Identitas Queer Tokoh Aihara
Identitas Queer Tokoh Aihara
SKRIPSI
卒業論文
OLEH:
DALILAH INAS TSABITAH
NIM. 121211332010
SKRIPSI
卒業論文
OLEH:
DALILAH INAS TSABITAH
NIM. 121211332010
ii
SKRIPSI
卒業論文
OLEH:
DALILAH INAS TSABITAH
NIM. 121211332010
iii
SKRIPSI
卒業論文
ンガ大学人文学部日本研究学科における
学位を 得するための一つ条件
OLEH:
DALILAH INAS TSABITAH
NIM. 121211332010
ナス サビ
学生番号 一二一二一一 二〇一〇
iv
PERNYATAAN
1. Karya tulis ini adalah karya tulis saya asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik sarjana, baik di Universitas Airlangga maupun di
perguruan tinggi lain.
2. Karya tulis ini murni hasil gagasan, penelitian dan tulisan saya sendiri tanpa
bantuan pihak lain, kecuali arahan dosen pembimbing.
3. Karya tulis ini bukan karya jiplakan dan di dalamnya tidak terdapat karya atau
pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis
dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama
pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya, dan apabila di kemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh
karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di
perguruan tinggi ini.
LEMBAR PENGESAHAN
Judul skripsi : Identitas Queer Tokoh Aihara Yuzu dalam Budaya Populer
Jepang: Studi Kasus Yuri Manga “Citrus” Karya Saburouta
主人公 藍原柚子 のク ン におけ
る日本大衆文化サブロウ の CITRUS 百合漫画のケ
スス
Nama : Dalilah Inas Tsabitah
NIM : 121211332010
Departemen : Studi Kejepangan
Telah disetujui untuk diajukan pada tanggal 26 bulan Juni tahun 2018
oleh:
Pembimbing Skripsi
Dan telah berhasil dipertahankan pada tanggal 5 bulan Juli tahun 2018
di hadapan penguji :
Ketua Penguji I
Penguji 2 Penguji 3
Mengetahui,
Ketua Departemen
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya
peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Identitas Queer dalam Budaya
Populer Jepang: Studi Kasus Yuri Manga “Citrus” Karya Saburouta”. Skripsi ini
kasih kepada:
dan menyelami kehidupan orang Jepang selama kurun periode 2014-2015, dan
3. Parwati Hadi Noorsanti-Sensei, selaku dosen wali. Sensei, terima kasih banyak
untuk masih percaya pada kemampuan saya dan kesabarannya mendukung saya
4. Putri Elsy S.S, M.Si yang dengan sabar telah membimbing proses dan sistematika
vii
5. Ibu tercinta yang sudah saya repotkan selama beberapa tahun sebagai mahasiswa
yang tidak segera lulus-lulus, maaf ya, Ma. Terima kasih sudah sabar menghadapi
6. Untuk Anja Wüst sahabat Jermanku sejak 2012. Terima kasih atas suka duka,
support, Milka, sedih dan senang yang dialami bersama beberapa tahun ini, let’s
7. Discord SL Family. The only social interaction I had during thesis writing for the
past few months. Thanks for existing and introducing me to Overwatch fandom
experience,
8. Mr. M.R. Hey you, we only have known each other for short period amount of
time. But you‟re always there for me as if you‟ve been there for years. Thank you
for always being my shelter, my trash bin, and my safe haven. I love you, your
9. Diendi, Ganjar, Shika, dan Tami. Dear Gangsters makasih ya rek sudah
viii
DAFTAR ISI
Sampul Depan…………………………………………………………………………i
Sampul Dalam………………………………………………………………………...ii
Prasyarat Gelar……………………………………………………………………….iv
PERNYATAAN……………………………………………………………………....v
Pengesahan Dewan Penguji Skripsi ..………………………………………………..vi
KATA PENGANTAR……………………………………………………………….vii
DAFTAR ISI...…………………………………………………………………….…ix
DAFTAR BAGAN DAN TABEL…………………………………………………...xi
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………...xii
ABSTRAK………………………..………………………………………………...xiii
ABSTRACT……………………………………………………….………………..xiv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………..…………………………………………………………..1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………….12
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………………………..12
1.4 Manfaat Penelitian………………………………………………………………12
1.5 Tinjauan Pustaka………………………………………………………………...13
1.6 Landasan Teori
1.6.1 Teori Queer…………………………………………………………………..16
1.6.2 Cass Identity Model………………………………………………………….20
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Metode Pengumpulan Data…………………………………………………..23
1.7.2 Metode Analisis Data………………………………………………...……...24
1.8 Sistematika Penulisan……………………………………………………………25
BAB 2 QUEER DAN IDENTITAS QUEER DALAM MASYARAKAT DAN
BUDAYA POPULER JEPANG
2.1 Queer, Identitas Queer, dan Teori Queer………………………………………..26
2.2 Sekumai, Kehidupan Queer, dan Individu-Individu Queer dalam Budaya Populer
dan Masyarakat Jepang………………………………………………………………38
2.3 Yuri Manga: Queer dan Lesbianisme dalam Budaya Populer Jepang…...……...48
BAB 3 IDENTITAS QUEER TOKOH AIHARA YUZU DALAM YURI MANGA
CITRUS KARYA SABUROUTA
3.1 Tentang Manga Citrus
3.1.1 Data Tokoh-Tokoh Utama dan Pendukung Manga Citrus……………..……...52
3.1.2 Sinopsis Cerita Manga Citrus……………………………………………..…...54
3.2 Identitas Queer Dalam Manga Citrus
3.2.1 Identitas Gender dan Seksualitas Aihara Yuzu……………..………………....57
3.2.2 Krisis Identitas Seksual Aihara Yuzu…………...……………..……………....70
ix
BAB 4 SIMPULAN
4.1 Simpulan…………………………………………………………………………81
4.2 Saran……………………………………………………………………………..83
YOUYAKU………………………………………………………………………….84
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..…93
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Yuzu bertekad untuk mengakhiri masa lajangnya dengan mendapatkan
pacar lelaki …………………………………………………………..........................58
Gambar 3.2 Yuzu berdandan maksimal untuk menarik perhatian laki-laki di sekolah
barunya ……………………………………………………………………………...61
Gambar 3.3 Yuzu tertarik pada Pak Guru Amamiya yang terkenal dengan
ketampanannya...…………………………………………………………………….63
Gambar 3.4 Yuzu ingin ingin mendapatkan alamat email Amamiya…………..…..64
Gambar 3.5 Yuzu memergoki Amamiya dan Aihara Mei yang sedang berciuman di
belakang sekolah……………………………………………………………………..66
Gambar 3.6 Mei menyatakan ia tidak mempedulikan lagi identitasnya sebagai
perempuan …………………………………………………………………………...68
Gambar 3.7 Yuzu secara tidak sadar memandang dan mengagumi Mei secara fisik
dan seksual …………………………………………………………………………..71
Gambar 3.8 Yuzu tidak dapat tidur nyenyak karena berpikir keras mengenai sikap
dan tindakan Mei kepadanya ………………………………………………………..71
Gambar 3.9 Yuzu merasa jijik pada dirinya sendiri yang mempunyai ketertarikan
seksual terhadap Mei ………………………………………………………………..75
Gambar 3.10 Yuzu mengakui bahwa dirinya merasa menjadi aneh karena mengalami
ketertarikan seksual terhadap Mei...……………………..…………………………..77
Gambar 3.11 Yuzu bersimpati pada Mei dan mengatakan bahwa ia tidak sendiri
dalam merasakan “keanehan” pada identitas diri mereka …………………………..79
xii
ABSTRAK
xiii
ABSTRACT
xiv
BAB 1
PENDAHULUAN
Manusia tidak hanya merupakan makhluk sosial, namun juga makhluk seksual.
Seks bagi manusia merupakan hal yang signifikan sebagai sarana prokreasi demi
saja, namun juga sisi erotis, psikologis, emosional, sosial, dan spiritual (Bolin &
Whelehan, 2009). Oleh karena itu, seksualitas merupakan hal yang erat dalam
Topik mengenai seksualitas manusia tidak mungkin lepas dari isu-isu terkait
perilaku seksual, identitas seksual, dan permasalahan gender. Salah satu kajian terkait
yang hangat di masyarakat posmodern ini adalah kajian identitas queer. Queer adalah
sebutan secara umum untuk wacana seksualitas dan identitas gender yang diluar
1
Heteronormativitas adalah sebuah anggapan bahwa orang berjenis kelamin dan bergender biner (pria
dan wanita) adalah alamiah dan sebagaimana mestinya. Karena itu, pandangan ini menganggap
heteroseksualitas adalah satu-satunya orientasi seksual yang valid dan menjadi norma dalam
masyarakat. Sehingga, aktivitas seperti hubungan seksual sampai pernikahan hanya pantas dilakukan
oleh dua manusia yang berbeda jenis kelamin saja. Michael Warner, seorang kritikus sastra
mempopulerkan istilah ini pada tahun 1991 dalam karyanya “Introduction: Fear of a Queer Planet”,
yang merupakan salah satu dari karya-karya besar dalam kajian queer dan teori queer.
dominan narasi publik. Narasi-narasi publik ini dapat berupa opini, diskursus, sampai
yang dikonsumsi untuk masyarakat luas melalui media massa lewat produk-produk
seperti film, musik, novel pop, komik, dan lain-lain. Dari budaya populer pula opini
suatu individu terhadap topik-topik tertentu dapat dibentuk (McGaha, 2015). Maka
dari itu, budaya populer sangat efektif untuk menangkap gambaran pola pikir dan
terepresentasi dengan setara dan komprehensif. Jika ada pun, narasi-narasi identitas
queer ini seringkali dilihat dari kacamata lelaki heteroseksual (Mulvey, 1999). Hal ini
2
LGBT+ adalah akronim dari Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender. Tanda plus (+) di sini
melambangkan inklusivitas identitas-identitas seksual dan gender lain yang dianggap di luar
heteronormativitas. Istilah lain yang umum digunakan adalah LGBT tanpa tanda (+) secara singkatnya.
3
Patriarki adalah istilah untuk sebuah sistem masyarakat di mana ayah atau anak lelaki tertua adalah
kepala keluarga. Patriarki juga berarti sistem sosial di mana laki-laki memegang kekuasaan atau
kekuasaan laki-laki lebih besar dan dominan daripada perempuan. Kekuasaan di sini dapat berarti
dalam kepemimpinan politik, otoritas moral, keagamaan, hak istimewa sosial dan kontrol atas properti.
stereotipikasi individu-individu queer ini dalam sebuah definisi yang statis mengenai
identitas gender dan seksual. Sebagai contoh, lelaki non-heteroseksual dalam film-
film sering digambarkan sebagai orang yang flamboyan dalam berbicara dan selalu
Queer sendiri adalah sebuah fenomena identitas gender dan seksualitas yang
queer merupakan sebuah konsep di mana identitas gender dan seksual manusia
tidak terikat dengan jenis kelamin, ekspresi gender, identitas seksual, dan orientasi
seksual yang tunggal dan statis. Queer seperti dijelaskan oleh Eve Sedgwick dalam
satu sama lain, dengan jangka waktu yang berbeda-beda dan bervariasi dalam satu
individu dengan yang lain. Elemen-elemen tersebut dapat berupa aspek budaya, sosial,
ekonomi, dan sebagainya. Karena spektrum yang luas ini, individu-individu queer
tidak dapat jatuh dalam kategori identitas tertentu dan karena itulah konsep identitas
diskursus queer dan diversitas seksual, banyak ditemukan kasus bahwa individu-
pergolakan atau krisis identitas gender dan seksual saat beranjak remaja dan tumbuh
dewasa. Krisis identitas ini dapat terjadi karena berbagai macam hal dari internal
maupun eksternal. Penolakan diri, membohongi diri sendiri, sampai pada kasus
ekstremnya, bunuh diri karena tekanan sosial dalam masyarakat. Krisis identitas
sebagai bagian dari dinamika individu-individu queer telah dijadikan diskursus dan
bernama Vivienne Cass dalam Cass Identity Model pada tahun 1970-an. Cass Identity
Model telah banyak membantu menganalisis dan memberikan penjelasan lebih seluk-
beluk individu-individu queer dalam masyarakat. Faktanya, model ini merupakan alat
“normal” di antara banyaknya diskursus kontemporer era 70-an yang cenderung bias
Narasi identitas queer yang bermain di dinamika orientasi seksual dan identitas
gender sendiri bukan merupakan hal baru di kehidupan manusia. Sejak zaman Yunani
Hal ini dapat kita lihat dari biseksualitas dan interseksualitas Dewa Zeus dan
yang sering berganti jenis kelamin dan gender. Gopi Shankar Madurai, seorang
aktivis hak asasi manusia, dalam Konferensi Queer Nasional tahun 2013 mendukung
fakta ini dengan berpendapat bahwa “Masyarakat Hindu telah memahami individu-
individu seperti ini (queer) di masa lampau. Namun, saat ini kita melabelkan mereka
Senada dengan agama Hindu, narasi dan entitas queer ini sama sakralnya dalam
mitologi suku-suku pedalaman Amerika seperti Maya, Inca, Aztec, Inuit, dan
sebagainya. Hal ini didukung dengan dengan adanya artefak dewa Xochipilli yang
(saint) yang disebut two-spirits. Orang-orang dengan identitas gender ganda ini
berfungsi sebagai pendeta, shaman (dokter atau dukun), dan dianggap sebagai orang-
dianggap suci, bijaksana, dan dijadikan pemimpin upacara adat dalam kepercayaan
suku Bugis (Graham Davies, 2006). Suku Bugis mengenal lima gender yaitu
4
Biseksualitas dalam kisah dewa Zeus yang menikah dengan dewi Hera namun menjalin hubungan
dengan entitas lelaki muda Ganymede. Hermaphroditus adalah anak lelaki dewa Hermes dan dewi
Aphrodite yang mempunyai struktur anatomi tubuh perempuan. Hermaphroditus adalah dewa fertilitas
dan dualisme jenis kelamin manusia.
makkunrai (wanita), oroane (pria), calalai (tubuh wanita gender pria), calabai (tubuh
pria gender wanita), dan bissu (agender, androgini, maupun yang tidak beridentifikasi
Di Jepang sendiri, queer dan identitas queer sudah dikenal dan menjadi bagian
dari variasi kehidupan seksual manusia sejak zaman dahulu. Budaya Jepang yang
sebagian besar mengambil dari budaya Cina juga mengadaptasi narasi-narasi identitas
homoseksualitas (Xiaomingxiong, 2002). Hal ini dipengaruhi oleh konsep religi dan
pederasty (hubungan mentor-anak didik) antar lelaki. Dalam mitologi Jepang dan
sebuah kisah ketika dihibur oleh dewi bernama Ame no Uzume 6 dengan tarian
telanjangnya (Conner & Sparks, 1998). Selain itu, dalam fiksi Hikayat Genji (源氏物
語, Genji Monogatari) oleh Murasaki Shikibu yang ditulis pada abad ke-11, wacana
identitas queer terlihat ketika Genji memilih tidur dengan adik lelaki dari perempuan
yang disukainya dan menganggap laki-laki itu lebih mempesona dari perempuan
5
Amaterasu adalah entitas tertinggi dalam agama Shinto yang merupakan dewi primordial atas
matahari dan alam semesta.
