAR ISI ................................................................................................................. 2
BAB I : PENDAHULUAN… ........................................................................................ 3
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 3
B. Rumusan Masalah .................................................................................................... 3
C. Tujuan ...................................................................................................................... 5
BAB II : PEMBAHASAN................................................................................................ 5
A. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang ............................................................... 6
B. Perkembangan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia ....................................... 7
C. Unsur-unsur dalam Tindak Pidana Pencucian Uang ................................................... 8
D. Proses Pencucian Uang ............................................................................................. 14
E. Alat Bukti dan Pembuktian dalam Tindak Pidana Pencucian Uang ........................... 16
F. Regulasi terkait Perlindungan Hukum atas Pelapor Kasus TPPU di Indonesia .......... 18
BAB III : PENUTUP ...................................................................................................... 24
A. Kesimpulan .............................................................................................................. 24
B. Saran ........................................................................................................................ 24
Daftar Pustaka .................................................................................................................. 25

2
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Terdapat beberapa versi mengenai asal-usul penggunaan istilah “money laundering” atau
“pencucian uang”. Istilah “pencucian uang” pertama kali digunakan dalam surat kabar yang
berkaitan dengan skandal Watergate di Amerika Serikat yang melibatkan Presiden Richard
Nixon pada tahun 1973. Menurut Jeffrey Robinson, latar belakang mengenai istilah “pencucian
uang” digunakan karena proses yang digunakan menunjukkan bagaimana merubah uang yang
berkaitan dengan kejahatan atau diperoleh secara illegal atau kotor untuk kemudian diproses
sedemikian rupa hingga seolah-olah menjadi uang yang diperoleh secara legal atau bersih. Proses
perubahan uang tersebut biasanya dilakukan melalui kegiatan usaha, pembelian aset ,atau
pemindahan uang dari satu rekening ke rekening lain. Hal yang menarik dari latar belakang
Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) adalah, apabila di Indonesia kejahatan pencucian uang
ini erat dengan isu pemberantasan korupsi, maka asal mula kejahatan pencucian uang ini justru
erat dengan upaya pemberantasan narkotika, khususnya di Amerika Serikat. Pada saat itu kartel
narkoba umumnya mengalihkan uang perolehannya dalam bentuk aset, menginvestasikannya
dalam kegiatan usaha, atau mengatasnamakan kerabatnya atas kepemilikan aset tersebut. Hal ini
menyulitkan upaya perampasan aset tersebut yang diharapkan dapat menghentikan kegiatan
illegal yang mereka lakukan. Meski latar belakang yang terdokumentasi secara resmi mengenai
kelahiran rezim anti-money laundering adalah yang berkaitan dengan upaya pemberantasan
narkotika di Amerika, akan tetapi esensi dari modus pencucian uang sebenarnya juga sudah jauh
dilakukan oleh para bajak laut dalam hal memanfaatkan hasil rampasannya.
Dewasa ini tindak pidana pencucian uang meningkat dalam berbagai bidang, baik dari
segi intesitas maupun kecanggihannya. Berita media cetak maupun elektronik hampir tiap hari
menyampaikan terkait tindak pidana pencucian uang terutama yang dilakukan oleh pejabat baik
pusat maupun daerah dengan tindak pidana utamanya Korupsi .Walaupun banyak tindak pidana
yang lain seperti narkotika (drug), terorisme, trafficking women and children, arms trafficking
dan kejahatan yang lainnya, yang dalam Pasal 2 UU 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, ada 26 point kejahatan yang bisa dijerat tindak pidana pencucian uang. Dalam
perkembangannya, tindak pidana Pencucian Uang semakin kompleks, melintasi batas-batas
yurisdiksi, dan menggunakan modus yang semakin variatif, memanfaatkan lembaga di luar
sistem keuangan, bahkan telah merambah ke berbagai sektor. Dalam kaitan tindak pidana
pencucian uang yang semakin menggejala Muchtar Kusumaatmadja menandaskan, diperlukan
pengawasan yang ketat terhadap setiap transaksi yang mencurigakan. Instrumen hukum
perludipersiapkan untuk mengarahkan dan membimbing jalannya mekanismeperbankan nasional
agar fungsi dan peranan perbankan dapat terlaksana dengan tertib dan teratur. Praktik pencucian
uang selalu melibatkan pelayanan jasaperbankan sebagai media beredarnya uang. Bahkan dari
tahun ke tahun menunjukkan angka yang meningkat dengan modus operandi yang semakinrumit
dan canggih, sejalan dengan berkembangnya praktik e-banking yangdilakukan oleh lembaga
3
keuangan bank. Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan(PPATK).Dalam laporan
tahunan menyampaikan lembaga perbankan dimanfaatkan oleh sejumlah pihak
untukmembersihkan dana hasil kejahatan dengan cara menyembunyikan,menyamarkan atau
mengaburkan melalui kliring-kliring lembaga keuangan atauperbankan. Pemanfatan lembaga
perbankan tersebut sebenarnya bertujuan agar dana yang diperoleh dengan cara melawan hukum
tersebut seolah-olahmerupakan uang bersih dari hasil kegiatan legal, sehingga diperlukan
diperlukan penegak hukum baik penyidik maupun penunutut umum yang handal dan profesional
serta di dukung perangkat peraturan yang memadai sehingga tindak pidana pencucian uang
mudah dijerat dan dibuktikan.
Dalam era globalisasi dan kemajuan teknologi informasi, perbankan telah menjadi salah
satu sektor yang paling rentan terhadap tindak pidana pencucian uang. Para pelaku kejahatan
cenderung memanfaatkan kompleksitas sistem perbankan untuk menyamarkan asal-usul dana
yang diperoleh secara ilegal. Melalui serangkaian transaksi keuangan yang kompleks dan
mengelabui, mereka berusaha mengubah uang kotor menjadi aset yang sah dan legal.Tindak
pidana pencucian uang bidang perbankan memiliki dampak yang merugikan. Pertama, pencucian
uang mengganggu integritas dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. Ketika
masyarakat kehilangan keyakinan bahwa lembaga keuangan dapat menjaga integritasnya,
mereka cenderung kehilangan kepercayaan terhadap sistem perbankan secara keseluruhan. Selain
itu, pencucian uang juga berdampak pada stabilitas keuangan dan perekonomian suatu negara.
Dana yang dicuci biasanya diarahkan ke aktivitas ilegal seperti perdagangan narkoba, terorisme,
dan korupsi. Hal ini mengganggu pertumbuhan ekonomi, menciptakan ketidakstabilan, dan
menghambat pembangunan sosial.

