Anda di halaman 1dari 94

MAKNA SIMBOLIK PATUNG SLEEPING BUDDHA DI VIHARA

BUDDHA DHARMA & 8 PHO SAT KEMANG BOGOR

Tugas Akhir

Disusun Oleh :

MUHAMAD UBAYDILLAH
11170321000022

PRODI STUDI AGAMA-AGAMA


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H / 2021
MAKNA SIMBOLIK PATUNG SLEEPING BUDDHA DI VIHARA
BUDDHA DHARMA & 8 PHO SAT KEMANG BOGOR

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh


Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Disusun Oleh :

MUHAMAD UBAYDILLAH
11170321000022

PRODI STUDI AGAMA-AGAMA


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H / 2021
 

LEMBAR PERSETUJUAN

MAKNA SIMBOLIK PATUNG SLEEPING BUDDHA DI VIHARA


BUDDHA DHARMA & 8 PHO SAT KEMANG BOGOR

Skripsi

untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh


Gelar Sarjana Agama (S, Ag)

Oleh:
Muhamad Ubaydillah
NIM: 11170321000022

Pembimbing

Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si


NIP: 19651129 199403 1 002

PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021

i  
 
 

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertnda tangan dibawah ini

Nama : Muhammad Ubaydillah

NIM : 1117032100022

Fakulas : Ushuludin

Jurusan Prodi : Studi Agama-agama

Judul Skrips : “MAKNA SIMBOLIK PATUNG SLEEPING BUDHA DI


VIHARA BUDDHA DHARMA & 8 PHO SAT KEMANG
BOGOR”

Dengan ini saya menyatakan bahwa

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah stau persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syari Hidayatullah Jakarta
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan asli saya atau
merupakan jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di UIN Syarif Hidyatullah Jakarta

Jakarta, 5 Mei 2021

Muhammad Ubaydilah

ii  
 
 

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

iii  
 
 

ABSTRAK

MUHAMAD UBAYDILLAH, "MAKNA SIMBOLIK PATUNG


SLEEPING BUDDHA DI VIHARA BUDDHA DHARMA & 8 PHO SAT
KEMANG BOGOR,” skripsi. Program Studi Agama-agama Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mendekskripsikan Makna Simbolik Patung
Sleeping Buddha di Vihara Buddha Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor. Dalam
hal ini penulis berusaha memahami Makna Simbolik Patung Sleeping Buddha di
Vihara Buddha Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah Studi
Lapangan, Metode yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
metode kualitatif. Adapun pendekatan yang penulis gunakan yaitu pendakatan
Antropologi, Lankah selanjutnya yaitu Library Research (Studi Kepustakaan).
Dengan kata lain penulis melakukan penelitian dengan cara membaca,
mempelajari, membedah, dan meneliti Buku, E-Book, Jurnal dan Ensiklopedia
semaksimal mungkin sesuai data yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini.
Penulis berusaha untuk menjelaskan hasil penelitian berdasarkan pengamatan
yang telah penulis lakukan selama beberapa hari di Makna Simbolik Patung
Sleeping Buddha di Vihara Buddha Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor.
Patung Buddha Tidur di Vihara Buddha Dharma & 8 Pho Sat, didirikan
sebagai penghormatan kepada Sang Buddha. Posisi Patung Buddha Tidur
didirikan dengan posisi berbaring kearah kanan yaitu posisi wafatnya Sang
Buddha atau Mahaparinibbana. Patung Buddha Tidur ini juga bisa diartikan
sebagai posisi manfaat tidur. Manfaat tidur miring ke kanan yaitu untuk mencegah
terjadinya penyakit jantung koroner, selain itu tidur miring ke kanan memberikan
manfaat agar tidak memberatkan kerja jantung dan untuk membantu renovasi
fungsi jantung. Tidur miring ke kanan juga membantu kelancaran buang air besar.
Pada Patung Buddha Tidur ini terdapat tanda Swastika di dada, Swastika
merupakan simbol kuno yang telah digunakan oleh berbagai budaya untuk
melambangkan kehidupan, matahari, kekuasaan, kekuatan, dan keberuntungan.
Begitu pula dalam tradisi ajaran agama Buddha, swastika melambangkan hal-hal
yang baik dan positif. Selain itu, swastika juga merepresentasikan jejak kaki Sang
Buddha (Buddhapada). Swastika kerap kali digunakan sebagai tanda atau icon
dalam sebuah teks Buddhis. Di Cina dan di Jepang, swastika digambarkan sebagai
simbol kemajemukan, kebahagiaan, kesejahteraan, dan umur yang panjang. Saat
ini, swastika masih digunakan sebagai tanda istimewa pada patung-patung Sang
Buddha dan wihara-wihara. Dan ada titik merah di dahi yaitu sebagai tanda bahwa
Sang Buddha berasal dari India, pada telapak kaki juga terdapat roda yang
menggambarkan Roda Dharma. Roda Dharmaitu sendiri memiliki delapan ruas
yang merupakan perlambangan dari Jalan Mulia Berunsur Delapan. Lingkaran
atau bentuk roda memiliki makna hukum sebab akibat (Karma) dimana saling
berkaitan satu sama lain.

Kata Kunci : Patung, Vihara dan Patung Sleeping Buddha

iv  
 
 

KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
ini. Skripsi yang penulis beri judul “Makna Simbolik Patung Sleeping Buddha di
Vihara Buddha Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor”, skripsi ini disusun untuk
memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S,Ag) Progrsm Studi
Agama-agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa skripsi yang jauh
dari kata sempurna ini tidak akan dapat selesai tanpa adanya dukungan dari
banyak pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasi kepada banyak pihak
yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, khususnya kepada:
1. Kedua Orang tua tercinta yang selalu memberikan nasihat, motivasi, saran,
dukungan baik moril maupun materil. Semoga penulis sebagai anak
tercinta bisa membalas semua perjuangan Ayahanda Nurhasan dan Ibunda
Ummah, dan tidak lupa ucapan trimakasih penulis kepada kakak-kakak
tersayang Ujli dan Siti Maymunah yang telah memberikan motivasi, doa
dan dukungan.
2. Bapak Syaiful Azmi, MA., selaku Kepala Jurusan Studi Agama-agama
dan Ibu Lisfa Sentosa Aisyah, MA., selaku Sekertaris Jurusan Studi
Agama-agama yang telah memberikan arahan dan Motivasi yang luar
biasa kepada penulis dan selalu memberikan pelayanan yang terbaik
kepada mahasiswa/i dengan baik.
3. Ibu Dra. Hj. Hermawati, MA dan Ibu Siti Nadroh S.Ag., M.Ag yang telah
memberikan arahan dan motivasi kepada penulis dalam pengambilan Judul
skripsi ini.
4. Bapak Dr. Ahmad Rido DESA sebagai dosen Penasehat Akademik yang
telah meluangkan banyak waktu sehingga terciptanya proposal judul
skripsi ini.

v  
 
 

5. Bapak Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M. Si, sebagai dosen pembimbing


yang selalu meluangkan waktu serta kesabaran untuk memberikan arahan
dan bimbingan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
6. Seluruh dosen Studi Agama-Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
tidak dapat disebutkan satu persatu tanpa mengurangi rasa hormat atas
ilmu dan pelajaran dalam perkuliahan atau di luar perkuliahan.
7. Seluruh jajaran pimpinan dan staff Fakultas Ushuluddin atas bantuan
dalam persiapan pelaksanaan seminar proposal dan ujian komprehensif.
8. Bapak Andy Suwanto selaku Guru Spiritual Vihara Buddha Dharma & 8
Pho Sat kemang Bogor dan Bapak Andrean Halim selaku Sekretaris di
Vihara Buddha Dharma & 8 Pho Sat kemang Bogor yang telah berkenan
memberikan izin penelitian sekaligus menjadi narasumber untuk
melengkapi isi skripsi.
9. Trimakasi kepada teman-teman yang telah membantu dalam pembuatan
skripsi ini penulis mengucapkan banyak trimakasi kepada Faiq, ilham,
aidha, amel, febri, devita.
10. Trimakasi penulis ucak kepada teman-teman yang telah membantu dalam
proses pengambilan judul yaitu kepada latifa, alvi, dila, dede winci, wulan,
rodi, nawal, muria tidak lupa penulis ucapkan trimakasi kepada rekan KM
yaitu irsyad dan juga keluarga besar anak kost bu dewi.
11. Trimakasi pula kepada teman-teman yang telah menemani penulis dalam
pengerjaan skrisi ini yaitu trimakasi kepada yazid, fuji, tama, jeje.
Trimakasi pula penulis ucapkan kepada teman-teman KKN 2020
kelompok 82. Trimakasi juga kepada seluruh para senior Studi Agama-
agama.
12. Temen-temen alumni Mts Nurul Falah.
13. Seluruh teman-teman alumni Ponpes Darul Kholidin khususnya angkatan
15.
14. Seluruh teman-teman Studi Agama-Agama angkatan 2017 terimakasih
sudah memberikan warna kehidupan di Fakultas Ushuluddin.
Sebagai manusia biasa yang tidak pernah luput dari kekurangan
dan keterbatasan, penulis menyadari bahwa penelitian ini mungkin masih

vi  
 
 

banyak kekurangannya. Oleh sebab itu, penulis menerima kritik dan saran
yang bersifat membangun untuk menyempurnakan penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh
dari kesempurnaan. Penulis mengharapkan penelitian ini bermanfaat bagi
semua pihak dan dapat memenuhi apa yang diharapkan oleh semua pihak.
Semoga Allah SWT memberikan keberkahan kepada kita semua. Aamiin
Ya Rabbal ‘Alamin.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Jakarta, 2 Agustus 2021

Muhamad Ubaydillah

vii  
 
 

DAFTAR ISI

   
LEMBAR PERSETUJUAN ..........................................................................................i

LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................................... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................................ iii

ABSTRAK ....................................................................................................................iv

KATA PENGANTAR ................................................................................................... v

DAFTAR ISI .............................................................................................................. viii

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................. x

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ......................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................................. 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................................... 5

D. Metode Penelitian ................................................................................................... 5

E. Tinjauan Pustaka ..................................................................................................... 6

F. Kerangka Teori ....................................................................................................... 7

G. Sistematika Penulisan ........................................................................................... 11

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG VIHARA BUDDHA DHARMA &


8 PHO SAT KEMANG BOGOR ............................................................................... 13

A. Sejarah Muncul dan Berkembang Vihara Buddha Dharma & 8 Pho Sat
Kemang Bogor ......................................................................................................... 13

B. Bagian-bagian dari Vihara Buddha Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor .......... 17

C. Kegiatan di Vihara Buddha Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor ...................... 26

BAB III MAKNA PATUNG DALAM AGAMA BUDDHA ................................... 30

A. Pengertian Patung Dalam Agama Buddha ........................................................... 30

B. Fungsi danKarakteristik Patung dalam Agama Buddha ....................................... 32

viii  
 
 

C. Proses Pensakralisasian Patung Dalam Agama Buddha....................................... 37

BAB IV MAKNA PATUNG SLEEPING BUDDHA DI VIHARA BUDDHA


DHARMA & 8 PHO SAT........................................................................................... 40

A. Patung Sleeping Buddha Secara Umum............................................................... 40

B. Makna Simbolik Patung Sleeping Buddha di Vihara Buddha Dharma & 8


Pho Sat Kemang Bogor ............................................................................................. 44

C. Pandangan Jamaat Tentang Patung Sleeping Buddha di Vihara Buddha


Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor. ....................................................................... 49

BAB IV PENUTUP ..................................................................................................... 53

A. Kesimpulan........................................................................................................... 53

B. Saran ..................................................................................................................... 54

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 56

LAMPIRAN-LAMPIRAN ......................................................................................... 61

ix  
 
 

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : Permohonan Pengajuan Proposal Skripsi


Lampiran II : Permohonan Menguji Proposal Skripsi
Lampiran III : Hasil Ujian Proposal Skripsi
Lampiran IV : Permohonan menjadi Pembimbing Skripsi
Lampiran V : Surat Izin Observasi
Lampiran VI : Lembar Pernyataan Wawancara dengan Bapak Andy Suwanto
Lampiran VII : Lembar Pernyataan Wawancara dengan Bapak Andrean Halim
Lampiran VIII : Lembar Pernyataan Wawancara dengan Ibu Sheila
Lampiran IX : Lembar Pernyataan Wawancara dengan Bapak Ian Haji
Lampiran X : Dokumentasi
Lampiran XI : Sertifikat

x  
 
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Dalam alur sejarah Agama-agama di India, zaman agama Buddha dimulai


semenjak tahun 500 S.M. Hingga tahun 300 M. Secara historis agama tersebut
mempunyai kaitan erat dengan agama yang mendahuluinya, namun
mempunyai beberapa perbedaan dengan agama yang mendahuluinya dan yang
datang sesudahnya, yaitu agama Hindu.1

Menurut pendapat Nasiman dan Nuswito dalam bukunya Pendidikan


Agama Buddha dan Budi Pekerti, agama memiliki beberapa fungsi
diantaranya yaitu :
1. Sebagai pemupuk rasa solidaritas artinya agama mampu
menyatakan perbedaan melalui rasa solidaritas atau penghargaan
yang tinggi terhadap agama orang lain.
2. Trasformatif artinya agama mampu mengubah kepribadian dan
prilaku manusia dari yang buruk menjadi baik.
3. Kreatif artinya agama mampu mendorong umatnya menjadi
produktif baik untuk diri sendiri maupun lingkungannya.
Sublimatif artinya agama mampu menyucikan kehidupan manusia
dari tiga akar kejahatan yaitu keserakahan, kebencian, dan
kebodohan.
4. Edukatif artinya agama mampu mendidik masyarakat memiliki
nilai-nilai spiritual yang tinggi.
5. Penyelamat artinya agama mampu menyelamatkan manusia dari
penderitaan.
6. Kedamaian artinya agama mampu membuat masyarakat memiliki
rasa damai dari kesalahan/dosa yang dibuatnya melalui
tuntunannya.
                                                                                                               
1
Rahmat Fajri. Roni Imail. Khairullah Zikri, Agama-agama Dunia, (Yogyakarta, Jurusan
Perbandingan Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Belukar, 2012), hlm. 120

1  
 
2  
 

7. Kontrol sosial artinya agama mampu memelihara nilai-nilai sosial


masyarakat melalui norma-norma yang diajarkan agamanya.2
Buddha merupakan sebuah agama dan filsafat yang meliputi beragam
tradisi kepercayaan dan praktik yang diajarkan oleh Buddha Sakyamuni.
Selain dikenal sebagai buddha Gautama. Ia juga memiliki nama Bhagava,
Tathagata dan lain sebagainya.
Menurut catatan sejarah agama buddha lahir dan berkembang sekitar 6
abad SM di anak benua India bagian utara. Secara etimologi, kata Buddha ini
berasal dari “Buddh” yang berarti bangun atau bangkit, dan dapat pula berarti
pergi dari kalangan orang bawah atau awam.3
Agama buddha itu sendiri terletak pada sumbu penderitaan. Walaupun
agama Buddha menekankan adanya penderitaan namun hal ini bukan berarti
agama buddha adalah pesimistis, sebaliknya hal ini bukan pesimistis atau
optimistis sama sekali, tetapi realistis. “penderitaan menimbulkan
Kepercayaan (Saddha): Kepercayaan menimbulkan rasa gembira (pamajja):
Rasa gembira menimbulkan kesenangan (Piti): Kesenangan menimbulkan
ketenangan (pasadhi) : Ketenangan menimbulkan kebahagiaan (Sukha):
kebahagiaan menimbulkan pemusatan pikiran (Samadhi): Konsentrasi
menimbulkan Pengetahuan dan Pandangan akan benda-benda sebagaimana
mereka adanya (Yathabhutananudassana): Pengetahuan dan benda-benda
sebagai mana mereka adanya menimbulkan rasa benci (Nibbidha): Rasa benci
menimbulkan ketidakmelekatan (Viraga): Ketidak melekatan menimbulkan
Pelepasan (Vimutti): Pelepasan menimbulkan Pemadaman Nafsu Keinginan
(Khaye Nana): yaitu Arahat.4
Secara garis besar ajaran agama buddha dapat dirangkum dalam tiga
ajaran pokok, yaitu Buddha, dharma dan sangha. Ajaran tentang Buddha
menakankan pada bagaimana umat buddha memandang Sang Buddha
Gautama sebagai pendiri agama Buddha dan asas rohani yang dapat dicapai

                                                                                                               
2
Nasiman dan Nuswito, Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti, (Jakarta :
Kemantrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017), hlm. 46
3
Muhammad Ali Imron, Sejaraah Terlengkap Agama-agama di Dunia, (Yugyakarta :
IRCiSoD, 2015), hlm. 116
4
Alm. Ven. Narada Mahathera, Sang Buddha dan Ajaran-ajarannya, (Jakarta: Yayasan
Dharmmadipa Arama, 1992), hlm. 22-24

 
 
3  
 

oleh setiap makhluk hidup. Pada perkembangan selanjutnya ajaran tentang


buddha ini berkaitan pula dengan masalah ketuhanan yang menjadi salah satu
ciri semua agama. Ajaran tentang dharma banyak membicarakan masalah-
masalah yang dihadapi manusia dalam hidupnya. Ajaran tentang sangha,
selain mengajarkan umat buddha memandang sangha sebagai pasamuan para
bhikkhu, juga berkaitan dengan umat buddha yang menjadi tempat para
bhikkhu menjalankan dharmanya, juga dengan pertumbuhan dan
perkembangan agama buddha, baik ditempat kelahirannya di India maupun di
tempat-tempat agama tersebut berkembang.5
Nama Buddha itu sendiri diambil dari nama pendirinya, Sidharta Gautama
(563-483 SM) yang lebih dikenal dengan panggilan Buddha. Sidharta
Gautama atau Buddha Gutm (563-483 SM).6 Peristiwa yang diperingati dalam
kehidupan Buddha adalah Hari Waisak (Hari Kelahirannya). 7 Buddha
Gautama menghabiskan 45 tahun dari 80 tahun usianya untuk berkhotbah dan
menyebarkan ajarannya. Selama 45 tahun itu, Buddha Gautama mengajar dan
berkhotbah siang maupun malam dan hanya tidur dua jam sehari. Buddha
berbicara dengan semua kalangan manusia Raja, Pangeran, Brahmana, Petani,
Pengemis, Kaum Terpelajar, dan Orang Biasa. Ajarannya disesuaikan dengan
pengalaman, tingkat pemahaman, dan kapasitas mental pendengarnya. Apa
yang diajarkannya dinamakan Buddha Vacana.8
Ketika mencapai usia ke-80, Sang Buddha mengalami sakit karena faktor
usia yang semakin menua. Namun, berkat kekuatan batinnya. Sang Buddha
mampu mengatasi rasa sakit tersebut. Batin Sang Buddha selalu bersinar
laksana berlian, meskipun jasmaniNya telah mulai melemah.9 Dan pada usia
ini pula Buddha mencapai Mahaparinibbana atau wafatnya sang buddha,
patung buddha tidur merupakan gambaran posisi wafatnya sang buddha