6
Ame no Uzume adalah dewi fajar, kegembiraan, dan pesta pora. Dikenal sebagai personifikasi atas
sensualitas perempuan.
fenomena yang aneh maupun tabu sebelum pengaruh barat dan agama Kristen datang.
zaman feodal Jepang sampai pra-Restorasi. Hal ini disebut nanshoku (男色) yaitu
hubungan perjantanan atau semburit antar lelaki. Nanshoku banyak tercatat dan
tergambar pada seni rupa populer seperti ukiyo-e7 dan shunga8 pada zaman tersebut.
Nanshoku yang digambarkan antara lain: hubungan antara biarawan dan pembantu
pendeta muda (acolyte) di kuil-kuil dan biara-biara Shinto dan Buddha, hubungan
antar samurai senior dan prajurit muda, hubungan antar guru dan murid, dan
sebagainya.
begitu dianggap sebuah norma di masyarakat. Walaupun begitu, dalam seni rupa
seperti karya milik pelukis zaman Edo, Hokusai Katsushika yang berjudul “Entangled”
di tahun 1814 dalam seri Kinoe no Komatsu (Pucuk Pinus Muda). Karya-karya ini
本) atau buku bergambar adalah merupakan salah satu cikal bakal munculnya manga
di Jepang (Bouquillard & Marquet, 2007). Manga adalah salah satu budaya populer
7
Ukiyo-e adalah seni lukisan Jepang zaman Edo sekitar abad ke-17 sampai 19.
8
Shunga adalah ukiyo-e yang bernuansa erotis dan cenderung eksplisit.
Jepang yang mendunia. Manga merupakan terminologi yang merujuk pada komik-
komik asal dan buatan Jepang. Seperti halnya dengan film dan novel, manga sebagai
produk budaya populer mempunyai varietas genre yang beragam. Genre manga
dibagi menjadi sub-genre berdasarkan demografi usia, jenis kelamin, dan konten
cerita maupun jenis gambar. Secara demografi usia dan jenis kelamin ada manga
mempunyai genre laga, fantasi, romansa, horor, dan sebagainya. Secara jenis gambar,
sub-genre manga dibagi lagi berdasarkan eksplisit tidaknya suatu gambar, terutama
merujuk kepada penggambaran aktivitas seksual, kekerasan, dan adegan penuh darah.
Contohnya manga ecchi (erotis non-eksplisit), hentai (erotis eksplisit), dan guro (dari
kata gore atau grotesque, dominan berisi adegan berdarah-darah dan kekerasan).
Kemudian ada pula manga dengan sub-genre terpisah berdasarkan konten yang
merupakan narasi-narasi queer seperti yaoi atau BL (boys love, romansa antar lelaki)
Manga yang akan dijadikan objek dalam penelitian ini adalah manga dengan
narasi queer bergenre yuri yang berjudul Citrus. Yuri (百合) adalah sebutan untuk
genre manga yang bertemakan romansa sesama jenis antar perempuan. Kata yuri
sendiri dari kanjinya bermakna bunga lili. Genre ini populer dikalangan audiens
wanita Jepang karena memang sarat dengan romansa dan gaya gambar yang
kebanyakan mengacu pada style shoujo manga. Istilah yuri sendiri sering digantikan
atau bahkan tercampur dengan shoujo ai (少女愛) yang secara literal berarti cinta di
antara para gadis. Tetapi terkadang kedua kata ini bisa menjadi dua genre yang
sedikit berbeda dengan yuri lebih menekankan pada seksualitas dan shoujo ai pada
Manga yuri Citrus ini merupakan sebuah karya komikus perempuan Jepang
dengan nama pena Saburouta. Citrus dirilis mulai akhir tahun 2012 dalam majalah
komik triwulan Comic Yuri Hime oleh penerbit Ichijinsa. Kemudian pada tahun 2013
setelah melalui empat bab cerita (chapter) yang telah diterbitkan oleh Comic Yuri
Hime, Citrus resmi dirilis dalam bentuk tankoubon9. Hingga saat ini pada tahun 2018
jumlah tankoubon yang telah naik cetak berjumlah delapan buah dan masih akan
bersambung. Manga ini menjadi salah satu konten terpopuler dalam majalah Comic
Yuri Hime berdasarkan sensus pembaca Comic Yuri Hime di tahun 2015.
drama dan siaran radio. Terlebih lagi, Citrus telah merambah ke produksi animasi
Citrus menceritakan tentang sang protagonis, Aihara Yuzu yang merupakan gadis
SMA metropolitan Jepang. Yuzu identik dengan stereotip gadis remaja heteroseksual
kota yang pandai bersolek, sangat gaul, lantang dalam beropini dan terbuka di
9
Tankoubon adalah istilah untuk menyebut satu jilid kumpulan karya yang naik cetak yang
sebelumnya pernah diterbitkan dalam majalah, dalam hal ini, majalah komik. Tankoubon dapat
berbentuk standalone (seri tunggal) atau jilid berseri dengan pernomoran pada setiap jilidnya sehingga
mudah diurutkan.
terlalu rigid dan kuno seperti peraturan tradisional sekolah Jepang yang
mempunyai pacar seperti JK10 pada umumnya. Walaupun dia mempunyai pacar laki-
Kemudian karena masalah keluarga, Yuzu terpaksa ikut pindah ke sebuah sekolah
khusus wanita yang tegas melarang murid-muridnya bersolek dan berdandan diluar
ketentuan sekolah. Di hari pertama masuk sekolah, karena rambutnya yang pirang,
bajunya yang berantakan, dan membawa ponsel, Yuzu dianggap melanggar peraturan
dan segera didisiplinkan oleh ketua komite siswa. Ketua komite berambut hitam ini
bernama Mei. Dia dikenal di sekolah sebagai siswa teladan yang sangat pintar, cantik,
dan anggun. Tanpa diduga, ketua komite ini merupakan anak dari suami kedua
ibunya, yang otomatis menjadi adik tirinya. Mei dan Yuzu pun tinggal serumah dan
hubungan keduanya pada awalnya renggang dan cenderung bermusuhan karena sifat
mereka yang saling bertolak belakang. Namun seiring berjalannya waktu, Yuzu pun
mulai merasakan ketertarikan secara romantik dan seksual kepada Mei dan Mei pun
merasakan hal yang sama. Dalam Citrus, keduanya bersama sedang mencari jati diri
dan memahami perasaan masing-masing apa itu cinta, nafsu, dan kasih sayang.
Kisah dalam Citrus sangat sarat dengan narasi queer. Tokoh utama Aihara Yuzu
mengalami pergolakan internal dan eksternal, secara eksplisit maupun implisit, akan
identitas gender dan seksual sebagai perempuan muda Jepang. Citrus dipilih menjadi
10
JK adalah akronim slang untuk joshi kousei (女子高生) yang artinya gadis sekolah menengah atas.
Mengapa? Karena melalui karya seorang perempuan kita dapat melihat gambaran
yang lebih akurat akan bagaimana gambaran pribadi, pengalaman, serta karakteristik
seorang perempuan yang terepresentasi dalam sebuah karya seni tanpa adanya
intervensi dari pandangan lawan jenis (laki-laki) (Mulvey, 1999: 16). Maka dari itu
yuri/shoujo ai yang ditulis oleh komikus laki-laki tidak dipilih untuk menghindari
Studi tentang narasi dan identitas queer perempuan Jepang dalam manga bergenre
yuri dan shoujo ai sendiri belum banyak dikaji secara komprehensif. Studi yang
cenderung telah banyak diteliti adalah genre yaoi dan shounen ai yang merupakan
romansa antar lelaki. Mark McLelland, seorang sosiolog, dalam bukunya Male
genre yaoi, genre yuri belum mempunyai banyak buku acuan serta penelitian-
penelitian yang terkait dengan seksualitas, identitas gender dan narasi queer dalam
budaya populer. Oleh karena itu penulis ingin meneliti mengenai identitas queer
perempuan dalam produk budaya populer Jepang, dalam hal ini melalui kajian media
yuri manga yang akan ditelaah dengan menggunakan teori queer dan Cass Identity
Model.
identitas queer dan krisis identitas seksual yang ditunjukkan oleh tokoh Aihara Yuzu
identitas queer dan krisis identitas seksual yang ditunjukkan oleh tokoh Aihara Yuzu
1. Manfaat Teoretis
manga bergenre yuri yang dianalisis menggunakan teori queer. Penelitian ini
2. Manfaat Praktis
populer, khususnya manga bergenre yuri atau shoujo ai. Pembaca dapat
mengetahui tentang keberadaan genre yuri manga secara umum. Penelitian ini
Peneliti akan menggunakan tiga tinjauan pustaka dalam penelitian ini. Satu dalam
bahasa Inggris dan dua dalam bahasa Jepang. Tinjauan pustaka pertama yaitu tesis
magister milik Kimberly. D. Thompson di tahun 2010 yang berjudul “Yuri Japanese
animasi Jepang bergenre yuri yang berjudul Kashimashi: Girl Meets Girl, Blue
anggapan umum tentang wanita heteroseksual maupun wanita dengan identitas queer.
tesis tersebut dapat digunakan sebagai tinjauan pustaka dalam penelitian ini. Hasil
penelitian Thompson menyatakan bahwa narasi genre yuri dalam anime sebagai
representasi identitas queer wanita Jepang tidak boleh dipandang sebelah mata.
Narasi identitas queer wanita Jepang yang digambarkan dalam genre yuri telah
adalah, semua ekspektasi, stereotipe, dan mitos-mitos umum akan identitas gender
beberapa anime yang telah disebutkan, secara implisit maupun eksplisit, akan betapa
menyeluruh dari segi sisi budaya populer Jepang, namun sayangnya, ia kurang
menyentuh sisi manga dan lebih menekankan pada produksi anime sehingga peneliti
Tinjuan pustaka kedua adalah milik Akaeda Kanako tahun 2008 yang berjudul
Kankei). Disertasi doktoral Universitas Kyoto Fakultas Sastra ini merupakan salah
satu pionir dalam penelitian mengenai kehidupan dan identitas queer wanita Jepang.
Akaeda membahas mengenai identitas queer wanita Jepang di era Meiji sampai
Taisho, sejarah munculnya subkultur lesbian dan budaya populer sapphic11 di Jepang,
pertemanan intim di kalangan murid sekolah, dan penerimaan mengenai cinta sesama
jenis antar wanita di kalangan wanita Jepang sendiri. Melalui bab kesimpulan dalam
dalam bentuk budaya populer maupun dalam masyarakat, bukanlah sebuah istilah
maupun konsep yang dikenal dalam era pra-perang Jepang. Namun, masyarakat
Jepang telah familiar dengan hubungan keintiman antar wanita. Walaupun saat ini
11
Sapphic adalah istilah untuk narasi women-loving-women atau percintaan antar wanita dan sesuatu
yang berbau lesbianisme. Sapphic meupakan kata Bahasa Inggris yang diadaptasi dari kata Sappho,
yaitu seorang pujangga wanita abad ke-7 dari kepulauan Lesbos di Yunani. Karya-karya Sappho
terkenal berkutat pada seksualitas wanita dan percintaan maupun hubungan intim antar wanita.
sendiri sangat berbeda secara konteks. Konteks yang dimaksud di sini adalah adanya
campur tangan aspek-aspek tertentu seperti budaya, ras, sampai filosofi konfusius.
Dari sinilah Akaeda menggunakan teori queer yang dicetuskan oleh Teresa de
gender dan seksualitas yang ditunjukkan oleh masyarakat Jepang maupun budaya
populer Jepang bukanlah hal-hal biner seperti “lesbian” dan “gay” semata, namun ada
Tenkai to Kadai) milik Sugiura Ikuko di tahun 2015. Dalam penelitian ini Sugiura
antar wanita dalam media tulisan baik berupa novel maupun manga dan
Jepang dari era tahun 1910 sampai dengan 1990. Sepanjang era tersebut, riset-riset
tentang seksualitas dan identitas gender wanita Jepang hanya dilihat dan terfokus
pada “birahi seksual” semata. Dari riset-riset tersebut, Sugiura menemukan fenomena
homoseksualitas pada wanita Jepang hanya dianggap sebagai birahi seksual yang
dikonstruksi secara asimetris di mana seksualitas itu sendiri tidak cocok dengan
menganalisis ulang politik identitas Jepang yang terjadi setelah era Taisho, yakni
pada tahun 1970-an. Sugiura memang tidak membahas melalui teori posmodern
wanita di Jepang masih merupakan hal yang tersembunyi karena kuatnya stereotipe
penelitian ini erat kaitannya dengan teori queer dan identitas queer itu sendiri.
kehidupan sosial hingga zaman posmodern ini. Hal ini disebabkan karena mayoritas
Planet (1991) sebagai kepercayaan atau anggapan bahwa manusia jatuh dalam
ketetapan gender yang biner sesuai dengan jenis kelamin saat lahir (pria dan wanita)
yang diikuti dengan peran gender yang menyertainya. Contoh konkritnya adalah
anggapan bahwa laki-laki harus kuat secara fisik dapat mencari nafkah untuk istri dan
anak dan wanita harus bertingkah lemah lembut dan dapat memasak untuk suami.