Namun, upaya penegakan hukum terhadap tindak pencucian uang tidak akan berhasil
tanpa adanya peran penting dari pelapor dan saksi. Pelapor adalah individu atau entitas yang
melaporkan kegiatan yang dicurigai sebagai tindak pencucian uang kepada otoritas yang
berwenang. Sementara itu, saksi adalah individu yang memiliki informasi relevan tentang tindak
pencucian uang dan bersedia memberikan kesaksian di pengadilan. Perlindungan hukum terhadap
pelapor dan saksi dalam konteks tindak pencucian uang menjadi sangat penting. Mengingat sifat
rahasia dan sensitivitas informasi yang terkait dengan tindak pencucian uang, pelapor dan saksi
rentan menjadi target intimidasi, ancaman, atau tindakan balas dendam dari pihak yang terlibat
dalam kegiatan pencucian uang.

Untuk melindungi pelapor dan saksi, banyak negara telah mengimplementasikan


mekanisme dan perlindungan hukum yang khusus. Undang-undang perlindungan saksi dan
pelapor memberikan jaminan bahwa identitas mereka akan dirahasiakan, dan mereka akan
dilindungi dari ancaman atau tindakan balas dendam. Selain itu, perlindungan hukum juga
melibatkan langkah-langkah untuk memfasilitasi partisipasi pelapor dan saksi dalam proses
hukum dengan aman dan adil. Namun, kendati adanya perlindungan hukum yang tersedia, masih
terdapat tantangan dalam memberikan perlindungan yang efektif terhadap pelapor dan saksi
dalam kasus tindak pencucian uang. Beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas
4
perlindungan hukum termasuk kurangnya kesadaran masyarakat tentang hak-hak pelapor dan
saksi, intimidasi yang dilakukan oleh pihak terduga pelaku pencucian uang, dan kelemahan sistem
penegakan hukum dalam memberikan perlindungan yang memadai.

Dalam makalah ini, akan dikaji lebih lanjut mengenai perlindungan hukum terhadap
pelapor dan saksi dalam konteks tindak pencucian uang. Makalah ini akan membahas peran
penting pelapor dan saksi dalam memberantas tindak pencucian uang, tantangan yang dihadapi
dalam memberikan perlindungan yang efektif, serta langkah-langkah yang dapat diambil untuk
memperkuat perlindungan hukum bagi mereka. Diharapkan, makalah ini dapat memberikan
wawasan yang lebih dalam tentang pentingnya perlindungan hukum terhadap pelapor dan saksi
dalam memberantas tindak pencucian uang serta menjaga integritas sistem keuangan secara
keseluruhan

5
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang di maksud dengan tindak pidana pencucuian uang?


2. Bagaimana perkembangan tindak pidana pencucian uang?
3. Apa saja unsur unsut dalam tindak pidana pencucian uang?
4. Bagaimana proses pencucian uang?
5. Apa saja alat bukti dan pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan tindak pidana pencucian uang
2. Untuk mengetahui perkembangan tindak pidana pencucian uang
3. Untuk mengetahui unsur-unsur tindak pidana pencucian uang
4. Untuk mengetahui proses pencucian uang
5. Untuk mengetahui alat bukti dan pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang.

Money laundering dalam bahasa indonesia diterjemahkan sebagai “Pencucian Uang” atau
dikenal juga dengan istilah “Pemutihan Uang”. Dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 2002
tidak dapat memberikan definisi pencucian uang secara tegas. Dalam penjelasan Undang Undang
Nomor 15 Tahun 2002 menjelaskan bahwa pencucian uang adalah upaya guna menyembunyikan
ataupun menyamarkan asa usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebgaimana
yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002.

PengerianTindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1dan Pasal
3 undang-undang Nomor 8 Tahun 2010. Pasal 1 Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang
menyatakan bahwa “Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur
tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini”. Pasal 3 menjelaskan bahwa
tindak pidana pencucian uang merupakan seuatu kejahatan yang dilakukan oleh seseorang
maupun korporasi dengan sengaja menempatkan, mentransfer ,mengalihkan, membelanjakan,
membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk,
menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan itu, termasuk juga yang menerima
dan menguasainya. Secara sederhana, pencucian uang didefinisikan sebagai suatu upaya
perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau Harta Kekayaan
hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau Harta Kekayaan tersebut
tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal. Menurut Undang-Undang No. 8 tahun
2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, tindak pidana
pencucian uang dibedaakan atas 3 tindakan pidana, yaitu : 1. Tindak pidana pencucian uang
aktif, yaitu setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,
menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk,
menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang

7
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta
Kekayaan. (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010).

2. Tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap orang yang menerima atau
menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran,
atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut dianggap juga sama
dengan melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan
kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun
2010).

3. Dalam Pasal 4 UU RI No. 8 Tahun 2010, dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil
tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang
sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

B. PERKEMBANGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Perkembangan tindak pidana pencucian uang di Indonesia diawali dengan dikeluarkannya


Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dikeluarkannya
UU No. 15 tahun 2002 ini oleh pemerintah Indonesia pada dasarnya tidak terlepas dari desakan
dan ancaman sanksi yang dijatuhkan oleh masyarakat internasional. Berdasarkan putusan dari
Financial Action Task Force (FATF), suatu satuan tugas yang dibentuk oleh Negara-negara G-7
pada tahun 1998, Indonesia dinyatakan sebagai salah satu negara yang dikategorikan sebagai
Non-Cooperative Countries and Territories (NCTTs) Adapun ancaman sanksi yang diberikan
oleh FATF diantaranya adalah Bank-bank internasional akan memutuskan hubungan dengan
bank-bank Indonesia, Negara-negara lain akan menolak Letter of Credit (L/C) yang dikeluarkan
oleh Indonesia dan Lembaga-lembaga keuangan Indonesia akan dikenakan biaya tinggi (risk
premium) terhadap setiap transaksi yang dilakukan dengan lembaga-lembaga keuangan luar
negeri. Ancaman sanksi ini merupakan yang kedua kalinya bagi negara Indonesia.

8
Ancaman sanksi yang pertama diberikan pada tahun 2001 dimana dari hasil evaluasi terhadap
tingkat kepatuhan atas 40 rekomendasi FATF, Indonesia dimasukkan ke dalam daftar NCTTs.
Saat itu FATF menyoroti beberapa kelemahan pada negara Indonesia untuk mencegah da
memberantas tindak pidana pencucian uang, yakni tidak adanya undangundang yang menetapkan
money laundering sebagai tindak pidana; tidak adanya ketentuan Prinsip Mengenal Nasabah
(Know Your Customer) untuk lembaga keuangan non-bank, rendahnya kualitas SDM dalam
penanganan kejahatan pencucian uang, dukungan para ahli dan kurangnya kerjasama
internasional.

D. Unsur – Unsur Tindak Pidana Pencucian Uang


Berikut ini diuraikan rumusan unsur-unsur tindak pidana pencucian uang dalam Undang-undang
No. 8 Tahum 2010 :
Pasal 3 :

- setiap orang;
- menempatkan, mentrasfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, mengibahkan,
menitipkan, membawa keluar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau
surat berharga atau perbuatan lain atas Harta kekayaan;

- Diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tidak pidana sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 ayat (1);
- Dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan;
- dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan
denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepulu miliar rupiah).

Pasal 4
- Setiap orang;
- Menyembunyikan, atau menyamarkan asal, usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak,
atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan;

- Yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam pasal 2 ayat (1);
- Dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan
denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

9
Pasal 5 ayat (1)

- Setiap orang;

- Menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan,


penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan;

- Yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana pencucian uang
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1);

- Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 ( satu miliar rupiah)

Pasal 5 ayat (2)

- Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pihak pelapor yang
melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

Pasal 6 ayat (1)

- Dalam hal tindakpidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, Pasal 4, Pasal 5,
dilakukan oleh korporasi, dipidana dijatuhkan terhadap korporasi dan atau personel pengendali
korporasi.

Pasal 6 ayat (2)

- Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana pencucian uang:

a. dilakukan atau diperintahkan oleh personel pengendali korporasi;

b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi;

c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan

d. dilakukan dengan maksud member manfaat bagi korporasi

10
Pasal 7 ayat (1)

- Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda paling banyak
Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Pasal 7 ayat (2)

- Selain pidana denda sebagimana dimaksud pada ayat (1), terhadap korporasi juga dapat
dijatuhkan pidana tambahan berupa :

a. pengumuman putusan hakim;

b. pembukuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi;

c. pencabutan izin usaha;

d. pembubaran dan pelarangan korporasi;

e. perampasan asset korporasi untuk negara; dan

f. pengambilan korporasi oleh negara.

Pasal 8

- Dalam hal harta terpidana tidak cukup untuk membayar pidana denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, pidana denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling
lama 1 tahun 4 bulan.