                                                                                                               
5
Rahmat Fajri. Roni Imail. Khairullah Zikri, Agama-agama Dunia, (Yogyakarta, Jurusan
Perbandingan Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Belukar, 2012), H. 121
6
Rosmani Ahmad, Jurnal : Gerakan-Gerakan Spiritual Dalam Komunitas Buddha,
Analytica Islamica, Vol, 1, No. 1, 2012. Hlm. 164
7
Bhikku Bhodhi, Buddha & Pesannya, (Jakarta : Dian Dharma, 2006), Hlm. 2
8
Effendie Tanumihardja. Sapardi, Herino, BUKU AJARAN MATA KULIAH WAJIB
PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA, (Direktorat Jendral Pembelajaran dan Kemahasiswaan
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia, 2016), hlm. 4
9
Sulan. Karsan, Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti, (Jakarta : Pusat Kurikulum
dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud, 2015), hlm 2

 
 
4  
 

dengan posisi tidur ke arah kanan, dan salah satu patung Buddha tidur yang
ada di indonesia yaitu patung Buddha tidur di Kampung Jati Rt 02/06 Desa
Tonjong Kecamatan Tajur Halang Kemang Bogor dengan nama Vihara
Buddha Dharma & 8 Pho Sat, merupakan satu-satunya patung Buddha tidur
terbesar yang ada di Provinsi Jawa Barat, dengan panjang 18 meter dan
tingginya 4,75 meter, yang membedakan Buddha tidur ditempat ini dengan
yang lain yaitu salah satunya ada pada lambang swastika yang mempunyai
makna kedamaian yang ada di dada patung Buddha tidur tersebut dan juga ada
titik merah yang ada di dahi patung Buddha tidur tersebut sebagai simbol
India negara asal Buddha Gautama.10
Dari penjelasan latar belakang diatas penulis tertarik untuk meneliti
tentang Makna Simbolik Patung Sleeping Buddha. Patung Sleeping Buddha
ini sangat menarik untuk diteliti karena masih banyak masyarakat terutama
dikalangan mahasiswa yang belum mengetahui bahwa Patung Sleeping
Buddha atau Patung Buddha Tidur adalah patung Buddha dengan posisi
Buddha Gautama yang sedang tertidur, padahal Patung Sleeping Buddha itu
sendiri adalah posisi wafatnya sang Buddha. Penulis juga mengangkat kata
Makna yaitu untuk menjelaskan lebih dalam tentang Maksud serta Arti objek
yang akan diteliti, jika penulis tidak menggunakan kata Makna maka
pembahasan tentang objek yang akan diteliti hanya secara global atau tidak
mendalam. Masih banyak makna dan peranan Buddha tidur. Maka penulis
tertarik untuk mengkaji tentang Makna Simbolik Patung Sleeping Buddha,
maka dari itu skripsi ini diberi judul: “MAKNA SIMBOLIK PATUNG
SLEEPING BUDDHA DI VIHARA BUDDHA DHARMA & 8 PHO SAT
KEMANG BOGOR”

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka Penulis
mengangkat pokok-pokok permasalahan dalam sekripsi ini sebagai berikut
: Apa Makna Patung Sleeping Buddha di Vihara Buddha Dharma & 8
Phosat?

                                                                                                               
10
Andy Suwanto Dhanujaya, Vihara Buddha Dharma & 8 Pho sat (Sleeping Buddha),
(Bogor : Panti Asuhan Yayasan Teratai Kasih, 2017), hlm. 59

 
 
5  
 

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisam skripsi ini
yaitu :
a. Untuk mengetahui Apa Makna Patung Buddha Dharma di
Vihara Buddha Dharma 8 Phosat.
b. Secara akademis skripsi ini bertujuan untuk memenuhi
syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana di Prodi Studi
Agama-agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negri Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Manfaat Penulisan
Penulis berharap semoga skripsi ini menjadi pijakan awal untuk
pengembangan tentang MAKNA SIMBOLIK PATUNG SLEEPING
BUDDHA. Penulis juga berharap dengan adanya skripsi ini bisa
menambah bahan pustaka tentang MAKNA SIMBOLIK PATUNG
SLEEPING BUDDHA.

D. Metode Penelitian
Metode yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
metode kualitatif. Yang dimaksud kualitatif adalah jenis penelitian yang
menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak bisa diperoleh dengan
menggunakan prosedur-prosedur statistic atau cara-cara lain dari
kuantitatif. Penelitian kualitatif secara umum dapat digunakan untuk
penelitian tentang kehidupan masyarakat, sejarah, tingkahlaku,
fungsionalisasi organisasi, aktivitas sosial, dan lain-lain.11
Adapun pendekatan yang penulis gunakan yaitu yang pertama
pendakatan Antropologi. Pendekatan ini berupaya memahami
kebudayaan-kebudayaan produk manusia yang berhubungan dengan
agama. Sejauh mana agama memberi pengaruh terhadap budaya dan
sebaliknya, sejauh mana kebudayaan suatu kelompok masyarakat memberi
pengaruh terhadap agama. Menurut Clifford Geertz dapat dipahami bahwa

                                                                                                               
11
Pupu saeful Rahmah, Jurnal : Penelitian Kualitatif, EQUILIBRIUM,Vol. 5, No. 9,
Januari – Juni 2009. Hlm. 2.

 
 
6  
 

Antropologi secara umum selalu melibatkan “lukisan mendalam.”


Tugasnya, bukan semata mendeskripsikan (melukiskan) struktur suku-
suku primitif atau bagian-bagian ritual yang lebih khusus.12
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi
ini adalah Studi Lapangan yaitu penulis mendatangi Vihara tempat penulis
tuju untuk mengadakan penelitian yaitu : Vihara Buddha Dharma & 8 Pho
Sat di Kp. Jati Rt 02/06 Desa Tonjong Kec. Tajur Halang Kemang Bogor.
Untuk memperkaya data atau bahan yang dianggap sangat diperlukan
dengan melakukan wawancara pribadi dengan pengurus Vihara tersebut,
demi untuk hasil yang maksimal dan baik.
Langkah selanjutnya yaitu Library Research (Studi Kepustakaan).
Artinya, penelitian dapat diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan secara
sistematis untuk mengumpulkan, mengolah, dan menyimpulkan data
dengan menggunakan metode/teknik tertentu guna mencari jawaban atas
permasalahan yang dihadapi dalam penelitian kepustakaan.13 Dengan kata
lain penulis melakukan penelitian dengan cara membaca, mempelajari,
membedah, dan meneliti Buku, E-Book, Jurnal dan Ensiklopedia
semaksimal mungkin sesuai data yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi
ini.
Sedangkan tehnik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku
pedoman penulisan karya ilmiah berupa Skripsi, Tesis dan Disertasi yang
ditetapkan oleh Universitas Islam Negri Jakarta, 2017.

E. Tinjauan Pustaka
Dalam tinjauan pustaka ini penulis akan menunjukan beberapa
karya tulis ilmiah yang telah dibahas tentang patung sleeping Buddha,
untuk menunjukan orisinilitas karya tulis ilmiah ini. Dibawah ini
merupakan beberapa penulis yang pernah menulis atau sekilas mirip
dengan penulis gunakan yaitu:

                                                                                                               
12
Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2015),
hlm. 48-53
13
Iqbal, Jurnal : Penelitian Kepustakaan, Volume 05 No. 01, 2011. Hlm. 38.

 
 
7  
 

1. Skripsi Salwa Anwar Mahasiswa Universitas Islam Negri Syarif


Hidayatullah Jakarta yang berjudul “Makna Simbolik Patung Mi
Lek Hut dan Patung Ta Oi Lao Shi di Vihara Dharma Jaya di Pasar
Baru Jakarta Pusat” Skripsi ini membahas tentang makna relif dan
bentuk relif Patung Mi Lek Hut dan Patung Ta Oi Lao Shi di
Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) di Pasar Baru Jakarta Pusat.
Yang di fokuskan pokok permasalahannya adalah makna relif dan
bentuk relif Patung Mi Lek Hut dan Patung Ta Oi Lao Shi.14
2. Skripsi Choirulnisah Trisnayanti Mahasiswa institut Seni Indonesia
Surakarta yang berjudul “Studi Bentuk dan Bentuk Makna Relif
Candi Sojiwan”. Skripsi ini membahas tentang makna relif dan
bentuk relif Candi Sojiwan. Yang di fokuskan pokok
permasalahannya adalah makna relif dan bentuk relif Candi
Sojiwan.15
3. Skripsi Yosanthi Sinthike Hutabarat Mahasiswa Departemen Sastra
Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan
yang berjudul “Fungsi dan Makna Patung Dewi Kwan Im Pada
Vihara Avalokitesvera Bagi Masyarakat Tionghoa di Pematang
Siantar”, Skripsi ini membahas tentang Fungsi dan Makna Patung
Dewi Kwan Im. Yang di fokuskan pokok permasalahannya adalah
Fungsi dan Makna Patung Dewi Kwan Im.16
Dari ketiga judul diatas, bahwa judul yang penulis angkat yaitu
Makna Agamis Patung Sleeping Buddha di Vihara Buddha Dharma & 8
Phosat Kemang Bogor, dapat dipastikan bahwa belum ada penelitian
ilmiah yang membahas dengan detail.

F. Kerangka Teori
1. Makna simbolik
Makna adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur
bahasa itu sendiri (terutama kata-kata). Menurut Lyons dan
                                                                                                               
14
http://repository.uinjkt.ac.id Diakses pada tanggal 1 Februari 2021 pukul 13:35 WIB
15
https://repository.isi-ska.ac.id diakses pada tanggal pada 1 Februari 2021 pukul 14:10
WIB
16
https://repository.usu.ac.id diakses pada 1 Februari 2021 pukul 14:10 WIB

 
 
8  
 

Mastansyir, bahwa makna merupakan suatu konsep, pengertian,


ide, atau gagasan yang terdapat dalam sebuah satuan ujaran baik
berupa sebuah kata, gabungan kata, maupun yang lebih besar lagi.
Makna berupa penjelasan yang disampaikan atau diujarkan oleh
seseorang kepada orang lain baik tertulis maupun secara lisan.17
Kata simbol berasal dari kata Yunani Simbolon yang berarti
tanda atau ciri yang memberitahu sesuatu hal kepada seseorang.
WJS Poerwadarwinta, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
menyebutkan bahwa simbol atau lambang ialah sesuatu seperti:
tanda, lukisan, perkataan, lencana dan sebagainya.18
Dalam kehidupan, manusia selalu menggunakan lambang
atau simbol. Oleh karena itu, Eams Cassier, seorang sarjana dan
filsuf mengatakan bahwa manusia adalah makhluk bersimbol.
Hampir tidak ada kegiatan yang tidak terlepas dari simbol.
Firth mengemukakan bahwa simbol dalam kehidupan
manusia memiliki fungsi sebagai berikut.
a. Fungsi Komunikasi
Fungsi simbol sebagai saran komunikasi
mengacu pada hubungan antara simbol dengan
makna atau pesan yang disampaikan melalui simbol
tersebut. Fungsi simbol sebagai sarana komunikasi
juga mengacu pada fungsi simbol sebagai
penyampai pesan, ide, pikiran, dan perasaan oleh
pengirim kepada penerima. Simbol dan komunikasi
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan
karena komunikasi tidak akan berlangsung bila
tidak ada simbol-simbol yang dipertukarkan.
b. Fungsi Pengetahuan

                                                                                                               
17
Sofia Filiandini, Jurnal : Makna Simbolik Upacara Kayori Suku Pendau di Desa Tovia
Tambu Kecamatan Balaesang, Jurnal Bahasa dan Sastra Volume 4 No 1 (2019), hlm 85
18
Agustiono A, Jurnal : Makna Simbol Dalam Kebudayaan Manusia, Jurnal Ilmu
Budaya, Vol, 8, No. 1 Tahun 2011, hlm 2.

 
 
9  
 

Pengetahuan berkaitan dengan segala


sesuatu hal yang diketahui seseorang berdasarkan
pengalaman atau karena dipelajari. Simbol sebagai
produk budaya dapat dipelajari berdasarkan
pengetahuan yang ada pada manusia atau
berdasarkan pengetahuan tentang dunia.
Pengetahuan pada dasarnya mengacu pada suatu
keyakinan, ide atau pikiran yang diperoleh dari
Jurnal Bahasa dan Sastra informasi atau dari pihak
lain yang memberikan kontribusi atas informasi
yang diperoleh.
c. Fungsi Mediasi
Istilah mediasi sering digunakan dalam
dunia pendidikan khususnya dalam pembelajaran
yang dikenal dengan media pembelajaran. Namun,
istilah ini sebenarnya dapat digunakan dalam
berbagai bidang kegiatan. Kata media berasal dari
bahasa Latin, dari kata medius yang berarti
‘tengah’, ‘pengantar’, dan ‘perantara’. Media dalam
konteks ini dipahami sebagai segala bentuk dan
saluran yang digunakan untuk menyampaikan
informasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
media merupakan sarana yang dapat digunakan
sebagai sarana perantara. Media juga dapat
dipandang sebagai segala sesuatu yang dapat
mengantar pesan atau sebagai saluran komunikasi.
d. Fungsi Partisipasi
Simbol dalam kehidupan masyarakat
memiliki fungsi tertentu. Salah satu fungsi simbol
itu adalah sebagai fungsi partisipasi. Simbol sebagai
fungsi partisipasi mengacu pada dukungan atau
partisipasi masyarakat berkenaan dengan nilai-nilai

 
 
10  
 

simbol yang tercermin dalam segala aspek


kehidupan sehari-hari. Berkaitan dengan simbol,
terdapat pandangan yang menyatakan bahwa salah
satu sifat dasar manusia adalah kemampuannya
menciptakan dan menggunakan simbol.
Kemampuan manusia menciptakan dan
menggunakan simbol mengindikasikan bahwa
manusia telah memiliki kebudayaan yang tinggi
dalam berinteraksi dan berkomunikasi antar sesama
anggota masyarakat.19
2. Patung
Patung adalah benda tiga dimensi karya manusia yang
diakui secara khusus sebagai suatu karya seni. Orang yang
menciptakan patung disebut pematung. Tujuan penciptaan patung
adalah untuk menghasilkan karya seni yang dapat bertahan selama
mungkin.
Menurut Susanto seni patung adalah sebuah tipe karya tiga
dimensi yang bentuknya dibuat dengan metode subtraktif
(mengurangi bahan seperti memotong, menatah) atau aditif
(membuat model lebih dulu seperti mengecor dan mencetak).
Sedangkan menurut Soenarso dan Soeroto, Seni Patung adalah
semua karya dalam bentuk meruang. Menurut Kamus Besar
Indonesia adalah benda tiruan, bentuk manusia dan hewan yang
cara pembuatannya dengan dipahat. Selanjutnya B. S. Mayer
mendefinisi-kan Seni patung adalah karya tiga dimensi yang tidak
terikat pada latar belakang apa pun atau bidang manapun pada
suatu bangunan. Karya ini diamati dengan cara mengelilinginya,
sehingga harus nampak mempesona atau terasa mempunyai makna
pada semua seginya. Selain itu Mayer menambahkan bahwa seni
patung berdiri sendiri dan memang benar-benar berbentuk tiga
                                                                                                               
19
Sofia Filiandini, Jurnal : Makna Simbolik Upacara Kayori Suku Pendau di Desa Tovia
Tambu Kecamatan Balaesang, Jurnal Bahasa dan Sastra Volume 4 No 1 (2019), hlm 84-85.

 
 
11  
 

dimensi sehingga dari segi manapun kita melihatnya, kita akan


dihadapkan kepada bentuk yang bermakna. Berdasarkan pengertian
di atas dapat disimpulkan bahwa karya seni memiliki media yang
sangat luas. Segala hal mampu menjadi aspek pendukung dalam
terciptanya karya seni, yang perwujudan salah satunya adalah
karya seni patung.
Cabang seni rupa tiga dimensi ini merupakan perwujudan
ekspresi dan kreasi manusia. Kata bentuk dalam seni rupa diartikan
sebagai wujud yang terdapat di alam dan yang tampak nyata.
Sebagai unsur seni, bentuk hadir sebagai manifestasi fisik dari
obyek yang dijiwai yang disebut juga sebagai sosok (dalam bahasa
Inggris disebut form). Misalnya membuat bentuk manusia,
binatang dsb. Ada juga bentuk yang hadir karena tidak dijiwai atau
secara kebetulan (dalam bahasa Inggris disebut shape) yang
dipakai juga dengan kata wujud atau raga. Di Indonesia pada masa
lampau sudah dikenal patung primitif seperti yang terdapat di Irian
Jaya (Asmad) dan Sulawesi Selatan (Toraja). Menurut pendapat
Musoiful Faqih pada masa Hindu-Budha patung klasik terutama
berkembang di Jawa dan Bali. Karya patung primitif dan klasik
secara tradisional berlangsung turun temurun hingga sekarang.
Selanjutnya primitif dan klasik disebut corak tradisional sedangkan
patung di luar primitif dan klasik disebut patung yang bercorak
modern.20

G. Sistematika Penulisan
Penulisan Skripsi ini terbagi menjadi beberapa bab dan sub bab
yaitu :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab Pendahuluan Merupakan bab yang terdiri dari lima sub
bab, yang berisi antara lain : Latar Belakang Masalah,

                                                                                                               
20
Aceng Hasani, JURNAL : MEMBACA BAHASA DAN SASTRA INDONESIA, Banten :
MLI Cabang Untirta dam Hiski, Volume 2 Nomor 2 Nov 2017, hlm 167.

 
 
12  
 

rumusan masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode


Penelitian, Sistematika Penulisan, Kerangka Teori.
BAB II : GAMBARAN UMUM VIHARA BUDDHA DHARMA
& 8 PHOSAT
Bab ini menjelaskan tentang sejarah dan Perkembangan
Vihara Buddha Dharma & 8 Phosat, serta Aktivitas Sosial
Keagamaaan yang ada di Vihara Buddha Dharma & 8
Phosat.
BAB III : PATUNG DALAM AGAMA BUDDHA
Bab ini menjelaskan tentang Pengertian Patung, Makna dan
Fungsi Patung serta Proses Pensakralisasian Patung
BAB IV : MAKNA PATUNG SLEEPING BUDDHA DI
VIHARA BUDDHA DHARMA & 8 PHOSAT
Bab ini menjelaskan tentang Patung Sleeping Buddha
Secara Umum, Makna Simbolik Patung Sleeping Buddha
serta Pandangan Jamaat Tentang Patung Sleeping Buddha
di Vihara Buddha Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor
BAB V : PENUTUP
Bab ini berisi Kesimpulan dari semua yang telah
dipaparkan oleh penulis dan Saran-saran dari penulis.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN

 
 
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG VIHARA BUDDHA
DHARMA & 8 PHO SAT KEMANG BOGOR

A. Sejarah Muncul dan Berkembang Vihara Buddha Dharma & 8 Pho


Sat Kemang Bogor

Di kalangan masyarakat Buddha ada ramalan yang menyatakan


bahwa 2500 tahun setelah wafatnya Sang Buddha, agama Buddha akan
lenyap dari muka bumi atau akan berkembang dengan pesat di muka bumi.
Namun 2500 tahun setelah wafatnya Sang Buddha yaitu tahun 1956 yang
dikenal dengan 2500 tahun Buddha Jayanti.
Tahun 1956 ini yang diramalkan sebagai tahun yang menyediakan
lubang kubur bagi agama Buddha, ternyata tahun, 1956 agama Buddha
berkembang sangat pesat penyebarannya begitu cepat dan meluas. 21
Begitu juga perkembangan agama Buddha di Indonesia, tidak bisa di
pungkiri perkembangan agama Buddha begitu cepat, agama Buddha
sendiri banyak berpengaruh bagi Indonesia, dimulai dari budaya, adat
istiadat dan lain sebagainya sehingga menambah kekayaan Indonesia.
Penyebaran agama Buddha di Indonesia sangat cepat tersebar meluas,
hingga sampai ke daerah Bogor.