Phallosentrisme adalah kata yang dicetuskan oleh Ernest Jones, seorang sosiolog,
pada tahun 1927 saat mendebat teori Freudian yang dianggapnya sangat bersentral
bersentral dan dipengaruhi oleh kaum pria atau manusia yang memiliki phallus
sedangkan posisi wanita dan sisi femininitas sangat sedikit ataupun jika ada hanya
berfungsi tidak lain sebagai pelengkap dan dekorasi yang cenderung dieksploitasi
seksualitasnya untuk ditujukan kepada audiens yang memiliki phallus, dalam hal ini,
tokoh teori queer antara lain Judith Butler, Eve Kosofsky Sedgwick, Lee Edelman,
dan sebagainya, yang sebagian besar menganut tulisan-tulisan dari Michel Foucault
definisi seksual dan seksualitasnya yang berkaitan dengan norma sosial, ras, kelas
sosial, dan sebagainya. Teori ini juga bertujuan untuk menantang pemikiran-
pemikiran, konsep, dan diskursus akan sesuatu hal yang dikategorikan “normal”
dalam masyarakat. Teori ini tidak terdefinisikan secara rigid karena para pencetus
teori queer tidak dapat menyetujui akan sebuah definisi. Para teoris ini beranggapan
bahwa adanya definisi itu sendiri akan membuat fenomena queer akan terkotak-
kotakkan oleh sebuah definisi, yang pada dasarnya bertolak belakang dengan konsep
teori queer adalah sebuah produk yang terkonstruksi melalui sejarah dan sosial
Senada dengan hal di atas, pendekatan yang dilakukan oleh Judith Butler,
salah satu pencetus teori queer, tentang representasi gender dalam bukunya Gender
merupakan sebuah konstruksi sosial, di mana perilaku dan peran pria dan wanita di
masyarakat bukan merupakan hasil biologis, namun terkonstruksi dan tertanam oleh
media dan budaya dalam kurun waktu yang lama secara turun-temurun dan dari
kelamin biologis, struktur sosial berbasis seks, sampai dengan identitas gender (Udry,
1994: 561-573). Badan kesehatan dunia WHO dalam laman resminya (www.who.int)
dapat diubah, berubah-ubah, dinamis, dan bervariasi dari suatu masyarakat tertentu
dengan masyarakat lain. Karakteristik yang dimaksud adalah peran sosial, norma,
kesimpulan pada sebuah ide bahwa gender merupakan konstruksi sosial dan disebut
dengan „gender trouble’ atau permasalahan pada gender. Dari sini dapat ditarik
dan terfokus pada hubungan heteroseksual juga merupakan konstruksi sosial semata.
Lebih jauhnya, Butler mengelaborasikan bahwa seksualitas yang cair, romansa yang
gender dan seksual yang tidak sesuai dengan peran gendernya, merupakan hal yang
Sedikit berbeda dari Butler, tokoh teori queer lain Eve Sedgwick dalam
bukunya Tendencies (1993), lebih menekankan secara kritis kepada konsep queer itu
menyebabkannya tidak dapat berfungsi secara tunggal, utuh, dan tetap. Sedgwick
juga berargumen bahwa kultur dunia saat ini sangat tidak ramah terhadap konsep-
heteronormativitas.
queer karena manga Citrus bertemakan seksualitas yang secara tersurat dianggap
tidak memenuhi kaidah heteronormativitas. Hal itu dibuktikan dengan label genre
termasuk genre yuri yang merupakan romansa sesama jenis antar wanita. Terlebih
lagi, secara spesifik seperti yang telah disebutkan, manga ini terbit di era posmodern
Cass Identity Model diciptakan oleh seorang seksolog bernama Vivienne Cass
pada tahun 70-an dengan tujuan khusus untuk menganalisis perilaku sosial para gay
dan lesbian dalam menyelami dan menerima identitas gender dan seksualnya. Model
ini merupakan alat studi pertama yang bersifat netral pada era di mana teori-teori
analisisnya (Kaufman & Johnson, 2004: 807-833). Cass Identity Model adalah
sebuah konsep tahapan dan proses akan perkembangan psikologis dan sosial
identitas gender dan seksual. Tahapan-tahapan ini umumnya terjadi secara berurutan,
beberapa tahapan sebelumnya. Adapun proses tersebut dibagi menjadi enam tahap12
acceptance (penerimaan identitas), (5) identity pride (kebanggaan identitas), dan (6)
seseorang bertanya-tanya dan mengalami keraguan mengenai dirinya sendiri. Hal ini
12
Enam tahap dari Cass Identity Model mirip dengan lima tahap Kübler-Ross Model yang terkenal
dengan “lima tahap kesedihan” yaitu meliputi denial (penolakan), anger (kemarahan), bargaining
(penawaran), depression (depresi) dan acceptance (penerimaan). Cass Identity Model sedikit
banyaknya berbasis dari Kübler-Ross Model tersebut.
tahapan ini adalah banyaknya self-denial atau penolakan diri dan pembohongan diri-
sendiri.
langsung dengan orang-orang yang beridentitas LGBT+. Ciri utamanya adalah orang
ini sudah mulai menerima bahwa dirinya kemungkinan beridentifikasi serupa namun
masih ada sisa-sisa penolakan diri dari tahapan pertama seperti contohnya
mempunyai anggapan, “Ini hanya fase remaja/sementara” atau “Aku bukan seorang
homoseksual, ini hanya karena aku mencintai satu orang itu saja.”
orang tersebut mulai menyadari bahwa ia tidak sendiri dengan perasaan-perasaan dan
identitasnya yang di luar heteronormativitas tersebut. Pada tahap ini orang tersebut
biasanya mulai membangun koneksi dengan orang-orang LGBT+ dan mencari safe
identitasnya yang queer dan di luar heteronormativitas. Orang ini biasanya semakin
menjauh dari kalangan heteroseksual dalam lingkup yang heteronormatif dan lebih
Identity pride atau kebanggaan identitas adalah ketika orang tersebut mulai
berani untuk memberitahu masyarakat luas mengenai siapa dirinya. Dalam tahapan
inilah ketika seseorang yang beridentifikasi LGBT+ melakukan coming out, atau
dunia akan identitas mereka yang di luar heteronormativitas dan queer. Pada tahapan
ini biasanya mulai terbentuk mentalitas separatis dengan pemikiran “aku lawan
mereka” yang dalam hal ini adalah “orang-orang queer melawan orang-orang
mengakibatkan satu sisi menganggap diri mereka lebih superior atau inferior terhadap
Identity synthesis atau integrasi identitas merupakan tahap terakhir dari model
ini. Pada tahapan ini orang tersebut tidak hanya telah menerima identitas dirinya yang
queer, namun juga menganggap bahwa orientasi seksual bukanlah satu-satunya hal
yang mendefinisikan dirinya, tetapi hanyalah sebuah bagian dari identitas dirinya. Ia
tidak lagi memiliki mental separatis dan sudah menerima bahwa orientasi seksual dan
identitas apapun bukanlah hal yang spesial di mana hal tersebut adalah sama dan
setara.
Krisis identitas seksual, seperti yang dijelaskan oleh Vivienne Cass dalam
modulnya, lebih prominen dalam ketiga tahap pertama yakni fase kebingungan
identitas, fase perbandingan identitas, dan fase toleransi identitas. Dalam ketiga tahap
yang lain, seorang homoseksual sudah mengenali identitas seksualnya secara pribadi
Neuman dalam Sugiyono (2007: 32) menyatakan bahwa data dalam penelitian
kualitatif bersifat empiris. Maksudnya data tersebut terdiri dari dokumentasi ragam
peristiwa, rekaman setiap ucapan, kata, ekspresi, dan gestur-gestur, tingkah laku,
serta berbagai imaji visual yang ada dalam sebuah fenomena sosial. Karena peneliti
akan menggunakan data utama berupa manga, atau komik Jepang yang berbasis
dialog dan adegan-adegan, maka metode kualitatif merupakan metode yang cocok
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah studi pustaka.
Studi pustaka menurut Maryaeni (2005) adalah teknik pengumpulan data yang
dengan mengambil rujukan dari bahan-bahan seperti dokumen, teks bacaan, maupun
teks audio dan visual. Semua data dokumen dan teks ini diperoleh dari jurnal, artikel
internet, buku, skripsi, tesis, dan hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan
dan mengamati adegan-adegan, ekspresi, gestur, dan dialog dari tokoh utama Aihara
Yuzu dalam manga Citrus volume 1 sampai 6 tersebut. Setelah terkumpul, data-data
dan krisis identitas seksual dalam tiga tahap pertama dari Cass Identity Model dengan
dapat dikaji dan dibahas mengenai identitas queer dan krisis identitas seksual yang
Analisis data oleh Patton (dalam Moleong, 2012: 280) adalah merupakan
proses pengaturan urutan data, pengorganisasian dalam suatu pola, kategori, dan
satuan uraian dasar. Data yang telah dikumpulkan untuk penelitian ini akan diolah
dan dianalisis menggunakan teori queer. Sebagai tambahan dalam kasus krisis
identitas, peneliti akan menganalisis menggunakan tiga tahap pertama dari Cass
Identity Model yakni (1) identity confusion, (2) identity comparison, dan (3) identity
tolerance. Dalam skripsi ini, peneliti akan menganalisis identitas queer dan krisis
identitas seksual yang dialami tokoh Aihara Yuzu yang direpresentasikan dalam
Kata-kata, ekspresi, gestur, dialog, dan monolog yang telah ditranskripsi dan
diterjemahkan dalam data yang telah terkumpul akan diklasifikasi dengan elemen-
elemen identitas gender dan seksualitas yakni identitas gender dan orientasi seksual.
Dalam menganalisis orientasi seksual, perubahan identitas seksual yang terjadi pada
tokoh Aihara Yuzu merupakan sebuah krisis identitas seksual, maka dari itu Cass
b. Bab II, isi, menjelaskan lebih jauh tentang queer dan queer dalam budaya
populer di Jepang dan masyarakat Jepang serta sekilas mengenai genre yuri
tentang apa itu queer dan teori queer, queer dalam masyarakat Jepang, dan
queer dalam budaya populer Jepang di mana genre yuri termasuk di dalamnya.
c. Bab III, pembahasan, merupakan pokok isi penelitian. Lebih detailnya, bab ini
akan berisi tentang sinopsis, pengenalan tokoh utama dan beberapa tokoh
pendukung, serta hasil analisis identitas queer dan krisis identitas seksual
tokoh Aihara Yuzu dalam yuri manga Citrus dengan menggunakan landasan
d. Bab IV, kesimpulan, berisi tentang kesimpulan hasil analisis identitas queer
dan krisis identitas seksual dalam yuri manga Citrus serta saran untuk
penelitian selanjutnya.
BAB 2
POPULER JEPANG
Kata queer merupakan kata dari Bahasa Inggris abad ke-16. Queer
mempunyai banyak makna dan definisi berdasarkan konteks dan penggunaan kata
Queer juga merupakan kata sifat umum berkonotasi negatif bermakna eccentric
(nyentrik) dan unconventional (tidak biasa) atau mildly insane (sedikit gila). Pada era
ketertarikan pada sesama jenis. Dalam konteks tersebut, kata queer belum
sesuatu yang aneh, asing, dan ganjil. Bedanya, dalam kamus Oxford, queer sebagai
homoseksual) yang berkonotasi negatif dan ofensif. Kamus Oxford juga memberi
catatan bahwa kata ini merupakan kata sifat dan kata benda yang mengarah dan
26
berkaitan dengan identitas gender dan identitas seksual yang dianggap di luar kaidah
Dari kedua kamus daring tersebut, dapat ditarik kesamaan yang menyatakan
bahwa kata queer secara umum mempunyai makna dan konotasi negatif dan
ini pada awalnya merupakan peyorasi dan hinaan bagi laki-laki yang memiliki peran
seksual pasif (seks anal) dalam hubungan seksual sesama jenis (Robertson, 2002: 98-
110). Kata queer kemudian sengaja diadopsi ulang oleh komunitas LGBT+ untuk
dijadikan identifikasi positif dan kebanggaan diri atas identitas tersebut. Hal ini
berjudul “Queers Read This” di tahun 1990 dalam New York Gay Pride Parade 13
sebagai berikut:
“Ah, do we really have to use that word? It's trouble. Every gay person has
his or her own take on it. For some it means strange and eccentric and kind of
mysterious [...] And for others "queer" conjures up those awful memories of
adolescent suffering [...] Well, yes, "gay" is great. It has its place. But when a
lot of lesbians and gay men wake up in the morning, we feel angry and
disgusted, not gay. So we've chosen to call ourselves queer. Using "queer" is a
way of reminding us how we are perceived by the rest of the world.”
“Ah, apakah kita harus menggunakan kata itu? (queer). Ini merupakan suatu
problem. Setiap orang (beridentitas) gay mempunyai pendapat masing-masing
13
Gay Pride Parade atau yang lebih umum disebut dengan Pride Parade adalah parade dan karnaval
tahunan yang diselenggarakan di beberapa kota di banyak negara. Parade ini merupakan pergerakan
sosial untuk merayakan identitas-identitas gender dan seksual yang termasuk dalam LGBT+ dan
identitas lainnya.
tentang hal tersebut. Untuk beberapa orang, kata itu bermakna aneh, nyentrik,
dan terkesan misterius [...] Sedangkan untuk beberapa orang lain, kata “queer”
mengingatkan kembali pada memori-memori buruk akan kesengsaraan yang
dialami saat beranjak remaja [...] Ya, memang kata “gay” itu bagus. Kata itu
punya maknanya sendiri. Namun ketika banyak para lesbian dan lelaki gay
bangun tidur di pagi hari, bukannya merasa gay14 (bahagia) tapi kami malah
merasa marah dan jijik (pada diri sendiri). Maka dari itu kami memilih
menyebut diri kami queer. Kami menggunakan “queer” sebagai cara untuk
mengingatkan diri kami akan bagaimana kami dipandang di dunia ini.”
