Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

Review Buku FILSAFAT ILMU


Bab Pengantar dan Bab 1

Diajukan untuk memenuhi tugas dari Mata Kuliah


“Philosophy of Science and Method of Scientific Thinking”
Dosen Pengampu:Prof. Dr. H.Cecep Sumarna, M.Ag
Program Studi Manajemen Pendidikan Islam

Disusun Oleh:
1. VINA SOPIANINGSIH (2022.8.1.7.0015)
2. MUHAMMAD AJID (2022.8.1.7.0028)
3. ADE MUHAMAD ROSYIDIN (2022.8.1.7.0029)
4. NIZMA ARMILA (2022.8.1.7.0040)
5. NUR HERMAWATI (22-MPI0026)
6. EMIYANTI (22-MPI0122)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


PASCASARJANA PROGRAM MAGISTER
INSTITUT AGAMA ISLAM BUNGA BANGSA CIREBON
TAHUN 2022
Kata Pengantar

Assalamu’alaikum warrahmatullahi wa barakatuh

Puji dan syukur tim penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala
yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, tim penulis dapat menyelesaikan Makalah


ini, guna memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah “Philosophy of Science and
Method of Scientific Thinking” pada Program Pascasarjana IAI Bunga Bangsa
Cirebon Jurusan Manajemen Pendidikan Islam.

Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada Dosen Pengampu kami Prof.
Dr. H.Cecep Sumarna, M.Ag atas bimbingannya.

Tim penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari sempurna.
Untuk itu tim penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun
guna perbaikan dimasa yang akan datang.

Akhir kata tim penulis berharap semoga penyusunan makalah ini dapat
bermanfaat bagi tim penulis sendiri dan pihak-pihak yang terkait, dan bagi pihak
lain untuk masa yang akan datang sebagai bahan acuan atau referensi dalam
pembuatan makalah.

Wassalamu’alaikum warrahmatullahi wa barakatuh,


Cirebon, 01 Oktober 2022

Tim Penulis
VINA SOPIANINGSIH (2022.8.1.7.0015)
MUHAMMAD AJID (2022.8.1.7.0028)
ADE MUHAMAD ROSYIDIN (2022.8.1.7.0029)
NIZMA ARMILA (2022.8.1.7.0040)
NUR HERMAWATI (22-MPI0026)
EMIYANTI (22-MPI0122)
Mencari Makna tanpa Kata dan Mentasbihkan Tuhan dalam Nalar