AGAM ISLA KRIST KHATH HIN BUD KONGHU KEPERCAY JUML


A M EN OLIK DU DHA CU AAN AH
BOGOR
SELAT 186,2
AN 41 8,405 4,515 107 2,211 103 11 201,593
BOGOR 91,43
TIMUR 0 6,232 4,347 92 1,439 42 0 103,582
BOGOR
TENGA 174,6
H 54 8,777 3,323 54 2,336 80 3 189,227
BOGOR 94,58
BARAT 8 5,447 3,370 260 712 73 8 104,458

                                                                                                               
21
Oka Diputhara, Agama Buddha Bangkit, (Arya Suryacandra Berseri, 2006), hlm. 25

13  
 
14  
 

BOGOR 229,4
UTARA 12 5,662 2,703 356 767 46 12 238,958
TANAH
SEREA 199,8
L 64 6,591 3,195 215 612 40 3 210,520

Tabel 1 : Jumlah pemeluk agama di kota Bogor tahun 2019


22

No Nama Kabupaten Kota Jumlah Vihara


1. Bogor Selatan 2
2. Bogor Timur 3
3. Bogor Tengah 2
4. Bogor Barat 0
5. Bogor Utara 0
6. Bogor Sareal 1
Jumlah 9
Tabel 2 : Data Jumlah Sarana Ibadah Menurut Kota
Bogor.23
Berdasarkan data diatas penulis menyimpulkan bahwa jumlah
penganut agama Buddha terbanyak ada di daerah Bogor Tengah dengan
jumlah 2,336. Untuk jumlah penganut agama Buddha terbanyak kedua ada
pada daerah Bogor Selatan dengan jumlah 2,211. Dari tabel diatas total
penganut agama Buddha di kota Bogor dengan jumlah 2.096,986. Untuk
rumah ibadah agama Buddha (Vihara) yang ada di kota Bogor berjumlah
9. Salah satunya ada di Kp. Jati Rt 06/02 Desa Tonjong Kecamatan
Tajurhalang Kabupaten Bogor, dengan nama Vihara Buddha Dharma & 8
Pho Sat.
Vihara Buddha Dharma & 8 Pho Sat, merupakan sebuah Vihara
sejak dari awal pembangunan bukan berawal dari kelenteng lalu berubah
menjadi Vihara melainkan memang sejak dari awal berdiri tempat ini
adalah Vihara, berdiri sejak tahun 2006 yang beralamat di Kp. Jati Rt

                                                                                                               
22
Jumlah pemeluk agama dikota Bogor tahun 2019,
https://data.kotabogor.go.id/user/detailstatistik/190 diakses pada tanggal 24 Februari 2019 Pukul
00:18
23
PENYUSUNAN LAYANAN PERSAMPAHAN KOTA BOGOR,
https://sanitasi.kotabogor.go.id diakses pada tanggal 24 Februari 2019 Pukul 00:14

 
 
15  
 

06/02 Desa Tonjong Kecamatan Tajurhalang Kabupaten Bogor, didirikan


oleh Bapak Andy Suwanto Danud Jaya. Vihara ini merupakan Vihara 8
Pho Sat pertama dan berdiri sendiri bukan berdasarkan cabang dari Vihara
manapun atau lain sebagainya.24
Sebelum membahas lebih jauh, Vihara dan Kelenteng memiliki
beberapa perbedaan diantaranya, Vihara adalah rumah ibadah agama
Buddha, bisa juga dinamakan Kuil. Terdapat juga istilah Kelenteng yang
dapat diartikan sebagai rumah ibadah penganut Taoisme, maupun
Konfuciusisme, namun di Indonesia terjadi sedikit perbedaan penafsiran
terhadap istilah ini, karena orang yang datang ke Vihara/Kuil/Kelenteng,
umumnya adalah etnis Tionghoa, maka menjadi agak sulit untuk
dibedakan. Banyak dari khalayak umum yang tidak mengerti perbedaan
dari Kelenteng dan Vihara. Kelenteng dan Vihara pada dasarnya berbeda
dalam arsitektur, umat dan fungsinya. Rancangan bangunan Kelenteng
dibuat dengan langgam arsitektur tradisional Tionghoa, berfungsi untuk
kegiatan keagamaan dan spiritual juga dapat berfungsi sebagai tempat
aktivitas sosial masyarakat. Sedangkan, bangunan Vihara memiliki
rancangan bangunan yang berasimilasi dengan arsitektur lokal dan
cenderung berfungsi kegiatan spiritual. Namun ada beberapa Vihara yang
memiliki rancangan arsitektur tradisional Tionghoa seperti pada Vihara
Buddhis aliran Mahayana dari Tiongkok. 25 Orientasi bangunan pada
Kelenteng maupun Vihara adalah menghadap selatan, dimana selatan
dianggap sebagai arah yang baik. Orientasi bangunan yang menghadap
selatan dipilih menurut tradisi Cina (Feng Shui) dan arsitektur Cina.26
Nama Vihara ini memiliki arti sebagai berikut Vihara Buddha
Dharma & 8 Pho Sat.
1. Vihara sendiri adalah tempat ibadah umat Buddha.

                                                                                                               
24
Wawancara Pribadi dengan Bapak Andrean Halim, selaku sekretaris di Vihara Buddha
Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor. 9 Februari 2021.
25
Novrizal Primayudha dkk, Jurnal : MAKNA PENERAPAN ELEMEN INTERIOR PADA
BANGUNAN VIHARA SATYA BUDHI-BANDUNG, Jurnal Rekajiva Desain Interior Itenas, Jurnal
Online Institut Teknologi Nasional, No.01| Vol. 02, 2014, hlm 14
26
Jenny Irawan dkk, Jurnal : Kajian Perbedaan Interior Ruang antara Vihara dan
Klenteng di Tarakan, JURNAL INTRA Vol. 3, No. 2, (2015). hlm. 515

 
 
16  
 

2. Buddha adalah perlindungan yang digambarkan oleh Siddharta


Gautama, bukan berarti berlindung kepada Siddharta Gautama
semata, melainkan berlindung kepada Buddha sebagai manifestasi
dari Bodhi (kebuddhaan) yang mengatasi keduniawian.
3. Dharma adalah sebagai ajaran kebenaran atau sebagai perlindungan
dalam bentuk Hukum Kesunyataan atau kebenaran Yang Mutlak
atau Paramartha Satya. Secara filosofis, Sunyata berarti
27
Dharmakaya (tubuh halus Buddha, asal Kebuddhaan).
4. Dan 8 Pho Sat artinya yang tertinggi dan yang telah mencapai
penerangan sempurna selain itu 8 Pho Sat merupakan 8 bodhisattva
atau 8 dewa yang sering dilafalkan oleh Bapak Andy Suwanto dari
sejak masih muda.
Berangkat dari sinilah nama Vihara Buddha Dharma & 8 Pho Sat
tercipta, luas awal bangunan Vihara ini yaitu 600 meter yang merupakan
sumbangan dari Bapak Andy Suwanto sendiri selaku pendiri, seiring
berjalannya waktu banyak para donatur dan jemaat yang menyumbangkan
hartanya untuk perluasan Vihara ini, dan hingga saat ini luas bangunan
Vihara ini mencapai 6.500 meter.28
Proses pembangunan Vihara ini memerlukan waktu kurang lebih 1
tahun. Dalam kurun waktu tersebut, Bapak Andy suwanto dan jajaran
pengurus sangat khawatir dengan keuangan yang dimiliki pada waktu itu,
berkat doa dari semua rekan-rekan, akhirnya pembangunan terselesaikan
tanpa kekurangan dana sepeserpun. Vihara ini didirikan pada tahun 2006
dan diresmikan pada tahun 2007 oleh Departemen Agama. Pada tahun
2012 Bapak Andy Suwanto melanjutkan pembangunannya dengan
membangun Patung Buddha Tidur, dan untuk kenyamanan umat
melakukan persembahyangan maka dilakukan renovasi ruangan 8 Pho Sat
pada tanggal 18 September 2016 dan selesai pada tanggal 2 Mei 2017.29

                                                                                                               
27
Marga Singgih, Tridharma Selayang Pandang, (Jakarta : Perkumpulan Tridharma,
2016), hlm. 16-17
28
Wawancara Pribadi dengan Bapak Andrean Halim, selaku sekretaris di Vihara Buddha
Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor. 9 Februari 2021.
29
Andy Suwanto Dhanujaya, Vihara Buddha Dharma & 8 Pho sat (Sleeping Buddha),
(Bogor : Panti Asuhan Yayasan Teratai Kasih, 2017), hlm. 3

 
 
17  
 

B. Bagian-bagian dari Vihara Buddha Dharma & 8 Pho Sat Kemang


Bogor
Setiap agama memiliki tempat ibadahnya sendiri. Untuk agama
Buddha, memiliki tempat ibadah bernama Vihara. Dalam setiap Vihara
memiliki ruangan yang berbeda pada umumnya terdapat patung sang
Buddha untuk dipuja, ruang khotbah, ruang untuk upacara Bhikku dan
tempat tinggal para Bhikku dan lain sebagainya.30
Bangunan yang dibangun dapat menghadirkan kenyamanan secara
fisik maupun spiritual. Bangunan yang didirikan akan mendatangkan
kemakmuran, kebahagiaan, kedudukan/jabatan, panjang umur dan
keturunan bagi penggunanya.31
Dalam Vihara Buddha dharma & 8 Phosat terdapat beberapa
ruangan dan rupang-rupang yang memiliki makna dan sejarah tersendiri
diantaranya yaitu:
1. Giok Hong Shang Tee
Giok Hong Shang Tee adalah Maha Dewa tertinggi pelaksana
memerintah alam semesta. Giok Hong Shang Tee ini tidak terdapat
rupang atau arca, hanya berbentuk bangunan dengan tulisan besar,
Giok Hong Shang Tee adalah Sang Pencipta sehingga tidak dapat
digambarkan dalam bentuk apapun.32
Untuk sembahyang kepadanya cukup disediakan sebuah
pedupaan besar yang terletak di ruang utama, pedupaan ini
dinamakan Tian Gong Lu (Hiolo Thi Kong). Giok Hong Shang Tee
merupakan urutan pertama dalam persembahyangan sebelum
kepada para dewa lainnya.
Pada zaman dahulu di Tiongkok, pemujaan dan upacara
kepada Giok Hong Shang Tee hanya boleh dilakukan oleh kaisar
dan keluarga kerajaan yang dipimpin oleh kaisar sendiri sebagai
                                                                                                               
30
Aprilia Pratama, Jurnal : Perancangan Interior Vihara Buddhayana Surabaya,
Surabaya, JURNAL INTRA Vol. 5, No. 2, (2017), hlm. 19
31
Tecky Hendrarto dkk, Jurnal : Penggunaan Prinsip Fengsui dalam Penentukan Ruang
Ibadah Pada Wihara Pemancar Keselamatan Kota Cirebon, Bandung, Jurnal Arsitektur
TERRACOTTA | No.1 | Vol. I |, 2019, hlm. 22-23
32
Wawancara Pribadi dengan Bapak Andrean Halim, selaku sekretaris di Vihara Buddha
Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor. 24 Maret 2021.

 
 
18  
 

pemimpin Upacara, dengan dibantu anggota keluarganya dan para


petinggi kerajaan yang lain. Upacara sembahyang kepada Giok
Hong Shang Tee dilakukan di ruang altar kerajaan yang disebut
Tian Tan (kuil langit). Di Tian Tan ini kaisar dan keluarga
melakukan persembahyangan kepada Giok Hong Shang Tee.
Mereka beranggapan bahwa Giok Hong Shang Tee adalah leluhur
mereka dan memberikan mandat kepada mereka untuk memerintah
di bumi ini.
Sedangkan rakyat biasa tidak diperbolehkan memuja Giok
Hong Shang Tee, karena persembahnyangan kepada Giok Hong
Shang Tee hanya boleh dilakukan oleh keluarga kerajaan. Rakyat
biasa hanya melakukan persembahyangan di rumah masing-
masing, didepan pintu, atau ditepi jalan, tanpa upacara macam-
macam, dan cukup menyalakan sepasang lilin dan satu atau tiga
batang dupa yang diletakkan kearah langit.
2. Thian Tee
Thian Tee merupakan penguasa tertinggi kedua setelah
Giok Hong Shiang Tee. Thian Tee Lebih dikenal oleh masyarakat
sebagai “Penguasa Langit dan Bumi”. Di Vihara ini Thian Tee
tidak terdapat rupang atau arca, hanya terdapat ruangan, tulisan
besar dan pedupaan yang dilengkapi dengan hio dan hiolo untuk
bersembahyang.33 Thian Tee ini adalah Penguasa Langit dan Bumi,
sama seperti Giok Hong Shang Tee, Thian Tee ini tidak dapat
digambarkan dalam bentuk apapun karena Thian Tee memiliki
kedudukan tertinggi kedua setelah Giok Hong Shang Tee.34
3. Ibu Yang Maha Terang
Ibu Yang Maha Terang lebih dikenal sebagai “Wadah
Pembauran”. Ibu Yang Maha Terang di Pulau Jawa lebih dikenal

                                                                                                               
33
Andy Suwanto Dhanujaya, Vihara Buddha Dharma & 8 Pho sat (Sleeping Buddha),
(Bogor : Panti Asuhan Yayasan Teratai Kasih, 2017), hlm. 4-6
34
Wawancara Pribadi dengan Bapak Andrean Halim, selaku sekretaris di Vihara Buddha
Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor. 24 Maret 2021.

 
 
19  
 

dengan nama “Pendaringan”/ Pemberasan/ Dewi Sri. Di Thailand


juga dikenal dengan nama Dewi Padi.35
Di Vihara ini Ibu Yang Maha Terang tidak terdapat rupang
atau arca dan hanya terdapat ruangan namun Ibu Yang Maha
Terang disimbolkan dengan dua buah pendaringan yang berisikan
beras, selain itu pada ruang Ibu Yang Maha Terang terdapat tulisan
besar, dan pedupaan saja yang dilengkapi dengan hio dan hiolo
untuk bersembahyang.36
4. Avalokitesvara /Kwan Si Im Pho-Sat
Kwan Si Im Pho Sat merupakan salah satu dewa dari 8 Pho
Sat. Patung Kwan Si Im Pho Sat diletakan diruangan 8 Phosat
merupakan ruangan yang dibangun lebih awal di Vihara ini.37
Kwan Si Im Pho-Sat atau Dewi Kwan Im adalah tokoh
sentral yang diagungkan sebagai seorang bodhisattva (seorang
calon Buddha). Dalam tradisi Buddhis dari Asia Timur, Kwan Im
adalah penjelmaan dari Buddha Avalokitesvara, seorang Buddha
yang menonjol sifat welas asihnya. Kwan Im sendiri pada
umumnya memiliki wujud seorang perempuan.38
5. Maitreya/Milek Pho Sat
Maitreya/Milek merupakan salah satu dewa 8 Pho Sat,
patung Maitreya/Milek diletakan di ruangan 8 Phosat.
Maitreya/Milek Pho Sat dalam agama Buddha, Boddisattva
Maitreya adalah Buddha yang akan datang, yang sekarang ini
masih bergelar Bodhisattva (calon Buddha). Dan dalam bahasa
Tionghoa, Maitreya terkenal sebagai Mile Pusa.
Ketika sang Buddha Gaotama terlahir ke India sebagai
Buddha. Maitreya juga datang mengikuti Sang Buddha dan
                                                                                                               
35
Andy Suwanto Dhanujaya, Vihara Buddha Dharma & 8 Pho sat (Sleeping Buddha),
(Bogor : Panti Asuhan Yayasan Teratai Kasih, 2017), hlm. 59
36
Wawancara Pribadi dengan Bapak Andrean Halim, selaku sekretaris di Vihara Buddha
Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor. 24 Maret 2021.
37
Andy Suwanto Dhanujaya, Vihara Buddha Dharma & 8 Pho sat (Sleeping Buddha),
(Bogor : Panti Asuhan Yayasan Teratai Kasih, 2017), hlm. 10
38
Yulianti, Jurnal : JEJAK BUDDHISME DALAM NOVEL KARYA KWEE TEK HOAY
“BOENGA ROOS DARI TJIKEMBANG”: PERSPEKTIF FENOMENOLOGI, SASDAYA, Gadjah
Mada Journal of Humanities, Vol. 2, No. 1, November 2017, hlm. 264

 
 
20  
 

dilahirkan di India Selatan. Sang Buddha mencapai kesempurnaan


di bawah pohon Bodhi dan terkenal diseluruh India. Di waktu yang
sama, Maitreya juga mencapai tingkat kesadaran akan alam
semesta, rela melepas segala kenikmatan duniawi, sepenuh hati di
bawah bimbingan Sang Buddha Gaotama terus meningkatkan diri.
Pada suatu kesempatan, ketika berada di gunung Yen Fang
Sang Buddha bersabda tentang kitab Maitreya Mencapai
kesempurnaan dan menjelaskan kepada Upali, “masa dua belas
tahun kemudian, Maitreya akan terlahir di Surga Tusita. Pada saat
itu penghuni Surga Tusita akan mendapatkan siraman kebahagiaan
dan kebajikan yang besar”. Maitreya diyakini bertempat tinggal di
Surga Tusita, yang merupakan tempat tinggal bagi para
Bodhisattva sebelum mencapai tingkat kebuddhaan.39
6. Akasagarbha Bodhisattva / Hie Khong Cong Pho Sat
Nama Hie Khong Cong Pho Sat, banyak orang sering
mendengar maupun membaca nama Bodhisattva Akasagarbha,
termasuk Bapak Andy Suwanto beliau sering melafalkan dewa 8
Pho Sat, dan Hie Khong Cong Pho Sat menjadi salah satu dari
dewa 8 Pho Sat yang sering dilafalkan beliau, patung Hie Khong
Cong Pho Sat di Vihara ini diletakan diruangan 8 Pho Sat.
Hie Khong Cong Pho Sat adalah salah satu dari delapan
Maha Boddhisattva. Dikatakan bahwa Hie Khong Cong Pho Sat
pada masanya memiliki tinggi 20 yojana,40 memakai mahkota yang
memanifestasikan 35 rupa para Buddha pertobatan. Beliau
memberikan kesejahteraan pada para makhluk hidup terus menerus.
Ditulis bahwa ketika Boddhisattva pemula melakukan pelanggaran
dan mengaku salah dihadapan Akasagarbha Bodhisattva, maka

                                                                                                               
39
Andy Suwanto Dhanujaya, Vihara Buddha Dharma & 8 Pho sat (Sleeping Buddha),
(Bogor : Panti Asuhan Yayasan Teratai Kasih, 2017), hlm. 24-26
40
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata yojana adalah
satuan ukuran panjang, sama dengan 9 mil. Arti lainnya dari yojana adalah jarak. Contoh: seyojana
mata, sejauh mata memandang. (https://lektur.id/arti-yojana/ di akses pada Selasa, 2 Maret 2021
Pukul 15:58)

 
 
21  
 

karma buruk mereka terhapuskan dan mereka segera menjadi


termurnikan kembali.
7. Samantha Bhadra / Pho Hian Pho Sat
Pho Hian Pho Sat dalam bahasa sansekerta adalah
Samantha Bhadra Boddhisattva yang berarti kebajikan yang
Universal. Pho Hian Pho Sat merupakan perwujudan dari cinta,
kebajikan, ketekunan, kesabaran & aktivitas yang suci. Dan altar
Pho Hian Pho Sat diletakan di ruang delapan Pho Sat.
Pho Hian Pho Sat memiliki tubuh yang besarnya tidak
terbatas. Namun karena ingin turun ke dunia untuk membantu
orang-orang yang sengsara, ia mengubah dirinya menjadi manusia
biasa. Pho Hian Pho Satmuncul dengan menunggangi seekor gajah
putih, di bawah telapak kaki gajah tersebut bunga-bunga teratai
yang berwarna putih bermekaran.
8. Vajrapani Mahasthamaprapta / Kim Khong Tjiu Pho Sat
Kim Khong Tjiu Pho Sat merupakan salah satu
Boddhisattva yang dipuja dan dihormati oleh umat Buddha
Mahayana, dan juga merupakan salah satu Boddhisattva terkemuka
dalam aliran Sukhavati (tanah suci). Namanya berasal dari bahasa
Sansekerta yang mengandung arti “yang telah mencapai kekuatan
universal”, atau dihormati dan dipuja sebagai manifestasi dari
maitre karuna (cinta kasih dan belas kasihan).
Vajrapani dikenal juga dengan sebutan Guhyapati,
“Penguasa Rahasia”, penjaga semua Tantara yang diajarkan oleh
Buddha. Vajrapanilah yang memohon Buddha untuk memutar roda
dharma sekali lagi yaitu ajaran Tantra dan memimpin pertemuan
para Boddhisattva di Surga Tusita untuk merangkai dan menyusun
kembali ajaran Tantra (Kriya, Carya dan Yoga) yang telah
dipaparkan oleh Buddha. Dan di Vihara Buddha Dharma & 8 Pho
Sat ini, Vajrapani atau Kim Khong Tjiu Pho Sat merupakan salah
satu dari dewa delapan Pho Sat, dan patung Kim Khong Tjiu Pho
Sat ini ditempatkan diruangan delapan Pho Sat.