Pasal 9 ayat (1)

- Dalam hal korporasi tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam pasal
7 ayat (1), pidana denda tersebut diganti dengan perampasan harta kekayaan milik korporasi atau
personel pengendali korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan.

11
Pasal 9 ayat (2)

- Dalam hal penjualan harta kekayaan milikkorporasi yang dirampas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap personel
pengendali korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar.

Pasal 10

- Setiap orang;

- Yang berad di dalam atau diluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

- Turut serta melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak
pidana pencucian uang;

- Dipidana dengan pidana yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.

Pasal 11 ayat (1)

- Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan setiap orang;

- Memperoleh dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut undang-
undang ini;

- Wajib merahasiakan dokumen atau keterangan keterangan tersebut, kecuali untuk memenuhi
kewajiban menurut undang-undang ini.

Pasal 11 ayat (2)

- Setiap orang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);

- Dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.

12
Pasal 11 ayat (3)

- Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pejabat atau pegawai
PPATK, penyidik, penuntut umum, dan hakim;

- Jika dilakukan dalam rangka memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;

Pasal 12 ayat (1)

- Direksi, komisaris, pengurus atau pegawai pihak pelapor dilarang untuk memberitahukan
kepada pengguna jasa atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara
apapun mengenai laporan transkasi keuangan mencurigakan yang sedang disusun atau telah
disampaikan kepada PPATK.

Pasal 12 ayat (2)

- Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk
pemberian informasi kepada lembaga pengawas dan pengatur.

Pasal 12 ayat (3)

- Pejabat atau pegawai PPATK atau lembaga pengawas dan pengatur dilarang memberitahukan
laporan transaksi keuangan mencurigakan yang akan atau telah dilaporkan kepada PPATK secara
langsung dengan cara apapun kepada pengguna jasa atau pihak lain.

Pasal 12 ayat (4)

- Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku dalam rangka
pemenuhan kewajiban menurut undang-undang.

13
Pasal 12 ayat (5)

- Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun dan pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah)

Pasal 13

- Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam pasal
12 ayat (5);

- Pidana denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun 4 bulan;

Pasal 14

- Setiap orang;

- Melakukan campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK sebagaimana
dimaksud dalam pasal 37 ayat (3);

- Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun denda paling banyak Rp. 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).

Pasal 15

- Pejabat atau pegawai PPATK yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal
37 ayat (4);

- Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak
Rp.500,000,000,00 (lima ratus juta rupiah).

13
Pasal 16

- Dalam hal pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim, yang
menangani perkara tindakpidana pencucian uang yang sedang diperiksa;

- Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) dan pasal 85 ayat (1);

- Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun.

E. PROSES PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)

Sekalipun terdapat berbagai macam modus operandi pencucian uang, namun pada dasarnya
pencucian uang dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap kegiatan yaitu (BPKP: 2007):

1. Tahap Penempatan (Placement stage)

Tahap ini adalah suatu upaya menempatkan uang hasil kejahatan ke dalam sistem keuangan
yang antara lain dilakukan melalui pemecahan sejumlah besar uang tunai menjadi jumlah kecil
yang tidak mencolok untuk ditempatkan dalam simpanan (rekening) bank, atau dipergunakan
untuk membeli sejumlah instrumen keuangan (cheques, money orders, etc) yang akan
ditagihkan dan selanjutnya didepositokan di rekening bank yang berada di lokasi lain. Dalam
tahapan ini uang hasil kejahatan adakalanya dipergunakan untuk membeli suatu aset/properti
yurisdiksi setempat atau luar negeri. Bentuk kegiatan ini antara lain: 1. Menempatkan dana pada
bank. Kadang-kadang kegiatan ini diikuti dengan pengajuan kredit/pembiayaan.

2. Menyetorkan uang pada Penyedia Jasa Keuangan (PJK) sebagai pembayaran kredit untuk
mengaburkan audit trail.

3. Menyeludupkan uang tunai dari suatu negara ke negara lain

4. Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah atau terkait dengan usaha yang sah berupa
kredit/pembiayaan, sehingga mengubah kas menjadi kredit/pembiayaan.

5. Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan pribadi, membelikan
hadiah yang nilainya mahal sebagai penghargaan/hadiah kepada pihak lain yang pembayarannya
dilakukan melalui PJK.

14
2. Tahap Penyebaran (Layering stage)

Setelah uang hasil kejahatan masuk dalam sistem keuangan, pencuci uang akan terlibat dalam
serentetan tindakan konversi atau pergerakan dana yang dimaksudkan untuk memisahkan atau
menjauhkan dari sumber dana. Dana tersebut mungkin disalurkan melalui pembelian dan
penjualan instrumen keuangan, atau pencuci uang dengan cara sederhana mengirimkan uang
tersebut melalui ”electronic funds/wire transfer” kepada sejumlah bank yang berada di belahan
dunia lain. Tindakan untuk menyebarkan hasil kejahatan kedalam negara yang tidak mempunyai
rezim anti money laundering, dalam beberapa hal mungkin dilakukan dengan menyamarkan
transfer melalui bank sebagai pembayaran pembelian barang atau jasa sehingga tindakan tersebut
seolah-olah nampak sebagai suatu tindakan hukum yang sah. Secara umum bentuk kegiatan ini
antara lain:

1. Transfer dana dari suatu bank ke bank lain dan atau antar wilayah/negara.

2. Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang sah

3. Memindahkan uang tunai lintas batas negara melalui jaringan kegiatan usaha yang sah
maupun shell company

3. Tahap Pengumpulan (Integration Stage)

Dalam tahapan ini merupakan upaya menggunakan harta hasil kejahatan yang tampak sah, baik
untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam kegiatan ekonomi yang sah misalnya dalam
bentuk pembelian real estate, aset-aset yang mewah, atau ditanamkan dalam kegiatan usaha yang
mengandung risiko. Dalam melakukan money laundering, pelaku tidak terlalu
mempertimbangkan hasil yang akan diperoleh, dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan,
karena tujuan utamanya adalah untuk menyamarkan atau menghilangkan asal usul uang sehingga
hasil akhirnya dapat dinikmati atau digunakan secara aman. Ketiga kegiatan tersebut di atas
dapat terjadi secara terpisah atau simultan, namun umumnya dilakukan secara tumpang tindih.

15
Demikian juga dengan modus operandinya dari waktu ke waktu semakin kompleks dengan
menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup rumit. Hal ini terjadi baik pada
tahap penempatan (placement),tahap penyebaran (layering), maupun tahap pengumpulan
(integration), sehingga penangananya pun menjadi semakit sulit dan membutuhkan peningkatan
kemampuan (capacity building) secara sistimatis dan berkesinambungan.

F. ALAT BUKTI DAN PEMBUKTIAN TPPU

Dapat dilihat di dalam Pasal 184 KUHAP alat bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli,
surat, petunjuk dan keterangan terdakwa, maka dokumen adalah salah satu alat bukti di dalam
Pasal 184 KUHAP yaitu surat, tetapi dalam Undang-undang tindak pidana pencucian uang,
dokumen diartikan lebih luas selain surat dapat juga petunjuk, melebihi dari surat dan petunjuk,
sehingga surat dan petunjuk dalam Pasal 184 KUHAP tidak dapat menampung alat bukti
sebagaimana dalam UU PPTPPU, sehingga nampak bahwa perkembangan informasi teknologi
telah maju pesat. Perumusan mengenai alat bukti dalam UU PPTPPU senada dengan Undang-
Undang Pemberantasan tindak pidana korupsi, letak perbedaan yang mendasar adalah bahwa
dalam UU PPTPPU telah mengatur informasi dan dokumen sebagai alat bukti, sedangkan dalam
Undang-Undang Pemberantasan tindak pidana korupsi kedua alat bukti tersebut hanya
merupakan perluasan dari sumber alat bukti petunjuk dalam KUHAP yang berupa keterangan
saksi, surat dan keterangan terdakwa. Dalam perkara TPPU dikenal adanya pembuktian terbalik,
yaitu terdakwa harus membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara itu bukan
berasal dari tindak pidana. Unsur yang harus dibuktikan oleh terdakwa, yaitu objek perkara yang
berupa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal dari tindak pidana. Untuk
unsur lainnya tetap harus dibuktikan oleh jaksa penuntut umum. Pasal 77 dan 78 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU mengatur tentang
pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik. Pada Pasal 77 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2010 mengatur bahwa untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan, terdakwa wajib
membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.

16
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, hakim memerintahkan
terdakwa agar membuktikan, bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal
atau terkait dengan tindak pidana asal yang disebut di Pasal 2 ayat (1). Dengan demikian,
kewajiban terdakwalah untuk membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara
TPPU bukan berasal dari tindak pidana asal, misalnya korupsi. Berdasarkan Pasal 75 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang, untuk memulai suatu penyidikan harus ada bukti permulaan. Terkait Tindak Pidana
Pencucian Uang dan tindak pidana asal, dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang
cukup, penyidik dapat menggabungkan dan memberitahukan kepada PPATK. Pemisahan
penyidikan tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian uang sangat bergantung pada
arah dominan alat bukti permulaan. Jika dominan alat bukti permulaan, kecenderungan
mengarah ke tindak pidana pencucian uang, maka penyidikan dapat dipisahkan. Namun, jika
sumir atau mengarah kepada tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana asal, maka harus
dilakukan penyidikan digabungkan sehingga dibuktikan secara bersamaan secara maksimal Di
antara terobosan hukum berkaitan dengan aspek pembuktian, yakni dengan adanya ketentuan
yang menyatakan bahwa untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
pengadilan terhadap TPPU, tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya (Pasal
69 UU PPTPPU). Ketentuan ini dapat diartikan bahwa TPPU merupakan kejahatan yang berdiri
sendiri, yang berlakunya tidak tergantung dari ketentuan tindak pidana lain. Menurut R. Wiyono
, yang dimaksudkan dengan “tidak wajib dibuktikan” adalah tidak wajib dibuktikan dengan
adanya putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu,
untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan TPPU, tidak
perlu ada putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap tindak
pidana asal. UU PPTPPU memberikan penjelasan unsur perbuatan pencucian uang sebagai:

a. “Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan,


menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan
mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ...” (Pasal 3);