Judul Buku: Filsafat Ilmu

Pengarang: Prof. Dr. Cecep Sumarna

ISBN: 978-602-446-439-4

Halaman: xxxi, 347 hlm

Tahun Terbit: 2020

Review: Bab Pengantar dan Bagian ke-1

RIWAYAT SINGKAT PENGARANG


Prof. Dr. Cecep Sumarna

Cecep Sumarna, seorang Guru Besar di bidang Filsafat Ilmu dan


Filsafat Pendidikan Islam ini, lahir di Cikuya Tasikmalaya, pada Oktober
1971. Kampung ini berjarak tiga kilometer dari Kantor Kecamatan
Cikatomas dan 39 kilometer dari Kantor Kabupaten Tasikmalaya.
Tumbuh dari kultur santri kampung yang telah banyak melahirkan
intelektual. Ibunya bernama Siti Mardiyah dan ayahnya bernama Muslih
Suryana, rahimahumallah. Tokoh Masyumi yang hidupnya dihabiskan untuk
mengelola Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah yang ia dirikan
bersama saudaranya.
Sejak pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, penulis belajar di
lingkungan agama. Selesai dari Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah
Tsanawiyah, penulis melanjutkan ke Pendidikan Guru Agama Negeri di
Ciamis. Tahun 1991, Kuliah Fakultas Tarbiyah IAIN ”SGD” di Cirebon
lulus tahun 1995. Kemudian Cecep Sumarna memperoleh beasiswa dari
Ditbinperta Islam Departemen Agama RI untuk mengikuti Post Graduate
Program di IAIN Ar-Raniry Banda Aceh pada konsentrasi Islamic studies
dan lulus pada tahun 1998. Tesis dengan judul : Orientasi Gerakan
Cendekiawan Muslim Indonesia : Studi analisis terhadap peran anggota
ICMI dalam birokrasi menghantarkannya menjadi seorang Magister.
Menyelesaikan program Doktor di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulus
pada bulan April 2007 dengan predikat cumlaude.
Cecep Sumarna juga sudah mulai nyantri sejak kelas empat SD di
Pondok Pesantren Miftahul Jannah sampai kelas tiga SLTP dan santri al
Hasan Ciamis, 1988 sampai tahun 1991. Penulis tercatat sebagai peserta
program Jurnalistik di LPBKI Kota Cirebon pada tahun 1993an. Pengalaman
hidup Cecep Sumarna diperkaya dengan sempat menjadi penulis lepas di
Pikiran Rakyat Edisi Cirebon dan reporter bidang politik dan sosial
keagamaan di Cibes FM Kabupaten Cirebon, sebuah Radio yang didirikan
bersama rekan-rekan sesama peserta program. Selain aktif dalam dunia
akademik, Cecep Sumarna adalah mantan aktivis berbagai organisasi massa
dan LSM di masanya, sebut saja pengurus HMI Cabang Cirebon, pengurus
dan pendiri FSS 55 Cirebon, pengurus Wira Karya Indonesia DPD Kota
Cirebon, Wakil Direktur LPSM Nurjati , KAHMI kota Cirebon dan anggota
KAHMI Jawa Barat, Kahmi Nasional dan Dewan Fakar ICMI Jawa Barat,
selain juga tercatat sebagai aktivis Senat Mahasiswa.
Pada episode kehidupan selanjutnya, Cecep Sumarna adalah
pengusaha properti, pemilik perkebunan jati dan mahoni, peternak ayam
broiler, peternak kambing, dan pebisnis konveksi. Semua perusahaannya
menaungi sekitar 270 orang pegawai yang kesemuanya memegang adagium
yang sama seperti yang diajarkannya yaitu Serve to Serve dan Above for All.
Semua perusahaannya mempunyai dana program CSR yang ia salurkan
melalui dua Yayasan yang dibinanya, kedua yayasan ini juga menaungi
pendidikan mulai dari TK sampai dengan Perguruan Tinggi, seperti Akper
YPIB Majalengka dan STKIP Yasika Majalengka. Cecep Sumarna juga
membina beberapa perguruan tinggi swasta di Cirebon dan wilayah sekitar
seperti UNMA, IAI BBC, STKIP Muhammadiyah Kuningan, dan STF YPIB
Cirebon. Tercatat di tahun 2022, penulis merupakan Dosen Tetap Institut
Bunga Bangsa Cirebon Program Magister. Aktivitas mengajarnya disebutnya
sebagai Ruang Pelayanan.
Pengantar
Buku yang akan kita ulas ini adalah buku yang berjudul “Filsafat
Ilmu”, merupakan tulisan tentang Filsafat yang disebut sebagai Induknya
Ilmu, dimana filsafat sendiri juga telah banyak berjasa terhadap proses
kemajuan ilmu. Bahkan tanpa disadari khalayak, tidak sedikit diantara para
tokoh atau ilmuwan bisa disebut sebagai Filsuf, karena ilmu yang mereka
miliki mumpuni juga cara berpikir mereka sudah memenuhi kaidah dari ciri-
ciri berpikir filsafat yang akan dibahas lebih lanjut pada buku ini.
Cecep Sumarna menulis dalam buku ini tentang suatu prinsip yang
disebut sebagai Cara Berpikir Filsafat. Dibuku ini juga dijabarkan dengan
lugas oleh penulis bahwasanya filsafat adalah sesuatu yang berharga dan
bermanfaat bagi perkembangan umat manusia, terkhusus dalam dunia
pengetahuan dan ilmu, yang kemudian diemban oleh bidang Filsafat Ilmu.
Lebih lanjut, buku ini akan mengajak kita untuk lebih mengenal apa
itu Filsafat Ilmu, karena hal ini akan mengajarkan kepada kita untuk terus
mempertanyakan dimensi WHY, yang kemudian memaksa kita untuk masuk
ke dalam logika seseorang. Bukan sebaliknya, memaksa orang dalam logika
kita. Demikianlah, belajar Filsafat Ilmu akan membuat kita menjadi orang
yang bijak dan berlaku bajik, dengan selalu mengedepankan toleransi
terhadap kenyataan keberadaan keberagaman pluralisme di masyarakat.
ISI BUKU
Dialektika sebagai Bahan Berpikir
Penulis (Prof. Dr. Cecep Sumarna) terinspirasi oleh Buku Cosmos
karya Sagan yang dikombinasikan dengan buku A Study of History karya
Arnold Toynbee, dimana banyak pertanyaan yang muncul tentang
bagaimana bumi terdeskripsikan dan terpikirkan manusia. Pertanyaan-
pertanyaan tentang ‘Adam turun ke bumi’ yang menimbulkan hipotesis-
hipotesis tentang eksistensi bumi. Faktanya manusia selalu hidup dalam
dunia yang serba diametral (terbagi dua oleh garis pemisah, terpisah secara
berhadap-hadapan), manusia sebagai produk budaya yang disebut homo
sapiens dimana ilmu dan pengetahuan diletakkan sebagai basis, media, dan
alat perjuangan hidup untuk memenangkan segala pertarungan yang pada
puncaknya, manusia kembali harus mengubah wataknya ke suatu fase baru
(selain memiliki watak perusak, manusia sanggup melakukan perbaikan atas
apa yang dirusaknya) yang disebut sebagai homo deva. Siklus manusia
tersebut, secara kontemplatif tampaknya telah “membuat” Tuhan tetap
terpikat untuk menjadikan Adam sebagai khalifah (QS. Al-Baqarah ayat 35-
39). Setiap lakon historis manusia selalu terdapat dialektika unik yang
hampir tidak berkesudahan, yang menjadikan manusia mampu melahirkan
ilmu pengetahuan. Dimana nalar manusia mempengaruhi seperti apa kosmos
terlihat.