Untuk beberapa kalangan, kata queer yang bernada ambigu dan tidak spesifik
beridentifikasi queer karena dirinya tidak merasa sebagai seseorang yang seratus
persen heteroseksual dan juga tidak merasa sebagai seseorang yang dapat
identitas gender dan seksual, ekspresi gender, dan peran gender. Identitas gender dan
seksual atau dalam Bahasa Inggris sering dikenal sebagai gender identity dan sexuality
dapat didefinisikan sebagai ekspresi sikap dan sikap suatu individu dalam kaitan
status mereka sebagai seorang wanita atau pria, sedangkan identitas seksual berkaitan
dengan orientasi seksual bagaimana suatu jenis kelamin tertarik pada lawan jenis
14
Gay dalam Bahasa Inggris berarti sebutan lelaki homoseksual. Kata ini mempunyai makna lain yang
bersinonim dengan “happiness” dan “ecstatic” atau “elated” dan “joy” yang bermakna kesenangan dan
kebahagiaan.
maupun sesama jenis (Butler, 1990). Para posmodernis berteori bahwa identitas
merupakan sesuatu yang terus menerus dilakukan dan diperagakan dalam interaksi
tahun ia terus melakukan dan selalu merasa “cocok” dengan aktivitas-aktivitas dan
Ekspresi gender atau gender expression adalah aspek perilaku, tingkah laku,
minat, dan penampilan seseorang yang terkait dengan gender dalam konteks budaya
dengan peran gender yang bergantung pada stereotipe tentang gender (Summers,
2016: 232). Contohnya, pada laki-laki, ekspresi gender yang umum dan dianggap
“sesuai norma” adalah laki-laki yang jantan dan macho, sementara ekspresi gender
yang dianggap “aneh” dan “tidak sesuai norma” adalah laki-laki yang lemah lembut
dan berlagak seperti banci. Pada perempuan, ekspresi gender yang dianggap “tidak
Peran gender atau gender roles, menurut Dana Berkowitz dalam Gender and
berkaitan dengan gender dan peran yang dilakukan di masyarakat. Peran gender
kita saat ini, wanita disosialisasikan sebagai pengurus rumah dan pengasuh anak-anak,
sedangkan pada laki-laki, mereka "harus" menjadi pekerja keras, penyedia, pelindung,
pemimpin, dan guru bagi keluarganya. Queer sendiri mempunyai banyak pendapat
dalam memandang peran gender. Menurut Peter Tatchell dalam Politics Gay
Liberation Front tahun 1973, queer menumbangkan sistem gender. Laki-laki gay
dapat mencintai laki-laki lain dan tidak harus bersikap macho dan agresif. Wanita
lesbian dapat mencintai wanita lain dan tidak harus bersikap pasif serta bergantung
Queer tidak hanya menjadi penanda identitas gender dan seksual suatu
kelompok liberal dan progresif, konsep queer meluas ke ranah sosial, politik,
dianggap mengopresi dan menekan berbagai identitas gender dan seksual serta
ekspresi gender dan peran gender yang dianggap “di luar norma” dalam berbagai
aspek sosial dan politik di masyarakat. Opresi ini menyebabkan visibilitas individu-
atas eksistensi pergerakan yang “di luar batas norma masyarakat” maupun
“menembus batas gender dan seksualitas”. Contohnya antara lain adalah Pride Parade
kontemporer queer art (seni queer) seperti gerakan New Queer Cinema 15 dalam
bidang perfilman dan festival-festival seni queer seperti Beijing Queer Film Festival
di Cina dan National Queer Art Festival di Amerika Serikat. Queer art dianggap
bahwa seksualitas dan identitas manusia merupakan konstruksi sosial, yakni cair,
berkembangnya area-area studi baru seperti queer studies dan queer theology. Queer
studies (kajian queer) atau yang disebut dengan kajian diversitas seksual merupakan
studi isu-isu yang berkaitan dengan orientasi seksual, identitas seksual, dan identitas
gender pada budaya dan orang-orang yang beridentitas LGBT+ dan minoritas seksual
lainnya. Queer studies sebagian besar dipioneri oleh karya-karya Michel Foucault.
Dalam bukunya “The History of Sexuality. Vol. 1: The Will to Knowledge” (Historie
yang beranggapan bahwa seksualitas, identitas, dan kajian queer merupakan hasil dari
kehidupan seksual manusia yang terepresi di abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-
20 di mana seks merupakan sebuah kegiatan pribadi antara satu wanita dan satu pria
dalam ikatan pernikahan berdasarkan agama. Hal itu menyebabkan diskusi dan studi
15
New Queer Cinema adalah sebuah istilah untuk pergerakan progresif dari masyarakat perfilman
dunia di tahun 90-an untuk para sineas dalam pembuatan film-film independen yang bertema LGBT+
dan tema-tema yang menolak heteronormativitas. Produk-produk New Queer Cinema yang terkenal
antara lain adalah film “Brokeback Mountain” di tahun 2005 yang disutradarai oleh Ang Lee dan
dibintangi nama-nama besar seperti Jake Gyllenhaal dan Anne Hathaway.
tentang seks pada saat itu juga dilarang, disensor, dan dimusnahkan. Hasilnya, represi
akademik “queer” untuk menjustifikasi kehidupan seks yang “tidak wajar” dan
“diluar norma” tersebut. Teori represif tersebut dianggap Foucault sebagai teori yang
membatasi hubungan antara diskursus akademik yang terbuka mengenai seks dengan
hanyalah ilusi dan terfokus pada kehidupan masyarakat barat saja yang secara umum
inilah yang kemudian dijadikan rujukan utama oleh tokoh-tokoh kajian queer seperti
Kajian queer pada awalnya terpusat pada kritik sastra dan sejarah dan seluk
beluk kultur LGBT+. Namun di akhir era 90-an, kajian queer meluas ke bidang sains,
filosofi, sampai ilmu politik. Kajian queer merupakan cabang studi yang terinspirasi
dari kajian etnis (ethnic studies), kajian keperempuanan (women‟s studies), dan
(Branch, 2003). Kajian queer mendeskripsikan bahwa sejarah, literatur, sastra, dan
kultur LGBT+ secara umum adalah topik-topik yang tidak dapat dan tidak seharusnya
dianalisis lewat kacamata dan perspektif kontemporer (Gibson, 2013). Maka dari itu,
queer studies menelurkan sebuah teori kritis post-strukturalis yang terpusat pada
wacana-wacana teks queer dan pembuatan konsep akan queer itu sendiri. Teori
tersebut kemudian dinamakan dengan queer theory atau teori queer yang selanjutnya
Queer bukan merupakan konsep baru dalam kajian sosiologi dan kesusastraan.
Pada awal era posmodern di tahun 80-an, para ahli teori konstruksi sosial
produk budaya yang temporal dan berkaitan dengan era dan keadaan sosial tertentu
(Rubin, 2011). Hal ini melingkupi identitas gender dan seksualitas individu. Mengapa
begitu? Teori konstruksi sosial meyakini bahwa realita yang ada di kehidupan
hasil dari interaksi sosial, di mana komunikasi dan keberadaan suatu individu dalam
kebudayaan tertentu berperan dalam terciptanya realita tersebut (Biever, 1998: 163).
Dengan kata lain, identitas gender dan seksualitas juga merupakan produk-produk
konstruksi sosial. Diskursus tersebut dijadikan basis dalam kajian queer untuk
membentuk teori dan konsep queer dan berkembang hingga pada tahun 1990, seorang
feminis dan pakar perfilman asal Italia Teresa de Lauretis menciptakan istilah “teori
seksualitas yang “aneh” dan “di luar norma” tersebut. De Lauretis (dalam Pinar,
Berbeda dengan gay and lesbian studies (kajian gay dan lesbian), teori queer
berdiri sendiri secara terpisah. Kajian gay/lesbian hanya berkutat pada pertanyaan-
queer mencakup segala perilaku dan identitas gender dan seksual yang termasuk
antara pria dan wanita, hubungan seksual yang disakralkan dan hanya ditujukan untuk
individu gay, lesbian, biseksual saja. Kerangka analisis teori queer juga mencakup
16
Interseks adalah seorang individu yang lahir dengan kromosom ganda dan memiliki alat
kelamin/organ seksual ganda maupun bentuk kelamin/organ seksual yang ambigu sedemikian rupa
sehingga tidak diketahui/samar apakah ia berjenis kelamin perempuan atau laki-laki. Istilah lain
individu-individu interseks antara lain adalah hermaprodit. Namun istilah ini tidak digunakan lagi
karena dianggap menstigmasi dan merendahkan keadaan biologis tersebut.
17
Cross-dress merupakan istilah untuk suatu kegiatan seorang individu dalam mengenakan pakaian,
dandanan, atau aksesoris yang diasosiasikan dengan jenis kelamin maupun gender tertentu, yang
berkebalikan dengan gender mauapun jenis kelamin si pemakai. Seni kabuki Jepang merupakan salah
satu bentuk seni dengan kegiatan cross-dress pada aktor-aktornya. Individu yang melakukan cross-
dress biasa disebut dengan cross-dresser.
18
Androgini (androgynous) adalah istilah untuk mendeskripsikan keadaan di mana karakteristik
femininitas dan maskulinitas bercampur pada suatu individu sehingga dianggap ambigu dan melintasi
queer menganalisis fenomena queer dalam konteks historis untuk melawan maupun
Dengan basis teori dekonstruksi ala Jacques Derrida, teori queer mencoba
tentang korelasi antara jenis kelamin, gender, dan hasrat seksual dengan identitas
gender dan seksualitas seseorang (Jagose, 1996). Teori queer juga menawarkan
argumen bahwa “hakikat diri” sebenarnya tidak ada. Manusia ada tidak hanya untuk
menjadi subjek namun juga objek dalam dunia sosial. Maka dari itu, identitas-
identitas (seksualitas dan gender) yang ada bukan alamiah dari lahir namun dibangun
dan seksualitas dapat terjadi secara berbeda dan bahkan melebihi diluar konstruksi
1988: 519-531). Sebagai contoh, identitas “wanita” dalam kultur dan era tertentu
suatu karakteristik gender tertentu. Istilah ini dapat diaplikasikan ke dalam fashion (mode pakaian),
identitas gender, identitas seksual, dan gaya hidup.
kultur dan era yang lain. Definisi “wanita” dalam masyarakat Jepang pastilah berbeda
dengan definisi “wanita” dalam masyarakat Prancis misalnya. Pun demikian dengan
“wanita” Jepang zaman Edo pastilah mengalami perubahan dan perbedaan dengan
Amerika kuno dapat dianggap maskulin oleh definisi dan anggapan “wanita” dalam
masyarakat Jepang dan sebaliknya. Lain lagi halnya dengan “wanita heteroseksual”
pada era dan budaya. “Wanita heteroseksual Jepang” misalnya, mempunyai stereotip,
label, dan ide-ide yang berbeda dengan “wanita homoseksual/lesbian” Jepang. Ketika
stereotip, label, ide-ide dan anggapan pada suatu identitas tidak cocok dengan dengan
budaya, ras, suku, agama, dan sebagainya, di sinilah teori queer bermain peran dalam
Lebih jauhnya, Jagose (1996) juga menuturkan bahwa teori queer adalah
produk dari tekanan budaya dan teoretis tertentu yang semakin terstruktur dalam
individu gay dan lesbian. Para ahli teori queer menganggap label-label seperti “gay”
dan “lesbian” adalah statis dan tidak memenuhi perubahan zaman di mana fungsi
linguistik (jargon, sebutan, istilah, dsb) juga selalu berkembang. Sebutan “gay” dan
terminologi yang dikenal dalam bahasa Hindi, Persia, Tamil, Bengali, dan Urdu
lahir yang kemudian mengalami kebiri dan/atau operasi medis pergantian fisik
atau “gender ketiga” yang bukan pria, wanita, maupun transgender. Hijra juga tidak
masyarakat Asia Selatan, “hijra adalah hijra” sebagai identitasnya sendiri (Nanda,
gender ketiga dan peran-peran gender dan seksualitas yang diluar heteronormativitas
sejak zaman Hindu Kuno. Hal ini sedikit banyaknya dipengaruhi dari dominasi
mitologi Hindu dalam filosofi hidup dan cara pandang masyarakat Asia Selatan.
Dalam mitologi Hindu disebutkan bahwa suatu ketika Dewa Siwa yang berjenis
kelamin laki-laki bersatu tubuh dengan Dewi Parwati/Lakshmi yang berjenis kelamin
perempuan untuk menjadi Ardhanariswara, sebuah entitas androgini yang bukan laki-
(Parmeshwaranand, 2004).
Kembali kepada pernyataan Jagose, dari sini kita dapat melihat bahwa dalam
kebudayaan di dunia. Di sinilah teori queer juga lebih cocok diaplikasikan dalam
Ras, suku, agama, etnis, sampai kelas pun menjadi poin-poin yang relevan. Hasilnya,
teori queer lebih mengenal spektrum yang luas dan universal dalam mengenal
Konsep queer berkaitan erat dengan identitas gender dan seksualitas individu.
Walaupun begitu, konsep ini tergolong sangat baru bagi masyarakat Jepang.
Masyarakat Jepang sejak zaman prasejarah hingga modern tidak pernah mengenal
adanya pemisahan identitas gender dan jenis kelamin. Terlebih lagi tentang hubungan
antara gender dan preferensi seksual (McLelland dkk, 2007: ix-5). Hal ini dapat
dibuktikan dari nihilnya kosa kata pembeda antara “jenis kelamin” dan “gender”
dalam Bahasa Jepang seperti dalam Bahasa Inggris “sex” dan “gender”. Huruf kanji
bermakna laki-laki dan perempuan sekaligus pria dan wanita (male/female dan
merupakan kata baru yang diserap dan diadaptasi di era posmodern untuk
Jepang modern mengenal istilah dalam Bahasa Jepang asli seperti okama dan onabe.
Okama yang dalam huruf kanjinya berarti pot besi (お釜 / お ) mempunyai
dresser. Hasil penelitian dari Universitas Keio di Jepang di tahun 2013 menyatakan
bahwa kesan orang Jepang terhadap image seseorang yang dilabeli atau beridentitas
okama adalah “laki-laki yang tidak seperti laki-laki pada umumnya”. Menurut mereka,
televisi sebagai entertainer dan jarang maupun tidak pernah ditemui di kehidupan
sehari-hari. Ditambah lagi, okama hanya dianggap sebagai identitas yang mempunyai
nilai jual hiburan dan berfungsi sebagai persona di media semata (Yoshioka, 2013).