17
b. “Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul, sumber, lokasi,
peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ...” (Pasal 4); c. “Setiap orang
yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan,
penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana ...” (Pasal 5). Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU PPTPPU, harta
kekayaan yang disembunyikan asal-usulnya dapat berasal dari hasil kejahatan korupsi,
penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migran, di
bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian, kepabeanan, cukai,
perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan,
penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di
bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan dan perikanan, atau tindak pidana lainnya yang
diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih. Selain unsur perbuatan, yang perlu
dibuktikan dalam TPPU sesuai dengan ketentuan Pasal 3,4,5 adalah unsur “setiap orang”, unsur
“diketahui” atau “patut diduganya” serta unsur “merupakan hasil tindak pidana.” Berdasarkan
hal tersebut, adanya suatu tindak pidana bukan merupakan unsur dari TPPU yang perlu
dibuktikan. Melengkapi pembuktian TPPU, terdapat ketentuan Pasal 77 UU PPTPPU yang
menyatakan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib
membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Pembuktian
terbalik tersebut dalam hal ini diperintahkan oleh hakim.

G. Regulasi Terkait Perlindungan Hukum Atas Pelapor Kasus Tindak Pidana Pencucian
Uang di Indonesia

Pencucian uang yang mana mengacu pada proses membuat uang yang diperoleh secara
ilegal atau "kotor" tampak sah atau "bersih". Proses ini melibatkan penyamaran asal usul dana
yang sebenarnya yang diperoleh melalui kegiatan ilegal, seperti perdagangan narkoba, korupsi,
penipuan, kejahatan terorganisir, atau tindakan kriminal lainnya.

18
Tujuan utama pencucian uang adalah untuk mengintegrasikan dana yang diperoleh secara
ilegal ke dalam ekonomi legal, sehingga sulit dilacak kembali ke sumber kriminalnya.

Pencucian uang pada hakikatnya menimbulkan risiko yang signifikan terhadap integritas
sistem keuangan, karena memfasilitasi integrasi dana ilegal, merusak transparansi, dan
memungkinkan para penjahat untuk mendapatkan keuntungan dari kegiatan ilegal mereka.
Pemerintah dan organisasi internasional telah menerapkan berbagai langkah dan peraturan untuk
memerangi pencucian uang, termasuk penetapan undang-undang anti pencucian uang, prosedur
uji tuntas nasabah yang lebih baik, dan pemantauan transaksi keuangan untuk mendeteksi
aktivitas yang mencurigakan.

Di Indonesia, pencucian uang merupakan tindak pidana yang serius, dan beberapa kasus
terkenal telah dilaporkan dan muncul ke permukaan. Berikut adalah beberapa contoh dari kasus
tindak pidana pencucian uang :

1. Kasus Bank Century (2008-2010): Kasus ini melibatkan penyalahgunaan dana dan pencucian
uang di PT Bank Century, salah satu bank terbesar di Indonesia pada saat itu. Bank ini
menghadapi krisis likuiditas, dan pemerintah menyuntikkan dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun
(sekitar $ 440 juta) untuk menyelamatkannya. Namun, investigasi mengungkapkan bahwa
sebagian besar dana tersebut telah digelapkan atau disalahgunakan. Kasus ini berujung pada
penangkapan dan penghukuman terhadap beberapa individu yang terlibat dalam kegiatan
pencucian uang.

2. Kasus Rumah Sakit Fatmawati (2011): Kasus ini melibatkan mantan direktur Rumah Sakit
Fatmawati, Dr. Bimanesh Sutarjo. Ia didakwa melakukan pencucian uang dan penggelapan dana
rumah sakit. Ditemukan bahwa ia telah mengumpulkan kekayaan yang signifikan melalui cara-
cara ilegal, termasuk menerima suap dari perusahaan farmasi dan menyelewengkan dana rumah
sakit. Sutarjo dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara.

3. Kasus Djoko Tjandra (2009-sekarang): Djoko Tjandra, seorang pengusaha dan buronan
Indonesia, terlibat dalam kasus pencucian uang kelas kakap. Dia dihukum karena korupsi dan
penggelapan pada tahun 2009 namun berhasil melarikan diri ke Papua Nugini.

19
Pada tahun 2020, ia ditangkap dan diekstradisi kembali ke Indonesia. Kasus ini melibatkan
tuduhan penyuapan, korupsi, dan pencucian uang yang melibatkan berbagai pejabat tinggi.

4. Kasus Bank Mandiri (2015): Bank Mandiri, salah satu bank BUMN terbesar di Indonesia,
terlibat dalam skandal pencucian uang pada tahun 2015. Ditemukan bahwa beberapa
karyawannya terlibat dalam kegiatan terlarang, termasuk memberikan pinjaman palsu dan
memfasilitasi operasi pencucian uang. Kasus ini berujung pada investigasi internal, pemecatan
beberapa karyawan, dan langkah-langkah yang lebih ketat untuk mencegah pencucian uang di
sektor perbankan.