Karena Dialektika, Kebenaran Menjadi Relatif


Ilmu, pengetahuan, dan kebenaran lahir karena dialektika berpikir
manusia, namun hampir tidak ada kebenaran yang berakhir pada suatu
kebenaran itu sendiri tanpa nilai fungsionalnya bagi persoalan lain,
maksudnya selalu tersedia ruang salah pada setiap kebenaran, pun
sebaliknya. Sehingga seorang ilmuwan harus memiliki sikap untuk selalu
menunda kesimpulan, sebelum suatu kebenaran betul-betul dapat diyakini
dan diujicobakan. Para intelektual masih mengembangkan ilmu karena
disadari sepenuhnya tidak pernah ada produk sains yang final, sebab sains
merupakan suatu proses yang terus berlangsung sebagaimana alam ini
berubah dengan keteraturannya. Akal yang dianugerahkan Tuhan kepada
manusia, menjadikan manusia memiliki hak memilih. Dengan ragam
dialektika, menjadikan manusia sebagai subjek utama yang melahirkan ilmu
dimana ilmu dapat mempertahankan kemungkinan hancurnya bumi.
Sebagaimana kisah Nabi Nuh yang menyelamatkan bumi dan berbagai
spesies makhluk hidup di dalamnya.

Di Mana Letak Eksistensi Tuhan?