 
 
22  
 

9. Manjusri / Biau Kit Siang Pho Sat


Dalam bahasa Sansekerta Manjusri artinya “nasib baik,
kesuksesan yang menakjubkan’. Didalam agama Buddha
Mahayana Boddhisattva Manjusri dianggap pribadi Maha Agung
yang telah memiliki kebijaksanaan tinggi diantara para
Boddhisattva. Mahayana Boddhisattva Manjusri sering menjadi
“ibu” dari segala Buddha, menjadi guru dari Boddhisattva yang
jumlahnya tidak terbilang, mendidik dan membuat umat mencapai
keberhasilan.
Manjusri / Biau Kit Siang Pho Sat adalah seorang
Boddhisattva yang dikaitkan dengan kebijaksanaan, pengajaran dan
kesadaran dan dalam tradisi Vajrayana merupakan dewa meditasi
(yidam), dan menggabarkan kebijaksanaan yang tercerahkan.
Menurut sejarah, kitab suci Mahayana menjelaskan bahwa
Manjusri adalah seorang pengikut Buddha Gautama, walaupun ia
tidak disebutkan dalam kitab suci Pali. Mahayana Boddhisattva
Manjusri, merupakan salah satu dewa delapan Pho Sat yang
patungnya ditempatkan di ruang delapan Pho Sat.
10. Vajrayan Sarvanivarana Viskambhin / Tie Kat Chiang Pho Sat
Sarvanivarana Viskambhin adalah satu dari delapan Maha
Boddhisattva, Patung Sarvanivarana Viskambhin diletakkan
diruangan delapan Pho Sat bersamaan dengan Maha Boddhisattva
yang lain. Kata Sarvanivarana berarti menghalau semua rintangan
atau halangan.
11. Ksitigarbha / Tee Cong Ong Pho Sat
Tee Cong Ong Pho Sat disebut juga Di Zang Phu Sa dalam
bahasa Sansekerta disebut Boddhisattva Ksitigarbha, adalah dewa
buddhisme yang paling banyak dipuja oleh masyarakat. Di Zang
yang artinya, Di berarti bumi yang amat besar, Zang berarti
menyimpan. Ini menunjukkan bahwa hati Tee Cong Ong Pho Sat
seperti bumi yang amat besar, yang dapat menyimpan apa saja,
termasuk manusia yang tidak terhitung jumlahnya, terutama yang

 
 
23  
 

memiliki akar kebajikan. Sama seperti dewa delapan Pho Sat yang
lain patung Ksitigarbha atau Tee Cong Ong Pho Sat ditempatkan di
ruang delapan Pho Sat.
12. Kuan Seng Tee Kun (Satya Dharma/Kwan Kong)
Kwan Kong atau sering disebut Guan Di, yang berarti
paduka Guan adalah seorang panglima perang kenamaan yang
hidup pada zaman San Guo/Sam Kok (221-269 M). Nama aslinya
adalah Guan YU atau Guan Yun Chan. Kwan Kong dipuja karena
kejujuran dan kesetiaan, ia adalah lambing atau tauladan kesatria
sejati yang selalu menepati janji dan setia pada sumpahnya.
Pada Vihara ini patung Kwan Kong ditempatkan diruangan
tersendiri yang letaknya tidak jauh dengan ruangan delapan Pho
Sat.41
13. Tayasuhu Sakyamuni Ji Lay Hud (Tridarma)
Secara umum Sakyamuni Buddha disebut Ru Lai Fo (Ji
Lay Hud – Hokkian ), dan hari lahirnya diperingati pada tanggal 8
bulan 4 Imlek. Menurut sejarah, Sakyamuni Buddha adalah
Sidharta Gautama atau yang kemudian lazim disebut sebagai
Buddha Gautama. Sidharta lahir pada tahun 560 SM disebuah
negeri yang bernama : Kapilavastu dekat Nepal.42
Terdapat tiga Altar Tayasuhu Sakyamuni Ji Lay Hud di
Vihara ini satu di ruang 8 Pho Sat, satu di ruang Buddha Tidur
dam satu lagi di ruang Tridharma, pada ruang tridharma ini altar
Tayasuhu Sakyamuni Ji Lay Hud bersamaan dengan dua Altar
lainnya yaitu Khonghucu dan Lao Cu.
Tridharma sendiri adalah agama yang penghayatannya
menyatu dalam ajaran Buddha, Khonghucu, dan Tao. Pergerakan
Tridharma dimulai pada awal tahun 1920 yang dipelopori oleh
Kwee Tek Hoay, dan beliau diangkat sebagai Bapak Tridharma

                                                                                                               
41
Andy Suwanto Dhanujaya, Vihara Buddha Dharma & 8 Pho sat (Sleeping Buddha),
(Bogor : Panti Asuhan Yayasan Teratai Kasih, 2017), hlm. 30-56
42
Sakyamuni Buddha, https://tridharma.or.id/sakyamuni-buddha/ di akses pada Sabtu, 6
Maret 2021 Pukul 16:49)

 
 
24  
 

Indonesia dan tanggal lahirnya 31 Juli 1886 dirayakan sebagai


hari Tridharma di Indonesia.43
14. Khong Hu cu
Tokoh yang erat kaitannya dengan kebudayaan Cina adalah
Konfusius akan tetapi ada juga yang menyebutnya dengan nama
Kung Fu Tzu atau Kung sang Guru. Kong Hu Cu adalah seorang
ahli Filsafat Cina yang terkenal sebagai pengembang sistem
memadukan alam pikiran dan kepercayaan orang Cina yang
mendasar. Ajarannya menyangkut kesusilaan perorangan dan
gagasan bagi pemerintah agar melaksanakan pemerintahan dan
melayani rakyat dengan teladan berperilaku yang baik.44
Pada Altar Khong Hu Cu ini mempunyai tempat yang
khusus di Vihara Buddha Dharma & 8 Pho Sat yaitu di ruang
Tridharma, bersamaan dengan dua Altar lainnya yaitu Tayasuhu
Sakyamuni Ji Lay Hud dan Lao Cu.
15. Lao Tse
Taoisme diajarkan oleh Lao Tse (”guru tua”) yang hidup
sekitar 550 SM. Lao Tse melawan Konfucius. Menurut Lao Tse,
bukan “jalan manusia” melainkan “jalan alam” yang merupakan
Tao. Tao menurut Lao Tse adalah prinsip kenyataan objektif,
substansi abadi yang bersifat tunggal, mutlak dan tak ternamai.
Ajaran Lao Tse lebih-lebih metafisika, sedangkan ajaran Konfusius
lebih-lebih etika. Puncak metafisika Taoisme adalah kesadaran
bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang Tao. Kesadaran ini juga
dipentingkan di India (ajaran “neti”, “na-itu”: “tidak begitu”) dan
dalam filsafat Barat (di mana kesadaran ini disebut “docta
ignorantia”, “ketidaktahuan yang berilmu”).45

                                                                                                               
43
Andy Suwanto Dhanujaya, Vihara Buddha Dharma & 8 Pho sat (Sleeping Buddha),
(Bogor : Panti Asuhan Yayasan Teratai Kasih, 2017), hlm. 57
44
Ahmad Zarkasi, Jurnal : MENGENAL POKOK-POKOK AJARAN KONG HUCU, Al-
AdYaN/Vol.IX, N0.1/Januari-Juni/2014, hlm. 21
45
I Wayan Widiana. Jurnal : FILSAFAT CINA: LAO TSE YIN-YANG KAITANNYA
DENGAN TRI HITA KARANA SEBAGAI SEBUAH PANDANGAN ALTERNATIF MANUSIA
TERHADAP PENDIDIKAN ALAM, Jurnal Filsafat Indonesia, Vol 2 No 3 Tahun 2019, hlm. 113

 
 
25  
 

Pada Altar Lao Cu ini ditempatkan di ruang Tridharma,


bersamaan dengan dua Altar lainnya yaitu Tayasuhu Sakyamuni Ji
Lay Hud dan Khong Hu Cu.
16. Sian Jin Ku Poh
Di Vihara ini Sian Jin Ku Poh tidak terdapat rupang atau
arca Sian Jin Ku Poh hanya terdapat ruangan saja, dalam
sejarahnya Sian Jin Ku Poh dalam membantu orang menjelma
menjadi berbagai macam jelmaan sehingga sulit untuk
digambarkan. Pada ruang ini terdapat pula tulisan besar dan
pedupaan yang dilengkapi dengan hio dan hiolo untuk
bersembahyang.46
Asal mula lahirnya Sian Jin Ku Poh adalah pada zaman
dahulu didaratan Tiongkok, ada seorang wanita yang sedang
menunggu kepulangan suaminya yang sedang berlayar dipinggir
laut. Wanita itu menunggu sampai berpuluh-puluh tahun di pinggir
laut tersebut dan sampai akhirnya meninggal di tempat tersebut.
kemudian jenazah tersebut dimakamkan disekitar pinggir laut itu.
Pada suatu hari, ada seorang pelaut yang ingin berlayar,
kemudian melihat makam tersebut dan meminta air setelah itu iya
bersembahyang meminta perlindungan keselamatan selama
berlayar. Setelah ia pulang berlayar dan kembali melewati makam
itu ia pun bersembahyang lagi mengucapkan rasa trimakasi. Seiring
berjalannya waktu banyak orang yang meminta air dan
bersembahyang dimakam tersebut.
17. Buddha Tidur
Awal pembangunan Buddha Tidur ini adalah Bapak Andy
Suwanto selaku pendiri Vihara ini mendapat pencerahan setelah
bermeditasi, untuk membangun Buddha Tidur di Vihara ini.

                                                                                                               
46
Wawancara Pribadi dengan Bapak Andrean Halim, selaku sekretaris di Vihara Buddha
Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor. 24 Maret 2021.

 
 
26  
 

Buddha Tidur ini dibangun pada tahun 2010 dan diresmikan


pada tahun 2012 oleh Djoko Wuryanto selaku Direktorat Jendral
Agama Hindu Buddha.47
Dari pemaparan diatas dapat kita pahami bahwa di Vihara Buddha
Dharma & 8 Pho Sat terdapat 8 ruangan yang disediakan oleh pengurus
Vihara untuk ruang tempat Altar, dan terdapat 14 Altar, sembilan Altar
pada ruangan 8 Pho Sat, satu Altar pada ruang Satya Dharma, tiga Altar
pada ruang Tridharma dan satu Altar pada ruang Buddha Tidur, dan 4
ruang lainnya tidak disimbolkan dalam bentuk rupang atau arca lainnya
seperti Giok Hong Shang Tee, Thian Tee, Ibu Yang Maha Terang, Sian Jin
Ku Poh.
Tidak dapat dipungkiri banyak dari jemaat di Vihara ini yang
sengaja datang untuk memohon doa agar dapat berkehidupan yang lebih
baik lagi, kepercayaan jemaat kepada dewa menjadikannya lebih percaya
diri dalam menjalankan kehidupan, mereka juga yakin bahwa para dewa
akan menyampaikan doanya kepada Sang Maha Pencipta. Dewa itu sendiri
dalam ajaran agama Buddha yaitu makhluk yang telah mengalami
rengkarnasi dari kelahiran sebelumnya, bisa dikatakan manusia yang
mempunyai amal baik dan kecenderungan seperti apa sebelumnya maka
akan menjadi dewa seperti itu. Masing-masing negara mempunyai cerita
tersendiri mengenai suatu dewa yang pada dasarnya dewa yang dimaksud
adalah sama, karena berbaur dengan budaya yang ada ditempat maupun
pada suatu negara maka terjadi perbedaan dalam cerita dewa tersebut.48

C. Kegiatan di Vihara Buddha Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor


Vihara mempunyai fungsi kegiatan dan sebagai pusat keagamaan
selain sebagai tempat ibadah dan tempat tinggal para Bhikku/Bhikkuni.
Vihara mempunyai peranan sebagai pusat kegiatan keagamaan yang
diharapkan dapat meningkatkan moral dan budi pekerti luhur dalam
kehidupan beragama bagi umat Buddha serta mendidik dan menimbulkan
                                                                                                               
47
Andy Suwanto Dhanujaya, Vihara Buddha Dharma & 8 Pho sat (Sleeping Buddha),
(Bogor : Panti Asuhan Yayasan Teratai Kasih, 2017), hlm. 58-59
48
Wawancara Pribadi dengan Bapak Andrean Halim, selaku sekretaris di Vihara Buddha
Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor. 24 Maret 2021.

 
 
27  
 

kesadaran dalam mendalami Dhamma pada umat buddha dan masyarakat


agar menjadi lebih baik dalam bermasyarakat.
Berdasarkan Peraturan Departemen Agama Republik Indonesia
Nomor H III/BA.01.1.03/1/1992 Bab II menyebutkan fungsi Vihara adalah
sebagai tempat suci yang dipakai untuk tempat tinggal para
Bhikku/Bhikkuni, Samanera/samaneri dan peranannya adalah mendidik
masyarakat dengan ajaran suci.49 bangunan Vihara didesain harus dapat
menampung kegiatan banyak umat sekaligus, memiliki bentukan yang
unik dari lingkungan sekitar, dan memiliki identitas agama Buddha yang
jelas dan kuat.50
Vihara Buddha Dharma & 8 Pho Sat dibuka setiap hari, dengan
maksud mempersilahkan kepada jemaat untuk dapat bersembahyang pada
setiap waktu. Selain ibadah mingguan dan perayaan hari-hari besar, Vihara
Buddha Dharma & 8 Pho Sat juga memiliki kegiatan-kegiatan yang rutin
dilakukan diantaranya :
1. Kebaktian dilakukan setiap hari minggu, acara kebaktian ini yang
diikuti oleh anak-anak asuh dan sekolah mingguan.
2. Ce It Capgo, atau masyarakat biasa menyebutnya Uposattha, yaitu
mengadakan Fang Shen, Fang Shen ini adalah sebuah kegiatan
melepas mahluk hidup, hewan yang biasa dilepaskan oleh Vihara
ini yaitu Ikan dengan harapan memberikan kesempatan bagi
makhluk hidup untuk hidup lebih lama, kegiatan ini biasa
dilakukan tanggal 1 dan 15 setiap bulan pada penanggalan imlek.
3. Memperingati hari lahir para dewa atau Pho Sat, yang ada di
Vihara ini dengan melakukan upacara, pemandian rupang dan
memberikan persembahan bunga dan buah.
4. Imlek dan Waisak yaitu kegiatan rutin yang biasa dilakukan rutin
setiap tahun. Kegiatan yang dilakukan yaitu kebaktian, pemandian
rupang dan juga mengundang dinas pariwisata dan aparat setempat

                                                                                                               
49
Wagito, Jurnal : VIHARA THERAVADA DI KOTA SINGKAWANG, Jurnal online
mahasiswa Arsitektur Universitas Tanjungpura Volume 5 / Nomor 1 / Maret 2017, hlm. 54
50
A. Agung dkk, Jurnal : Vihara Buddha Theravada di Surabaya, JURNAL eDIMENSI
Vol.1 No. 2 (2013), hlm. 147

 
 
28  
 

selain itu juga ada makan bersama, barongsai, dan sembahyang


bersama51
5. Perayaan ulang tahun Vihara, acara ini biasa dirayakan setiap
tahun. Ulang tahun Vihara jatuh pada penanggalan imlek tepatnya
pada bulan empat tanggal delapan imlek.
6. Santunan Vihara, santunan ini ditujukan kepada anak yatim di
Desa terdekat, Desa yang menjadi sasaran ditentukan oleh pihak
Vihara yang dilakukan secara bergilir dari desa satu ke Desa yang
lain, santunan ini diserahkan langsung ke Desa karena agar
santunan yang diberikan tepat sasaran. Santunan yang diberikan
adalah berupa paket sembako.
7. Pemberkatan Nikah, yaitu prosesi sakral dalam sebuah pernikahan,
atau dengan kata lain di Vihara ini bisa menikahkan sepasang calon
mempelai agar bisa menjadi suami istri dan sah dimata agama,
yang dipimpin oleh Romo Pandita, selanjutnya pihak Vihara
mengurus surat-surat dan diajukan kecatatan sipil.52
8. Memberikan arahan keagamaan atau nasehat-nasehat kepada
jemaat, selain itu juga memberikan pengobata kejiwaan seperti
kesurupan, korban guna-guna atau lain sebagainya. Yang
didampingi langsung oleh Bapak Andy Suwanto selaku Guru
Spiritual.53
Dari seluruh rangkaian kegiatan yang ada di Vihara ini selalu
diselipkan pesan moral yang intinya yaitu selalu berbuat baik kepada
siapapun, karena setiap perbuatan baik pasti ada pahala kebajikan. Prinsip
hidup Bapak Andy Suwanto sendiri yaitu buatlah hidup ini menjadi lebih
berguna untuk masyarakat orang banyak dengan memperbanyak berbuat
baik. Amal baik itu sendiri adalah perbuatan yang dapat menolong
menghilangkan atau mengurangi penderitaan orang lain tanpa
                                                                                                               
51
Wawancara Pribadi dengan Bapak Andrean Halim, selaku sekretaris di Vihara Buddha
Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor. 24 Maret 2021.
52
Wawancara Pribadi dengan Bapak Andrean Halim, selaku sekretaris di Vihara Buddha
Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor. 9 Februari 2021.
53
Wawancara Pribadi dengan Bapak Andy Suwanto, selaku pendiri Vihara Buddha
Dharma & 8 Pho Sat sekaligus Guru Spiritual, di Vihara Buddha Dharma & 8 Pho Sat Kemang
Bogor. 11 Maret 2021.