Onabe yang dalam huruf kanjinya bermakna literal pot untuk memasak (お鍋
perempuan yang berlagak layaknya laki-laki, dan atau tomboy maupun seorang yang
sehari-hari. Pada umumnya orang Jepang juga tidak mengenal dan/atau mengetahui
kata ini sehingga sebutan ini juga jarang dan hampir tidak pernah digunakan. Onabe
sendiri tidak mempunyai konotasi negatif sekuat okama dalam pandangan orang
Jepang (Yoshioka, 2013). Meskipun begitu, kedua terminologi ini dianggap memiliki
efek sosiologis yang negatif karena memaksa menggolongkan berbagai jenis identitas
Untuk padanan kata queer sendiri, Bahasa Jepang selama ini menggunakan
kata hentai (変態 / たい) yang berarti aneh, abnormal dan mesum. Kata hentai
ini juga berkonotasi sangat negatif dan merendahkan di masyarakat. Namun, karena
beberapa media berkonten LGBT+ di Jepang mengklaim ulang kata ini dalam
berarti “majalah mesum”, kata ini mengalami pergeseran makna sehingga banyak ahli
terjemahan dan linguistik Jepang dan Inggris menganggap bahwa kata hentai dalam
konteks seksualitas dan identitas gender merupakan padanan yang dekat dengan kata
seperti douseiaisha ( 性愛者 / orang yang menyukai sesama jenis), gei ( / gay),
merupakan hal yang sangat baru dan dipengaruhi dari terminologi barat walaupun
identitas queer dalam konteks seksualitas dan identitas gender di masyarakat Jepang
diketahui telah ada sejak zaman Jepang kuno (Leupp, 1997: 26). Perlu ditekankan
pemaknaan ala barat, negara Jepang tidak serta merta menerima keseluruhan ide-ide
dari diskursus barat. Maksudnya adalah, istilah-istilah serapan barat ini dipilih Jepang
konsep identitas seksual dan gender. Sebagai contoh, kata “gay” dalam Bahasa
Inggris dan “gei” ( ) dalam Bahasa Jepang. Keduanya memang dianggap sebagai
terjemahan resmi, namun secara konteks dapat mempunyai denotasi dan pemaknaan
suatu individu (Cornog & Perper, 2005). Sebaliknya, masyarakat Jepang memahami
konsep gender dan seksualitas melalui berbagai peran sosial di mana semua jenis
sendiri. Berikut akan dijabarkan beberapa contoh identitas dan praktek seksual queer
Salah satu contoh peran sosial terkait antara lain adalah chigo dan nenja
dalam komunitas agama Buddha di era Kofun sekitar 300 sampai 700 Masehi. Karena
para biksu agama Buddha hidup dalam lingkungan yang tertutup di pegunungan,
merupakan sebutan untuk para lelaki muda usia 11 sampai 17 tahun yang bekerja dan
seksual sekaligus menjadi murid dalam studi agama Buddha. Nenja adalah sebutan
bagi biksu senior yang menjadi pasangan dan tutor bagi seorang chigo. Fenomena ini
disebabkan karena adanya larangan bagi para biksu dan pendeta untuk menjalin
hubungan dengan wanita (Watanabe dkk, 1989). Dalam filosofi Jepang yang berbasis
agama Buddha, Shinto, dan Konfusius sendiri pun tidak ada larangan dan peraturan
romansa dan sebagainya (Stewart, 2009). Hal ini pula yang menyebabkan masyarakat
ekspresi identitas gender. Bahkan pada era Tokugawa, para sastrawan juga
juga berargumen bahwa dalam Nihon Shoki, dewi-dewi maupun entitas wanita belum
muncul dalam tiga generasi pertama keturunan dewa-dewa Jepang. Oleh karena itu
dewa-dewa ini kemungkinan juga menikmati hubungan sesama jenis di antara mereka.
Hubungan sesama jenis dari para dewa Shinto inilah yang dianggap sebagai cikal-
bakal praktek nanshoku dalam masyarakat Jepang kuno (Leupp, 1997: 32). Praktik
nanshoku dan nenja-chigo ini tidak hanya dalam kalangan religius saja, namun juga
menyebar ke kalangan keshogunan sampai para samurai dan diterima masyarakat luas
sebagai norma pada era tersebut (Furukawa & Lockyer, 1994). Dari sini dapat ditarik
dapat dianggap sebagai seseorang yang homoseksual atau gay dalam konteks
pemaknaan identitas dirinya. Orang tersebut memang mungkin seorang gay maupun
biseksual namun dalam konteks budaya Jepang, orang tersebut beridentifikasi sebagai
“transgender” pada era Jepang kuno. Hal ini dapat dibuktikan oleh keberadaan
kesenian dan perdagangan pada era tersebut. Bidang kesenian pada zaman Edo
19
Gender-bending (pelaku: gender-bender) adalah sebuah kegiatan yang dapat bersifat politik maupun
tidak dalam “menghancurkan” stereotipe peran gender di masyarakat. Gender-bending biasanya
dilakukan dengan berdandan, berpakaian, dan bertingkah layaknya suatu stereotipe gender tertentu
yang berkebalikan dengan gender asli si pelaku. Contohnya peran gender wanita memakai gaun dan
memasak di dapur serta pria memakai jas dan bekerja sebagai kuli. Wanita gender-bender dapat
memakai jas dan bekerja sebagai kuli sebagai pernyataan diri bahwa ia telah menghancurkan asumsi
dan stereotipe identitas gender seorang “wanita” di masyarakat. Gender-bending dapat bertumpang
tindih dengan cross-dressing. Hanya saja cross-dressing biasanya berkutat pada substansi “pakaian”
dan “aksesoris” serta dilakukan dalam waktu singkat dan temporal untuk kepentingan hiburan semata.
tersebut antara lain seperti upacara minum teh (茶 / chadou), puisi-puisi, lukisan
ukiyo-e dan shunga, hingga pentas seni kabuki (歌舞伎 / ). Dalam dunia seni
masyarakat Jepang.
Seni kabuki merupakan seni drama yang mempunyai peran-peran laki-laki dan
perempuan. Seni kabuki juga dianggap sebagai sebuah budaya populer masyarakat
pelakon yang “sesuai dengan kodratnya”. Dalam artian, peran laki-laki dimainkan
oleh laki-laki dan peran perempuan dimainkan oleh perempuan. Kemudian pada
tahun 1629 keshogunan melarang wanita untuk menjadi pelakon kabuki karena
dimainkan oleh remaja lelaki yang bertingkah laku lemah gemulai layaknya wanita
dalam kehidupan sehari-hari (effeminate man) yang disebut dengan wakashu (若衆 /
わ ). Para remaja lelaki seperti ini lebih dipilih karena penampilan fisik dan
suara mereka tidak semaskulin dan seberat lelaki dewasa. Uniknya, tidak hanya di
atas panggung, para wakashu ini juga berdandan serta berlaku layaknya wanita saat di
luar panggung dan rumah-rumah hiburan. Ditambah lagi, pada saat itu, apabila
remaja lelaki tersebut bertingkah layaknya wanita, berdandan layaknya wanita, dan
memainkan peran gender sebagai wanita, maka ia pun akan dianggap wanita secara
sebagai seorang “wanita” sebagai identitas dirinya. Banyak wakashu yang kemudian
diketahui terlibat dalam bisnis prostitusi dan menjadi langganan kalangan samurai
maupun para saudagar, baik pelanggan wanita maupun pria. Kepopuleran para
wakashu ini disebabkan oleh meluasnya keyakinan bahwa hanya seorang laki-lakilah
yang mampu memahami esensi kecantikan seorang perempuan (Leupp, 1997: 91-92).
Fenomena dan identitas wakashu ini juga merupakan salah satu peran sosial yang
masyarakat Jepang kuno yang sarat dengan konteks kultural dan historis.
fenomena homoseksualitas laki-laki. Dalam sejarah Jepang kuno, hubungan pria dan
wanita dalam ikatan pernikahan secara umumnya lebih ditekankan untuk meneruskan
generasi maupun memperkuat status sosial. Meskipun begitu, seperti yang telah
guru dan murid, samurai dan murid, biksu dan murid seperti ini faktanya tidak hanya
terbatas pada lelaki saja, para perempuan pun melakukannya (Watanabe dkk, 1989).
praktek biseksual walaupun hal tersebut tidak terdokumentasi dengan seksama seperti
praktek wakashudo para lelaki. Pada abad ke-16, wanita Jepang memperoleh
keamanan sebagai istri dalam sistem virilocal 20 , jauh berbeda dengan sistem
20
Virilocal adalah sistem sosial di mana pasangan yang menikah hidup dengan atau di dekat orang
tuadari suami. Kata ini belum ada terjemahan maupun padanannya dalam Bahasa Indonesia.
Sistem uxorilocal ini menyebabkan para lelaki harus mengatur jadwal untuk
melakukan perjalanan mengunjungi istri. Hal ini mengakibatkan banyak istri dengan
posisi dalam kehidupan rumah tangganya sehingga mereka juga dapat memiliki
pengaruh dalam keluarganya. Hasilnya, para wanita ini juga mendapat kebebasan
seksual yang setara dengan lelaki dalam mengambil gadis-gadis muda sebagai
ideologi, dan keagamaan. Pengaruh barat ini berperan signifikan dalam peralihan
identitas queer dalam masyarakat Jepang. Pemikiran dan ideologi barat yang
dipengaruhi oleh agama Kristen ini sangat mengutuk aktivitas yang dilabeli dengan
sodomi ini. Hasilnya, masyarakat Jepang mulai mengenal konsep dan istilah
sehingga mereka mulai mendapat stigma dan dianggap sebagai preferensi seksual
(Furukawa & Lockyer, 1994). Tidak hanya itu, pada saat itu meluas pula di
21
Uxorilocal adalah kebalikan dari virilocal yaitu sistem sosial di mana pasangan yang menikah hidup
dengan atau di dekat orang tua dari istri. Kata ini juga belum mempunyai terjemahan maupun
padanannya dalam Bahasa Indonesia.
masyarakat sebuah anggapan yang tidak benar (hoax) dari bidang sains yang
tubuh, perubahan struktur tulang, sampai dengan pembesaran pinggang dan payudara
Keikan, yaitu kebijakan untuk kriminalisasi terhadap segala bentuk praktek nanshoku
dalam kategori sodomi demi menyesuaikan adaptasi pemikiran dan ideologi barat
dalam upaya memodernisasi Jepang. Hukum ini kemudian dihapuskan oleh Kode
Napoleon di tahun 1880 (Harada, 2001). Sejak penghapusan hukum tersebut, Jepang
memang tidak mempunyai hukum lain yang melarang kegiatan seksual sesama jenis
hingga saat ini, akan tetapi hasil dari upaya modernisasi di era Meiji telah
queer, dan seksualitas queer di masyarakat Jepang hingga saat ini. Hal ini dibuktikan
dengan sekumai seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Sekumai yang merujuk
dalam Bahasa Inggris atau minoritas seksual dalam Indonesia merupakan istilah
dalam kategori sekumai sudah cukup banyak dilakukan. Namun, diskusi terbuka akan
seksualitas dan identitas gender dalam masyarakat Jepang sendiri belum umum.
Hasilnya, resepsi dan penerimaan masyarakat Jepang terhadap sekumai juga belum
dan cara bersenang-senang, sisanya sebagian besar bahkan tidak tahu-menahu soal
hal tersebut. Mereka menyebut dan menganggap sekumai dan kultur sekumai adalah
sebuah shiranai sekai (知 い世界) atau dunia yang tidak diketahui (Sunagawa &
2.3 Yuri Manga: Class S dan Lesbianisme dalam Budaya Populer Jepang
Dewasa ini, terminologi yuri sebagai sebuah sub-genre dikenal sebagai istilah
(komik Jepang) dan anime (animasi buatan Jepang) serta film, novel, maupun
publikasi media populer lainnya yang memiliki konten bertema dan/atau mengandung
unsur lesbianisme atau hubungan romansa maupun seksual antar perempuan sebagai
unsur utama maupun yang dominan (Thompson, 2010). Di Jepang, istilah lain genre
ini antara lain adalah GL (girls love) dan shoujo ai (少女愛) yang mempunyai
konteks pemaknaan yang setara dan dapat dipertukarkan dengan yuri. Namun untuk
audiens dan pembaca manga dan anime Jepang di negara barat, shoujo ai dan GL
tanpa konten seksual, berkebalikan dengan yuri yang memiliki adegan-adegan yang
Meskipun begitu, terminologi seperti yuri, shoujo ai, maupun GL ini baru aktif
digunakan tahun ‟90 dan 2000-an hingga saat ini walaupun produk budaya populer
seperti manga dan novel yang bertemakan maupun mengandung unsur lesbianisme
sudah ada sejak era Taisho dan Showa. Bahkan, di zaman Edo pelukis ukiyo-e dan
juga mempunyai karya-karya yang bertema lesbianisme. Ukiyo-e dan shunga Hokusai
dinikmati oleh semua kalangan dari para samurai, pebisnis, sampai ibu rumah tangga,
laki-laki maupun perempuan (Kornicki, 1998: 331-353). Hal ini menunjukkan bahwa
dianggap tabu dalam budaya populer zaman pra-modern. Akan tetapi karya-karya
bertema lesbianisme dari Hokusai hanya tersedia dalam shunga (ukiyo-e erotis)
digambarkan sebagai variasi praktek dan kegiatan seksual daripada sebuah orientasi
romansa antar perempuan mulai dimunculkan oleh seorang novelis lesbian era Taisho
dan Showa, Nobuko Yoshiya. Nobuko Yoshiya merupakan salah satu sastrawan yang
novel yang bertema pertemanan intim (romantic friendship) antar teman sekolah
dalam latar sekolah khusus wanita (Suzuki, 2006). Sebagai pionir genre yuri, Class S
merupakan genre yang unik. Class S tidak mengandung hubungan romansa dan
seksual antar wanita, namun hanya pertemanan dengan perasaan emosional yang kuat.
Narasi-narasi pertemanan intim ini tipikalnya terjadi antar sesama teman sekelas,
kakak kelas dan adik kelas, kolega kerja, dan sebagainya. Narasi tersebut umumnya
berakhir secara tragis dan cenderung tidak bahagia dikarenakan kelulusan, pernikahan,
perasaan suka secara emosional di antara tokoh dianggap sebagai proses bagaimana
dapat menjadi seorang ibu dan istri yang sempurna (Dollase, 2003: 724-755). Setelah
genre Class S menjadi popular, mulailah berkembang genre shoujo ai dan kemudian
menjadi yuri.
BAB 3
KARYA SABUROUTA
Jepang bergenre yuri yang ditulis dan diilustrasikan oleh komikus perempuan dengan
nama pena Saburouta. Citrus pertama kali diterbitkan oleh majalah komik Yuri Hime
Kemudian pada bulan Juli 2013, karena ratingnya yang tinggi di kalangan pembaca
Jepang, Citrus mulai dicetak dalam bentuk komik lepas berseri atau yang disebut
volume Citrus telah diterbitkan dan masih akan berlanjut. Kepopuleran Citrus di
Jepang menjadikan manga tersebut mengalami adaptasi dalam berbagai media seperti
drama CD dan anime atau serial animasi. Drama CD Citrus dirilis pada bulan Juli
2015 dan serial animasinya yang terdiri atas dua belas episode pada Januari 2018
(www.crunchyroll.com).
Tidak hanya di Jepang, manga Citrus juga mendapat resepsi yang baik dari
Inggris, Thailand, Jerman, dan Cina. Terlebih lagi, koran The New York Times juga
memasukkan Citrus dalam daftar manga bestseller atau yang paling laku terjual di
22
Yuri Hime Comic adalah sebuah majalah komik triwulan produksi penerbit Ichijinsha khusus untuk
karya-karya manga dengan genre yuri dan atau shoujo ai.
51
utama dalam manga ini. Tema pelecehan seksual dan aktivitas non-konsensual yang
tercermin dianggap membuat ketidaknyamanan di antara pembaca. Selain itu tema ini
juga dianggap lebih agresif, tidak biasa, dan bahkan bertolak belakang dari
(www.animenewsnetwork.com).