Karena secara filosofis kehadiran Tuhan dianggap sebagai kebutuhan
manusia dan karena nalar manusia, termasuk dalam merumuskan Tuhan satu
sama lain berbeda, maka wajar jika rumusan dan bentuk Tuhan sejak Nabi
Adam sampai Nabi Muhammad juga berbeda. Dalam nalar ini, dapat
dipastikan hampir tidak ada satu entitas manusia yang merasa tidak perlu
Tuhan. Setiap manusia, selalu harus merasa yakin bahwa Tuhan mereka Ada
dan keberadaan-Nya harus dianggap benar-benar nyata. Semakin logis dan
rasional manusia, maka ia juga akan menampilkan dimensi ketuhanan yang
logis dan rasional. Artinya, dimensi ketuhanan yang mengitari otak dan hati
manusia beriman, sepenuh atau sebagiannya dipengaruhi tata lakon atau
peradaban manusia itu sendiri, yang sesungguhnya diproduksi manusia.
Pengakuan bahwa ada Tuhan yang harus disembah, dalam pengertian
ini bukan kepentingan Tuhan, tetapi melembaga menjadi suatu kesadaran
kolektif manusia. Semakin tinggi tingkat kesadaran menjiwai jiwa-jiwa
manusia, maka pengakuan akan eksistensi Tuhan akan semakin kuat. Dalam
merumuskan konsep tuhan para Tasawuf Falsafi di kalangan intelektual
muslim dengan konsep Wujud dan yang Mumkin Wujud. Wujud, jika
membaca tulisan Aksin Wijaya dan Abu Bakar Yamani (2017) terbagi
menjadi dua bagian, yakni: wujud Tuhan dan wujud alam (termasuk
manusia). Keduanya berada secara esensial, yakni Tuhan sebagai wujud
hakiki, berdiri melalui dirinya sendiri, dan manusia (alam) sebagai wujud
majazi (yang tidak memiliki hukum wujud) sebagaimana wujud hakiki.
Melalui argumentasi tersebut, alam dianggap sebagai bayangan wujud
Tuhan. Artinya, wujud materi (alam dan manusia) sesungguhnya hanya
merupakan reflika dari wujud Tuhan yang kehadirannya murni terjadi karena
qudrah dan iradah Tuhan.
Dalam pendekatan filsafat, harus diakui bahwa keabsolutan Tuhan
terjadi karena pemikiran manusia yang menyimpulkan bahwa alam dan
manusia adalah sesuatu yang relatif. Lahir karena manusia sadar bahwa yang
materiil selalu saling mengalahkan, maka dengan sendirinya tidak ada yang
mutlak. Lawan dari ketidakmutlakan adalah kemutlakan, dan lawan materiil
itu immateriil, maka yang immateriil itulah yang harus mutlak. Jadi, yang
mutlak harus hanya memiliki Wujud yang juga immateriil dan merupakan
konsekuensi immaterial Tuhan. Karena itu, penemuan Tuhan dan bagaimana
Tuhan memiliki sifat atasnya, adalah kajian kontemplatif filosofis yang
dalam banyak kasus telah memperoleh pembenaran melalui kitab suci-Nya.
Kesadaran manusia yang mampu menjadi pemelihara bumi, dengan
sekuat tenaga mereka mencari tahu siapa yang menjadi Pencipta, Pemelihara,
dan bagaimana dengannya manusia harus hidup dengan logika-logika
kemanusiaan, atas hukum-hukum yang dicipta sang Pencipta mereka.
Mekanisme dan cara penemuan ini kemudian tumbuh menjadi sebuah sistem
ajaran tertentu yang kemudian disebut dengan agama. Agama dalam
perspektif filsafat, apapun ceritanya, hanya akan tetap menjadi agama, ketika
dia mampu membawa manusia menuju Sang Pencipta, yang dalam bahasa
agama Islam disebut dengan Allah. Dan jika yang disebut agama ternyata
tidak mampu membawa manusia menuju Tuhan, maka saat itu juga, sistem
yang disebut agama tidak layak disebut agama. Dalam narasi penulis
merelevansikan firman Allah dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah [2]:156, ayat
tersebut menyatakan bahwa sesungguhnya manusia berasal dari sesuatu
Yang Ideal, harus kembali kepada wujud Yang Ideal dengan satu sistem
yang juga atau patut dianggap ideal.