 
 
29  
 

mengharapkan balasan/imbalan, tanpa pamrih. Intinya adalah cinta kasih,


tanpa rasa cinta kasih seseorang tidak dapat melakukan amal yang baik,
tetapi amal yang pamrih.54
Buddha bukan merupakan gambaran dari diri Siddharta secara
lahiriyah. Patung tersebut merupakan gambaran Siddharta secara rokhani,
yang harus dapat memperlihatkan dengan sungguh-sungguh siapakah
Buddha itu bagi kaum Buddhis.
Patung Buddha adalah sebagai simbul dalam agama Buddha yang
merupakan ungkapan spiritual. Bukan saja para Buddhis dapat mengenang
jasa-jasa Shiddharta Buddha Gautama sebagai guru Utama yang
menunjukkan di jalan kelepasan, tetapi secara spiritual patung tersebut
dianggap mempunyai sugesti yang kuat bagi para Buddhis. Hal ini
dipercaya oleh para Buddhis bahwa patung Buddha adalah gambaran atas
asas rohani yang ada pada diri Shiddharta Buddha Gautama.55
Salah satu jenis patung Buddha adalah patung sleeping buddha,
patung sleeping Buddha atau Buddha tidur merupakan gambaran posisi
wafatnya sang Buddha dengan posisi tidur ke arah kanan dan kepala
dialaskan bantal dengan disangga tangan kanannya. Ketika sang Buddha
mencapai usia ke-80, sang Buddha mengalami sakit karena faktor usia
yang semakin menua. Namun, berkat kekuatan batinnya. Sang Buddha
mampu mengatasi rasa sakit tersebut. Batin Sang Buddha selalu bersinar
laksana berlian, meskipun jasmaniNya telah mulai melemah.56 Dan pada
usia ini pula Buddha mencapai Mahaparinibbana atau wafatnya sang
Buddha.

                                                                                                               
54
Herman Utomo. NY. Silvie Utomo, Ibadah Dari Vihara ke Vihara, (Kelompok
Spiritual Universitas Jakarta), hlm. 29
55
Arief Wibowo, Jurnal : Makna Patung Buddha dalam Agama Buddha, SUHUF, Vol.
20, No. 1, Mei 2008: hlm. 80
56
Sulan. Karsan, Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti, (Jakarta : Pusat
Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud, 2015), hlm 2

 
 
 

BAB III
MAKNA PATUNG DALAM AGAMA BUDDHA

A. Pengertian Patung Dalam Agama Buddha


Semua agama menggunakan simbol-simbol untuk
mengekspresikan berbagai macam konsep yang bervariasi. Dan dalam
Buddhisme, rupang atau patung Buddha menunjukkan seorang manusia
yang sempurna. Rupang atau Patung Buddha juga mengingatkan kita akan
ukuran manusia dalam ajaran Buddha Dhamma.57
Patung adalah sebuah tipe karya tiga dimensi yang bentuknya
dibuat dengan metode subtraktif (mengurangi bahan seperti memotong,
menatah) atau aditif (membuat model lebih dulu seperti mengecor dan
mencetak) Sedangkan menurut Kamus Besar Indonesia adalah benda
tiruan, bentuk manusia dan hewan yang cara pembuatannya dengan
dipahat.
Tujuan penciptaan patung adalah untuk menghasilkan karya seni
yang dapat bertahan selama mungkin. Karenanya, patung biasanya dibuat
dengan menggunakan bahan yang tahan lama dan sering kali mahal,
terutama dari perunggu dan batu seperti marmer, kapur, dan granit.
Kadang, walaupun sangat jarang, digunakan pula bahan berharga seperti
emas, perak, jade, dan gading. Bahan yang lebih umum dan tidak terlalu
mahal digunakan untuk tujuan yang lebih luar, termasuk kayu, keramik,
dan logam. Pada agama Hindu, Buddha dan lain-lain. patung dijadikan
sebagai simbol Tuhan atau Dewa yang disembah.58
Buddha atau yang mempunyai sifat kebuddhaan atau orang yang
mempunyai gelar Buddha adalah orang yang “bangun”, bangun dari
kegelapan atau kesesatan menuju cahaya kebenaran. Buddha bukan nama

                                                                                                               
57
Eka Citta, Jurnal : Simbol dalam Agama Buddha, no. XXVIII/April/2008, hlm. 6
58
Ilmi Solihat, Jurnal : MAKNA DAN FUNGSI PATUNG-PATUNG DI BUNDARAN
CITRA RAYA KABUPATEN TANGERANG PROVINSI BANTEN, (Bantren :Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa), Volume 2 Nomor 2 Nov 2017, hlm. 166-167

30  
 
31  
 

orang melainkan gelar. Nama pendiri agama Buddha adalah Shiddharta


yang mempunyai arti “mencapai maksud tujuan”.59
Patung Buddha secara harfiah berarti “perujudan Buddha”.
Perujudan Buddha ini bisa dibentuk atau dibuat dalam bentuk gambar,
relief, atau patung.60 Buddha Rupang/Patung Simbol dari ketenangan batin
seseorang. Bagi orang Buddha, Buddha rupang (Patung Buddha) bukan
berhala yang harus disembah oleh umat Buddha, namun Buddha rupang
adalah simbol dari ketenangan batin.61
Patung Buddha dibuat lama setelah Buddha wafat bahkan beratus-
ratus tahun setelah wafatnya. Patung Buddha mempunyai ciri-ciri tertentu
dan mudah dibedakan dengan patung-patung lain. Meskipun patung
tersebut merupakan gambaran atau tiruan yang berbentuk manusia, tetapi
gambaran patung Buddha bukan merupakan gambaran dari diri Siddharta
secara lahiriyah. Patung tersebut merupakan gambaran Siddharta secara
rohani, yang harus dapat memperlihatkan dengan sungguh-sungguh
siapakah Buddha itu bagi kaum Buddhis, Buddha merupakan tokoh rohani
yang dianggap mempunyai keistimewaan dan prinsip-prinsip rohani yang
ada pada diri Shiddartha yang mengilhami untuk menerima kebenaran dan
pengajaran pada umat manusia, serta membimbing menuju pembebasan
atau Nirwana.
Para Buddhis membuat patung Buddha agar dapat mengenang
kembali Buddha dan ajaran-ajarannya, dan patung tersebut juga dianggap
sebagai benda suci. Oleh karena patung Buddha merupakan gambaran dari
Roh Kebuddhaan yang bersemayam pada diri Siddharta, atau merupakan
pancaran diri Makna Patung Buddha dalam Agama Buddha Sang Adhi
Buddha, maka tidaklah mustahil bagi para Buddhis selalu
menghormatinya. Patung Buddha juga digunakan oleh para Buddhis
sebagai alat untuk berkonsentrasi dan meditasi dalam beribadah menuju
Tuhan Yang Maha Esa yang disebut Sang Hyang Adhi Buddha. Karena itu
                                                                                                               
59
Arief Wibowo, Jurnal : Makna Patung Buddha dalam Agama Buddha, SUHUF, Vol.
20, No. 1, Mei 2008: hlm. 79
60
Bhikkhu Dhammadhiro, BUDDHARUPA “Bagaimana Buddhis Menyikapi Objek
Pujaan”, (Yayasan Sammasayambhu, 2012), hlm. 42
61
Khairiah, AGAMA BUDHA, (Yogyakarta : KALIMEDIA 2018), hlm. 115.

 
 
32  
 

(patung Buddha tidak pernah ketinggalan) dalam upacara-upacara agama


Buddha Mahayana, baik di Vihara maupun di rumah-rumah para Buddhis,
(para pemeluk agama Buddha).62

B. Fungsi  dan Karakteristik Patung dalam Agama Buddha


Salah satu diantara agama-agama di dunia yang dalam cara
ibadahnya karena Tuhan memakai perantara adalah agama Buddha, yaitu
dengan patung Buddha sebagai tumpuan konsentrasi atau perantara.
Dengan demikian antara umat Buddha dengan patung Buddha mempunyai
hubungan yang tidak dapat terpisahkan, dan tentu saja ada pengaruh
patung tersebut kepada para Buddhis.63
Orang membuat patung tentu ada maksudnya, seperti halnya arca
atau patung Buddha. Patung Buddha dibuat oleh kaum Buddhis untuk
mengenang jasa-jasanya dan keagungan budinya terutama ajaran-ajaran
yang membuat berjuta-juta manusia hidup dalam ketentraman dan
kedamaian. Walaupun wujud patung Buddha tidak mirip betul dengan
wajah Buddha atau Shiddharta yang sebenarnya, tetapi lukisan patung
Buddha, bagi kaum Buddhis harus selalu membayangkan dengan benar-
benar meresapi siapakah Buddha itu. Patung Buddha lebih banyak
menggambarkan suatu tipe dari pada wujud orangnya.64
Pembuatan patung atau lukisan menggambarkan perujudan Sang
Buddha dalam tradisi buddhis merupakan buah pikiran yang boleh dikata
berani pada zaman itu, dizaman awal perkembangan agama Buddha
karena masih belum umum dan tabu bagi umumnya pemikiran
masyarakat. Berkembangnya pembuatan patung ini diduga merupakan
pengaruh dari tradisi agama Brahma (cikal bakal agama Hindu) yang
memuja banyak dewa. Dewa-dewa dalam agama Brahma pada awalnya
berbentuk abstrak, yaitu sekadar penggambaran bentuk dan ciri melalui
tutur kata saja. Setelah Jambudipa pada satu kurun zaman jatuh dalam

                                                                                                               
62
Arief Wibowo, Jurnal : Makna Patung Buddha dalam Agama Buddha, SUHUF, Vol.
20, No. 1, Mei 2008: hlm. 79-80
63
Ibid, hlm. 79
64
Arief Wibowo, Jurnal : Makna Patung Buddha dalam Agama Buddha, SUHUF, Vol.
20, No. 1, Mei 2008: hlm. 95

 
 
33  
 

kekuasaan Yunani, pengaruh budaya Yunani merambah diwilayah


Jambudîpa, yang salah satu diantaranya adalah seni patung. Mulai masa
itulah, kemudian, dewa-dewa dalam kepercayaan Brahma banyak
diwujudkan dalam bentuk patung.65
Sejarah Rupang atau Patung Buddha dimulai Sejak 600 tahun
setelah kematian Sang Buddha, Sang Buddha dan ajaran-ajarannya
direpresentasikan melalui seni yang berbentuk simbol-simbol. Simbol
tersebut seperti berupa roda, jejak kaki, atau singgasana kosong.
Kemudian Sang Buddha yang direpresentasikan dalam bentuk manusia
melalui patung-patung mulai bermunculan pada abad I Masehi. Inovasi
untuk merepresentasikan diri Sang Buddha dalam bentuk manusia ini tidak
dilarang dalam ajaran agama Buddha. Patung tersebut menggambarkan
Sang Buddha memakai jubah bhikkhu dengan ekspresi muka yang tenang.
Rupang Buddha pada umumnya dibuat dengan bentuk dalam keadaan
sedang berdiri atau pun sedang duduk dengan posisi lotus (yang
menunjukkan bahwa Beliau sedang bermeditasi), terkadang rupang Sang
Buddha juga menggenggam sebuah mangkuk atau membentuk suatu
gerakan tangan yang menunjukkan ketidak takutan.
Ghandara yang sekarang dikenal sebagai Punjab di Pakistan dan
daerah Mathura yang terletak dipusat India bagian utara, dulunya dikenal
sebagai pusat tempat pembuatan rupang Buddha. Terdapat pengaruh
kesenian Yunani dalam rupang Buddha yang terdapat di Ghandara, hal ini
dapat dibuktikan dengan penemuan rupang Buddha di Ghandara yang
memiliki ciri-ciri persis dengan ciri-ciri manusia bangsa Yunani, yaitu
berdada bidang, berwajah Eropa dan bertelanjang dada. 66
Pada masa Hindu Buddha patung klasik terutama berkembang di
Jawa dan Bali. Karya patung primitif dan klasik secara tradisional
berlangsung turun temurun hingga sekarang. Selanjutnya primitif dan
klasik disebut corak tradisional sedangkan patung diluar primitif dan

                                                                                                               
65
Bhikkhu Dhammadhiro, BUDDHARÛPA “Bagaimana Buddhis Menyikapi Objek
Pujaan”, (Yayasan Sammasayambhu, 2012), hlm. 23
66
Eka Citta, Jurnal : Simbol dalam Agama Buddha, no. XXVIII/April/2008, hlm. 6-7

 
 
34  
 

klasik disebut patung yang bercorak modern. Dilihat dari perwujudannya,


ragam seni patung modern dapat dibedakan menjadi tiga:
1. Corak Imitatif (Realis/ Representatif) Corak ini merupakan tiruan
dari bentuk alam (manusia, binatang dan tumbuhan).
Perwujudannya berdasarkan fisio plastis atau bentuk fisik baik
anatomi proporsi, maupun gerak. Patung corak realis tampak pada
karya Hendro, Trubus, saptoto dan Edy Sunarso.
2. Corak Deformatif Patung corak ini bentuknya telah banyak berubah
dari tiruan alam. Bentuk-bentuk alam digubah menurut gagasan
imajinasi pematung. Pengubahan dan bentuk alam digubah menjadi
bentuk baru yang keluar dari bentuk aslinya. Karya ini tampak pada
karya But Mochtar G Sidhartha.
3. Corak Nonfiguratif (Abstrak) Patung ini secara umum sudah
meninggalkan bentuk-bentuk alam untuk perwujudannya bersifat
abstrak. Karya ini tampak pada karya Rita Widagdo yang tidak
pernah sedikitpun menampilkan bentuk yang umum dikenal seperti
bentuk-bentuk yang ada dialam. Ia mengolah elemenelemen rupa
tri matra seperti; garis, bidang, ruang, dan memperlakukan unsur-
unsur rupa tersebut sebagaimana adanya tidak mewakili konsep
atau pengertian tertentu.
Fungsi Patung Secara umum berdasarkan fungsinya seni patung
terbagi atas 6 macam, yaitu:
1. Patung Religi, selain dapat dinikmati keindahannya tujuan utama
dari pembuatan patung ini adalah sebagai sarana beribadah,
bermakna religius.
2. Patung Monumental, keindahan dan bentuk patung yang dibuat
sebagai peringatan peristiwa bersejarah atau jasa seorang pahlawan.
3. Patung arsitektur, keindahan patung dapat dinikmati dari tujuan
utama patung yang ikut aktif berfungsi sebagai kontruksi
bangunan.
4. Patung Dekorasi, untuk menghias bangunan atau taman.
5. Patung Seni, patung untuk dinikmati keindahannya.

 
 
35  
 

6. Patung kerajinan, hasil dari para pengrajin, keindahan patung selain


untuk dinikmati juga untuk dijual.67
Karakteristik dari rupang Buddha dimulai dari idealisme yang
realisitis, dikombinasikan dengan ciri-ciri manusia, saling berimbang,
sikap-sikap dan atribut, bersamaan dengan kesan-kesan kesempurnaan dan
ketenangan yang mencapai pada suatu sifat luhur. Ekspresi yang
ditunjukkan oleh Buddha sebagai seorang manusia sekaligus sebagai
“manusia super” dijadikan sebagai suatu ukuran dasar iconographic untuk
kesenian Buddhis.68
Dalam pembuatan rupang Buddha, terdapat 10 hal yang perlu
diperhatikan. Adapun 10 pedoman tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ciri Kebuddhaan, Setiap rupang Sang Buddha harus mencerminkan
sifat-sifat ke-Buddha-an yang terdiri dari kesucian yang sempurna
dan kebijaksanaan yang sempurna. Dengan melihat rupang
Buddha, seseorang bisa mengetahui sifat kebuddhaan tersebut.
2. Ciri Sangha, Rupang Sang Buddha dibuat dengan memerhatikan
ciri-ciri Sangha, dan ciri-ciri seorang Biksu. Sang Buddha
mengenakan jubah dengan bahu sebelah kanan terbuka. Tiga jubah
utama seorang Biksu bisa tampak dalam sebuah patung. Secara
keseluruhan, patung Sang Buddha merupakan patung yang
sederhana namun agung. Sederhana karena hanya mengenakan
jubah, tanpa hiasan permata dan lainnya. Agung karena
mencerminkan sifat keBuddhaan (Bijaksana dan Welas Asih).
3. Ciri Manusia Agung (Maha Purisa) Rupang Sang Buddha dibuat
dengan memperlihatkan 32 ciri manusia agung. Beberapa
diantaranya seperti: diatas kepala Sang Buddha terdapat bagian
yang menonjol ke atas (unhisa), rambut ikal ke kanan, ditengah-
tengah di antara mata Beliau terdapat bulu halus yang melingkar
(unna) dan berdada bidang seperti singa.

                                                                                                               
67
Ilmi Solihat, Jurnal : MAKNA DAN FUNGSI PATUNG-PATUNG DI BUNDARAN
CITRA RAYA KABUPATEN TANGERANG PROVINSI BANTEN, (Bantren : MLI Cabang Untirta
dan HISJI Banten), Volume 2 Nomor 2 Nov 2017, hlm. 167
68
Eka Citta, Jurnal : Simbol dalam Agama Buddha, no. XXVIII/April/2008, hlm. 6-7

 
 
36  
 

4. Ciri Seorang Pemimpin Dengan melihat rupang Sang Buddha, kita


serasa berhadapan dengan seorang pemimpin besar yang
berkarisma, tegar, cakap, dan berani.
Patung Buddha mempunyai wujud yang berbeda, Tentunya
perbedaan sikap dan posisi tubuh ini memiliki makna tersendiri.
1. Patung Buddha dengan kedua tangan berada dipangkuan misalnya,
melambangkan sikap meditasi.
2. Patung Buddha dengan posisi tangan sebelah kanan berada didepan
dada. Sikap ini merupakan simbol dari Dhamma, ajaran Sang
Buddha. Ada pula yang menafsirkan sikap ini melambangkan
makhluk.
3. Di Thailand dan dibeberapa negara-negara Asia Timur, terdapat
patung Buddha dengan posisi tidur atau berbaring yang
merepresentasikan Sang Buddha yang sedang memasuki “pintu
Nibbana”. Patung ini lebih dikenal dengan sebutan patung Buddha
tidur (Sleeping Buddha).
4. Pada beberapa dekade ini, banyak patung Buddha dibuat dengan
sikap kedua tangan berada di depan dada, dengan posisi jari manis
tangan kiri menyentuh ibu jari dan jari tengah pada tangan kanan
menyentuh ibu jari membentuk lingkaran, posisi ketiga jari lainnya
disesuaikan. Namun makna yang terkandung dalam sikap ini belum
diketahui secara jelas.
5. Selain terdapat berbagai macam sikap patung Buddha, ada patung
yang duduk diatas bunga teratai. Bunga teratai melambangkan
panna (kebijaksanaan).
6. Pada patung Buddha aliran Mahayana, dapat ditemukan simbol
swastika yang terukir pada dada patung. 69 Swastika merupakan
simbol kuno yang telah digunakan oleh berbagai budaya untuk
melambangkan kehidupan, matahari, kekuasaan, kekuatan, dan
keberuntungan. Begitu pula dalam tradisi ajaran agama Buddha,

                                                                                                               
69
Eka Citta, Jurnal : Simbol dalam Agama Buddha, no. XXVIII/April/2008, hlm. 6-7

 
 
37  
 

swastika melambangkan hal-hal yang baik dan positif.70 Dan masih


banyak lagi.