5. Kasus Harun Masiku (2019): Harun Masiku, seorang anggota DPR RI, terlibat dalam kasus
pencucian uang pada tahun 2019. Ia dituduh menerima suap dan terlibat dalam transaksi
keuangan ilegal. Kasus ini melibatkan jutaan dolar dana ilegal, dan Masiku kemudian ditangkap
dan menghadapi dakwaan terkait korupsi dan pencucian uang.

Contoh-contoh ini menyoroti upaya pemerintah untuk memerangi pencucian uang di


Indonesia dan mengadili individu-individu yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Pencucian uang
masih menjadi perhatian penting, dan pihak berwenang terus berupaya memperkuat langkah-
langkah anti-pencucian uang untuk menjaga integritas sistem keuangan.

Kasus tindak pidana pencucian uang kian marak terjadi di Indonesia dan tentunya hal ini
mengundang perhatian bagi kalangan publik. Kasus ini nyatanya banyak dilaporkan oleh para
pelapor yang merasa bahwa para pelaku praktik money laundry ini telah menyalahi aturan
hukum yang berlaku. Tentu saja para pelapor ini kerap kali mendapatkan ancaman dari berbagai
sisi. Namun sejatinya, konstitusi di Indonesia sebenarnya telah mengatur atas perlindungan
hukum bagi para pelapor tindak pidana pencucian uang tersebut, yang mana hal ini tertuang di
dalam PP No. 57/2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor Dan Saksi Tindak
Pidana Pencucian Uang (sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang No. 15/2002,
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang (UU TPPU).

20
PP No. 57 Tahun 2003 mendefinisikan perlindungan khusus sebagai suatu bentuk
perlindungan yang diberikan oleh negara untuk memberikan jaminan rasa aman terhadap pelapor
atau saksi dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau harta termasuk
keluarganya.

Khusus dalam penyidikan dan persidangan, bentuk perlindungan khusus adalah dengan
memungkinkan pelapor atau saksi memberikan keterangan tanpa harus bertatap muka dengan
pelaku pencucian uang. Bahkan perlndungan semacam ini bukan hanya diberikan sewaktu
penyidikan dan persidangan. Pasal 5 huruf c menggunakan kalimat "untuk setiap tingkat
pemeriksaan perkara.". Dengan kata lain, perlindungan itu diberikan "baik sebelum, selama
maupun sesudah proses pemeriksaan perkara".

PP No. 57/2003 juga memberi waktu bagi kepolisian untuk memutuskan bentuk
perlindungan apa yang akan diberikan kepada saksi. Dalam jangka waktu paling lambat 1 X 24
jam sejak laporan diterima atau seseorang ditetapkan sebagai saksi, polisi harus melakukan
klarifikasi atas kebenaran laporan dan identifikasi bentuk perlindungan yang diperlukan. Lalu,
bentuk perlindungan yang telah diputus tadi diberitahukan secara tertulis kepada pelapor atau
saksi paling lambat dalam jangka waktu 1 X 24 jam sebelum pelaksanaan perlindungan.

Berdasarkan amanat pasal 40 ayat (2) dan pasal 42 ayat (2) UU TPPU, memang harus
dibuat ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan pelapor dan saksi dalam bentuk PP.
Meskipun perintah itu termuat dalam pasal terpisah, Pemerintah tampaknya lebih memilih
menggabungkannya ke dalam satu PP. Yaitu, PP No. 57/2003 tentang Tata Cara Perlindungan
Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang.

Disamping mengeluarkan PP No. 57, Presiden juga mengeluarkan dua keputusan, yaitu
Keppres No. 82/2003 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK), dan Keppres No. 83/2003 tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja PPATK. Kedua Keppres ini masing-masing merupakan amanat pasal 20 ayat (4) dan pasal
27 ayat (4) Undang-Undang No. 15/2002.

21
Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk melindungi pelapor dalam kasus
pencucian uang. Undang-undang utama yang mengatur upaya anti-pencucian uang di Indonesia
adalah UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang (dikenal sebagai UU TPPU). UU TPPU mengakui pentingnya melindungi pelapor yang
melaporkan kegiatan pencucian uang.

Di bawah UU TPPU, pelapor diberikan perlindungan jika mereka melaporkan pencucian


uang atau memberikan informasi yang terkait dengan pelanggaran pencucian uang. Undang-
undang ini mencakup ketentuan untuk melindungi identitas pelapor, menjaga kerahasiaan
laporan mereka, dan melindungi mereka dari pembalasan. Langkah-langkah khusus untuk
perlindungan pelapor diuraikan dalam Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2015 tentang
Pelaksanaan Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dalam Rangka Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Langkah-langkah perlindungan yang diberikan kepada pelapor dalam kasus pencucian uang
antara lain sebagai berikut:

1. Pelapor dapat melaporkan kegiatan pencucian uang secara anonim, tanpa mengungkapkan
identitasnya.

2. Identitas pelapor dan informasi yang diberikan dirahasiakan, kecuali jika diperlukan untuk
proses hukum.

3. Pemberlakuan perlindungan Hukum yang mana pelapor dilindungi dari tanggung jawab
perdata, pidana, atau administratif karena melaporkan pelanggaran pencucian uang dengan itikad
baik.