Pangkal Kerja Ilmuwan


Dalam bukunya penulis menjelaskan bahwa para filsuf melandasi
kebenaran pada mind atau pemikiran dan mengukur kebenaran dengan
keruntutan logis, maka ilmuwan mengalaskan kebenaran pada realitas
empiris. Benar dan tidak benarnya sesuatu tidak terletak pada mind, tetapi
justru pada ada atau tidak ada fakta empiris dan fakta historis. Dengan
mengedepankan apa yang disebut materil dan empiris membuat manusia
akhirnya tidak lagi memiliki rasa bahwa dirinya dikelilingi oleh sesuatu yang
gaib. Dampak dari pemikiran yang demikian sehingga Tuhan yang eksistensi
(wujud)-Nya tidak empiris se-empiris ciptaan-Nya harus diakui serendahnya
tidak ilmiyah. Tentunya tidak semua ilmuwan berpikir seperti itu, Sebagian
mereka merumuskan suatu konsep bahwa Tuhan harus dipandang prime of
cause atau puncak segala sebab yang secara metodis diukur oleh keruntutan
logis, meski mungkin tidak dapat di empiriskan.
Lahirnya beberapa ilmuwan yang menolak adanya eksistensi tuhan
membuat tercerabutnya nilai kudus ilmu dan mengeringnya nilai-nilai
spiritual didalamnya. Filsafat ilmu hendak Kembali membawa pikiran-
pikiran filosof yang radix, universal, spekulatif dan sistemis kedalam suatu
rumusan baru. Penulis juga menjelaskan bahwa di masa lalu, sebut era plato
(Yunani Kuno) sampai al-kindi (mediteranial), batas antara filsafat dan ilmu
pengetahuan disebut hampir tidak ada. Seorang filsuf pasti menguasai ilmu
yang menjadi bidangnya, mereka kemudian sering disebut saintis atau ulama.
Begitupun sebaliknya. Filsafat dan ilmu dalam perkembangan berikutnya
(modern) kemudian berpisah. Ilmu berkembang dengan ramifikasi yang
kompleks dan luas dengan tingkat akselerasi yang juga tinggi. Terlebih
ketika ilmu melahirkan anak turunannya Bernama teknologi. Sehingga
wilayah kajian filsafat menjadi lebih sempit dibanding dengan
perkembangan ilmu pengetahuan.
Penulis membuat kemudian memberi kesimpulan bahwa ilmu
merupakan lanjutan dari sistem pengetahuan yang dihasilkan filsafat.
Pengetahuan yang imaginative kemudian di teoritisasi yang kemudian
memasuki kebenaran ilmiah dalam bentuknya yang praksis, pada akhirnya
ilmu dibatasi hanya sepanjang berada dalam pengalaman empiris dan
sepanjang dapat diukur melalui keruntutan logis. Ini berbeda dengan filsafat
dimana pengetahuan yang dihasilkan oleh filsafat menghendaki lahirnya
pengetahuan yang komprehensif, luas, umum, universal dan ini tidak dapat
diperoleh oleh ilmu pengetahuan. Sebagai contoh yang penulis tuturkan
bahwa aktivitas ilmuwan bergerak pada suatu pertanyaan dasar, missal
bagaimana menjawab pelukisan fakta?, sedangkan filsafat menjawab
pertanyaan lanjutan seperti bagaimana sebuah fakta itu ada? Dari mana
awalnya dan akan kemana akhirnya?. Filsafat dapat merangsang lahirnya
sejumlah keinginan ilmuwan untuk melakukan berbagai observasi dan
eksperimen yang kemudian melahirkan berbagai ilmu dan percabangannya.

Makna Filsafat
Dalam buku ini penulis menjelaskan bahwa filsafat berasal dari kata
philosophia atau philosophos. Keduanya terstruktur dari dua suku kata yakni
philos yang berarti cinta dan Sophia atau sophos yang berarti wisdom atau
bijaksana. Mengutip pendapat Harun Hadiwijono (1980) menyebutkan
bahwa kata filsafat dengan filosofien memiliki arti mencintai kebijaksanaan.
Dalam hal ini menurut Socrates bijaksana merupakan pengetahuan atau
hikmah tertinggi yang menjadi budi luhur manusia. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa keagungan manusia tidak terletak pada kekuasaan dan
pengaruhnya dalam kekuasaan, tapi justru terletak dalam apa yang disebut
dengan penggunaan akal budi dalam menata kehidupan sehari-hari manusia.
Orang bijaksana akan selalu sadar bahwa kebijaksanaan itu hanya
milik Sang idea atau Allah (kebenaran universal). Tidak ada manusia yang
benar-benar layak untuk disebut bijak, sehingga dalam realitas manusia harus
dipandang relatif meski kebenaran mutlak harus tetap ada dan inheren
dengan sendirinya dalam apa yang disebut idea. Seseorang disebut berfilsafat
apabila ucapan dan perilakunya mengandung makna dan ciri sebagai orang
yang cinta terhadap kebijaksanaan, terhadap pengetahuan dan cinta terhadap
hikmah. Berfilsafat dapat diartikan juga sebagai usaha berfikir manusia
secara mendalam.
Filsafat menurut beberapa ahli adalah; 1) Plato (427-438 SM)
mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang berminat mencapai
kebenaran yang genuine. 2) Aristoteles (382-322 SM) mendefinisikan
filsafat sebagai pengetahuan yang meliputi kebenaran. Terkandung
didalamnya adalah ilmu metafisika, logika, retorika,etika, estetika, dan
ekonomi. 3) Al-Farabi (870-950 SM) mendefinisikan filsafat sebagai
pengetahuan tentang alam maujud dan bagaimana hakikat alam yang
sebenarnya. 4) Descartes (1590-1650 SM) mendefinisikan filsafat sebagai
hukum ilmu pengetahuan tentang Tuhan, alam, dan manusia.
Atas asumsi itu, menurut Kant ada 3 persoalan yang dikaji dalam
filsafat. Pertama, apakah yang dapat manusia ketahui? (dijawab ontology).
Kedua, apakah yang seharusnya diketahui manusia? (dijawab etika). Ketiga,
sampai dimana harapan manusia dapat dicapai? (dijawab oleh agama).