Tokoh-tokoh dalam manga Citrus ini cukup banyak dan terdiri atas tokoh
utama dan tokoh pendukung. Tokoh-tokoh utama selalu muncul di setiap bab cerita
episode dan cerita ekstra sebagai tambahan atau kameo. Peneliti hanya akan
disebutkan dalam sinopsis demi efektivitas dan pembuatan analisis yang koheren dan
komprehensif. Di bawah ini adalah tabel daftar nama tokoh beserta peran dan foto
Periang, blak-blakan,
衣) manga Citrus.
Disiplin, dingin,
manipulatif, dan
pendiam. Ketua
organisasi siswa
Aihara Yuzu.
diam-diam tidak
menyukai peraturan
Yuzu.
gadis sekolah menengah atas kelas dua yang sangat blak-blakan, pandai bersolek, dan
temannya Kana dan Manami sering mengira bahwa Yuzu sangat berpengalaman
kekasih. Ia sangat iri dan selalu mendambakan bagaimana rasanya jatuh cinta dan
metropolitan. Setelah ibunya menikah lagi dengan seseorang yang berpengaruh dan
kaya raya, Aihara Shou, Yuzu pun ikut pindah ke daerah tempat tinggal keluarga
ayah tirinya. Hal ini mengakibatkan ia pun harus pindah sekolah ke Akademi Aihara,
sekolah elit khusus wanita milik keluarga Aihara tersebut. Tidak diduga, lingkungan
dan sekolah baru Yuzu sangatlah konservatif dan menjunjung tinggi kedisiplinan dan
keseragaman di antara murid. Yuzu dengan ponselnya, rambutnya yang dicat pirang,
dan seragamnya yang tidak rapi akhirnya mengalami masalah pada saat hari
Yuzu pun didisiplinkan oleh ketua organisasi siswa sekolah yang bernama Mei. Yuzu
lalu menjadi tidak suka dengan sifat dan sikap Mei yang dingin, arogan, dan tanpa
emosi. Di hari yang sama, Yuzu mendapati Mei dan seorang guru laki-laki sedang
berciuman di belakang gedung sekolah. Kaget dan panik, Yuzu pun mengendap-
endap dan melarikan diri tanpa mengetahui bahwa Mei juga mengetahui
keberadaannya pada saat itu. Saat pulang ke rumah keluarga barunya, ibunya
memperkenalkan Yuzu pada anak suami barunya yang belum ia pernah temui
sebelumnya. Tak diduga, anak suami ibunya adalah Mei sendiri. Aihara Mei pun
otomatis menjadi adik tiri Yuzu dan semenjak hari itu, ia pun harus berbagi kamar
dan tempat tinggal dengan Mei. Balas dendam karena dipermalukan oleh Mei di
depan publik soal ponsel, Yuzu mengejeknya soal hubungannya dengan guru yang
disaksikannya tersebut. Kesal, Mei kemudian menyerang Yuzu secara seksual untuk
pertama kalinya.
Taniguchi Harumi yang menjadi sahabat dekat di sekolah barunya. Harumi dan Yuzu
dapat menjadi akrab secara cepat karena keduanya sama-sama suka dandan dan tidak
menyukai peraturan sekolah yang ketat. Sementara itu Yuzu juga semakin merasa
frustrasi terhadap berbagai pelecehan seksual yang dilakukan Mei di saat ia berusaha
untuk menjadi figur kakak yang baik untuk adik tiri barunya tersebut. Yuzu
menemukan bahwa Mei melakukan hal-hal tersebut hanya untuk mengerjai dan
memanipulasi dirinya secara mental dan emosi. Pada awalnya ia sangat kesal dan
benci terhadap adik tirinya tersebut, namun sedikit demi sedikit Yuzu akhirnya
mengalami krisis identitas dan mulai mempertanyakan tentang jati dirinya di saat ia
perempuan.
menuruti apa kata sang kakek untuk menjadi penerus dan pewaris akademi. Mei
ternyata memiliki beban tugas yang banyak serta tanggung jawab yang besar sebagai
satu-satunya harapan dinasti Aihara. Yuzu pun kemudian mulai menjadi kasihan dan
menemukan bahwa Mei sebenarnya hanyalah seorang gadis yang kesepian dan
berperasaan sensitif, tidak mengetahui apa ambisi dan cita-cita yang ingin dicapai
oleh dirinya sendiri. Hal ini lama-kelamaan membangkitkan sisi protektif dari Yuzu,
Pada sekitar Natal, Yuzu dan Mei akhirnya mengetahui perasaan masing-
masing terhadap satu sama lain dan memutuskan untuk menjalin hubungan lebih jauh
secara rahasia. Mei memang masih belum sepenuhnya mengerti akan perasaannya
orang lain yang mendekati Yuzu seperti Mizusawa Matsuri, teman masa kecil Yuzu.
Meskipun begitu, lambat laun perasaan Yuzu dan Mei pun bertaut dan mereka
merupakan tema yang ditekankan sang pengarang dalam Citrus. Kedua tokoh utama,
Aihara Mei dan Aihara Yuzu, secara konstan digambarkan sedang mencari jati diri
dan makna perasaan cinta masing-masing. Peneliti menemukan kedua tokoh tersebut
mengalami perkembangan karakter secara bertahap dalam enam jilid pertama manga
bagaimana dan apa sebenarnya identitas gender dan seksualitas kedua tokoh utama
Pada jilid 1 Citrus bab 1 halaman 1 dan 2, cerita Aihara Yuzu diawali dengan
Kana dan Manami yang sangat terbuka dan bebas bergonta-ganti pacar, Yuzu juga
Gambar 3.1 Yuzu bertekad untuk mengakhiri masa lajangnya dengan mendapatkan
pacar lelaki
Percakapan yang dilakukan antara Yuzu, Kana, dan Manami saat itu adalah:
Manami : あいつ ン つ 別 たわ
Aitsu honto mukatsukukara wakaretawa.
(Dia benar-benar menyebalkan jadi aku putus dengannya)
Kana : !? の前 H た 言 た !
Majide!? Kono mae ecchi shitatte itteta jyan!
(Yang benar!? Bukannya kapan hari kau bilang kalian
berhubungan seks baru-baru ini!)
Yuzu : !?
…ukk!?
(…hah!?)
Yuzu :あ あた 彼氏ほ
A…atashi mo kareshi hoshi—
(Haa…aku juga ingin punya pacar.)
Kana : うい 前 別 た 言 た け
Souiya Yuzucchi mo mae kare to wakaretatte ittettakke.
(Oh ya, Yuzu, katanya kau baru putus kan dengan pacarmu
kapan hari?)
Manami :合 誘いたいけ 柚子 秋に 転校 う
Kana : 遠距
Enkyori wa yabeette.
(Hubungan jarak jauh itu susah lho.)
Yuzu : い う い う 転校 た
彼氏 する
Daijoubu, daijoubu. Tenkoushitara sokko—kareshi
gettosurukara.
(Jangan khawatir, jangan khawatir. Nanti setelah pindah
sekolah aku pasti akan mendapat pacar.)
Dari adegan ini dapat dilihat bahwa Yuzu yang merupakan seorang gadis
muda yang sangat menginginkan seorang laki-laki sebagai kekasih. Hal ini
dibuktikan oleh dirinya yang menyatakan “Haa…aku juga ingin punya pacar”.
wanita mempunyai ketertarikan untuk bersama seseorang lawan jenis, yaitu laki-laki.
karena secara tersurat menyatakan menyukai lawan jenis pada awal cerita manga
Citrus.
Dalam bab yang sama di halaman 4 dan 5, cerita berlanjut ketika Yuzu telah
sekolah khusus wanita yang mana sangat tidak mungkin untuk mencari seorang lelaki
gender Yuzu sebagai seorang wanita feminin yang dianggap “normal” dan sejalan
objektifikasi seksual dan sex appeal (daya tarik seks) yang di dalamnya terdapat
jenis (Kloppenborg & Hanegraaf, 1995). Pencetus teori queer Judith Butler (1990)
mengatakan bahwa identitas gender merupakan hal yang terkait dengan ekspresi
tertentu, yang sesuai maupun berlawanan dengan gender yang dimilikinya. Berikut
Gambar 3.2 Yuzu berdandan maksimal untuk menarik perhatian laki-laki di sekolah
barunya
Monolog Aihara Yuzu yang tertulis dalam halaman tersebut adalah sebagai
berikut:
Yuzu : ケ る ?
Yoshi, kore de iketeru kana?
(Baiklah, kira-kira ini sudah cukup seksi kan, ya?)
Dari kedua adegan tersebut ada beberapa poin yang dapat dilihat mengenai
identitas gender dan ekspresi gender Yuzu. Pertama, Yuzu merupakan seseorang
yang sangat feminin dan sangat mengedepankan sisi kewanitaannya. Hal ini
dibuktikan dengan dirinya yang selalu mawas diri akan penampilan dan ingin tampil
laki-laki di sekolah barunya. Jagose (1996) memberi salah satu contoh bahwa
berdandan bagi wanita demi menarik perhatian lelaki merupakan salah satu stereotipe
memiliki ekspresi gender yang sejalan dan tidak bertumpang tindih dengan identitas
gender dan orientasi seksualnya. Dengan ini dapat dikatakan bahwa identitas Yuzu
dalam awal cerita Citrus yang tergambar dalam adegan-adegan tersebut sejalan
dan/atau queer. Dengan kata lain, Yuzu merupakan seorang gadis yang “normal” di
dalam masyarakat.
Gambar 3.3 Yuzu tertarik pada Pak Guru Amamiya yang terkenal dengan
ketampanannya
Adapun monolog dan dialog yang dilakukan antara Yuzu dan sang guru
Yuzu : あえ 化粧 落 たケ
Toriaezu keshou ha otoshita kedo…
(Mana dandananku luntur lagi, nih…)
Yuzu :ス ン い
Suppin yabai…
(Tidak mungkin aku keluar tanpa make-up…)
Yuzu : うい 抱 つい た た い
い香 た
Yuzu : ン に使
Shampuu nani tsukatten daro…
(Pakai sampo apa ya kira-kira…)
Amamiya : おいおい大 夫 の 前 呼 る
うに る
Oi oi daijoubuka--. Korekara kono namae de yobareru youni
narun dazo.
(Hei, hei, kamu tidak apa-apa? Mulai sekarang kau kupanggil
dengan nama itu, ya.)
Yuzu :あ 新 い苗 慣
Ahaha, mada atarashii myouji narenakute…
(Ahaha, saya belum terbiasa dengan nama keluarga baru
saya itu…)
Yuzu : ! 担任超 ケ ン !
Gekk! Tannin chou ikemen jyan!
(Wah! Wali kelasku tampan sekali!)
Selanjutnya dalam gambar 3.4 monolog yang berlangsung adalah sebagai berikut:
Yuzu :あ 宮先生
A, Amamiya-sensei da…
(Oh, ada Pak Guru Amamiya…)
Yuzu : う 携帯 戻 た 教え
お
Souda, keitai mo modottekitashi, meado oshietemoracchao.
(Oh ya, karena ponselku sudah dikembalikan, aku akan minta
alamat emailnya, ah.)
Kedua adegan di atas memperkuat bukti bahwa Aihara Yuzu merupakan gadis
remaja heteroseksual yang tertarik pada lawan jenis. Yuzu terlihat terpesona dengan
guru laki-laki tersebut. Ekspresi Yuzu juga terlihat malu-malu dan gugup layaknya
orang yang sedang jatuh cinta di depan pria itu. Di sini dapat dilihat pula Yuzu secara
Bagaimana dengan tokoh utama kedua, Aihara Mei? Tidak seperti Yuzu,
dalam manga Citrus identitas gender dan orientasi Mei kurang begitu dieksplorasi
karena sebagian besar jalan cerita Citrus diceritakan melalui perspektif Yuzu. Selain
itu, Mei juga digambarkan sebagai individu yang dingin dan jarang menunjukkan
emosi, seolah-olah sang pengarang sengaja menciptakan kesan misterius pada tokoh
ini. Akibatnya, pembaca pun tidak pernah benar-benar mengetahui akan jalan pikiran
Aihara Mei. Meskipun begitu, ada beberapa adegan yang dapat menggambarkan
Pada jilid 1 Citrus bab 1 halaman 19, 20, dan 21, Yuzu memergoki wali kelas
Amamiya yang ia sukai berciuman di belakang gedung sekolah dengan Mei. Adegan
tersebut menunjukkan bahwa Mei sedang menjalani hubungan romansa dengan lawan
jenis, di mana hal tersebut menunjukkan bahwa Mei adalah seorang wanita
Gambar 3.5 Yuzu memergoki Amamiya dan Aihara Mei yang sedang berciuman di
belakang sekolah
Yuzu : え?
E?
(Eh?)
Mei :
Kk…
(Uh…)
Yuzu : ! あ
Cho! Chotto matte, arette…
Mei : あ あ
Haa…haa…
(Hah…hah…)
Potongan adegan di atas menggambarkan interaksi romantik di antara Mei,
yang merupakan seorang wanita, dan Amamiya, seorang lelaki. Tidak seperti
afeksi di depan umum bagi masyarakat Jepang dan Asia secara umum sampai saat ini
masih menjadi hal yang tabu dan bahkan dianggap kurang sopan dan/atau menganggu
(Vaquera & Kao, 2005). Dapat dilihat bahwa adegan tersebut terjadi di dalam sekolah,
sehingga wajar saja kedua tokoh tersebut berciuman secara sembunyi-sembunyi. Hal
ini menunjukkan bahwa ada hubungan spesial yang terjalin di antara Mei dan
Amamiya. Hal ini menyebabkan Yuzu yang sedang menyaksikan merasa malu juga.
Berbeda dengan orang barat yang cenderung bebas berciuman dengan siapa saja
walaupun bukan orang yang dicintainya, hal ini masih dianggap merupakan hal yang
sangat pribadi dan merupakan sesuatu yang sangat intim bagi orang Jepang di mana
hal tersebut hanya dilakukan dengan orang-orang yang benar-benar dikasihi (Vaquera
Selama perkembangan cerita, identitas gender pada sisi Mei tidak begitu
ditampilkan karena sebagian besar sudut pandang cerita berasal dari Yuzu. Mei juga
tidak pernah terlihat berdandan maupun menggunakan pakaian selain pakaian tidur
dan seragam sekolah. Dari sini peneliti belum dapat menyimpulkan bagaimana
ekspresi gender Aihara Mei sebagai seorang perempuan, hingga akhirnya pada Citrus
jilid 5 bab 17 halaman 14, Mei menyatakan dengan terang-terangan mengenai bahwa
ia tidak mempedulikan akan ekspresi dan identitas gendernya sebagai wanita ketika
Yuzu menyarankan Mei untuk lebih bertingkah layaknya gadis remaja pada
umumnya, yaitu dengan bersolek dan memakai pakaian yang lebih feminin dan
Yuzu : え芽衣 た に 手 サ い ?