4. Adanya pelarangan kepada pemberi kerja atau orang lain untuk mengambil tindakan
pembalasan terhadap pelapor, seperti pemutusan hubungan kerja, penurunan pangkat, atau
pelecehan, karena membuat laporan.

22
5. Dalam beberapa kasus, pelapor mungkin memenuhi syarat untuk mendapatkan imbalan
finansial atau insentif karena memberikan informasi yang mengarah pada keberhasilan
penuntutan kasus pencucian uang. Kriteria spesifik dan jumlah imbalan dapat bervariasi.

Berdasarkan penjelasan di atas, walaupun secara teori Indonesia telah menetapkan


ketentuan hukum untuk melindungi pelapor, namun efektivitas langkah-langkah ini tetap
tergantung pada berbagai faktor, termasuk implementasi dan penegakan hukum dan peraturan
dengan kaitannya terhadap kasus tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

23
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perlindungan hukum terhadap pelapor dan saksi dalam tindak pidana pencucian uang
sudah diatur sebagaimana diatur dalam PP NO 57 Tahun 2003 sebagai bentuk perlindungan
khusus yang dibeerikan negara untuk memberikan rasa aman terhadap pelapor. Disamping
mengeluarkan PP no 57/2003, Presiden juga mengeluarkan dua keputusan, yaitu keppres
No.82/2003 dan 83/2003 tentang PPATK. Indonesia juga memberikan Undang Undang utama
yang mengatur upaya anti pencucian uang dimana undnag undang ini memberikan perlindungan
untuk melindungi identitas pelapor, menjaga kerahasian laporan mereka dan melindungi mereka
dari pembalasan oleh tersangka TPPU yaitu UU NO 8/2010. Dibawah UU TPPU ada juga
Peraturan Pemerintah NO 43 tahun 2015 tentang pelaksanaan pelaporan transaksi keuangan
mencurigakan dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Jadi
dengan adanya semua peraturan yang mengatur, diharapkan bahwa ketika ada pelapor maupun
saksi atas kejadian TPPU langsung melaporkan kepada pihak yang berwajib tanpa harus takut
karena perlindungan hukumnya telah diatur dalam banyak peraturan perundang undangan.
Dengan adanya perlindungan hukum bagi pelapor dan saksi dalam TPPU juga diharapkan makin
terbukanya kasus kasus TPPU yang belum masih tersembunyi sampai sekarang.

B. Saran
Kami berharap semoga makalah ini dapat menjadi salah satu bahan untukdapat menambah
pengetahuan dalam hal ini. Meskipun kami menginginkankesempurnaan dalam penyusunan
makalah ini tetapi kenyataannya masih banyakkekurangan yang perlu perbaiki. Hal ini
dikarenakan masih kurangnya pengetahuanyang kami miliki. Oleh karena itu kritik dan saran
yang membangun dari para pembaca sangat penulis harapkan untuk perbaikan ke depannya.

24
Daftar Pustaka

- Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP),Strategi Pemberantasan Korupsi


Nasional, Edisi maret 2000.
- Jeffresy Robinson, The Laundryman, Dikutip dalam Sutan Remy Sjahdeini, “Seluk Beluk
Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Pembiayaan Terorisme”, (Jakarta, Pustaka Utama
Grafiti, 2004)
- Paku Utama, Memahami Asset Recovery & Gatekeeper, (Jakarta: Indonesian Legal
Roundtable, 2013), hal. 23, sebagaimana mengutip dari Rodolfo Uribe, Changing
Paradigms on Money Laundering, The Observer News – second quarter 2003 Inter-
American Observatory on Drugs
- Adrian Sutedi, 2008, Hukum Perbankan : “Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, dan
Kepailitan”, Sinar Grafika, Jakarta
- Philip Darwin, 2012, Money Laundring,” Cara Memahami dengan Tepat dan Benar Soal
Pencucian Uang”, Penerbit Sinar Ilmu
- Ali, T. M. (2022). “PERLINDUNGAN PELAPOR DALAM PENEGAKAN HUKUM
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG”. Jurnal Meta Hukum, 1(3), 184-199.
- Banjarnahor, RGM (2021). “ANALISIS YURISDIKSI PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP SAKSI DAN PELAPOR DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
DI INDONESIA”. RECTUM JURNAL: Tinjauan Yuridis Peradilan Pidana , 3 (2), 373-
384.
- Dahlan, A., Usman, U., & Liyus, H. (2021). “Perbandingan Pengaturan Perlindungan
Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang”. PAMPAS: Journal of Criminal Law, 2(1), 1-16.
- https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/glosarium-hukum/1897-pencucian-uang
- Tindak Pidana Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) dalam Pandangan KUHP
dan Hukum Pidana Islam (file:///C:/Users/user/Downloads/5223-17541-1-PB%20(2).pdf
- Frans Hendra Winarta, “Tindak Pidana Pencucian Uang Merupakan Buah Simalakama”,
Artikel Dalam Komisi Hukum Nasional, 1 Desember 2005. Diakses di:
http://www.komisihukum.go.id

25

Anda mungkin juga menyukai