Pergeseran Makna Filsafat


Filsafat berubah maknanya menjadi jalan hidup atau pandangan
hidup. Sehingga makna filsafat dapat diklasifikasikan menjadi: 1.
Sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang
biasanya diterima secara tidak kritis. 2. Suatu proses kritis atau
mengembangkan pemikiran skeptisisme pada setiap kepercayaan meski
dijunjung tinggi banyak pihak. 3. Usaha untuk mendapatkan gambaran yang
bersifat menyeluruh atas setiap realitas yang kompleks.4. analisis logika dari
bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. 5. Sekumpulan
problem yang langsung mendapat perhatian manusia dan dicarikan
jawabannya oleh ahli filsafat. Dalam bukunya penulis menyimpulkan bahwa
berfilsafat dibedakan menjadi jenis yakni sebagai reflective thinking dan
sebagai produk kegiatan berfikir murni.

Ciri Berpikir Filsafat


Jika Anda ingin tahu bagaimana menjadi filsuf atau bagaimana
mengawali untuk berpikir seperti filsuf, Anda wajib untuk membaca bab dua
ini karena penulis akan merincikan bagaimana cara berpikir filsafat. Penulis
merangkaikan penjelasan menarik dan mudah dipahami pada 8 lembar bab
ini.
Kenyataan yang ada bahwa belajar filsafat seringkali disandingkan
dengan konotasi negatif bahwa jika seseorang belajar filsafat, maka jika
seseorang itu yang tadinya menganggap sesuatu itu sakral, maka orang itu
akan menganggap hampir seluruhnya profan atau terlihat biasa-biasa saja.
Penulis membawakan kalimat ilustrasi yang ditujukan untuk kaum
beriman dalam hal eksistensi Tuhan, kalimat-kalimat seperti: “Bagaimana
Anda percaya bahwa Tuhan Ada? Padahal “ke-adaan-Nya” tidak hadir
secara empiris, dan sampai kapanpun Anda mencari-Nya, tidak mungkin Dia
mampu ditemukan secara empiris.” Penulis memberikan jalan keluar atas
permasalahan ini, yaitu Tuhan dapat ditemukan dengan cara membaca tanda-
tanda kehadiran-Nya di alam semesta ini atau di dalam banyak aktivitas yang
seseorang lakukan.
Ketika seseorang berpikir tentang bagaimana mencari Tuhan, berarti
dia sudah melakukan suatu kegiatan berpikir secara filsafat. Walaupun,
belum tentu seseorang itu patut dibilang sebagai seorang Filsuf. Menurut
penulis, seorang filsuf atau mereka yang disebut sebagai filsuf tidak mungkin
dapat diketahui, kecuali oleh mereka yang memahami ciri berfilsafat.
Karena, menurut penulis, tidak semua kegiatan berpikir seseorang dapat
menyebabkan ia disebut sebagai filsuf. Karena kerangka berpikir secara
filsafat harus memenuhi setidaknya empat ciri yang disebutkan oleh penulis
yaitu Radikal, Sistemis, Universal dan Spekulatif.
Radikal menurut penulis adalah berarti watak seseorang yang selalu
berpikir mendalam tentang suatu objek, dan berpikir sampai ke akar
persoalan. Pemikiran Radikal pada hari ini biasanya dikaitkan dengan agama
dan berkonotasi negatif. Seseorang yang berusaha mendalami permasalahan-
permasalahan agama, atau sedang belajar ilmu agama di pesantren (nyantri)
termasuk juga seorang Radikalis. Sedangkan Sistemis secara bahasa adalah
berkaitan satu sama lain, atau bahkan terikat satu sama lain. Menurut penulis
sistemik adalah berpikir logis, yang bergerak selangkah demi selangkah,
penuh kesadaran, berurutan dan penuh rasa tanggung jawab. Universal
artinya berpikir secara menyeluruh tidak terbatas pada bagian-bagian
tertentu, tetapi mencakup keseluruhan aspek, yang konkret dan abstrak atau
yang fisik dan metafisik. Terakhir, spekulatif, karena seorang filosof
memiliki cara berpikir yang spekulatif, maka seorang filosof terus
melakukan ujicoba dan memberikan pertanyaan terhadap kebenaran yang
dianutnya.