Nee Mei mo tama ni wa umaku sabocchainayo?
(Mei, bagaimana kalau kau kadang-kadang mencoba lebih rileks dan
bersantai?)
Yuzu : い あた た 女子高生 め
い
Ittemo atashitachi wa joshi kousei nandakarasa, semete oshare toka deeto
kurai…
(Bagaimanapun juga kita ini masih gadis remaja, cobalah sedikit berdandan
setidaknya kalau kita pergi kencan/keluar bersama…)
Yuzu : ?
Mei : 女 う捨 たわ
Onna wa mou suteta wa.
(Kubuang sudah kewanitaanku.)
Dari dialog di atas dapat dilihat bahwa identitas gender dan ekspresi gender
dan berpakaian lebih santai dan feminin. Namun tidak dengan Aihara Mei yang selalu
menggunakan seragam sekolah kemana pun ia pergi. Hal ini dibuktikan dengan
perasaan Yuzu yang menganggap aneh dan tidak biasa dengan seorang gadis yang
berlaku seperti Mei sehingga ia menyarankan Mei untuk berdandan seperti gadis
Pernyataan Mei yang terdengar tegas dan bersikeras dengan “Kubuang sudah
seperti berdandan, berpakaian feminin, dan bertingkah seperti pada umumnya akan
identitas “perempuan muda Jepang” bahkan identitas “perempuan” itu sendiri. Dari
sini dapat dilihat bahwa Aihara Mei tidak peduli atau bahkan tidak merasa berasosiasi
dengan ekspresi gender wanita dan identitas gender wanita itu sendiri. Hal ini tentu
menunjukkan bahwa apa yang dirasakan dan dialami Mei adalah sesuatu yang tidak
sejalan dengan ide-ide, stereotipe, dan hegemoni yang tersemat pada identitas gender
wanita Jepang, yang kemudian dapat disimpulkan bahwa hal tersebut merupakan
dikembangkan oleh seksolog Vivienne Cass di tahun 1970 yang disebut Cass Identity
Model, ada enam tahap untuk para individu-individu queer dalam mengetahui dan
identity pride (kebanggaan identitas), dan (6) identity synthesis (integrasi identitas)
(Cass, 1979). Dalam Citrus, Aihara Yuzu mulai merasakan perubahan pada dirinya
bingung dan jijik akan dirinya sendiri. Di sini Yuzu mulai mengalami krisis identitas
Tahap (1) Identity Confusion: Aihara Yuzu Merasa Bingung pada Dirinya
Aihara Mei. Dalam proses terjalinnya percintaan di antara keduanya, Yuzu yang
sebelumnya hanya tertarik pada laki-laki mengalami pergolakan diri dan krisis
identitas seksual karena Aihara Mei merupakan seorang perempuan seperti dirinya.
seksualnya hingga merasa bingung akan dirinya sendiri. Di sini Yuzu mulai
mengalami krisis identitas seksual. Dalam adegan berikut Yuzu mulai secara tidak
tersebut.
Gambar 3.7 Yuzu secara tidak sadar memandang dan mengagumi Mei secara fisik
dan seksual
Gambar 3.8 Yuzu tidak dapat tidur nyenyak karena berpikir keras mengenai sikap dan
tindakan Mei kepadanya
Yuzu : えええええ!?
Eeeee!?
(Lho!?)
Yuzu : う 女 士 別にお い
一緒に入る う
Soryasouka…onnadoushi dashi, betsu ni okashikunai. Isshouni hairu
yone…un…
(Oh, ya, sih, kan sama-sama perempuan ya, kan wajar kalau dia
masuk dan mandi bersamaku…hmm…)
Yuzu : 髪 肌 い 触 た 柔
い う
Kami…kirei dana…hada…shiroishi. Sawattara
yawarakaindarouna…
(Rambutnya…cantik ya…kulitnya…putih mulus. Pasti lembut
tubuhnya kalau kusentuh…)
Yuzu : 触 た に考え
あた
Ha…sawattarattenandayo…na…nani kangaetenda atashi.
(Ha, apaan sih aku ini, berpikir tentang “menyentuhnya” seperti itu.)
Yuzu : 昨日 ス た お
たの !?
Kinou koitsu to kisu nanka shichattakara okashiku nacchatta no…!?
(Masa gegara aku dicium olehnya kemarin terus diriku jadi aneh
begini sekarang…!?
Mei :…
Yuzu : あ わ あた 出るわ
A…wa, atashi deruwa.
(Ah…a-aku akan keluar sekarang.)
Yuzu : ! !
Choto…ya, kk! …yada!
(Tunggu dulu…hei!...Berhenti!)
Yuzu : する !!
Na, nande konna koto surundayo…!!
(Ke, kenapa kau melakukan hal-hal seperti ini…!!)
Mei : あ た 触 欲 い 顔 た
…Anata ga sawatte hoshii tte kao shitetakara.
(…Aku bisa melihat dari wajahmu bahwa kau ingin menyentuhku.)
Yuzu : あ た寝 た
Yuzu : 触 欲 い 全然思 つ の!
Sawatte hoshii toka zenzen omotteneetsuu no!
(Siapa juga yang mau pegang-pegang, aku tidak berpikir seperti itu
sama sekali!)
Harumi: う う 眠 う
Youyou Yuzucchi nemusou dane.
(Hei, hei, Yuzucchi kau terlihat mengantuk, ya.)
Dari sekumpulan adegan beruntut di atas terdapat banyak ciri-ciri dan tahap-
tahap di mana Yuzu mulai mempertanyakan dan meragukan identitas seksual diri.
Dimulai dari Yuzu yang merasa kaget dan malu ketika Mei tiba-tiba memasuki kamar
mandi dengan tujuan untuk mandi bersama. Kemudian Yuzu menyadari bahwa hal
ini wajar-wajar saja karena adanya konteks kultural di mana budaya mandi dan
telanjang bersama dengan orang lain yang sesama jenis di dalam satu kamar mandi
yang sama merupakan hal yang umum di Jepang sejak zaman Nara-Kamakura hingga
saat ini dengan adanya 銭湯 (sentou, pemandian umum), 温泉 (onsen, pemandian air
panas), dan sebagainya (Smith & Yamamoto, 2001). Dengan konteks kultural ini
dapat diasumsikan bahwa Yuzu sebagai orang Jepang juga pernah dan sering mandi
bersama dengan perempuan sebelumnya sehingga ia juga tidak asing dan aneh
dengan melihat sesama wanita telanjang. Namun bedanya, seperti yang tersurat dalam
adegan-adegan tersebut, Yuzu secara tidak sadar memandang dan mengagumi tubuh
Mei secara seksual, seolah-olah tidak pernah melihat wanita telanjang sebelumnya.
Hal ini membuat dirinya bingung dan mempertanyakan apakah dirinya menjadi “aneh”
dan “abnormal” karena berpikir seperti itu. Mengapa? Hal ini menunjukkan bahwa
membayangkan secara seksual dengan sesama jenis seperti itu. Ditambah lagi, ketika
Mei melecehkannya secara seksual, Yuzu pun sontak marah dan merasa bahwa hal
tersebut “tidak patut” dan “tidak normal” dilakukan antar sesama perempuan. Ia
merasa hal itu merupakan sesuatu yang diluar norma, dalam hal ini menolak pakem
Cass Identity Model pada tahap identity confusion juga dapat dilihat dari
Yuzu yang menyatakan “Siapa juga yang mau pegang-pegang, aku tidak berpikir
apaan sih aku ini, berpikir tentang „menyentuhnya‟ seperti itu”. Ini membuktikan
bahwa Yuzu sedang dalam masa penolakan diri dan memang sedang mulai
identitas akan perubahan seksual orientasinya hingga ke pada titik di mana ia merasa
jijik dan aneh dengan dirinya sendiri. Hal ini dapat dibuktikan dengan adegan dalam
Gambar 3.9 Yuzu merasa jijik pada dirinya sendiri yang mempunyai ketertarikan
seksual terhadap Mei
Yuzu : あ け
Haa, nasakena…
(Hah, ini menyebalkan…)
Yuzu : 夜に る ロ ロ 熱い感情に押 つ う
に る
Yoru ni naruto…dorodoro shite atsui kanjou ni oshitsubusare sou ni
naru.
(Setiap malam tiba…aku jadi merasa bingung dan aneh seolah
perasaan ini akan membakarku.)
Yuzu : あた 過
Atashi kimo sugi…
(Aku ini menjijikkan sekali…)
Berdasarkan diskursus kajian queer dan kajian diversitas seksual, apa yang
homophobia atau homofobia yang muncul dari diri sendiri dan ditujukan pada diri
sendiri. Hal ini sangat umum terjadi pada setiap individu queer saat beranjak dewasa
maupun dalam tahap mencari jati dirinya, khususnya pada masa remaja. Ditambah
lagi, internalisasi homofobia dapat dipicu ketika lingkungan sosial sekitarnya tidak
heteronormativitas merupakan sebuah norma maupun sesuatu yang biasa dan tidak
menyadari betapa aneh dan queer sebagai seorang perempuan yang awalnya
perempuan juga karena hal ini merupakan fenomena yang dianggap di luar norma di
Selanjutnya pada Citrus volume 1 bab 4 halaman 33, dan 34 dapat dilihat
lebih jauh pergulatan Yuzu akan identitas seksual dirinya. Dalam adegan tersebut
tahap kedua identity comparison dalam Cass Identity Model terlihat ketika ia mulai
mengakui perasaan dan gairah terhadap sesama jenisnya tersebut. Yuzu mengakui
Gambar 3.10 Yuzu mengakui bahwa dirinya merasa menjadi aneh karena mengalami
ketertarikan seksual terhadap Mei
Yuzu : ン ! ス た つ の ! あた
わ い
Anta ga…! Kisu nanka shita kara dattsuno…! Atashi datte
wakannaiyo…
(Ini semua gara-gara kamu…! Sejak kau menciumku pada saat
itu…aku jadi tidak paham dengan diriku sendiri…)
Yuzu : う戻 い !
Mou modorenai…!
(Sudah, aku tidak bisa kembali lagi…!)
Yuzu : お姉 め !
Konna oneechan de gomen…!
(Maafkan aku sebagai seorang kakak yang seperti ini…!)
Dari adegan-adegan di atas secara eksplisit terlihat jelas Yuzu mengalami apa
yang dikenal sebagai sexual frustration atau frustrasi seksual terhadap Mei akan
dan mengakibatkan efek bola salju yang semakin membesar yang pada akhirnya
membuat Yuzu mengakui kebingungan dan krisis identitasnya pada Mei. Seperti
dalam Cass Identity Model, tahap ini merupakan tahap kedua identity comparison
atau perbandingan identitas di mana Yuzu terlihat merasa sangat bersalah karena ia
menyadari bahwa ketertarikan dirinya kepada Mei bukanlah sesuatu yang seharusnya
terjadi dan bukan sesuatu yang dianggap “wajar” dan “umum” dalam lingkup
namun menjadi “aneh” karena satu orang ini, yakni Mei. Hal ini dibuktikan dengan
kata-kata “Ini semua gara-gara kamu…! Sejak kau menciumku pada saat itu…aku
Tahap (3) Identity Tolerance: Aihara Yuzu Merasa Dirinya Tidak Sendirian
ketiga Cass Identity Model yaitu identity tolerance atau toleransi identitas dalam
Citrus volume 3 bab 11 halaman 12, 13, dan 14 ketika Mei dan Yuzu mulai menerima
Gambar 3.11 Yuzu bersimpati pada Mei dan mengatakan bahwa ia tidak sendiri
dalam merasakan “keanehan” pada identitas diri mereka
Yuzu : 芽衣 急に何言 !?
Mei wa kyuu ni nani ittenda!?
(Mei kok tiba-tiba berbicara hal ini!?)
Yuzu : お おう
O…ou…
(O…oh…)
Mei : うに 誰 の体温を求め うの 私 歪
いる い の
Konna fuu ni, dareka no taion wo motomete shimau no wa, watashi
ga yugandeiru sei nano kashira.
(Kira-kira, apakah ini karena diriku yang rusak atau bagaimana, aku
ingin merasakan kehangatan seseorang seperti ini.)
Yuzu : う の わ いけ
Minna ga dounano ka wakaranaikedo,
(Aku tidak tahu bagaimana kalau orang lain, tapi,)
Yuzu : 芽衣 歪 る あた 歪 るわ
Mei ga yuganderu nara, atashi mo sootoo yuganderuwa.
Yuzu : あた 芽衣に触 たい いつ 思 る
Dari dialog dan adegan di atas terlihat bahwa kedua tokoh utama telah
mengetahui dan mengakui perasaan masing-masing akan ketertarikan satu sama lain.
Perlu ditekankan bahwa dalam dialog tersebut ada kata yang diulang-ulang yaitu 歪
bahwa diri mereka “rusak” dan “tidak wajar” karena menginginkan kedekatan satu
sama lain secara fisik dan seksual. Mereka menyadari bahwa apa yang terjadi di
antara mereka merupakan sesuatu yang queer dan diluar heteronormativitas dan
apabila Mei dan Yuzu merupakan seorang laki-laki dan perempuan dalam hubungan
heteroseksual. Dalam Cass Identity Model, hal ini merupakan tahap identity tolerance
atau toleransi identitas dengan bukti bahwa kedua orang tersebut telah mengakui
perubahan seksualitas masing-masing dan ingin mencari safe haven atau tempat
BAB 4
SIMPULAN
4.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis studi kasus yuri manga berjudul Citrus karya
Saburouta yang ditelaah menggunakan teori queer ini, peneliti menemukan beberapa
contoh kasus terkait identitas queer dalam produk budaya populer ini. Adapun
beberapa kesimpulan yang didapatkan dari hasil analisis identitas queer yang
ditunjukkan oleh kedua tokoh protagonis dalam yuri manga Citrus karya Saburouta
karena secara tersurat menyatakan menyukai lawan jenis pada awal cerita manga
Citrus. Identitas seksual dan orientasi seksualnya adalah heteroseksual dengan bukti
bahwa ia tertarik pada guru laki-laki yang tampan, Amamiya. Identitas gender dan
ekspresi gender Yuzu adalah wanita yang feminin. Ekspresi gender Yuzu dengan
hobinya yang berdandan untuk menarik lawan jenis mendukung stereotipikasi yang
kedua Citrus juga memiliki identitas seksual sebagai seorang heteroseksual pada awal
cerita, dibuktikan dengan dirinya yang terlihat menjalin hubungan asmara dengan
guru laki-laki Amamiya. Di sisi lain, Mei, mempunyai identitas gender dan ekspresi
identitasnya sebagai seorang wanita. Hal ini membuat Yuzu merasa “aneh” dan
81
“tidak biasa” terhadap hal itu. Ini membuktikan bahwa Mei yang merasa “tidak
mempunyai identitas dan ekspresi gender tertentu” dianggap sebagai sesuatu yang di
adanya krisis identitas gender dan seksual pada Yuzu dan Mei. Krisis identitas gender
dan seksual ini terjadi karena adanya perubahan-perubahan pada diri Yuzu secara
orientasi seksual. Tahap-tahap yang dapat dilihat adalah identity confusion atau
atau penolakan diri denga munculnya perasaan jijik pada diri sendiri karena hal
tersebut di anggap sebagai sesuatu yang “aneh”. Krisis identitas Yuzu berlanjut pada
tahap kedua yaitu identity comparison ketika Yuzu sudah mulai mengakui perasaan-
perasaan queer terhadap Mei namun masih mengalami kebingungan karena Mei telah
dan seksual Yuzu dan Mei dapat dilihat dari tahap identity tolerance yaitu toleransi
identitas. Yuzu dan Mei sama-sama merasa bahwa diri mereka “rusak” dan “tidak
wajar” karena menginginkan kedekatan satu sama lain secara fisik dan seksual.