C. Proses Pensakralisasian Patung Dalam Agama Buddha.


Patung itu bukan hanya merupakan simbol agama yang disakralkan
dan dijiwai oleh roh para dewa yang ditempatkan di tempat suci, tetapi
juga karena patung itu telah mengalami proses penyucian. Patung yang
telah disucikan itu sangat diyakini mempunyai kekuatan yang lebih
disamping memiliki nilai artistik.71
Banyak orang mendirikan patung secara sembarangan, tidak
melalui prosedur yang benar. Karena ketidak tahuan mereka, mereka
hanya membeli patung baru di toko, diletakkan di atas meja lalu
disembahyangi tiap hari. Atau mendapat patung dari pemberian teman,
tanpa tahu asal-usulnya, diletakkan di meja langsung disembahyangi tiap
hari. Kesemuanya ini tentu akan menghasilkan altar-altar yang “hitam”.
Sebab para dewa dan roh suci tidak akan datang sendiri tanpa diminta
secara resmi dengan suatu upacara ritual yang sederhana saja.72
Bahan dasar yang digunakan dalam pembuatan patung bisa berasal
dari kertas, batu, tanah, logam, kayu, atau benda lainnya. Setelah gambar,
relief, atau patung yang berasal dari bahan-bahan tersebut ini terbentuk,
keberadaannya adalah sama seperti hasil karya seni keterampilan benda-
benda lain pada umumnya, tidak ada satu keistimewaan pada barang-
barang tersebut kecuali nilai keindahan dan kegunaannya. 73
Untuk menetapkan atau menyatakan bahwa benda yang dibuat itu
ditujukan untuk menggambarkan atau mewakili keberadaan Sang Buddha,
dibuatlah satu upacara pengumuman atau pengukuhan atas benda tersebut.
Upacara ini disebut upacara pengukuhan buddharûpa atau Buddhâbhiseka.

                                                                                                               
70
Willy Yandi Wijaya, DHAMMA DANA PARA DHAMMADUTA, (Yogyakarta :
Vidyasena Production, 2009), hlm. 50
71
I Wayan Rasna, Jurnal : “Rerajahan Kawisesan” dalam Teks “Ajiblêgodawa”: Sebuah
Kajian Etnosemiotika, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja-Bali, JURNAL KAJIAN BALI
Volume 05, Nomor 02, Oktober 2015, hlm. 113
72
Herman Utomo dkk, Ibadah Dari Vihara ke Vihara, (Kelompok Spiritual Universitas
Jakarta), hlm. 29
73
Bhikkhu Dhammadhiro, BUDDHARÛPA “Bagaimana Buddhis Menyikapi Objek
Pujaan”, (Yayasan Sammasayambhu, 2012), hlm. 42

 
 
38  
 

Upacara Buddhâbhiseka yang berarti upacara pengumuman atau


pengukuhan inilah yang disalah mengerti oleh masyarakat awam sebagai
upacara “mengisi”, “mendoai”, atau “memberkahi”. masyarakat sering
menganggap lebih dari sekadar upacara pengumuman atau pengukuhan,
yaitu sebagai upacara penaruhan tuah atau anggapan lain sejenisnya yang
berbau mistis. Tidak terelakkan, istilah “upacara pengisian”, “upacara
pendoaan”, atau “upacara pemberkahan”, muncul di masyarakat.
Istilah apapun yang digunakan, “pengisian”, “pendoaan”,
“pemberkahan”, atau “Buddhabhiseka” bukan menjadi persoalan apabila
makna dan tujuan upacara tersebut telah dimengerti dengan sesuai, yaitu
sekadar sebagai upacara pengukuhan. Dengan pengertian pada makna dan
tujuan awal Buddhabhiseka, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam upacara Buddhabhiseka antara lain.
1. Upacara ini tidak dapat dikatakan menyimpang dari nilai-nilai
buddhis. Dengan demikian, upacara Buddhabhiseka tentu bukan
merupakan penyimpangan dari nilai-nilai Buddhis.
2. Upacara ini bukan sebuah keharusan. Memperhatikan fungsi
patung Buddha dan menilik tujuan sebenarnya upacara
Buddhabhiseka yang sebatas sebagai upaya mengumumkan
keberadaan sebagai objek pujaan.
3. Tanpa membuat upacara Buddhabhisekapun, sebuah benda yang
ditentukan dan ditujukan sebagai perwakilan keberadaan Sang
Buddha dapat secara sah menjadi buddha rupa yang dapat dipuja,
menjadi objek pujaan.74
Selain upacara penyucian dalam ajaran agama Buddha juga
diajarkan tentang Paramita atau Dana Paramita, yang juga biasa disebut
“persembahan yang sempurna”. Ajaran tentang persembahan ini adalah
salah satu ajaran terpenting dalam agama Buddha. Memberi persembahan
adalah cara orang Buddha mengekspresikan cinta, dan sama dengan ide
cinta kasih dalam ajaran kristiani. Kata paramita dalam bahasa Sansekerta

                                                                                                               
74
Bhikkhu Dhammadhiro, BUDDHARÛPA “Bagaimana Buddhis Menyikapi Objek
Pujaan”, (Yayasan Sammasayambhu, 2012), hlm. 42-43

 
 
39  
 

ini secara harfiah berarti tercapainya pantai seberang, dia juga bisa berarti
“Jika Anda menyelami batin Anda, maka kearifan akan melimpah keluar”.
Dengan demikian, “Dana-Paramita” bisa diartikan sebagai disiplin
memberikan persembahan, dimana anda bisa menanggapi dan menampung
kearifan yang muncul dari dalam tersebut.
Ada berbagai macam persembahan. Yang paling umum adalah
persembahan harta benda misalnya, pakaian, barang, prabotan, atau
perhiasan kepada para pencari Kebenaran, pemimpin agama atau orang
miskin. Mempersembahkan sesuatu kepada orang lain adalah wujud cinta,
bahkan sekalipun anda tidak memberikan berupa barang, anda dapat
memberikan senyuman. Senyuman di wajah anda akan membantu dunia
menjadi lebih baik.75

                                                                                                               
75
Ryuho Okawa, Hakikat Ajaran Buddha, (Jogjakarta : SAUJAN, 2004), hlm. 93-94

 
 
   

BAB IV
MAKNA PATUNG SLEEPING BUDDHA DI VIHARA
BUDDHA DHARMA & 8 PHOSAT

A. Patung Sleeping Buddha Secara Umum


Kata Buddha berasal dari akar kata Bodhi (hikmat), yang dalam
deklensi (Tashrif) menjadi budhi (nurani) dan juga budha (yang beroleh
terang). Oleh karenanya sebutan budha pada masa selanjutnya
memperoleh berbagai pengertian sebagai berikut:
1. Yang sadar (awaken one)
2. Yang beroleh terang (enlightened one)
Panggilan itu diperoleh Sidharta sesudah menjalani sikap hidup
penuh kesucian,bertapa, mengembara untuk menemukan kebenaran,
hamper tujuh tahun lamanya dibawah sebuah pohon (yang dewasa ini
berada di kota Gaya). Ia pun memperoleh hikmat dan terang, hingga pohon
itu sampai sekarang disebut dengan pohon hikmat (Tree of Bodhi).
Menurut tradisi Buddha, tokoh historis Buddha Siddharta Gautama
dilahirkan dari suku Sakya pada awal masa Magadha (546–324 SM),
disebuah kota, selatan pegunungan Himalaya yang bernama Lumbini.
Sekarang kota ini terletak di Nepal sebelah selatan. Ia juga dikenal dengan
nama Sakyamuni (harafiah: orang bijak dari kaum Sakya”). 76
Buddha merupakan sebuah sebutan atau gelar yang diberikan
kepada seseorang yang telah mencapai Pencerahan (Enlightenment).
Buddha sendiri tidak hanya satu. Namun secara historis pada zaman ini
hanya dikenal satu Buddha yaitu Buddha Gautama. Buddha Gautama
hidup dibagian utara India sekitar abad ke-6 SM. Nama pribadinya adalah
Siddhartha sedangkan Gautama adalah nama keluarganya. Pada tahun 563
SM lahirnya Pangeran Siddhartha di Taman Lumbini. Pangeran Siddhartha
adalah penerus kerajaan Kapilawastu dari suku Sakya. Ayahnya adalah
Raja Suddhodana dan ibunya adalah Ratu Maha Maya Dewi.77
                                                                                                               
76
Khairiah, AGAMA BUDHA, (Yogyakarta : KALIMEDIA, 2008), hlm. 1
77
Upa. Sasanasena Seng Hansen, Ikhtisar Ajaran Buddha, (Yogyakarta : Vidyasena
production, 2008), Hlm. 4

40  
 
41  
 

Shiddarta yang hidup sebagai perorangan tidaklah dianggap


penting dalam ajaran Buddha. Tetapi dia sebagai tokoh Buddha yang
menjelma pada dirinya adalah mempunyai pengaruh yang kuat dalam
ajaran Buddha. Buddha sebagai tokoh atau gelar yang menitis pada diri
Shiddarta dianggap pernah hidup dan menjelma menjadi manusia di dunia
ini. Hal ini tetap diyakini oleh para Buddhis. Menurut keyakinan Buddhis
sebelum tahap zaman sekarang ini, telah ada tahap zaman-zaman yang tak
terbilang banyaknya diwaktu Buddha turun ke dunia. Jadi tiap zaman
memiliki Buddha sendiri-sendiri. Shiddarta sebagai Buddha pada masa
sekarang bukan pertama kalinya, tetapi beberapa Buddha telah
mendahuluinya turun ke dunia untuk mendapatkan gelar Buddha yang
sesungguhnya, atau untuk mendapatkan pencerahan Bodhi.78
Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 623 SM di Taman
Lumbini. Oleh para pertapa dibawah pimpinan Asita Kaladewala
diramalkan bahwa Pangeran Siddharta kelak akan menjadi Maharaja
Diraja atau akan menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri
Baginda menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha,
tidak ada yang mewarisi tahta kerajaannya. Para petapa itu menjelaskan
bahwa Sang Pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa, jika
itu terjadi maka ia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat
macam peristiwa itu adalah orang tua, orang sakit, orang mati, orang
petapa.
Sejak kecil sudah terlihat bahwa sang pangeran adalah seorang
anak yang cerdas dan sangat pandai, selalu dilayani oleh pelayan-pelayan
dan dayang-dayang yang masih muda dan cantik. Dalam usia 16 tahun
pangeran Siddharta menikah dengan puteri Yasodhara yang
dipersuntingnya.79
Pada suatu hari Pangeran mohon kepada ayahnya agar diizinkan
berjalan-jalan keluar istana. Pada saat itu ia melihat orang tua rentan,

                                                                                                               
78
Arief Wibowo, Jurnal : Makna Patung Buddha dalam Agama Buddha, SUHUF, Vol.
20, No. 1, Mei 2008: hlm. 80
79
Pandita s. Widyadharma, Intisari Agama Buddha, (Jakarta : Yayasan Dana Pendidikan
Buddhis Nalanda, 1977), hlm. 1-2

 
 
42  
 

rambutnya sudah memutih, mukanya keriput, matanya rabun, giginya


ompong, badannya kurus kering, setelah melihat itu hatinya menjadi sedih
sekali. Kedua ia melihat pemandangan yang menyedihkan melihat seorang
yang terserang penyakit, menderita banyak luka-luka dibadannya merintih-
rintih tambah daya. Ketiga ia melihat mayat orang mati yang dipikul oleh
empat orang, melihat kejadian ini terpikir olehnya, seperti halnya makhluk
lain akupun dapat menderita karena sakit, umur tua dan yang semua
makhluk tidak dapat menghindarinya.
Keempat pangeran melihat seorang pertapa berjubah kuning
menghampirinya dan berkata : “pangeran yang mulia saya seorang pertapa
menjauhi kenikmatan duniawi, tinggal di hutan yang sunyi untuk mencari
jalan yang dapat membebaskan manusia dari usia tua, penyakit dan
kematian. Segala sesuatu didunia ini tidak kekal berjuanglah untuk
mencapai pembebasan.” Setelah berkata demikian pertapa itu berlalu dan
terus menghilang. Pangeran merasa gembira hatinya aku ingin menjadi
pertapa seperti dia.80
Setelah melihat empat peristiwa itu Pangeran Siddharta menjadi
murung dan kecewa melihat kenyataan hidup yang penuh dengan derita.81
Demikian kerasnya pergolakan didalam hati Pangeran Siddharta berjalan
terus sampai beliau berusia 29 tahun saat putra tunggalnya Rahula lahir.
Peristiwa kelahiran putranya merupakan puncak dari masalah yang
dihadapi beliau.
Akhirnya Pangeran Siddarta meninggalkan istananya yang mewah,
ayah, istri dan anak yang tercinta tahta kerajaan yang penuh kegemerlapan,
harta kekayaan yang berlimpah-limpah, kehidupan yang penuh dengan
kenikmatan duniawi telah ditinggalkannya demi mencapai cita-cita yang
luhur dan mulia untuk menolong dan menyelamatkan umat manusia dari
penderitaan.82

                                                                                                               
80
Bhiksu Andhanavira, RIWAYAT SINGKAT BUDDHA, (Jakarta : Vihara Lalitavistara.
1986), hlm. 15
81
Pandita s. Widyadharma, Intisari Agama Buddha, (Jakarta : Yayasan Dana Pendidikan
Buddhis Nalanda, 1977), hlm. 2
82
Bhiksu Andhanavira, RIWAYAT SINGKAT BUDDHA, (Jakarta : Vihara Lalitavistara.
1986), hlm. 17

 
 
43  
 

Pangeran Siddharta pada suatu malam disaat istri dan anaknya


Rahula sedang tertidur pulas, Siddharta bersama dengan pelayannya yang
setia Channa dengan diam-diam pergi meninggalkan istana, melakukan
pelepasan agung meninggalkan istana dengan menunggangi kuda
berwarna putih salju bernama khanthaka, mereka pergi bersama hingga
menyeberangi sungai Anoma. Ditempat inilah pangeran siddharta melepas
jubah kerajaannya, ia memberikan pakaian dan kudanya pada Channa
untuk mengembalikannya ke istana, kemudian Siddharta mengenakan
sebuah jubah oranye dan memotong rambut panjangnya lalu pergi dengan
83
membawa sebuah mangkuk di tangannya. Hanya seorang Maha
Bodhisattva yang sanggup berkorban sedemikian besarnya.84
Dalam usia 35 tahun pertapa Siddarta memperoleh Penerangan
Agung, menjadi Buddha di bawah pohon Bodhi di hutan Uruvela (kini
tempat tersebut disebut Buddha Gaya). Untuk pertama kalinya beliau
mengajarkan Dharma yang maha sempurna kepada lima orang petapa
kawan beliau di taman Rusa Isipatana didekat Benares. Adapun kelima
orang pertapa itu adalah Kondanna, Bodhiya, Vappa, Mahanama, dan
Assaji.
Setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha, Kondanna segera
menjadi Sotapana dan kemudian menjadi Arahat. Kemudian yang lainnya
menyusul menjadi Arahat. Khotbah pertama ini kemudian dikenal sebagai
Khotbah Pemutaran Roda Dharma (Dhama Cakka Pavattana Sutta). Sang
Buddha sangat giat dalam mengajarkan Dharmma kepada para siswaNya
sampai Beliau mangkat di Kusinara dalam usia 80 tahun. 85 Ketika
mencapai usia ke-80, sang buddha mengalami sakit karena faktor usia
yang semakin menua. Namun, berkat kekuatan batinnya. Sang Buddha
mampu mengatasi rasa sakit tersebut. Batin Sang Buddha selalu bersinar

                                                                                                               
83
Dian Sri Pandewi, Buddha, (Denpasar : Vidya Aksara, 2008), hlm. 16-17
84
Bhiksu Andhanavira, RIWAYAT SINGKAT BUDDHA, (Jakarta : Vihara Lalitavistara.
1986), hlm. 17
85
Pandita s. Widyadharma, Intisari Agama Buddha, (Jakarta : Yayasan Dana Pendidikan
Buddhis Nalanda, 1977), hlm. 2

 
 
44  
 

laksana berlian, meskipun jasmaniNya telah mulai melemah86 Akhirnya


pada sebuah tempat yang bernama Kusira, ia berbaring di bawah pohon
Sala dan menghembuskan nafas terakhirnya. 87 Dan pada usia ini pula
Buddha mencapai Mahaparinibbana atau wafatnya sang buddha.
Pada posisi wafatnya sang Buddha inilah menjadi salah satu jenis
patung Buddha yaitu Patung Sleeping Buddha atau patung Buddha Tidur.
Patung Buddha tidur merupakan gambaran posisi wafatnya sang buddha
dengan posisi tidur ke arah kanan, Patung buddha menggambarkan pusat
konsentrasi, manusia agung yang dianggap telah menemukan dharma
(ajaran kesempurnaan) tentang kehidupan.88

B. Makna Simbolik Patung Sleeping Buddha di Vihara Buddha Dharma


& 8 Pho Sat Kemang Bogor
Disaat berumur 80 tahun Pangeran Siddharta meninggal dunia di
pangkuan saudara sepupu dan sekaligus murid yang dikasihinya. Sebelum
menghembuskan nafas yang terakhir ia masih sempat menyampaikan suatu
nasihat yang maknanya : “kerontokan itu suatu kemestian setiap susunan.
Ikhtiarkan keselamatan dirimu dengan rajin”.
Jenazah Sidharta Gautama yang disemayamkan selama tujuh hari
tujuh malam di kerajaan Kusinara dikunjungi oleh raja-raja dan
masyarakat tanpa henti-hentinya. Pada hari ketujuh jenazahnya dibakar
dan abunya dibagi menjadi sepuluh bagian untuk diberikan kepada sepuluh
raja yang pernah dikunjungi oleh Sidharta Gautama semasa hidupnya.
Masing-masing raja itu membangun Stupa (Pagoda) guna menyimpan abu
jenazah yang dipandang suci itu.89
Buddha Rupa atau Patung Buddha juga sering disebut
Buddhapatima atau bentuk tiruan diri Sang Buddha yang baru muncul
ratusan tahun setelah sepeninggalan Beliau. Yaitu sekitar setelah India
                                                                                                               