Objek Kajian Filsafat


Bahwa segala hal dalam pendekatan filsafat boleh dipikirkan,
termasuk jika manusia memungkinkan mengkaji soal Tuhan dan bagaimana
Tuhan menciptakan seluruh makhluk-Nya, termasuk menciptakan manusia.
Dalam pendekatan agama tertentu (Islam), ada satu wilayah di mana Tuhan
tidak dapat diletakkan sebagai suatu objek, termasuk dalam kajian ilmu
filsafat. Hal tersebut diperkuat oleh hadits nabi : “ ....Berpikirlah kamu
tentang ciptaan Tuhan, dan jangan sekali kali berpikir tentang Dzat Tuhan.”
Bagi mereka yang mengkaji filsafat, tentu tidak akan berhenti
membuat kesimpulan dengan hanya menggunakan sebuah dalil, termasuk
jika dalil tersebut dianggap final. Mengapa?, sebab dalam nalar tertentu,
sepanjang kita masih berada di bumi, dan sepanjang kita masih menjadi
manusia, kata final dalam konteks kebenaran selalu tidak adak terjadi. Dalam
corak berpikir filosofis, pasti membawa prinsip mendalam, menyeluruh,
sistematis dan spekulatif. Inilah yang menyebabkan dalam banyak hal, apa
yang disebut dengan kebenaran selalu bersifat relatif.
Mengkaji Allah yang tidak terbatas dalam ruang lingkup kajian
manusia yang terbatas, tidak mungkin dapat dibatasi. Meski demikian
dalam makna ini, Tuhan sekalipun dapat dikaji, tentu dalam segenap
keterbatasan manusia yang pasti terbatas. Manusia yang materiil mengkaji
Tuhan yang imateriil, pasti akan memiliki probabilitas yang tinggi.
Dalam lingkup pendidikan Islam, istilah teologi diperkenalkan
dengan nama ilmu tauhid atau ilmu kalam. Ketika mengkaji teologi, apa
sesungguhnya objek yang sedang dilakukan? Bukankah teologi mengkaji
Tuhan dalam perspektif ilmu? Mengapa agamawan boleh mengkaji Tuhan
sedangkan filsuf tidak boleh mengkajinya? Karena teologi itu adalah produk
ilmiah, maka kebenaran teologi, sama dengan bagian ilmu lain yang juga
pasti bersifat relatif.
Sejarah kelahiran agama-agama sebagai bentuk formalistis mitos
yang penuh mistik dan berkembang secara dinamis yang memandang bahwa
peristiwa dalam mitologi harus menjadi cermin kehidupan karena ia
merupakan peristiwa sejarah yang nyata meski dibentuk melalui tradisi lisan
secara tradisional.
Mythe/Mite hakikatnya diperlukan untuk menunjang sistem nilai
hidup manusia, yang berarti dalam makna tertentu bersifat religius.
Kegunaan mite semacam ini berfungsi untuk menjawab berbagai masalah
yang dihadapi masyarakat sebelum konteks keilmuan diperoleh. Mite akan
memberi penjelasan sementara tentang eksistensi manusia dalam
hubungannya dengan alam sekitar.
Kesimpulannya adalah filsafat memberi ruang pada semua objek
kajian. Filsafat akan mengkaji manusia, alam, bahkan Tuhan serta relasi
antara ketiganya. Jadi kajian Tuhan dalam nalar ini, bukan hanya milik kaum
agamawan, tetapi justru banyak dilahirkan dari para filsuf.

Anda mungkin juga menyukai