Mereka menyadari bahwa apa yang terjadi di antara mereka merupakan sesuatu yang
queer dan diluar heteronormativitas dan norma-norma sosial masyarakat Jepang. Hal
ini merupakan bukti bahwa kedua orang tersebut telah mengakui perubahan
seksualitas masing-masing dan ingin mencari safe haven atau tempat berlindung
4.2 Saran
Penelitian ini berlangsung pada saat manga Citrus masih terus berlanjut terbit
sehingga belum diketahui akhir cerita yang pasti. Oleh karena itu, sampel yang
diambil untuk penelitian ini juga terbatas hanya enam jilid pertama saja. Diharapkan
bagi penelitian selanjutnya mengenai identitas queer maupun krisis identitas pada
penelitian ini, untuk mengambil sampel utuh keseluruhan jilid Citrus yang telah terbit
hingga akhir cerita demi mendapatkan sampel data yang komprehensif dan optimal.
要約
ナス (121211332010)
ンガ大学人文学部日本研究学科
序論
人間 社会的 ある け 性的 あ す 人間の
ク に関する話題 性行 性的 ン ン
問題に関連する問題 区別する の ス ン社
会における新たに関連する研究の 1 つ 奇妙 ン の研究
ある ク 異性化の規範を超えた ク 性 一性の談話の
物 依然 流行 いるの 奇妙 人々の ン の語
均等 つ包括的に表現する い あ の奇妙
ン のナ ン 異性愛者の男性の目 見 る
一性 個人を超越する概念 す 要 ン ク 性
いう す
ク 人 ン 危機の現象に密接に関連 い す
ス 多い の ン の危機 内外 の 原
的 力に る自殺 奇妙 人の ナ クスの一部 の ン
え た
ンガ 人気の日本の人気文化の一つ す ンガ 日本 作
た漫画の起源を指す用語 す の研究の対象 る ンガ の
ン の物語 ス いう ンガ す 百合 ビ ンのロ
行わ い い 広 研究 いる傾向のある研究 男性間のロ ン
2000 年 の社会学者 ク ク ン 尾の ン 対照
的に の ン に 人気の高い文化における ク
ン の ン お び奇妙 ナ ン
た 著者 日本の大衆文化商品における女性の奇妙 性格
を調 る を望 いる のケ ス 奇妙 理論 Cass Identity
本論
特に ン ク に関する自己識別の探究 著者
お互いの愛情の ン 意味を探 続け い す ス第 1
章第 1 章 第 2 章の第 1 章 愛原 の話 恋人 い い時に経験 た
問題 始 す 彼女の友人の うに ナ 非常に ン
ン に たい 考え い す の ン 異性愛者の女性
の の性的 ン 示 す
柚子 の会話
: あいつ ン つ 別 たわ
: !? の前 H た 言 た !
柚子 : !?
: あ夏 恋の季節 次 るわ~
柚子 :あ あた 彼氏ほ
: うい 前 別 た 言 た け
:合 誘いたいけ 柚子 秋に 転校 う
: 遠距
柚子 : い う い う 転校 た
彼氏 する
画像 3.6 芽衣 女性 の ン を気に い を明
にする
柚子 : え芽衣 た に 手 サ い ?
柚子 :い あた た 女子高生 め
い
柚子 :?
芽衣 : 女 う捨 たわ
スの第 5 章 17 章 14 に ン の表現 女性
明 強 私 す に私の女性 主張 いる うに ン
ン 服装 若い日本人女性 の一般的 ン
性を気に 気に い 分 る 芽衣 に感 経験 た
日本人女性の ン ン に組 込 た
ス 覇権 一致 い の ある 明 あ
異性の逸脱 ある 結論付ける す 奇妙
1 ン の混乱 2 ン の比較
3 ン の寛容 4 ン の け入 5
ス 芽衣 強制的に彼女に ス 精を性的に嫌 以
来 柚子 彼女の変化を感 始め 自分自身に疑問を抱 る うに
た 柚子 性別 性的 ン の危機を経験 始め す
柚子 : あ け
柚子 : 夜に る ロ ロ 熱い感情に押 つ う
に る
柚子 : あた 過
た 性愛嫌悪 呼 る の す 育 た た 特に青年
内 化 周囲の社会環境 奇妙 のを 識 異種性を超えた態度の
る を偶然発見 た女性 異質 奇妙 ある を知 いる を示
い す 日本社会の柚子近所社会 標準外 ある 考え
る現象 す
結論
柚子 スの漫画の初めに異性を好 いる
け いた いう証拠 あ た ン の ン
の初めに異性愛者 の性的 ン を持 い す 一方 芽
衣に あい い ン の ン あい い ン
の表現 あ 女性 の ン につい 気に
に 柚子 につい 奇妙 珍 い 感を抱 す
特定の ン の ン 表現を持た い 感 る芽
衣 異質性 奇妙 を超えた の す
性的 ン の危機の を特定する す の
感 始める 奇妙 の の ン の危機 柚子
芽衣に奇妙 気持 を める うに た 芽衣 彼女の異性愛者の
ン を中 た 考え いたの 混乱 いた 最後
に 柚子 芽衣の ン 性的 ン の危機 ン
ンスの 当性寛容の段階 見る す 柚子 芽衣
感 た 彼女 彼女 の間 起 いる 奇妙 日本社
性 自分の ク を変える を め お 私 け い
DAFTAR PUSTAKA
Aaron, Michelle. 2004. New Queer Cinema: A Critical Reader. New Jersey: Rutgers
University Press.
Akaeda, Kanako. 2008. Hubungan Keintiman Antar Wanita dalam Masyarakat
Modern Jepang (近代日本における女 士の親密 関係, Kindai Nihon ni
Okeru Jodoushi no Shinmitsu na Kankei). Universitas Kyoto.
Berkowitz, Dana. 2011. Gender and Sexual Politics in Freedom. Louisiana:
Louisiana University Press.
Biever, Joan L. 1998. “The Social Construction of Gender: A Comparison of
Feminist and Postmodern Approaches” Counseling Psychology Quarterly
Volume 11. Taylor & Francis Online.
Bolin, Anne dan Patricia Whelehan. 2009. Human Sexuality: Biological,
Psychological, and Cultural Perspectives. Oxfordshire: Taylor & Francis.
Bouquillard, Jocelyn dan Christophe Marquet. 2007. Hokusai: First Manga Master.
New York: Abrams Books.
Branch, Mark Alden. 2003. “Back in The Fold” Yale Alumni Magazine.
http://archives.yalealumnimagazine.com/issues/03_04/kramer.html Diakses
pada 8 Agustus 2017, 18:11 WIB.
Butler, Judith. 1988. “Performative acts and gender construction: An essay in
phenomenology and feminist theory” Theater Journal Vol. 40.
Butler, Judith. 1990. Gender Trouble: Feminism and The Subversion of Identity.
London: Routledge.
Cass, Vivienne. 1979. “Homosexual Identity Formation: A Theoretical Model”
Journal of Homosexuality Vol. 4. Hlm. 219-235.
Conner, Randy P., David Sparks, dan Mariya Sparks. 1998. Cassell’s Encyclopedia
of Queer Myth, Symbol and Spirit: Gay, Lesbian, Bisexual, and Transgender
Lore. London: Cassell & Co.
Cornog, Martha dan Timothy Perper. Maret 2005. “Non-Western Sexuality Comes to
The U.S: A Crash Course in Manga and Anime for Sexologists”
Contemporary Sexuality. Vol. 39. Bab 3.
93
Dollase, Hiromi. 2003. “Early Twentieth Century Japanese Girls‟ Magazine Stories:
Examining Shoujo Voice in Hanamonogatari (Flower Tales)” The Journal of
Popular Culture Vol. 36.
Foucault, Michel. 1978. The History of Sexuality Vol. 1: The Will to Knowledge.
Paris: Éditions Gallimard.
Fruhstuck, Sabine dan Elise K. Tipton. 2003. “Colonizing sex: Sexology and social
control in modern Japan” Journal of The History of Sexuality Vol. 15.
Diterbitkan Mei 2006.
Furukawa, Makoto dan Angus Lockyer. 1994. “The Changing Nature of Sexuality:
The Three Codes Framing Homosexuality in Modern Japan” U.S-Japan
Women’s Journal. No. 7. Honolulu: University of Hawaii Press.
Gibson, Michelle. 2013. Finding Out: An Introduction to LGBT Studies. California:
SAGE Publications Inc.
Giffney, Noreen. 2004. “Denormatizing Queer Theory: More Than (Simply) Lesbian
and Gay Studies” Feminist Theory. California: SAGE Publications Inc.
Graham Davies, Sharyn. 2006. Challenging Gender Norms: Five Genders among The
Bugis in Indonesia. California: Wadsworth Publishing.
Gravett, Paul. 2004. Manga: Sixty Years of Japanese Comics. New York: Harper
Design.
Greenberg, David. 1990. The Construction of Homosexuality. Chicago: University of
Chicago Press.
Harada, Masashi. 2001. “Queer Japan” Journal of Homosexuality. Vol. 42.
Herek, Gregory, M. 2004. “Beyond „Homophobia‟: Thinking About Sexual Prejudice
and Stigma in The Twenty-First Century” Sexuality Research and Policy:
Journal of NSRC Vol. 1. Hlm. 6-24.
Jagose, Annamarie. 1996. Queer Theory: An Introduction. New York: New York
University Press.
Kaufman, Joanne dan Cathryn Johnson. 2004. “Stigmatized Individuals and The
Process of Identity” The Sociological Quarterly Vol. 45.
McLelland, Mark. 2000. Male Homosexuality in Modern Japan: Cultural Myths and
Social Realities. London: Routledge.
McLelland, Mark, Katsuhiko Suganuma, dan James Welker. 2007. Queer Voices
from Japan: First-Person Narratives from Japan’s Sexual Minorities. New
York: Lexington Books.
Moleong, Lexy. J. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Ketiga Puluh.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mulvey, Laura. 1999. “Visual Pleasure and Narrative Cinema”. Film Theory and
Criticism: Introductory Readings. New York: Oxford UP. Hlm: 833-844.
Nanda, Serena. 2003. “Hijra and Sadhin: Neither Man nor Woman in India”
Constructing Sexualities: Readings in Sexuality, Gender, and Culture. New
Jersey: Pearson Education.
Nishiyama, Matsunosuke. 1997. Edo Culture: Daily Life and Diversions in Urban
Japan, 1600-1868. Honolulu: University of Hawaii Press.
Sedgwick, Eve Kosofsky. 1993. Tendencies. North Carolina: Duke University Press.
Smith, Bruce, dan Yoshiko Yamamoto. 2001. The Japanese Bath.Utah: Layton Gibbs
Smith Press.
Sunagawa, Hideki dan Mark McLelland. Januari 2006. “The Social Situation Facing
Gays in Japan”. Intersections: Gender, History, and Culture in The Asian
Context. Vol 12.
Summerhawk, Barbara, Cheiron McMahill, dan Darren McDonald. 1998. Queer
Japan: Personal Stories of Japanese Lesbians, Gays, Bisexuals, and
Transsexuals. Norwich: New Victoria Publishers.
Summers, Randal W. 2016. Social Psychology: How Other People Influence Our
Thoughts and Action. ABC-CLIO.
Suzuki, Michiko. Agustus 2006. “Writing Same-Sex Love: Sexology and Literary
Representation in Yoshiya Nobuko‟s Early Fiction”. The Journal of Asian
Studies Vol. 65.
Tsabitah, Dalilah Inas. 2018. “Analisis Krisis Identitas Seksual dengan Cass Identity
Model pada Tokoh Aihara Yuzu dalam Manga “Citrus” Karya Saburouta”
Jurnal Japanology Universitas Airlangga. Surabaya: Universitas Airlangga.
Thompson, Kimberly. D. 2010. Yuri Japanese Animation: Queer Identity and
Ecofeminist Thinking. East Carolina University.
Udry, J. Richard. 1994. “The Nature of Gender” Demography. Vol. 31. No. 4. Chapel
Hill: University of Carolina Press.
Vaquera, E. dan G. Kao. 2005. “Private and public displays of affection among
interracial and intra-racial adolescent couples” Social Sciences Quarterly Vol.
86. Hlm. 484-508
Wakita, Haruko. 2006. Women in Medieval Japan: Motherhood, Household
Management, and Sexuality. Victoria: Monash Asia Institute Publishing.
Warner, Michael. 1991. Introduction: Fear of a Queer Planet. North Carolina: Duke
University Press.
Watanabe, Tsuneo, Junnichi Iwata, dan Jennifer Robertson. 1989. “Love of samurai:
A thousand years of Japanese homosexuality”. Journal of The History of
Sexuality. Oktober 1991, Vol. 2 Bab 2.
Xiaomingxiong. 2002. Chinese Mythology. GLBTQ Archives. Dicetak ulang dari
www.glbtq.com
Internet:
“Queer” Official Online English Dictionary by Merriam Webster (Online).
(https://www.merriam-webster.com/dictionary/queer), diakses pada tanggal
18 Januari 2018
“Queer” Official Online English Dictionary by Oxford Dictionary (Online).
(https://en.oxforddictionaries.com/definition/queer), diakses pada tanggal 18
Januari 2018
“Gender” World Health Organization (Online)
(http://www.who.int/gender-equity-rights/understanding/genderdefinition/en/),
diakses pada tanggal 18 Januari 2018