86
Sulan. Karsan, Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti, (Jakarta : Pusat
Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud, 2015), hlm 2
87
Dian Sri Pandewi, Buddha, (Denpasar : Vidya Aksara, 2008), hlm. 22
88
Ulum Janah, Jurnal : Pendataan Tempat-Tempat Pariwisata di Kota Balikpapan Serta
Perbatasan Wilayah Kutai Kartanegara di Samboja, Abdimas Universal, Volume 1, Nomor 1,
2019, Hlm. 26.
89
Rosmani Ahmad, Jurnal : Gerakan-gerakan Spiritualitas Dalam Komunitas Budha,
Analytica Islamica. Vol, 1, No, 1, 2012: hlm. 165

 
 
45  
 

Kuno mendapat pengaruh budaya Yunani. Melewati sejarah yang amat


panjang, pada akhirnya patung Buddha diterima dalam jenis
uddesikacetiya.
Bila ditinjau secara geografis, awal pembuatan patung Buddha
terjadi di wilayah India bagian utara dan barat laut, yaitu Kashmir,
Pakistan, Afganistan sekarang, yang penduduk penganut agama
Buddhanya mengikuti tradisi Uttaranikaya, cikal bakal tradisi Acariyavada
(atau Mahayana) sehingga dapat dikatakan objek puja dalam bentuk
patung mulai dikenal dalam tradisi Acariyavada, yang disisi lain tradisi
Theravada pada zaman itu menganggap pembuatan patung Buddha adalah
sikap kurang hormat terhadap Sang Buddha. Masyarakat tradisi Theravāda
pada saat itu telah menerapkan beberapa aspek seni ke dalam
penggambaran bentuk/keberadaan Sang Buddha. Namun, penggambaran
tersebut tidak dengan cara menampilkan sosok Buddha dalam bentuk
gambar atau patung secara jelas.90
Seiring berjalannya waktu pembuatan patung Buddha semakin
berkembang dan meluas hingga saat ini, banyak kita jumpai di rumah
ibadah Buddha (Vihara) dan juga di rumah-rumah para pemeluk agama
Buddha. Salah satunya Patung Buddha di Indonesia ada di Bogor yang
ukurannya cukup besar, tepatnya di KP. Jati Rt 06/02 Desa Tonjong
Kecamatan Tajurhalang Kabupaten Bogor, yaitu Patung Sleeping Buddha
atau Patung Buddha Tidur, Patung Buddha Tidur itu sendiri diresmikan
pada tahun 2012.
Patung Buddha Tidur dibangun atas inspirasi dari Bapak Andi
Suwanto selaku pendiri Vihara Buddha Dharma & 8 Pho sat. Setelah
bermeditasi ia mendapat inspirasi bahwa daerah ini akan berkembang
dengan didirikannya Patung Buddha Tidur, yang nantinya akan membawa
daya tarik masyarakat umum maupun mancanegara terutama penganut
agama Buddha.

                                                                                                               
90
Carina Tjandradipura dkk, Jurnal : REPRESENTASI DAN ORIENTASI SIMBOL
PENGHORMATAN DALAM DINAMIKA RUANG IBADAH AGAMA BUDDHA (Studi Kasus:
Ruang Ibadah Cetiya di Bandung), Jurnal I D E A L O G Jurnal Desain Interior & Desain Produk
Vol.1 No.1, April 2016, hlm. 15

 
 
46  
 

Patung Buddha Tidur didirikan sebagai penghormatan kepada Sang


Buddha. Posisi Patung Buddha Tidur didirikan dengan posisi berbaring
kearah kanan yaitu posisi wafatnya Sang Buddha atau Mahaparinibbana.
Patung Buddha Tidur ini juga bisa diartikan sebagai posisi manfaat tidur.91
Manfaat tidur miring ke kanan yaitu untuk mencegah terjadinya penyakit
jantung koroner, selain itu tidur miring ke kanan memberikan manfaat agar
tidak memberatkan kerja jantung dan untuk membantu renovasi fungsi
jantung. Tidur miring ke kanan juga membantu kelancaran buang air
besar.92

Gambar Patung Buddha tidur di Vihara Buddha Dharma & 8 Phosat Kemang
Bogor
Ukuran Patung Buddha Tidur ini yaitu 18 meter, yang artinya satu
ditambah delapan yaitu sembilan yang bermakna umur panjang,
kesejahteraan, angka delapan dalam masyarakat chinese atau tionghoa
dipercaya sebagai angka pembawa hoki, angka delapan dan sembilan juga
dipercaya sebagai angka yang bagus untuk ukuran-ukuran sebuah
bangunan. Tinggi Patung Buddha Tidur ini 4,75 meter, yang tertinggi ada
diposisi sebelah bahu, dan untuk panjang alasnya yaitu 22 meter.

                                                                                                               
91
Wawancara Pribadi dengan Bapak Andrean Halim, selaku sekretaris di Vihara Buddha
Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor. 9 Februari 2021.
92
Joko Sutrisno, HUBUNGAN KEBIASAAN POSISI TIDUR DENGAN RESIKO
TERJADINYA SERANGAN ULANG PADA PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER DI POLI
JANTUNG RSUD GAMBIRAN KOTA KEDIRI, (Kediri : STIKES SURYA MITRA HUSADA),
hlm. 2-3

 
 
47  
 

Pada Patung Buddha Tidur ini terdapat tanda Swastika di dada,93


Swastika merupakan simbol kuno yang telah digunakan oleh berbagai
budaya untuk melambangkan kehidupan, matahari, kekuasaan, kekuatan,
dan keberuntungan. Begitu pula dalam tradisi ajaran agama Buddha,
swastika melambangkan hal-hal yang baik dan positif. Selain itu, swastika
juga merepresentasikan jejak kaki Sang Buddha (Buddhapada). Swastika
kerap kali digunakan sebagai tanda atau icon dalam sebuah teks Buddhis.
Di Cina dan di Jepang, swastika digambarkan sebagai simbol
kemajemukan, kebahagiaan, kesejahteraan, dan umur yang panjang. Saat
ini, swastika masih digunakan sebagai tanda istimewa pada patung-patung
Sang Buddha dan wiharawihara. 94 Dan ada titik merah di dahi yaitu
sebagai tanda bahwa Sang Buddha berasal dari India, pada telapak kaki
juga terdapat roda yang menggambarkan Roda Dharma.95 Roda Dharmaitu
sendiri memiliki delapan ruas yang merupakan perlambangan dari Jalan
Mulia Berunsur Delapan. Lingkaran atau bentuk roda memiliki makna
hukum sebab akibat (Karma) dimana saling berkaitan satu sama lain.96
Pembangunan Patung Buddha Tidur ini memakan waktu dua tahun,
dan dikerjakan oleh orang lokal, yang didampingi langsung oleh Bapak
Andi Suwanto selaku pendiri Vihara Buddha Dharma & 8 Pho sat. Dalam
proses pengerjaan para pekerja harus Vegetarian, selama mengerjakan
patung Buddha tidur, yang bermakna sebagai penyucian atau pembersihan
diri. Vegetarian sendiri merupakan syarat yang harus dijalankan oleh para
pekerja. selain itu sebelum pengerjaan diadakan juga sedekahan atau
selametan mengikuti tradiri agama islam, hal ini dikarenakan berdasarkan
saran para pekerja yang mayoritas muslim, Bapak Andy Suwanto sendri

                                                                                                               
93
Wawancara Pribadi dengan Bapak Andrean Halim, selaku sekretaris di Vihara Buddha
Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor. 9 Februari 2021.
94
Willy Yandi Wijaya, DHAMMA DANA PARA DHAMMADUTA, (Yogyakarta :
Vidyasena Production, 2009), hlm. 50
95
Wawancara Pribadi dengan Bapak Andrean Halim, selaku sekretaris di Vihara Buddha
Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor. 9 Februari 2021.
96

http://digilib.mercubuana.ac.id/manager/t!@file_artikel_abstrak/Isi_Artikel_275947609889.pdf.
Diakses pada tanggal 23 februari 2021 pukul 21:26 WIB

 
 
48  
 

tidak mempermasalahkan hal tersebut karena baginya setiap doa pasti akan
sampai kepada Sang Pencipta yang sama.97
Awalnya pembuatan Patung Buddha Tidur ini ingin mengunakan
batu dan dipahat, namun mencari batu yang berukuran 18 meter itu cukup
sulit, kemudian Bapak Andi Suwanto mendapat pencerahan kembali yaitu
pengerjaannya dengan cara dicor dengan menggunakan kerangka besin,
dalam pengerjaan ini menghabiskan 500 sak semen. Setelah selesai
pengecoran barulah kerangka tersebut dicopot, dan baru bisa dibentuk.
Bagian tersulit dari pembentukan Patung Buddha Tidur ini yaitu ada pada
bagian muka, karena menurut Bapak Andy Suwanto untuk bagian muka
harus sesuai dengan Buddha yang beliau temui dalam meditasi, bahkan
sampai lima kali pembongkaran demi menginginkan Aura Patung Buddha
Tidur yang sesuai seperti yang beliau temui dalam meditasi. Dan akhirnya
mendapatkan hasil yang hampir mirip seperti yang beliau temui dalam
meditasi.
Selain pengerjaan Patung Buddha Tidur yang rumit, pengerjaan
bantalan tidak kalah rumit karena jika pengerjaan bantalan yang salah bisa
mengakibatkan Patah dan nantinya akan lebih sulit untuk diperbaikinya.
Dalam pengerjaan bantalan atau alas Patung Buddha Tidur ini
membutuhkan dua puluh tujuh cakar ayam dengan kedalaman 2 meter,
setelah itu pembentukan atasnya dengan anyaman besi setinggi 30 senti.
Setelah selesai patung dan alasnya barulah menuju tahap selanjutnya, yaitu
prosesi penyucian, prosesi penyucian ini dengan cara pemandian Patung
Buddha Tidur yaitu dengan air, bunga sedap malam, dan bunga melati.
Bunga sedap malam dan melati ini sendiri mempunyai makna suci salah
satunya dilihat dari warna bunganya yang putih. 98 Setelah selesai
menjalankan seluruh prosesinya barulah Patung Buddha Tidur ini

                                                                                                               
97
Wawancara Pribadi dengan Bapak Andy Suwanto, selaku pendiri Vihara Buddha
Dharma 8 Pho Sat sekaligus Guru Spiritual, di Vihara Buddha Dharma 8 Pho Sat Kemang Bogor.
11 Maret 2021.
98
Wawancara Pribadi dengan Bapak Andy Suwanto, selaku pendiri Vihara Buddha
Dharma 8 Pho Sat sekaligus Guru Spiritual, di Vihara Buddha Dharma 8 Pho Sat Kemang Bogor.
11 Maret 2021.

 
 
49  
 

diresmikan pada tahun 2012 oleh Djoko Wuryanto selaku Direktorat


Jendral Agama Hindu Buddha. 99

C. Pandangan Jamaat Tentang Patung Sleeping Buddha di Vihara


Buddha Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor.
Umat atau Jemaat adalah para pemeluk, penganut atau pengikut
suatu agama. Agama Buddha adalah perlindungan yang digambarkan oleh
Siddharta Gautama, bukan berarti berlindung kepada Siddharta Gautama
semata, melainkan berlindung kepada Buddha sebagai manifestasi dari
Bodhi (kebuddhaan) yang mengatasi keduniawian.100
Secara sosial masyarakat Buddha terbagi kepada dua golongan :
bhikkhu/bhikkuni (bhiksu/bhiksuni) dan upasaka/upasika (masyarakat
biasa). Kedua kelompok tersebut saling bergantung dan dipisahkan oleh
sumpah atau janji dan praktek atau amalnya. Sumpah atau janji kelompok
pertama adalah mengikuti jalan hidup Sang Buddha dengan cara
meninggalkan keluarga, hidup mengembara baik sendiri maupun
kelompok (Sangha) demi mencapai Nirvana, menggantungkan makan
pada pemberian orang dan tidak terlibat dalam urusan keduniaan.
Sedangkan sumpah atau janji kedua kelompok adalah mengikuti ajaran
Sang Buddha dengan cara tetap hidup berkeluarga dan bermata
pencaharian sesuai dengan tata cara sebagaimana diajarkan Sang
Buddha.101
Umat Buddha dalam beribadah ke Vihara dengan motivasi yang
beragam, umumnya adalah memohon dan terus memohon hal-hal yang
sangat duniawi, seperti umur panjang, banyak rezeki, enteng jodoh,
dihindarkan dari segala macam penderitaan hidup dan senang sepanjang
hidup, untuk semua keturunannya.102

                                                                                                               
99
Andy Suwanto Dhanujaya, Vihara Buddha Dharma & 8 Pho sat (Sleeping Buddha),
(Bogor : Panti Asuhan Yayasan Teratai Kasih, 2017), hlm. 59
100
Marga Singgih, Tridharma Selayang Pandang, (Jakarta : Perkumpulan Tridharma,
2016), hlm. 16-17
101
Abdul Syukur, Jurnal : Fundamentalisme dalam Agama Buddha, UNISIA NO.
45/XXV/II/2002, hlm. 175
102
Herman Utomo. NY. Silvie Utomo, Ibadah Dari Vihara ke Vihara, (Kelompok
Spiritual Universitas Jakarta), hlm. 42

 
 
50  
 

Seperti halnya jemaat di Vihara Buddha Dharma & 8 Pho Sat, yang
umumnya berdoa menginginkan agar hidupnya selalu diberikan umur
panjang, banyak rezeki, enteng jodoh, dihindarkan dari segala macam
penderitaan hidup dan senang sepanjang hidup, untuk semua
keturunannya. Bahkan ada yang sengaja datang hanya untuk mendapatkan
ketenangan batin, karena banyaknya persoalan yang dihadapi dalam
berkehidupan, menjadikan diri seseorang menjadi galau atau pun risau.
Patung Buddha tidur menjadi tujuan utama ketika seseorang datang ke
Vihara ini, setelah itu diri seseorang menjadi lebih tenang batinnya dan
menjadi lebih bijak dalam menghadapi masalah-masalah hidup, seseorang
menjadi lebih berani mengambil keputusan tidak lagi ada rasa takut karena
Buddha sudah tertanam dihati.103 Dalam permasalahan hidupan seseorang
pasti mengalami kegagalan atau permasalahan tersendiri, karenanya
Buddha Tidur menjadi salah satu tujuan utama seseorang ketika datang ke
Vihara ini, yang menjadikan diri lebih tenang dan lebih berani dalam
menghadapi permasalahan hidup, bahkan dalam hal usahapun terasa lebih
mudah ketika sudah berkunjung ke Vihara ini khususnya ke Patung
Buddha Tidur. Para jemaat di Vihara ini pun datang tanpa ada paksaan,
melainkan keinginan diri sendiri.104
Jemaat yang di Vihara ini dari berbagai daerah khususnya daeran
Jabodetabek, ada pula tamu-tamu atau jemaat yang dari luar kota, luar
pulau, seperti Kalimantan, Pulau Sumatera bahkan dari mancanegara
seperti, Malaysia, Singapura, Cina, Thailand, bahkan dari Timur Tengah,
tidak jarang banyak dari jemaat yang datang hanya sekedar berkunjung,
belajar, ataupun beribadah.105
Dalam agama Buddha kerukunan atau toleransi dinilai penting
sebagai pandangan hidup manusia yang menuntut manusia untuk
menerapkan perilaku hormat menghormati pada setiap tindakan dan

                                                                                                               
103
Wawancara Pribadi dengan Bapak Iyan Hadi, selaku Jama’at di Vihara Buddha
Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor. 11 Maret 2021.
104
Wawancara Pribadi dengan Ibu Sela Kurnia Winata, selaku Jama’at di Vihara Buddha
Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor. 11 Maret 2021.
105
Wawancara Pribadi dengan Bapak Andrean Halim, selaku sekretaris di Vihara Buddha
Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor. 9 Februari 2021.

 
 
51  
 

aktivitasnya, sehingga akan tercipta suatu masyarakat yang memiliki


kultur toleransi. Penerapan sikap dan unsur-unsur toleransi pada setiap
tindakan sehari-hari meliputi : menghargai dan memahami
keanekaragaman, menghormati kebebasan, pelaksanaan musyawarah, dan
mengakui persamaan. Toleransi mengasumsi bahwa semua orang tanpa
terkecuali memiliki derajat hak yang sama, sehingga diperlakukan sama
pula dalam kelompoknya.
Keindahan dari Vihara ini serta Buddha Tidur yang menjadi ikon
dari Vihara ini, menjadikan Vihara ini mempunyai daya tarik tersendiri.
Vihara ini terletak didaerah yang masyarakatnya mayoritas Islam dan
Kristen, namun dilingkungan terdekat juga ada masyarakat Tionghoa.
Namun masyarakat sekitar sangat menjaga toleransi agar tidak terjadi
perpecahan. Vihara Buddha Dharma & 8 Pho Sat ini pun sangat menjaga
dan menjunjung tinggi toleransi sebagaimana yang telah diajarkan oleh
sang Buddha.
Konsep kerukunan yang diajarkan Sang Buddha bukanlah konsep
teoritis namun harus diiringi dengan praktik nyata. Memahami kerukunan
dapat dilihat segi pasif dan aktif. Banyak manfaat baik sebagai hasil dari
kerukunan merupakan tujuan dari kerukunan itu sendiri. Dalam hal ini
jelaslah tidak ada kata “Tidak” untuk hidup rukun bagi umat Buddha.
1. Pada prinsipnya ajaran agama Buddha mengajarkan kepada umat
Buddha untuk membebaskan diri dari penderitaan, secara
universal agama Buddha mengajarkan agar semua makhluk hidup
bahagia. Konsepsi ini memberi peluang untuk memungkinkan
untuk terciptanya kerukunan intern dan antar umat beragama.
2. Dengan dasar ajaran cinta kasih (Mettha) dan kasih sayang
(Karuna) terhadap semua makhluk, agama Buddha memberikan
peluang dan wawasan kepada umatnya untuk memiliki wawasan
keagamaan yang insklusif mau menerima dan menghargai
kehadiran golongan agama lain diluar dirinya.

 
 
52  
 

3. Dengan faktor kepribadian pancasila, dam bentuk hubungan


kekerabatan dalam masyarakat indonesia merupakan pokok
peredam terhadap timbulnya pertentangan antar agama.106
Agama Buddha memberikan sebuah sarana trasformasi yang amat
efektif baik bagi diri seseorang maupun bagi orang lain. Ajaran-ajaran
agama Buddha bersifat sangat praktis. Ia memberikan garis-garis pedoman
tentang bagaimanakah mengadakan perubahan pada kehidupan, bukan
hanya pemecahan persoalan secara teoritis belaka. Inilah kualitas-kualitas
yang pertama sekali menarik minat Buddha terhadap agama Buddha dan
yang terus menerus menginspirasi kehidupan umat Buddha.107

                                                                                                               
106
Sofia Hayati dkk, Jurnal : Kerukunan Umat Beragama Dalam Prspektif Agama
Buddha Dan Islam, JSA/Juni 2019/th. 3/no 1, hlm. 25-26
107
Rosmani Ahmad, Jurnal : Gerakan-gerakan Spiritualitas Dalam Komunitas Buddha,
Analytica Islamica, Vol. 1, 2012: hlm. 174

 
 
 

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas yang telah penulis paparkan dalam skripsi
ini, tentang MAKNA SIMBOLIK PATUNG SLEEPING BUDDHA DI
VIHARA BUDDHA DHARMA & 8 PHOSAT sebagai berikut : Para
Buddhis membuat patung Buddha agar dapat mengenang kembali Buddha
dan ajaran-ajarannya, dan patung tersebut juga dianggap sebagai benda
suci. Oleh karena patung Buddha merupakan gambaran dari Roh
Kebuddhaan yang bersemayam pada diri Siddharta, atau merupakan
pancaran diri Makna Patung Buddha dalam Agama Buddha Sang Adhi
Buddha, maka tidaklah mustahil bagi para Buddhis selalu
menghormatinya. Patung Buddha juga digunakan oleh para Buddhis
sebagai alat untuk berkonsentrasi dan meditasi dalam beribadah menuju
Tuhan Yang Maha Esa yang disebut Sang Hyang Adhi Buddha. Karena itu
(patung Buddha tidak pernah ketinggalan) dalam upacara-upacara agama
Buddha Mahayana, baik di Vihara maupun di rumah-rumah para Buddhis,
(para pemeluk agama Buddha).
Orang membuat patung tentu ada maksudnya, seperti halnya arca
atau patung Buddha. Patung Buddha dibuat oleh kaum Buddhis untuk
mengenang jasa-jasanya dan keagungan budinya terutama ajaran-ajaran
yang membuat berjuta-juta manusia hidup dalam ketentraman dan
kedamaian. Walaupun wujud patung Buddha tidak mirip betul dengan
wajah Buddha atau Shiddartha yang sebenarnya, tetapi lukisan patung
Buddha, bagi kaum Buddhis harus selalu membayangkan dengan benar-
benar meresapi siapakah Buddha itu. Patung Buddha lebih banyak
menggambarkan suatu tipe dari pada wujud orangnya.
Patung Buddha Tidur di Vihara Buddha Dharma & 8 Pho Sat,
didirikan sebagai penghormatan kepada Sang Buddha. Posisi Patung
Buddha Tidur didirikan dengan posisi berbaring kearah kanan yaitu posisi
wafatnya Sang Buddha atau Mahaparinibbana. Patung Buddha Tidur ini

53  
 
54  
 

juga bisa diartikan sebagai posisi manfaat tidur. Manfaat tidur miring ke
kanan yaitu untuk mencegah terjadinya penyakit jantung koroner, selain
itu tidur miring ke kanan memberikan manfaat agar tidak memberatkan
kerja jantung dan untuk membantu renovasi fungsi jantung. Tidur miring
ke kanan juga membantu kelancaran buang air besar.
Ukuran Patung Buddha Tidur ini yaitu 18 meter, yang artinya satu
ditambah delapan yaitu sembilan yang bermakna umur panjang,
kesejahteraan, angka delapan dalam masyarakat chinese atau tionghoa
dipercaya sebagai angka pembawa hoki, angka delapan dan sembilan juga
dipercaya sebagai angka yang bagus untuk ukuran-ukuran sebuah
bangunan. Tinggi Patung Buddha Tidur ini 4,75 meter, yang tertinggi ada
diposisi sebelah bahu, dan untuk panjang alasnya yaitu 22 meter.
Pada Patung Buddha Tidur ini terdapat tanda Swastika di dada,
Swastika merupakan simbol kuno yang telah digunakan oleh berbagai
budaya untuk melambangkan kehidupan, matahari, kekuasaan, kekuatan,
dan keberuntungan. Begitu pula dalam tradisi ajaran agama Buddha,
swastika melambangkan hal-hal yang baik dan positif. Selain itu, swastika
juga merepresentasikan jejak kaki Sang Buddha (Buddhapada). Swastika
kerap kali digunakan sebagai tanda atau icon dalam sebuah teks Buddhis.
Di Cina dan di Jepang, swastika digambarkan sebagai simbol
kemajemukan, kebahagiaan, kesejahteraan, dan umur yang panjang. Saat
ini, swastika masih digunakan sebagai tanda istimewa pada patung-patung
Sang Buddha dan wiharawihara. Dan ada titik merah di dahi yaitu sebagai
tanda bahwa Sang Buddha berasal dari India, pada telapak kaki juga
terdapat roda yang menggambarkan Roda Dharma. Roda Dharma itu
sendiri memiliki delapan ruas yang merupakan perlambangan dari Jalan
Mulia Berunsur Delapan. Lingkaran atau bentuk roda memiliki makna
hukum sebab akibat (Karma) dimana saling berkaitan satu sama lain.

B. Saran
Sebuah karya pasti tidak luput dari kesalahan dan kekurangan.
Seperti halnya penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa masih
banyak kesalahan, kekurangan dan kekeliruan. Oleh sebab itu, saran dan

 
 
55  
 

kritik sangat penulis perlukan demi terciptanya kesempurnaan. Meskipun


demikian, harapan penulis yaitu dapat melengkapi penelitian-penelitian
terdahulu. Semoga skripsi ini dapat memenuhi harapan penulis.

 
 
 

DAFTAR PUSTAKA
Daftar Buku
Fajri. Rahmat dkk, Agama-agama Dunia, Yogyakarta, Jurusan
Perbandingan Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan
Belukar, 2012.
Nasiman dkk, Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti, Jakarta :
Kemantrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017.
Ali Imron. Muhammad, Sejaraah Terlengkap Agama-agama di Dunia,
Yogyakarta : IRCiSoD, 2015.
Narada Mahathera. Alm. Ven, Sang Buddha dan Ajaran-ajarannya,
Jakarta: Yayasan Dharmmadipa Arama, 1992.
Bhodhi. Bhikku, Buddha & Pesannya, Jakarta : Dian Dharma, 2006.
Tanumihardja. Effendie dkk. BUKU AJARAN MATA KULIAH WAJIB
PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA, Direktorat Jendral
Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi,
dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia, 2016.
Karsan. Sulan, Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti, Jakarta :
Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud, 2015.
Suwanto Dhanujaya. Andy, Vihara Buddha Dharma & 8 Pho sat (Sleeping
Buddha), Bogor : Panti Asuhan Yayasan Teratai Kasih, 2017.
Zainul Bahri. Media, Wajah Studi Agama-agama, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2015.
Khairiah, AGAMA BUDHA, Yogyakarta : KALIMEDIA 2018.
Diputhara. Oka, Agama Buddha Bangkit, (Arya Suryacandra Berseri,
2006.
Singgih. Marga, Tridharma Selayang Pandang, Jakarta : Perkumpulan
Tridharma, 2016.
Utomo, Herman dkk, Ibadah Dari Vihara ke Vihara, (Kelompok Spiritual
Universitas Jakarta).
Solihat. Ilmi. MAKNA DAN FUNGSI PATUNG-PATUNG DI BUNDARAN
CITRA RAYA KABUPATEN TANGERANG PROVINSI BANTEN,

56  
 
57  
 

(Bantren :Universitas Sultan Ageng Tirtayasa), Volume 2 Nomor 2


Nov 2017.
Dhammadhiro. Bhikkhu, BUDDHARÛPA “Bagaimana Buddhis
Menyikapi Objek Pujaan”, (Yayasan Sammasayambhu, 2012).
Khairiah, AGAMA BUDHA, Yogyakarta : KALIMEDIA 2018.
Yandi Wijaya. Willy, DHAMMA DANA PARA DHAMMADUTA,
Yogyakarta : Vidyasena Production, 2009.
Okawa. Ryuho, Hakikat Ajaran Buddha, Jogjakarta : SAUJAN, 2004.
Khairiah, AGAMA BUDHA, Yogyakarta : KALIMEDIA, 2008.
Seng Hansen. Upa. Sasanasena, Ikhtisar Ajaran Buddha, Yogyakarta :
Vidyasena production, 2008.
Widyadharma. Pandita s, Intisari Agama Buddha, Jakarta : Yayasan Dana
Pendidikan Buddhis Nalanda, 1977.
Andhanavira. Bhiksu, RIWAYAT SINGKAT BUDDHA, Jakarta : Vihara
Lalitavistara. 1986.
Sri Pandewi. Dian, Buddha, Denpasar : Vidya Aksara, 2008.
Ahmad. Rosmani, Gerakan-gerakan Spiritualitas Dalam Komunitas
Budha, Analytica Islamica. Vol, 1, No, 1, 2012.
Sutrisno. Joko. HUBUNGAN KEBIASAAN POSISI TIDUR DENGAN
RESIKO TERJADINYA SERANGAN ULANG PADA PASIEN
PENYAKIT JANTUNG KORONER DI POLI JANTUNG RSUD
GAMBIRAN KOTA KEDIRI, Kediri : STIKES SURYA MITRA
HUSADA.
Yandi Wijaya. Willy, DHAMMA DANA PARA DHAMMADUTA,
Yogyakarta : Vidyasena Production, 2009.
Singgih. Marga, Tridharma Selayang Pandang, Jakarta : Perkumpulan
Tridharma, 2016.

Sumber Jurnal
Ahmad. Rosmani, Jurnal : Gerakan-Gerakan Spiritual Dalam Komunitas
Buddha, Analytica Islamica, Vol, 1, No. 1, 2012.

 
 
58  
 

Jannah. Ulum, Jurnal : Pendataan Tempat-Tempat Pariwisata di Kota


Balikpapan Serta Perbatasan Wilayah Kutai Kartanegara di
Samboja, Abdimas Universal, Volume 1, Nomor 1, 2019, Hlm. 26.
Saeful Rahmah dkk, Jurnal : Penelitian Kualitatif, EQUILIBRIUM,Vol. 5,
No. 9, Januari – Juni 2009.
Iqbal, Jurnal : Penelitian Kepustakaan, Volume 05 No. 01, 2011.
Wibowo, Jurnal : Arief Makna Patung Buddha dalam Agama Buddha,
SUHUF, Vol. 20, No. 1, Mei 2008.
Primayudha. Novrizal dkk, Jurnal : MAKNA PENERAPAN ELEMEN
INTERIOR PADA BANGUNAN VIHARA SATYA BUDHI-
BANDUNG, Jurnal Rekajiva Desain Interior Itenas, Jurnal Online
Institut Teknologi Nasional, No.01| Vol. 02, 2014.
Irawan Jenny, Jurnal : Kajian Perbedaan Interior Ruang antara Vihara
dan Klenteng di Tarakan, JURNAL INTRA Vol. 3, No. 2, (2015).
Pratama. Aprilia, Jurnal : Perancangan Interior Vihara Buddhayana
Surabaya, Surabaya, JURNAL INTRA Vol. 5, No. 2, (2017).
Hendrarto. Tecky dkk, Jurnal : Penggunaan Prinsip Fengsui dalam
Penentukan Ruang Ibadah Pada Wihara Pemancar Keselamatan
Kota Cirebon, Bandung, Jurnal Arsitektur TERRACOTTA | No.1 |
Vol. I |, 2019.
Yulianti, Jurnal : JEJAK BUDDHISME DALAM NOVEL KARYA KWEE
TEK HOAY “BOENGA ROOS DARI TJIKEMBANG”:
PERSPEKTIF FENOMENOLOGI, SASDAYA, Gadjah Mada
Journal of Humanities, Vol. 2, No. 1, November 2017.
Zarkasi. Ahmad, Jurnal : MENGENAL POKOK-POKOK AJARAN KONG
HUCU, Al-AdYaN/Vol.IX, N0.1/Januari-Juni/2014.
Widiana. I Wayan, Jurnal : FILSAFAT CINA: LAO TSE YIN-YANG
KAITANNYA DENGAN TRI HITA KARANA SEBAGAI SEBUAH
PANDANGAN ALTERNATIF MANUSIA TERHADAP
PENDIDIKAN ALAM, Jurnal Filsafat Indonesia, Vol 2 No 3 Tahun
2019.

 
 
59  
 

Wagito, Jurnal : VIHARA THERAVADA DI KOTA SINGKAWANG, Jurnal


online mahasiswa Arsitektur Universitas Tanjungpura Volume 5 /
Nomor 1 / Maret 2017.
Poerbantanoe. Benny, Jurnal : Vihara Buddha Theravada di Surabaya,
JURNAL eDIMENSI Vol.1 No. 2 (2013).
Citta. Eka, Jurnal : Simbol dalam Agama Buddha, no. XXVIII/April/2008.
Solihat. Ilmi, Jurnal : MAKNA DAN FUNGSI PATUNG-PATUNG DI
BUNDARAN CITRA RAYA KABUPATEN TANGERANG
PROVINSI BANTEN, (Bantren : MLI Cabang Untirta dan HISJI
Banten), Volume 2 Nomor 2 Nov 2017.
Tjandradipura. Carina, Jurnal : REPRESENTASI DAN ORIENTASI
SIMBOL PENGHORMATAN DALAM DINAMIKA RUANG
IBADAH AGAMA BUDDHA (Studi Kasus: Ruang Ibadah Cetiya di
Bandung), Jurnal I D E A L O G Jurnal Desain Interior & Desain
Produk Vol.1 No.1, April 2016.
Syukur. Abdul, Jurnal : Fundamentalisme dalam Agama Buddha, UNISIA
NO. 45/XXV/II/2002.
Hayati. Sofia, Jurnal : Kerukunan Umat Beragama Dalam Prspektif
Agama Buddha Dan Islam, JSA/Juni 2019/th. 3/no 1.
Ahmad. Rosmani, Jurnal : Gerakan-gerakan Spiritualitas Dalam
Komunitas Buddha, Analytica Islamica, Vol. 1, 2012.

Sumber Internet
http://repository.uinjkt.ac.id Diakses pada tanggal 1 Februari 2021 pukul
13:35 WIB
https://repository.isi-ska.ac.id diakses pada tanggal pada 1 Februari 2021
pukul 14:10 WIB
https://repository.usu.ac.id diakses pada 1 Februari 2021 pukul 14:10 WIB
Jumlah pemeluk agama dikota Bogor tahun 2019,
https://data.kotabogor.go.id/user/detailstatistik/190 diakses pada
tanggal 24 Februari 2019 Pukul 00:18

 
 
60  
 

PENYUSUNAN LAYANAN PERSAMPAHAN KOTA BOGOR,


https://sanitasi.kotabogor.go.id diakses pada tanggal 24 Februari
2019 Pukul 00:14
(https://lektur.id/arti-yojana/ di akses pada Selasa, 2 Maret 2021 Pukul
15:58)
Sakyamuni Buddha, https://tridharma.or.id/sakyamuni-buddha/ di akses
pada Sabtu, 6 Maret 2021 Pukul 16:49 WIB
http://digilib.mercubuana.ac.id/manager/t!@file_artikel_abstrak/Isi_Artike
l_275947609889.pdf. Diakses pada tanggal 23 februari 2021 pukul
21:26 WIB

Sumber Wawancara
Wawancara Pribadi dengan Bapak Andrean Halim, selaku sekretaris di
Vihara Buddha Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor. 9 Februari
2021.
Wawancara Pribadi dengan Bapak Andrean Halim, selaku sekretaris di
Vihara Buddha Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor. 24 Maret
2021.
Wawancara Pribadi dengan Bapak Andy Suwanto, selaku pendiri Vihara
Buddha Dharma & 8 Pho Sat sekaligus Guru Spiritual, di Vihara
Buddha Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor. 11 Maret 2021.
Wawancara Pribadi dengan Bapak Iyan Hadi, selaku Jama’at di Vihara
Buddha Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor. 11 Maret 2021.
Wawancara Pribadi dengan Ibu Sela Kurnia Winata, selaku Jama’at di
Vihara Buddha Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor. 11 Maret
2021.

 
 
61  
 

LAMPIRAN-LAMPIRAN

 
 
62  
 

PEDOMAN WAWANCARA
1. Tahun berapa Vihara ini berdiri?
2. Bagaimana sejarah Vihara ini didirikan?
3. Apa alasan pengambilan nama Vihara ini?
4. Dari mana Sumber dana untuk pembangunan Vihara ini
5. Apakah sejak Awal berdirinya Vihara ini sudah berbentuk bangunan
Vihara atau Klenteng?
6. Hari apa saja dan Jam Berapa Vihara dibuka
7. Pada tahun berapa Patung Buddha Tidur Mulai didirikan?
8. Apa alasannya Patung Buddha Tidur ini didirikan?
9. Makna Simbolik apa saja yang ada pada Patung Sleeping Buddha ini?
10. Bagaimana Proses Pembangunan Patung Buddha Tidur ini?
11. Memerlukan berapa lama pengerjaan Patung Buddha tidur ini?
12. Bagaimana proses pensakralisasian patung-patung yang ada di Vihara ini
terutama Patung Sleeping Buddha ini?
13. Apa saja perayaan hari-hari besar di Vihara ini?
14. Apa saja kegiatan yang ada di Vihara ini?
15. Apa yang dilakukan Jamaat selain berdoa?
16. Adakah peran Vihara terhadap masyarakat sekitar?
17. Bagaimana menurut anda tentang Patung Buddha Tidur ini?
18. Adakah pengaruh Patung Buddha Tidur ini dalam kehidupan anda sehari-
hari?
19. Sudah barapa lama anda mengenal Patung Buddha tidur yang ada di
Vihara ini?
20. Dari siapa anda mengetahui keberadaan Patung Buddha tidur ini?
21. Apa yang anda ketahui tentang Patung Buddha tidur ini?

 
 
63  
 

Lampiran I

 
 
64  
 

 
 
65  
 

Lampiran II

 
 
66  
 

Lampiran III

 
 
67  
 

 
 
68  
 

 
 
69  
 

Lampiran IV

 
 
70  
 

 
 
71  
 

Lampiran V

 
 
72  
 

Lampiran VI

 
 
73  
 

Lampiran VII

 
 
74  
 

Lampiran VIII

 
 
75  
 

Lampiran IX

 
 
76  
 

Lampiran X

Peta menuju Vihara Buddha Dharma & 8 Pho Sat

Tata tertib selama di Vihara

 
 
77  
 

Wawancara dengan Bapak Andy Suwanto Guru Spiritual di Vihara Buddha


Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor.

Wawancara dengan Bapak Andrean Halim Sekretaris di Vihara Buddha Dharma


& 8 Pho Sat Kemang Bogor.

 
 
78  
 

Wawancara dengan Ibu Sheila dan Bapak Ian Haji Jamaat di Vihara
Buddha Dharma & 8 Pho Sat Kemang Bogor.

Vihara tampak depan

Ruang 8 Pho Sat yang terdapat di Vihara ini

 
 
79  
 

Patung Slepeeng Buddha di Vihara Buddha Dharma & 8 Pho Sat

pembagian sembako yang dilakukan oleh pengurus vihara

Foto-foto pembangunan Patung Sleeping Buddha


Lampiran XIII

 
 
80  
 

 
 
81  
 

 
 
82  
 

 
 

Anda mungkin juga menyukai